Anda di halaman 1dari 19

A.

Rasional Mempelajari IPS


Pembelajaran IPS (social studies) sangat penting bagi jenjang pendidikan dasar dan
menengah karena peserta didik yang datang ke sekolah berasal dari lingkungan yang berbeda-
beda. Sesuai dengan tingkat perkembangannya, peserta didik SD belum mampu memahami
keluasan dan kedalaman masalah-masalah sosial secara utuh, tetapi mereka dapat diperkenalkan
kepada masalah-masalah tersebut. Melalui pengajaran IPS peserta didik dapat memperoleh
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kepekaan untuk menghadapi hidup dengan tantangan-
tantangannya. Selanjutnya diharapkan mereka kelak mampu bertindak secara rasional dalam
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
Dalam hal ini, IPS berperan sebagai pendorong untuk saling pengertian dan persaudaraan
antar umat manusia, selain itu juga memusatkan perhatiannya pada hubungan antar manusia dan
pemahaman sosial. Dengan demikian, IPS dapat membangkitkan kesadaran bahwa kita akan
berhadapan dengan kehidupan yang penuh tantangan atau dengan kata lain IPS mendorong
kepekaan peserta didik terhadap hidup dan kehidupan sosial. Jadi rasionalisasi mempelajari IPS
untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah menurut Ariesta (2016) adalah agar peserta didik
dapat:
1. Mensistematisasikan bahan, informasi, dan atau kemampuan yang telah dimiliki tentang
manusia dan lingkungannya menjadi lebih bermakna.
2. Lebih peka dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung
jawab.
3. Mempertinggi rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungan sendiri dan antar manusia.
3
Melalui pengajaran pengetahuan sosial, peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu
untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang efektif. Untuk menjadi warga negara
Indonesia dan warga dunia yang efektif merupakan tantangan berat, karena masyarakat global
selalu mengalami perubahan setiap saat. Oleh karena itulah, Ilmu Pengetahuan Sosial dirancang
untuk membangun dan merefleksikan kemampuan peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat
yang selalu berubah dan berkembang secara terus menerus.
B. Sumber-Sumber Pembelajaran IPS di SD
Menurut Winataputra (2008) ada 3 sumber pembelajaran IPS yaitu :
1. Media sebagai sumber pembelajaran
Media sebagai sumber pembelajaran erat kaitannya dengan peran guru sebagai mediator
dan fasilitator. Sebagai mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang
cukup tentang media pembelajaran karena media merupakan alat komunikasi untuk lebih
mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, media merupakan dasar yang sangat
diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar
guna mencapai tujuan pembelajaran. Memilih dan menggunakan media harus sesuai dengan
tujuan, materi, metode, evaluasi dan yang lebih utama dapat memperlancar pencapaian tujuan serta
menarik minat peserta didik.
2. Kelas sebagai sumber belajar
Kelas sebagai sumber pembelajaran tidak terbatas pada pemeliharaan dan penciptaan
suasana belajar yang efektif, melainkan juga dapat dijadikan sebagai tempat pameran hasil karya
peserta didik. Kelas yang memiliki pajangan atau pameran hasil karya peserta didik dapat menjadi
tempat yang menarik dan dapat memotivasi peserta didik untuk belajar. Peserta didik belajar
melalui kegiatan mendengar, melihat, meraba, mencium dan berbuat. Hasil karya peserta didik
yang baik akan mendorong mereka untuk menggunakan panca indera penglihatannya untuk
belajar dengan membaca dan memanfaatkan hasil karya tersebut.
3. Lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan sebagai sumber pembelajaran menuntut kreativitas guru untuk
memanfaatkannya dan mengeliminasi kebiasaan mengajar yang rutinitas dan monoton. Terdapat
empat jenis sumber pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dari lingkungan yaitu: masyarakat,
lingkungan fisik, bahan sisa atau limbah serta peristiwa alam dan sosial. Memanfaatkan
lingkungan sebagai sumber pembelajaran mendorong peserta didik untuk berpikir logis dan
sistematis, karena dari lingkungan muncul berbagai fenomena yang menarik dan menantang bagi
peserta didik. Oleh karena itu, guru dituntut memiliki keterampilan di dalam kelas dan atau
membawa siswa ke luar kelas.
C. Model-Model Pembelajaran IPS di SD
Menurut Susilowaty (2013) terdapat beberapa model pembelajaran untuk mengatasi masalah
pembelajaran IPS. Beberapa dari sejumlah pendekatan yang menjadi rujukan secara parsial terliput
dalam kerangka teknis model pilihan berikut antara lain:
1. Model inkuiri
Model inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang memfokuskan kepada pengembangan
kemampuan peserta didik dalam berpikir reflektif kritis dan kreatif. Pengembangan strategi
pembelajaran dengan model inkuiri dipandang sangat sesuai dengan karakteristik materi
pendidikan pengetahuan sosial yang bertujuan mengembangkan tanggungjawab individu dan
kemampuan berpartisipasi aktif baik sebagai anggota masyarakat dan warganegara.
2. Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique)
VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan
nilai. VCT berfungsi untuk : a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu
nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun
yang negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan
suatu nilai kepada peserta didik melalui cara yang rasional dan diterima mereka sebagai milik
pribadinya.
3. Model bermain peta
Keterampilan menggunakan dan menafsirkan peta dan globe merupakan salah satu tujuan penting
dalam pembelajaran pengetahuan sosial. Peta dan globe memberikan manfaat, yaitu: a) siswa dapat
memperoleh gambaran mengenai bentuk, besar, batas-batas suatu daerah; b) memperoleh
pengertian yang lebih jelas mengenai istilah-istilah geografi; c) memahami peta dan globe. Dalam
memahami peta dan globe diperlukan beberapa syarat yaitu : (a) arah, (b) skala,; (c) lambang-
lambang,; (d) warna.
4. Pendekatan ITM (Ilmu Teknologi dan Masyarakat)
Pendekatan ITM (Ilmu, Teknologi, dan Masyarakat) atau juga disebut STS (Science-Technology-
Society) muncul menjadi sebuah pilihan jawaban atas kritik terhadap pengajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial yang bersifat tradisional. ITM dikembangkan sebagai sebuah pendekatan guna
mencapai tujuan pembelajaran yang berkaitan langsung dengan lingkungan nyata dengan cara
melibatkan peran aktif peserta didik dalam mencari informasi untuk memecahkan masalah yang
ditemukan dalam kehidupan kesehariannya.
5. Model Portofolio
Sapriya (dalam Winataputra, 2008) menegaskan bahwa portofolio merupakan karya
terpilih kelas atau siswa secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan
publik untuk membahas pemecahan terhadap suatu masalah kemasyarakatan. Makna pembelajaran
berbasis portofolio dalam pembelajaran pengetahuan sosial adalah memperkenalkan kepada
peserta didik dan membelajarkan mereka pada metode dan langkah-langkah yang digunakan dalam
proses politik kewarganegaraan atau kemasyarakatan.
D. Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran IPS di SD
Tujuan, materi pelajaran, kegiatan belajar, strategi pembelajaran (bahkan sampai pada
evaluasi) harus diorganisasikan sedemikian rupa untuk menggalakkan pembelajaran yang efektif
sehingga perlu perencanaan dan pelaksanaan. Setiap langkah yang akan dilakukan oleh guru
mengenai apa yang akan diajarkan ditentukan oleh tujuan yang dirumuskan sebelumnya. Oleh
sebab itu, perumusan tujuan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pengelola pembelajran IPS. Tujuan yang akan dicapai selama
proses belajar mengajar berlangsung dan apakah tujuan itu dapat tercapai atau tidak setelah proses
pembelajaran selesai, hendaknya ditulis dan dirumuskan terlebih dahulu oleh guru dalam satuan
pelajaran yang menuntun guru dan peserta didik ke arah proses pembelajaran yang tampak jelas
dan terarah.
Menurut Susilowaty (2013), dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ada beberapa hal
di bawah ini yang perlu mendapat perhatian yaitu :
1. Materi pelajaran
Guru hendaknya menguasai bidang studi atau mata pelajaran IPS. Materi dalam satuan pelajaran
itu disebar dalam pokok bahasan atau sub pokok bahasan kemudian dirumuskan dalam TIU
(Tujuan Instruksional Umum). Setelah itu rincian meteri yang akan disampaikan.
2. Metode
Uraikan tentang metode apa saja yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan
tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
3. Alat, sumber belajar dan media perlu diketahui dan disiapkan.
4. Pemanfaatan lingkungan sekolah
Sehubungan dengan poin 3 di atas, lingkungan sekolah perlu dimanfaatkan jika relevan dengan
proses pembelajaran seperti kebun dan tamanan di sekolah, bangunan sekolah, jalan raya di sekitar
sekolah, warung sekolah dan sebagainya.
5. Pemanfaatan ruang kelas
Sehubungan dengan hal-hal di atas juga perlu diperhatikan penempatan papan tulis, meja guru,
bangku-bangku, lemari, penggunaan dinding-dinding kelas untuk display hasil kerja peserta didik.
Begitu juga penggunaan sudut dan serambi kelas untuk pameran hasil karya peserta didik, hasil
penelitian atau hasil karya guru.
6. Pemanfaatan lingkungan.
Penggunaan sumber yang tersedia dari lingkungan fisik sekolah atau masyarakat di sekitar desa
(desa pertanian, atau desa nelayan), flora fauna, batu-batuan dan alat transportasi desa dapat
menjadi alat peraga pelajaran IPS.
7. Pemanfaatan waktu
Prinsip “semakin banyak waktu semakin banyak yang bisa dipelajari” perlu dipegang. Alokasi
waktu perlu diatur sebaik-baiknya dalam jadwal kegiatan.
8. Pemanfaatan perpustakaan dan laboratorium.
Dalam rencana pelajaran perlu dinyatakan bilamana perpustakaan dan laboratorium IPS itu
digunakan. Demikian pokok- pokok yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran ini agar tujuan-tujuan pendidikan IPS dapat tercapai dengan efektif.
MENGENAL MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
Dalam dunia pengajaran telah dikenal berbagai model mengajar, meskipun tidak ada satu
model yang paling tepat untuk segala tujuan dan kondisi. Semua model mempunyai kekuatan dan
kelemahan masing-masing.
Model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman
dalam melakukan sesuatu kegiatan. Dalam pengertian lain model juga dapat diartikan sebagai
barang atau benda tiruan dari barang atau benda yang sesungguhnya. Dalam uraian selanjutnya,
istilah model digunakan untuk menunjukkan pengertian yang pertama, yaitu kerangka konseptual.
Dari pengertian tersebut, maka model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Udin Saripudin,
1994;78).
Dari hasil kajian terhadap berbagai model belajar-mengajar yang secara khusus telah
dikembangkan dan dites oleh para pakar pendidikan di bidang itu, Joy dan Weil (1986)
mengelompokkan model-model tersebut ke dalam tempat rumpun, yakni :
1. Rumpun model pemrosesan informasi.
2. Rumpun model personal.
3. Rumpun model interaksi sosial.
4. Rumpun model behavioral (tingkah laku).
Secara ringkas berikut akan dikemukakan masing-masing model .
1. Rumpun Model Pemrosesan Informasi
Model-model mengajar yang tergolong rumpun ini berorientasi kepada kecakapan siswa
dalam memproses informasi dan cara-cara mereka dapat memperbaiki kecakapan untuk menguasai
informasi. Pemrosesan informasi mengacu kepada cara-cara orang menangani rangsangan dari
lingkungan, mengorganisasi data, melihat masalah, mengembangkan konsep, memecahkan
masalah, dan menggunakan lambang-lambang verbal dan non-verbal. Beberapa informasi
menekankan kepada aspek kecakapan pelajar untuk memecahkan masalah, dan menekankan aspek
berpikir yang produktif, sedangkan beberapa lainnya lebih menekankan kepada kecakapan
intelektual umum. Model-model ini juga menekankan konsep-konsep dan informasi yang
dijabarkan dari disiplin-disiplin akademik. Di samping itu model-model ini juga memperhatikan
aspek hubungan sosial dan perkembangan fungsi diri pribadi secara terpadu melalui fungsi
intelektual.
Model-model belajar-mengajar yang tergolong rumpun ini adalah sebagai berikut :
a. Model Berpikir Induktif (Hilda Taba)
Tujuan : Dirancang untuk perkembangan proses mental induktif dan penalaran akademik atau
pembentukan teori.
b. Model Latihan Inkuiri (Richard Suchman)
Tujuan : Dirancang untuk mengajar murid untuk menghadapi penalaran kasual, dan untuk lebih
fasih dan tepat dalam mengajukan pertanyaan, membentuk konsep dan hipotesis. Model ini pada
mulanya digunakan dalam sains, tetapi kemampuan-kemampuan ini berguna untuk tujuan-tujuan
pribadi dan sosial.
c. Model Inkuiri Ilmiah (Joseph J. Schab)
Tujuan : Dirancang untuk mengajar system penelitian dari suatu disiplin, tetapi juga diharapkan
untuk mempunyai efek dalam kawasan-kawasan lain (metode-metode sosial mungkin diajarkan
dalam upaya meningkatkan pemahaman sosial dan pemecahan masalah sosial).
d. Penemuan Konsep (Jerome Bruner)
Tujuan : Dirancang terutama untuk mengembangkan penalaran induktif, tetapi juga untuk
pengembangan dan analisis konsep.
e. Pertumbuhan Kognitif (Jean Pieget, Irving Sigel, Edmund Sulivan, Lawrence Kohlberg)
Tujuan : Dirancang untuk meningkatkan perkembangan intelektual, terutama penalaran logis,
tetapi juga dapat diterapkan pada perkembangan sosial dan moral.
f. Model Penata Lanjutan (David Ausubel)
Tujuan : Dirancang untuk meningkatkan efisiensi kemampuan pemrosesan informasi untuk
menyerap dan mengaitkan bidang-bidang pengetahuan.
g. Model Memori (Harary Lorayne, Jerry Lucas)
Tujuan : Dirancang untuk meningkatkan kemampuan mengingat.

2. Rumpun Model-Model Personal


Rumpun model-model personal, berorientasi kepada individu dan perkembangan keakuannya
(selfhood). Rumpun ini menekankan kepada proses di mana individu membentuk dan menata
realitas keunikannya. Perhatian banyak diberikan kepada kehidupan emosional. Mengajar dengan
model-model ini banyak memusatkan pada upaya membantu individu untuk mengembangkan
suatu yang produktif dengan lingkungannya dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap
sehingga mampu lebih memperkaya hubungan antarpribadi dan lebih cakap dalam pemrosesan
informasi secara efektif.
Model-model yang tergolong dalam rumpun ini adalah sebagai berikut :
a. Model Pengajaran non-direktif (Carl Rogers)
Tujuan : Penekanan pada pembentukan kemampuan untuk perkembangan pribadi dalam arti
kesadaran diri, pemahaman diri, kemandirian dan konsep diri.
b. Model Latihan Kesadaran (Fritz Perls, Wilham Schuts)
Tujuan : Meningkatkan kemampuan seseorang untuk eksplorasi diri dan kesadaran diri. Banyak
menekankan pada perkembangan kesadaran dan pemahaman antarpribadi.
c. Model Sinektik (Wilham Gordon)
Tujuan : Perkembangan pribadi dalam kreativitas dan pemecahan masalah kreatif.
d. Model Sistem-Sistem Konseptual (David Hunt)
Tujuan : Dirancang untuk meningkatkan kekompleksan dan keluwesan pribadi.
e. Model Pertemuan Kelas (Willian Glasser)
Tujuan : Perkembangan pemahaman diri dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan kelompok
sosial.
3. Rumpun Model-Model Interaksi Sosial
Model-model mengajar dalam rumpun ini menekankan pada hubungan individu dengan
orang lain atau masyarakat. Rumpun ini memusatkan pada proses dimana kenyataan ditawarkan
secara sosial. Sebagai konsekuensinya, model-model yang berorientasi tersebut di atas,
memberikan prioritas untuk memperbaiki kecakapan individu untuk berhubungan dengan orang
lain, untuk bertindak dalam proses yang demokratis, dan untuk bekerja secara produktif dalam
masyarakat. Meskipun rumpun model ini lebih menekankan pada hubungan sosial dibandingkan
dengan aspek lainnya, para tokoh dalam rumpun model-model ini juga menekankan
perkembangan kesadaran dan perkembangan diri (self), dan belajar bidang studi yang bersifat
akademik.
Model-model belajar-mengajar yang tergolong rumpun ini adalah sebagai berikut :
a. Model Penemuan Kelompok (Herbert Telen, John Dewey)
Tujuan : Perkembangan keterampilan untuk partisipasi dalam proses sosial yang demokratis
melalui penekanan yang dikombinasikan pada keterampilan-keterampilan antarpribadi
(kelompok) dan keterampilan-keterampilan penemuan akademik. Aspek perkembangan pribadi
merupakan hal yang penting dalam model ini.
b. Model Inkuiri (Penemuan) Sosial (Bryon Massiolas, Benyamin Cux)
Tujuan : Pemecahan masalah sosial, terutama melalui penemuan sosial dan penalaran logis.
c. Model Metode Laboratori (National Teaching Laboratory (NTL), Bethel Maine)
Tujuan : Perkembangan keterampilan antarpribadi dan kelompok melalui kesadaran dan
keluwesan pribadi.
d. Model Jurisorudensial (Donald Oliver, James P. Dhaver)
Tujuan : Dirancang terutama untuk mengajarkan kerangka acuan jurisprudensial sebagai cara
berpikir dan penyelesaian isu-isu sosial.
e. Model Bermain Peran (Fannie Shafel, George Fhafel)
Tujuan : Dirancang untuk mempengaruhi siswa agar menemukan nilai-nilai pribadi dan sosial.
Perilaku dan nilai-nilainya diharapkan anak menjadi sumber bagi penemuan berikutnya.
f. Model Simulasi Sosial (Serene Bookock, Harold Guetzkow)
Tujuan : Dirancang untuk membantu siswa mengalami bermacam-macam proses dan kenyataan
sosial, dan untuk menguji reaksi mereka, serta untuk memperole konsep keterampilan pembuatan
keputusan.
4. Rumpun Model-Model Behavioral (Perilaku)
Semua model-model mengajar yang tergolong dalam rumpun ini bersumber dari kerangka
teori yang sama yaiu teori behavioral. Istilah-istilah lain yang sejenis dan sering dipergunakan
adalah teori belajar, teori belajar sosial, modifikasi perilaku dan terapi perilaku. Rumpun model-
model ini lebih menekankan pada aspek perubahan perilaku siswa yang nyata dan dapat diamati
daripada struktur psikologis dan perilaku yang tidak dapat diamati. Model-model perilaku
mempunyai penerapan yang luas dan diarahkan kepada bermacam-macam tujuan pendidikan,
latihan pribadi antarpribadi dan terapi. Berdasarkan kepada pengendalian stimulus dan penguatan,
model-model behavioral telah berhasil menerapkan kondisi-kondisi antara, baik secara individu
maupun kelompok. Salah satu karakteristik umum pada model-model perilaku adalah dalam hal
penjabaran tugas-tugas yang harus dipelajari siswa, yaitu tugas-tugas yang harus dipelajari
menjadi serangkaian perilaku dalam bentuk yang lebih kecil dan berurutan. Pada umumnya
pengendalian perilaku terletak pada pihak guru, meskipun siswa pun mempunyai kesempatan
untuk mengendalikan perilakunya.
Model-model yang termasuk rumpun ini adalah sebagai berikut :
a. Model Manajemen Kontingensi (B. F. Skinner)
Tujuan : Fakta-fakta, konsep, keterampilan.
b. Model Kontrol Diri (B. F. Skinner)
Tujuan : Perilaku/keterampilan sosial.
c. Model Relaksasi (Santai) (Rimm dan Masters,Wolpe)
Tujuan : Tujuan-tujuan pribadi (mengurangi ketegangan dan kecemasan).
d. Model Pengurangan Ketegangan (Rimm dan Masters, Wolpe)
Tujuan : Mengalihkan kesantaian kepda kecemasan dalam situasi sosial.
e. Model Latihan Asertif (Wolpe, Lazarus, Solter)
Tujuan : Ekspresi perasaan secara langsung dan spontan dalam situasi sosial.
f. Model Latihan Langsung (Gagne, Smith dan Smith)
Tujuan : Pola-pola perilaku, keterampilan.

B. MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS


1. Pengertian Pembelajaran
Secara umum pembelajaran merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan dalam tingkah
laku sebagai hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan
hidup. Secara lengkap pengertian pembelajaran dapat dirumuskan sebagai berikut : Pembelajaran
ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya (Mohammad Surya, 1996;9). Beberapa prinsip yang menjadi landasan
pengertian di atas ialah :
1. Pembelajaran sebagai usaha memperoleh perubahan tingkah laku. Tetapi tidak semua
perubahan tingkah laku sebagai hasil pembelajaran.
2. Hasil pembelajaran ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan. Perubahan
tingkah laku itu meliputi tingkah laku kognitif, afektif, atau motorik. Pembelajaran yang hanya
menghasilkan perubahan satu atau dua aspek tingkah laku disebut sebagai pembelajaran sebagian
(partial learning) dan bukan pembelajaran lengkap (complete learning).
3. Pembelajaran merupakan suatu proses. Selama proses pembelajaran itu individu tidak terlepas
dari lingkungannya dan pembelajaran tersebut berisat dinamis dan saling berkaitan.
4. Proses pembelajaran terjadi karena adanya suatu yang mendorong dan ada tujuan yang akan
dicapai.
5. Pembelajaran merupakan bentuk pengalaman.

2. Pengertian Konsep dan Generalisasi (Konsep Dasar) IPS


2.1 Pengertian Konsep
Konsep ialah kumpulan fakta-fakta yang memiliki interelasi kuat satu sama lain sehingga
membentuk suatu pengertian yang bulat. Dalam rumusan yang sederhana konsep ialah suatu
bayangan pikiran atau tanggapan yang bulat tentang sesuatu. Bayangan pikiran atau tanggapan
mana terdiri dari serentetan gejala atau fakta untaian uraian yang satu sama lain bertautan dan
menciptakan suatu kebulatan pengertian (Kosasih Djahiri 1978/1979;97).
2.2 Pengertian Konsep Dasar IPS
Konsep IPS yaitu kata atau ungkapan yang memiliki ciri yang menonjol dan tidak dapat dipisahkan
dari konteks IPS tersebut (James G. Womack 1970;30). Kata yang merupakan konsep ini selain
dapat mengungkapkan pengertian denotatif, juga memiliki ungkapan yaitu pengertian kata yang
didefenisikan di dalam kamus. Sedangkan pengertian konotatifnya yaitu pengertian dalam arti
luas. Yang menyangkut pengertian, fungsi, pengertian lainnya yang terkandung dalam kata atau
ungkapan tadi. Pengertian konotatifnya inilah yang mencirikan kata atau ungkapan pada suatu
kompleks yang memberikan arti kunci yang menonjol kepada konteks tersebut. Perngertian
konotatid konsep tersebut sangat erat hubungannya dengan keseluruhan uraian atau keseluruhan
pembahasan IPS. Berikut ini beberapa contoh konsep dalam IPS :
1. Pasar, produksi, konsumen (ekonomi)
2. Lokasi, sungai, gunung (geografi)
3. Kebudayaan, norma-norma, hokum (antropologi)
4. Keluarga, teman, masyarakat (sosiologi)
Khusus konsep IPS di SD termasuk keluarga, masyarakat setempat, uang tabungan, pajak ekonomi
setempat wilayah provinsi wilayah kepulauan, pemerintah daerah Negara RI dan pengenalan
kawasan dunia.
Kumpulan sejumlah konsep yang memiliki interelasi serta merupakan suatu kebulatan pengertian
dinamakan generalisasi atau konsep dasar (basic concept). Jadi generalisasi itu adalah hubungan
dua konsep atau lebih dalam bentuk kalimat lengkap, yang merupakan deklaratif dan dapat
dijadikan suatu prinsip atau ketentuan bagi IPS.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, kita dapat menarik beberapa perbedaan dasar
antara konsep dengan generalisasi (konsep dasar). Jika konsep hanya sampai kepada pengertian
konotatif maka generalisasi harus merupakan kalimat penyataan deklaratif yang berlaku sebagai
suatu prinsip atau ketentuan pada konteks IPS. Jika konsep merupakan pengertian yang dapat
terlepas dari konsep-konsep lainnya, maka generalisasi merupakan hubungan dari beberapa
konsep. Dengan dapat dikuasainya perbedaan antara konsep dengan konsep dasar, guru dan siswa
dapat melakukan pemilihan konsep dan pengembangan generalisasi secara wajar dan terarah.
3. Langkah-Langkah Mengajarkan Konsep
Agar guru dapat mencapai tujuan dalam mengajar dengan menggunakan model pembelajaran
konsep dasar IPS, perlu dilakukan langkah sebagai berikut :
a. Mencari unsur-unsur yang termasuk konsep tersebut dan kemudian mengelompokkannya
serta memilih konsep mana yang menjadi pilihan sebagai pokok bahasan.
b. Menentukan dan merumuskan tujuan instruksional.
c. Memilih situasi dan media yang mendukung pelajaran tentang konsep tersebut serta dapat
memperlancar pencapaian tujuan instruksional tersebut.
d. Merencanakan dan mencari hal-hal yang diperkirakan membantu siswa dalam proses
pemahaman dan pemantaoan konsep.
e. Mencari dan menemukan cara penyajian dan pengembangan proses internalisasi konsep
secara lengkap.

4. Model-Model Pembelajaran Konsep Dasar IPS


Agar pencapaian tujuan pengajaran IPS terlaksana dengan baik, diperlukan model pembelajaran
yang dianggap dan diperkirakan paling efektif dalam menyajikan materi pengajaran IPS,
khususnya di SD.
Ada beberapa alternatif model-model pembelajaran IPS, seperti model Lecturing (ceramah yang
disempurnakan), model pembelajaran konsep dasar IPS keterampilan berpikir (thinking skills)
yang terdiri dari dua, yaitu keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills) dan keterampilan
berpikir kreatif (creative thinking skills). Khusus untuk SD, tujuan keterampilan dasar yang
berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
I. Model Lecturing (Ceramah) yang Disempurnakan
a. Pangkal tolak pikir dan permasalahannya
Lecturing pada hakikatnya memberikan pelajaran dengan ceramah, dimana guru berada di muka
kelas, memimpin, dan menentukan isi dan jalannya pelajaran serta mentransfer (menuangkan)
segala rencana pelajarannya (kebanyakan dengan lisan) yang menurutnya baik atau perlu bagi
siswanya.
Teknik ini paling banyak digunakan dalam rapat, menyampaikan pelajaran, diskusi, dan bahkan
dalam lokakarya. Para guru umumnya banyak menggunakan teknik ini dikarenakan kebiasaan
kiprah umum, kebiasaan yang membaku pada dirinya, murah, mudah dan cepat serta tidak
memerlukan fasilitas-fasilitas yang banyak, ketidaktahuan akan cara teknik lainnya, dan faktor
jumlah program dan kurangnya waktu.
b. Lecturing menjadi kelumrahan dalam mengajar
Keberhasilan, kemantapan dan kelestarian hasil pelajaran apabila menggunakan model lecturing
sangat diragukan. Terlebih bagi kelas rendah. Sebab pada lecturing siswa dibawa ke dalam alam
verbal (lisan) dan abstrak dengan tempo proses internalisasi (pemantapan/pemahaman) yang relatif
sangat singkat.
Rentetan ucapan guru yang demikian banyak (apalagi jika bersifat kompleks) serta tempo bicara
yang beruntun memkasa siswa menangkap (melalui telinga, mata, pikiran dan tangan untuk
menulis) semampunya saja. Dan sebagai manusia, siswa memiliki daya mampu yang terbatas,
yang kian lama kian menurun. Hampir tidak asa siswa yang memiliki daya mampu dengar, lihat,
menulis dan berpikir selama 2x45 menit secara konstan.
Sejumlah faktor dan persyaratan untuk ini perlu selalu kita perhatikan. Karena apabila tidak, proses
ini hanya dengan verbal belaka sejumlah tahapan proses hilang atau kurang mantap. Dan apabila
dilakukan melalui membaca (dari papan tulis atau buku) maka daya mampu baca siswa harus
diperhatikan. Kemampuan membaca pada anak sangat berlainan dan tergantung pada tingkat
usianya (Prof. Eve Malmoquist). Daya baca ini kian lama kian menurun. Apabila diingat bahwa
yang penting dalam membaca bukan membaca huruf-huruf, melainkan sambil menghayati dan
berpikir.
Dapatkah kesemua hal di atas terpenuhi oleh teknik ceramah? Bahwa ini tidak dapat kita hapuskan
sama sekali, memang diakui. Namun perlu direnungi kemanfaatan dan cara yang maksimal.
c. Kelebihan Lecturing
1. Dapat mentansfer ide dan memberikan analisis sejelas-jelasnya.
2. Dapat melihat dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan siswanya.
3. Sangat tepat untuk menyampaikan informasi.
4. Tepat untuk keadaan dimana siswa berbanding guru tidak seimbang, dengan disertai teknik
dan variasi tambahan/pengayaan.
5. Dapat dengan segera mengetahui keadaan dan daya terima siswa, hasil transaksi belajar
melalui cara-cara tertentu.
6. Bila terjadi kekeliruan penyampaian atau bahan, dapat segera diperbaiki.
7. Dengan variasi visual dapat lebih menarik dan hidup.
8. Sangat mudah diksanakan, murah dan cepat.
d. Kekurangan Lecturing
1. Bersifat satu arah, sehingga lebih bersifat transferring (penuangan) ilmu.
2. Mono teknik dan mematikan kerja indra lain serta adanya penurunan daya indra yang
digunakan.
3. Penyamarataan daya mampu siswa, bahkan sering sama sekali tidak diperhatikan oleh guru
(guru sentris).
4. Bila persiapannya buruk, bahan tidak sistematis, konsep tidak diperhatikan, dan cara
pembawaannya jelek, maka pelaksaannya menjadi kacau, menyulitkan siswa dan kehilangan arah.
5. Sering membosankan dan tidak menarik bagi siswa, sebab minat siswa tidak/kurang
diperhatikan.
6. Pada lembaga keguruan (IKIP,SPG atau lainnya) apa yang dikerjakan guru, cenderung ditiru
siswa sebagai model.
7. Hasil belajar kurang baik/kurang mantap.
e. Beberapa variasi kearah menyempurnakan lecturing
Maksud daripada hal ini kiranya jelas yaitu memberi sejumlah variasi teknik belajar-mengajar
kedalam teknik lecturing untuk mengurangi kelemahan dari teknik ini dan menghidupkan suasana
belajar-mengajar. Tentu saja patut diperhatikan dalam memuaskan variasi antara lain :
1. Tujuan instruksional yang ingin dicapai
2. Jenis konsep/informasi yang akan disajikan
3. Keadaan siswa, waktu, fasilitas dan lingkungan/suasana belajar
Adapun variasi-variasi yang diketengahkan, bersifat umum dan jugement (perkiraan dalam waktu
dan jumlah kegiatannya).
1. Model Variasi A :
- Babak I (pembukaan dapat memilih alternatif pilihan seperti pembicaraan ilmiah popular
bertautan dengan pelajaran, guru menuliskan atau memasang gambar atau judul, menampilkan
sejumlah alat peraga, dll).
- Babak II (fase mengemukakan informasi pokok).
2. Model Variasi B :
- Lecturing sebagai pembukaan guru.
- Simulasi (sosio drama), diskusi/kerja kelompok, tanya jawab, dll.
- Lecturing penyimpulan atau penegasan konsep dari guru dan siswa dapat diikutsertakan.
3. Model Variasi C :
- Ulasan singkat/pembukaan uraian singkat.
- Kerja kelompok/klasikal atau studi ke perpustakaan.
- Role playing/ sosio drama/ simulasi eksperimentasi atau peragaan, dll.
- Penelaahan/penilaian hasil di atas secara klasikal/kelompok.
- Lecturing/uraian/pembahasan guru.
- Dialog/Tanya jawab guru dan siswa dan pengambilan kesimpulan serta evaluasi.
4. Model Variasi D :
Model ceramah dibawakan oleh ahli yang bersangkutan, sehingga suasana pelajaran sebagaimana
keadaan dan gambar sebenarnya. Misalnya ceramah/pelajaran sejarah tentang revolusi dibawakan
oleh tokohnya yang diundang khusus atau melalui rekaman video.
5. Model Variasi E :
Model yang lumrah dikenal dengan nama team teaching yang baik dan terencana.

II. Keterampilan Berpikir Kritis (Critical Thinking Skills)


Menurut Johnson (1991), merumuskan istilah berpikir kritis (critical thinking) secara etimologi
menyatakan bahwa kata “critic” dan “critical” berasal dari “krenein” yang berarti menaksir nilai
sesuatu. Ia menjelaskan bahwa kritik adalah perbuatan seorang yang mempertimbangkan,
menghargai dan menaksir nilai sesuatu hal. Tugas seorang berpikir kritis adalah menerapkan
norma dan standar yang tepat terhadap sesuatu hasil. The Group of Five (Etnis 1989; Lipman 1988;
Siegel 1988; Paul 1989; McPeck 1981), menyimpulkan bahwa ada tiga persetujuan subtansi dari
kemampuan berpikir kritik yaitu Berpikir kritis memerlukan sejumlah kemampuan kognitif,
berpikir kritis memerlukan sejumlah informasi dan pengetahuan, berpikir kritis mencakup dimensi
afektif yang semuanya menjelaskan dan menekankan secara berbeda-beda. Sedangkan berpikir
kritis adalah untuk menilai suatu pemikiran, menaksir nilai bahkan mengevaluasi pelaksanaan atau
praktek dari suatu pemikiran dan nilai tersebut. Selain itu, berpikir kritis meliputi aktivitas
mempertimbangkan berdasarkan pada pendapat yang diketahui. Menurut Lipman (1988),
layaknya pertimbangan-pertimbangan ini hendaknya didukung oleh kriteria yang dapat
dipertanggungjawabkan.

III. Keterampilan Berpikir Kreatif (Creative Thinking Skills)


Menurut Savage and Amstrong (1996), syarat untuk memasuki sikap berpikir kritis adalah sikap
siswa memunculkan ide-ide atau pemikiran baru; siswa membuat pertimbangan dan penilaian atau
taksiran berdsarkan kreteria yang dapat dipertanggung jawabkan. Preston dan Herman (1974),
inkuiri dan ketrampilan berpikir kritis tumbuh subur di kelas III. Menurut (Wiken, 1995; Beyer,
1985; Fraenkel, 1980), pengajaran berpikir kritis meliputi pendekatan, strategi, perencanaan, dan
sikap siswa dalam berpikir kritis. Model ini pernah dijelaskan oleh beliau pada Studi sosial di
Amerika Serikat.
Keterampilan berpikir kritis menurut Beyer yaitu :
a. Membedakan fakta dan nilai dari suatu pendapat.
b. Menentukan reliabilitas sumber.
c. Menentukan akurasi fakta dari suatu pertanyaan.
d. Membedakan informasi.
e. Mendeteksi penyimpangan.
f. Mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan.
g. Mengidentifikasi tuntutan dan argumentasi yang tidak jelas.
h. Mengakui perbuatan keliru dan konsisten.
i. Membedakan antara pendapat yang dapat dan tidak dapat dikerjakan.
j. Menentukan kekuatan argument.
Menurut Beyer strategi berpikir kritis yang cukup efektif untuk Proses Belajar Mengajar (PBM),
ialah Strategi innduktif yang bersifat direktif. Adapun langkah-langkah yang harus dipersiapkan
guru adalah :
a. Memperkenalkan keterampilan.
b. Siswa mencoba keterampilan sebaik mungkin.
c. Menggambarkan serta mengartikulasi apa yang terjadi dalam pikiran ketika menerapkan
keterampilan tersebut.
d. Menerapkan pengetahuan tentang keterampilan baru untuk diterapkan lagi.
e. Meninjau lagi apa yang terpikir ketika keterampilan tersebut diterapkan.
Menurut Beyer strategi berpikir kritis yang kedua adalah strategi direktif yang artinya memberikan
kesempatan pada siswa untuk menguasai dan memahami betul komponen ketrampilan tersebut
sejak permulaan. Strategi ini digunakan bila ketrampilan siswa agak kompleks. Dalam strategi ini
memerlukan bimbingan khusus. Beyer merumuskan ada 5 langkah dalam penerapan strategi
direktif, yaitu :
a. Memperkenalkan keterampilan berpikir kritis.
b. Menjelaskan prosedur dan aturan keterampilan.
c. Menunjukkan bagaimana keterampilan itu digunakan di kemudian hari.
d. Menerapkan keterampilan tersebut mengikuti langkah dan aturan yang jelas.
e. Menggambarkan tetang apa yang terjadi dalam pikiran siswa ketika keterampilan itu
diterapkan.
C. IMPLEMENTASI MODEL-MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS
Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah baik masalah pribadi maupun masalah sosial
sangat diperlukan karena pada hakekatnya siswa hidup ditengah lingkungan masyarakat yang
penuh dengan benih-benih munculnya masalah. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan untuk
mendewasakan siswa, maka salah satu indikator dewasa adalah kemampuan akan kemandirian
sebagai warga masyarakat. Model pembelajaran “problem solving” pemecahan masalah
merupakan alternatif model pembelajaran dalam IPS.
1. Model Pembelajaran “Problem Solving”
Ada 4 tahapan proses pemecahan masalah menurut Savage dan Armstrong, yaitu :
a. Mengenal adanya masalah.
b. Mempertimbangkan pendekatan-pendekatan untuk pemecahannya.
c. Memilih dan menerapkan pendekatan-pendekatan tersebut.
d. Mencapai solusi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan menurut Wilkins (1990), menguraikan 6 langkah model pembelajaran “problem
solving”, yaitu :
a. Mengklasifikasikan dan mendefenisikan masalah.
b. Mencari alternatif solusi.
c. Menguji alternatif solusi.
d. Memilih solusi.
e. Bertindak sesuai dengan pilihan solusi.
f. Tindak lanjut (follow-up).
2. Model Pembelajaran Penemuan (Problem Solving Inkuiri)
Secara umum batasan yang tegas antara tiga pendekatan/ model pembelajaran tersebut belum ada
kesepakatan. Persamaan dari ketiga model pembelajaran tersebut adalah semua mensyaratkan
adanya keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar melalui proses penelitian, yaitu meneliti
hubungan antar sejumlah data/ informasi untuk tercapainya suatu solusi.
Untuk mengatasi kerancuan, Welton and mallan (1988) mengemukakan bahwa penggunaan model
pembelajaran “problem solving” agak berbeda bila diterapkan pada mata pelajaran yang berbeda.
D. PEMILIHAN MODEL BELAJAR MENGAJAR YANG EFEKTIF
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan mengenal model belajar yang berlaku umum
yang diperkirakan lebih cocok untuk berbagai tujuan. Dalam uraian tersebut, istilah model belajar-
mengajar digunakan dalam istilah yang berbeda, sementara itu beberapa penulis seperti Borich
juga Huoston dkk. menggunakan istilah Strategi Belajar-Mengajar dalam pengertian yang sama
untuk menggambarkan keseluruhan prosedur yang sistematis untuk mencapai tujuan. Dalam
uraian ini istilah Strategi Belajar-Mengajar digunakan untuk menunjukkan siasat atas keseluruhan
aktivitas yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan tujuan pendidikan, sedangkan istilah Model
Belajar-Mengajar menurut Joyce dan Weil (1986) digunakan untuk menunjukkan sosok utuh
konseptual dari aktivitas belajar-mengajar yang secara keilmuan dapat diterima dan secara
operasional dapat dilakukan. Karena itu dalam model selalu terdapat tujuan dan asumsi
sintakmatik, system sosial, system pendukung dan dampak instruksional dan pengiring.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model belajar-mengajar itu merupakan inti atau
jantung dari strategi mengajar (Udin Saripudin, 1994;151). Walaupun secara teoritik tersedia
cukup banyak model belajar-mengajar yang dapat dipakai oleh pengajar di dalam pelaksanaan
pengajaran, mengajar seyogyanya memilih model mana yang dianggap atau diperkirakan paling
efektif.
Menurut Huoston, Clift, Freiberg, dan Wamer (1988) terdapat lima faktor yang menentukan
efektivitas mengajar para pengajar, yaitu :
1. Ekspektasi pengajar tentang kemampuan siswa yang akan dikembangkan.
2. Keterampilan pengajar dalam pengelola kelas.
3. Jumlah waktu yang digunakan oleh siswa untuk melakukan tugas-tugas belajar yang bersifat
akademik.
4. Kemampuan pengajar dalam mengambil keputusan pembelajaran.
5. Variasi metode mengajar yang dipakai oleh pengajar.
Secara umum, strategi belajar-mengajar dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok strategi,
yakni :
1. Strategi yang diarahkan pengajar (teacher-directed strategies)
2. Strategi yang terpusat pada siswa (student-directed strategies)
Yang termasuk ke dalam kelompok strategi yang diarahkan kepada pengajar antara lain ceramah,
tanya jawab, dan drill dan latihan, sedangkan yang termasuk kelompok strategi yang terpusat
kepada siswa antara lain belajar kelompok dan penyingkapan terbimbing (guided discovery).
Sedangkan Borich (1988) mengelompokkan strategi belajar-mengajar menjadi dua kelompok,
yaitu Direct instruction strategies dan Indirect instruction strategies. Yang menjadi dasar
pengelompokan ini ialah jenis hasil belajar yang ingin dicapai. Dalam kerangka ini, hasil belajar
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu fakta,hokum, urutan tindakan dan
konsep,pola,abstraksi.
Hasil belajar jenis pertama tercermin dari perilaku kognitif, efektif dan psikomotorik taraf rendah.
Sedangkan hasil belajar jenis kedua tercermin dalam perilaku kognitif, efektif, psikomotorik taraf
yang lebih tinggi.
Direct instruction strategies menurut Borich (1988;143) sangat cocok untuk mengajarkan atau
mencapai hasil belajar kategori pertama. Sedang untuk mencapai hasil belajar jenis kedua
diperlukan Indirect instruction strategies.
E. HAKIKAT DAN PERANAN MODEL PEMBELAJARAN KONSEP DASAR IPS
Model pembelajaran IPS ialah suatu desain pembelajaran inquiry, yaitu sebuah metode
mengajar yang berorientasi pada latihan meneliti dan mempertanyakan, istilah ini sejajar dengan
metode pemecahan masalah, berpikir reflektif atau “discovery”. Secara umum, istilah “inquiry”
berkaitan dengan masalah dan penelitian untuk menjawab suatu masalah.
Rongers (1969), inkuiri merupakan suatu proses untuk mengajukan pertanyaan dorongan
semangat belajar para siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Namun menurut Beyer
(1971), inkuiri adalah lebih sekedar bertanya. Inkuiri adalah suatu proses mempertanyakan makna
atau arti tertentu yang menurut seseorang menampilkan kemampan intelektual agar ide atau
pemikirannya dapat dipahami.
Wellton dan Mallan (1988), membandingkan istilah ”inquiry” dengan metode pemecahan
masalah (problem sorving) dan bahkan dengan hafalan atau memori sebagai suatu perilaku proses.
Biasanya, istilah inkuiri digunakan alam aktivitas penelitian, khususnya pada proses melakukan
investigasi. Inkuiri dibutuhkan dalam proses penelitian sebagai metode untuk mengkaji fenomena.
Inkuiri merupakan suatu pendekatan yang saat ini digunakan oleh para pengembang kurikulum
khususnya di sekolah-sekolah Australia dan Amerika Serikat sebagai suatu pendekatan dalam
proses belajar mengajar di sekolah. Penggunaan pendekatan ini didasarkan atas beberapa
pemikiran dari para ahli pendidikan dan hasil-hasil penelitian yang menunjukan bahwa pendekatan
ini memiliki keunggulan terutama untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan pengetahuan.
Sikap dan nilai para peserta didik dibanding dengan pendekatan klasikal atau tradisional.
Menurut para ahli, pendekatan inkuiri adalah salah satu cara untuk mengatasi masalah kebosanan
siswa dalam belajar di kelas karena proses belajar lebih terpusat kepada siswa (student-centred
instruction) daripada kepaa guru (teacher-centred instruction).
Salah satu komponen kurikulum yang lebih banyak mendapatkan perhatian dan pengujian adalah
metode pembelajaran. Sebagai dampaknya, banyak para ahli pendidikan yang mendefisinikan
metodenya sebagai dari proses pendidikan yang paling penting. Salah satu metode untuk mengatasi
kebosanan siswa belajar di kelas karena pengajaran terlalu didominasi oleh pendekatan ekspositori
(ceramah) yang berpusat pada guru adalah metode inkuiri. Tujuan inkuirisosial menurut Bank
(1990), adalah untuk membangun teori. Tujuan social inkuiri pun diharapkan dapat membantu
masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah social sehingga mereka dapat memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Tujuan utama inkuiri social adalah memberikan kontribusi untuk para
pengambil kebijakan dalam menghasilkan keputusan-keputusannya.
Banks mengemukakan langkah-langkah metode pembelajaran inkuiri untuk kelas IPS sebagai
berikut:
1. Perumusan Masalah (Problem Formulation)
Sebelum seorang siswa melakukan penelitian tentang suatu masalah atau isu, terlebih dahulu ia
harus memiliki ide yang jelas atau masalah yang akan dipecahkan. Syarat utama masalah yang
harus di pecahkan adalah lengkap, tepat dan mudah diteliti.
2. Perumusan Hipotesis (Formulation of Hypotheses)
Setelah para siswa merumuskan masalah atau pertanyaaan yang tepat dan dapat diteliti, selanjutnya
ia berusaha merumuskan dugaan atau jawaban sementara untuk mengarahkan proses penelitian.
Pernyataan atau dalil sementara yang dirumuskan oleh seorang peneliti untuk mengarahkan
penelitian disebut hipotensi.
3. Definisi istilah Konseptualisasi
Penelitian harus membuat definisi istilah atau konsep yang jelas tentang masalah penelitiannya
walaupun pekerjaan ini merupakan masalah utama bagi para ilmuwan sosial. Kesulitannya adalah
konsensus tentang arti konsep atau istilah yang belum ada. Seperti istilah agresi, kelas sosial, dan
perilaku sosial adalah contoh-contoh konsep ilmu-ilmu yang didefisinikan secara bervariasi oleh
para peneliti.
4. Pengumpulan data (Collection of Data)
Pertanyaan di jawab dan di hipotesis di uji dengan data dan informasi yang dikumpulkan oleh
peneliti.
5. Pengujian dan Analisi data (Evaluation and Analysis of Data)
Seorang siswa yang meneliti dalam proses inkuiri, harus berusaha menentukan kredibilitas dan
kebermaknaan informasi yang sedang dikumpulkan. Metode dan teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data memberikan pengaruh yang berarti terhadap data yang diperoleh.
6. Menguji Hipotesis untuk Memperoleh Generalisai dan Teori
Seorang siswa calon ilmuwan sosial mulai rangkaian proses penelitian dengan sebuah pertanyaan,
biasanya berkaitan dengan teori atau pengetahuan yang telah ada. Namun, pertanyaan-pertanyaan
itu sendiri tidak dapat diuji secara langsung. Hipotensi yang berkaitan dengan pertanyaan itu perlu
menguji apakah hipotesisnya dapat dibuktikan dengan berdasarkan pada informasi yang telah
terkumpul.
7. Memulai inkuiri lagi
Apabila penemuaan telah menemukan bahwa data itu mendukung hipotesisnya maka dukungan
terhadap teori kecemburuan dalam persaingan ekonomi akan semakin meningkat. Akan tetapi,
proses penelitiannya apakah dalil-dalil teori diterima atau ditolak. Sebab perilaku manusia begitu
kompleks, hampir semua teori yang ada dalam berbagai disiplin ilmu sosial mempunyai banyak
dalil yang hanya dibuktikan secara sepihak. Namun demikian, model pembelajaran inkuiri yang
digambarkan di atas dapat berdaurulang dan tidak bersifat linier atau terputus.

Anda mungkin juga menyukai