Anda di halaman 1dari 7

Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan, sehat jiwa

tidak hanya terbatas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan suatu hal yang

dibutuhkan oleh semua orang. Menurut Yosep (2007), kesehatan jiwa adalah

sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh, berkembang, memiliki

aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan

dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan.

Umumnya manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan baik, namun ada juga individu yang mengalami kesulitan untuk

melakukan penyesuaian dengan persoalan yang dihadapi. Mereka bahkan

gagal melakukan koping yang sesuai tekanan yang dialami, atau mereka

menggunakan koping yang negatif, koping yang tidak menyelesaikan

persoalan dan tekanan tapi lebih pada menghindari atau mengingkari

persoalan yang ada.


Permasalahan pada suatu individu dalam mengalami gangguan jiwa

sangatlah kompleks antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Mekanisme

koping yang tidak efektif merupakan salah satu faktor seseorang dapat

mengalami gangguan jiwa. Seseorang dapat dikatakan sehat jiwanya apabila

seseorang tersebut memenuhi kriteria sebagai berikut : sikap positif terhadap

diri sendiri, tumbuh kembang dan aktualisasi diri, integrasi (keseimbangan atau keutuhan), otonomi,
persepsi realitas, environmental mastery (kecakapan

dalam adaptasi dengan lingkungan).

Sejalan dengan itu fungsi serta tanggung jawab perawat psikiatri dalam

memberikan asuhan keperawatan dituntut untuk dapat menciptakan suasana

yang dapat membantu proses penyembuhan dengan menggunakan hubungan

terapeutik melalui usaha pendidikan kesehatan dan tindakan keperawatan yang

dapat membantu proses penyembuhan dengan menggunakan hubungan


terapeutik melalui usaha pendidikan kesehatan dan tindakan keperawatan

secara komprehensif yang diajukan secara berkesinambungan karena penderita

isolasi sosial dapat menjadi berat dan lebih sukar dalam penyembuhan bila

tidak mendapatkan perawatan secara intensif.

Menurut data dari WHO (World Health Organization) tahun 2011,

yang di kutip dari Ikrar (2012), penderita gangguan jiwa berat telah

menempati tingkat yang luar biasa. Lebih 24 juta mengalami gangguan jiwa

berat. Jumlah penderita gangguan jiwa di dunia, seperti fenomena gunung es

di lautan, yang kelihatannya hanya puncaknya, tetapi dasarnya lebih banyak

lagi yang belum terlacak. Bahkan menurut laporan pusat psikiater Amerika,

dibutuhkan dana sekitar US$ 160 bilyun pertahun. Berarti gangguan jiwa

berdampak dalam semua segi kehidupan, ekonomi, politik, sosial, budaya,

keamanan, dan seterusnya.


Menurut data dari Departemen Kesehatan tahun 2007, kasus gangguan

jiwa di Indonesia yaitu 11,6% dari seluruh penduduk Indonesia (19,6 jt orang

dari 241 jt). Pada laporan riset kesehatan dasar tahun 2007, ditemukan bahwa sebanyak 11,6% individu
yang berumur 15 tahun keatas melaporkan bahwa

mereka memiliki gangguan emosional (Dimyati, 2010).

Widowati (2013) mengungkapkan bahwa tekanan hidup diduga

membuat semakin banyak orang depresi dan gila. Setidaknya saat ini yang

terdata saja di Jawa Tengah terdapat 30.000 orang yang mengidap gangguan

jiwa. Dari angka tersebut, hanya 20.000 orang yang mendapat perawatan

intensif di rumah sakit kejiwaan. Tidak adanya pengetahuan keluarga

mengenai gangguan kejiwaan menyebabkan penderita tidak memperoleh

pengobatan. Selain itu, sebagian besar penderita gangguan kejiwaan masuk

kategori masyarakat miskin sehingga mereka selalu urung memberikan


pengobatan yang layak karena tidak ada biaya. Karena faktor biaya itulah,

kebanyakan keluarga miskin lebih memilih senang untuk memasung atau

mengurung pasien gangguan jiwa daripada dibawa ke rumah sakit jiwa.

Penderita gangguan jiwa di wilayah Surakarta berdasarkan data yang

penulis dapat dari studi kasus yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Surakarta selama 3 bulan terakhir, telah di peroleh data tentang jumlah

penderita gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri sejumlah 992

orang. Sedangkan untuk jumlah penderita defisit perawatan diri di bangsal

Amarta selama 1 bulan terakhir sebanyak 262 orang.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian tentang asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa

dengan defisit perawatan diri.

Tujuan
1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan

gangguan defisit perawatan diri dan memberi pengetahuan kepada

pembaca tentang asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan

defisit perawatan diri.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pada pengkajian klien dengan gangguan defisit

perawatan diri.

b. Mampu membuat analisa data pada klien dengan gangguan defisit

perawatan diri.

c. Mampu membuat intervensi keperawatan pada klien dengan

gangguan defisit perawatan diri.


d. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan

gangguan defisit perawatan diri.

e. Mengetahui teori dan konsep gangguan defisit perawatan diri.

Anda mungkin juga menyukai