Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Protein merupakan salah satu komponen yang penting bagi sel hewan
maupun manusia. Fungsi utamanya adalah sebagai unsur pembentuk struktur sel.
Selain itu, protein juga berfungsi sebagai substrat yang aktif, yaitu sebagai enzim
yang berperan dalam mengkatalis berbagai proses biokimia di dalam sel
(Wirahadikusumah, 1997). Salah satu jenis bahan makanan yang mengandung
banyak protein adalah tempe. Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia
yang disukai oleh masyarakat banyak. Secara umum, tempe berwarna putih karena
terjadinya pertumbuhan miselia kapang yang merekatkan biji-biji kacang kedelai.
Kacang-kacangan merupakan komoditas tanaman pangan sebagai sumber
protein nabati yang dapat berguna dalam pemenuhan makanan yang bergizi tinggi
yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kebutuhan
terhadap produksi kacang-kacangan, seperti kacang kedelai, kacang hijau, dan
kacang tanah meningkat setiap tahunnya seiring dengan pertumbuhan jumlah
penduduk dan berkembangnya industri pangan di Indonesia. Selain dimanfaatkan
sebagai komoditi ekspor bagi Indonesia sendiri, banyaknya jenis kacang di
indonesia dapat dimanfaatkan dalam pengolahan bahan pangan yang bergizi dan
bernilai jual seperti tempe yang diproduksi dengan berbagai teknologi biokimia.
Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku
kedelai dan mempunyai nilai gizi yang baik. Peninjauan dari proses pembuatan,
dapat diketahui bahwa tempe merupakan salah satu produk bioteknologi berbasis
konvensional. Fermentasi pada pembuatan tempe terjadi karena aktivitas kapang
Rhizopus sp. Tempe dapat dikatakan sebagai bahan pangan yang cukup populer
bagi rakyat Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu nilai gizi yang
cukup tinggi, harga yang relatif terjangkau, dan pembuatan tempe yang tidak terlalu
sulit. Melalui pemahaman mengenai proses pembuatan tempe dan faktor yang
memengaruhi pada proses fermentasi tempe, diharapkan dapat diperoleh produksi
tempe dengan sifat organoleptik yang baik dan diminati oleh masyarakat.
2

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi proses pembuatan tempe?
2. Bagaimana waktu optimal penyimpanan saat proses pembuatan tempe?

1.3. Tujuan
1. Mempelajari faktor-faktor yang memengaruhi proses pembuatan tempe.
2. Mengetahui waktu optimal penyimpanan saat proses pembuatan tempe.

1.3. Manfaat
1. Mampu mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi proses pembuatan
tempe.
2. Mampu mengetahui waktu optimal penyimpanan saat proses pembuatan
tempe.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kandungan Gizi Kacang Tanah dan Kedelai


2.2.1. Kacang Tanah
Kacang tanah (Arachis hypogeae) merupakan tanaman pangan ke dua
terpenting setelah kedelai. Sebagai bahan pangan dan pakan ternak yang bergizi
tinggi, komposisi kacang tanah terdiri dari lemak (40,50%), protein (27%),
karbohidrat serta vitamin (A, B, C, D, E dan K), serta mengandung mineral antara
lain calcium, chlorida, ferro, magnesium, phospor dan sulphur. Kacang tanah
sebagai bahan pangan dapat menjadi substrat yang baik bagi jamur toksigenik yang
dapat menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin dapat diproduksi oleh beberapa kapang,
seperti Aspergillus flavus, Aspergillus monius, dan Aspergillus parasiticus.
2.2.2. Kacang Kedelai
Kedelai merupakan bahan makanan yang dapat digunakan sebagai sumber
protein nabati. Kacang kedelai juga kaya akan vitamin (A, E, K dan beberapa jenis
vitamin B) dan mineral (K, Fe, Zn dan P). Berdasarkan warnanya, kedelai dapat
dibedakan atas kedelai kuning atau putih, kedelai hitam, kedelai coklat, dan kedelai
hijau. Kedelai di Indonesia adalah jenis kedelai kuning atau putih. Beberapa produk
kedelai utuh juga merupakan sumber serat makanan yang baik. Produk yang
mengandung kedelai umumnya bergizi tinggi, karena mengandung protein serta
nilai Protein Efisiensi Rasio (PER) yang dapat disejajarkan dengan protein hewani.
Produk-produk dari kedelai juga bebas dari kandungan laktosa, hal ini
membuatnya lebih cocok untuk konsumen yang menderita intoleransi terhadap
laktosa. Kacang kedelai memiliki kandungan asam lemak jenuh yang rendah.
Lemak kacang kedelai mengandung 15% asam lemak jenuh, sedangkan sekitar
60% lemak tidak jenuhnya berisi asam linolenat dan linoleat, yang keduanya
diketahui dapat membantu menyehatkan jantung dan mengurangi resiko terjadinya
penyakit kanker. Sifat nutrisi kedelai agak unik jika dibandingkan jenis kacang-
kacangan yang lain karena kacang kedelai memiliki kandungan protein dan lemak
yang tinggi namun memiliki kandungan karbohidrat yang lebih rendah.
4

Protein dalam produk-produk kacang kedelai memiliki persen kandungan


yang bervariasi, misalnya tepung kedelai sebesar 50%, konsentrat protein kedelai
sebesar 70%, dan isolate protein kedelai sebesar 90%. Kacang kedelai merupakan
penghasil minyak yang tinggi. Kandungan lemak jenuh di dalam minyak dari
kacang kedelai yaitu sekitar 15% dan tinggi kadar asam lemak tidak jenuhnya
terdiri dari sekitar 61% lemak tidak jenuh ganda dan 24% lemak tidak jenuh tunggal
(monounsaturated fatty acid). Minyak dari kacang kedelai merupakan sumber asam
linoleat yang baik dan merupakan salah satu asam lemak yang esensial.
Lebih dari 50% asam lemak yang terkandung di dalam kacang kedelai
adalah asam linoleat, sedangkan sekitar 7% merupakan asam linolenat. Sebelum
diolah, kacang kedelai sangat tinggi akan kandungan vitamin E yang merupakan
jenis vitamin yang larut di dalam minyak. Pengolahan menjadi minyak kedelai
membuang sekitar 3% dari vitamin E di dalam kedelai. Limbahnya tersebut
merupakan sumber vitamin E yang baik. Minyak hasil olahannya masih tergolong
tinggi kandungan vitamin E-nya, karena satu sendok teh dapat menyumbangkan
sekitar 10% dari total kebutuhan gizi manusia terhadap vitamin E per hari.
Produk samping lain dari minyak kedelai selain vitamin E adalah lesitin.
Lesitin banyak digunakan sebagai emulsifier yang berfungsi untuk menghasilkan
campuran yang stabil antara air dan minyak dalam bentuk bahan pangan emulsi.
Konsumsi lemak yang dianjurkan adalah maksimum 30% dari konsumsi kalori per
hari dan tidak lebih dari 10% asam lemak jenuh. Konsumsi lemak di atas batas
yang dianjurkan tersebut dapat menyebabkan peningkatan kadar kolesterol darah
dan resiko atherosclerosis. Protein nabati dikenal mempunyai mutu yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan protein hewani, karena mempunyai kandungan
asam amino esensial tertentu yang lebih rendah. Biji-bijian cenderung rendah akan
kandungan asam amino lisinnya, sedangkan kacang seperti kedelai cenderung
rendah dalam kandungan asam amino belerang, yaitu metionin dan sistein.
Meskipun masih mempunyai asam amino pembatas berupa asam amino
yang mengandung belerang (metionin dan sistein), tetapi dibandingkan dengan
kacang-kacangan lain jumlah kedua asam amino tersebut masih lebih tinggi. Profil
5

asam amino dalam protein kedelai cukup baik dibandingkan pola asam amino yang
dibutuhkan tubuh. World Health Organization (WHO) telah menetapkan bahwa
jika dikonsumsi sesuai anjuran konsumsi protein harian, protein kedelai
mengandung jumlah semua asam amino esensial yang mencakupi kebutuhan tubuh
manusia. Mutu protein kedelai telah diperbaiki karena ada cara baru dalam
pengukuran mutu suatu protein. Cara lama untuk menentukan mutu protein adalah
dengan parameter yang disebut Protein Efisiensi Rasio (PER), yang berdasarkan
atas jumlah pertambahan berat badan yang diperoleh setelah mengkonsumsi jumlah
protein yang diulur. Misalnya PER menunjukkan nilai 2,3 artinya tiap pemberian 1
gram protein akan meningkatkan berat badan tikus percobaan sebanyak 2,3 gram.
Penentuan PER dengan tikus percobaan dapat berbeda penerapannya
untuk manusia karena kebutuhan asam amino antara tikus dan manusia berbeda.
Misalnya, telah diketahui bahwa tikus membutuhkan metionin 50% lebih banyak
dari manusia, sehingga jika mengukur PER dari kacang-kacangan (kedelai)
hasilnya menjadi kurang realistis. Hal ini karena kedelai kekurangan asam amino
metionin. Cara baru untuk menentukan mutu protein dikembangkan oleh WHO
yang disebut Protein Digestibility Corrected Amino Acid Score (PDCAAS). Cara
ini, memperhitungkan profil asam amino protein, ditambah urutan daya cerna
protein oleh manusia. Dengan menggunakan metode tersebut, protein kedelai
mempunyai nilai yang sama dengan protein putih telur dan protein susu. Akan
tetapi jika digunakan sebagai makanan bayi, protein kedelai dapat disuplementasi
dengan asam amino metionin agar dapat lebih menjamin kualitas mutunya.
Daya cerna senyawa protein yang terkandung di dalam kacang kedelai
sangat baik, misalnya pada bahan makanan tahu, konsentrat dan isolate protein dari
kedelai mempunyai daya cerna lebih dari 90%. Berdasarkan studi dengan
menggunakan pengukuran PDCAAS menunjukkan bahwa protein dari kacang
kedelai merupakan protein yang lengkap karena mempunyai tingkat essentially
equivalent yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan protein dari sumber susu
dan daging. Asam lemak utama yang terkandung di dalam minyak kedelai adalah
asam lemak esensial berupa asam linoleat atau linoleic acid (LNA), yaitu asam
lemak omega-6 yang juga banyak terdapat di dalam minyak nabati lainnya.
6

Asam linoleat merupakan komposisi penyusun sebesar 55–60% dari total


asam lemak di dalam minyak kedelai yang berupa senyawa asam lemak tidak jenuh
tunggal atau mono unsaturated fatty acid (MUFA). Sebagian besar asam oleat dan
asam lemak jenuh kandungannya merupakan senyawa asam palmitat dan 33%
kandungannya merupakan asam stearat menyusun masing-masing sekitar 22% dan
16% dari total asam lemak yang terkandung di dalam minyak kedelai. Bila
dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan lain, kacang kedelai secara relatif
memiliki kandungan asam lemak linoleat lebih tinggi yang merupakan asam lemak
esensial sekaligus tergolong ke dalam asam lemak omega-3. Kacang kedelai
merupakan salah satu sumber asam lemak omega-3 yang baik, yaitu asam linoleat.
Sekitar 7–8% dari total asam lemak yang terkandung di dalam minyak kedelai
adalah senyawa asam linolenat atau linolenic acid (LNA), sehingga perbandingan
omega-6 dan omega-3 yang ada di dalam minyak kedelai adalah 7:8.
Asam lemak omega-3, terutama asam lemak omega-3 rantai panjang, yaitu
senyawa asam eikosapentaeroat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA) banyak
dipelajari karena manfaat dan kemampuannya dalam menurunkan resiko penyakit
kronis, seperti penyakit jantung dan kanker. Rasio antara asam lemak omega-6 dan
asam lemak omega-3 berkisar antara 10:1 sampai dengan 5:1, walaupun ada juga
yang merekomendasikan rasio serendah 2:1. Asam lemak LNA dapat dikonversi
menjadi EPA dan EPA menjadi DHA, walaupun konversi LNA ke EPA relatif tidak
efisien (5–10%) dan konversinya dapat dihambat oleh asam linolenat.

2.2. Ragi Sebagai Bahan Pembuatan Tempe


Ragi atau fermen merupakan zat yang dapat menyebabkan fermentasi.
Ragi biasanya mengandung mikroorganisme yang melakukan fermentasi dan
media biakan bagi mikroorganisme tersebut. Ragi merupakan zat yang berfungsi
untuk menyebabkan terjadinya proses fermentasi. Di dalam ragi biasanya
mengandung bakteri-bakteri yang melakukan proses fermentasi serta menjadi
media perkembangbiakan bagi bakteri tersebut. Media biakan tersebut berstruktur
butiran-butiran kecil atau cairan nutrien. Dalam pembuatan tempe, terdapat
bermacam-macam bakteri dan fungi (jamur atau kapang) seperti Rhizopus sp.,
Aspergillus sp., Amylomyces, Acetobacter, Lactobacillus, dan Saccharomyces.
7

Jenis ragi yang umum dikenal yaitu ragi tape dan ragi tempe. Ragi tempe
merupakan bibit-bibit jamur yang digunakan untuk pembuatan tempe, atau sering
pula disebut sebagai starter tempe. Ragi tempe yang digunakan mengandung jamur
Rhizopus oligosporus, atau yang dikenal pula sebagai jamur tempe. Jamur Rhizopus
oligosporus merupakan jamur yang paling dominan dalam pembuatan tempe yang
terdapat pada ragi tempe yang berwarna putih dan memiliki miselia yang akan
menghubungkan biji-biji kedelai sehingga menjadi produk tempe.
Proses pembuatan tempe dikenal beberapa macam ragi yang dapat
digunakan dalam proses fermentasi agar tempe yang dihasilkan memiliki kualitas
yang tinggi. Secara tradisional, para pengrajin tempe membuat ragi tempe dengan
menggunakan tempe yang sudah jadi. Tempe tersebut diiris tipis-tipis, dikeringkan,
lalu digiling hingga menjadi bubuk yang halus dan hasilnya digunakan sebagai
bahan inokulum dalam proses fermentasi tempe. Bahan lain yang sering dipakai
sebagai ragi atau starter tempe adalah miselium jamur yang tumbuh di permukaan
tempe. Walaupun berbeda bentuk dan jenisnya, tetapi pada umumnya fungsi dari
ragi tersebut dalam pembuatan tempe memiliki fungsi dan peran yang sama.

2.3. Inokulasi Tempe


Inokulasi merupakan suatu proses pemindahan mikroorganisme berupa
jamur atau bakteri dari suatu medium lama ke medium baru yang dilakukan oleh
manusia. Inokulasi dilakukan dengan tujuan untuk meninjau proses pertumbuhan
maupun perilaku dasar yang ditunjukkan oleh mikroorganisme yang bersangkutan
sehingga dapat dimanfaatkan untuk hal-hal lain, seperti keperluan di bidang
kesehatan, rekayasa proses di industri pangan, pertanian, dan peternakan.
Proses inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum, yaitu ragi
tempe atau laru. Inokulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu yang pertama
penebaran inokulum pada permukaan kacang kedelai yang sudah dingin dan
dikeringkan, lalu dicampur merata sebelum pembungkusan. Metode inokulasi yang
kedua, yaitu inokulum atau starter dapat dicampurkan langsung pada saat
perendaman dan dibiarkan beberapa waktu, lalu dikeringkan. Kualitas tempe yang
dihasilkan pada proses produksi tempe dapat bervariasi dan sangat dipengaruhi
oleh kualitas starter yang akan digunakan pada proses inokulasi tempe.
8

Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi atas kualitas jamur


starter yang baik untuk digunakan sebagai starter tempe, antara lain mampu
memproduksi spora dalam jumlah banyak dan mampu bertahan beberapa bulan
tanpa mengalami perubahan genetis maupun kemampuan tumbuhnya. Persyaratan
lain yang perlu diperhatikan adalah starter memiliki persentase perkecambahan
spora yang tinggi segera setelah inokulasi. Mengandung biakan jamur tempe yang
murni dan bila digunakan berupa kultur campuran harus mempunyai proporsi yang
tepat. Bebas dari mikroba kontaminan dan jika memungkinkan strain yang dipakai
memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari dominasi mikroba kontaminan.
Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan kondisi spesifik yang cocok untuk
strain yang dikehendaki tetapi menjadi faktor penghambat bagi mikrobia
kontaminan, misalnya dengan merendahkan pH dan pemberian senyawa inhibitor.
Pertumbuhan miselia setelah diinokulasi harus kuat, lebat berwarna putih, memiliki
aroma spesifik tempe yang enak, dan tidak mengalami sporulasi yang terlalu awal.

2.4. Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Pembuatan Tempe


Inokulasi merupakan suatu proses pemindahan inokulum. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tempe adalah oksigen, uap air, suhu, dan
keaktifan laru. Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang
terlalu cepat dapat menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat sehingga
dihasilkan panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Uap air menjadi faktor
yang penting karena uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan
kapang. Hal ini dikarenakan setiap jenis kapang mempunyai kondisi optimum yang
berbeda. Kapang tempe dapat digolongkan ke dalam jenis mikroba yang bersifat
mesofilik, yaitu dapat tumbuh baik pada temperatur kamar atau sekitar 27 oC.
Suhu ruangan di tempat pemeraman berlangsung perlu diperhatikan
dengan baik. Laru yang disimpan pada suatu periode tertentu akan berkurang
keaktifannya, oleh karena itu pada pembuatan tape sebaiknya digunakan laru yang
belum terlalu lama disimpan dan masih fresh agar tidak terjadi kegagalan pada saat
pembuatan tempe. Inokulum laru tempe dibutuhkan pada pembuatan tempe. Laru
dalam bentuk tepung dibuat dengan cara menumbuhkan spora kapang pada bahan
yang akan digunakan, dikeringkan, dan kemudian ditumbuk agar menjadi tepung.
9

Kacang kedelai yang akan digunakan dalam pembuatan tempe harus


dicuci hingga bersih dan kulitnya dibuang. Setelah itu harus direbus dalam waktu
yang lama agar kedelai menjadi lunak. Kacang kedelai akan dihancurkan sebelum
diberi ragi agar mudah dalam proses fermentasi. Kebersihan menjadi hal yang
utama dalam proses pembuatan tempe. Bahan yang digunakan, sarana, dan
prasarana juga harus dalam keadaan yang bersih agar proses pembuatan tempe
berhasil. Daun yang digunakan untuk membungkus harus dilap bersih sebelum
digunakan. Proses pembuatan tempe terutama pada saat fermentasi, kondisinya
harus higienis dan bersih sehingga pembuatan tempe akan berhasil. Pembuatan
tempe dapat dikatakan gagal apabila tempe yang dihasilkan tetap basah, jamur
tumbuh kurang baik, tempe akan berbau busuk, terdapat bercak hitam di permukaan
tempe, dan jamur tumbuh tidak merata hanya di bagian tertentu saja.

2.5. Standar Mutu Tempe


Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menerbitkan mengenai standar
mutu tempe, yakni Standar Nasional Indonesia (SNI) 3144:2009, Tempe Kedelai.
SNI ini merupakan revisi dari SNI 01-3144-1998, tempe kedelai SNI 3144:2009
dirumuskan oleh Panitia Teknis 67-04 Makanan dan Minuman. Standar ini telah
dibahas melalui rapat teknis dan disepakati dalam rapat konsensus pada tanggal 27
November 2008 di Jakarta. Hadir dalam rapat tersebut wakil dari konsumen,
produsen, lembaga pengujian, Lembaga IPTEK, dan instansi terkait lainnya. SNI
3144:2009 juga membahas penetapan mengenai syarat mutu tempe kedelai.
Selain menetapkan mengenai syarat mutu tempe kedelai, SNI 3144:2009
juga memuat mengenai cara produksi tempe yang higienis. Menurut standar ini,
cara proses pembuatan atau produksi tempe yang higienis, termasuk cara penyiapan
dan penanganannya, berlaku ketentuan sesuai dengan Pedoman Cara Produksi
Pangan Olahan yang Baik. Hal lain yang ditentukan dalam SNI 3144:2009
menyangkut pengemasan dan pelabelan dari produk tempe yang dihasilkan.
Menurut SNI, produk tempe kedelai dikemas di dalam kemasan yang tertutup
dengan baik, tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi, aman dan tahan selama
penyimpanan dan pengangkutan. Sementara itu, syarat penandaan pada produk
tempe mengacu pada ketentuan yang berlaku tentang label dan iklan pangan.
10

SNI 3144:2009 telah mengalami revisi pada tahun 2015. Berdasarkan SNI
3144:2015, standar proses pembuatan tempe yang baik yaitu proses yang
menghasilkan tempe dengan warna putih merata pada seluruh permukaan
tempenya. Jika ditinjau dari strukturnya, pada saat tempe ditekan dan diiris, maka
tempe tersebut akan tetap utuh dan kedelai tidak mudah rontok, sehingga produk
tempe yang dihasilkan dinyatakan kompak. Aspek lainnya yang juga ditinjau dalam
pembuatan tempe yang baik adalah aspek berupa bau. Tempe yang dinilai normal
adalah tempe yang memiliki bau yang khas tanpa ada campuran bau amoniak pada
tempe yang biasanya juga dihasilkan dari proses fermentasi pembuatan tempe.
Ciri tempe yang berhasil dibuat ditandai dengan adanya lapisan putih di
sekitar kedelai dan pada saat di potong tempe tidak hancur. Perlu diperhatikan agar
tempe berhasil alat yang dipergunakan untuk membuat tempe sebaiknya dijaga
kebersihannya. Menjaga kebersihan pada saat membuat tempe ini sangat
diperlukan karena fermentasi tempe hanya terjadi pada lingkungan yang higienis.
Gangguan-gangguan yang umum terjadi pada pembuatan tempe diantaranya adalah
tempe tetap basah, jamur tumbuh kurang baik, tempe berbau busuk, ada bercak
hitam dipermukaan tempe, dan jamur hanya tumbuh baik di salah satu tempat.

2.5. Bahan Kemasan Tempe


2.5.1. Daun Pisang
Daun pisang adalah daun yang dihasilkan tumbuhan pisang. Daun pisang
dalam kuliner di Indonesia memiliki peran utama sebagai pendukung dekorasi,
pelengkap, dan pengemas bahan makanan. Selain itu juga digunakan pada berbagai
kegiatan keagamaan. Tradisi seperti ini juga dikenal di banyak tempat di Asia
Selatan dan Asia Tenggara. Daun pisang mengandung polifenol dalam jumlah
besar yang sama seperti pada daun teh, sehingga menghasilkan aroma yang khas
ketika menjadi bahan pembungkus makanan. Sebagai pengemas makanan, dikenal
berbagai teknik pelipatan daun pisang untuk fungsi yang berbeda-beda.
Daun pisang yang digunakan untuk kemasan biasanya adalah daun pisang
yang telah mengembang secara sempurna. Pada beberapa penganan juga digunakan
daun pisang yang masih muda dan lunak. Apabila keindahan tidak dipentingkan,
daun pisang yang menguning juga seiring digunakan, tetapi daun pisang tersebut
11

belum mengering. Daun pisang yang akan digunakan biasanya direndam terlebih
dahulu di air agar menjadi lentur, sehingga mudah untuk dibentuk tanpa
menyebabkan daun tersebut menjadi robek. Daun pisang menjadi salah satu pilihan
kebanyakan masyarakat untuk pembungkus makanan karena mudah ditemui.
Penggunaan daun pisang sebagai bahan kemasan tempe memiliki
beberapa keunggulan, seperti mudahnya bahan ini ditemui di lingkungan sekitar
dan harganya yang murah. Selain itu, secara organoleptik tempe yang dibungkus
menggunakan daun pisang dan plastik memiliki perbedaan aroma produk tempe.
Di samping itu, pembungkus tersebut lebih alami karena daun mudah terurai saat
proses pembusukan. Jadi tidak menimbulkan polusi dalam tanah.
2.5.2. Daun Jati
Daun pohon jati memiliki aroma wangi yang khas. Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah biasanya menggunakan daun jati untuk
membungkus tempe. Selain itu, membungkus daging mentah dengan daun jati
dipercaya bisa mengurangi aroma amis dan membuatnya lebih empuk. Kebanyakan
daun yang digunakan adalah daun jati dengan umur masih muda. Daun jati yang
masih muda memiliki tekstur yang lebih ulet, sehingga tidak mudah robek ketika
dilipat dan digunakan sebagai bahan pembungkus makanan seperti tempe.
Sekarang ini tempe lebih banyak ditemui tersaji di pasar atau supermarket
dengan bungkus plastik. Selain itu juga ada yang menggunakan pembungkus daun
pisang. Namun, di daerah Jawa terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, masih
banyak ditemui di pasar tradisional tempe yang dibungkus dengan daun jati. Tempe
yang dibungkus dengan daun jati memilki ciri organoleptic tersendiri. Aroma khas
daun jati menempel di tempe dan membuat rasanya menjadi lebih sedap
dibandingkan dengan tempe yang dibungkus dengan plastik. Tempe yang
dibungkus dengan daun jati juga akan lebih awet. Penggunaan daun jati sebagai
bahan kemasan tempe juga lebih ramah lingkungan karena dapat terdekomposisi.
2.5.3. Plastik
Pengemasan berperan penting dalam pengawetan bahan pangan. Plastik
pembungkus adalah bahan yang digunakan untuk membungkus sesuatu. Umumnya
makanan plastik sering digunakan untuk membungkus makanan. Bahan pembuat
plastik pembungkus berasal dari minyak dan gas sebagai sumber alami. Bahan baku
12

Penggunaan plastik sebagai bahan pembungkus tempe dipilih karena sifat plastik
yang kuat sehingga lebih melindungi produk tempe dari gangguan bakteri ataupun
mikroba. Kekurangan dari bahan ini adalah sulit terdekomposisi di alam.

2.6. Aktivitas Enzim


Fermentasi merupakan tahap terpenting Dalam petumbuhannya, kapang
menggunakan kedelai sebagai substrat yakni sebagai sumber karbon dan sumber
nitrogen. Sumber karbon berupa glukosa, fruktosa, galaktosa, silosa dan manitol,
sedangkan sebagai sumber nitrogen terdiri dari asam amino prolin, glisin, asam
asparat, leusin, dan garam-garam amonium. Pada 20 jam pertama proses
fermentasi, spora mengalami pertumbuhan dan suhu meningkat secara perlahan.
Kemudian, lima jam berikutnya suhu akan turun dan pertumbuhan reda. biji kedelai
mulai bersatu dan membentuk massa yang kompak diselimuti oleh miselia jamur.
Selama fermentasi banyak terjadi perubahan-perubahan sebagai akibat
aktivitas mikroorganisme. Dengan adanya aktivitas enzim selama proses
fermentasi tersebut akan meningkatkan suhu, pH, dan kandungan gizi tempe. Di
dalam proses fermentasi terjadi pemecahan polisakarida, protein, dan lemak
menjadi senyawa-senyawa yang sederhana. Terdapat juga proses reaksi senyawa-
senyawa lain terutama ester yang memberikan rasa asam dan aroma yang khas.
Selama fermentasi terjadi perubahan kadar air bahan. Hal ini terjadi karena
air digunakan untuk reaksi hidrolisa baik karbohidrat, protein maupun lemak.
Terjadi juga respirasi atau penguapan karena selama fermentasi suhu bahan
mengalami kenaikan, sehingga terjadi penguapan air dari bahan ke lingkungan.
Semakin lama fermentasi berlangsung, jumlah air yang dibutuhkan untuk aktivitas
mikroorganisme akan semakin banyak sehingga kadar air pada tempe semakin
menurun. Kandungan protein di dalam kedelai akan diubah menjadi asam-asam
amino oleh enzim protease yang kemudian akan dipecah lebih lanjut menjadi NH3,
indol dan air. Asam amino juga dapat diubah menjadi komponen sel atau asam
amino lain. Selama fermentasi terjadi perubahan kandungan asam-asam amino,
triptophan, dan alanin yang meningkat sebesar 20%. Selama fermentasi juga terjadi
peningkatan total atom N terlarut, sehingga kadar protein terlarut dalam tempe
menjadi lebih besar, dengan demikian lebih banyak protein yang dapat tercerna.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1. Saringan
2. Sendok
3. Baskom
3.1.2. Bahan
1. 1 kg kacang kedelai yang baik dan bersih
2. Ragi tempe (Rhizopus oligosporus)
3. Kantung plastik

3.2. Prosedur Percobaan


1. Bersihkan dan cuci kacang kedelai, lalu rendam 1x24 jam.
2. Cuci kembali sambil kulitnya dan keping bijinya dipisahkan.
3. Kukus sampai agak empuk. Sebelum diangkat, tambahkan dahulu sedikit
tepung kanji, dicampur merata. Angkat dan letakkan di atas tampah yang
bersih, biarkan sampai hangat, di tempat yang terlindung atau ditutup
dengan kain kasa.
4. Inokulasi dengan ragi tempe, diaduk supaya merata. Kemudian
dimasukkan ke dalam kantung plastik yang telah diberi lubang kecil
dengan jarum bertangkai, ujung kantung plastik ditutup dengan bantuan
nyala api bunsen. Bahan dalam kantung plastik diratakan sehingga
terbentuk lempengan yang cukup tebal. Hindarkan terlalu banyaknya
sentuhan tangan pada kantung plastik yang telah diberi isi bahan.
Inokulasikan pada suhu 28-30oC selama lebih kurang 24 jam sampai
terlihat adanya bintik air yang merata di seluruh permukaan, lalu simpan
pada suhu selama 1 hari.

Anda mungkin juga menyukai