Pembelajaran IPS (social studies) sangat penting bagi jenjang pendidikan dasar dan menengah karena peserta didik yang datang ke sekolah berasal dari lingkungan yang berbeda- beda. Sesuai dengan tingkat perkembangannya, peserta didik SD belum mampu memahami keluasan dan kedalaman masalah-masalah sosial secara utuh, tetapi mereka dapat diperkenalkan kepada masalah-masalah tersebut. Melalui pengajaran IPS peserta didik dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kepekaan untuk menghadapi hidup dengan tantangan- tantangannya. Selanjutnya diharapkan mereka kelak mampu bertindak secara rasional dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Dalam hal ini, IPS berperan sebagai pendorong untuk saling pengertian dan persaudaraan antar umat manusia, selain itu juga memusatkan perhatiannya pada hubungan antar manusia dan pemahaman sosial. Dengan demikian, IPS dapat membangkitkan kesadaran bahwa kita akan berhadapan dengan kehidupan yang penuh tantangan atau dengan kata lain IPS mendorong kepekaan peserta didik terhadap hidup dan kehidupan sosial. Jadi rasionalisasi mempelajari IPS untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah menurut Ariesta (2016) adalah agar peserta didik dapat: 1. Mensistematisasikan bahan, informasi, dan atau kemampuan yang telah dimiliki tentang manusia dan lingkungannya menjadi lebih bermakna. 2. Lebih peka dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab. 3. Mempertinggi rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungan sendiri dan antar manusia. 3 Melalui pengajaran pengetahuan sosial, peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang efektif. Untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang efektif merupakan tantangan berat, karena masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat. Oleh karena itulah, Ilmu Pengetahuan Sosial dirancang untuk membangun dan merefleksikan kemampuan peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat yang selalu berubah dan berkembang secara terus menerus. B. Sumber-Sumber Pembelajaran IPS di SD Menurut Winataputra (2008) ada 3 sumber pembelajaran IPS yaitu : 1. Media sebagai sumber pembelajaran Media sebagai sumber pembelajaran erat kaitannya dengan peran guru sebagai mediator dan fasilitator. Sebagai mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pembelajaran karena media merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, media merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar guna mencapai tujuan pembelajaran. Memilih dan menggunakan media harus sesuai dengan tujuan, materi, metode, evaluasi dan yang lebih utama dapat memperlancar pencapaian tujuan serta menarik minat peserta didik. 2. Kelas sebagai sumber belajar Kelas sebagai sumber pembelajaran tidak terbatas pada pemeliharaan dan penciptaan suasana belajar yang efektif, melainkan juga dapat dijadikan sebagai tempat pameran hasil karya peserta didik. Kelas yang memiliki pajangan atau pameran hasil karya peserta didik dapat menjadi tempat yang menarik dan dapat memotivasi peserta didik untuk belajar. Peserta didik belajar melalui kegiatan mendengar, melihat, meraba, mencium dan berbuat. Hasil karya peserta didik yang baik akan mendorong mereka untuk menggunakan panca indera penglihatannya untuk belajar dengan membaca dan memanfaatkan hasil karya tersebut. 3. Lingkungan sebagai sumber belajar Lingkungan sebagai sumber pembelajaran menuntut kreativitas guru untuk memanfaatkannya dan mengeliminasi kebiasaan mengajar yang rutinitas dan monoton. Terdapat empat jenis sumber pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dari lingkungan yaitu: masyarakat, lingkungan fisik, bahan sisa atau limbah serta peristiwa alam dan sosial. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber pembelajaran mendorong peserta didik untuk berpikir logis dan sistematis, karena dari lingkungan muncul berbagai fenomena yang menarik dan menantang bagi peserta didik. Oleh karena itu, guru dituntut memiliki keterampilan di dalam kelas dan atau membawa siswa ke luar kelas. C. Model-Model Pembelajaran IPS di SD Menurut Susilowaty (2013) terdapat beberapa model pembelajaran untuk mengatasi masalah pembelajaran IPS. Beberapa dari sejumlah pendekatan yang menjadi rujukan secara parsial terliput dalam kerangka teknis model pilihan berikut antara lain: 1. Model inkuiri Model inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang memfokuskan kepada pengembangan kemampuan peserta didik dalam berpikir reflektif kritis dan kreatif. Pengembangan strategi pembelajaran dengan model inkuiri dipandang sangat sesuai dengan karakteristik materi pendidikan pengetahuan sosial yang bertujuan mengembangkan tanggungjawab individu dan kemampuan berpartisipasi aktif baik sebagai anggota masyarakat dan warganegara. 2. Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan nilai. VCT berfungsi untuk : a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada peserta didik melalui cara yang rasional dan diterima mereka sebagai milik pribadinya. 3. Model bermain peta Keterampilan menggunakan dan menafsirkan peta dan globe merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran pengetahuan sosial. Peta dan globe memberikan manfaat, yaitu: a) siswa dapat memperoleh gambaran mengenai bentuk, besar, batas-batas suatu daerah; b) memperoleh pengertian yang lebih jelas mengenai istilah-istilah geografi; c) memahami peta dan globe. Dalam memahami peta dan globe diperlukan beberapa syarat yaitu : (a) arah, (b) skala,; (c) lambang- lambang,; (d) warna. 4. Pendekatan ITM (Ilmu Teknologi dan Masyarakat) Pendekatan ITM (Ilmu, Teknologi, dan Masyarakat) atau juga disebut STS (Science-Technology- Society) muncul menjadi sebuah pilihan jawaban atas kritik terhadap pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang bersifat tradisional. ITM dikembangkan sebagai sebuah pendekatan guna mencapai tujuan pembelajaran yang berkaitan langsung dengan lingkungan nyata dengan cara melibatkan peran aktif peserta didik dalam mencari informasi untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan kesehariannya. 5. Model Portofolio Sapriya (dalam Winataputra, 2008) menegaskan bahwa portofolio merupakan karya terpilih kelas atau siswa secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan publik untuk membahas pemecahan terhadap suatu masalah kemasyarakatan. Makna pembelajaran berbasis portofolio dalam pembelajaran pengetahuan sosial adalah memperkenalkan kepada peserta didik dan membelajarkan mereka pada metode dan langkah-langkah yang digunakan dalam proses politik kewarganegaraan atau kemasyarakatan. D. Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran IPS di SD Tujuan, materi pelajaran, kegiatan belajar, strategi pembelajaran (bahkan sampai pada evaluasi) harus diorganisasikan sedemikian rupa untuk menggalakkan pembelajaran yang efektif sehingga perlu perencanaan dan pelaksanaan. Setiap langkah yang akan dilakukan oleh guru mengenai apa yang akan diajarkan ditentukan oleh tujuan yang dirumuskan sebelumnya. Oleh sebab itu, perumusan tujuan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengelola pembelajran IPS. Tujuan yang akan dicapai selama proses belajar mengajar berlangsung dan apakah tujuan itu dapat tercapai atau tidak setelah proses pembelajaran selesai, hendaknya ditulis dan dirumuskan terlebih dahulu oleh guru dalam satuan pelajaran yang menuntun guru dan peserta didik ke arah proses pembelajaran yang tampak jelas dan terarah. Menurut Susilowaty (2013), dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ada beberapa hal di bawah ini yang perlu mendapat perhatian yaitu : 1. Materi pelajaran Guru hendaknya menguasai bidang studi atau mata pelajaran IPS. Materi dalam satuan pelajaran itu disebar dalam pokok bahasan atau sub pokok bahasan kemudian dirumuskan dalam TIU (Tujuan Instruksional Umum). Setelah itu rincian meteri yang akan disampaikan. 2. Metode Uraikan tentang metode apa saja yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai. 3. Alat, sumber belajar dan media perlu diketahui dan disiapkan. 4. Pemanfaatan lingkungan sekolah Sehubungan dengan poin 3 di atas, lingkungan sekolah perlu dimanfaatkan jika relevan dengan proses pembelajaran seperti kebun dan tamanan di sekolah, bangunan sekolah, jalan raya di sekitar sekolah, warung sekolah dan sebagainya. 5. Pemanfaatan ruang kelas Sehubungan dengan hal-hal di atas juga perlu diperhatikan penempatan papan tulis, meja guru, bangku-bangku, lemari, penggunaan dinding-dinding kelas untuk display hasil kerja peserta didik. Begitu juga penggunaan sudut dan serambi kelas untuk pameran hasil karya peserta didik, hasil penelitian atau hasil karya guru. 6. Pemanfaatan lingkungan. Penggunaan sumber yang tersedia dari lingkungan fisik sekolah atau masyarakat di sekitar desa (desa pertanian, atau desa nelayan), flora fauna, batu-batuan dan alat transportasi desa dapat menjadi alat peraga pelajaran IPS. 7. Pemanfaatan waktu Prinsip “semakin banyak waktu semakin banyak yang bisa dipelajari” perlu dipegang. Alokasi waktu perlu diatur sebaik-baiknya dalam jadwal kegiatan. 8. Pemanfaatan perpustakaan dan laboratorium. Dalam rencana pelajaran perlu dinyatakan bilamana perpustakaan dan laboratorium IPS itu digunakan. Demikian pokok- pokok yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ini agar tujuan-tujuan pendidikan IPS dapat tercapai dengan efektif. MENGENAL MODEL-MODEL PEMBELAJARAN Dalam dunia pengajaran telah dikenal berbagai model mengajar, meskipun tidak ada satu model yang paling tepat untuk segala tujuan dan kondisi. Semua model mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu kegiatan. Dalam pengertian lain model juga dapat diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari barang atau benda yang sesungguhnya. Dalam uraian selanjutnya, istilah model digunakan untuk menunjukkan pengertian yang pertama, yaitu kerangka konseptual. Dari pengertian tersebut, maka model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Udin Saripudin, 1994;78). Dari hasil kajian terhadap berbagai model belajar-mengajar yang secara khusus telah dikembangkan dan dites oleh para pakar pendidikan di bidang itu, Joy dan Weil (1986) mengelompokkan model-model tersebut ke dalam tempat rumpun, yakni : 1. Rumpun model pemrosesan informasi. 2. Rumpun model personal. 3. Rumpun model interaksi sosial. 4. Rumpun model behavioral (tingkah laku). Secara ringkas berikut akan dikemukakan masing-masing model . 1. Rumpun Model Pemrosesan Informasi Model-model mengajar yang tergolong rumpun ini berorientasi kepada kecakapan siswa dalam memproses informasi dan cara-cara mereka dapat memperbaiki kecakapan untuk menguasai informasi. Pemrosesan informasi mengacu kepada cara-cara orang menangani rangsangan dari lingkungan, mengorganisasi data, melihat masalah, mengembangkan konsep, memecahkan masalah, dan menggunakan lambang-lambang verbal dan non-verbal. Beberapa informasi menekankan kepada aspek kecakapan pelajar untuk memecahkan masalah, dan menekankan aspek berpikir yang produktif, sedangkan beberapa lainnya lebih menekankan kepada kecakapan intelektual umum. Model-model ini juga menekankan konsep-konsep dan informasi yang dijabarkan dari disiplin-disiplin akademik. Di samping itu model-model ini juga memperhatikan aspek hubungan sosial dan perkembangan fungsi diri pribadi secara terpadu melalui fungsi intelektual. Model-model belajar-mengajar yang tergolong rumpun ini adalah sebagai berikut : a. Model Berpikir Induktif (Hilda Taba) Tujuan : Dirancang untuk perkembangan proses mental induktif dan penalaran akademik atau pembentukan teori. b. Model Latihan Inkuiri (Richard Suchman) Tujuan : Dirancang untuk mengajar murid untuk menghadapi penalaran kasual, dan untuk lebih fasih dan tepat dalam mengajukan pertanyaan, membentuk konsep dan hipotesis. Model ini pada mulanya digunakan dalam sains, tetapi kemampuan-kemampuan ini berguna untuk tujuan-tujuan pribadi dan sosial. c. Model Inkuiri Ilmiah (Joseph J. Schab) Tujuan : Dirancang untuk mengajar system penelitian dari suatu disiplin, tetapi juga diharapkan untuk mempunyai efek dalam kawasan-kawasan lain (metode-metode sosial mungkin diajarkan dalam upaya meningkatkan pemahaman sosial dan pemecahan masalah sosial). d. Penemuan Konsep (Jerome Bruner) Tujuan : Dirancang terutama untuk mengembangkan penalaran induktif, tetapi juga untuk pengembangan dan analisis konsep. e. Pertumbuhan Kognitif (Jean Pieget, Irving Sigel, Edmund Sulivan, Lawrence Kohlberg) Tujuan : Dirancang untuk meningkatkan perkembangan intelektual, terutama penalaran logis, tetapi juga dapat diterapkan pada perkembangan sosial dan moral. f. Model Penata Lanjutan (David Ausubel) Tujuan : Dirancang untuk meningkatkan efisiensi kemampuan pemrosesan informasi untuk menyerap dan mengaitkan bidang-bidang pengetahuan. g. Model Memori (Harary Lorayne, Jerry Lucas) Tujuan : Dirancang untuk meningkatkan kemampuan mengingat.
2. Rumpun Model-Model Personal
Rumpun model-model personal, berorientasi kepada individu dan perkembangan keakuannya (selfhood). Rumpun ini menekankan kepada proses di mana individu membentuk dan menata realitas keunikannya. Perhatian banyak diberikan kepada kehidupan emosional. Mengajar dengan model-model ini banyak memusatkan pada upaya membantu individu untuk mengembangkan suatu yang produktif dengan lingkungannya dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap sehingga mampu lebih memperkaya hubungan antarpribadi dan lebih cakap dalam pemrosesan informasi secara efektif. Model-model yang tergolong dalam rumpun ini adalah sebagai berikut : a. Model Pengajaran non-direktif (Carl Rogers) Tujuan : Penekanan pada pembentukan kemampuan untuk perkembangan pribadi dalam arti kesadaran diri, pemahaman diri, kemandirian dan konsep diri. b. Model Latihan Kesadaran (Fritz Perls, Wilham Schuts) Tujuan : Meningkatkan kemampuan seseorang untuk eksplorasi diri dan kesadaran diri. Banyak menekankan pada perkembangan kesadaran dan pemahaman antarpribadi. c. Model Sinektik (Wilham Gordon) Tujuan : Perkembangan pribadi dalam kreativitas dan pemecahan masalah kreatif. d. Model Sistem-Sistem Konseptual (David Hunt) Tujuan : Dirancang untuk meningkatkan kekompleksan dan keluwesan pribadi. e. Model Pertemuan Kelas (Willian Glasser) Tujuan : Perkembangan pemahaman diri dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan kelompok sosial. 3. Rumpun Model-Model Interaksi Sosial Model-model mengajar dalam rumpun ini menekankan pada hubungan individu dengan orang lain atau masyarakat. Rumpun ini memusatkan pada proses dimana kenyataan ditawarkan secara sosial. Sebagai konsekuensinya, model-model yang berorientasi tersebut di atas, memberikan prioritas untuk memperbaiki kecakapan individu untuk berhubungan dengan orang lain, untuk bertindak dalam proses yang demokratis, dan untuk bekerja secara produktif dalam masyarakat. Meskipun rumpun model ini lebih menekankan pada hubungan sosial dibandingkan dengan aspek lainnya, para tokoh dalam rumpun model-model ini juga menekankan perkembangan kesadaran dan perkembangan diri (self), dan belajar bidang studi yang bersifat akademik. Model-model belajar-mengajar yang tergolong rumpun ini adalah sebagai berikut : a. Model Penemuan Kelompok (Herbert Telen, John Dewey) Tujuan : Perkembangan keterampilan untuk partisipasi dalam proses sosial yang demokratis melalui penekanan yang dikombinasikan pada keterampilan-keterampilan antarpribadi (kelompok) dan keterampilan-keterampilan penemuan akademik. Aspek perkembangan pribadi merupakan hal yang penting dalam model ini. b. Model Inkuiri (Penemuan) Sosial (Bryon Massiolas, Benyamin Cux) Tujuan : Pemecahan masalah sosial, terutama melalui penemuan sosial dan penalaran logis. c. Model Metode Laboratori (National Teaching Laboratory (NTL), Bethel Maine) Tujuan : Perkembangan keterampilan antarpribadi dan kelompok melalui kesadaran dan keluwesan pribadi. d. Model Jurisorudensial (Donald Oliver, James P. Dhaver) Tujuan : Dirancang terutama untuk mengajarkan kerangka acuan jurisprudensial sebagai cara berpikir dan penyelesaian isu-isu sosial. e. Model Bermain Peran (Fannie Shafel, George Fhafel) Tujuan : Dirancang untuk mempengaruhi siswa agar menemukan nilai-nilai pribadi dan sosial. Perilaku dan nilai-nilainya diharapkan anak menjadi sumber bagi penemuan berikutnya. f. Model Simulasi Sosial (Serene Bookock, Harold Guetzkow) Tujuan : Dirancang untuk membantu siswa mengalami bermacam-macam proses dan kenyataan sosial, dan untuk menguji reaksi mereka, serta untuk memperole konsep keterampilan pembuatan keputusan. 4. Rumpun Model-Model Behavioral (Perilaku) Semua model-model mengajar yang tergolong dalam rumpun ini bersumber dari kerangka teori yang sama yaiu teori behavioral. Istilah-istilah lain yang sejenis dan sering dipergunakan adalah teori belajar, teori belajar sosial, modifikasi perilaku dan terapi perilaku. Rumpun model- model ini lebih menekankan pada aspek perubahan perilaku siswa yang nyata dan dapat diamati daripada struktur psikologis dan perilaku yang tidak dapat diamati. Model-model perilaku mempunyai penerapan yang luas dan diarahkan kepada bermacam-macam tujuan pendidikan, latihan pribadi antarpribadi dan terapi. Berdasarkan kepada pengendalian stimulus dan penguatan, model-model behavioral telah berhasil menerapkan kondisi-kondisi antara, baik secara individu maupun kelompok. Salah satu karakteristik umum pada model-model perilaku adalah dalam hal penjabaran tugas-tugas yang harus dipelajari siswa, yaitu tugas-tugas yang harus dipelajari menjadi serangkaian perilaku dalam bentuk yang lebih kecil dan berurutan. Pada umumnya pengendalian perilaku terletak pada pihak guru, meskipun siswa pun mempunyai kesempatan untuk mengendalikan perilakunya. Model-model yang termasuk rumpun ini adalah sebagai berikut : a. Model Manajemen Kontingensi (B. F. Skinner) Tujuan : Fakta-fakta, konsep, keterampilan. b. Model Kontrol Diri (B. F. Skinner) Tujuan : Perilaku/keterampilan sosial. c. Model Relaksasi (Santai) (Rimm dan Masters,Wolpe) Tujuan : Tujuan-tujuan pribadi (mengurangi ketegangan dan kecemasan). d. Model Pengurangan Ketegangan (Rimm dan Masters, Wolpe) Tujuan : Mengalihkan kesantaian kepda kecemasan dalam situasi sosial. e. Model Latihan Asertif (Wolpe, Lazarus, Solter) Tujuan : Ekspresi perasaan secara langsung dan spontan dalam situasi sosial. f. Model Latihan Langsung (Gagne, Smith dan Smith) Tujuan : Pola-pola perilaku, keterampilan.
B. MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS
1. Pengertian Pembelajaran Secara umum pembelajaran merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Secara lengkap pengertian pembelajaran dapat dirumuskan sebagai berikut : Pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Mohammad Surya, 1996;9). Beberapa prinsip yang menjadi landasan pengertian di atas ialah : 1. Pembelajaran sebagai usaha memperoleh perubahan tingkah laku. Tetapi tidak semua perubahan tingkah laku sebagai hasil pembelajaran. 2. Hasil pembelajaran ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan. Perubahan tingkah laku itu meliputi tingkah laku kognitif, afektif, atau motorik. Pembelajaran yang hanya menghasilkan perubahan satu atau dua aspek tingkah laku disebut sebagai pembelajaran sebagian (partial learning) dan bukan pembelajaran lengkap (complete learning). 3. Pembelajaran merupakan suatu proses. Selama proses pembelajaran itu individu tidak terlepas dari lingkungannya dan pembelajaran tersebut berisat dinamis dan saling berkaitan. 4. Proses pembelajaran terjadi karena adanya suatu yang mendorong dan ada tujuan yang akan dicapai. 5. Pembelajaran merupakan bentuk pengalaman.
2. Pengertian Konsep dan Generalisasi (Konsep Dasar) IPS
2.1 Pengertian Konsep Konsep ialah kumpulan fakta-fakta yang memiliki interelasi kuat satu sama lain sehingga membentuk suatu pengertian yang bulat. Dalam rumusan yang sederhana konsep ialah suatu bayangan pikiran atau tanggapan yang bulat tentang sesuatu. Bayangan pikiran atau tanggapan mana terdiri dari serentetan gejala atau fakta untaian uraian yang satu sama lain bertautan dan menciptakan suatu kebulatan pengertian (Kosasih Djahiri 1978/1979;97). 2.2 Pengertian Konsep Dasar IPS Konsep IPS yaitu kata atau ungkapan yang memiliki ciri yang menonjol dan tidak dapat dipisahkan dari konteks IPS tersebut (James G. Womack 1970;30). Kata yang merupakan konsep ini selain dapat mengungkapkan pengertian denotatif, juga memiliki ungkapan yaitu pengertian kata yang didefenisikan di dalam kamus. Sedangkan pengertian konotatifnya yaitu pengertian dalam arti luas. Yang menyangkut pengertian, fungsi, pengertian lainnya yang terkandung dalam kata atau ungkapan tadi. Pengertian konotatifnya inilah yang mencirikan kata atau ungkapan pada suatu kompleks yang memberikan arti kunci yang menonjol kepada konteks tersebut. Perngertian konotatid konsep tersebut sangat erat hubungannya dengan keseluruhan uraian atau keseluruhan pembahasan IPS. Berikut ini beberapa contoh konsep dalam IPS : 1. Pasar, produksi, konsumen (ekonomi) 2. Lokasi, sungai, gunung (geografi) 3. Kebudayaan, norma-norma, hokum (antropologi) 4. Keluarga, teman, masyarakat (sosiologi) Khusus konsep IPS di SD termasuk keluarga, masyarakat setempat, uang tabungan, pajak ekonomi setempat wilayah provinsi wilayah kepulauan, pemerintah daerah Negara RI dan pengenalan kawasan dunia. Kumpulan sejumlah konsep yang memiliki interelasi serta merupakan suatu kebulatan pengertian dinamakan generalisasi atau konsep dasar (basic concept). Jadi generalisasi itu adalah hubungan dua konsep atau lebih dalam bentuk kalimat lengkap, yang merupakan deklaratif dan dapat dijadikan suatu prinsip atau ketentuan bagi IPS. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, kita dapat menarik beberapa perbedaan dasar antara konsep dengan generalisasi (konsep dasar). Jika konsep hanya sampai kepada pengertian konotatif maka generalisasi harus merupakan kalimat penyataan deklaratif yang berlaku sebagai suatu prinsip atau ketentuan pada konteks IPS. Jika konsep merupakan pengertian yang dapat terlepas dari konsep-konsep lainnya, maka generalisasi merupakan hubungan dari beberapa konsep. Dengan dapat dikuasainya perbedaan antara konsep dengan konsep dasar, guru dan siswa dapat melakukan pemilihan konsep dan pengembangan generalisasi secara wajar dan terarah. 3. Langkah-Langkah Mengajarkan Konsep Agar guru dapat mencapai tujuan dalam mengajar dengan menggunakan model pembelajaran konsep dasar IPS, perlu dilakukan langkah sebagai berikut : a. Mencari unsur-unsur yang termasuk konsep tersebut dan kemudian mengelompokkannya serta memilih konsep mana yang menjadi pilihan sebagai pokok bahasan. b. Menentukan dan merumuskan tujuan instruksional. c. Memilih situasi dan media yang mendukung pelajaran tentang konsep tersebut serta dapat memperlancar pencapaian tujuan instruksional tersebut. d. Merencanakan dan mencari hal-hal yang diperkirakan membantu siswa dalam proses pemahaman dan pemantaoan konsep. e. Mencari dan menemukan cara penyajian dan pengembangan proses internalisasi konsep secara lengkap.
4. Model-Model Pembelajaran Konsep Dasar IPS
Agar pencapaian tujuan pengajaran IPS terlaksana dengan baik, diperlukan model pembelajaran yang dianggap dan diperkirakan paling efektif dalam menyajikan materi pengajaran IPS, khususnya di SD. Ada beberapa alternatif model-model pembelajaran IPS, seperti model Lecturing (ceramah yang disempurnakan), model pembelajaran konsep dasar IPS keterampilan berpikir (thinking skills) yang terdiri dari dua, yaitu keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills) dan keterampilan berpikir kreatif (creative thinking skills). Khusus untuk SD, tujuan keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari. I. Model Lecturing (Ceramah) yang Disempurnakan a. Pangkal tolak pikir dan permasalahannya Lecturing pada hakikatnya memberikan pelajaran dengan ceramah, dimana guru berada di muka kelas, memimpin, dan menentukan isi dan jalannya pelajaran serta mentransfer (menuangkan) segala rencana pelajarannya (kebanyakan dengan lisan) yang menurutnya baik atau perlu bagi siswanya. Teknik ini paling banyak digunakan dalam rapat, menyampaikan pelajaran, diskusi, dan bahkan dalam lokakarya. Para guru umumnya banyak menggunakan teknik ini dikarenakan kebiasaan kiprah umum, kebiasaan yang membaku pada dirinya, murah, mudah dan cepat serta tidak memerlukan fasilitas-fasilitas yang banyak, ketidaktahuan akan cara teknik lainnya, dan faktor jumlah program dan kurangnya waktu. b. Lecturing menjadi kelumrahan dalam mengajar Keberhasilan, kemantapan dan kelestarian hasil pelajaran apabila menggunakan model lecturing sangat diragukan. Terlebih bagi kelas rendah. Sebab pada lecturing siswa dibawa ke dalam alam verbal (lisan) dan abstrak dengan tempo proses internalisasi (pemantapan/pemahaman) yang relatif sangat singkat. Rentetan ucapan guru yang demikian banyak (apalagi jika bersifat kompleks) serta tempo bicara yang beruntun memkasa siswa menangkap (melalui telinga, mata, pikiran dan tangan untuk menulis) semampunya saja. Dan sebagai manusia, siswa memiliki daya mampu yang terbatas, yang kian lama kian menurun. Hampir tidak asa siswa yang memiliki daya mampu dengar, lihat, menulis dan berpikir selama 2x45 menit secara konstan. Sejumlah faktor dan persyaratan untuk ini perlu selalu kita perhatikan. Karena apabila tidak, proses ini hanya dengan verbal belaka sejumlah tahapan proses hilang atau kurang mantap. Dan apabila dilakukan melalui membaca (dari papan tulis atau buku) maka daya mampu baca siswa harus diperhatikan. Kemampuan membaca pada anak sangat berlainan dan tergantung pada tingkat usianya (Prof. Eve Malmoquist). Daya baca ini kian lama kian menurun. Apabila diingat bahwa yang penting dalam membaca bukan membaca huruf-huruf, melainkan sambil menghayati dan berpikir. Dapatkah kesemua hal di atas terpenuhi oleh teknik ceramah? Bahwa ini tidak dapat kita hapuskan sama sekali, memang diakui. Namun perlu direnungi kemanfaatan dan cara yang maksimal. c. Kelebihan Lecturing 1. Dapat mentansfer ide dan memberikan analisis sejelas-jelasnya. 2. Dapat melihat dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan siswanya. 3. Sangat tepat untuk menyampaikan informasi. 4. Tepat untuk keadaan dimana siswa berbanding guru tidak seimbang, dengan disertai teknik dan variasi tambahan/pengayaan. 5. Dapat dengan segera mengetahui keadaan dan daya terima siswa, hasil transaksi belajar melalui cara-cara tertentu. 6. Bila terjadi kekeliruan penyampaian atau bahan, dapat segera diperbaiki. 7. Dengan variasi visual dapat lebih menarik dan hidup. 8. Sangat mudah diksanakan, murah dan cepat. d. Kekurangan Lecturing 1. Bersifat satu arah, sehingga lebih bersifat transferring (penuangan) ilmu. 2. Mono teknik dan mematikan kerja indra lain serta adanya penurunan daya indra yang digunakan. 3. Penyamarataan daya mampu siswa, bahkan sering sama sekali tidak diperhatikan oleh guru (guru sentris). 4. Bila persiapannya buruk, bahan tidak sistematis, konsep tidak diperhatikan, dan cara pembawaannya jelek, maka pelaksaannya menjadi kacau, menyulitkan siswa dan kehilangan arah. 5. Sering membosankan dan tidak menarik bagi siswa, sebab minat siswa tidak/kurang diperhatikan. 6. Pada lembaga keguruan (IKIP,SPG atau lainnya) apa yang dikerjakan guru, cenderung ditiru siswa sebagai model. 7. Hasil belajar kurang baik/kurang mantap. e. Beberapa variasi kearah menyempurnakan lecturing Maksud daripada hal ini kiranya jelas yaitu memberi sejumlah variasi teknik belajar-mengajar kedalam teknik lecturing untuk mengurangi kelemahan dari teknik ini dan menghidupkan suasana belajar-mengajar. Tentu saja patut diperhatikan dalam memuaskan variasi antara lain : 1. Tujuan instruksional yang ingin dicapai 2. Jenis konsep/informasi yang akan disajikan 3. Keadaan siswa, waktu, fasilitas dan lingkungan/suasana belajar Adapun variasi-variasi yang diketengahkan, bersifat umum dan jugement (perkiraan dalam waktu dan jumlah kegiatannya). 1. Model Variasi A : - Babak I (pembukaan dapat memilih alternatif pilihan seperti pembicaraan ilmiah popular bertautan dengan pelajaran, guru menuliskan atau memasang gambar atau judul, menampilkan sejumlah alat peraga, dll). - Babak II (fase mengemukakan informasi pokok). 2. Model Variasi B : - Lecturing sebagai pembukaan guru. - Simulasi (sosio drama), diskusi/kerja kelompok, tanya jawab, dll. - Lecturing penyimpulan atau penegasan konsep dari guru dan siswa dapat diikutsertakan. 3. Model Variasi C : - Ulasan singkat/pembukaan uraian singkat. - Kerja kelompok/klasikal atau studi ke perpustakaan. - Role playing/ sosio drama/ simulasi eksperimentasi atau peragaan, dll. - Penelaahan/penilaian hasil di atas secara klasikal/kelompok. - Lecturing/uraian/pembahasan guru. - Dialog/Tanya jawab guru dan siswa dan pengambilan kesimpulan serta evaluasi. 4. Model Variasi D : Model ceramah dibawakan oleh ahli yang bersangkutan, sehingga suasana pelajaran sebagaimana keadaan dan gambar sebenarnya. Misalnya ceramah/pelajaran sejarah tentang revolusi dibawakan oleh tokohnya yang diundang khusus atau melalui rekaman video. 5. Model Variasi E : Model yang lumrah dikenal dengan nama team teaching yang baik dan terencana.
II. Keterampilan Berpikir Kritis (Critical Thinking Skills)
Menurut Johnson (1991), merumuskan istilah berpikir kritis (critical thinking) secara etimologi menyatakan bahwa kata “critic” dan “critical” berasal dari “krenein” yang berarti menaksir nilai sesuatu. Ia menjelaskan bahwa kritik adalah perbuatan seorang yang mempertimbangkan, menghargai dan menaksir nilai sesuatu hal. Tugas seorang berpikir kritis adalah menerapkan norma dan standar yang tepat terhadap sesuatu hasil. The Group of Five (Etnis 1989; Lipman 1988; Siegel 1988; Paul 1989; McPeck 1981), menyimpulkan bahwa ada tiga persetujuan subtansi dari kemampuan berpikir kritik yaitu Berpikir kritis memerlukan sejumlah kemampuan kognitif, berpikir kritis memerlukan sejumlah informasi dan pengetahuan, berpikir kritis mencakup dimensi afektif yang semuanya menjelaskan dan menekankan secara berbeda-beda. Sedangkan berpikir kritis adalah untuk menilai suatu pemikiran, menaksir nilai bahkan mengevaluasi pelaksanaan atau praktek dari suatu pemikiran dan nilai tersebut. Selain itu, berpikir kritis meliputi aktivitas mempertimbangkan berdasarkan pada pendapat yang diketahui. Menurut Lipman (1988), layaknya pertimbangan-pertimbangan ini hendaknya didukung oleh kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.
III. Keterampilan Berpikir Kreatif (Creative Thinking Skills)
Menurut Savage and Amstrong (1996), syarat untuk memasuki sikap berpikir kritis adalah sikap siswa memunculkan ide-ide atau pemikiran baru; siswa membuat pertimbangan dan penilaian atau taksiran berdsarkan kreteria yang dapat dipertanggung jawabkan. Preston dan Herman (1974), inkuiri dan ketrampilan berpikir kritis tumbuh subur di kelas III. Menurut (Wiken, 1995; Beyer, 1985; Fraenkel, 1980), pengajaran berpikir kritis meliputi pendekatan, strategi, perencanaan, dan sikap siswa dalam berpikir kritis. Model ini pernah dijelaskan oleh beliau pada Studi sosial di Amerika Serikat. Keterampilan berpikir kritis menurut Beyer yaitu : a. Membedakan fakta dan nilai dari suatu pendapat. b. Menentukan reliabilitas sumber. c. Menentukan akurasi fakta dari suatu pertanyaan. d. Membedakan informasi. e. Mendeteksi penyimpangan. f. Mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan. g. Mengidentifikasi tuntutan dan argumentasi yang tidak jelas. h. Mengakui perbuatan keliru dan konsisten. i. Membedakan antara pendapat yang dapat dan tidak dapat dikerjakan. j. Menentukan kekuatan argument. Menurut Beyer strategi berpikir kritis yang cukup efektif untuk Proses Belajar Mengajar (PBM), ialah Strategi innduktif yang bersifat direktif. Adapun langkah-langkah yang harus dipersiapkan guru adalah : a. Memperkenalkan keterampilan. b. Siswa mencoba keterampilan sebaik mungkin. c. Menggambarkan serta mengartikulasi apa yang terjadi dalam pikiran ketika menerapkan keterampilan tersebut. d. Menerapkan pengetahuan tentang keterampilan baru untuk diterapkan lagi. e. Meninjau lagi apa yang terpikir ketika keterampilan tersebut diterapkan. Menurut Beyer strategi berpikir kritis yang kedua adalah strategi direktif yang artinya memberikan kesempatan pada siswa untuk menguasai dan memahami betul komponen ketrampilan tersebut sejak permulaan. Strategi ini digunakan bila ketrampilan siswa agak kompleks. Dalam strategi ini memerlukan bimbingan khusus. Beyer merumuskan ada 5 langkah dalam penerapan strategi direktif, yaitu : a. Memperkenalkan keterampilan berpikir kritis. b. Menjelaskan prosedur dan aturan keterampilan. c. Menunjukkan bagaimana keterampilan itu digunakan di kemudian hari. d. Menerapkan keterampilan tersebut mengikuti langkah dan aturan yang jelas. e. Menggambarkan tetang apa yang terjadi dalam pikiran siswa ketika keterampilan itu diterapkan. C. IMPLEMENTASI MODEL-MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah baik masalah pribadi maupun masalah sosial sangat diperlukan karena pada hakekatnya siswa hidup ditengah lingkungan masyarakat yang penuh dengan benih-benih munculnya masalah. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan untuk mendewasakan siswa, maka salah satu indikator dewasa adalah kemampuan akan kemandirian sebagai warga masyarakat. Model pembelajaran “problem solving” pemecahan masalah merupakan alternatif model pembelajaran dalam IPS. 1. Model Pembelajaran “Problem Solving” Ada 4 tahapan proses pemecahan masalah menurut Savage dan Armstrong, yaitu : a. Mengenal adanya masalah. b. Mempertimbangkan pendekatan-pendekatan untuk pemecahannya. c. Memilih dan menerapkan pendekatan-pendekatan tersebut. d. Mencapai solusi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan menurut Wilkins (1990), menguraikan 6 langkah model pembelajaran “problem solving”, yaitu : a. Mengklasifikasikan dan mendefenisikan masalah. b. Mencari alternatif solusi. c. Menguji alternatif solusi. d. Memilih solusi. e. Bertindak sesuai dengan pilihan solusi. f. Tindak lanjut (follow-up). 2. Model Pembelajaran Penemuan (Problem Solving Inkuiri) Secara umum batasan yang tegas antara tiga pendekatan/ model pembelajaran tersebut belum ada kesepakatan. Persamaan dari ketiga model pembelajaran tersebut adalah semua mensyaratkan adanya keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar melalui proses penelitian, yaitu meneliti hubungan antar sejumlah data/ informasi untuk tercapainya suatu solusi. Untuk mengatasi kerancuan, Welton and mallan (1988) mengemukakan bahwa penggunaan model pembelajaran “problem solving” agak berbeda bila diterapkan pada mata pelajaran yang berbeda. D. PEMILIHAN MODEL BELAJAR MENGAJAR YANG EFEKTIF Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan mengenal model belajar yang berlaku umum yang diperkirakan lebih cocok untuk berbagai tujuan. Dalam uraian tersebut, istilah model belajar- mengajar digunakan dalam istilah yang berbeda, sementara itu beberapa penulis seperti Borich juga Huoston dkk. menggunakan istilah Strategi Belajar-Mengajar dalam pengertian yang sama untuk menggambarkan keseluruhan prosedur yang sistematis untuk mencapai tujuan. Dalam uraian ini istilah Strategi Belajar-Mengajar digunakan untuk menunjukkan siasat atas keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan tujuan pendidikan, sedangkan istilah Model Belajar-Mengajar menurut Joyce dan Weil (1986) digunakan untuk menunjukkan sosok utuh konseptual dari aktivitas belajar-mengajar yang secara keilmuan dapat diterima dan secara operasional dapat dilakukan. Karena itu dalam model selalu terdapat tujuan dan asumsi sintakmatik, system sosial, system pendukung dan dampak instruksional dan pengiring. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model belajar-mengajar itu merupakan inti atau jantung dari strategi mengajar (Udin Saripudin, 1994;151). Walaupun secara teoritik tersedia cukup banyak model belajar-mengajar yang dapat dipakai oleh pengajar di dalam pelaksanaan pengajaran, mengajar seyogyanya memilih model mana yang dianggap atau diperkirakan paling efektif. Menurut Huoston, Clift, Freiberg, dan Wamer (1988) terdapat lima faktor yang menentukan efektivitas mengajar para pengajar, yaitu : 1. Ekspektasi pengajar tentang kemampuan siswa yang akan dikembangkan. 2. Keterampilan pengajar dalam pengelola kelas. 3. Jumlah waktu yang digunakan oleh siswa untuk melakukan tugas-tugas belajar yang bersifat akademik. 4. Kemampuan pengajar dalam mengambil keputusan pembelajaran. 5. Variasi metode mengajar yang dipakai oleh pengajar. Secara umum, strategi belajar-mengajar dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok strategi, yakni : 1. Strategi yang diarahkan pengajar (teacher-directed strategies) 2. Strategi yang terpusat pada siswa (student-directed strategies) Yang termasuk ke dalam kelompok strategi yang diarahkan kepada pengajar antara lain ceramah, tanya jawab, dan drill dan latihan, sedangkan yang termasuk kelompok strategi yang terpusat kepada siswa antara lain belajar kelompok dan penyingkapan terbimbing (guided discovery). Sedangkan Borich (1988) mengelompokkan strategi belajar-mengajar menjadi dua kelompok, yaitu Direct instruction strategies dan Indirect instruction strategies. Yang menjadi dasar pengelompokan ini ialah jenis hasil belajar yang ingin dicapai. Dalam kerangka ini, hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu fakta,hokum, urutan tindakan dan konsep,pola,abstraksi. Hasil belajar jenis pertama tercermin dari perilaku kognitif, efektif dan psikomotorik taraf rendah. Sedangkan hasil belajar jenis kedua tercermin dalam perilaku kognitif, efektif, psikomotorik taraf yang lebih tinggi. Direct instruction strategies menurut Borich (1988;143) sangat cocok untuk mengajarkan atau mencapai hasil belajar kategori pertama. Sedang untuk mencapai hasil belajar jenis kedua diperlukan Indirect instruction strategies. E. HAKIKAT DAN PERANAN MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS Model pembelajaran IPS ialah suatu desain pembelajaran inquiry, yaitu sebuah metode mengajar yang berorientasi pada latihan meneliti dan mempertanyakan, istilah ini sejajar dengan metode pemecahan masalah, berpikir reflektif atau “discovery”. Secara umum, istilah “inquiry” berkaitan dengan masalah dan penelitian untuk menjawab suatu masalah. Rongers (1969), inkuiri merupakan suatu proses untuk mengajukan pertanyaan dorongan semangat belajar para siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Namun menurut Beyer (1971), inkuiri adalah lebih sekedar bertanya. Inkuiri adalah suatu proses mempertanyakan makna atau arti tertentu yang menurut seseorang menampilkan kemampan intelektual agar ide atau pemikirannya dapat dipahami. Wellton dan Mallan (1988), membandingkan istilah ”inquiry” dengan metode pemecahan masalah (problem sorving) dan bahkan dengan hafalan atau memori sebagai suatu perilaku proses. Biasanya, istilah inkuiri digunakan alam aktivitas penelitian, khususnya pada proses melakukan investigasi. Inkuiri dibutuhkan dalam proses penelitian sebagai metode untuk mengkaji fenomena. Inkuiri merupakan suatu pendekatan yang saat ini digunakan oleh para pengembang kurikulum khususnya di sekolah-sekolah Australia dan Amerika Serikat sebagai suatu pendekatan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Penggunaan pendekatan ini didasarkan atas beberapa pemikiran dari para ahli pendidikan dan hasil-hasil penelitian yang menunjukan bahwa pendekatan ini memiliki keunggulan terutama untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan pengetahuan. Sikap dan nilai para peserta didik dibanding dengan pendekatan klasikal atau tradisional. Menurut para ahli, pendekatan inkuiri adalah salah satu cara untuk mengatasi masalah kebosanan siswa dalam belajar di kelas karena proses belajar lebih terpusat kepada siswa (student-centred instruction) daripada kepaa guru (teacher-centred instruction). Salah satu komponen kurikulum yang lebih banyak mendapatkan perhatian dan pengujian adalah metode pembelajaran. Sebagai dampaknya, banyak para ahli pendidikan yang mendefisinikan metodenya sebagai dari proses pendidikan yang paling penting. Salah satu metode untuk mengatasi kebosanan siswa belajar di kelas karena pengajaran terlalu didominasi oleh pendekatan ekspositori (ceramah) yang berpusat pada guru adalah metode inkuiri. Tujuan inkuirisosial menurut Bank (1990), adalah untuk membangun teori. Tujuan social inkuiri pun diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah social sehingga mereka dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tujuan utama inkuiri social adalah memberikan kontribusi untuk para pengambil kebijakan dalam menghasilkan keputusan-keputusannya. Banks mengemukakan langkah-langkah metode pembelajaran inkuiri untuk kelas IPS sebagai berikut: 1. Perumusan Masalah (Problem Formulation) Sebelum seorang siswa melakukan penelitian tentang suatu masalah atau isu, terlebih dahulu ia harus memiliki ide yang jelas atau masalah yang akan dipecahkan. Syarat utama masalah yang harus di pecahkan adalah lengkap, tepat dan mudah diteliti. 2. Perumusan Hipotesis (Formulation of Hypotheses) Setelah para siswa merumuskan masalah atau pertanyaaan yang tepat dan dapat diteliti, selanjutnya ia berusaha merumuskan dugaan atau jawaban sementara untuk mengarahkan proses penelitian. Pernyataan atau dalil sementara yang dirumuskan oleh seorang peneliti untuk mengarahkan penelitian disebut hipotensi. 3. Definisi istilah Konseptualisasi Penelitian harus membuat definisi istilah atau konsep yang jelas tentang masalah penelitiannya walaupun pekerjaan ini merupakan masalah utama bagi para ilmuwan sosial. Kesulitannya adalah konsensus tentang arti konsep atau istilah yang belum ada. Seperti istilah agresi, kelas sosial, dan perilaku sosial adalah contoh-contoh konsep ilmu-ilmu yang didefisinikan secara bervariasi oleh para peneliti. 4. Pengumpulan data (Collection of Data) Pertanyaan di jawab dan di hipotesis di uji dengan data dan informasi yang dikumpulkan oleh peneliti. 5. Pengujian dan Analisi data (Evaluation and Analysis of Data) Seorang siswa yang meneliti dalam proses inkuiri, harus berusaha menentukan kredibilitas dan kebermaknaan informasi yang sedang dikumpulkan. Metode dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data memberikan pengaruh yang berarti terhadap data yang diperoleh. 6. Menguji Hipotesis untuk Memperoleh Generalisai dan Teori Seorang siswa calon ilmuwan sosial mulai rangkaian proses penelitian dengan sebuah pertanyaan, biasanya berkaitan dengan teori atau pengetahuan yang telah ada. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu sendiri tidak dapat diuji secara langsung. Hipotensi yang berkaitan dengan pertanyaan itu perlu menguji apakah hipotesisnya dapat dibuktikan dengan berdasarkan pada informasi yang telah terkumpul. 7. Memulai inkuiri lagi Apabila penemuaan telah menemukan bahwa data itu mendukung hipotesisnya maka dukungan terhadap teori kecemburuan dalam persaingan ekonomi akan semakin meningkat. Akan tetapi, proses penelitiannya apakah dalil-dalil teori diterima atau ditolak. Sebab perilaku manusia begitu kompleks, hampir semua teori yang ada dalam berbagai disiplin ilmu sosial mempunyai banyak dalil yang hanya dibuktikan secara sepihak. Namun demikian, model pembelajaran inkuiri yang digambarkan di atas dapat berdaurulang dan tidak bersifat linier atau terputus.