Anda di halaman 1dari 10

Nama : I.A Indira Wahyu Prameswari P.

G
NIM : 1704551117
Kelas : D/LIIB5
Hukum HAM Lanjutan

Study Task: Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia


Orde baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) dicatat telah
melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Rezim yang memerintah secara
otoriter selama lebih dari 30 tahun ini melakukan berbagai tindakan
pelanggaran HAM karena perilaku negara dan aparatnya (Haryanto:1999).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan
tahunannya menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala
bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di tanah air sebagai akibat dari
struktur kekuasaan orde baru yang otoriter.

Sistem peradilan pidana di Indonesia tampaknya belum mampu


memberikan keadilan yang subtansial sebab kebijakan yang formal/legalistik
seringkali dijadikan alasan. Pengadilan juga seringkali memberikan toleransi
terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dengan konsekuensi yuridis pelaku
kejahatannya harus dibebaskan, bahkan termasuk pelaku pelanggaran berat
HAM.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia sesungguhnya


mengatur beberapa jenis kejahatan yang merupakan pelanggaran HAM, di
antaranya; pembunuhan, perampasan kemerdekaan,
penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam
KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes)
jika dibandingkan dengan pelanggaran berat HAM yang harus memenuhi
beberapa elemen tertentu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM dan Statuta Roma 1998. Pelanggaran berat
HAM itu sendiri merupakan jenis kejahatan yang sifatnya luar biasa (extra-
ordinary crimes) yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan
yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum.

Dengan perumusan yang berbeda ini tentu menjadi tidak mungkin


untuk menyamakan perlakuan dalam proses penegakan hukum yang
dilakukan. Artinya KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) tidak dapat menjerat secara efektif para pelaku pelanggaran berat
HAM. Di samping itu, telah menjadi suatu pandangan yang diterima secara
umum di kalangan ahli hukum bahwa pelanggaran berat HAM, seperti
misalnya crimes against humanity, mengharuskan didayagunakannya
pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula hukum acara
pidana yang bersifat khusus.

PERTANYAAN:

1. Apa saja ketentuan-ketentuan (beracara) khusus yang timbul akibat


adanya Pengadilan HAM dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHAP
yang bersifat umum?
2. Apa saja prinsip-prinsip universal yang harus dihormati dalam
memperlakukan pelaku pelanggaran berat HAM berdasarkan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000?

JAWABAN:

1. Apa saja ketentuan-ketentuan (beracara) khusus yang timbul akibat


adanya Pengadilan HAM dibandingkan dengan ketentuan dalam
KUHAP yang bersifat umum?

PENANGKAPAN

a. Undang-Undang Nomor 26 Th 2000 Tentang Pengadilan HAM

Pasal 11
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan
penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap
seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.
(2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan
memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada
tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan
identitas tersangka dengan menyebutkan alasan
penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian
singkat perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang dipersangkakan.
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 18

(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas


kepolisian negara Republik Indonesia dengan
memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada
tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan
identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan
tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap
harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti
yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang
terdekat.

PENAHANAN
a. Undang-Undang Nomor 26 Th 2000 Tentang Pengadilan HAM

Pasal 12

(1) Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum


berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.
(2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang
melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di
sidang pengadilan.

Pasal 14
(1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3)Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka
penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari
oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-


Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 20

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik


pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum
berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang
pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan
penahanan.

Pasal 25
(1) Perintah penahanan yang dibenikan oleh penuntut umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku
paling lama dua pulub hari.

PENYELIDIKAN
a. Undang- Undang Nomor 26 Th 2000 Tentang Pengadilan HAM
Pasal 18
(1)Penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
(2)Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan
penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak
asasi Manusia dan unsur masyarakat.
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 4

Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik


Indonesia

PENYIDIKAN
a. Undang-Undang Nomor 26 Th. 2000 Tentang Pengadilan HAM
Pasal 21
(1) Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 6
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang- undang.
PENUNTUTAN
a. Undang-Undang Nomor 26 Th. 2000 Tentang Pengadilan HAM
Pasal 23
(1) Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan oleh Jaksa Agung.
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana

“Kewenangan dalam melakukan penututan dalam KUHAP adalah


Jaksa”

Perbandingan secara khusus terlihat dalam Undang-Undang


Nomor 26 Tahun 2000 dengan KUHAP adalah pada bagian penyelidikan
dimana Angka 5 ketentuan umum UU Nomor 26 Tahun 2000
menyatakan bahwa penyelidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa
yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
guna ditindak lanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang ini. UU No 26 Tahun 2000 mengatur
secara berbeda tentang siapa yang berhak melakukan penyelidikan.
Dalam penjelasan umumnya undang-undang ini menegaskan bahwa
diperlukan langkah-langkah yang bersifat khusus, diantaranya
penyelidikan yang bersifat khusus, dimana diperlukan penyelidik
dengan membentuk tim ad hoc. Penyelidikan hanya dilakukan oleh
Komnas HAM sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan
atau pengaduan. Kewenangan penyelidikan yang berbeda dengan
pengaturan dalam KUHAP inilah yang dianggap sebagai kekhususan
mengenai penyelidikan dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
Terhadap perkara Pelanggaran HAM yang Berat diperlukan
langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan yang bersifat khusus.

Kekhususannya adalah dalam penanganan Pelanggaran HAM yang


Berat:

1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad-hoc, penyidik ad-


hoc, penuntut ad- hoc, dan hakim ad-hoc.
2. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak
berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk
melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.
5. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi
Pelanggaran HAM yang Berat.
Jadi ketentuan-ketentuan (beracara) khusus yang timbul akibat
adanya Pengadilan HAM UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia dibandingkan ketentuan dalam KUHAP yang bersifat
umum adalah dimana Dasar pembentukan Undang-Undang tentang
Pengadilan HAM adalah sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan
pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

2. Apa saja prinsip-prinsip universal yang harus dihormati dalam


memperlakukan pelaku pelanggaran berat HAM berdasarkan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000?
a. Universal Declaration of Human Rights
Article 11
(1) “Everyone charged with a penal offence has the right to be
presumed innocent until proved guilty according to law in a
public trial at which he has had all the guarantees necessary
for his defence”
Artinya:
(1) “Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu
pelanggaran hukum dianggap tidak bersalah, sampai
dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu
pengadilan yang terbuka, dimana ia memperoleh semua
jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya).”

(2) “No one shall be held guilty of any penal offence on account of
any act or omission which did not constitute a penal offence,
under national or international law, at the time when it was
committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one
that was applicable at the time the penal offence was
committed”
Artinya:
(2)“Tidak seorangpun boleh dipersalahkan melakukan pelnggaran
hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak
merupakan suatu pelanggaran hukum menurut undang-
undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut
dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuma
lebih beruat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan
ketika penggaran hukum itu dilakukan)”
Dalam UDHR tersebut mengandung prinsip-prinsip HAM yang berlaku
secara umum yaitu :
1. Principle of inviolability, yaitu suatu prinsip yang menyatakan
bahwa setiap individu mempunyai hak untuk dihormati jiwanya,
integritasnya baik fisik maupun moral dan atribut-atribut yang tidak
dapat dipisahkan dari personalitasnya;
2. Principle of non discrimination, yaitu suatu prinsip yang
menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk mendapatkan
perlakuan yang sama tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ras,
suku, agama, bangsa, status social, dan lain sebagainya;
3. Principle of security, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa
setiap individu berhak untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan
yang tidak dilakukannya;
4. Principle of liberty, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak untuk menikmati kebebasan individual;
5. Principle of sosial well being, yaitu suatu prinsip yang menyatakan
bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menikmati kondisi
kehidupan yang menyenangkan.

b. International Covenant on Civil and Political Rights


Part III Article 6
(1) “Every human being has the inherent right to life. This right
shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of
his life.”
Artinya:
(1) “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat
pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi olehhukum. Tidak
seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-
wenang.”
Article 10
(1) “All persons deprived of their liberty shall be treated with
humanity and with respect for the inherent dignity of the
human person.”
Artinya:
(1) Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan
secara manusiawi dan denganmenghormati martabat yang
melekat pada diri manusia.

c. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal 28 D
(1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.**)”
Pasal 28 G
(1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.**)”
Pasal 28 J
(1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.** )”

d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi


Manusia
Pasal 3
(3)”Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan manusia, tanpa diskriminasi.”
Pasal 5
(1) “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan
yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan
hukum.”
Selain prinsip universal, perlindungan terhadap pelaku
pelanggaran HAM juga diatur dalam asas yang dianut dalam KUHAP
sebagai dasar hukum formil dalam berperkara, namun ada beberapa hal
yang di khususkan dalam perkara HAM yaitu diatur dalam Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
tapi selain yang diatur dalam Undang-Undang tersebut tetap
menggunakan KUHAP. Adapun asas yang melindungi pelaku perkara
HAM adalah:
Asas Praduga Tak Bersalah “persumtion of inno-cent” tedapat
dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP dan Pasal 8 UU Pokok
Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970. Dimana asas praduga
tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dana tau diperiksa di pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum memperoleh putusan pengadilan yang
menjatakan kesalahannya dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

KESIMPULAN

Kekhususan dari UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan


HAM ini dapat kita lihat dalam pasal tersebut diatas yang dimana
memiliki sifat yang mengkhusus daripada KUHAP yang memiliki sifat
lebih umum. Kekhususan itu adalah berkaitan dengan kewenangan
lembaga penegak hukum dalam proses pemeriksaan baik dalam tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan
yang dimana dalam UU tentang Pengadilan HAM, penyidikan dilakukan
oleh KOMNAS HAM, penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung, sementara
dalam KUHAP penyidikan dilakukan oleh pejabat polisi negara atau
pejabat pegawai negeri sipil yang dimana dalam tahap penyelidikan dan
penyidikan yang dilakukan dapat membentuk tim penyelidik ad hoc.
Sifat khusus lainnya adalah mengenai jangka waktu yang ditetapkan
secara terbatas dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam setiap tahapan
proses peradilan berjalan dengan efisien. Kekhususan lainnya adalah
mengenai pengaturan khusus berkenaan dengan perlindungan saksi
dan korban.

Selain prinsip universal, perlindungan terhadap pelaku


pelanggaran HAM juga diatur dalam asas yang dianut dalam KUHAP
sebagai dasar hukum formil dalam berperkara, namun ada beberapa hal
yang di khususkan dalam perkara HAM yaitu diatur dalam Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
tapi selain yang diatur dalam Undang-Undang tersebut tetap
menggunakan KUHAP. Adapun asas yang melindungi pelaku perkara
HAM adalah Asas Praduga Tak Bersalah tedapat dalam penjelasan
umum butir 3 huruf c KUHAP dan Pasal 8 UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970.

Literatur:
Wajib
- Universal Declaration of Human Rights
- International Covenant on Civil and Political Rights
- Rome Statute of the International Criminal Court
- Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia

Penunjang
- Effendi, H.A. Masyhur, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia
(HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia
(HAKHAM), Gahlia Indonesia, Jakarta, 2005.
- Manan, Bagir dkk, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak
Asasi Manusia di Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2001.
- Tinton Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) Terhadap Korban
Pelanggaran HAM di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005.

Anda mungkin juga menyukai

  • Hukum Jaminan
    Hukum Jaminan
    Dokumen2 halaman
    Hukum Jaminan
    Indira Prameswari
    Belum ada peringkat
  • Matriks Agraria
    Matriks Agraria
    Dokumen6 halaman
    Matriks Agraria
    Indira Prameswari
    Belum ada peringkat
  • Hukum Dagang
    Hukum Dagang
    Dokumen1 halaman
    Hukum Dagang
    Indira Prameswari
    Belum ada peringkat
  • HPI
    HPI
    Dokumen2 halaman
    HPI
    Indira Prameswari
    Belum ada peringkat
  • HTN
    HTN
    Dokumen16 halaman
    HTN
    Indira Prameswari
    Belum ada peringkat
  • Resume Bedah Buku
    Resume Bedah Buku
    Dokumen10 halaman
    Resume Bedah Buku
    Indira Prameswari
    Belum ada peringkat
  • Buku Ajar Acara Perdata PDF
    Buku Ajar Acara Perdata PDF
    Dokumen55 halaman
    Buku Ajar Acara Perdata PDF
    Indira Prameswari
    Belum ada peringkat