Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR SUPRAKONDILER
A. Pengertian
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung.
Fraktur suprakondiler humerus merupakan fraktur 1/3 distal humerus tepat
proksimal troklea dan capitulum humeri. Garis fraktur berjalan melalui apeks
koronoid dan fossa olekranon, biasanya fraktur transversal. Merupakan fraktur
yang sering terjadi pada anak-anak. Pada orang dewasa, garis fraktur terletak
sedikit lebih proksimal daripada fraktur suprakondiler pada anak dengan garis
fraktur kominutif, spiral disertai angulasi.
Fraktur suprakondiler dapat didefinisikan sebagai fraktur pada bagian
distal dari humerus yang terjadi dalam bagian metafisis. Fraktur ini merupakan
3% dari seluruh fraktur pada anak, serta termasuk dalam 10 besar fraktur pada
anak. Insiden tertinggi terjadi pada usia 5 hingga 8 tahun, menjadi sangat jarang
setelah usia 15 tahun, dan terjadi 2 kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan
perempuan.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.Fraktur dapat dibagi
menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang
dan biasanya megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya
terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah
tulang masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau
terputusnya jaringan tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang
berhubungan dengan dunia luar.Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat,
yaitu :

a. Derajat I
1) Luka < 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka
remuk
3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kontinuitif
ringan
4) Kontaminasi minimal
b. Derajat II
1) Laserasi > 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
3) Fraktur kontinuitif sedang
4) Kontaminasi sedang

c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :

1) IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan


lunak
2) IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak
terdapat pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
3) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan
perbaikan agar bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan
lunak hebat.

B. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Trauma Langsung, yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian
tersebut mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi
yang mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung, yaitu suatu trauma yang menyebabkan
patah tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.

Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu :
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena
tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur , menurut (Brunner and Suddarth, 2002) :
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah
yang di rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan
dan cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui
membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik
tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai
akibat trauma dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.

Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah :


1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen
tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
Trauma
Pohon langsung
Masalah Trauma tdk langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg Nyeri Akut

Kerusakan fragmen tlg


Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tekanan sumsum tulang
lbh tinggi dari kapiler
Perubahan jaringan sekitar
Deformitas Peningkatan tek kapiler
Melepaskan katekolamin

Ggn fungsi ekstermitas Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak

Hambatan mobilitas fisik Protein plasma hilang Bergabung dg trombosit

Penekanan pembuluh darah Menyumbat pembuluh darah

Laserasi
Mengenai kulitdan sub
jaringan kutis
Edema Ketidakefektifan
kutis Kerusakan integritas Emboli perfusi
kulit jaringan perifer
Perdarahan

Resiko Infeksi
Kehilangan volume cairan

Resiko syok
(hipovolemik)
D. Patofisiologis

Tindakan Pembedahan

Pre Op
Deficit Pengetahuan Perdaraha
n

Ansietsa
Deficit Resiko syok
volume hipoolemik
cairan

Efek anastesi Luka insisi

Mual, muntah Inflamasi bakteri

Nutrisi kurang dari Resiko Infeksi


kebutuhan tubuh

Nyeri

Intra Op Post Op
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik
itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau
tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga.
Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya : patah tulang patela dan
olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan
ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa- sisa sel mati dimulai.
Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-
jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito,
2000).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner
& suddarth, 2002).

E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi :
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain : radioisotope
scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk memperlihatkan
fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah.

F. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan
manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF) meliputi : pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau fiksator ekterna. Implan logam
dapat digunakan untuk fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai bidai interna
untuk mengimobilisasi fraktur yang dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan
isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian Keperawatan
1. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
Pengumpulan Data
1) Anamnesa
2) Identitas Klien
3) Keluhan Utama
4) Riwayat Penyakit Sekarang
5) Riwayat Penyakit Dahulu
6) Riwayat Penyakit Keluarga
7) Riwayat Psikososial
8) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
(2) Pola Nutrisi
(3) Pola Eliminasi
(4) Pola Tidur dan Istirahat
(5) Pola Aktivitas
(6) Pola Hubungan dan Peran
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
(8) Pola Sensori dan Kognitif
(9) Pola Reproduksi Seksual
(10) Pola
Penanggulangan Stress
(11) Pola Tata Nilai
dan Keyakina

2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda- tanda, seperti :
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah,
kompos mentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
2) Pemeriksaan head-to-toe :
a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
b) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan).
c) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
d) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
e) Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
f) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
g) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
h) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
i) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
j) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
k) Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan ROM.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test
sensitivitas : didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini
sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf
yang diakibatkan fraktur.
d) Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak
atau sobek karena trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan
adanya infeksi pada tulang.
f) MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat
fraktur.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
integritas struktur tulang, program pembatasan gerak.
3. Resiko infeksi.
4. Resiko syok hipovolemik.
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
nyeri ekstermitas.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi
fisik.
C. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan NIC NOC
1. Nyeri akut b/d agen 1. Kaji derajat nyeri 1. Pengkajian
injuri fisik, spasme 2. Pertahankan tirah menggunakan
otot, gerakan baring sampai fraktur skala sesuai usia
berkurang pasien
fragmen tulang,
3. Tinggikan posisi 2. Nyeri dan spasme
edema, cidera ekstremitas yang otot dikontrol oleh
jaringan lunak, terkena fraktur imobilisasi
pemasangan traksi 4. Lakukan kompres 3. Meningkatkan
Tujuan : Setelah selama fase akut sesuai alitan balik vena,
dilakukan tindakan keperluan mengurangi nyeri
keperawatan 3x24 5. Ajarkan tekhnik 4. Menurunkan
jamdiharapkan rasa distraksi dan relaksasi edema dan
nyeri dapat mengurangi rasa
berkurang dan hilang nyeri
5. Merelaksasikan
otot-otot
1. Kaji kemampuan 1. Untuk mengetahui
2. Hambatan mobilitas pasien dalam seberapa
fisik b/d kerusakan melaksanakan aktivitas kemampuan pasien
rangka 2. Bantu dan dorong 2. Meningkatkan
neuromuscular, dalam keperawatan kekuatan otot dan
nyeri, terapi restriktif diri pasien sirkulasi
Tujuan : Setelah 3. Ajarkan ubah posisi 3. Mencegah
dilakukan tindakan secra periodik serta komplikasi
keperawatan dorong untuk latihan pernafasan
2x24jamdiharapkan nafas dalam 4. Mempertahankan
px dapat melakukan 4. Anjurkan klien minum hidrasi tubuh
aktivitas ringan banyak 5. Berguna dalam
5. Kolaborasi dengan ahli membuat jadwal
fisik aktivitas klien
3. Kerusakan integritas 1. Kaji kulit warna 1. Memberikan
kulit b/d fraktur kemerahan, informasi kulit dan
terbuka, pemasangan perdarahan, perubahan masalah yang
warna mungkin disebabkan
traksi
2. Ubah posisi dengan oleh alat
Tujuan : Setelah sering pemasangan/gips
dilakukan tindakan 3. Bersihkan kulit dengan 2. Mengurangi tekanan
keperawatan 3x24 air sabun konstan pada area
jam diharapkanluka 4. Observasi area yang yang sama
pada px mulai beresiko tertekan, 3. Menurunkan kadar
tertutup khususnya pada ujung kontamitas kulit
tau bawah bebatan 4. Tekanan dapat
5. Lindungi gips dan menyebabkan
kulit pada area ulserasi, nekrosis
perineal dan berikan dan kelumpuhan
perawatan yang sering saraf
5. Mencegah
kerusakan jaringan
dan infeksi oleh
kontamitas fekal
4. Ketidakefektifan 1. Kaji dan awasi tanda- 1. Ketidak adekuatan
perfusi jaringan tanda vital, perhtikan volume sirkulai
perifer b/d tanda pucat atau darah akan
penurunan suplai sianosis mempengaruhi
arah kejaringan 2. Dorong pasien untuk sistem perfusi
Tujuan : Setelah secra rutin latihan jari jaringan
dilakukan tindakan atau sendi 2. Meningkatkan
keperawatan 3x24 3. Berikan kompres es sirkulasi dan
jamdiharapkan px sekitar fraktur sesuai mengurangi
dapat menunjukkan indikasi pengumpulan darah
sensori motori 4. Kolaborasi dengan pada ekstremitas
cranial yang utuh petugas laboratorium bawah
dalam pemeriksaan 3. Menurunkan edema
Hb/Ht, pemeriksan 4. Membantu dalam
koagulasi kalkulasi kehilangan
darah dan
membutuhkan
keefektifan terapi
penggantian
5. Resiko syok 1. Tempatkan pasien 1. Mengatasi masalah
hipovolemik b/d pada posisi supine, yang timbul akibat
kehilangan volume kaki elevasi untuk pemberian pronasi
darah akibat trauma meningkatkan preload yang tidak tepat
fraktur dengan tepat 2. Mengetahui jumah
Tujuan : Setelah 2. Monitor input dan cairan yang
dilakukan tindakan output seimbang
keperawatan 2x24 3. Monitor suhu dan 3. Frekuensi nafas
jam diharapkan pernafasan dalam batas yang
irama pernafasan 4. Ajarkan keluarga dan diharapkan
px dalam batas pasien tentang tanda 4. Agar pasien dan
yang diharapkan dan gejala datangnya keluarga
syok mengetahui gejala
5. Pantau nilai syok
laboratorium 5. Membantu dalam
kalkulasi kehilangan
darah dan
membuthkan
efektifitas terapi
pengganti

DAFTAR PUSTAKA

Anlie. 2013. Manajemen Perioperatif Pada Pasien Fraktur Multiple. (Online). Available :
https://www.scribd.com/doc/119623462/Manajemen- Perioperatif-pada-Pasien-
Fraktur-Multipel (diakses pada tanggal 4 Februari 2016 pukul 09.00 WIB)
Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem Apley Edisi 7.
Jakarta: Widya Medika.
Baughman, Diane C.2000. Keperawatan Medikal Bedah : Buku Saku untuk Brunner dan
Suddarth.Jakarta : EGC.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC,
Jakarta Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis,
Ed. 6, EGC,
Jakarta
Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. Doenges at al
(2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. Jakarta; EGC
Engram, Barbara.1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 3.
Jakarta : EGC.
Heather, Herdman. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012- 2014.
Jakarta: EGC.
Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MediAction.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. Jakarta: EGC.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.N
DENGAN DIAGNOSA MEDIS CF SUPRA CONDILER
DI RUANG SERUNI RSUD KABUPATEN KEDIRI

YOGHA DHIESTIO ANOVIO


17036

MENGETAHUI
PEMBIMBING AKADEMIK PEMBIMBING LAHAN / CI

………………………………. ……………………………….

Anda mungkin juga menyukai