Anda di halaman 1dari 15

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Kajian Umum Kepustakaan


1.1 Kajian umum diabetes melitus
a. Definisi Diabetes
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2011).
Diabetes adalah suatu kondisi kronis yang terjadi ketika tubuh
tidak dapat menghasilkan cukup insulin atau tidak dapat
menggunakan insulin, dan didiagnosis dengan mengamati
peningkatan kadar glukosa dalam darah (IDF, 2015).
Penyakit ini merupakan suatu keadaan yang memengaruhi
kemampuan endokrin pankreas untuk memproduksi atau
menggunakan hormon insulin. Insulin adalah hormon yang
diproduksi di pankreas . Insulin diperlukan untuk mengangkut
glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh di mana ia digunakan
sebagai energi. Kurangnya, atau ketidakefektifan, insulin pada orang
dengan diabetes berarti bahwa glukosa tetap beredar di dalam darah
(IDF, 2015).
b. Klasifikasi Diabetes
Dalam IDF Diabetes Atlas yang diterbitkan tahun 2015 terdapa
tiga jenis diabetes, yaitu:
1) Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 disebabkan oleh reaksi autoimun, di mana
sistem pertahanan tubuh menyerang sel-sel beta penghasil insulin
di pankreas. Akibatnya, tubuh tidak bisa lagi memproduksi insulin
yang dibutuhkan. Mengapa ini terjadi tidak sepenuhnya dipahami.
Penyakit ini dapat memengaruhi orang-orang dari segala usia,
tetapi biasanya terjadi pada anak-anak atau dewasa muda. Orang
9

dengan bentuk diabetes perlu insulin setiap hari untuk


mengendalikan kadar glukosa dalam darah mereka.
Tanpa insulin, orang dengan diabetes tipe 1 akan mati.
Diabetes tipe 1 sering berkembang tiba-tiba dan dapat
menghasilkan gejala seperti haus abnormal dan mulut kering,
sering buang air kecil, kurangnya energi, kelelahan ekstrim,
kelaparan konstan, penurunan berat badan mendadak, dan
penglihatan kabur.
Diabetes tipe 1 didiagnosis oleh kadar glukosa darah dengan
gejala yang tercantum di atas. Di beberapa bagian dunia, diabetes
tipe 1 masih kurang umum gejala mungkin keliru untuk penyakit
lain, dan oleh karena itu pentingnya dilakukan pengukuran
glukosa darah ketika satu atau lebih gejala di atas hadir. Kadang-
kadang jenis diabetes tidak jelas dan perlu tes tambahan untuk
membedakan antara tipe 1 dan diabetes tipe 2. Dengan
pengobatan insulin setiap hari, pemantauan glukosa darah rutin
dan pemeliharaan diet sehat dan gaya hidup, orang dengan
diabetes tipe 1 dapat menjalani kehidupan yang sehat normal.
Jumlah orang yang menderita diabetes tipe 1 meningkat. Alasan
untuk ini masih belum jelas, tetapi mungkin karena perubahan
faktor risiko lingkungan dan / atau infeksi virus (IDF, 2015)
2) Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes tipe 2 adalah jenis yang paling umum dari diabetes.
Biasanya terjadi pada orang dewasa, tapi semakin terlihat pada
anak-anak dan remaja. Pada diabetes tipe 2, tubuh mampu
memproduksi insulin tetapi menjadi resisten sehingga insulin
tidak efektif. Seiring waktu, kadar insulin kemudian menjadi tidak
cukup. Kedua resistensi insulin dan defisiensi menyebabkan kadar
glukosa darah tinggi. Gejala diabetes tipe 2 meliputi sering buang
air kecil, sering haus, penurunan berat badan, dan penglihatan
kabur.
10

Banyak orang dengan diabetes tipe 2 tidak menyadari kondisi


mereka untuk waktu yang lama karena gejala biasanya kurang
ditandai. Sehingga tubuh akan rusak oleh glukosa darah yang
berlebih. Akibatnya, banyak orang yang sudah mengalami
komplikasi ketika mereka didiagnosis dengan diabetes tipe 2.
Meskipun penyebab pasti untuk pengembangan diabetes tipe 2
masih belum diketahui, ada beberapa faktor risiko yang penting.
Yang paling penting adalah kelebihan berat badan, aktivitas fisik
dan gizi buruk. Faktor-faktor lain yang berperan adalah etnis,
riwayat keluarga diabetes, riwayat diabetes gestasional dan usia.
Berbeda dengan orang-orang dengan diabetes tipe 1, kebanyakan
orang dengan diabetes tipe 2 tidak memerlukan pengobatan
insulin setiap hari untuk bertahan hidup. Dasar pengobatan
diabetes tipe 2 adalah penerapan pola makan yang sehat,
meningkatkan aktivitas fisik dan pemeliharaan berat badan yang
normal. Jumlah orang dengan diabetes tipe 2 ini berkembang
pesat di seluruh dunia. Kenaikan ini terkait dengan penuaan
populasi, pembangunan ekonomi, peningkatan urbanisasi, diet
kurang sehat dan mengurangi aktivitas fisik (IDF, 2015).
3) Diabetes Gestasional
Hiperglikemia yang pertama kali terdeteksi pada setiap saat
selama kehamilan diklasifikasikan sebagai diabetes gestational.
Diabetes mellitus pada wanita hamil dengan kadar glukosa darah
sedikit lebih tinggi diklasifikasikan memiliki diabetes gestasional,
sementara wanita dengan kadar glukosa darah tinggi secara
substansial diklasifikasikan sebagai memiliki diabetes mellitus
pada kehamilan. Diabetes gestational cenderung terjadi dari
minggu ke-24 kehamilan. Gejala yang nampak jelas dari
hiperglikemia selama kehamilan yang langka dan sulit dibedakan
dari gejala kehamilan normal, tetapi mungkin termasuk
peningkatan rasa haus dan sering buang air kecil. Skrining dengan
11

cara tes toleransi glukosa oral sangat dianjurkan. Skrining harus


dilakukan di awal kehamilan untuk wanita berisiko tinggi, dan
antara minggu 24 dan 28 kehamilan. Wanita dengan hiperglikemia
terdeteksi selama kehamilan memiliki risiko besar terhadap
kehamilan, seperti tekanan darah yang sangat tinggi dan
makrosomia janin (secara signifikan lebih besar dari rata-rata
bayi), yang dapat membuat kelahiran vagina sulit dan berisiko.
Wanita dengan hiperglikemia selama kehamilan dapat
mengontrol kadar glukosa darah mereka melalui pemantauan diet
sehat, olahraga ringan dan glukosa darah. Dalam beberapa kasus,
insulin atau obat oral mungkin juga akan diresepkan. Gestational
diabetes biasanya menghilang setelah melahirkan. Namun, wanita
yang telah didiagnosis sebelumnya berada pada risiko lebih tinggi
terkena diabetes gestasional pada kehamilan berikutnya dan
diabetes tipe 2 di kemudian hari. Bayi yang lahir dari ibu dengan
diabetes gestasional juga memiliki risiko lebih tinggi terkena
diabetes tipe 2 di usia remaja atau dewasa awal (IDF, 2015).
c. Faktor Resiko
Peningkatan jumlah penderita diabetes setiap tahunnya
diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor risiko diabetes melitus bisa
dikelompokkan berdasaran faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan
tidak dapat dimodifikasi
 Faktor resiko dm yang tidak dapat dimodifikasi
- Usia
- Jenis Kelamin
- Riwayat Keluarga
- Ras dan Etnik
 Faktor resiko dm yang dapat dimodifikasi
- Kurangnya Aktifitas Fisik
- Pola Makan
- Pola Tidur
12

- Alkohol dan Rokok


- Stres
- Obesitas
- Hipertensi
d. Tanda dan Gejala Diabetes Melitus
Kebanyakan penderita diabetes tidak menyadari bahwa dia
sedang mengidap penyakit tersebut. Gejala klasik seperti:
1) Poliuria
Poliuria atau sering buang air kecil merupakan akibat dari
proses adaptasi tubuh terhadap gula dalam darah sehingga
mengeluarkannya melalui urin. Hal ini terjadi jika darah
mengandung lebih banyak glukosa daripada yang dapat diserap
lagi oleh ginjal sehingga dikeluarkan bersama urin (Ramainah,
2003).
2) Polidipsia
Polidipsia merupakan keadaan penderita yang mudah merasa
haus diakibatkan oleh frekuensi buang air kecil yang meningkat
sehingga tubuh kehilangan banyak cairan sehingga tubuh
membutuhkan asupan air yang lebih sering (Bujawati, 2011).
3) Polifagia
Ketika insulin yang memadai tidak melekat pada reseptor, sel-
sel tubuh tidak memperoleh energi apa pun sehingga sel-sel
tersebut mengirimkan suatu pesan lapar ke otak. Otak merespons
pesan tersebut dengan memberi rasa lapar yang berlebihan.
Walaupun makan banyak, glukosa yang diperoleh dari makanan
tidak dapat digunakan untuk energi karena glukosa tersebut
dilepaskan melalui urin (Ramainah, 2003).
4) Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan terjadi akibat tubuh kekurangan gula
sebagai sumber energi bagi otot sehingga otot akan mudah lemah
dan lesu (Bujawati, 2011).
13

e. Diagnosis Diabetes Melitus


Beberapa tes yang biasa dipakai untuk penegakan diagnosis
diabetes antara lain:
1) Fasting Plasma Glucose Test (FGT)
FGT atau biasa dikenal dengan istilah tes gula darah puasa
merupakan tes yang dilakukan dengan pengambilan darah pada
pasien yang telah melakukan puasa selama 8-14 jam sebelum
melakukan tes. Tes ini biasa dikenal dengan tes gula darah puasa
(GDP) Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya bias
pengukuran akibat peningkatan gula darah karena faktor
makanan. Orang dengan usia diatas 65 tahun harus mendapat
perhatian khusus karena puasa bagi lansia justru akan
meningkatkan kadar glukosa darah (Bujawati, 2011). Hasil
pemeriksaan FGT dapat dilihat pada tabel berikut (Perkeni,
2011):
Tabel 1
Hasil Pemeriksaan FGT
NO Hasil Pemeriksaan Diagnosis
1. <70 mg/Dl Hipoglikemia
2.
70-99 mg/Dl Normal
3.
4. 100-126 mg/Dl Prediabetes
>126 mg/Dl Diabetes

2) Oral Glucose Tolerance Test (OGTT)


Tes ini dianggap lebih akurat dibandingkan FGT. Tes ini juga
dilakukan untuk melihat gula darah puasa. Prosedur pelaksanaan
tes ini dama dengan FGT. Hanya saja pasien tidak boleh berpuasa
lebih dari 8 jam. Dalam satu kali tes, darah dianalisa sebanyak
empat kali dan jika kadarnya diluar batas normal dalam 2 kali
analisis, maka hasil dianggap akurat. Diagnosis hasil pemeriksaan
OGTT dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Perkeni, 2011):
Tabel 2
Hasil Pemeriksaan OGTT
14

NO Hasil Pemeriksaan Diagnosis


1. <140 mg/Dl Normal
2.
140-199 mg/Dl Prediabetes
3.
>200 mg/Dl Diabetes

Tes ini dapat juga digunakan untuk mengetahui kemungkinan


seseorang mengidap diabetes gestasional yang berhubungan
dengan kehamilan. Hanya saja pada tes OGTT biasa, glukosa
yang diberikan andalan 75 gram dalam air sedangkan untuk
penegakan diagnosis diabetes gestasional, glukosa yang diberikan
100 gram (Bujawati, 2011).
3) Random Plasma Glucose Test (RGT)
Pada tes ini, pengambilan darah dilakukan secara acak dan
pasien tidak diharuskan berpuasa. Tes ini biasa disebut dengan tes
gula darah sewaktu (GDS). Seseorang akan dinyatakan diabetes
jika kadar glukosanya mencapai 200 mg/dL dan diikuti dengan
gejala:
 Meningkatnya urin yang keluar (poliuria)
 Rasa haus yang berlebihan (polidipsia)
 Rasa lapar yang meningkat (polifagia)
 Berat badan yang menurun tanpa alasan yang jelas (bukan
karena diet)
 Penglihatan kabur
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia
fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring
dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus
diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah
plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel di
bawah ini (Perkeni, 2011):
Tabel 3
15

Nilai Hasil Pemeriksaan Glukosa Darah Plasma Vena dan Glukosa


Darah Kapiler

Bukan Belum DM
DM Pasti DM
Kadar Plasma Vena <100 100-199 ≥200
GDS Darah Kapiler <90 90-199 ≥200
(mg/dl)
Kadar Plasma Vena <100 100-125 ≥126
GDP Darah Kapiler <90 90-125 ≥126
(mg/dl)

4) Tes Urin
Tes ini dilakukan untuk mengecek adanya keterkaitan penyakit
ginjal dan diabetes. Pengukuran dilakukan pada kadar protein,
glukosa dan ketone dalam urin (Bujawati, 2011).
f. Penatalaksanaan Diabetes
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik,
meningkatkan kualitas hidup dengan menormalkan KGD, dan
dikatakan penderita DM terkontrol sehingga sama dengan orang
normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :
1) Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga dan masyarakat.
2) Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non
farmakologik yang sangat direkomendasikan bagi penyandang
diabetes. Terapi ini pada prinsipnya melakukan pengaturan pola
makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan
modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan :
a) Kadar glukosa darah yang mendekati normal
 Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
 Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
 Kadar HbA1c < 7%
b) Tekanan darah <130/80
16

c) Profil lipid :
 Kolesterol LDL <100 mg/dl
 Kolesterol HDL >40 mg/dl
 Trigliserida <150 mg/dl
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah
Karbohidrat 60-70%, Lemak 20-25% dan Protein 10-15%.
KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)
 Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung
karbohidrat lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan jenis
karbohidrat itu sendiri.
 Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari
sumber karbohidrat
 Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah
karbohidrat maksimal 70% dari total kebutuhan perhari
 Jumlah serat 25-50 gram/hari.
 Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10
ml/hari.
 Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai
penggantinya adalah pemanis buatan seperti sakarin, aspartam,
acesulfam dan sukralosa. Penggunaannya pun dibatasi karena
dapat meningkatkan resiko kejadian kanker.
 Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari
 Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN
 Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein
tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol,
pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari .
 Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan
sampa 0,85 gr/kg BB/hari dan tidak kurang dari 40 gr.
 Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein
nabati lebih dianjurkan dibandingkan protein hewani.
LEMAK
17

 Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah


maksimal 10% dari total kebutuhan kalori perhari.
 Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh
diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori perhari.
 Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol
LDL ≥100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yag dapat
dikonsumsi 200 mg perhari.
3) Latihan Jasmani
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena
mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes
telah terjadi mikroangiopati dan peningkatan lipid darah akibat
pemecahan berlebihan yang membuat vaskular menjadi lebih
rentan akan penimbunan LDL teroksidasi subendotel yang
memperburuk kualitas hidup penderita. Dengan latihan jasmani
kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini akan menurunkan
kadar gula darah.
Aktivitas latihan :
 5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa
 10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan
meningkat 7-20x. Lemak juga akan mulai dipakai untuk
pembakaran sekitar 40%
 > 40 menit : makin banyak lemak dipecah ±75-90% .
Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula
benda keton yang terkumpul dan ini menjadi perhatian karena
dapat mengarah ke keadaan asidosis. Latihan berat hanya
ditujukan pada penderita DM ringan atau terkontrol saja,
sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350 mg/dl
sebaiknya olahraga yang ringan dahulu. Semua latihan yang
memenuhi program CRIPE : Continous, Rhythmical, Interval,
Progressive, Endurance. Continous maksudnya
berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa berhenti.
Rhytmical artinya latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi
dan relaksi secara teratur. Interval, dilakukan selang-seling antara
18

gerak cepat dan lambat. Progresive dilakukan secara bertahap


sesuai kemampuan dari intensitas ringa sampai sedang hingga 30-
60 menit. Endurance, latihan daya tahan untuk meningkatkan
kemampuan kardiopulmoner seperti jalan santai, jogging dll.
4) Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa
darah belum tercapai degan pengaturan makanan dan latihan
jasmani.
a) obat hipoglikemik oral
 insulin secretagogue :
sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Merupakan obat pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurangm namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Contohnya glibenklamid. Glinid : bekerja cepat, merupakan
prandial glucose regulator. Penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya
hipoglikemia. Contohnya : repaglinid, nateglinid.
 insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan
meningkatkan efek insulin endogen pada target organ (otot
skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
ambilan glukosa di perifer meningkat. Agonis PPARγ yang
ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.
 glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan
juga memperbaiki uptake glukosa perifer. Terutama dipakai
pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada
pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan
kecendrungan hipoksemia.
 Inhibitor absorbsi glukosa
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat
absorbsi glukosa di usus halus sehingga mempunyai efek
19

menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini


tidak menimbulkan efek hipoglikemi
Hal-hal yang harus diperhatikan :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara
bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan
sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30 menit
sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum makan. Metformin
sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase α
bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion tidak
bergantung jadwal makan.
b) Insulin
 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal
dan sekresi insulin prandial. Terapi insulin diupayakan
mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis.
 Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin
basa, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin
basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan
puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan
menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan
koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.
 Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin
kerja cepat (rapid insulin), kerja pendek (short acting), kerja
menengah (intermediate acting) atau insuli campuran tetap
(premixed insulin)
 Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan
yang cepat, hiperglikemia yang berta disertai ketosis,
ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non
ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan
kombinasi OHO dengan dosis yang hampir maksimal, stress
berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke),
kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak
20

terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi


hepar atau ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi
OHO.
5) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah untuk kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan
respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO dengan
insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin
basal (kerja menengah atau kerja lama) yang divberikan pada
malam hari atau menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin
1.2 Kajian Umum Usia
Peningkatan risiko diabetes seiring dengan umur, khususnya pada
usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai
terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan
menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam
memproduksi insulin. Selain itu pada individu yang berusia lebih tua
terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal
ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30%
dan memicu terjadinya resistensi insulin (Trisnawati, 2013).
Pada usia 40 tahun umumnya manusia mengalami penurunan
fisiologis lebih cepat. DM lebih sering muncul pada usia setelah 40 tahun
(Yuliasih i, 2009).
Berdasarkan penelitian Made Dewi Susilawati dan Sri Muljati
(2016) mengelompokkan umur menjadi 2 kategori yaitu kelompok
berisiko tinggi ≥40 tahun dan yang berisiko rendah <40 tahun. Rentang
umur berkisar antara usia 15-98 tahun dengan rata-rata 39,87 tahun.
21

Batas umur 40 tahun digunakan sebagai batas risiko penyakit. Hasil


menunjukan 15% responden usia ≥ 40 tahun sebagai penyandang DM.
1.3 Kajian Umum Riwayat Keluarga
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental
Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial.
Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua
sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami
penyakit ini (Fatimah, 2015).
1.4 Kajian Umum Status Gizi
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg% (Fatimah, 2015).
Pada obesitas, sel-sel lemak yang menggemuk akan menghasilkan
beberapa zat yang digolongkan sebagai adipositokin yang jumlahnya
lebih banyak dibandingkan keadaan tidak gemuk. Sel lemak yang banyak
menghasilkan adipositokin adalah yang melapisi organ-organ di dalam
perut. Oleh karena itu, ukuran obesitas yang berdampak buruk terhadap
diabetes ditentukan dengan mengukur lingkar pinggang yang besar
(Nurrahmani dalam Paulus, 2012).
Obesitas sentral merupakan contoh penimbunan lemak tubuh yang
berbahaya karena adiposit di daerah ini sangat efisien dan lebih resisten
terhadap efek insulin dibandingkan adiposit di daerah lain. Adanya
peningkatan adiposit biasanya diikuti keadaan resistensi insulin
(Nasekhah et al., 2016).
1.5 Kajian Umum Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
rangka yang memerlukan energi. Kurangnya aktivitas fisik merupakan
faktor risiko independen untuk penyakit kronis dan secara keseluruhan
diperkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2013).
Gaya hidup tanpa olahraga serta lebih banyak duduk jelas merusak
kesehatan. Kondisi ini akan memicu terjadinya kelebihan berat badan
yang berisiko terhadap prediabetes dan diabetes tipe 2. Gaya hidup aktif
22

secara fisik akan membantu efektivitas kerja pancreas memompa insulin


(Bujawati, 2011).
Pada diabetes melitus tipe 2 olahraga berperan dalam pengaturan
kadar glukosa darah. Masalah utama pada diabetes melitus tipe 2 adalah
kurangnya respon terhadap insulin (resistensi insulin) sehingga glukosa
tidak dapat masuk ke dalam sel. Permeabilitas membran terhadap
glukosa meningkat saat otot berkontraksi karena kontraksi otot memiliki
sifat seperti insulin. Maka dari itu, pada saat beraktivitas fisik seperti
berolahraga, resistensi insulin berkurang. Aktivitas fisik berupa olahraga
berguna sebagai kendali gula darah dan penurunan berat badan pada
diabetes melitus tipe 2 (Ilyas, 2011).

Anda mungkin juga menyukai