Anda di halaman 1dari 9

Pengaruh Perdagangan Internasional,

Distribusi Pasar, dan Daya Saing

Terhadap Pertumbuhan Nilai Ekspor Kopi Indonesia 1992 – 2011

Arus Reka Prasetia

PENDAHULUAN

Aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara, termasuk perdagangan


internasional, merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi yang cukup
penting dan signifikan dalam menentukan tingkat kemajuan ekonomi dari
negara tersebut. Perdagangan, dengan pelbagai aktivitasnya, akan menjadi salah
satu kesempatan dalam meningkatkan pendapatan serta memperluas
kesempatan kerja bagi masyarakat dan menanggulangi kesulitan ekonomi.
Indonesia, sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki pelbagai sumber
daya, saat ini sedang melaksanakan dan melanjutkan pembangunan secara
berkala, dimana dalam menjalankan pembangunannya membutuhkan pelbagai
jenis barang dan jasa. Barang dan jasa tersebut dapat diperoleh dari dalam
negeri dan ada pula yang diimpor dari negara lain dengan pelbagai jenis, sifat
dan karakteristik produknya. Aktivitas untuk melakukan kegiatan impor dari
pelbagai barang dan jasa dari negara-negara pengimpor ini diperlukan alat
pembayaran yang berupa mata uang asing dalam setiap transaksinya. Ragam
upaya untuk memperoleh mata uang asing ini sangat banyak, salah satunya
adalah dengan melakukan aktivitas ekspor, sehingga pembangunan di Indonesia
selayaknya tetap berjalan dengan lancar dan baik, dimana segala aktivitas
ekspor dengan negara-negara tujuan ekspor harus lebih ditingkatkan, baik
volume maupun nilai ekspornya. Ekspor merupakan berbagai komoditi yang
terdiri dari beragam jenis produk, baik berupa barang ataupun jasa, dimana
beragam jenis produk tersebut bergerak ataupun berpindah meninggalkan suatu
negara, yang menjadi asal-muasal produk tersebut, menuju negara lain yang
menjadi tujuannya ataupun berupa hasil transaksi yang diperdagangkan antar
negara. Ekspor merupakan suatu aktivitas ekonomi berupa transaksi berbagai
produk, baik berupa barang ataupun jasa, yang diproduksi ataupun dihasilkan di
dalam negeri dan kemudian dijual ke luar negeri (Mankiw, 2000:67). Struktur
ataupun karakter ekspor di negara Indonesia terdiri dari dua macam karakter,
yakni ekspor minyak dan gas bumi (biasa dikenal dengan istilah ‘migas’) dan
ekspor yang bukan dari minyak dan gas bumi (biasa disingkat dan dikenal
dengan istilah ‘non-migas’). Karakter migas dan non-migas ini mewarnai
seluruh aktivitas ekspor Indonesia dari dekade tujuh puluhan hingga dekade
pada saat ini. Ekspor migas, pada dekade tujuh-puluhan, menjadi bagian
terbesar dalam struktur ekspor Indonesia hingga tahun 1984 sehingga sektor
migas ini masih menjadi primadona dalam aktivitas ekspor, dimana hal ini
dibuktikan pada tahun 1984, ketika ekspor migas masih memberikan kontribusi
perdagangan lebih dari 75 prosen komoditas ekspor Indonesia. Ekspor melalui
sektor migas ini akhirnya mengalami penurunan setelah tahun 1984, dan puncak
penurunan ini terjadi ketika pada tahun 1987 ekspor migas mengalami
penurunan yang sangat signifikan dan akhirnya lebih rendah dari ekspor
komoditas non migas, yakni hanya sebesar 49 prosen dari seluruh transaksi
ekspor Indonesia (Djiwandono, 1992:211). Transaksi ekspor dari hasil pertanian
merupakan salah satu bagian ekspor yang berasal dari sektor non-migas. Produk
yang berasal dari hasil pertanian penting bagi negara Indonesia dan
masyarakatnya, karena produk dari hasil pertanian merupakan dasar kehidupan
ekonomi manusia (Sumaatmadja, 1988:166). Produk dari hasil pertanian,
hingga saat ini dan mungkin hingga beberapa waktu puluh tahun atau beberapa
ratus tahun mendatang, akan tetap menjadi sumber daya bagi bahan makanan
untuk penduduk suatu negara, kawasan ataupun manusia. Manusia belum dapat
mengembangkan suatu sektor kehidupan ekonomi yang lain apabila belum
mampu melaksanakan dan mengembangkan sektor pertanian secara baik dan
benar, karena sektor pertanian menjadi sektor utama yang akan menjamin
kehidupan manusia. Hasil dari berbagai produk pertanian yang menjadi sumber
daya makanan atau pangan utama, juga memberikan dan menyumbangkan
potensinya yang lain, baik sebagai salah satu objek perdagangan maupun
sebagai salah satu bahan industri pendukung perdagangan.

Hasil dari sektor pertanian ini perlu diperhatikan dengan seksama karena sektor
pertanian banyak menyerap tenaga kerja dan mayoritas dari penduduk di
Indonesia masih banyak yang tinggal di pedesaan atau berkonsentrasi pada
industri pertanian, sehingga saat ini masih banyak yang menitikberatkan mata
pencahariannya pada sektor pertanian, sehingga akhirnya Indonesia seringkali
disebut sebagai negara agraris (Dumairy, 1997:204).

Sektor pertanian, pada prinsipnya memiliki berbagai sub-sektor didalamnya,


dimana salah satu sub-sektornya adalah subsektor perkebunan, yang mana sub-
sektor ini telah dikembangkan secara besar-besaran dan berkesinambungan di
nusantara, dimulai sejak zaman penjajahan dan tetap dipertahankan
pengembangannya hingga saat ini. Kopi, sebagai salah satu hasil dari sektor
perkebunan, merupakan sub-sektor dari pertanian, adalah hasil komoditi
terpenting kedua di dunia setelah petroleum, dimana lebih dari 400 milyar
cangkir kopi dikonsumsi setiap tahunnya.

FAO(Food and Agriculture Organization),salah satu lembaga dunia dalam


naungan PBB yang berkonsentrasi pada pangan dan industri pertanian
memaparkan data, bahwasannya 25 juta produsen kopi skala kecil di dunia
hidup dari usaha kopi. Contoh nyata dari salah satu produsen kopi dunia adalah
Brasil yang memproduksi hampir sepertiga kebutuhan kopi dunia, lebih dari 5
juta orang diperkerjakan dalam penanaman dan pemanenan dari 3 milyar
tanaman kopi. Fakta ini melebihi jumlah buruh yang berkerja dalam penanaman
hingga pemanenan kedelai, tebu, gandum, dan peternakan.

Kopi merupakan salah satu komoditas perdagangan strategis dan memegang


peranan penting bagi perekonomian nasional hingga akhir tahun 1990-an,
khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa
negara.

Fakta sebagai penyedia lapangan kerja, perkebunan kopi mampu menyediakan


lapangan kerja hingga lebih dari 2 juta kepala keluarga petani dan memberikan
pendapatan yang layak bagi mereka.

Fakta lain dari sektor kopi yang berhubungan dengan penyediaan lapangan
kerja yakni terciptanya lapangan kerja bagi pedagang pengumpul hingga
eksportir, buruh perkebunan besar dan buruh industri pengolahan kopi. Sisi lain
dari ekspor komoditas kopi mampu menghasilkan devisa lebih dari US $ 500
juta/tahun pada periode 1994-1998.

Peranan dari komoditas kopi tersebut mulai memudar sejak tahun 2000,
khususnya setelah perkopian dunia dilanda krisis akibat membanjirnya
produksi kopi dunia. Harga kopi dunia terus merosot hingga mencapai titik
terendah selama 37 tahun terakhir pada awal tahun 2002 dan belum
menunjukkan perbaikan ataupun perubahan yang cukup berarti. Kondisi
tersebut berdampak langsung pada harga kopi di tingkat petani karena biji kopi
Indonesia sangat tergantung pada pasar internasional. Harga kopi di tingkat
petani sangat rendah, sehingga berdampak negatif bagi perekonomian nasional
terutama di sentra-sentra produksi kopi seperti Lampung dan Sumatera Selatan.
Ragam upaya telah dilakukan secara optimal untuk memperbaiki harga kopi,
baik ditingkat nasional, regional maupun internasional, tetapi belum
membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Harga kopi di tingkat petani
belum mampu untuk menutupi biaya produksinya dan petani terpaksa
membiarkan kebun kopi tidak terpelihara, bahkan sebagian tanaman kopi ada
yang ditebang dan diganti dengan tanaman lain. Kondisi yang seperti ini,
mengakibatkan kopi Indonesia semakin kehilangan daya saing dan peranannya
makin berkurang di kancah perdagangan kopi internasional. Metode untuk
mengukur pertumbuhan atau perubahan nilai komoditas ekspor dari suatu
negara dapat menggunakan model Constant Market Share Analysis (CMSA),
dimana menurut model ini, ada empat faktor atupun komponen yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan nilai ekspor, yakni: kenaikan dalam ekspor
dunia (perdagangan internasional), komposisi komoditas ekspor dunia,
distribusi negara tujuan ekspor (distribusi pasar), dan daya saing

(Santosa, 1999:21).
TINJAUAN PUSTAKA

Aktivitas berbagai bentuk perdagangan sudah menjadi bagian dari kehidupan


sehari-hari saat ini. Aktivitas ini diakibatkan oleh karena manusia tidak bisa
memenuhi kebutuhannya sendiri dan demikian juga halnya dengan suatu
negara. Awal dari kreativitas perdagangan dilakukan hanya antar individu
secara sederhana dengan sistem barter, namun sejalan dengan semakin
beragamnya kebutuhan yang diperlukan, mengakibatkan terjadinya aktivitas
perdagangan tidak hanya dilakukan antar individu lagi melainkan juga antar
negara. Perdagangan internasional itu sendiri merupakan suatu proses tukar
menukar berbagai barang dan berbagai jasa yang didasarkan atas kehendak atau
keinginan sukarela dari masing-masing pihak hingga terjadinya kesepakatan,
atau dengan kata lain, unsur kebebasan untuk menentukan untung rugi dengan
adanya pertukaran yang terjadi dilihat dari sudut kepentingan nasional dari
masing-masing negara. Perlu untuk ditegaskan disini bahwa unsur kebebasan
adalah amat penting dalam perdagangan internasional. Perdagangan
internasional merupakan salah satu topik yang dibahas dalam teori ekonomi
internasional bila didasarkan pada pendapat akan adanya gains from trade jika
melakukan pertukaran, sehingga dengan kata lain dapat diuraikan bahwa
perdagangan internasional dapat terjadi karena salah satu atau kedua negara
yang melakukan pertukaran melihat adanya manfaat atau keuntungan dari
pertukaran itu. Perdagangan internasional diperlukan pula untuk mendapatkan
manfaat yang dimungkinkan oleh spesialisasi produksi. Spesialisasi berarti
setiap negara memproduksi barang tertentu lebih banyak daripada yang akan
dikonsumsi warganya dan barang lain lebih sedikit daripada yang dapat
dikonsumsi warganya. Studi mengenai perdagangan muncul pada abad keenam
belas, dimana penganut aliran tersebut disebut sebagai kaum merkantilisme.
Kaum merkantilisme tersebut menyatakan bahwa suatu negara ingin menjadi
kaya dan berkuasa maka negara itu harus mengekspor lebih banyak
dibandingkan dengan impornya. Selisih dari aktivitas ekspor impor tersebut
akan diselesaikan dengan pemasukan logam mulia. Negara yang semakin
banyak memiliki emas, maka semakin kaya dan berkuasa negara tersebut, oleh
karena itu kaum merkantilisme mendukung pemerintah untuk merangsang
ekspor dan menghambat aktivitas impor. Teori kaum merkantilis ini mendapat
banyak sanggahan, salah satunya adalah dari Adam Smith yang
mengemukakan suatu teori, yaitu teori keunggulan absolut.
Teori keunggulan absolut mengutarakan bahwa suatu negara akan memproduksi
dan mengekspor suatu barang jika negara tersebut memiliki keunggulan absolut
(keunggulan mutlak) atas negara lain, kemudian David Ricardo
menyempurnakan teori keunggulan absolut dari Adam Smith. David Ricardo
mengutarakan bahwa perdagangan masih dapat dilakukan selama masing-
masing negara masih mempunyai keunggulan relatif dalam menghasilkan suatu
barang, bahkan untuk negara yang memiliki kerugian absolut pun masih dapat
melakukan perdagangan, yaitu dengan melakukan spesialisasi pada komoditas
yang memiliki kerugian absolut terkecil dan mengimpor komoditas yang
memiliki kerugian absolut yang lebih besar. Teori David Ricardo ini kemudian
dikenal dengan nama teori keunggulan komparatif. Teori perdagangan
internasional yang lain adalah teori perdagangan internasional dari Hecksher-
Ohlin. Hecksher dan Ohlin berpendapat bahwa perdagangan internasional
ditentukan oleh adanya perbedaan relatif dalam kekayaan alam sehingga
terdapat perbedaan dalam harga faktor produksi antar negara, sehingga suatu
negara akan membuat dan mengekspor barang yang menggunakan faktor
produksi yang relatif berlimpah sehingga biaya produksi menjadi relatif lebih
rendah dibandingkan dengan negara lain. Kaidah pokok atau teori cukup banyak
dalam analisis ekonomi modern yang muncul dari abad keenam belas tersebut
dengan topik memperdebatkan kebijakan-kebijakan perdagangan dan moneter
internasional, namun sekarang ini, belum pernah terjadi sebelumnya, bidang
studi ekonomi internasional menjadi begitu penting. Benefit dari
terselenggaranya perdagangan internasional, baik dalam barang-barang maupun
jasa, serta terus berkembangnya lalu lintas keuangan internasional,
perekonomian setiap negara kini menjadi semakin terkait secara erat satu sama
lain dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Kini, dalam waktu yang
bersamaan, perekonomian dunia semakin sering bergejolak, suatu fenomena
yang belum pernah terjadi pada dekade- dekade yang lalu. Fakta baru ini masih
ditambah lagi dengan adanya berbagai perubahan di lingkungan internasional
(international environment), sehingga ilmu ekonomi internasional semakin
menjadi perhatian utama, baik itu dalam perumusan strategi perusahaan maupun
dalam penyusunan kebijakan ekonomi nasional dari berbagai negara. Pengaruh
dari karakteristik setiap negara yang berbeda satu sama lain, mengakibatkan
negara-negara tersebut melakukan perdagangan karena mereka berbeda satu
sama lain, dimana setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan
melakukan sesuatu yang relatif lebih baik. Alasan dari tujuan setiap negara yang
ingin mencapai skala ekonomi lebih baik, sehingga negara-negara tersebut
melakukan perdagangan dengan tujuan mencapai skala ekonomi dalam
produksi. Probabilitas dari perdagangan internasional tersebut yang
menguntungkan kedua belah pihak itu ternyata lebih luas dari yang dibayangkan
oleh kebanyakan orang, namun model pertama tentang perdagangan dapat
menunjukkan secara jelas bahwa dua negara tetap dapat berdagang dengan
saling menguntungkan meskipun salah satu negara lebih efisien dalam
memproduksi segala jenis barang dan bahwa produsen di negara yang kalah
efisien dapat bersaing hanya dengan membayar upah lebih rendah.
Perdagangan menciptakan keuntungan dengan memberikan peluang kepada
setiap negara untuk mengekspor berbagai macam barang yang produksinya
menggunakan sebagian besar sumber daya yang melimpah di negara
bersangkutan serta mengimpor berbagai barang yang produksinya
menggunakan sumber-sumber daya yang tergolong cukup langka di negara
tersebut. Perdagangan internasional juga memungkinkan setiap negara untuk
melakukan spesialisasi produksi pada barang-barang yang bisa dibuatnya secara
efisien sehingga bisa meningkatkan efisiensi dan skala produksinya.

Constant Market Share Analysis

Laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama, atau lebih tinggi
dari laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia (pertumbuhan standar). Faisal
Basri (1995) mengemukakan, bahwa pada intinya pendekatan Constant Market
Share Analysis, atau biasa disingkat dengan CMSA, akan memecah
pertumbuhan ekspor ke dalam beberapa faktor penyebab selain karena
pertumbuhan ekspor dunia. Laju perubahan ekspor dapat disebabkan oleh
adanya perubahan pada 3 hal, yakni:

1. Komposisi komoditas (masalah komposisi ekspor),

2. Komposisi negara tujuan (masalah distribusi pasar dunia dari negara


eksportir), dan

3. Daya saing atau memiliki daya saing (masalah daya saing dalam harga atau
kualitas).

Hubungan atau kaitannya dalam perumusan Constant Market Share Analysis


(CMSA) ini, maka terdapat beberapa konsep perumusan sebagai berikut:
Dimana, Xi. merupakan nilai ekspor komoditi i dari negara Z ke negara j pada
periode pertama dan X’i. merupakan nilai ekspor komoditi i dari negara Z ke
negara i pada periode kedua. Rumus selanjutnya, nilai ekspor total dari negara Z
pada periode pertama dirumuskan sebagai berikut:

Langkah untuk memudahkan pemahaman, anggaplah hanya ada satu jenis


barang atau komoditi dan satu negara tujuan ekspor. Dengan demikian, jika
negara Z ingin mempertahankan pangsa pasar ekspor komoditinya, maka ekspor
komoditi dari negara Z harus meningkat sebesar rX; dimana r adalah persentase
perubahan total ekspor dunia.Rumus untuk menggambarkan peningkatan ekspor
komoditi dari negara-negara dapat dituliskan sebagai berikut:

Rumus umum tersebut, apabila digunakan hanya untuk setiap komoditas di


setiap negara tujuan ekspor, maka dapat dituliskan sebagai berikut:

Dengan demikian, proses agregasi terhadap persamaan rumus tersebut, maka


dihasilkan persamaanpersamaan rumus sebagai berikut:

Dari model persamaan rumus tersebut dapat diketahui bahwa peningkatan


ekspor komoditas i ke negara j dari negara Z disebabkan oleh empat faktor,
yaitu:

1.Kenaikan ekspor dunia,

2. Komposisi komoditas ekspor dunia,

3. Distribusi negara tujuan ekspor, dan

4. Residual yang mencerminkan perbedaan antara pertumbuhan ekspor aktual


dan pertumbuhan ekspor yang akan terjadi jika negara Z mempertahankan
pangsa ekspornya di pasar dunia/internasional untuk setiap komoditas.

Dari keempat faktor penyebab kenaikan ekspor tersebut, maka penyebab yang
keempat mencerminkan daya saing setiap komoditas ekspor di pasar
dunia/internasional. Tyszynski (1951) adalah ahli ekonomi pertama yang
menggunakan metode Constant Market Share Analysis (CMSA) ini untuk
meneliti pertumbuhan komoditas manufaktur pada perdagangan dunia. Tujuan
dari penelitian tersebut untuk memberikan gambaran yang jelas tentang
perubahan permintaan dunia terhadap ekspor negara-negara industri utama serta
perubahan posisi persaingan. Kemudian, untuk melakukan analisis perubahan
komposisi komoditi manufaktur tersebut, Tyszynski menggunakan data dalam
kurun waktu tahun 1899, 1929, 1937, dan 1950 sebagai tahun-tahun analisisnya.
Tyszynski mengelompokkan berbagai komoditi ke dalam 16 kelompok dan
menggunakan 11 negara sebagai dasar dari penelitiannya. Persentase untuk
komoditas manufaktur dirancang persentasenya, dimana tiap-tiap kelompok
komoditas perdagangan internasional dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu
yang mengalami peningkatan, yang mengalami nenurunan, dan yang tidak
mengalami penurunan maupun peningkatan (tetap). Tyszynski, dalam
penelitiannya, mengenai komoditas manufaktur dalam perdagangan dunia ini,
komoditas yang mengalami peningkatan adalah besi, baja, dan kelompok mesin.
Komoditas yang mengalami penurunan adalah non-ferous metal, non-
metalliferous, bahan-bahan kimia dan hasil-hasilnya, tekstil, dan pakaian jadi.
Tyszynski memaparkan bahwa penurunan pada perdagangan dunia disebabkan
karena banyaknya negara industri baru yang mulai beralih dari penggunaan
kekayaan alam negaranya sendiri untuk bahan-bahan bangunan. Fakta
sebaliknya terjadi, dimana peningkatan pada penggunaan alat-alat besi, baja,
dan mesin-mesin seperti kapal laut dan rel kereta api mungkin disebabkan oleh
terjadinya kerusakan transportasi laut dan kereta api di Eropa yang diakibatkan
oleh terjadinya perang pada saat itu serta makin intensifnya proses
industrialisasi di Eropa. Negara yang mengalami stagnasi dalam penelitian
Tyszynski adalah India. Tyszynski melihat bahwa perubahan ekspor dalam
suatu perdagangan dunia disebabkan oleh perubahan di dalam perdagangan
dunia dan perubahan daya saing negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai