Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Preeklampsia atau eklampsia merupakan kondisi yang menyebabkan

kematian terbanyak kedua pada ibu setelah perdarahan. WHO memperkirakan

kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di

negara maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%,

sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia

di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Rendahnya

kuantitas dan kualitas antenatal care (ANC) di Indonesia. Tidak adanya

evaluasi skrining aktif terhadap risiko terjadinya preeklampsia sehingga

upaya pencegahan preeklampsia tidak optimal menyebabkan meningkatnya

morbiditas dan mortalitas yang diakibatkannya (Kemenkes, 2014).

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang

ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap

adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis

preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang

disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada

usia kehamilan diatas 20 minggu (ACOG, 2013). Meskipun preeklampsia

tidak hanya sekadar kehamilan hipertensi dengan proteinuria, namun

proteinuria tetap menjadi kriteria diagnostik yang penting. Kondisi

proteinuria menjadi penanda objektif dan menghubungkan disfungsi endotel

dengan kebocoran seluruh sistem yang menjadi ciri sindrom preeklampsia

(Cunningham, 2014). Preeklampsia ditegakkan bila didapatkan hipertensi

1
disertai dengan protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah

satu gejala dari gangguan organ seperti trombositopeni, gangguan ginjal,

gangguan liver, edema paru, gangguan neurologis, gangguan sirkulasi,

gangguan uteroplasenta (ACOG, 2013)

Pemeriksaan antenatal secara rutin selama kehamilan dapat sebagai

skrining preeklampsia pada ibu hamil, sehingga diagnosis dan penatalaksaan

dapat segera ditegakkan dengan cepat dan tepat untuk mencegah morbiditas

dan mortalitas pada ibu hamil sekaligus janin.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Istiana

Umur : 25 tahun

Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Lamongan

MRS : 26 Desember 2019

2.2. ANAMNESIS

 Keluhan Utama :

Nyeri kepala

 Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSML dengan keluhan nyeri kepala. Pasien

mengeluhkan nyeri kepala sejak 2 hari SMRS. Nyeri kepala dirasakan di

belakang kepala terasa cekot-cekot, dirasakan terus menerus, nyeri

kepala hilang dengan istirahat. Sebelumnya pasien kontrol ke klinik

kandungan dan didapatkan tensinya selalu tinggi sejak usia kehamilan 8

bulan. Setiap kali pemeriksaan di dokter tensi diatas 140/100 mmHg.

Selain itu, pasien juga mengeluh penglihatan sedikit kabur, pasien juga

mengeluhkan bengkak di kaki dan tangan sejak usia kehamilan 8 bulan.

Pasien saat ini juga mengeluh kadang-kadang sesak akhir-akhir ini.

3
Keluhan kenceng-kenceng masih jarang dirasakan. Tidak ada cairan yang

merembes dari jalan lahir, keluar lendir darah dari jalan lahir disangkal,

demam disangkal, nyeri ulu hati disangkal, mual +, muntah –.

 Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi (-), DM (-), Alergi (-), Asma (-), Riw. TB tahun 2013 sudah

tuntas pengobatan

 Riwayat Penyakit Keluarga :

HT (-), DM (-)

 Riwayat Sosial :

Sehari-hari ibu sebagai ibu rumah tangga

 Riwayat Haid :

Menarche usia 13 tahun, lama haid 7 hari, siklus 28-30 hari teratur, nyeri

haid (-)

 HPHT : 22-3-2019

 TP : 29-12-2019

 UK : 39-40 minggu

 Riwayat KB :

Belum pernah memakai KB

 Riwayat Perkawinan

Menikah : 1 Kali

Lama : 1 tahun 6 bulan

 Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Anak ke 1 : Hamil ini

4
2.3 Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : Composmentis

- TB : 152 cm

- BB : 75 kg

- BMI : 32.6

- Vital Sign :

TD : 167/115 mmHg

Nadi : 100x/menit

Suhu : 36,0 °C

RR : 22 x/menit

Sa02 : 98%

 Status Generalisata

- Kepala : A(-)/I(-)/C(-)/D(+)

- Leher : Pembesaran KGB (-), kelenjar tyroid (-)

- Thorax : normochest

o Inspeksi : Bekasluka (-), retraksi (-)

o Perkusi : Sonor +/+

o Palpasi : Pengembangan dada simetris +/+

o vocal Fremitus (+) normal simetris

o Auskultasi : cor : BJ I/II reguler, murmur (-)

gallop (-)

o pulmo: vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

5
- Abdomen I: tampak membesar, linea nigra, striae gravidarum

(+), BSC (-)

A: bising usus (+) dbn

P: nyeri tekan (-)

P: redup

- Ekstremitas :

Akral kering hangat merah

+ +

+ +

Edema

+ +

+ +

 Pemeriksaan Khusus Obstetri

Leopold I: teraba bagian lunak, tidak melenting, kesan bokong, TFU

37 cm

Leopold II: sebelah kiri teraba bagian keras, memanjang kesan

punggung, DJJ149 x/menit

Leopold III : teraba bagian bulat, keras, melenting, kesan kepala

Leopold IV : konvergen, belum masuk PAP, 5/5

 Pemeriksaan Dalam (Vaginal Toucher) : tidak dilakukan

Pembukaan :-

Effisment :-

Presentasi :-

6
Denominator : -

Hodge :-

Ketuban :-

 Ukuran Panggul Dalam tidak dilakukan

Promontorium :-

Linea Inominata :-

Spina Ischiadica :-

Sacrum :-

Arcus Pubis :-

Mobilitas Os Cocygeus : -

2.4 Pemeriksaan Penunjang

- Lab : 26/ 12/ 2019

Darah Lengkap:

Hb : 10.8 g/dl (13 – 18)

Leukosit : 8.1/mm3 (4.0 – 11.0)

Trombosit : 227/mm3 (150 – 450)

Hematokrit : 32.8 % (40 – 54)

Eritrosit : 4.16 (3.80 - 5.30)

Limposit : 22 (25.0 - 33.0)

Basofil : 0.6 (0.0 - 1.0)

Eosinopil : 1.4 (1.0 - 2.0)

Monosit : 9.4 (3.0 - 7.0)

MCH : 26.00 (28.00 - 36.00)

MCHC : 32.90 (31.00 - 37.00)

7
MCV : 78.80 (87.00 - 100.00)

GDA : 83

FH :

PT : 11.50 (10.3-16.3)

APTT : 29.50 (24.2-38.2)

Imuno – Serologi

HBS Ag Device : Negative

Anti HIV

Reagen I : Non Reaktif

Urine Lengkap :

pH : 6.0

nitrit : negatif

protein : 6.0 mg/dl

glukosa : negatif

keton : negatif

SG :1.020

urobilin : positif

bilirubin : (+1)

leukosit urine: positif 2-3

erit urine : positif 1-2

cylind : negatif

epithel : positif banyak

bakteri : positif

jamur : positif

8
parasit : negatif

- Pemeriksaan NST

- Pemeriksaan EKG

2.5 Diagnosis

GIP0000A000 THIU UK 39-40 mgg+ PEB+ CPD

2.6 Penatalaksanaan

- MRS

- O2 nasal 3 lpm

- Inf RL 1500/24 jam

- Inj 4 gr IV (MgSO4 20 %) 20 cc selama 5-10 menit

- Pasang DK

2.7 RENCANA

- Rencana terminasi

9
2.8 CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN POST OP

HARI/TANGGAL PERKEMBANGAN PASIEN

28-12-2019 S : nyeri luka operasi (+), Nyeri kepala(-),

pandangan kabur (-), sesak (-), mual muntah (-),

ASI sudah mulai merembes

O : TD 138/95 mmHg, N 100x/mnt, RR 22x/mnt,

S :36.9 SpO2 98%

A: P1-1A0 post SC tgl 27-12-2019

P : lisinopril 1x10 mg, analtram 3x1, invitec 3x1,

laktafit 3x1

29 -12- 2019 S : nyeri luka operasi (+), nyeri kepala(-),

pandangan kabur (-), sesak (-), mual muntah (-)

O : TD 133/97 mmHg, N 113x/mnt, RR 20x/mnt,

S :36.2, SpO2 99%

A: P1-1A0 post SC tgl 27-12-2019

P : lisinopril 1x10 mg, analtram 3x1, invitec 3x1,

laktafit 3x1. ACC KRS

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang

ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap

adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis

preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang

disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada

usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu

didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada

kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua

kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain

menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang

menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien

tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi

dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada

wanita dengan kehamilan normal (ACOG, 2013).

3.2 Terminologi dan Klasifikasi

Terminologi dan Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan berdasarkan

American College of Obstetricians and Gynecologists (2013),

diklasifikasikan menjadi Preeklampsia dan Eklampsia, Hipertensi kronik,

Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia, Hipertensi gestasional.

1. Preeklampsia : hipertensi yang timbul setelah 20 minggu usia

kehamilan disertai dengan proteinuria.

11
2. Eklampsia : preeclampsia yang disertai dengan kejang-kejang dan

atau koma.

3. Hipertensi kronik : hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan

20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah

usia kehamilan 20 minggu dan hipertensi yang menetap sampai 12

minggu pasca persalinan.

4. Hipertensi gestasional : hipertensi yang timbul pada kehamilan

tanpa disertai dengan proteinuria dan hipertensi menghilang 3 bulan

pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeclampsia

tetapi tanpa proteinuria.

3.2. Faktor Risiko

Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi kehamilan, yang

dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut (Sarwono, 2014) :

- Primigravida

- Hiperplasentosis (mola hidatidosa, kehamilan multipel, DM,

hidrops fetalis, bayi besar)

- Usia yang ekstrim

- Riwayat preeklamsia/eklampsia dalam keluarga

- Obesitas (BMI ≥ 30)

- Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil

3.3 Etiopatogenesis

Penyebab preeklampsia saat ini belum diketahui secara jelas, banyak teori

yang telah dikemukakan, tetapi tidak ada satupun teori yang dianggap mutlak

benar. Teori-teori yang dianut adalah (Sarwono, 2014) :

12
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

4. Teori adaptasi kardiovaskular

5. Genetik

6. Teori defisiensi gizi

7. Teori inflamasi

Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah

dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah

tersebut menembus myometrium berupa arteri arkuarta dan arteri arkuarta

memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus endometrium

menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteria spiralis

(Sarwono, 2014).

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi

trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi

lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas

juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks

menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi

dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi

dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan

peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah

ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat

13
menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan "remodeling

arteri spiralis" (Sarwono, 2014).

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas

pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot

arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis

tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri

spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan "remodeling

arteri spiralis", sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah

hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan

perubahan perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam

kehamilan selanjutnya (Sarwono, 2014).

Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500

mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 2OO mikron. Pada hamil

normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran

darah ke utero plasenta (Sarwono, 2014).

14
Gambar 3.1 Gambaran Skematik Implantasi Plasenta Pada Preeklampsia

Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi

dalam kehamilan terjadi kegagalan "remodeling arteri spiralis", dengan akibat

plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia

akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal

bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai

elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan

plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya

terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan

pada manusia adalah suatu proses norrnal, karena oksidan memang

dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah

mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang beredar dalam darah,

maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut "toxaemia". Radikal hidroksil

15
akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak

jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak

membrane sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produksi

oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi

dengan produksi antioksidan (Sarwono, 2014).

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,

khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin

E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar

oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai

oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar diseluruh rubuh

dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel

endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena

letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak

asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap

oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak

(Sarwono, 2014).

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi

kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel.

Kerusakan membrane sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,

bahkan rusaknya seluruh strukrur sel endotel. Keadaan ini disebut "disfungsi

endotel" (endothelia dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel

yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi (Sarwono,

2014):

16
- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel,

adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi

prostasiklin (PGE2): suatu vasodilatator kuat.

- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami

kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat

di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit

memproduksi tromboksan TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam

keadaan normal perbandingan kadar prostasiklin/tromboksan lebih tinggi

kadar prostasiklin (lebih tinggi vasodilatator). Pada preeklampsia kadar

tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi

vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.

- Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular

endotbeliosis).

- Peningkatan permeabilitas kapilar.

- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO

(vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)

meningkat.

- Peningkatan faktor koagulasi.

Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin

Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya

hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut (Sarwono,

2014).

 Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi

dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.

17
 Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih

besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan

suami yang sebelumnya.

 Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam

kehamilan. Larnanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan

ialah makin lama periode ini,makin kecil terjadinya hipertensi dalam

kehamilan.

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya

"hasil konsepsi" yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human

leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi

respons imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya

HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel

Natural Killer (NK) ibu (Sarwono, 2014).

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke

dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk

terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping untuk

menghadapi sel Natural Killer. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan,

terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah

plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas

sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga

memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang

produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi.

Kemungkinan terjadi Immune Maladaptation pada preeklampsia (Sarwono,

2014).

18
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai

kecenderungan teriadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper Sel

yang lebih rendah dibanding pada normotensif (Sarwono, 2014).

Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan

vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan

bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk

menirnbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya

refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopressor adalah akibat dilindungi

oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini

dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopressor akan hilang bila

diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi

prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin.

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan

vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-

bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan

vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap

bahan vasopresor. Banyak penelititelah membuktikan bahwa peningkatan

kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan

sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan

yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada

kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan

terjadinya hipertensi dalam kehamilan (Sarwono, 2014).

19
Teori Genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe

ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial

jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang

mengalami preeklampsia, 26 % anak perempuannya akan mengalami

preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami

preeklampsia (Sarwono, 2014).

Teori Defisiensi Gizi (Teori diet)

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi

gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang

penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet

pada preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II.

Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang

menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan (Sarwono, 2014).

Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, dapat

mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam

lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat

aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa

peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak

ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam mencegah

preeklampsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik

dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin (Sarwono,

2014).

20
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet

perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.

Penelitian di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik, ganda tersamar,

dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus

yang mengalami preeklampsia adalah 14 % sedang yang diberi glukosa7 %

(Sarwono, 2014).

Teori Stimulus Inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam

sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada

kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa

proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-

bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses

inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas

wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda

dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di mana pada preeklampsia terjadi

peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik

trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada

plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat

meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat.

Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi

jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons

inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit,

21
yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang

menimbuikan gejala-gejala preeklampsia pada ibu (Sarwono, 2014).

Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia

akibat produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas,

mengakibatkan "aktivitas leukosit yang sangat tinggi" pada sirkulasi ibu.

Peristiwa ini oleh Redman disebut sebagai "kekacauan adaptasi dari proses

inflamasi intravaskular pada kehamilan" yang biasanya berlangsung normal

dan menyeluruh (Sarwono, 2014).

 Perubahan sistem organ pada Preeklampsia

1. Volume plasma

Pada hamil normal, volume plasma meningkat guna memenuhi

kebutuhan janin. Sebaliknya pada kondisi preklamsia terjadi penurunan

plasma 30-40% dibandingkan hamil normal, disebut hipovolemia.

Hipovolemia diimbangi dengan vasokonstriksi sehingga terjadi

hipertensi. Volume plasma yang menurun memberi dampak pada

organ-organ penting. Pada PE sangat peka terhadap pemberian cairan

intravena yang terlalu cepat dan banyak. Demikian sebaliknya PE

sangat peka terhadap kehilangan darang sewaktu persalinan. Oleh

karena itu, observasi cairan masuk ataupun keluar harus dipantau

dengan ketat (Sarwono, 2014).

2. Hipertensi

Pada PE terjadi peningkatan reaktivitas vaskular dimulai dari usia

kehamilan 20 minggu, tetapi Hipertensi dideteksi umumnya pada

trimester ketiga. TD yang tinggi pada PE bersifat labil dan mengikuti

22
irama sirkadian normal. TD menjadi normal beberapa hari

pascapersalinan. Timbulnya HT adalah akibat vasospasme

menyeluruh dengan ukuran tekanan darah > 140/90 mmHg (Sarwono,

2014).

3. Fungsi Ginjal

 Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal berikut:

- Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga

terjadi oliguria bahkan anuria.

- Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan menigkatnya

permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi kebocoran dan

mengakibatkan proteinuria.

- Terjadi glomerular capillary endhoteliosis akibat sel endotel

glomerular membengkak disertai deposit fibril.

- Gagal ginjal akut dapat terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila

sebagian besar kesua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka

terjadi nekrosis korteks ginjal yang bersifat irreversible.

- Dapat terjadi kerusakan intrisik jaringan ginjal akibat vasospasme

pembuluh darah. Dapat diaatasi dengan pemberian dopamin agar

terjadi vasodilatasi pembuluh darah.

 Proteinuria

Bila protenuria timbul :

- Sebelum hipertensi, umumnya merupakan penyakit ginjal

- Tanpa hipertensi maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit

kehamilan

23
- Tanpa kenaikan tekanan diastolik > 90 mmHg, umumnya

ditemukan pada infeksi saluran kemih, atau anemia.

- Protenuria merupakan syarat untuk diagnosis preklampsia,

tetapi protenuria umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan.

Sehingga sering dijumpai PE tanpa protenuria karenan janin

telah lahir dahulu

- Pengukuran protenuria dapat dilakukan dengan (a) urin

dipstick: 100 mg/L atau + 1, sekurang-kurangnya diperiksa 2

kali urin acak selang 6 jam, (b) pengumpulan proteinuria

dalam 24 jam, dianggap patologis bila besaran protenuria ≥300

mg/24 jam.

4. Elektrolit

PE berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan

keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang kadar bikarbonat

menurun disebabkan timbulnya asidosis laktat dan akibat kompensasi

hilangnya karbondioksida. Kadar natrium dan kalium pada PE sama

dengan saat hamil normal, karena kadar natrium dan kalium tidak

berubah pada PE maka tidak terjadi retensi natrium yang berlebihan

sehingga tidak diperlukan restriksi konsumsi garam (Sarwono, 2014).

5. Tekanan osmotic koloid plasma/tekanan onkotik

Pada PE tekanan onkotik semakin menurun akibat kebocoran protein

dan terjadi peningkatan permeabilitas vaskular (Sarwono, 2014).

6. Koagulasi dan fibrinolisis

24
Gangguan koagulasi pada PE , misalnya trombositopenia namun jarang

terjadi. Pada tejadi peningkatan FDP, penurunan antitrombin, da

peningkatan fibronektin (Sarwono, 2014).

7. Viskositas darah

Pada PE viskositas darah meningkat, mengakibatkan resistensi perifer

dan menurunnya aliran darah ke organ (Sarwono, 2014).

8. Hematokrit (Hct)Pada PE Hct meningkat karena hipovolemi yang

menggambarkan beratnya PE (Sarwono, 2014).

9. Edema

Edema terjadi karena hipoalbumin atau kerusakan endotel kapilar.

Edema yang patologik adalah edema yan nondependen pada muka,

tangan, atau edema generalisata dan biasanya disertai dengan kenaikan

BB dengan cepat (Sarwono, 2014).

10. Hematologik

Perubahan hematogik disebabkan oleh hipovolemia akibat

vasospasme, hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopati akibat

spasme arteriole, dan hemolisis akibat kerusakan endotel arteriole.

Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan Hct akibat hipovolemia,

peningkatan viskositas darah, trombositopenia (<100.000 sel/ml),

gejala hemolisis mikroangipatik (Sarwono, 2014).

11. Hepar

Dasar perubahan pada hepar akibat vasospasme, iskemia, dan

perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer,

maka akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar.

25
Perdarahan yang meluas hingga dibawah kapsula hepar akan

menimbulkan rasa nyeri pada epigastrium dana dapat menimbulkan

ruptus hepar sehingga perlu pembedahan (Sarwono, 2014).

12. Neurologik

Perubahan neurologik dapat berupa (Sarwono, 2014):

- Nyeri kepala akibat hipoperfusi otak, sehingga menimbulkan

vasogenik edema.

- Akibat spasme arteri retina dan edema retina menyebabkan

gangguan visus berupa pandangan kabur, skotomata, ablasio

retnia dan kebutaan

- Dapat timbul kejang akibat edema serebri, vasospasme cerebri,

dan iskemik cerebri

- Peradarahan intracranial meskipun jaran namun dapat terjadi

akibat PEB dan eklamsia

13. Kardiovaskular

Terjadi peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan perununan

cardiac preload akibat hipovolemia (Sarwono, 2014).

14. Paru

Edema paru dapat terjadi akibat payah jantung kiri, kerusakan endotel

pada pembuluh darah kapiler paru dan menurunnya dieresis (Sarwono,

2014).

15. Janin

PE dan eklampsia memberi efek buruk pada perkembangan janin,

disebabkan oleh penurunan perfusi uteroplasenta, hipovolemia,

26
vasospasme, dan kerusakan endotel pembuluh darah plasenta. Dampak

PE dan eklampsia pada janin adalah (Sarwono, 2014):

- IUGR dan oligohidramnion

- Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin secara tidak langsung

akibat intrauterine restriction, prematuritas, oligohidramnion, dan

solusio plasenta.

3.4 Diagnosis

Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi

spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ

lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya

selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi

pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua

kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain

menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang

menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien

tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi

dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada

wanita dengan kehamilan normal.

 Penegakkan Diagnosis Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg

sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15

menit menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah

peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau

110 mmHg diastolic (Tranquilli, 2014).

27
Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi

kesempatan duduk tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan pengukuran

tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk

posisi manset setingkat dengan jantung, dan tekanan diastolik diukur

dengan mendengar bunyi korotkoff V (hilangnya bunyi). Ukuran manset

yang sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa diperlukan agar tercapai

pengukuran tekanan darah yang tepat.3 Pemeriksaan tekanan darah pada

wanita dengan hipertensi kronik harus dilakukan pada kedua tangan,

dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi (ACOG, 2013).

 Penentuan Proteinuria

Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam

24 jam, namun jika hal ini tidak dapat dilakukan, pemeriksaan dapat

digantikan dengan pemeriksaan semikuantitatif menggunakan dipstik urin

> 1. Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang akurat

dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel

urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Kuo

melaporkan bahwa pemeriksaan kadar protein kuantitatif pada hasil dipstik

positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan positif 2 berkisar 700-

4000mg/24jam. Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka positif palsu

yang tinggi seperti yang dilaporkan oleh Brown, dengan tingkat positif

palsu 67-83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina,

cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian

Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan

yang dikeluarkan oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology

28
(RCOG) menetapkan bahwa pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat

digunakan sebagai tes skrining dengan angka positif palsu yang sangat

tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung

24 jam atau rasio protein banding kreatinin (Magee, 2014).

 Penegakkan Diagnosis Preeklampsia

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan

sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia

kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya

didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan

dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat

preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan

dengan adanya protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan,

salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis preeklampsia, yaitu:

1. Hipertensi : sistolik/diastolik >140/90 mmHg

2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada

kelainan ginjal lainnya

4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal

dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas

abdomen

5. Edema Paru

6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

29
7. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)

atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity

(ARDV)

 Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada

preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan

menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan

preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan

kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah

satu dibawah ini :

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110

mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit

menggunakan lengan yang sama

2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada

kelainan ginjal lainnya

4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali

normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan

atas abdomen

5. Edema Paru

6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan

visus

30
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)

atau didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan

antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga

kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria

pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak

lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap

preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat

mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan

dalam waktu singkat (ACOG, 2013)

31
 Hipertensi Gestasional

Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan

tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk

pertama kalinya selama kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria.

Hipertensi gestasional disebut juga transient hypertension jika

preeklampsia tidak berkembang dan tekanan darah telah kembali

normal pada 12 minggu postpartum.Apabila tekanan darah naik

cukup tinggi selama setengah kehamilan terakhir, hal ini berbahaya

32
terutama untuk janin, walaupun proteinuria tidak pernah ditemukan.

Seperti yang ditegaskan oleh Chesley, 10% eklamsi berkembang

sebelum proteinuria yang nyata diidentifikasi. Dengan demikian,

jelas bahwa apabila tekanan darah mulai naik, ibu dan janin

menghadapi risiko yang meningkat. Proteinuria adalah suatu tanda

dari penyakit hipertensi yang memburuk, terutama preeklampsia.

Proteinuria yang nyata dan terus-menerus meningkatkan risiko ibu

dan janin (Cunningham, 2014).

Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu (Cunningham,

2014):

- TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.

- Tidak ada proteinuria.

- TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

- Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

- Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya

nyeri epigastrium atau trombositopenia.

 Eklampsia

Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang

tidak dapat dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi.

Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat sebelum, selama,

atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita

eklamsi, terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam

setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik,

banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan

33
studi yang lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan

eklampsia terjadi di luar 48 jam postpartum (Sarwono, 2014).



Superimposed Preeclampsia

Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah (Williams,

2014):

- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi

yang belum ada sebelum kehamilan 20 minggu.

- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau

jumlah trombosit <100.000/mm3 pada wanita dengan

hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.

 Hipertensi Kronis

Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila

(Williams, 2014):

- Tekanan darah ≥140/90 mmHg

- Sudah ada riwayat hipertensi sebelum hamil, atau diketahui

adanya hipertensi pada usia kehamilan <20 minggu

- Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes celup urin)

- Dapat disertai keterlibatan organ lain, seperti mata,

jantung, dan ginjal.

Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis

apalagi wanita hamil tidak mengetahui tekanan darahnya

sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis

didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada

beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum

34
usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal

terjadinya preeklampsi (Cunningham, 2014).

 SINDROM HELLP

Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya

hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan

trombositopenia(Sarwono,2014).

H: Hemolysis

EL: Elevated Liver Enzyme

LP : Low Platelets Count

• Diagnosis

o Didahului tanda dan gejalayang tidak khas malaise, lemah,

nyeri kepala, mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan

gejala infeksi virus)

o Adanya tanda dan gejala preeclampsia

o Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan

LDH, AST, dan bilirubin indirek

o Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT,

AST, LDH

o Trombositopenia

Trombosit < 150.000/ml. Semua perempuan hamil dengan

keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen, tanpa memandang

ada tidaknya tanda dan gejala preeklampsia, harus

dipertimbangkan sindroma HELLP.

35
3.5 Penatalaksanaan

A. Manajemen Ekspektatif atau Aktif

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran

perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia

kehamilan tanpa membahayakan ibu.

Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia tanpa Gejala Berat.

REKOMENDASI:

1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa

gejala berat dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan evaluasi

maternal dan janin yang lebih ketat (Level evidence II, Rekomendasi C).

2. Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus preeklampsia

tanpa gejala berat (Level evidence IIb, Rekomendasi B)

3. Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:

• Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien

• Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis

• Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu

(Level evidence II, Rekomendasi C)

• Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali

dalam seminggu)

• Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi

menggunakan doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal

direkomendasikan

(Level evidence II, Rekomendasi A)

36
Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia Berat

REKOMENDASI:

1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat

dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu

dan janin stabil.

2. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan

untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan

tersedia perawatan intensif bagi maternal dan neonatal

(Level evidence II, Rekomendasi A)

3. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat,

pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan

paru janin (Level evidence I , Rekomendasi A)

37
4. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan

rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif (Level evidence IIb ,

Rekomendasi B)

Kriteria Terminasi Kehamilan Pada Preeklampsia Berat

38
 Perawatan pada Preeklampsia

Tujuan utama dari perawatan preklampsia adalah mencegah kejang,

perdarahan intrkranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan

melahirkan bayi sehat (Sarwono, 2014).

 Rawat Jalan

Ibu hamil dengan preklampsia dapat dirawat secara rawat jalan.

Dianjurkan ibu lebih banyak istirahat (berbaring/ tidur miring). Pada

umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring

menghilangkan tekanan rahim pada V.kava inferior, sehingga

meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal

ini berarti akan meningkatkan aliran darah ke organ-organ votal.

Panmabahan alirah darah ke hinjal akan meningkatkan filtrasi glomerulus

dan meningkatkan dieresis. Dieresis dengan sendirinya akan

meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan kardiovaskular sehingga

mengurangi vasospasme, peningkatan curah jantung akan meningkatkan

pula aliran darah rahim sehingga menambah oksigenasi plasenta dan

memperbaiki kondisi janin dan rahim. Pada preeclampsia tidak perlu

dilakukan restriksi garam sepanjang fingsi ginjal masih bagus. Diet yang

mengandung 2 g natrium (4-6 g NaCl) adalah cukup. Kehamilan sendiri

kebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan janin

justru membutuhkan lebih banyak konsumsi garam. Diet diberikan cukup

protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransial

prenatal (Sarwono,2014).

 Rawat Inap

39
Pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preklampsia perlu dirawat di

rumah sakit. Kriteria preklampsia dirawat di rumah sakit, ialah

(Sarwono,2014) :

 Tidak ada perbaikan (tekanan darah, proteinuria selama 2

minggu)

 Adanya satu atau lebih gejala Preklampsia berat

Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

laboratorium. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa USG dan Doppler

khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janindan jumlah cairan amnion.

Pemeriksaan NST dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi ke bagian

mata, jantung dan lain-lain (Sarwono, 2014).

 Perawatan Obsetrik dan sikap terhadap kehamilannya

Menurut Williams kehamilan preterm adalah kehamilan antara 22

minggu sampai ≤37 minggu. pada kehamilan preterm < 37 minggu, bila

tekanan darah normotensi selama perawatan, persalinannya ditunggu

sampai aterm. Sementara itu, pada kehamilan aterm >37 minggu,

persalinan ditunggu sampai terjadinya onset persalinan atau

dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran

persalinan (Sarwono, 2014).

 Manajemen Umum Perawatan Preeklampsia Berat

1. Sikap terhadap penyakitnya : Pengobatan Medikamentosa

 Penderita PEB harus segera masuk ke rumah sakit untuk rawat inap

dan dianjurkan tirah baring ke arah satu sisi (kiri)

40
 Perawatan yang penting pada PEB ialah pengelolaan cairan karena

penderita preklampsia maupun eklampsia mempunyai risiko tinggi

terjadinya edema paru dan oliguria. Oleh karena itu monitoring input

cairan (oral maupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi

sangat penting. Cairan yang dapat diberikan dapat berupa (a) 5%

Ringer Dextrose atau cairan garam faali dengan jumlah tetesan < 125

cc/jam atau (b) Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan RL

(60-125 cc/jam) 500 cc, pasien juga dipasang cateter foley untuk

mengukur output urin. Liguria terjadi apabila produksi urin <300

cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diet yang cukup protein,

rendah karbohidrat, lemak dan garam (Sarwono, 2014).

 Pemberian obat antikejang adalah :

 MgSO4

Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia

adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian

eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal

serta perinatal. Cara kerja magnesium sulfat belum dapat

dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah

menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos,

termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain

sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai

antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan

dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak,

yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan

41
masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan

kerusakan sel dan dapat terjadi kejang. Magnesium sulfat

menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan

serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuscular.

Transmisi neuromuscular membutuhkan kalsium dalam sinaps.

Pada pemberian magnesium sulfat akan menggeser kalsium

sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif

inhibitor antara ion kalisum dan ion magnesium) kadar kalsium

yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium

sulfat. Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek

samping minor yang lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing,

nausea atau muntah, kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari

lokasi injeksi. Toksisitas terjadi pada 1% wanita yang mendapat

magnesium sulfat dibandingkan 0,5% pada plasebo, namun tidak

ada bukti nyata perbedaan risiko hilangnya atau berkurangnya

refleks tendon. Meskipun depresi napas dan masalah pernapasan

jarang ditemukan, risiko relatif meningkat pada kelompok yang

diberikan magnesium sulfat. Seperempat dari wanita yang

mendapat magnesium sulfat memiliki efek samping dimana yang

terbanyak adalah flushing. Jika mengatasi terjadinya toksisitas,

kalsium glukonas 1 g (10 ml) dapat diberikan perlahan selama 10

Menit. MgSo4 sampai saat ini masih menjadi terapi lini pertama

untuk antikejang pada preeclampsia atau eklampsia (Sarwono,

2014).

42
Cara pemberian MgSO4 (Sarwono, 2014) :

1. Loading dose : Initial dose

4 gram MgSO4: Intravena (40% dalam 10cc) selama 15

menit

2. Maintenance dose

Diberikan infuse 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam atau

diberikan 4 atau 5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose

diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam

Syarat pemberian MgSO4:

 Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi

yaitu kalsium glukonas 10%= 1 g(10% dalam 10 cc)

diberikan IV 3 menit

 Reflek patella postif kuat

 Frekuensi pernapasan >20 kali/menit, tidak ada tanda-tanda

distress pernapasam

Magnesium sulfat dihentikan bila :

 Ada tanda-tanda intoksikasi

 Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setalh kejang

terakhir

Obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang :

o Diazepam

Cochrane collaboration melakukan telaah sistematik pengunaan

magnesium sulfat dibandingkan diazepam pada pasien

eklampsia. Dari telaah tersebut didapatkan hasil penggunaan

43
magnesium sulfat dibandingkan diazepam mengurangi

mortalitas maternal. Dari telaah sistematik tersebut didapatkan

magnesium sulfat berhubungan dengan berkurangnya risiko

kejang berulang, kematian maternal, skor Apgar < 7 pada menit

ke 5 dan lama perawatan bayi di ruang perawatan khusus > 7

hari. Dari beberapa RCT yang membandingkan penggunaan

magnesium sulfat dibandingkan dengan diazepam, fenitoin, atau

lyctic cocktail, didapatkan hasil terdapat perbedaan bermakna

pada penggunaan magnesium sulfat terhadap berkurangnya

angka kejadian kejang dan kematian maternal dibandingkan

dengan pemakaian anti konvulsan lainnya. Bila terjadi refrakter

terhadap MgSO4 maka diberikan salah satu obat berikut

thiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam atau fenitoin

(Sarwono, 2014).

o Fenitoin

Fenitoin mempunyai efek stabilisasi membrane neuro, cepat

,asuk ke jaringan otak dan efek antikejangnya terjadi 3 menit

setelah pemberian intravena. Fenitoin diberikan dalam dosis

15mg/kgBB dengan pemberian IV 50mg/ menit (Sarwono.

2014).

 Pemberian Antihipertensi

Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan

hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau

diastolik ≥ 110 mmHg Target penurunan tekanan darah adalah sistolik

44
< 160 mmHg dan diastolik < 110 mmHg. Dari hasil metaanalisis

menunjukkan pemberian anti hipertensi meningkatkan kemungkinan

terjadinya pertumbuhan janin terhambat sebanding dengan penurunan

tekanan arteri rata-rata. Hal ini menunjukkan pemberian antihipertensi

untuk menurunkan tekanan darah memberikan efek negatif pada

perfusi uteroplasenta. Oleh karena itu, indikasi utama pemberian obat

antihipertensi pada kehamilan adalah untuk keselamatan ibu dalam

mencegah penyakit serebrovaskular. Meskipun demikian, penurunan

tekanan darah dilakukan secara bertahap tidak lebih dari 25%

penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya

penurunan aliran darah uteroplasenta (PNPK POGI, 2016).

OBAT ANTI HIPERTENSI :

Calcium Channel Blocker

Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan

menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke

dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium

channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada

sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium channel blocker

dapat memberikan efek samping maternal, diantaranya takikardia,

palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat efek lokal

mikrovaskular serta retensi cairan. Nifedipin merupakan salah satu

calcium channel blocker yang sudah digunakan sejak dekade terakhir

untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai

antihipertensi. Dosis nifedipin yang diberikan ialah 10-20 mg per

45
oraldapat diulangi setelah 30 menit maksimum 120 mg/24 jam (Alex,

2005).

Nikardipin merupakan calcium channel blocker parenteral, yang mulai

bekerja setelah 10 menit pemberian dan menurunkan tekanan darah

dengan efektif dalam 20 menit (lama kerja 4 -6 jam). Efek samping

pemberian nikardipin tersering yang dilaporkan adalah sakit kepala.16

Dibandingkan nifedipin, nikardipin bekerja lebih selektif pada

pembuluh darah di miokardium, dengan efek samping takikardia yang

lebih rendah. Laporan yang ada menunjukkan nikardipin memperbaiki

aktivitas ventrikel kiri dan lebih jarang menyebabkan iskemia

jantung16 Dosis awal nikardipin yang dianjurkan melalui infus yaitu 5

mg/jam, dan dapat dititrasi 2.5 mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum

10 mg/jam atau hingga penurunan tekanan arterial rata –rata sebesar

25% tercapai. Kemudian dosis dapat dikurangi dan disesuaikan sesuai

dengan respon (Alex, 2005).

Beta-blocker

Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor

P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan

janin terhambat, terutama pada digunakan untuk jangka waktu yang

lama selama kehamilan atau diberikan pada trimester pertama,

sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti

hipertensi lainnya tidak efektif (Montan, 2004)

Metildopa

46
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat,

adalah obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita

hamil dengan hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960,

metildopa mempunyai safety margin yang luas (paling aman).

Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat, namun

juga memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus

simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan

aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu

antara lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi

postural, anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis. Metildopa

biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali sehari,

dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6

jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum

diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa

adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 g tiap 6

jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta pada

jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.

 Glukokortikoid

Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak

merugikan ibu. Pemberian deksametason maupun betametason

menurunkan bermakna kematian janin dan neonatal, kematian

neonatal, RDS dan perdarahan serebrovaskular. Pemberian

betametason memberikan penurunan RDS yang lebih besar

dibandingkan deksametason. Diberikan pada kehamilan 32 - 34

47
minggu, 2 x 24 jam. Obat ini fuga diberikan padasindrom HELLP

(Sarwono, 2014).

 Sikap terhadap kehamilan

Berdasar Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan

perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan;

maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi (Sarwono, 2014):

1. Aktif (agressive management): berarti kehamilan segera

diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan

medikamentosa.

2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan

bersamaan denganpemberian pengobatan medikamentosa.

Perawatan aktif (Agresif) : sambil memberi pengobatan kehamilan

diakhiri

o Indikasi perawatan aktif aialah bila didapatkan satau atau lebih

kondisi dibawah ini :

 Ibu

1. Umur kehamilan > 37 minggu

2. Adanya tanda-tanda gejalan impending ecklampsia

(nyeri kepala hebat, penurunan visus, muntah, nyeri

epigastrium)

3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu

keadaan klinik dan laboratorium memburuk

4. Diduga terjadinya solusio plasenta

5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

48
 Janin

1. Adanya tanda-tanda fetal distress

2. Adanya tanda-tanda Intra Uterine Growth Restriction

(IUGR)

3. NST nonreaktif

4. Terjadi oligohidramnion

 Laboratorium

1. Adanya tanda-tanda sindrom HELL khususnya

menurunnya trombosit dengan cepat.

3.6 Komplikasi

Ibu

 Eklampsia

 Sistem saraf pusat : perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral,

hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema retina, makular atau retina

detachment dan kebutaan korteks.

 Gastrointestinal-hepatik : subkapsular heamatoma hepar, ruptur kapsul

hepar.

 Ginjal : gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.

 Hematologik : DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi.

 Kardiopulmonar : edema paru, cardiac arrest, iskemia miokardium.

 Lain-lain : asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendali.

Janin

 Prematuritas

 Intra Uterine Growth Restriction (IUGR)

49
 Gawat janin

 Kematian janin dalam rahim Intra Uterine Fetal Death (IUFD)

3.7 Prognosis

Penentuan prognosis ibu dan janin sangat bergantung pada umur gestasi

janin, adatidaknya perbaikan setelah perawatan, kapan dan bagaimana proses

bersalin dilaksanakan, dan apakah terjadi eklampsia. Kematian ibu antara

9.8%-25.5%, kematian bayi 42.2% -48.9% (Kemenkes, 2014).

3.8 Cephalopelvic Disporpotion (CPD)

3.8.1 Definisi CPD

Disproporsi sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan

ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak

dapat keluar melalui vagina (ACOG, 2004).

3.8.2 Etiologi CPD

1. Panggul sempit

2. Janin besar

3. Kelainan posisi dan presentasi

3.8.3 Anatomi Panggul

Panggul/pelvis terdiri dari 4 tulang yaitu: (1) sacrum (2) coccygis

(3) dua tulang inominata (os coxae) yang mrp gabungan dari ilium, ischium,

dan pubis (Cunningham, 2014).

a. Pintu Atas Panggul (PAP)

PAP dibentuk oleh: promontorium os sacrum di bagian posterior, linea

illiopectinea (linea terminalis dan pectin os pubis) di lateral, dan symfisis os

pubis di posterior. Terdapat 4 diameter pada PAP yaitu: diameter

50
anteroposterior, diameter transversa, dan 2 diameter obliq (Cunningham,

2014).

- Diameter anteroposterior (konjugata vera, panjang ± 11cm ): jarak antara

promontorium os sacrum sampai ke tepi atas simfisis os pubis. Tidak dapat

diukur secara klinik pada pemeriksaan fisik. Secara klinik dapat diukur

konjugata diagonalis, jarak antara promontorium os sacrum dengan tepi

bawah simfisis os pubis. CV = CD-1,5. (normal konjugata vera ≥10 cm)

ingat bila kita tidak dapat meraba promontorium maka pasti ukuran

konjugata vera itu normal.

- Diameter transversa: diameter terpanjang kiri-kanan PAP. (panjang ±12,5-

13 cm)

- Diameter obliq: jarak dari sendi sakroiliaka satu sisi sampai tonjolan

pektineal sisi kontralateralnya (panjang ±13 cm).

Dalam obstetric dikenal 4 jenis panggul (pembagian Caldwell dan Moloy,

1933) yang mempunyai ciri-ciri PAP sebagai berikut:

1. Jenis ginekoid panggul baik untuk perempuan. Ditemukan pada 45%

perempuan. Panjang diameter AP hampir sama dengan diameter

transversa

51
2. Jenis anthropoid: Ditemukan pada 35% perempuan, Bentuk lonjong

seperti telur dengan panjang diameter AP lebih besar dari pada

diameter transversa.

3. Jenis android: bentuk panggul pria. Ditemukan pada 15% perempuan.

Bentuk segitiga dimana panjang diameter AP hampir sama dengan

diameter transversa, diameter transversa terbesar terletak di posterior

dekat sacrum, sedangkan bagian depannya menyempit ke depan.

4. Jenis platipeloid: ditemukan pada 5% perempuan. Panjang diameter

AP lebih kecil daripada diameter transversa.

b. Pintu bawah panggul

Pintu bawah panggul atau aperture pelvis inferior merupakan 2 segitiga

yang bersekutu pada bagian alasnya (yakni garis antara kedua tuber os

ischium): (1) trigonum urogenital: bidang yang dibentuk oleh alas dengan

puncaknya di tepi bawah simfisis pubis, (2) trigonum anale: bidang yang

dibentuk oleh alas dengan puncaknya di os koksigeus. Ukuran yang penting:

52
1. Sudut arkus pubis: pinggir bawah simfisis berbentuk lengkung ke

bawah dan merupakan sudut 900 atau lebih sedikit. Bila kurang, maka

kepala janin akan susah dilahirkan.

2. Diameter anteroposterior PBP: jarak antara ujung os koksigeus sampai

ke pinggir bawah simfisis os pubis. (N = 9,5-11,5 cm)

Diameter transversa PBP (distansia intertuberosum): jarak antara

kedua buah tuberositas os ischium (N = 11 cm).

c. Ukuran luar panggul.

1. Diameter spinarum: jarak antara kedua spina iliaka anterior superior

sinistra dan dekstra (24 cm-26 cm).

2. Diameter kristarum : jarak yang terpanjang antara dua tempat yang

simetris pada Krista iliaka sinistra dan dekstra. (28 cm-30 cm)

3. Diameter oblikua eksterna: jarak antara spina iliaka posterior sinistra

dengan spina iliaka anterior superior dekstra dan sebaliknya. (bila

asimetrik maka ukuran kedua diameter oblikua akan jauh berbeda)

4. Distansia intertrokanterika (±31 cm): jarak antara kedua buah trokanter

mayor

5. Konjugata eksterna (Boudeloque): jarak antara bagian atas simfisis ke

prosesus spinosus L 5 (±18 cm/20 cm).

d. Kriteria Diagnosis Panggul Sempit

1. Pintu atas panggul dianggap sempit apabila diameter anterioposterior

terpendeknya (konjugata vera) kurang dari 10 cm atau apabila diameter

transversal terbesarnya kurang dari 12 cm. Diameter biparietal janin

53
berukuran 9,5-9,8 cm, sehingga sangat sulit bagi janin bila melewati

pintu atas panggul dengan diameter anteroposterior kurang dari 10 cm.

2. Pintu Tengah Panggul (PTP) : penyempitan PTP pada dasarnya

merupakan penyempitan bidang dengan ukuran terkecil, yakni bidang

yang melalui apex dari arcus pubis, spina ischiadica, dan sacrum.

Apabila distansia interspinarum kurang dari 9 cm, atau apabila distansia

interspinarum (normal 10,5 cm) ditambah dengan diameter sagital

posterior (normal 4,5 – 5 cm) kurang dari 13,5 cm maka kemungkinan

ada kesempitan pintu tengah panggul. Untuk memperoleh ukuran yang

pasti diameter-diameter ini diperlukan pelvimetri rontgenologis.

Kecurigaan klinis kesempitan PTP timbul apabila pada pemeriksaan

manual didapatkan spina ischiadica yang besar dan menonjol serta

distansia intertuberosum kurang dari 8,5 cm.

3. Penyempitan pintu bawah panggul terjadi bila diameter distantia

intertuberosum berjarak 8 cm atau kurang. Penyempitan pintu bawah

panggul biasanya disertai oleh penyempitan pintu tengah panggul.

Disproporsi kepala janin dengan pintu bawah panggul tidak terlalu

besar dalam menimbulkan distosia berat. Hal ini berperan penting

dalam menimbulkan robekan perineum. Hal ini disebabkan arkus pubis

yang sempit, kurang dari 90 derajat sehingga oksiput tidak dapat keluar

tepat di bawah simfisis pubis, melainkan menuju ramus iskiopubik

sehingga perineum teregang dan mudah terjadi robekan.

54
3.8.3 Janin Besar

Berat badan neonatus lebih dari 4000 gram dinamakan bayi besar.

Faktor keturunan memegang peranan penting sehingga dapat terjadi bayi

besar. Janin besar biasanya juga dapat dijumpai pada ibu yang mengalami

diabetes mellitus, obesitas (berat badan > 70 kg), postmaturitas, grande

multipara, kenaikan berat badan selama hamil >20 kg.

Janin besar menyebabkan regangan dinding rahim yang sangat besar

dapat timbul inersia uteri sehingga kemungkinan HPP akibat atonia uteri

lebih besar.

3.8.4 Kelainan posisi dan presentasi

Malpresentasi dan Malposisi

Pemeriksaan abdomen Pemeriksaan dalam

Malposisi  Bagian bawah Fontanelle posterior


perut rata mengarah ke sakrum.
Occiptoposterior  Tungkai janin bisa Fontanelle anterior
dipalpasi dari mudah diraba karena
anterior adanya defleksi kepala.
 Bunyi denyut
jantung terdengar
dari samping
Presentasi Dahi  Lebih dari setengah Fontanelle anterior dan
bagian kepala di lingkarannya teraba.
atas simfisis pubis
Muka  Lekukan teraba Muka dipalpasi, mulut
antara kepala dan mudah dibuka. Dagu
punggung dan tulang rahang,bisa
dipaipasi.
Sungsang  Kepala teraba di Pantat dan/atau kaki
bagian atas perut bisa diraba. Mekonium
 Sungsang teraba di kental berwarna gelap
bibir panggul pada sungsang bawah
 Bunyi denyut janin adalah normal.
terdengar lebih
tinggi dari
presentasi kepala

55
Lintang  Kepala atau pantat Bahu atau lengan
tidak bisa diraba biasanya bisa diraba.
pada simfisis pubis Bahu bisa dibedakan
dan kepala dari pantat dengan cara
biasanya teraba di meraba iga.
satu sisi

3.8.5 Komplikasi CPD

Komplikasi pada ibu:

1. Persalinan lebih lama. Karena gangguan pembukaan ataupun

banyaknya waktu yang diperlukan moulage kepala anak. Partus lama

dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis, serta infeksi intrapartum.

2. Sering terjadi kelainan presentasi dan posisi

3. Rupture uteri, jika his terlalu kuat dalam usaha mengatasi rintangan

yang ditimbulkan panggul sempit.

4. Post partum hemoragik hingga syok.

5. Fistula vesikogenital dan rektovaginal akibat tekanan lama pada

jaringan yang dapat menimbulkan iskemik yang menyebabkan

nekrosis.

6. Ruptur simpisis (simfisiolisis), pasien merasakan nyeri diarea simpisis

dan tidak dapat mengangkat tungkainya

7. Paresis kaki ibu akibat tekanan dari kepala pada saraf di dalam rongga

panggul . yang paling sering yaitu paresis nervus peroneus.

Komplikasi Janin :

1. Meningkatkan kematian perinatal

2. Prolapsus funukuli

56
3. Perdarahan intrakrania bila janin lahir dengan mengadakan Moulage

berat

4. Kejang

5. Asfiksia

6. Cedera fasial

57
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien Ny. I,

25 tahun datang ke IGD RSML dengan keluhan pusing atau nyeri kepala. Nyeri

kepala merupakan salah satu gejala pada pasien pre eklampsia berat yang terjadi

akibat hipoperfusi otak sehingga terjadi vasogenik edem. Nyeri kepala merupakan

salah satu gejala subjektif dari preeklampsia berat dengan impending eklampsia.

Gejala lain dari PEB dengan impending eklampsia yaitu gangguan visus, nyeri

epigastrium, muntha-muntah, dan kenaikan progresif dari tekanan darah. Selain

itu pasien juga mengeluhkan penglihatannya kabur, hal ini sesuai dengan gejala

PEB dengan impending eklampsia. Pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur,

hal ini sesuai dengan teori gejala pada preeklampsia dimana penglihatan kabur

disebabkan oleh spasme arteri retina dan edema retina sehingga muncul gejala

gangguan visus. Pasien juga mengeluhkan bengkak di kaki dan tangan, hal ini

menunjukkan gejala pada preeklamsia yang disebabkan oleh hipoalbumin.

Diketahui bahwa albumin mempunyai fungsi menjaga agar cairan yang

terdapat dalam pembuluh darah tidak bocor ke jaringan tubuh sekitarnya.

Hipoalbumin menyebabkan penurunan dari tekanan onkotik yang menyebabkan

cairan berpindah ke ruang interstitial. Pasien ini juga mengeluhkan sesak napas,

hal ini dijalaskan bahwa pada kondisi preklamsia berisiko terjadinya edema paru.

Hal ini disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan endotel pada pembuluh

darah kapiler paru, dan menurunnya diuresis.

58
Dari anamnesis sesuai HPHT saat ini pasien hamil dengan usia kehamilan

39-40 minggu dan diketahui bahwa kehamilan merupakan kehamilan pertama

pasien. Hal ini mendukung teori bahwa salah satu faktor risiko dari pre eklamsia

adalah primigravida.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien

167/115 mmHg. Tekanan sistolik ≥ 160 dan diastolik ≥ 110 dapat diklasifikasikan

dalam pre eklampsia berat. Hipertensi terjadi akibat vasokonstriksi pembuluh

darah akibat adanya disfungsi endotel. Disfungsi endotel menyebabkan gangguan

metabolisme prostaglandin yang mana berfungsi sebagai vasodilator kuat.

Disfungsi endotel juga menyebabkan munculnya agregasi trombosit yang mana

akan memicu produksi tromboksan yaitu suatu konstriktor kuat. Selain itu juga

didapatkan proteinuria +3 pada pemeriksaan urin rutin. Berdasarkan teori,

proteinuria terjadi akibat kerusakan glomerulus. Kerusakan glomerulus

menyebabkan peningkatan permeabilitas mebran basalis sehingga terjadi

kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Adanya hipertensi dan proteinuria

memenuhi kriteria minimum untuk diagnosis preeklampsia. (Sarwono, 2014).

Adapun penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian infus RL dan

pemasangan foley kateter. Hal ini sejalan dengan teori bahwa monitoring input

dan output cairan pada pasien pre eklampsia penting adanya mengingat penderita

pre eklampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edem paru

dan oliguria. Selain itu, diberikan antikejang berupa MgSO4 dengan tujuan

mencegah kejang atau mencegah terjadinya eklamspia. Magnesium sulfat

mempunyai bekerja dengan cara menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin

pada serat saraf dengan menghambat transmisi neurmskular. Pada pemberian

59
magnesium sulfat akan menggeser kalsium sehingga aliran rangsang tidak terjadi

oleh karena itu dapat mencegah terjadinya kejang. Selain itu pemberian

magnesium sulfat juga mempunyai efek terhadap kardiovaskular yaitu dapat

menurunkan tahanan vaskulas sistemik dan tekanan arteri rerata (Williams, 2014).

Pada pasien ini tidak diberikan obat antihipertensi. Keuntungan dan risiko

pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan - sedang (tekanan darah 140 – 169

mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial. European Society of Cardiology

(ESC) guidelines 2010 merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan

darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita dengan

hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronik

superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan

organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Namun di RSU Dr.Soetomo

Surabaya batas untuk pemberian antihipertensi adalah apabila tekanan sistolik ≥

180 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Berdasarkan Cochrane review

atas 40 studi evaluasi yang melibatkan 3.797 perempuan hamil dengan

preeclampsia, Duley menyimpulkan bahwa pemberian antihipertensi pada

preeclampsia masih belus jelas kegunaannya, sehingga saat ini untuk pemberian

antihipertensi pada preklampsia masih tergantung pada masing-masing klinikus

berdasarkan pengalaman (Sarwono, 2014).

Pasien ini selain mengalami preklampsia juga didiagnosis sebagai CPD

karena berdasarkan hasil USG terakhir, diketahui bahwa taksiran berat janinnya

yang besar yaitu sekitar 4000 gram. Pada pasien ini dilakukan manajemen aktif

yaitu dilakukannya terminasi kehamilan bersamaan dengan pemberian pengobatan

medikamentosa. Pasien ini sudah memennuhi indikasi dilakukan perawatan aktif

60
yaitu umur kehamilan ≥37 minggu, adanya tanda-tanda impending eklampsia

(nyeri kepala, penglihatan kabur). Pasien dilakukan persalinan secara section

caesaria (SC) disebabkan karena pasien mengalami CPD akibat berat janin yang

besar. Pasien CPD merupakan salah satu indikasi dilakukan persalinan SC. Berat

janin yang besar menyebabkan regangan dinding rahim yang besar sehingga

kemungkinan terjadinya perdarahan post partum lebih besar. Selain itu janin besar

juga menyebabkan persalinan lebih lama karena gangguan pembukaan atau

banyaknya waktu yang diperlukan untuk moulage kepala anak. Selain itu pasien

juga mengalami tanda-tanda impending eklampsia dan belum ada tanda-tanda

inpartu sehingga pasien harus dilakukan terminasi segera dengan peralinan SC.

Persalinan pada PEB dimana persalinan dengan memperpendek kala II agar ibu

tidak terlalu lama mengejan. Karena apabila ibu terlalu banyak mengejan maka

akan memperburuk kondisinya dengan meningkatnya tekanan darah tinggi

(Sarwono, 2014).

Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, karena saat setelah

dilakukan terminasi kehamilan kondisi pasien semakin membaik ditandai dengan

tekanan darah berangsur-angsur turun dan kembali normal, dan keluhan seperti

sesak bengkak juga sudah berkurang.

61
BAB V

KESIMPULAN

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai

dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi

sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia

ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan

disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20

minggu.

Penyebab preeklampsia saat ini belum diketahui secara jelas, banyak teori

yang telah dikemukakan, tetapi tidak ada satupun teori yang dianggap mutlak

benar. Preeklampsia diduga disebabkan oleh kelainan vaskularisasi plasenta,

iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel, intoleransi imunologik

antara ibu dan janin, adaptasi kardiovaskular, genetik, defisiensi zat gizi dan

inflamasi.

Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik

yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada

usia kehamilan diatas 20 minggu. Tujuan utama dari perawatan preklampsia

adalah mencegah kejang, perdarahan intrkranial, mencegah gangguan fungsi

organ vital, dan melahirkan bayi sehat. Penanganan secara medikamentosa

diberikan obat-obatan seperti MgSO4 untuk mencegah kejang, obat antihipertensi

untuk menurunkan tekanan darah, kortikosteroid bila diperlukan untuk

pematangan paru-paru janin bila usia kehamlian belum aterm dan ibu harus

diterminasi segera. Penanganan terhadap kehamilannya berupa menejemen aktif

62
dan ekspektatif dilihat dari bagaimana kondisi janin dan ibu apakah perlu

dilakukan terminasi kehamilan atau tidak.

Penentuan prognosis ibu dan janin sangat bergantung pada umur gestasi

janin, adatidaknya perbaikan setelah perawatan, kapan dan bagaimana proses

bersalin dilaksanakan, dan apakah terjadi eklampsia.

63
DAFTAR PUSTAKA

Alex C. Vidaeff; Mary A. Carroll SMR. Acute hypertensive emergencies in

pregnancy. Crit Care Med. 2005;33:S307-S12.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL, et

al, 2014, Williams Obstetrics. 24th ed. USA: McGrawHill

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun

2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: 2015

Magee Le, 2014, Canadian Hypertensive Disorders of Pregnancy Working Group,

Diagnosis, Evaluation, and Management of the Hypertensive

Disorders of Pregnancy: Executive Summary. Journal of Obstetrics

Gynecology Canada: 36(5); 416-438

Montan S. Drugs used in hypertensive diseases in pregnancy. Curr Opin Obstet

Gynecol. 2004;16:111-5.

Task Force on Hypertension in Pregnancy, American College of Obstetricians and

Gynecologist. Hypertension in Pregnancy. Washington: ACOG. 2013

Tranquilli AL, Dekker G, Magee L, Roberts J, Sibai BM, Steyn W, Zeeman GG,

Brown MA, 2014, The classification, diagnosis and management of

the hypertensive disorders of pregnancy: a revised statement from the

ISSHP. Pregnancy Hypertension: An International Journal of

Women;s Cardiovascular Health: 4(2):99-104

64
Sarwono, 2014. Hipertensi Dalam Kehamilan. Dalam : Ilmu Kebidanan Sarwono

Prawirohardjo. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

hal. 530-561.

65

Anda mungkin juga menyukai