”
Dan “Wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan membahayakan bagi
kehidupan di akhirat.”
Ungkapan ini adalah definisi terbaik dan paling mewakili untuk kata zuhud dan wara’.
(Madarij as-Salikin, 2/10).
Sebagian ulama menyebutkan bahwa zuhud telah Allah jelaskan dalam al-Quran melalui
ayat-Nya,
َ ْ علَى ت َأ
س ْوا ِل َكي َْلا ّللاُ آَت َا ُك ْام بِ َما ت َ ْف َر ُحوا َو َا
َ ل فَات َ ُك ْام َما فَ ُخورا ُم ْخت َالا كُ َا
ل يُحِ با َا
ل َو َا
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan bersedih terhadap apa yang tidak
kamu dapatkan, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-
Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri. (QS. Al-Hadid: 23)
Zuhud adalah amal hati, sehingga yang bisa menilai hanya Allah. Karena itu, kita tidak
bisa menilai status seseorang itu zuhud ataukah tidak zuhud, hanya semata dengan
melihat penampilan luar. Kekayaan dan harta yang dimiliki, bukan standar zuhud. Orang
bisa menjadi zuhud, sekalipun Allah memberikan banyak kekayaan kepadanya.
Kita tidak memungkiri bahwa para Nabi yang Allah beri kerajaan, seperti Yusuf, Daud,
atau Sulaiman, mereka adalah manusia-manusia yang sangat zuhud.
Kami anugerahkan anak kepada Daud yang namanya Sulaiman. Sebaik-baik hamba.
Sesungguhnya dia awwab (orang suka kembali kepada Allah). (QS. Shad: 30)
Anda bisa perhatikan, ketiga nabi mulia dengan ujian yang berbeda, Allah gelari mereka
semua dengan kata ‘Awwab’. Daud dan Sulaiman ‘alaihimas salam diuji dengan
kekayaan, sementara Ayyub diuji dengan kemiskinan.
Jawab beliau,
له قلبى فاطمأن غيرى يأخذه لن رزقى بأن علمت, به فاشتغلت غيرى به يقوم ل عملى بأن وعلمت, هللا أن وعلمت
معصية على أقابله أن فاستحييت على مطلع, هللا للقاء الزاد فأعددت ينتظرنى الموت أن وعلمت
Aku yakin bahwa rizkikku tidak akan diambil orang lain, sehingga hatiku tenang dalam
mencarinya.
Saya yakin bahwa amalku tidak akan diwakilkan kepada orang lain, sehingga aku sendiri
yang sibuk menjalankannya.
Aku yakin bahwa Allah selalu mengawasi diriku, hingga aku malu merespon
pengawasannya dengan melakukan maksiat.
Aku yakin bahwa kematian menantiku. Sehingga aku siapkan bekal untuk ketemu Allah…
Semoga Allah membimbing kita untuk mengambil bagian dari sifat zuhud itu.
Allahu a’lam.
Wara’
Saudaraku, tahukan apa itu wara’? Kata yang sederhana, namun jika sifat ini dimiliki,
maka seseorang akan mendapatkan banyak kebaikan. Wara’ secara sederhana berarti
meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali
memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang
berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya. Mari kita
lihat sejenak mengenai sifat wara’ ini.
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya,
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik
agama kalian adalah sifat wara’” (HR. Ath Thobroni dalam Al Awsath, Al Bazzar dengan
sanad yang hasan. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 68
mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi).
Sangat sederhana sekali apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim mengenai pengertian
wara’, beliau cukup mengartikan dengan dalil dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-. Ibnul Qayyim menjelaskan,
فقال واحدة كلمة في كله الورع النبي جمع وقد: يعني ل لما الترك يعم فهذا يعنيه ل ما تركه المرء إسلم حسن من: من
الورع في شافية كافية الكلمة فهذه والباطنة الظاهرة الحركات وسائر والفكر والمشي والبطش والستماع والنظر الكلم
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun makna wara’ dalam satu kalimat
yaitu dalam sabda beliau, “Di antara tanda kebaikan Islam seseorang yaitu meninggalkan
hal yang tidak bermanfaat.” Hadits ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak
bermanfaat yaitu mencakup perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis,
berjalan, berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah
mencukupi untuk memahami arti wara’.” (Madarijus Salikin, 2: 21).
Dinukil dari Madarijus Salikin (di halaman yang sama), Ibrahim bin Adham berkata,
“Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar), termasuk pula
meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan
perkara mubah yang berlebihan.”
Sahl At Tursturiy berkatas, “Seseorang tidaklah dapat mencapai hakikat iman hingga ia
memiliki empat sifat: (1) menunaikan amalan wajib dengan disempurnakan amalan
sunnah, (2) makan makanan halal dengan sifat wara’, (3) menjauhi larangan secara lahir
dan batin, (4) sabar dalam hal-hal tadi hingga maut menjemput.”
Sahl juga berkata, “Siapa yang makan makanan haram dalam keadaan ingin atau tidak,
baik ia tahu atau tidak, maka bermaksiatlah anggota badannya. Namun jika makanan
yang ia konsumsi adalah halal, maka patuhlah anggota badannya dan akan diberi taufik
melakukan kebaikan.” (Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Wara’ adalah keluar dari syubhat (perkara yang samar) dan
setiap saat selalu mengintrospeksi diri.” (Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil
Himmah, 4: 326)
“Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. An Nasai
dan Tirmidzi, shahih kata Syaikh Al Albani)
“Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhrinya, aku mendapati sifat
wara’.” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51).
Lihatlah bagaimana sikap Imam Nawawi rahimahullah dalam menyikapi apabila ada
keragu-raguan dalam masalah suatu hukum, halal ataukah haram. Beliau berkata,
يء ت ََر َد َاد فَإِذَا
ْ شَ َو ْال ُح ْر َمة ْالحِ لا بَيْن ال، ن َولَ ْام ل نَصا فِي ِاه يَ ُك ْا إِجْ َماع َو َا، ْال ُمجْ ت َ ِهد فِي ِاه اِجْ ت َ َه َاد، ُل بِأ َ َح ِد ِه َما فَأ َ ْل َحق اهبِال َدلِي ِا
ش ْرعِيا َ ار ِب ِاه أ َ ْل َحقَ اهُ فَإِذَا الص َاَ ا
لً ل َ ح
َ ، ا
دْ َ ق و
َ ون ُ
ك ي
َ ْر ي غ
َ َال
خ ا
نْ ع
َ ال مَ ت
ِ ْح ال
ِ ن ي
َِ ب ْ
ال ، ون ُ
ك يَ ف
َ َ َع ر و ْ
ال كه َر
ْ ت ، ون ُ
ك ي
َ َ ل
و فِي دَاخِ ً ا
صلى قَ ْوله َ علَ ْي ِاه َا
َ ّللا َ سل َام َ َ
) َوع ِْرضه ِلدِينِ ِاه اِ ْستَب َْراأ فَقَ ْاد الشبُ َهات اِتَقَى فَ َم ْا
َ َو: ( ن
“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil
tegas, tidak ada ijma’ (konsensus ulama); lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia
berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal,
namun ada yang masih tidak jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan
yang masih meragukan tersebut. Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Syarh Muslim, 11: 28).
Demikian sedikit ulasan kami mengenai sifat wara’. Moga Allah mudahkan kita termasuk
dalam golongan orang-orang yang wara’.
Kosakata:
Wara’ : meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali
memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang
berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya
https://rumaysho.com/3016-bersikaplah-wara.html
Kita sering kali tidak qana’ah, lupa terhadap nikmat yang telah Allah berikan, karena
umumnya manusia melupakan dan selalu merasa kurang dengan apa yang mereka
miliki. Hal tersebut membuat ia selalu diliputi perasaan iri juga dengki atas nikmat yang
orang lain punya, dan menjadikan kehidupannya tidak bisa tenang. Hal ini merupakan
kecenderungan dari sifat dasar manusia yang selalu tidak merasa puas dengan apapun
yang ia miliki.
Sifat Qana’ah
ummi-online.com
Pengertian Qana’ah
Arti Qanaah adalah suatu sikap yang rela menerima dan selalu merasa cukup dengan
hasil yang sudah diusahakan serta menjauhkan diri dari rasa tidak puas juga perasaan
kurang. Dan seseorang bisa disebut bersifat qonaah apabila memiliki pendirian dengan
apa yang telah diperoleh atau bersyukur atas yang ada pada dirinya karena semua
adalah kehendak Allah.
Pendeknya dengan qona’ah ini kita akan lebih bersyukur dengan yang telah Allah
tetapkan kepada kita. Balasan dari Allah untuk mereka yang bersikap qonaah selama di
bumi yaitu kita akan merasakan kehidupan di dunia ini dengan lebih baik lagi.
Sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala telah berfirma dalam suarat An-Nahal:97
ل َم ْنا
عمِ َا
َ صا ِل ًحا طيِبَ اةً َحيَااة ً فَلَنُحْ يِيَنَ اهُ ُمؤْ مِ نا َوه َاُو أ ُ ْنثَىا أ َ ْاو ذَكَرا مِ ْا
َ ن ِ ن أَجْ َر ُه ْام َولَن
َ ۖ َجْزيَنَ ُه ْام َ ْيَ ْع َملُونَا كَانُوا َما بِأَح
س ِا
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Sikap Qana’ah
Setelah dijelaskan bahwa qana’ah merupakan sikap ridho menerima dan merasa cukup
terhadap hasil yang telah diusahkannnya serta menjaukan diri dari rasa tidak puas serta
perasaan kurang. Meskipun demikian, orang yang memiliki sikap qa’naah tidak berarti
serta merta menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar.
Seorang Muslim kaya bisa saja memiliki harta berlimpah. Namun bukan untuk
menumpuk kekayaannya tersebut. Tetapi kekayaan yang dimilikinya di dunia dibatasi
dengan rambu-rambu yang telah Allah dan RasulNya tetapkan. Dari mulai dari mana dia
mendapatkan, untuk apa harta tersebut dia pergunakan dan semisalnya.
Dengan demikian segala yang dimilikinya tidak pernah melalaikann dari mengingat Sang
Maha Kaya, Justru kekayaannya menambah qana’ahnya juga mempertebal rasa
syukurnya. Maka hendaklah dalam urusan dunia kita melihat orang yang berada di
bawah kita. Sebaliknya untuk urusan Akhirat kita melihat orang yang diatas kita.
Sebagaimana telah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam sabdakan dalam sebuah hadits.
عنه هللا رضى هريرة ابى عن: سلم و عليه هللا صلى هللا رسول قال. منكم اسفل من الى انظروا, من الى تنظروا ول
عليكم هللا نعمة تزدروا ل ان اجدر فهو فوقكم هو. ()عليه متفق
Artinya; “Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian,
karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian agar kalian tidak memandang hina
nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Muttafaqun Alaih)
Kata akhlak berasal dari dari bahasa arab khuluq yang jamaknya akhlak yang artinya
perangi atau budi pekerti. Ukuran akhlak itu baik atau buruk adalah motif yang
mendasari perbuatan dan tindakan dan adanya petunjuk yang mengatakan itu baik
berdasarkan firman Allah dan sabda Rasul saw. Jadi pemahaman akhlak adalah
seseorang yang mengerti benar tentang segala sesuatu tindakannya hanya mengharap
ridha Allah SWT.
Akhlak merupakan masalah yang sangat penting dalam islam. Seseorang dapat
dikatakan berakhlak ketika dia menerapakan nilai-nilai islam dalam aktifitas hidupnya.
Jika aktifitas itu terus dilakukan berulang-ulang dengan kesadaran hati maka akan
menghasilkan kebiasaan hidup yang baik. Akhlak merupakan perpaduan antara hati,
pikiran, perasaan, kebiasaan yang membentuk satu kesatuan tindakan dalam kehidupan.
Sehingga bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik, mana yang jelek dan mana
yang cantik dan hal ini timbul dari fitrahnya sebagai manusia.
Hati nurani manusia selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti
ajaran-ajaran Allah Swt.
Rumusan masalah
C.Tujuan penulisan