Referat Indah Karin - Komplikasi Anestesi (Fix)
Referat Indah Karin - Komplikasi Anestesi (Fix)
Pada dasarnya tidak ada prosedur medis yang tidak membawa resiko, sekecil apapun.
Meskipun morbiditas dan mortalitas akibat anestesianya sudah sangat sedikit, potensi untuk
timbulnya komplikasi tetap ada. Demikian pula komplikasi yang terjadi, belum dapat
mencapai titik nol. Komplikasi yang berlangsung berhubungan dengan tindakan anestesia
dapat mengenai semua organ secara garis besar, komplikasi ini berbentuk trauma primer
(akibat tindakan anestesi), trauma sekunder sebagai akibat perubahan fisiologi karena
tindakan anestesia, gangguan faal organ (kesalahan manajemen cairan, penggunaan obat-obat
yang toksik bagi organ tertentu), atau kegagalan manajemen pernafasan.
Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca anestesi,
yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan,
perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009). Harus diperhatikan bahwa komplikasi
anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian bagi pasien. Beberapa
komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain: pernapasan tidak adekuat, pneumotorakis,
atelektasis, hipotensi, gagal jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek sedatif
premedikasi, trombosis jantung, cedera kepala, sianosis, konfulsi, mual muntah, embolisme
lemak dan keracunan barbiturat (Ellis & Campbell, 1986).
Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa (Abrorshodiq,2009).
Laporan umum mencatat kejadian kematian pada waktu atau segera setelah operasi di
beberapa rumah sakit di Amerika rata-rata 0,2% - 0,6% dari operasi dan kematian yang
disebabkan oleh anestesi 0,03% - 0,1% dari seluruh anestesi yang diberikan (Admin, 2007).
Campbell (1960) menambahkan bahwa kematian yang terjadi pada waktu operasi atau segera
setelah operasi dari laporan kejadian karena anestesi sangat bervariasi dari 5% sampai 50%.
Kecelakaan anestetik dapat dikelompokkan menjadi yang dapat dicegah dan yang
tidak dapat dicegah. Berbagai contoh yang tidak dapat dicegah antara lain sindrom kematian
mendadak, reaksi obat idiosinkratik fatal, atau setiap akibat buruk yang terjadi walaupun
telah dilakukan penatalaksanaan yang sesuai. Namun demikian, penelitian pada kematian
yang terkait-anestetik atau hampir meninggal menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan
tersebut dapat dicegah.
Tabel 1. Kesalahan manusia umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang dapat
dicegah.
Tabel 2. Malfungsi peralatan umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang dapat
dicegah
Sirkuit pernapasan
Alat pemantauan
Ventilator
Mesin anestesia
Laringoskop
Faktor Contoh
Pencegahan
Beberapa tindakan anestesi menyebabkan stimulus nyeri yang dapat berbahaya jika
tidak diantisipasi. Peningkatan tonus simpatis akibat nyeri dapat menyebabkan hipertensi
bahkan cerebrovaskuler accident, terutama pada pasien yang sudah menderita hipertensi pra
bedah. Nyeri juga faktor penyebab yang signifikan untuk spasme koroner, krisis hipertensi
pulmonal, atau hipercyanotic spell. Aktivitas simpatis juga dapat mencetuskan aritmia
jantung, apalagi jika sebelumnya sudah ada ketidakseimbangan elektrolit.
Hampir semua komplikasi jalan nafas berupa trauma, ketika melakukan ventilasi
dengan sungkup atau bag, jika tidak cermat lidah pasien dapat tergigit. Oleh karena itu
sekarang dianjurkan menggunakan sungkup muka yang bewarna transparan karena selain
dapat melihat lidah yang tergigit juga dapat melihat jika pasien muntah.
Trauma jalan nafas (atas) dapat terjadi jika memasukkan alat bantu, misalnya pipa
orofaring (guedel) atau pipa nasofaringeal. Trauma jalan nafas yang paling sering terjadi
berhubungan dengan tindakan laringoskopi dan intubasi. Mulai yang ringan (gigi tanggal,
laserasi sudut mulut) hingga cedera glotis dan jaringan lunak sekitarnya. Pada tindakan
laringoskopi bahkan dapat terjadi dislokasi dan subluksasi aritenoid.
Laringoskopi semakin traumatis jika pasien memang memiliki anatomi yang sulit.
Namun demikian, pasien dengan anatomi normalpun dapat mengalami ini. Oleh karena itu,
Intubasi dengan pipa endotracheal (endotracheal tube atau ETT) serig menyebabkan
trauma dan kerusakan struktur jalan nafas atas. Terutama jika intubasi dilakukan dalam
keadaan pasien tetap bernafas spontan, ETT dapat mencederai pita suara atau menyebabkan
laringospasme. Penggunaan balon (cuff) ETT juga dapat meninbulkan trauma terutama jika
ukuran ETT sangat ketat di trakea atau balon dikembangkan terlalu besar. Pada kasus yang
berat bahkan dapt menyebabkan kelumpuhan pita suara akibat tekanan pada saraf laringeus
reccurens. Pasca bedah, setelah ekstubasi terkadang baru disadari ada pembengkakan di jalan
nafas. Edema laring atau laringospasme pasca ekstubasi dapat menjadi masalah besar karena
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Edema laring dapat diatasi dengan pemberian O2
yang dilembabkan, epinefrin, posisi kepala diangkat, bila perlu dilakukan intubasi ulang
dengan pipa endotracheal yang lebih kecil. Meskipun kontroversial, seringkali diberikan
steroid parenteral untuk mengurangi edema ini. Laringospasme dapat diatasi dengan
pemberian O2 tinggi melalui tekanan positif. Pada kasus yang berat dapat diberikan
pelumpuh otot.
Keberadaan ETT di trakea juga dapat merupakan iritan bagi pasien-pasien yang
sensitif. Pasien dengan hiperaktivitas bronkus atau asma bronkhial mudah terpicu serangan
oleh karena ETT ini. Jika ETT terlalu dalam dan masuk ke salah satu bronkus pun, serangan
asma dapat terjadi. Untuk pada kasus yang berat bahkan menyebabkan atelektasis satu paru.
Pemasukan selang endotrakeal sehari-hari, jalan napas masker laring, jalan napas
oral/nasal, selang gastrik, probe ekokardiogram transesofageal (transesofageal
echocardiogram, TEE), dilator esofageal (boogie), dan jalan napas darurat semuanya
melibatkan risiko kerusakan struktur jalan napas.
Cedera jalan napas permanen yang paling umum adalah trauma gigi. Pada
kebanyakan kasus, laringoskopi dan intubasi endotrakeal terlibat, dan gigi seri atas adalah
yang paling sering terkena cedera.Faktor risiko utama untuk trauma gigi termasuk intubasi
trakeal, gigi geligi yang kurang baik sebelumnya, dan karakteristik pasien yang berkaitan
dengan penatalaksanaan jalan napas sulit (termasuk pergerakan leher yang terbatas,
pembedahan kepala dan leher sebelumnya, kelainan kraniofasial, dan riwayat intubasi sulit).
Cedera laringeal terutama melibatkan paralisis pita suara, granuloma, dan dislokasi
aritenoid. Sebagian besar cedera trakeal berkaitan dengan trakeotomi pembedahan darurat,
namun beberapa berkaitan dengan intubasi endotrakeal. Meminimalkan risiko cedera jalan
napas dumulai pada penilaian praoperasiDokumentasi gigi geligi terakhir (termasuk kerja
gigi) harus dimasukkan
Komplikasi yang dapat fatal dalam waktu singkat adalah hipoksemia berat.
Hipoksemia berat dapat diakibatkan kegagalan menagemen jalan nafas, baik karena anatomi
sulit, false route, obstruksi, atau kesalahan pengaturan ventilasi atau oksigen. Hipoksemia
juga dapat terjadi karena hal-hal yang sepele seperti diskoneksi ETT dengan sumber gas,
bocornya sirkuit nafas, fraksi O2 yang rendah atau pengaturan ventilasi semenit yang kurang
dari seharusnya.
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya adalah
tertekuknya pipa endotrakeal atau tersumbatnya pipa endotrakeal oleh mukus, darah, benda
asing atau pelumas. Pipa endokrakeal non kinkin dapat mencegah terjadinya pipa yang
tertekuk, oleh karena itu penggunaannya dianjurkan pada pasien yang lama, operasi mulut,
atau operasi yang memerlukan posisi khusus. Balon pipa endotracheal yang dikembangkan
secara berlebihan juga dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Balon ini dapat menekan
ujung pipa pada dinding trakea, yang kemudian akan menyumbatnya.
Perubahan irama jantung juga dapat terjadi, salah satunya adalah aritmia intraoperatif,
sebagian disebabkan karena peningkatan aktivitas simpatis, kemungkinan lain karena adanya
ketidakseimbangan elektrolit, semua abnormalitas kadar elektrolit berpotensi menyebabkan
aritmia.
Sebagian besar obat anestetik bersifat vasodilator dengan gradasi berbeda-beda, yang
dapat menyebabkan hipotensi. Semakin dalam anestesia, semakin rendah pula tekanan darah.
Jika pasien dalam kondisi hipovolemia tentu hipotensi lebih mudah terjadi dan dapat berat.
Komplikasi Neurologi
Trauma pada medula spnalis atau saraf yang keluar dari medula spinalis dapat terjadi.
cedera vetebra servikalis akibat usaha laringoskopi dan intubasi yang sulit merupakan
penyebab tersering.
Cedera saraf perifer yang paling umum adalah neuropati ulnar. Yang menarik, gejala-
gejala awal sebagian besar seringkali terlihat lebih dari 24 jam setelah prosedur pembedahan
dan mungkin telah terjadi saat pasien yang berada pada bangsal rumah sakit sedang tertidur.
Berbagai faktor risiko meliputi jenis kelamin laki-laki, lama inap di rumah sakit lebih dari 14
hari, dan habitus tubuh yang sangat kurus atau obesitas.
Cedera saraf perifer lainnya tampaknya lebih berhubungan dekat dengan pengaturan
posisi atau prosedur pembedahan. Cedera ini mencakup saraf peroneus, pleksus brakialis,
atau saraf femoralis dan skiatika. Penekanan eksternal pada saraf dapat membahayakan
perfusinya, merusak integritas selularnya, dan pada akhirnya menimbulkan edema, iskemia,
dan nekrosis.
Perubahan posisi tubuh memiliki konsekuensi fisiologi yang dapat diperberat dengan
adanya penyakit. Anestesia umum dan regional dapat membatasi respons kardiovaskular
terhadap perubahan tersebut. Bahkan posisi yang aman untuk periode singkat ternyata dapat
menyebabkan komplikasi pada orang yang tidak mampu bergerak untuk merespons terhadap
nyeri. Sebagai contoh, pasien alkoholik yang pingsan pada lantai yang keras dapat terbangun
dengan cedera pleksus brakialis. Begitu juga, anestesia regional dan umum menghilangkan
refleks-refleks protektif dan mempredisposisikan pasien pada cedera.
Hipotensi postural, suatu konsekuensi fisiologis yang paling umum dari posisi, dapat
diminimalkan dengan menghindari perubahan posisi yang tiba-tiba (misal, duduk dengan
cepat), mengembalikan posisi jika terdapat perubahan tanda vital, menjaga pasien sehidrasi
mungin, dan memberikan obat-obat untuk melawan reaksi yang diantisipasi
Pernapasan Penurunan yang nyata pada kapsitas paru akibat pergeseran visera
abdomen; meningkatnya ketidaksesuaian ventilasi/perfusi dan
ateletaksis; meningkatnya kecenderungan regurgitasi.
Trendelenburg Jantung Preload, curah jantung, dan tekanan arterial menurun. Barorefleks
terbalik meningkatkan tonus simpatis, denyut jantung, dan resistansi
vaskular perifer.
Prone Jantung Pengumpulan darah pada ekstremitas dan kompresi pada otot-otot
abdomen dapat menurunkan preload, curah jantung, dan tekanan
darah.2
Dekubitus Jantung Curah jantung tidak berubah kecuali aliran balik vena tersumbat
lateral (misal, henti ginjal). Tekanan darah arterial dapat turun sebagai
akibat penurunan resistansi vaskular (sisi kanan > sisi kiri).
2
Perubahan yang berkaitan dengan posisi prone diperberat oleh kerangka pelana konveks yang
digunakan pada pembedahan spinal posterior dan diminimalisasi oleh posisi prone jackknife.
Embolisme udara Duduk, prone, Mempertahankan tekanan vena di atas 0 pada luka (lihat
Trendelenburg terbalik Bab 26).
Sakit punggung Semua Penunjang lumbar, pemakaian alas, dan sedikit fleksi
pinggul.
Kelumpuhan saraf
Pleksus brakialis Semua Hindari penarikan atau kompresi langsung pada leher
atau aksila
Anestesia umum juga dapat mengganggu fungsi beberapa organ vital seperti hati dan
ginjal. Hal ini terutama jika digunakan obat-obatan yang bersifat hepato/nefrotoksik atau
terjadi gangguan perfusi selama anestesia. Salah satu obat anestesia yang terkenal dengan
sifat hepatotoksiknya adalah gas volatil halotan.
Manajemen cairan intraoperatif yang tidak tepat juga dapat menyebabkan masal.
Selain hipovolemi, hipervolemi dapat membawa komplikasi edema interstisial, terutama jika
digunakan terlalu banyak cairan kristaloid. Pada pasien dengan keterbatasan fungsi pompa
Awareness
Saat intraoperatif secara tidak diinginkan pasien menjadi sadar, pasien dapat
menunjukkan gejala mulai dari kecemasan ringan sampai gangguan stres pasca trauma
(misalnya, gangguan tidur, mimpi buruk, dan kesulitan bersosialisasi).
Kembalinya kesadaran secara tiba-tiba bisa disebabkan karena berkurangnya
kedalaman anestesi karena pasien dapat mentoleransinya, anestesi inhalasi yang inadekuat,
dan medication errors. Untuk mencegah hal tersebut pasien dapat diberikan volatile anestesi
dengan level yang konsisten sehingga menyebabkan efek amnesia atau berikan
benzodiazepine.
Eye Injury
Dapat terjadi mulai dari simple cornea abrasion sampai dengan kebutaan. Namun,
yang paling sering terjadi adalah simple cornea abrasion. Penyebabnya masih sulit
diidentifikasi, tapi jarang bersifat permanen. Untuk mencegah hal ini terjadi pada saat pasien
tidak sadar tutup kelopak matanya dengan tape (terutama pada pasien yang diintubasi), serta
mencegah adanya kontak langsung antara oxygen mask dengan mata.
Akhir-akhir ini, cedera mata yang membahayakan disebut neuropati optik iskemik
(ischemic optic neuropathy, ION) telah diketahui. Sindrom ini berasal dari infark saraf optik
akibat menurunnya penyaluran oksigen melalui satu atau lebih arteriol kecil yang memasok
kepala saraf. Banyak dari laporan, kasus ini melibatkan hipertensi yang telah ada
sebelumnya, diabetes, penyakit arteri koroner, dan merokok, menunjukkan bahwa kelainan
vaskular praoperasi mungkin memiliki peran.
Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi (1) meningkatkan aliran keluar vena
dengan memposisikan pasien dengan kepala di atas dan meminialkan konstriksi abdomen,
(2) memantau tekanan darah secara hati-hati dengan jalur arterial, (3) membatasi derajat dan
durasi hipotensi selama hipotensi terkontrol (disengaja), (4) memberikan transfusi pada
pasien anemik yang tampaknya memiliki risiko ION dengan cukup dini untuk menghindari
anemia berat, dan (5) mendiskusikan dengan ahli bedah mengenai kemungkinan operasi
bertahap pada pasien risiko tinggi untuk membatasi prosedur yang terlalu lama.
Reaksi Alergi
Bergantung pada antigen dan komponen sistem imun yang terlibat, reaksi
hipersensitivitas secara klasik dibagi menjadi empat tipe (Tabel 6). Reaksi tipe I melibatkan
antigen yang mengikat antibodi imunoglobulin (Ig) E yang memicu pelepasan mediator
inflamasi dari sel-sel mast. Pada reaksi tipe I, antibodi IgG terikat komplemen (ikatan C1)
berikatan dengan antigen pada permukaan sel, mengaktifkan jalur komplemen klasik dan
melisiskan sel. Contoh-contoh reaksi tipe II meliputi reaksi transfusi hemolitik dan
trombositopenia yang diinduksi-heparin. Reaksi tipe III terjadi ketika kompleks imun
antigen-antibodi (IgG atau IgM) tersimpan di dalam jaringan, mengaktivasi komplemen dan
membangun faktor-faktor kemotaktik yang menangkap neutrofil ke area tersebut. Neutrofil
yang teraktivasi menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan enzim liposomal dan
produk-produk toksik. Reaksi tipe III melibatkan reaksi kesakitan serum (serum sickness) dan
pneumonitis hipersensitivitas akut. Reaksi tipe IV, sering disebut sebagai hipersensitivitas
yang tertunda, dimediasi oleh limfosit T CD4+ yang telah tersensitisasi terhadap antigen
spesifik oleh paparan sebelumnya. Respons TH1 sebelumnya menyebabkan ekspresi protein
reseptor sel T yang spesifik untuk antigen. Paparan ulang terhadap antigen menyebabkan
limfosit-limfosit ini menghasilkan limfokin-limfokin—interleukin (IL), interferon (IFN), dan
faktor nekrosis tumor-γ (TNF- γ)—yang menangkap dan mengaktifkan sel-sel mononuklear
inflamasi selama 48-72 jam. Produksi IL-1 dan IL-6 oleh sel-sel pemproses antigen
memperkuat ekspresi klonal dari sel-sel T yang tersensitisasi yang spesifik dan menangkap
tipe sel T lainnya. Sekresi IL-2 mengubah sel T sitotoksik CD8 + menjadi sel-sel pembunuh
(killer); IL-4 dan IFN- γ menyebabkan makrofag menjalani transformasi epiteloid, seringkali
menyebabkan granuloma. Berbagai contoh reaksi tipe IV adalah yang berkaitan dengan
tuberkulosis, histoplasmosis, skistosomiasis, dan pneumonitis hipersensitivitas dan juga
beberapa gangguan autoimun seperti artritis reumatoid dan granulomatosis Wagener.
Tipe I (segera)
Atopi
Urtikaria—angioedema
Anafilaksis
Tipe II (sitotoksik)
Trombositopenia diinduksi-heparin
Reaksi Arthus
Serum sickness
Dermatitis kontak
Hipersensitivitas tipe-tuberkulin
Anafilaksis akibat obat anestetik sebenarnya jarang terjadi; reaksi anafilaktoid jauh
lebih umum. Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan hipersensitivitas terhadap
anestetik meliputi jenis kelamin wanita, riwayat atopik, alergi yang telah ada sebelumnya,
dan paparan anestetik sebelumnya. Relaksan otot merupakan penyebab anafilaksis yang
paling umum selama anestesia dengan perkiraan insidens 1 dalam 6500 pasien. Relaksan otot
merupakan hampir 70% reaksi anafilaktik selama periode perioperasi.
Walaupun lebih jarang, obat-obat hipnotik juga dapat bertanggung jawab untuk
beberapa reaksi alergi. Insidens anafilaksis untuk tiopental dan propofol berturut-turut adalah
1 dalam 30.000 dan 1 dalam 60.000. Reaksi alergi terhadap ketomidat, ketamin, dan
benzodiazepin sangatlah jarang. Reaksi anafilaktik sebenarnya akibat opioid jauh lebih jarang
dibandingkan pelepasan histamin nonimun. Begitu juga, reaksi anafilaktik terhadap anestetik
lokal jauh lebih jarang dibandingkan reaksi vasovagal, reaksi toksik, dan efek samping dari
epinefrin. Tidak terdapat laporan mengenai anafilaksis terhadap anestetik volatil.
DAFTAR PUSTAKA
Ratna F. Soenarto dan Susilo Chandra. Komplikasi Anestesiologi dalam Buku Ajar
Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI. 2012:
207-218.