Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN KEBUDAYAAN INDONESIA

ANALISIS CERPEN PERTEMUAN KEEMPAT KARYA ATIK


SULISTYOWATI

DALAM ASPEK KAJIAN CULTURAL STUDIES

Disusun Oleh:

Hijrana 1814015041

SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sastra merupakan bentuk kreatif dan produktif dalam


menghasilkan sebuah teks yang memiliki nilai rasa estetis serta
mencerminkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Istilah sastra dipakai
untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua
masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan
keberadaannya bukan merupakan sebuah keharusan. Hal ini berarti bahwa
sastra merupakan gejala yang universal.1

Karya sastra adalah hasil ide yang diciptakan oleh pengarang.


Lahir dari situasi yang terjadi di sekitar pengarang. Sebab itu karya sastra
merupakan gambaran masyarakat. Hal ini berarti bahwa kejadian-kejadian
atau problematika hidup yang terjadi dalam masyarakat direkam oleh
pengarang. Menurut Ritzel dalam Alimandan (2004: 51), sistem sosial
mempengaruhi perilaku manusia, karena di dalam suatu sistem sosial
tercakup pula nilai-nilai dan norma yang merupakan aturan perilaku
anggota-anggota masyarakat begitu pula terhadap kehidupan masyarakat.2

Salah satu jenis karya sastra prosa yang banyak ditemui adalah
cerita pendek atau cerpen. Meski merupakan karya fiksi, cerpen tidak
jarang digunakan oleh pengarangnya sebagai bentuk atau cara untuk
mengungkapkan kebenaran atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di ruang
lingkup dunia pengarang tersebut. Cerpen Pertemuan Keempat karya Atik
Sulistyowati yang tergabung dalam buku antologi cerita pendek Korrie
Layun Rampan yang berjudul Bingkisan Petir adalah hasil representasi

1
Ratih Rakasiwi,
https://www.kompasiana.com/ratihrakasiwi/5a682616f133447d750520b2/analisis-struktur-dan-
nilai-nilai-sosial-dalam-novel-pesona-cleopatra-setetes-embun-cinta-niyala-karya-habiburrahma-
el-shirazy?page=2, diakses pada Kamis, 05 Desember 2019 pukul 13.45
2 Tefan Randika Putra, dkk., Pandangan Dunia Pengarang terhadap Kehidupan Sosial

Masyarakat Dayak Benuaq dalam Novel “Api Awan Asap” karya Korrie Layun Rampan,
(https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsi/article/view/29830, diakses pada 05 Desember 2019
pukul 13.47)
dari pemikiran dan dunia hayal pengarang. Meski menceritakan tentang
percintaan, tetapi cerpen ini juga ikut mengangkat latar belakang sosial,
budaya, dan kearifan lokal. Berdasarkan hal itu, maka di paper ini saya
akan memaparkan hasil analisis saya tentang unsur-unsur pembangun yang
terdapat dalam cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati.

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran kelas sosial dan kearifan lingkungan yang
terdapat dalam cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati?
2. Analisis unsur gender dan feminisme yang terdapat dalam cerpen
Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati yang tergabung dalam
buku antologi cerpen Korrie Layun Rampan

B. Tujuan Penelitian
1. Untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Kajian
Kebudayaan Indonesia
2. Untuk mengetahui aspek-aspek budaya dan kearifan lokal yang
dibangun dalam cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati.
Serta apek-aspek gender dan feminisme yang terkandung di dalamnya.

C. Manfaat Penelitian
1. Sebagai penanda telah menyelesaikan ujian akhir semester mata kuliah
Kajian Kebudayaan Indonesia
2. Mengetahui pengaplikasian berbagai teori ke dalam satu karya sastra
3. Memahami lebih jauh tentang peradaban suku Dayak yang tersebar di
wilayah pedalaman Kalimantan khususnya Dayak Berusu lewat cerpen
Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Kelas Sosial

Pembagian kelas sosial terdiri atas tiga bagian yaitu, (1)


berdasarkan status ekonomi, (2) berdasarkan status sosial, dan (3)
berdasarkan status politik. Berdasarkan status ekonomi, Karl Marx
membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yakni golongan kapitalis atau
borjuis, golongan menengah, dan golongan proletar. Sedangkan
berdasarkan status sosial timbul karena adanya perbedaan dalam
penghormatan dan status sosialnya. Misalnya, seorang masyarakat
dipandang terhormat karena memiliki status sosial yang tinggi, dan
sebaliknya. Selanjutnya berdasarkan status politik, yaitu kelas sosial
didasarkan pada wewenang dan kekuasaan. Seseorang yang mempunyai
wewenang atau kuasa umumnya berada di lapisan tinggi, sedangkan yang
tidak punya wewenang berada di lapisan bawah (Heriyanto, 2001: 5-8).

Karl Marx menulis bahwa sampai saat ini sejarah mana pun
masyarakat di bumi ini adalah sejarah pertentangan kelas, Si Budak dan Si
Merdeka, kaum bangsawan dengan rakyat jelata, tuan dan pesuruhnya,
dengan kata lain antara penindas dan yang ditindas atau tertindas. Posisi
yang berhadap-hadapan ini akan selalu ada dan tidak dapat dibantah.
Sekarang perlahan namun pasti akan ada perang terbuka, perang untuk
merekonstruksi masyarakat pada umumnya dan khususnya, untuk
menghancurkan kelas penguasa (Pals, 1996). Tema besar dalam pemikiran
Marx sebenarnya berkisar pada konsep kritik atas ekonomi politik. Arah
yang dituju adalah kembali ke belakang dan mempertentangkan antara
perumusan pandangan atas kemanusiaan sebagai satu keutuhan sebelum
datangnya industrialisasi, yakni sebagai suatu spesies yang tidak mengenal
alienasi, terbagi-baginya kemanusiaan serta sub divisi individualnya, hal
ini hanya terjadi dalam peradaban kapitalisme (Belharz, 2002).3

2. Gender dan Feminisme

Perbedaan gender dalam masyarakat telah melahirkan berbagai


pola dan aturan yang berhubungan dengan peran dan relasi gender. Gender
mengacu pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2006:
8). Relasi gender adalah pola hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi secara sosial. Dalam relasi gender, kelompok gender
tertentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi (mendominasi), yang
didominasi, dan yang setara. Dalam masyarakat patriarki, laki-laki
dianggap memiliki kedudukan yang dominan, sementara perempuan
berada dalam subordinat. Peran gender berhubungan dengan pembagian
peran laki-laki dan perempuan yang secara sosial dirumuskan berdasarkan
polarisasi stereotipe seksual maskulinitas-feminisme.4

Menurut Ritzer dan Goodman, varian teori feminisme, antara lain


feminisme kultural (gender sebagai faktor kebudayaan) ekomofeminisme
(gender yang berkaitan dengan lingkungan hidup), feminisme
multikulturalisme (penekanan pada perbedaan gender), feminisme
eksistensial (perempuan sebagai makhluk berfikir) feminisme liberal
(kebebasan perempuan untuk memilih), feminisme marxian (penekanan
pada perjuangan kelas sosial), feminisme radikal (penekanan pada
hubungan hierarkis yang menekan) feminisme mesosialis (berkaitan
dengan kapitalisme) feminisme psikoanalisis (atas dasar teori Freud),
black feminisme (berkaitan dengan ras, warna kulit) dan feminisme
postmodernisme (gender sebagai realitas teks) (Ratna, 2013: 489).

3
Yohanes Bahari, Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup dan Pemikirannya
(http://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/article/view/375, diakses pada 22 Oktober 2019, pukul
10.43)
4
Wiyatmi, Representasi dan Relasi Gender
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Wiyatmi,%20M.Hum./REPRESENTASI
%20GENDER%20NAYLA.pdf, diakses pada Jumat, 06 Desember 2019 pukul 15.44)
3. Identitas Kultural

Menrut Lev Vigotsky dentitas kultural atau identitas budaya dapat


diartikan sebagai suatu ciri berupa kebiasaan yang membedakan suatu
bangsa atau kelompok masyarakat dengan kelompok yang lainnya. Setiap
kelompok masyarakat atau bangsa pasti memiliki budaya sendiri yang
berbeda dengan bangsa lainnya. Budaya yang dimiliki oleh masing-masing
kelompok tersebut tentunya memiliki ciri atau keunikan sendiri.

Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 39) berpendapat bahwa budaya


atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuaan-
kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Tylor juga berpendapat bahwa kebudayaan
merupakan suatu proses pemanusiaan yang artinya di dalam kehidupan
berbudaya terjadi perubahan, perkembangan dan motivasi. 5

4. Kearifan Lingkungan atau Kearifan Lokal

Kearifan lingkungan merupakan istilah awal yang terlebih dahulu


dikenal sebelum munculnya istilah kearifan lokal. Dengan pertimbangan
bahwa kearifan lingkungan merupakan sikap dan perilaku khas masyarakat
lokal, maka konsep yang populer dikenal selanjutnya adalah kearifan
lokal. Kearifan lokal memiliki 8 keragaman istilah, antara lain adalah local
genius (H.G. Quaritch Wales), cultural identity atau kepribadian budaya
bangsa (Haryati Soebadio), kepribadian kebudayaan lokal (Mundardjito),
cerlang budaya (Ayatrohaedi), identitas bangsa, identitas kebudayaan
(Soediman), indigenous knowledge (Semali dan Kincheloe).6

Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah


bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan

5
Lev Vigotsky, Teori Kultur (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/lain-lain/sisca-rahmadonna-
spd-mpd/TEORI%20KULTUR.pdf, diakses pada 06 Desember 2019 pukul 08.40)
6
Sony Sukmawan, Model-model Kajian Ekokritik Sastra (https://fib.ub.ac.id/wp-
content/uploads/1-MODEL-KAJIAN-KEARIFAN-LINGKUNGAN-DALAM-SASTRA.pdf,
diakses pada Minggu, 08 Desember 2019 pukul 13.16)
mengolah kebudayaan yang berasal dari luar atau bangsa lain yang
menjadi watak dan kemampuan sendiri (Wibowo, 2015:17). Identitas dan
Kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup
masyarakat sekitar agar tidak terjadi pergeseran nilai-nilai. Kearifan lokal
adalah salah satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan
mempertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik.
Menurut Alfian (2013: 428) kearifan lokal diartikan sebagai
pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang
berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi
kebutuhan mereka. Berdasarkan pendapat Alfian itu dapat diartikan bahwa
kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi
dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga
saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat
tertentu di daerah tertentu. Berdasarkan pengertian di atas dapat diartikan
bahwa local wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami sebagai gagasan-
gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.7

7
Irwan Satria, Pengertian Kearifan Lokal (http://eprints.umm.ac.id/35955/3/jiptummpp-gdl-
irawansatr-48429-3-babiip-f.pdf, dikases pada 06 Desember 2019 pukul 21.47)
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sinopsis Cerpen
Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati adalah cerpen yang
mengisahkan tentang Sedale, seorang pemuda yang berasal dari kota. Ia
ditugaskan untuk bekerja di sebuah wilayah kecil terpencil, persisnya di
Tideng Pale Kabupaten Bulungan. Selama bertahun-tahun tinggal di desa
terpencil itu, Sedale mulai terbiasa dan menikmati suasana pedesaan yang
belum disentuh oleh teknologi-teknologi canggih seperti di kota tempat
tinggalnya. Suatu hari ketika ia mengikuti session di Samarinda, ia
bertemu dengan seorang gadis bernama Relung. Relung adalah perempuan
cantik, cerdas, dan enerjik yang mampu membuat semua orang terpukau
saat pertama kali memandangnya. Hal demikian juga dirasakan Sedale saat
pertama kali bertemu dengannya di ruang rapat.
Sejak peretemuan pertama itu, Sedale terus mengharapkan
pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Relung. Namun saat kesempatan
bertemu itu tiba, Sedale tidak mampu memanfaatkannya dengan baik
hingga ia tidak mendapatkan perhatian dari Relung sedikit pun. Sampai
akhirnya Sedale menerima panggilan dari Ambalat untuk tugas ke daerah
lain dan harus meninggalkan Tideng Pale. Relung sebenarnya tertarik pada
Sedale juga sejak pertemuan pertama tapi ia berusaha terus memendam
perasaannya sebab ia masih dihantui oleh luka masa lalunya.
Di kesempatan ketiga akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu
dan menghabiskan hari. Tapi itu adalah saat-saat terakhir Sedale berada di
Kalimantan, sebab sebentar lagi ia harus pergi ke tempat ia mengemban
amanahnya yang baru. Akhirnya di bandara Sepinggan Balikpapan mereka
berpisah. Dari perpisahan itu mereka sama-sama bertanya dan berharap,
masihkah ada keajaiban bagi pertemuan keempat?
B. Kelas Sosial

Cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati adalah cerpen


yang mengisahkan tentang Sedale, seorang pemuda yang berasal dari kota
yang seakan meangalami kejadian mimpi buruk karena harus ditugaskan di
Tideng Pale, sebuah desa terpencil yang bahkan di peta pun tidak
ditemukan. Tideng Pale adalah daerah di pedalaman kalimantan yang
sama sekali belum tersentuh prodak-prodak canggih dari kota.
Masyarakatnya masih hidup dan bergantung pada alam sekitarnya.
Diceritakan dalam cerpen ini bahwa perempuan-perempuan yang ada di
Tideng Pale tidak mengenal perawatan-perawatan kecantikan seperti yang
sering dinikmati oleh perempuan-perempuan di kota. Berikut kutipannya;

Tak asing bagiku hadir di antara mereka, seakan aku adalah bagian
dari diri mereka, para wanita yang sekali pun tak pernah mengenal
facial dan spa seperti layaknya perempuan-perempuan kota, akan
tetapi mereka memiliki kepolosan dan ketulusan yang luar biasa
(Rampan, : 25).

Dalam cerpen ini meski tidak banyak ditemukan kesenjangan


sosial atau pertentang kelas sebagaimana yang dijelaskan dalam teori
Marx, tapi dari kutipan di atas kita dapat membaca bahwa perempuan kota
dengan perempuan-perempuan yang ada di desa memiliki kebiasaan yang
berbeda. Di mana ketika perempuan di desa masih bergantung pada alam,
perempuan-perempuan di kota sudah mulai dimanjakan oleh alat-alat
penunjang kecantikan yang canggih. Hal ini menunjukkan perbedaan
kelas, di mana perempuan-perempuan di kota menduduki kelas yang lebih
tinggi dari perempuan-perempuan yang ada di desa.

C. Identitas Kultural

Rummens (2011) mengemukakan pengamatan bahwa identitas


kultural dapat dimaknai menurut berbagai cara termasuk, misalnya,
sebagai penanda atau pembeda yang bersifat khas walau sering terkesan
imajinatif, yang ada atau melekat pada suatu masyarakat. Dengan identitas
kultural yang dimaksud dapat dibedakan antara masyarakat yang
bersangkutan dengan masyarakat yang lain.8 Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Lev Vigotsky bahwa identitas kultural atau identitas budaya
dapat diartikan sebagai suatu ciri berupa kebiasaan yang membedakan
suatu bangsa atau kelompok masyarakat dengan kelompok yang lainnya.
Setiap kelompok masyarakat atau bangsa pasti memiliki budaya sendiri
yang berbeda dengan bangsa lainnya. Budaya yang dimiliki oleh masing-
masing kelompok tersebut tentunya memiliki ciri atau keunikan sendiri.

Cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati yang berlatar


tempat di Tideng Pale Kabupaten Belungan menggambarkan kehidupan
orang-orang pedalaman Kalimantan khususnya masyarakat suku Dayak
Berusu. Dalam cerpen ini Atik Sulistyowati cukup banyak menuliskan
bagaimana orang-orang Dayak Berusu hidup dan bermasyarakat.
Sebagaimana kehidupan orang-orang yang tinggal di pedalaman,
masyarakat Dayak Berusu juga masih bergantung pada alam dan masih
mempertahankan kebudayaan dan tradisi nenek moyangnya. Hal tersebut
tergambar dalam kutipan cerpen sebagai berikut;

Aku pun sudah tak asing dengan kegiatan mereka setiap hari
mengadakan ritual pengasih, unik dan sering membuatku rindu
untuk menelusuri apa dan kenapa. Tideng Pale memang seperti
negeri mimpi. Sekalipun secara fisik aku adalah lelaki utuh yang
kasat mata senang hidup di tengah belantara Kalimantan dengan
segala tantangan keunikannya. Tak pernah mereka tahu siapa aku...
(Rampan, :25).

Kebiasaan orang-orang suku Dayak Berusu melakukan ritual


pengasih adalah salah satu identitas budaya yang membedakan masyarakat
Dayak Berusu dengan masyarakat sub suku Dayak lainnya dan masyarakat
yang ada di Kalimantan secara umum. Di dalam cerpen ini juga
digambarkan bahwa orang-orang Dayak Berusu, sebagaimana kelompok-
kelompok Dayak yang lainnya, masih mendiami lamin, rumah panjang
tempat orang-orang Dayak tinggal bersama keluarganya. Hal tersebut
dapat dibuktikan lewat kutipan berikut;

8
Pawito, dkk., Konstruksi Identitas Masyarakat Pluralis dalam Terpaan Globalisasi
(https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/376/14, diakses pada Minggu, 08
Desember 2019 pukul 14.02)
Tak terasa telah satu tahun aku menempati bilik kecilku di antara
lamin-lamin yang lain. Tak asing lagi aku berada di antara mereka,
seakan aku bagian dari mereka, ... (Rampan, : 25)

Diceritakan dalam cerpen ini bahwa Sedale setelah


ditugaskan di Tideng Pale, ia membangun rumahnya sendiri yang
didirikan di antara lamin-lamin orang Dayak Berusu di pedalaman
Kalimantan tersebut. Kehadiran lamin-lamin ini sebagai kediaman
orang-orang Dayak Berusu di pedalaman Kalimantan menunjukkan
bahwa mereka masih mempertahankan identitasnya sebagai
masyarakat suku Dayak yang dikenal dengan rumah laminnya.

D. Gender dan Feminisme

Istilah feminisme sering dikacaukan dengan istilah gender. Dalam


hubungan ini, feminisme adalah sebuah teori, sedangkan gender adalah
permasalah penelitian atau konsep. Masalah-masalah gender adalah
hubungan antara laki-laki dan perempuan, dianalisis dengan menggunakan
teori feminisme.9 Aspek gender dalam cerpen Pertemuan Keempat karya
Atik Sulistyowati tampak saat Sedale merasa bahwa dia bukan seorang
laki-laki lemah yang mudah terseret arus perasaan. Sedale merasa bahwa
ia adalah seorang pejantan yang mampu bekerja untuk memenuhi
kebutuhannya, bahkan jika harus ditugaskan di desa kecil terpencil seperti
Tideng Pale yang terletak di pedalaman Kalimantan. Berikut kutipannya;

Aku bukan laki-laki lemah yang berkerudung keromantisan dan


mudah terseret arus perasaan. (Rampan, : 23).

Perjuangan batin melawan kebutuhan jasmaniah pun kutaklukkan


dengan bersandar pada kekuatan spiritual. Biar bagaimana pun,
pada dasrnya aku adalah seorang pejantan, ... (Rampan, : 24).

Pengakuan Sedale bahwa ia seorang pejantan dan bukan laki-laki


lemah adalah sebuah bentuk penegasan bahwa ia adalah seorang laki-laki
tulen yang tidak terkontaminasi dengan sifat perempuan yang cenderung
sering dianggap lemah. Sebagai seorang laki-laki, Sedale juga merasa

9
Yohanes Sehandi, Mengenal 25 Teori Sastra,
(https://s.docworkspace.com/d/AM7WXsvQkLs04s_x1semFA, diakses pada 22 Oktober
2019, pukul 10.49)
memiiki tanggung jawab untuk berjuang memenuhi kebutuhannya sendiri
tanpa harus bergantung pada orang lain.

Di dalam cerpen ini tidak ditemukan aspek yang menggambarkan


gerakan perlawanan perempuan atau aspek feminisme, sebab Relung yang
digambarkan sebagai tokoh perempuan tidak pernah diceritakan mencoba
melakukan perlawanan dan mengangkat derajatnya sebagai seorang
perempuan. Hal demikian terjadi karena di dalam cerpen ini Atik
Sulistyowati juga tidak menciptakan permasalahan seperti misal tokoh
perempuan di dalam cerpen ini mengalami penindasan dari kaum laki-laki
sehingga harus melakukan perlawanan. Relung sebagaimana Sedale, ia
lebih banyak melakukan sesuatu yang menunjukkan bahwa ia benar-benar
seorang perempuan. Berikut contoh kutipannya;

Kukalahkan harga diriku hanya sekadar ingin mendengar suara


khasmu (Rampan, : 29).

Dari kutipan di atas tampak bahwa sebagai seorang perempuan,


Relung merasa harus mempertahankan harga dirinya tetapi akhirnya
pertahanan itu roboh dikalahkan oleh rasa rindunya pada Sedale. Relung
merasa bahwa tindakan menghubungi atau mengawali percakapan lebih
dulu adalah tugas laki-laki. Sebab jika itu dilakukan oleh perempuan, itu
akan melukai harga dirinya. Fenomena ini menunjukkan adanya
pengklasifikasian sikap manusia berdasarkan gendernya.

E. Kearifan lingkungan atau Kearifan Lokal


Pandangan hidup pada masyarakat tradisional pada hakikatnya
merupakan pemikiran tentang bagaimana manusia memelihara
keberlanjutan hubungan manusia dengan manusia, serta manusia dengan
alam.10 Cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati yang
mengambil latar tempat di Tidang Pale menggambarkan kehidupan

10
Popi Puspitasari, Kearifan Lingkungan: Model Konseptual Berkelanjutan
(https://www.researchgate.net/publication/327671494_KEARIFAN_LINGKUNGAN_MODEL_K
ONSEPTUALKEBERLANJUTAN_Environmental_Wisdom_Conceptual_Model_of_Sustainabilit
y/link/5b9ddd3f92851ca9ed0d62b9/download, diakses pada Minggu, 08 Desember 2019 pukul
13.03)
masyarkat suku Dayak Berusu di belantara Kalimantan yang masih
bergantung pada kemurnian hasil alam. Berikut contoh kutipannya;
Tak terbayangkan sebelumnya aku akan berada di tengah sebuah
masyarakat yang sangat alami dan begitu ‘apa adanya’, aku
terjauhkan dari enaknya tawaran duniawi nyata. Di Tideng Pale,
jangankan hendak mengikuti perkembangan dunia, bahkan jalur
untuk berkomunikasi pun sulit untuk kudapatkan. Transportasi,
informasi, bahkan jalur untuk berkomunikasi seakan-akan
menghilang begitu saja dari dunia nyataku. Satu-satunya yang
dapat aku lakukan saat peradaban mas laluku menyergap hanyalah
mengisi hari dengan memancing (Rampan, : 24).

Tideng Pale kaya akan kepolosan alam, begitu mudahnya


mendapatkan segala sesuatu dari alam, karena masyarakat Dayak
Berusu yang ada di dalamnya pun sangat menjaga keseimbangan
alam. Penuh kemurnian (Rampan, : 24).

Dua kutipan di atas sudah cukup dapat mewakili betapa Tideng


Pale adalah daerah yang sungguh terpencil dan jauh dari jangkauan
perkotaan. Fakta bahwa mereka tidak disentuh oleh fasilitas-fasilitas
canggih seperti yang telah dinikmati oleh penduduk-penduduk kota
membuat masyarkat Dayak Berusu di pedalaman Kalimantan tersebut
sangat menghargai dan menjaga kelestarian alamnya. Orang-orang Dayak
dikenal akan kepandaiannya merawat dan menjaga hutan sebab mereka
menganggap bahwa hutan adalah kehidupan mereka. Menjaga
keseimbangan alam bagi mereka, sama dengan menyelamatkan kehidupan
orang-orang Dayak yang tinggal di pedalaman hutan Kalimantan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati yang


tergabung dalam buku antologi cerpen Korrie Layun Rampan adalah
sebuah karya yang mengisahkan tentang Sedale dan Relung yang sama-
sama saling menyukai tetapi masing-masing berkutat dengan ego dan
gengsinya sehingga cinta di antara mereka tidak tersampaikan dengan
baik. Meski mengisahkan tentang percintaan, cerpen yang mengambil latar
di pedalaman Kalimantan ini juga banyak mengekspos tentang peradaban
orang-orang Dayak khususnya Dayak Berusu yang hidup di belantara
Kalimantan. Melalui cerpen ini kita menjadi tahu bahwa orang-orang di
pedalaman Kalimantan masih sangat jauh dari kemajuan teknologi
sehingga yang betul-betul mereka bisa harapkan adalah hasil alam di
sekitarnya. Hal ini juga sekaligus menjelaskan mengapa orang-orang
Dayak sangat pandai menjaga hutan, sebab hutan adalah kehidupannya.
Dengan demikian, dengan penanaman teori aspek gender, kearifan
lingkungan, identitas kulural dalam mengkaji karya ini, telah berhasil
menguak aspek-aspek yang ingin disampaikan pengarang dalam cerpen
Pertemuan Keempat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Rampan, Korrie Layun. 2005. BINGKISAN PETIR: Antologi Cerita Pendek

Cerpenis Kalimantan Timur. Yogyakarta: Matahari

Heriyanti, Arief. 2001. Kelas Sosial, Status Sosial, Peranan Sosial dan
Pengaruhnya. Jakarta: Esis

Rakasiwi, Ratih. Analisis Struktur Nilai-nilai Sosial dalam Novel Pesona


Cleopatra Setetes Embun Cinta Niyala karya Habiburrahman el-Shirazy,
(https://www.kompasiana.com/ratihrakasiwi/5a682616f133447d750520b2/
analisis-struktur-dan-nilai-nilai-sosial-dalam-novel-pesona-cleopatra-
setetes-embun-cinta-niyala-karya-habiburrahma-el-shirazy?page=2,
diakses pada Kamis, 05 Desember 2019 pukul 13.45)
Putra, Tefan Randika, dkk. Pandangan Dunia Pengarang terhadap Kehidupan
Sosial Masyarakat Dayak Benuaq dalam Novel “Api Awan Asap” karya
Korrie Layun Rampan,
(https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsi/article/view/29830, diakses
pada 05 Desember 2019 pukul 13.47)
Bahari, Yohanes. Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup dan Pemikirannya
(http://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/article/view/375, diakses pada 22
Oktober 2019, pukul 10.43)
Wiyatmi, Representasi dan Relasi Gender
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Wiyatmi,%20M.
Hum./REPRESENTASI%20GENDER%20NAYLA.pdf, diakses pada
Jumat, 06 Desember 2019 pukul 15.44)
Vigotsky, Lev. Teori Kultur (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/lain-
lain/sisca-rahmadonna-spd-mpd/TEORI%20KULTUR.pdf, diakses pada
06 Desember 2019 pukul 08.40)
Sukmawan, Sony. Model-model Kajian Ekokritik Sastra (https://fib.ub.ac.id/wp-
content/uploads/1-MODEL-KAJIAN-KEARIFAN-LINGKUNGAN-
DALAM-SASTRA.pdf, diakses pada Minggu, 08 Desember 2019 pukul
13.16)
Satria, Irwan. Pengertian Kearifan Lokal
(http://eprints.umm.ac.id/35955/3/jiptummpp-gdl-irawansatr-48429-3-
babiip-f.pdf, dikases pada 06 Desember 2019 pukul 21.47)
Pawito, dkk. Konstruksi Identitas Masyarakat Pluralis dalam Terpaan Globalisasi,
(https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/376/14,
diakses pada Minggu, 08 Desember 2019 pukul 14.02)
Sehandi, Yohanes. Mengenal 25 Teori Sastra,
(https://s.docworkspace.com/d/AM7WXsvQkLs04s_x1semFA, diakses
pada 22 Oktober 2019, pukul 10.49)
Puspitasari, Popi. Kearifan Lingkungan: Model Konseptual Berkelanjutan,
(https://www.researchgate.net/publication/327671494_KEARIFAN_LING
KUNGAN_MODEL_KONSEPTUALKEBERLANJUTAN_Environmenta
l_Wisdom_Conceptual_Model_of_Sustainability/link/5b9ddd3f92851ca9e
d0d62b9/download, diakses pada Minggu, 08 Desember 2019 pukul
13.03)

Anda mungkin juga menyukai