Disusun Oleh:
Hijrana 1814015041
SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu jenis karya sastra prosa yang banyak ditemui adalah
cerita pendek atau cerpen. Meski merupakan karya fiksi, cerpen tidak
jarang digunakan oleh pengarangnya sebagai bentuk atau cara untuk
mengungkapkan kebenaran atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di ruang
lingkup dunia pengarang tersebut. Cerpen Pertemuan Keempat karya Atik
Sulistyowati yang tergabung dalam buku antologi cerita pendek Korrie
Layun Rampan yang berjudul Bingkisan Petir adalah hasil representasi
1
Ratih Rakasiwi,
https://www.kompasiana.com/ratihrakasiwi/5a682616f133447d750520b2/analisis-struktur-dan-
nilai-nilai-sosial-dalam-novel-pesona-cleopatra-setetes-embun-cinta-niyala-karya-habiburrahma-
el-shirazy?page=2, diakses pada Kamis, 05 Desember 2019 pukul 13.45
2 Tefan Randika Putra, dkk., Pandangan Dunia Pengarang terhadap Kehidupan Sosial
Masyarakat Dayak Benuaq dalam Novel “Api Awan Asap” karya Korrie Layun Rampan,
(https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsi/article/view/29830, diakses pada 05 Desember 2019
pukul 13.47)
dari pemikiran dan dunia hayal pengarang. Meski menceritakan tentang
percintaan, tetapi cerpen ini juga ikut mengangkat latar belakang sosial,
budaya, dan kearifan lokal. Berdasarkan hal itu, maka di paper ini saya
akan memaparkan hasil analisis saya tentang unsur-unsur pembangun yang
terdapat dalam cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran kelas sosial dan kearifan lingkungan yang
terdapat dalam cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati?
2. Analisis unsur gender dan feminisme yang terdapat dalam cerpen
Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati yang tergabung dalam
buku antologi cerpen Korrie Layun Rampan
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Kajian
Kebudayaan Indonesia
2. Untuk mengetahui aspek-aspek budaya dan kearifan lokal yang
dibangun dalam cerpen Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati.
Serta apek-aspek gender dan feminisme yang terkandung di dalamnya.
C. Manfaat Penelitian
1. Sebagai penanda telah menyelesaikan ujian akhir semester mata kuliah
Kajian Kebudayaan Indonesia
2. Mengetahui pengaplikasian berbagai teori ke dalam satu karya sastra
3. Memahami lebih jauh tentang peradaban suku Dayak yang tersebar di
wilayah pedalaman Kalimantan khususnya Dayak Berusu lewat cerpen
Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Kelas Sosial
Karl Marx menulis bahwa sampai saat ini sejarah mana pun
masyarakat di bumi ini adalah sejarah pertentangan kelas, Si Budak dan Si
Merdeka, kaum bangsawan dengan rakyat jelata, tuan dan pesuruhnya,
dengan kata lain antara penindas dan yang ditindas atau tertindas. Posisi
yang berhadap-hadapan ini akan selalu ada dan tidak dapat dibantah.
Sekarang perlahan namun pasti akan ada perang terbuka, perang untuk
merekonstruksi masyarakat pada umumnya dan khususnya, untuk
menghancurkan kelas penguasa (Pals, 1996). Tema besar dalam pemikiran
Marx sebenarnya berkisar pada konsep kritik atas ekonomi politik. Arah
yang dituju adalah kembali ke belakang dan mempertentangkan antara
perumusan pandangan atas kemanusiaan sebagai satu keutuhan sebelum
datangnya industrialisasi, yakni sebagai suatu spesies yang tidak mengenal
alienasi, terbagi-baginya kemanusiaan serta sub divisi individualnya, hal
ini hanya terjadi dalam peradaban kapitalisme (Belharz, 2002).3
3
Yohanes Bahari, Karl Marx: Sekelumit Tentang Hidup dan Pemikirannya
(http://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/article/view/375, diakses pada 22 Oktober 2019, pukul
10.43)
4
Wiyatmi, Representasi dan Relasi Gender
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Wiyatmi,%20M.Hum./REPRESENTASI
%20GENDER%20NAYLA.pdf, diakses pada Jumat, 06 Desember 2019 pukul 15.44)
3. Identitas Kultural
5
Lev Vigotsky, Teori Kultur (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/lain-lain/sisca-rahmadonna-
spd-mpd/TEORI%20KULTUR.pdf, diakses pada 06 Desember 2019 pukul 08.40)
6
Sony Sukmawan, Model-model Kajian Ekokritik Sastra (https://fib.ub.ac.id/wp-
content/uploads/1-MODEL-KAJIAN-KEARIFAN-LINGKUNGAN-DALAM-SASTRA.pdf,
diakses pada Minggu, 08 Desember 2019 pukul 13.16)
mengolah kebudayaan yang berasal dari luar atau bangsa lain yang
menjadi watak dan kemampuan sendiri (Wibowo, 2015:17). Identitas dan
Kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup
masyarakat sekitar agar tidak terjadi pergeseran nilai-nilai. Kearifan lokal
adalah salah satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan
mempertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik.
Menurut Alfian (2013: 428) kearifan lokal diartikan sebagai
pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang
berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi
kebutuhan mereka. Berdasarkan pendapat Alfian itu dapat diartikan bahwa
kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi
dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga
saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat
tertentu di daerah tertentu. Berdasarkan pengertian di atas dapat diartikan
bahwa local wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami sebagai gagasan-
gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.7
7
Irwan Satria, Pengertian Kearifan Lokal (http://eprints.umm.ac.id/35955/3/jiptummpp-gdl-
irawansatr-48429-3-babiip-f.pdf, dikases pada 06 Desember 2019 pukul 21.47)
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sinopsis Cerpen
Pertemuan Keempat karya Atik Sulistyowati adalah cerpen yang
mengisahkan tentang Sedale, seorang pemuda yang berasal dari kota. Ia
ditugaskan untuk bekerja di sebuah wilayah kecil terpencil, persisnya di
Tideng Pale Kabupaten Bulungan. Selama bertahun-tahun tinggal di desa
terpencil itu, Sedale mulai terbiasa dan menikmati suasana pedesaan yang
belum disentuh oleh teknologi-teknologi canggih seperti di kota tempat
tinggalnya. Suatu hari ketika ia mengikuti session di Samarinda, ia
bertemu dengan seorang gadis bernama Relung. Relung adalah perempuan
cantik, cerdas, dan enerjik yang mampu membuat semua orang terpukau
saat pertama kali memandangnya. Hal demikian juga dirasakan Sedale saat
pertama kali bertemu dengannya di ruang rapat.
Sejak peretemuan pertama itu, Sedale terus mengharapkan
pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Relung. Namun saat kesempatan
bertemu itu tiba, Sedale tidak mampu memanfaatkannya dengan baik
hingga ia tidak mendapatkan perhatian dari Relung sedikit pun. Sampai
akhirnya Sedale menerima panggilan dari Ambalat untuk tugas ke daerah
lain dan harus meninggalkan Tideng Pale. Relung sebenarnya tertarik pada
Sedale juga sejak pertemuan pertama tapi ia berusaha terus memendam
perasaannya sebab ia masih dihantui oleh luka masa lalunya.
Di kesempatan ketiga akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu
dan menghabiskan hari. Tapi itu adalah saat-saat terakhir Sedale berada di
Kalimantan, sebab sebentar lagi ia harus pergi ke tempat ia mengemban
amanahnya yang baru. Akhirnya di bandara Sepinggan Balikpapan mereka
berpisah. Dari perpisahan itu mereka sama-sama bertanya dan berharap,
masihkah ada keajaiban bagi pertemuan keempat?
B. Kelas Sosial
Tak asing bagiku hadir di antara mereka, seakan aku adalah bagian
dari diri mereka, para wanita yang sekali pun tak pernah mengenal
facial dan spa seperti layaknya perempuan-perempuan kota, akan
tetapi mereka memiliki kepolosan dan ketulusan yang luar biasa
(Rampan, : 25).
C. Identitas Kultural
Aku pun sudah tak asing dengan kegiatan mereka setiap hari
mengadakan ritual pengasih, unik dan sering membuatku rindu
untuk menelusuri apa dan kenapa. Tideng Pale memang seperti
negeri mimpi. Sekalipun secara fisik aku adalah lelaki utuh yang
kasat mata senang hidup di tengah belantara Kalimantan dengan
segala tantangan keunikannya. Tak pernah mereka tahu siapa aku...
(Rampan, :25).
8
Pawito, dkk., Konstruksi Identitas Masyarakat Pluralis dalam Terpaan Globalisasi
(https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/376/14, diakses pada Minggu, 08
Desember 2019 pukul 14.02)
Tak terasa telah satu tahun aku menempati bilik kecilku di antara
lamin-lamin yang lain. Tak asing lagi aku berada di antara mereka,
seakan aku bagian dari mereka, ... (Rampan, : 25)
9
Yohanes Sehandi, Mengenal 25 Teori Sastra,
(https://s.docworkspace.com/d/AM7WXsvQkLs04s_x1semFA, diakses pada 22 Oktober
2019, pukul 10.49)
memiiki tanggung jawab untuk berjuang memenuhi kebutuhannya sendiri
tanpa harus bergantung pada orang lain.
10
Popi Puspitasari, Kearifan Lingkungan: Model Konseptual Berkelanjutan
(https://www.researchgate.net/publication/327671494_KEARIFAN_LINGKUNGAN_MODEL_K
ONSEPTUALKEBERLANJUTAN_Environmental_Wisdom_Conceptual_Model_of_Sustainabilit
y/link/5b9ddd3f92851ca9ed0d62b9/download, diakses pada Minggu, 08 Desember 2019 pukul
13.03)
masyarkat suku Dayak Berusu di belantara Kalimantan yang masih
bergantung pada kemurnian hasil alam. Berikut contoh kutipannya;
Tak terbayangkan sebelumnya aku akan berada di tengah sebuah
masyarakat yang sangat alami dan begitu ‘apa adanya’, aku
terjauhkan dari enaknya tawaran duniawi nyata. Di Tideng Pale,
jangankan hendak mengikuti perkembangan dunia, bahkan jalur
untuk berkomunikasi pun sulit untuk kudapatkan. Transportasi,
informasi, bahkan jalur untuk berkomunikasi seakan-akan
menghilang begitu saja dari dunia nyataku. Satu-satunya yang
dapat aku lakukan saat peradaban mas laluku menyergap hanyalah
mengisi hari dengan memancing (Rampan, : 24).
Heriyanti, Arief. 2001. Kelas Sosial, Status Sosial, Peranan Sosial dan
Pengaruhnya. Jakarta: Esis