Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SIMBOL SAKRAL DALAM AGAMA

Makalah ini di Susun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Antropologi Agama

Dosen Pengampu : Ahmad Khotim Muzakka, M.A

Di Susun oleh:

Lukman Hakim (2032115001)

JURUSAN TASAWUF DAN PSIKOTERAPI

FAKULTAS USHULUDIN, ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) PEKALONGAN

2017
A. PENDAHULUAN

Simbol dan agama tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Manusia selalu
menciptakan simbol dalam agama atau kepercayaannya yang dengan demikian dapat
mengeksresikan keimanannya dan imajinasi terhadap hal yang abstrak namun di
yakininya.

Manusia memiliki hubungan yang erat dengan simbol-simbol dan dalam


kehidupannya, manusia tidak akan pernah dari simbol. Begitu eratnya hubungan
manusia dengan simbol sampai manusia pun disebut sebagai makhluk yang hidup
dalam simbol-simbol. Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-
ungkapan yang simbolis, ungkapan yang simbolis ini merupakan ciri khas manusia,
yang membedakannya dengan hewan.

Simbol memiliki peran yang sangat penting bagi manusia, manusia menemukan
dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui berbagai simbol. Kenyataan
memang sekadar fakta-fakta tetapi sebenarnya mempunyai makna psikis, karena
simbol mempunyai unsur pembebasan dan penglihatan tersendiri

Selain itu peran simbol dalam agama juga sangatlah penting, setiap manusia yang
memiliki agama dan kepercayaan selalu membuat suatu simbol yang menjadi tanda
agama dan kepercayaannya. Dalam beribadah simbol memudahkan manusia untuk
melakukan ritual-ritual agama dan kepercayaanya. Dalam makalah ini akan dibahas
lebih lanjut tentang simbol sacral dalam agama

1
B. PEMBAHASAN
1. Perbedaan sakral dan profan

Yang sakral dan yang profan ialah merupakan dua istilah k has dalam
“kamus” para ahli studi agama-agama, terutama ketika membicarakan masyarakat
primitif. Dalam hal ini, Eliade lebih menyukai sebutan manusia atau masyarakat
“arkhais” atau preliterate daripada sebutan “primitif”. Menurut Eliade, semua
definisi yang ditunjukan kepada kita tentang fenomena regiius sampai sekarang
masih memiliki kesamaan dalam satu hal, yaitu bahwa yang sakral merupakan
kehidupan religius yang dipertentangkan dengan yang profan yang merupakan
kehidupan sekular.1

Dalam pengerian yang lebih luas, yang sakral atau yang kudus (sakred) adalah
sesuatu yang terlindung dari pelangaran, pengacauan atau pencemaran, yang
kudus adalah sesuatu yang dihormati, dimuliakan dan tidak dinodai. Sedangkan
kebalikan yang kudus ialah yang profan. Profan adalah sesuatu yang biasa, umum,
tidak dikuduskan, dan bersifat sementara. Pendek kata, yang ada diluar religius. 2

Pengertian sakral merupakan suatu hal yang lebih mudah dirasakan


daripada dilukiskan. Bilamana terdapat suatu anggapan bahwa suatu benda sakral
tersebut mengandung zat yang suci, dan di dalamnya mengandung pengertian
misteri yang mengerikan tetapi mengagungkan. Di dalam masyarakat, terdapat
pandangan yang berbeda-beda mengenai mana benda yang suci, dan benda
yang biasa, atau yang sering dikemukakan orang benda sakral dengan profan.
Orang Hindu menghormati dan mensucikan lembu, Hajar Aswad di Makkah
disucikan oleh orang- orang Islam, Salib di atas altar disucikan oleh orang
Kristen, masyarakat primitif membakar mati binatang-binatang totem
mereka.3

Di samping itu ada pula yang tampak dan tidak dapat diraba, wujud yang
suci tersebut ialah seperti Tuhan, Roh, malaikat, setan, hantu yang semuanya itu
dikeramatkan dan dikagumi, Yesus Kristus serta Santa Maria, Budha dan
Budhisatwa disucikan oleh penganutnya dan di keramati dalam upacara
keagamaan.4

1
Adeng Muchtar Gazali, Antropologi Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm.43
2
Ibid, hlm.44
3
Zakiah Darajat, Perbandingan Agama, (Jakarta: Bumi Aksara, 1985) hlm.167-168
4
Ibid, hlm. 168

2
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu benda dapat
disucikan atau dihormati disebabkan ada perasaan batin dan perasaan yang terpatri
di dalam jiwanya dan rasa ketakutan. “Perasaan kagum inilah untuk menarik
mereka untuk cinta dan ingin terhindar dari bahaya”.5

Perlu dijelaskan bahwa antara benda yang suci dan yang tidak suci
tergantung pada orang atau tergantung pada pemeluk suatu agama. Umpamanya
lembu yang disucikan oleh orang Hindu sama saja dengan lembu yang lain.
Begitu juga dengan salib yang disucikan oleh orang Kristen sama saja dengan
kayu yang tidak dipersilangkan.

Hal di atas, tergantung kepada orang yang beranggapan sesuatu itu


dianggap suci tetapi bagi orang lain dianggap tidak. Begitu juga tentang wujud
yang gaib yang disucikan dalam kaitannya tidak dapat ditunjukkan kepada orang
lain tidak ada. Tetapi bagi pemeluk suatu agama merupakan suatu yang suci yang
memungkinkan wujud yang disucikan yang terdapat dalam diri pemeluknya
masing-masing yang dapat diselidiki secara empiris dan secara nyata

Sekalipun penggambaran yang kudus sebagai kebalikan dari yang profan itu
bervariasi, tetapi yang tetap ada dalam fenomena religius itu adalah pertalian dari
makna khusus yang disebut religius atau suatu hubungan dengan dewa-dewa, roh-
roh, leluhur yang dipuja, atau benda-benda suci. Suatu objek, pengalaman, dan
fenomena yang semula profan menjadi objek, penglaman dan fenomena yang suci
adalah berkat hubungan khusus yang dimiliki individu atau kelompok terhadap
objek, pengalaman atau fenomea itu sendiri. Hubungan itu dapat dikatakan suatu
fenomena yang dimuati kekudusan, jika fenomena itu religius dan menjadi
simbolis.6

2. Agama sebagai Simbol Sakral

Semua kegiatan manusia pada umumnya melibatkan simbolisme. Karena itu


manusia disebut juga homosimbolic. Dalam lingkungan manusia religious, fakta-
fakta religious itu sendiri menurut kodratnya sudah bersifat simbolis. 7Simbol suci
didalam agama-pun biasa mengejawantah didalam tradisi masyarakat yang
disebut tradisi keagamaan. Setiap tradisi memuat simbol-simbol suci yang

5
, Adeng Muchtar Gazali, Op.cit,hlm.47
6
Adeng Muchtar Gazali, Op.cit,hlm.48
7
Adeng Muchtar Gazali, Op.cit,hlm.63

3
dengannya orang melakukan serangkaian tindakan untuk menumpahkan
keyakinan dalam bentuk melakukan ritual, penghormatan dan penghambaan.8

Fungsi simbol-simbol yang dipakai dalam upacara adalah sebagai alat


komunikasi dan menyuarakan pesan-pesan ajaran agama agama dan kebudayaan
yang dimilikinya, khususnya yang berkaitan dengan etos dan pandangan hidup,
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh keadaan adanya upacara tersebut.
Symbol merupakan “gambaran yang Sakral” sekaligus juga sebagai mediator
manusia untuk berhubungan dengan yang sakral. Sebab manusia tidak bisa
mendekati yang sakral secara langsung. Karena yang sakral itu adalah transenden
sedangkan manusai itu adalah mahluk temporal yang terikat di dunianya. Maka
manusia bisa mengenal yang sacral, sejauh bisa dikenal melalui symbol. Bahasa
yang sacral pada manusia melalui simbol. Dengan demikian symbol merupakan
suatu cara untuk dapat sampai pada yang sacral.9

Simbol bukanlah hanya sekedar cerminan realitas objektif. Tetapi ia pun


mengungkapkan sesuatu yang lebih pokok dan mendasar.oleh karena itu, Eliade
menyebutkan beberapa aspek, yakni:10

 Simbolisme keagamaan mampu mengungkapkan suatu modalitas dari yang


nyata atau suatu struktur dunia yang tidak tampak pada pengalaman
langsung, yang tidak terjangkau oleh pengalaman manusia.
 Bagi masyarakat primitif, symbol-simbol selalu bersifat religious karena
mereka mengacu kepada yang nyata, yaitu yang berkakuatan, berermakna
dan hidup sejajar dengan yang sakral.
 Karakteristik esensial dan simbolisme keagamaan adalah multivalent,
kepastian untuk mengekspresikan secara simultan sejumlah makna yang
kontinuitasnya tidak nyata dalam tatanan pengalaman.
 Kemampuan simbol untuk mengungkapkan keragaman makna struktur yang
secara koheren memiliki sebuah konsekuensi penting.
 Fungsi penting simbolisme keagamaan adalah kapasitas mengekspresikan
situasi paradoks atau struktur-struktur tertentu dari realitas ultrim yang
Nampak tak terekspresikan dengan cara lain.
 Terakhir merupakan suatu keharusan untuk mengarisbawahi nilai
eksistensial dari simbolisme keagamaan.

8
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 17
9
Adeng Muchtar Gazali, Op.cit,hlm.63-64
10
Adeng Muchtar Gazali, Op.cit,hlm.65-67

4
3. Upacara Keagamaan (Ritus)

Ritus adalah alat manusia religius untuk melakukan perubahan. Ia juga bisa
dikatakan sebagai tindak simbolis agama, atau ritual itu merupakan “agama dalam
tindakan”. Meskipun iman mungkin bagian dari ritual atau bahkan ritual itu
sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan makna dari ritual sera
memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas dari pelaksanaan ritual tersebut.11

Ritual (ritus) merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan
keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai
dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu,
tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-
orang yang menjalankan upacara.12

Salah satu tokoh antropologi yang membahas ritual adalah Victor Turner.
Ia meneliti tentang proses ritual pada masyarakat Ndembu di Afrika Tengah.13
Menurut Turner, ritus-ritus yang diadakan oleh suatu masyarakat merupakan
penampakan dari keyakinan religius. Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong
orang-orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial tertentu. Ritus-ritus
tersebut juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling
dalam. Dari penelitiannya ia dapat menggolongkan ritus ke dalam dua
Bagian, yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan.14

Pertama, ritus krisis hidup. yaitu ritus-ritus yang diadakan untuk


mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami manusia. Mengalami krisis, karena ia
beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus ini meliputi kelahiran,
pubertas, perkawinan dan kematian. Ritus-ritus ini tidak hanya berpusat pada
individu, melainkan juga tanda adanya perubahan dalam relasi sosial diantara
orang yang berhubungan dengan mereka, dengan ikatan darah, perkawinan,

kontrol sosial dan sebagainya. 15

Kedua, ritus gangguan. Pada ritus gangguan ini masyarakat Ndembu


menghubungkan nasib sial dalam berburu, ketidak teraturan reproduksi pada

11
Adeng Muchtar Gazali, Op.cit, hlm.50
12
Koentjoroningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), hlm.85
13
Winangun, Masyarakat bebas Struktur, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm.11
14
Ibid, hlm.21
15
Ibid, hlm.21

5
para wanita dan lain sebagainya dengan tindakan roh orang yang mati. Roh
leluhur menganggu orang sehingga membawa nasib sial.16

Bentuk-bentuk Ritus

Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dibagi kedalam 3
bagian, yaitu:17

a. “ritus perpisahan” manusia melepaskan kedudukannya yang semula.


Acaranya ditandai dengan tindakan-tindakan yang melambangkan
perpisahan.
b. “ritus peralihan” manusia dianggap mati atau tidak ada lagi dan dalam
keadaan seperti tak tergolong dalam lingkung social manapun. Mereka
dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan social yang
baru pula.
c. “ritus integrasi kembali” upacara peresmian menuju tahap kehidupan dan
linhgkungan social yang baru, sebagaimana yan dilakukan dalam upacara-
upacara inisiasi lainnya, dimana individu yang bersangkutan secara
perlambang seakan-akan dilahirkan kembal, dan mengukuhkan integrasinya
dikedalam lingkungan social yang baru.

Dibawah ini akan mengulas beberapa bentuk upacara keagamaan:18

1) Upacara Inisisasi
Inisiasi biasanya mengacu pada ritual yang merayakan dan meresmikan
penerimaan individu kedalam kedewasaan dan kematangan religious, atau juga
kedalam kelompok persaudaraan atau kedalam tugas religious khusus.
Tema pokok dalam upacara inisiasi adalah upacara kematian dan kelahiran
kembali. Maka upacara-upacara ritual , mereka dilahirkan kembali dengan
membawa status yang baru dalam masyarakat. Symbol-simbol ritus
dimunculkan dalam inisiasi ini. Rentetan-rentetan ritus dilakukan secara teratur
dan bermakna.

16
Ibid, hlm.22
17
Adeng Muchtar Gazali, Op.cit, hlm.48
18
Adeng Muchtar Gazali, Op.cit, hlm.55-62

6
2) Upacara kelahiran

pada suku arunta wanita hamil ianggap memiliki roh yang sedikit. Karena
sebagian besar dari anaknya. Oleh karena itu ketika bayi itu lahir, maka sang
bayi dianggap sebagai reinkarnasi dari salah seorang leluhurnya.

3) Upacara perkawinan

Secara singkat inisiasi adalah “persiapan perkawinan”. Dalam pengertian


bahwa laki-laki atau wanita secara ritual bisa dikawini. Perkawinan ini adalah
suatu institusi yang diatur oleh adat dan hukum, yang tidak bisa dilakukan
sembarangan.

Dalam kegiatan upacara perkawinan, banyak symbol-simbol yang dianggap


memiliki nilai kesakralan, misalnya butir padi, nasi, buah, dan kacang-
kacangan yng dilempar kepada wanita. merupakan tanda kesuburan dan berkah
bagi dirinya

4) Upacara kelahiran

Upacara ritual ini merupakan rangkaian terakhir dalam kehidupan manusia.


Upacara demikian bahwa tanda kematian fisik menuju roh kehidupan dunia
yang lebih dalam dan lebih tinggi kelahiran, pubertas dan kematianmerupakan
siklus yang tiada henrtm

Berdasarkan teori hertz yang mengikuti gagasan emile, kematian tu


merupakan suatu proses peralihan kedudukan social didunia makhluk halus.

5) Upacara musiman

Upacara ini merupakan titik kritis dalam kehidupan individual dari ayuna
sampai liang lahat. Inilah drama musiman padasaat penyelamat benih sampai
panen, sebagai aktivis benih panen, sebagai seorang aktivis bermasyarakat.

7
C. PENUTUP

Yang sakral atau yang kudus (sakred) adalah sesuatu yang terlindung dari
pelangaran, pengacauan atau pencemaran, yang kudus adalah sesuatu yang dihormati,
dimuliakan dan tidak dinodai. Sedangkan kebalikan yang kudus ialah yang profan.
Profan adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, dan bersifat sementara.
Pendek kata, yang ada diluar religius.

Fungsi symbol-simbol yang dipakai dalam upacara adalah sebagai alat


komunikasi dan menyuarakan pesan-pesan ajaran agama agama dann kebudayaan
yang dimilikinya, khususnya yang berkaitan dengan etos dan pandangan hidup, sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai oleh keadaan adanya upacara tersebut. Symbol
merupakan “gambaran yang Sakral” sekaligus juga sebagai mediator manusia untuk
berhubungan dengan yang sacral.

Ritual (ritus) merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan
keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan
adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat
dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang
menjalankan upacara.

8
DAFTAR PUSTAKA

Muchtar Gazali, Adeng. 2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta

Darajat, Zakiah. 1985. Perbandingan Agama. Jakarta: Bumi Aksara

Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS

Koentjoroningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian


Rakyat

Winangun. 1990. Masyarakat bebas Struktur. Yogyakarta: Kanisius

Anda mungkin juga menyukai