Anda di halaman 1dari 25

I.

PENDAHULUAN
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes
melitus (DM) tipe 2 yang disebabkan oleh perubahan fungsi ginjal.
Perubahan fungsi ginjal diawali dengan keadaan hiperglikemi progresif yang
merangsang hipertrofi sel ginjal, sintesis matriks ekstraselular serta perubahan
permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dari diabetes berhubungan dengan
komplikasi jangka panjang, terutama pada mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah. Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45% penderita DM
terutama pada DM tipe I. Pada tahun 1981 nefropati diabetik ini
merupakan penyebab kematian urutan ke-6 di Negara barat dan saat ini 25%
penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis disebabkan oleh DM terutama
T2DM, karena DM tipe ini lebih sering dijumpai. Berdasarkan Studi Prevalensi
Mikroalbuminuria (MAPS), hampir 60% dari penderita hipertensi dan diabetes di
Asia menderita nefropati diabetik. Presentasi tersebut terdiri atas 18,8% dengan
makroalbuminuria dan 39,8 % dengan mikroalbuminuria.
Berdasarkan penelitian tahunan yang diambil pada tahun 2002 oleh
Bethesda dari National Institutes Of Health, angka prevalensi nefropati diabetik
mendekati 40 % penyebab gagal ginjal terminal. Diabetes melitus merupakan
faktor independen terjadinya gagal ginjal terminal dan jika diikuti dengan
hipertensi, pyelonefritis, dan bentuk lain glomerulonefropati dapat meningkatkan
timbulnya penyakit ginjal kronik. Banyak penyakit kardiovaskuler, termasuk
hipertensi sering dikaitkan dengan kerusakan ginjal. Penelitian Mogensen (1976)
memperlihatkan bahwa kontrol terhadap hipertensi akan memperlambat
progresivitas nefropati diabetik. Studi meta-analisis yang disusun di tahun 2001
mengindikasikan dari 698 pasien DM tipe 1 dengan mikroalbuminuria, yang
melakukan pengobatan ACE inhibitor minimal 1 tahun menunjukkan
pengurangan risiko progresivitas menuju makroalbuminuria sebanyak 62 %
dibandingkan tanpa penggunaan ACE inhibitor. Hatch dkk menemukan bahwa
hipertensi arterial (>140/90 mmHg) terdapat pada 31 dari 41 pasien diabetes
dengan persistensi proteinuria serta mengalami glomerulosklerosis diabetik.
Beberapa penelitian klinik menunjukkan hubungan erat tekanan darah
dengan kejadian serta mortalitas kardiovaskuler, progresifitas nefropati,

11
retinopati (kebutaan). Kontrol tekanan darah dengan obat anti hipertensi
baik sistol dan diastole dan kontrol gula darah penderita pasien hipertensi
dengan diabetes telah terbukti dari beberapa penelitian. Bahwa terbukti
menaikkan life expentacy risiko dan komplikasi kardiovaskular pada pasien
diabetes meningkat bila disertai hipertensi. Hipertensi atau tekanan darah yang
tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM dipercaya paling banyak
menyebabkan secara langsung terjadinya nefropati diabetika. Hipertensi yang
tidak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase nefropati
diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).

II. Definisi
Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis
pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam
atau > 200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 –
6 bulan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama
gagal ginjal terminal. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu
penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi DM.

III. Etiologi
Nefropati Diabetik adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang
merupakan penyebab utama gagal ginjal. Hipertensi atau tekanan darah yang
tinggi merupakan komplikasi dari penyakit DM dipercaya paling banyak
menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang
tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase
Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).

IV. Faktor resiko


Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati
Diabetika. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor
resiko antara lain:
1. Hipertensi dan presdiposisi genetik.

22
Beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika tipe antigen
HLA dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita diabetes
dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9.
2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika
a. Antigen HLA (human leukosit antigen).
b. Glukosa Transporter (GLUT)
Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5
mempunyai potensi untuk mendapat Nefropati Diabetik.
3. Hiperglikemia
4. Konsumsi protein hewani.

V. Epidemiologi
Hubungan antara gagal ginjal stadium terminal (ESRD) dengan terapi
dialisis menunjukkan jumlah yang besar. Laporan tahun 1997 oleh sistem data
ginjal Amerika Serikat (USRDS) menunjukkan dari 257.266 pasien
yang menerima terapi dialisis atau transplantasi ginjal pada tahun 1995 di
Amerika Serikat sebanyak 80.667 pasien adalah penderita diabetes. Nefropati
diabetik digambarkan sebagai penyebab umum ke-2 terjadinya gagal ginjal di
republik Slovak. Pada tahun 2002, dari 1993 pasien yang didaftarkan program
dialisis di repubik Slovak sebesar 20,3% adalah penderita diabetes. Diabetes
mellitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama stadium
akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang diawali
dengan nefropati diabetik. Progresivitas nefropati diabetik mengarah stadium
akhir penyakit ginjal dipercepat dengan adanya hipertensi.
Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak hanya menunjukkan perbedaan
pada fungsi proses reproduksi tetapi juga dalam proses endokrin dan respon
terhadap berbagai masalah internal dalam proses homeostatik. Perbandingan
angka proteinuria adalah 13,2 % pada laki-laki dan 6,8 % pada perempuan.
Insidensi nefropati diabetik terutama banyak terjadi pada ras kulit hitam dengan
frekuensi 3-6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih.
Penelitian yang dilakukan oleh Reckelhoff, Zhang, dan Granger
menunjukkan keterkaitan antara kerusakan ginjal dengan jenis kelamin, tikus
jantan mengalami kerusakan lebih cepat dari pada tikus betina dilihat dari
pengamatan spontaneous hypertension rats (SHR). Estrogen mengurangi

33
proliferasi sel mesangial, sintesis kolagen dan aktivitas renin angiotensin system
(RAS). Oleh karena itu estrogen melindungi ginjal dari kerusakan. Kejadian
sebaliknya terjadi pada testosteron yang akan meningkatkan proliferasi sel
mesangial dan aktifitas RAS. Dalam suatu studi observasional pada diabetic
center di Inggris yang dilakukan antara tahun 2002-2006 dari 736 pasien DM
tipe 2, prevalensi jenis kelamin menunjukkan perbandingan 338 laki- laki/398
perempuan. Angka kejadian nefropati diabetik 22,3 % dari keseluruhan pasien
DM tipe 2 tersebut, secara lebih spesifik terdiri 20,6 % didiagnosis dengan
mikroalbuminuria dan 11,7 % dengan deteksi makroalbuminuria

VI. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat
diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan
hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada
jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses
hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan
pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya penebalan membran basal
glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan
glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo
interstitial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan
tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada
penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama
ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati.
Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur :
a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali
dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non
enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGE’s
(advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s akan
menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga
akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur
poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan
akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose

44
reduktase. Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur
polyol, yang merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase
yang mengkatalisa NADPH-dependent reduction dari senyawa
karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid
yang dihasilkan oleh Reactive Oxygen Species (ROS) menjadi
inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan
menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas
aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH)
yang merupakan tambahan stress oksidatif. Sorbitol
dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi
fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor. Mekanisme
melalui produksi intracelular prekursor Advanced Glycation End-
Product (AGE) yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah.
Perubahan ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor
dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada fungsi selular.
Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler
mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang
lain dan dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh
prekursor AGE membentuk rantai yang akan berikatan dengan
reseptor AGE, kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi gen
pada sel endotel, sel mesangial, dan makrofag. AGEs diperkirakan
menjadi perantara bagi beberapa kegiatan selular seperti ekspresi
molekul adhesi yang berperan dalam penarikan sel-sel
mononuclear, juga terjadinya hipertropi sel, sintesis matriks
ekstraseluler serta inhibisisintesis nitric oxide. Akibat kelainan
rennin-angiotensin system, Angiotensin II (AT II) meningkat pada
nefropati diabetikum, sehingga menyebabkan konstriksi arteriol
eferen di glomerulus, menyebabkan peningkatan tekanan kapiler
glomerulus dan hipertensi.

55
Gambar 1. Patofisiologi

Keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG


(selanjutnya mengaktivasi protein kinase-C utamanya pada
isoform-β. Aktivasi PKC menyebabkan beberapa akibat pathogenik
melalui pengaruhnya terhadap endothelial nitric oxide synthetase
(eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular endothelial growth factor
(VEGF), transforming growth factor (TGF-β) dan plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) dan aktivasi NF-kB dan NAD(P)H
oksidase.

b. Alur Hemodinamik: Gangguan hemodinamik sistemik dan renal


pada penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang
menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor
hemodinamik diawali degan peningkatan hormon vasoaktif seperti
angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan
nefropati diabetik. Angiotensin II berperan baik secara
hemodinamik maupun non-hemodinamik sehingga merangsang
vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol
glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi
protein matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang

66
bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan
meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor Von Willebrand dan
trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel
kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada
penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada
T2DM, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari
pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik
kidney disease masih kontroversial, terutama pada penderita
T2DM dimana pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada
awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis
mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan
terjadinya nefropati tetapi mempercepat progesivitas ke arah
GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney
diseases.
Perubahan-perubahan dini hemodinamik ini memfasilitasi kebocoran
albumin dari kapiler glomerulus dan kelebihan produksi matriks sel
mesangial, sebagaimana penebalan selaput dasar glomerulus dan injury pada
podocytes. Sebagai tambahan, peningkatan ketegangan mekanikal yang
dihasilkan dari perubahan-perubahan hemodinamik ini dapat menginduksi
pelepasan lokal sitokin tertentu dan growth factor. Kedua faktor tersebut
menyebabkan terjadi peningkatan TGF beta yang akan menyebabkan
proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler.

77
Gambar 2. Patofisologi Nefropati Diabetik

Teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti :


1. Hiperglikemia
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada
penderita DM tipe 1 dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati
diabetik. Perbaikan kontrol glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat
mencegah kejadian mikroalbuminuria. Keadaan mikroalbuminuria akan
memperberat kejadian nefropati diabetik. Dengan bukti-bukti ini
menunjukan bahwa hubungan antara hiperglikemia dengan nefropati tidak
ada yang meragukan, ini tampak pada kenyataan bahwa nefropati dan

88
komplikasi mikroangiopati dapat kembali normal bila kadar glukosa darah
terkontrol.
2. Glikolisasi Non Enzimatik
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik
asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang
akan menghasilkan produk Advanced Glycosylation Products (AGEs).
Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka
panjang akan merusak membrane basalis dan mesangium yang akhirnya
akan merusak seluruh glomerulus.
3. Polyolpathyway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim
aldose reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan
peran utama dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa
darah meningkat maka sorbitol akan meningkat dalam sel ginjal dan akan
mengakibatkan kurangnya kadar mioinositol, yang akan mengganggu
osmoregulasi sel sehingga sel itu rusak.
4. Glukotoksisitas
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik studi tentang sel ginjal dan glomerulus
yang disolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan
menambah penimbunan matriks ekstraselular. Menurut Lorensi, sehingga
dapat terjadi nefropati diabetik.
5. Hipertensi
Hipertensi mempunyai peranan paling dalam patogenesis nefropati
diabetik disamping hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa
penderita diabetes dengan hipertensi lebih banyak mengalami nefropati
dibandingkan penderita diabetes tanpa hipertensi. Hemodinamik dan
hipertropi mendukung adanya hipertensi sebagai penyebab terjadinya
hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dari neuron yang sehat
lambat lain akan menyebabkan sclerosis dari nefron tersebut. Jika
dilakukan penurunan tekanan darah, maka penyakit ini akan reversibel.

99
6. Proteinuria
Proteinuria merupakan predictor independent dan kuat dari penurunan
fungsi ginjal baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif
lainnya. Adanya hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan
terjadinya filtrasi protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi.
Proteinuria yang berlangsung lama dan berlebihan akan menyebabkan
kerusakan tubulo-intertisiel dan progresifitas penyakit. Bila reabsorbsi
tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi akumulasi protein
dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi
seperti endotelin I, osteoponin, dan monocyte chemotractant protein-I
(MCP-1). Factor factor ini akan merubah ekspresi dari pro-inflamatory dan
fibritic cytokines dan infiltrasi sel mononuclear, menyebabkan kerusakan
dari tubulointertisiel dan akhirnya terjadi renal scarring dan insufisiensi.

VII. Diagnosis
Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria
pada penderita DM baik tipe I maupun tipe II. Bila jumlah protein atau
albumin di dalam urin masih sangat rendah, sehingga sulit untuk dideteksi
dengan metode pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah >30
mg/24 jam ataupun >20mg/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria.
Hal ini sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau
proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap kreatinin
dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albumin atau kreatinin
ratio (ACR)
Tabel 1. Tingkat kerusakan ginjal
Kategori Urin 24 jam Urin dalam Urine sewaktu
(mg/24 jam) waktu tertentu* (µg/mg kreat)

Normal < 30 (µg/menit)


< 20 < 30
Mikroalbuminuria 30 – 299 20 – 199 30 - 299
Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300

Sumber: PERKENI, 2006

10
10
a. Tahap I
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal
yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata
dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversible
dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I
ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat,
biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal
kembali.
b. Tahap II
Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubaan
struktur ginjal berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat.
Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan
stress atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat
berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap
berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya
kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (silent
stage).
c. Tahap III
Ini adalah tahap awal nefropati (insipient diabetic nephropathy),
saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15
tahun diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga telah
jelas penebalan. membran basalis glomerulus. LFG masih tetap
tinggi dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai
meningkat. Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan
progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan
tekanan darah yang kuat.
d. Tahap IV
Ini merupakan tahapan saat dimana nefropati diabetik
bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan
pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat dan LFG yang

11
11
sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15 – 20 tahun
DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai
seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan
vascular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat
diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah dan
tekanan darah.
e. Tahap V
Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah
sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik,
dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis
maupun cangkok ginjal

Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan


visibilitas, diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat
kriteria diagnosis klasifikasi Nefropati Diabetika tahun 1983 yang praktis
dan sederhana.
Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan
seperti di bawah ini:
1. DM
2. Retinopati Diabetika
3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu
tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x
pemeriksaan plus kadar kreatinin serum >2,5mg/dl.

12
12
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada :
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun
keluhan tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas
berupa poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan berat badan. Keluhan
tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada
kulit, ginekomastia, impotens.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang
merupakan tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan
Funduskopi, berupa :
1). Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya
aliran darah dalam kapiler retina.
2). Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama
daerah kapiler vena.
3). Eksudat berupa :
a). Hard exudate, berwarna kuning, karena eksudasi
plasma yang lama.
b). Cotton wool patches, berwarna putih, tak berbatas tegas,
dihubungkan dengan iskhemia retina.

13
13
4). Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri
karena obstruksi kapiler.
5). Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat
gangguan permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya
kapiler
6). Neovaskularisasi

3. Pemeriksaan Laboratorium
Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan
interval 2 minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain
atau proteinuria satu kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum
> 2,5 mg/dl.

VIII. Penatalaksanaan
A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)
1. Pengendalian hiperglikemia.
Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk
mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan
mikroangiopati. Pengendalian secara intensif adalah pencapaian
kadar HbA1c 7 % kadar gula darah preprandial 90-130 mg/dl,
post prandial < 180 mg/dl.
a. Diet
Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari
penting untuk mencegah retensi Na+ (edema dan hipertensi)
dan meningkatkan efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten.
Pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8
gram/kgBB/hari, atau sekitar 10 % kebutuhan kalori pada pasien
dengan nefropati overt tetapi bila LFG telah mulai menurun maka
pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gram/kgBB/hari
mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG
selanjutnya.
b. Insulin
Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .

14
14
a). Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah
penimbunan toksin seluler (polyol) dan metabolitnya
(myoinocitol).
b). Insulin dapat mencegah kerusakan glomerulus
c). Mencegah dan mengurangi glikolisis protein
glomerulus yang dapat menyebabkan penebalan
membran basal dan hilangnya kemampuan untuk seleksi
protein dan kerusakan glomerulus (permselectivity).
d). Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah
reabsorpsi glukosa sebagai pencetus nefomegali.
Kenaikan konsentrasi urinari N-acetyl-Dglucosaminidase
(NAG) sebagai petanda hipertensi esensial dan
nefropati.
e). Mengurangi dan menghambat stimulasi growth
hormone (GH) atau insulin-like growth factors (IGF-I)
sebagai pencetus nefromegali.
f). Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)

2. Obat antidiabetik oral (OAD)


Alternatif pemberian OAD terutama untuk pasien-pasien dengan
tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan
(complience).
3. Pengendalian hipertensi.
Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan
berhubungan dengan banyak faktor antara lain :
(a) efikasi obat antihipertensi sering mengalami perubahan,
(b) kenaikan risiko efek samping,
(c) hiperglikemia sulit dikendalikan,
(d) kenaikan lipid serum.
Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka
morbiditas dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan
mencegah nefropati diabetik. Banyak panduan yang menetapkan
target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian tekanan

15
15
darah pada pasien diabetes. Pada umumnya target adalah tekanan
darah <130/90 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat,
> lgr/24 jam maka target perlu lebih rendah, yaitu < 125/75
mm Hg. Pemilihan obat antihipertensi diantaranya yaitu :
a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (ACE).
Hasil studi invitro pada manusia penghambat ACE dapat
mempengaruhi efek Ang-II. ACE inhibitor dan ARB terbukti
dapat menangani tekanan darah. Pada pemberian ACE Inhibitor
selama 12 bulan secara signifikan menurunkan tekanan darah
dan juga mneurunkan kadar eksresi albumin urin pada pasien
dengan mikroalbuminuria(15). Pada sebuah studi meta analisis
menunjukkan bahawa kombinasi ACE inhibitor dengan ARB
terbukti menurunkan kadar albumin urin 24 jam dibandingkan
ACE inhibitor saja(16).
b. Peningkatan kalsium
Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau
non dihydropiridine.
4. Lipid darah
kendalikan diet, turunkan berat badan, latihan fisik, berhenti
merokok, merupakan tindakan preventif terhadap penyakit
kardiovaskular.
 Terapi Pengganti Ginjal

Pada pasien nefropati diabetik yang sudah mencapai tahap gagal ginjal atau
End Stage Renal Disease/ESRDperlu dilakukan terapi pengganti ginjal. Terdapat 2
jenis terapi pengganti ginjal yaitu dialisis dan transplantasi ginjal .

a. Dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialis peritoneal dan hemofiltrasi


Cuci darah dilakukan apabila fungsi ginjal untuk membuang zat-zat
metabolik yang beracun dan kelebihan cairan dari tubuh sudah sangat
menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak mampu lagi menjaga
kelangsungan hidup penderita gagal ginjal, maka harus dilakukan dialisis

16
16
(cuci darah) sebagai terapi pengganti fungsi ginjal. Ada dua jenis dialisis
yaitu:
1) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)
Cara yang umum dilakukan di Indonesia adalah denganmenggunakan
mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Darah
dipompa keluar dari tubuh, masuk ke dalam mesin dialiser untuk
dibersihkan melalui proses difusi dan ultrafiltrasi dengan dialisat
(cairan khusus untuk dialisis), kemudian dialirkan kembali ke dalam
tubuh. Agar prosedur hemodialisis dapat berlangsung, perludibuatkan
akses untuk keluar masuknya darah dari tubuh. Akses tersebut dapat
bersifat sementara (temporer) Akses temporer berupa kateter yang
dipasang pada pembuluh darah balik (vena) di daerah leher. Sedangkan
akses permanen biasanya dibuat dengan akses fistula, yaitu
menghubungkan salah satu pembuluh darah balik dengan pembuluh
darah nadi (arteri) pada lengan bawah, yang dikenal dengan nama
cimino. Untuk memastikan aliran darah pada cimino tetap lancar,
secara berkala perlu adanya getaran yang ditimbulkan oleh aliran darah
pada cimino tersebut.

2) Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut).


Metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga perut
(peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh
untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. Dapat
dilakukan pada di rumah pada malam hari sewaktu tidur dengan
bantuan mesin khusus yang sudah diprogram terlebih dahulu.
Sedangkan continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) tidak
membutuhkan mesin khusus tersebut, sehingga dapat dikatakan
sebagai cara dialisis mandiri yang dapat dilakukan sendiri di rumah.

b. Transplantasi ginjal yang dapat berasal dari donor hidup atau donor
jenazah (cadaver).

17
17
Cangkok atau transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal
mengatasi gagal ginjal terminal. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari
dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal
(donor kadaver). Akan lebih baik bila donor tersebut dari anggota keluarga
yang hubungannya dekat, karena lebih besarkemungkinan cocok, sehingga
diterima oleh tubuh pasien. Selain kemungkinan penolakan, pasien
penerima donor ginjal harus minumobat seumur hidup. Juga pasien operasi
ginjal lebih rentan terhadap penyakit dan infeksi, kemungkinan mengalami
efek samping obat dan resiko lain yang berhubungan dengan operasi.
Terapi hemodialisis adalah pengobatan dengan menggunakan hemodialisis
yang berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti
memisahkan darah dari bagian yang lain. Jadi hemodialisis yaitu
memisahkan sampah nitrogen dan sampah yang lain dari dalam darah
melalui membran semipermiabel. Hemodialisis tidak mampu
menggantikan seluruh fungsi ginjal, namun dengan hemodialisis kronis
pada penderita gagal ginjal kronis dapat bertahan hidup bertahun-tahun

IX. Prognosis
Secara keseluruhan prevalensi dari mikroalbuminuria dan
makroalbuminuria pada kedua tipe diabetes melitus diperkirakan 30-35%.
Nefropati diabetik jarang berkembang sebelum sekurang-kurangnya 10 tahun
pada pasien IDDM, dimana diperkirakan 3% dari pasien dengan NIDDM
yang baru didiagnosa menderita nefropati. Puncak rata-rata insidens (3%/th)
biasanya ditemukan pada orang yang menderita diabetes selama 10-20 tahun.
Mikroalbuminuria sendiri memperkirakan morbiditas kardiovaskular,
dan mikroalbuminuria dan makroalbuminuria meningkatkan mortalitas dari
bermacam-macam penyebab dalam diabetes melitus. Mikroalbuminuria juga
memperkirakan coronary and peripheral vascular disease dan kematian dari
penyakit kardiovaskular pada populasi umum nondiabetik. Pasien dengan
proteinuria yang tidak berkembang memiliki tingkat mortalitas yang relatif
rendah dan stabil, dimana pasien dengan proteinuria memiliki 40 kali lipat
lebih tinggi tingkat relatif mortalitasnya. Pasien dengan IDDM dan

18
18
proteinuria memiliki karakteristik hubungan antara lamanya diabetes /umur
dan mortalitas relatif, dengan mortalitas relatif maksimal pada interval umur
34-38 tahun (dilaporkan pada 110 wanita dan 80 pria).
ESRD adalah penyebab utama kematian, 59-66% kematian pada
pasien dengan IDDM dan nefropati. Tingkat insidens kumulatif dari ESRD
pada pasien dengan proteinuria dan IDDM adalah 50%, 10 tahun setelah
onset proteinuria, dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun setelah onset
proteinuria pada pasien Eropa dengan NIDDM. Penyakit kardiovaskular juga
penyebab utama kematian (15-25%) pada pasien dengan nefropati dan
IDDM, meskipun terjadi pada usia yang relatif muda.

19
19
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association (ADA). 2003. Diabetik Nephropathy.


www.diabetes.diabetesjournals.com/cgi/content .

2. Arsono, Soni. 2005. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian


Gagal Ginjal Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono
Soekarjo Purwokert. Jurnal Epidemiologi.

3. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. 2004. Diabetik nephropathy


areview of the natural history, burden, risk factors and treatment.
Dalam:Journal National Medical Association: 1445–54.

4. Batuma, Vehici. 2011. Diabetik Nephropaty. eMedicine Medscape.

5. Di Landro, D., Catalano, C., Lambertini, D., Bordin, V., Fabbian, F.,
Naso, A.,dan Romagnoli, G. 1998. The effect of metabolik control on
development and progression of diabetik nephropathy. Dalam :
Nephrology Dial Transplant, 13(Suppl 8),35-43.

6. Dronavalli, S., Duka I., Bakris G.L. 2008. The pathogenesis of


diabetik nephropathy. Nature clinical practice endocrinology and
metabolism. August 2008 VOL 4 NO 8.

7. Eppens, M. C., Craig, M. E., Cusumano, J., Hing, S., Chan., A. K. F.,
Howard, N. J., Silink, M., dan Donaghue, K. C. 2006. Prevalence of
Diabetes Complications in Adolescents With Type 2 Compared With Type
1 Diabetes. Diabetes Care, 29, 1300-6.

8. Evans, T.C., Capell P. 2000. Diabetik Nephropathy. Clinical Diabetes.


VOL. 18 NO.1 Winter 2000.

9. Foster, D.W. 1994. Diabetes Mellitus in Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu


Penyakit Dalam. Edisi 13, EGC. Jakarta. Hal 2212-2213.

10. Gustaviani, R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV : Diagnosis
dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
11. Hendromartono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi
IV : Nefropati Diabetik . Jakarta, Balai Penerbit FKUI.

12. Kronenberg, H. M., Sholmo Melmed, Kenneth S, Polonsky P, Reed


Larsen. 2008. Williams Textbook of Endocrinology, 11th ed. Philadelphia,
Saunders Elsevier's Health Sciences.

20
20
13. Ligaray, K. 2007. Diabetes Mellitus, Type 2. www.emedicine.com/med.

14. Makita, Z., Radoff, S., Rayfield, E., Yang, Z., Skolnik, E., Delaney, V.,
Friedman, E., Cerami, A., dan Vlassara, H. 1991. Advanced glycosylation
end products in patients with diabetik nephropathy. Dalam : New Englan
Journal Medicine, 325, 836-42.

15. Marcantoni, C., Ortalda, V., Lupo, A., dan Maschio, G. 1998. Progression
of renal failure in diabetik nephropathy. Dalam : Nephrology Dial
Transplant, 13(Suppl 8), 16-19.

16. Mehler, P., Jeffers, B., Biggerstaff, S., dan Schrier, R. (1998). Smoking as
a risk factor for nephropathy in non-insulin-dependent diabetiks. Dalam :
Journal Gen Internal Medicine, 13, 842-45.

17. Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen,
C. E., Parving, H-H., Steffes, M. W. 2004. Nephropathy in Diabetes.
Dalam : Diabetes Care January, 27 (Supplemen I), 79-83.

18. Permanasari, A., Dwiana A., Saleh A., Dharma M. 2010. Nefropati
Diabetes. http://www.scribd.com/doc/47089834/Nefropati-Diabetikum.

19. Rani, A. Soegaondo, S. Nasir, A. 2005. Standar Pelayanan Medik PAPDI


Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

20. Roesli, R. Susalit, E. Djafaar, J. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Ed. III : Nefropati Diabetik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

21. Soegondo, S. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta, PB. Perkeni.

22. Soman, S.S. 2009. Diabetik Nephropathy. eMedicine Specialities


http://www.nature.com/nature/journal/v414/n6865/fig_tab/414813a_F1.ht
ml

23. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcelinus


Simadibrata K, Siti Setiati. 2006. Komplikasi Kronik Diabetes :
Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FK UI : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam hal 1184-88.

21
21
24. Suyono, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV : Diabetes
Melitus Di Indonesia. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. p: 1875.

25. The DCCT Research Group. 1993. The effect of intensive treatment of
diabetes on the development and progression of long-term complications
in insulin- dependent diabetes mellitus. Dalam : New England Journal
Medicine, 329, 977-86.

26. Tjokroprawiro, A. 1999. Diabetes Update 1999. Presented at: Surabaya


Diabetes Update – VI. Surabaya, 13-14 November 1999.

27. Velasquez, M., Bhathena, S., Striffler, J., Thibault, N., dan Scalbert, E.
1998. Role of angiotensin-converting enzyme inhibition in glucose
metabolism and renal injury in diabetes. Dalam : Metabolism, 47 (12
Suppl 1), 7-11.

28. Waspadji, S. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. III : Gambaran
Klinis Diabetes Melitus Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

29. International Diabetes Federation . IDF Diabetes Atlas. 6th ed. Brussels,
Belgium: International Diabetes Federation; 2013. [Accessed September
2, 2014]. Available from:
http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf.

30. 2. Centers for Disease Control and Prevention . National diabetes fact
sheet: national estimates and general information on diabetes and
prediabetes in the United States. Atlanta, GA: US Department of Health
and Human Services; 2011. [Accessed September 2, 2014]. Available
from: http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/ndfs_2011.pdf.

31. 3. Tapp RJ, Shaw JE, Zimmet PZ, et al. Albuminuria is evident in the
early stages of diabetes onset: results from the Australian Diabetes,
Obesity, and Lifestyle Study (AusDiab) Am J Kidney Dis.
2004;44(5):792–798. [PubMed]

32. 4. Scott LJ, Warram JH, Hanna LS, Laffel LM, Ryan L, Krolewski AS. A
nonlinear effect of hyperglycemia and current cigarette smoking are major
determinants of the onset of microalbuminuria in type 1 diabetes.
Diabetes. 2001;50(12):2842–2849. [PubMed]

33. 5. Rossing P, Hougaard P, Parving HH. Risk factors for development of


incipient and overt diabetic nephropathy in type 1 diabetic patients: a 10-
year prospective observational study. Diabetes Care. 2002;25(5):859–864.
[PubMed]

22
22
34. 6. Satko SG, Langefeld CD, Daeihagh P, Bowden DW, Rich SS,
Freedman BI. Nephropathy in siblings of African Americans with overt
type 2 diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis. 2002;40(3):489–494.
[PubMed]

35. 7. Pettitt DJ, Saad MF, Bennett PH, Nelson RG, Knowler WC. Familial
predisposition to renal disease in two generations of Pima Indians with
type 2 (non-insulin-dependent) diabetes mellitus. Diabetologia.
1990;33(7):438–443. [PubMed]

36. 8. Seaquist ER, Goetz FC, Rich S, Barbosa J. Familial clustering of


diabetic kidney disease. Evidence for genetic susceptibility to diabetic
nephropathy. N Engl J Med. 1989;320(18):1161–1165. [PubMed]

37. 9. Young BA, Maynard C, Boyko EJ. Racial differences in diabetic


nephropathy, cardiovascular disease, and mortality in a national
population of veterans. Diabetes Care. 2003;26(8):2392–2399. [PubMed]

38. 10. Smith SR, Svetkey LP, Dennis VW. Racial differences in the
incidence and progression of renal diseases. Kidney Int. 1991;40(5):815–
822. [PubMed]

39. 11. Gall MA, Hougaard P, Borch-Johnsen K, Parving HH. Risk factors for
development of incipient and overt diabetic nephropathy in patients with
non-insulin dependent diabetes mellitus: prospective, observational study.
BMJ. 1997;314(7083):783–788. [PMC free article] [PubMed]

40. 12. Mooyaart AL, Valk EJ, van Es LA, et al. Genetic associations in
diabetic nephropathy: a meta-analysis. Diabetologia. 2011;54(3):544–553.
[PMC free article] [PubMed]

41. 13. Dellamea BS, Pinto LC, Leitao CB, Santos KG, Canani LH.
Endothelial nitric oxide synthase gene polymorphisms and risk of diabetic
nephropathy: a systematic review and meta-analysis. BMC Med Genet.
2014;15:9. [PMC free article] [PubMed]

42. 14. Lin Z, Huang G, Zhang J, Lin X. Adiponectin gene polymorphisms


and susceptibility to diabetic nephropathy: a meta-analysis. Ren Fail.
2014;36(3):478–487. [PubMed]

43. 15. Zhou TB, Guo XF, Yin SS. Association of peroxisome proliferator-
activated receptor γ Pro12Ala gene polymorphism with type 2 diabetic
nephropathy risk in Caucasian population. J Recept Signal Transduct Res.
2014;34(3):180–184. [PubMed]

23
23
44. 16. Mooyaart AL. Genetic associations in diabetic nephropathy. Clin Exp
Nephrol. 2014;18(2):197–200. [PubMed]
45. 17. Molitch ME, DeFronzo RA, Franz MJ, et al. American Diabetes
Association Nephropathy in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(Suppl
1):S79–S83. [PubMed]
46. 18. Drummond K, Mauer M. The early natural history of nephropathy in
type 1 diabetes: II. Early renal structural changes in type 1 diabetes.
Diabetes. 2002;51(5):1580–1587. [PubMed]
47. 19. Bruno G, Merletti F, Biggeri A, et al. Progression to overt
nephropathy in type 2 diabetes: the Casale Monferrato Study. Diabetes
Care. 2003;26(7):2150–2155. [PubMed]
48. 20. Johnson DW, Jones GR, Mathew TH, et al. Chronic kidney disease
and measurement of albuminuria or proteinuria: a position statement. Med
J Aust. 2012;197(4):224–225. [PubMed]
49. 21. American Diabetes Association Standards of Medical Care in
Diabetes – 2014. Diabetes Care. 2014;37(Suppl 1):S14–S80. [PubMed]
50. 22. Mazzucco G, Bertani T, Fortunato M, et al. Different patterns of renal
damage in type 2 diabetes mellitus: a multicentric study on 393 biopsies.
Am J Kidney Dis. 2002;39(4):713–720. [PubMed]
51. 23. Mak SK, Gwi E, Chan KW, et al. Clinical predictors of non-diabetic
renal disease in patients with non-insulin dependent diabetes mellitus.
Nephrol Dial Transplant. 1997;12(12):2588–2591. [PubMed]
52. 24. Sharma SG, Bomback AS, Radhakrishnan J, et al. The modern
spectrum of renal biopsy findings in patients with diabetes. Clin J Am Soc
Nephrol. 2013;8(10):1718–1724. [PMC free article] [PubMed]
53. 25. Perkins BA, Ficociello LH, Roshan B, Warram JH, Krolewski AS. In
patients with type 1 diabetes and new-onset microalbuminuria the
development of advanced chronic kidney disease may not require
progression to proteinuria. Kidney Int. 2010;77(1):57–64. [PMC free
article] [PubMed]
54. 26. Caramori ML, Fioretto P, Mauer M. Low glomerular filtration rate in
normoalbuminuric type 1 diabetic patients: an indicator of more advanced
glomerular lesions. Diabetes. 2003;52(4):1036–1040. [PubMed]
55. 27. Perkins BA, Ficociello LH, Ostrander BE, et al. Microalbuminuria
and the risk for early progressive renal function decline in type 1 diabetes.
J Am Soc Nephrol. 2007;18(4):1353–1361. [PubMed]
56. 28. Argyropoulos C, Wang K, McClarty S, et al. Urinary microRNA
profiling in the nephropathy of type 1 diabetes. PLoS One.
2013;8(1):e54662. [PMC free article] [PubMed]
57. 29. DiStefano JK, Taila M, Alvarez ML. Emerging roles for miRNAs in
the development, diagnosis, and treatment of diabetic nephropathy. Curr
Diab Rep. 2013;13(4):582–591. [PubMed]

24
24
58. 30. Gohda T, Niewczas MA, Ficociello LH, et al. Circulating TNF
receptors 1 and 2 predict stage 3 CKD in type 1 diabetes. J Am Soc
Nephrol. 2012;23(3):516–524. [PMC free article] [PubMed]
59. 31. Niewczas MA, Gohda T, Skupien J, et al. Circulating TNF receptors 1
and 2 predict ESRD in type 2 diabetes. J Am Soc Nephrol.
2012;23(3):507–515. [PMC free article] [PubMed]
60. 32. Weil EJ, Lemley KV, Mason CC, et al. Podocyte detachment and
reduced glomerular capillary endothelial fenestration promote kidney
disease in type 2 diabetic nephropathy. Kidney Int. 2012;82(9):1010–
1017. [PMC free article] [PubMed]

25
25

Anda mungkin juga menyukai