PENDAHULUAN
Hasil dari sektor pertanian ini perlu diperhatikan dengan seksama karena sektor
pertanian banyak menyerap tenaga kerja dan mayoritas dari penduduk di
Indonesia masih banyak yang tinggal di pedesaan atau berkonsentrasi pada
industri pertanian, sehingga saat ini masih banyak yang menitikberatkan mata
pencahariannya pada sektor pertanian, sehingga akhirnya Indonesia seringkali
disebut sebagai negara agraris (Dumairy, 1997:204).
Fakta lain dari sektor kopi yang berhubungan dengan penyediaan lapangan
kerja yakni terciptanya lapangan kerja bagi pedagang pengumpul hingga
eksportir, buruh perkebunan besar dan buruh industri pengolahan kopi. Sisi lain
dari ekspor komoditas kopi mampu menghasilkan devisa lebih dari US $ 500
juta/tahun pada periode 1994-1998.
Peranan dari komoditas kopi tersebut mulai memudar sejak tahun 2000,
khususnya setelah perkopian dunia dilanda krisis akibat membanjirnya
produksi kopi dunia. Harga kopi dunia terus merosot hingga mencapai titik
terendah selama 37 tahun terakhir pada awal tahun 2002 dan belum
menunjukkan perbaikan ataupun perubahan yang cukup berarti. Kondisi
tersebut berdampak langsung pada harga kopi di tingkat petani karena biji kopi
Indonesia sangat tergantung pada pasar internasional. Harga kopi di tingkat
petani sangat rendah, sehingga berdampak negatif bagi perekonomian nasional
terutama di sentra-sentra produksi kopi seperti Lampung dan Sumatera Selatan.
Ragam upaya telah dilakukan secara optimal untuk memperbaiki harga kopi,
baik ditingkat nasional, regional maupun internasional, tetapi belum
membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Harga kopi di tingkat petani
belum mampu untuk menutupi biaya produksinya dan petani terpaksa
membiarkan kebun kopi tidak terpelihara, bahkan sebagian tanaman kopi ada
yang ditebang dan diganti dengan tanaman lain. Kondisi yang seperti ini,
mengakibatkan kopi Indonesia semakin kehilangan daya saing dan peranannya
makin berkurang di kancah perdagangan kopi internasional. Metode untuk
mengukur pertumbuhan atau perubahan nilai komoditas ekspor dari suatu
negara dapat menggunakan model Constant Market Share Analysis (CMSA),
dimana menurut model ini, ada empat faktor atupun komponen yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan nilai ekspor, yakni: kenaikan dalam ekspor
dunia (perdagangan internasional), komposisi komoditas ekspor dunia,
distribusi negara tujuan ekspor (distribusi pasar), dan daya saing
(Santosa, 1999:21).
TINJAUAN PUSTAKA
Laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama, atau lebih tinggi
dari laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia (pertumbuhan standar). Faisal
Basri (1995) mengemukakan, bahwa pada intinya pendekatan Constant Market
Share Analysis, atau biasa disingkat dengan CMSA, akan memecah
pertumbuhan ekspor ke dalam beberapa faktor penyebab selain karena
pertumbuhan ekspor dunia. Laju perubahan ekspor dapat disebabkan oleh
adanya perubahan pada 3 hal, yakni:
3. Daya saing atau memiliki daya saing (masalah daya saing dalam harga atau
kualitas).
Dari keempat faktor penyebab kenaikan ekspor tersebut, maka penyebab yang
keempat mencerminkan daya saing setiap komoditas ekspor di pasar
dunia/internasional. Tyszynski (1951) adalah ahli ekonomi pertama yang
menggunakan metode Constant Market Share Analysis (CMSA) ini untuk
meneliti pertumbuhan komoditas manufaktur pada perdagangan dunia. Tujuan
dari penelitian tersebut untuk memberikan gambaran yang jelas tentang
perubahan permintaan dunia terhadap ekspor negara-negara industri utama serta
perubahan posisi persaingan. Kemudian, untuk melakukan analisis perubahan
komposisi komoditi manufaktur tersebut, Tyszynski menggunakan data dalam
kurun waktu tahun 1899, 1929, 1937, dan 1950 sebagai tahun-tahun analisisnya.
Tyszynski mengelompokkan berbagai komoditi ke dalam 16 kelompok dan
menggunakan 11 negara sebagai dasar dari penelitiannya. Persentase untuk
komoditas manufaktur dirancang persentasenya, dimana tiap-tiap kelompok
komoditas perdagangan internasional dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu
yang mengalami peningkatan, yang mengalami nenurunan, dan yang tidak
mengalami penurunan maupun peningkatan (tetap). Tyszynski, dalam
penelitiannya, mengenai komoditas manufaktur dalam perdagangan dunia ini,
komoditas yang mengalami peningkatan adalah besi, baja, dan kelompok mesin.
Komoditas yang mengalami penurunan adalah non-ferous metal, non-
metalliferous, bahan-bahan kimia dan hasil-hasilnya, tekstil, dan pakaian jadi.
Tyszynski memaparkan bahwa penurunan pada perdagangan dunia disebabkan
karena banyaknya negara industri baru yang mulai beralih dari penggunaan
kekayaan alam negaranya sendiri untuk bahan-bahan bangunan. Fakta
sebaliknya terjadi, dimana peningkatan pada penggunaan alat-alat besi, baja,
dan mesin-mesin seperti kapal laut dan rel kereta api mungkin disebabkan oleh
terjadinya kerusakan transportasi laut dan kereta api di Eropa yang diakibatkan
oleh terjadinya perang pada saat itu serta makin intensifnya proses
industrialisasi di Eropa. Negara yang mengalami stagnasi dalam penelitian
Tyszynski adalah India. Tyszynski melihat bahwa perubahan ekspor dalam
suatu perdagangan dunia disebabkan oleh perubahan di dalam perdagangan
dunia dan perubahan daya saing negara tersebut.