Anda di halaman 1dari 3

Nama : Deni Putra Wijaya Nim.

E41112010

Mata Kuliah : Administrasi Pembangunan

Dampak Negatif Kegiatan Pertambangan pada


Lingkungan
Kegiatan penambangan apabila dilakukan di kawasan hutan dapat merusak ekosistem hutan.
Apabila tidak dikelola dengan baik, penambangan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan
secara keseluruhan dalam bentuk pencemaran air, tanah dan udara.

Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan yang terjadi karena perubahan kondisi tata
lingkungan (tanah, udara dan air) yang tidak menguntungkan (merusak dan merugikan
kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan) yang disebabkan oleh kehadiran benda-benda
asing (seperti sampah, limbah industri, minyak, logam berbahaya, dsb.) sebagai akibat
perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan lingkungan tersebut tidak berfungsi seperti
semula (Susilo, 2003).

Kasus Teluk Buyat (Sulawesi Utara) dan Minamata (Jepang) adalah contoh kasus keracunan
logam berat. Logam berat yang berasal dari limbah tailing perusahaan tambang serta limbah
penambang tradisional merupakan sebagian besar sumber limbah B3 (bahan berbahaya dan
beracun) yang mencemari lingkungan.

Sebagai contoh, pada kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil, pengolahan bijih
dilakukan dengan proses amalgamasi di mana merkuri (Hg) digunakan sebagai media untuk
mengikat emas. Mengingat sifat merkuri yang berbahaya, maka penyebaran logam ini perlu
diawasi agar penanggulangannya dapat dilakukan sedini mungkin secara terarah. Selain itu,
untuk menekan jumlah limbah merkuri, maka perlu dilakukan perbaikan sistem pengolahan
yang dapat menekan jumlah limbah yang dihasilkan akibat pengolahan dan pemurnian emas.

Sedangkan pertambangan skala besar, tailing yang dihasilkan lebih banyak lagi. Pelaku
tambang selalu mengincar bahan tambang yang tersimpan jauh di dalam tanah, karena
jumlahnya lebih banyak dan memiliki kualitas lebih baik. Untuk mencapai wilayah
konsentrasi mineral di dalam tanah, perusahaan tambang melakukan penggalian dimulai
dengan mengupas tanah bagian atas (top soil). Top Soil kemudian disimpan di suatu tempat
agar bisa digunakan lagi untuk penghijauan setelah penambangan. Tahapan selanjutnya
adalah menggali batuan yang mengandung mineral tertentu, untuk selanjutnya dibawa ke
processing plant dan diolah. Pada saat pemrosesan inilah tailing dihasilkan. Sebagai limbah
sisa batuan dalam tanah, tailing pasti memiliki kandungan logam lain ketika dibuang.

Limbah tailing merupakan produk samping, reagen sisa, serta hasil pengolahan pertambangan
yang tidak diperlukan. Tailing hasil penambangan emas biasanya mengandung mineral inert
(tidak aktif). Mineral tersebut antara lain: kwarsa, kalsit dan berbagai jenis aluminosilikat.
Tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun
seperti Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Sianida (CN) dan lainnya.
Sebagian logam-logam yang berada dalam tailing adalah logam berat yang masuk dalam
kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Misalnya, Merkuri adalah unsur kimia sangat beracun (toxic). Unsur ini bila bercampur
dengan enzime di dalam tubuh manusia menyebabkan hilangnya kemampuan enzime untuk
bertindak sebagai katalisator untuk fungsi tubuh yang penting. Logam Hg ini dapat terserap
ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan kulit. Karena sifatnya beracun dan cukup
volatil, maka uap merkuri sangat berbahaya jika terhisap oleh manusia, meskipun dalam
jumlah yang sangat kecil. Merkuri bersifat racun yang kumulatif, dalam arti sejumlah kecil
merkuri yang terserap dalam tubuh dalam jangka waktu lama akan menimbulkan bahaya.
Bahaya penyakit yang ditimbulkan oleh senyawa merkuri di antaranya kerusakan rambut dan
gigi, hilang daya ingat dan terganggunya sistem syaraf.

Untuk mencapai hal tersebut di atas, maka diperlukan upaya pendekatan melalui penanganan
tailing atau limbah B3 yang berwawasan lingkungan dan sekaligus peningkatan efisiensi
penggunaan merkuri untuk meningkatkan perolehan (recovery) logam emas.

Alternatif Solusi

Pencegahan pencemaran adalah tindakan mencegah masuknya atau dimasukkannya makhluk


hidup, zat energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia
agar kualitasnya tidak turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Dalam bentuk, pertama, remediasi, yaitu
kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada dua jenis remediasi
tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-site). Pembersihan on-site adalah
pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri atas
pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian dibawa ke
daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar.
Caranya, tanah tersebut disimpan di bak/tangki yang kedap, kemudian zat pembersih
dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya, zat pencemar dipompakan keluar dari bak
yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan off-site ini jauh
lebih mahal dan rumit.

Kedua, bioremediasi, yaitu proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan


mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi
zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan
air). Ketiga, penggunaan alat (retort-amalgam) dalam pemijaran emas perlu dilakukan agar
dapat mengurangi pencemaran Hg.

Keempat, perlu adanya kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan atau kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam menyusun
kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan. Sebelum dilaksanakannya, kegiatan
penambangan sudah dapat diperkirakan dahulu dampaknya terhadap lingkungan. Kajian ini
harus dilaksanakan, diawasi dan dipantau dengan baik dan terus-menerus implementasinya,
bukan sekedar formalitas kebutuhan administrasi.

Kelima, penyuluhan kepada masyarakat tentang bahayanya Hg dan B3 lainnya perlu


dilakukan. Bagi tenaga kesehatan perlu ada pelatihan surveilans risiko kesehatan masyarakat
akibat pencemaran B3 di wilayah penambangan.
Kasus Teluk Buyat (Sulawesi Utara) dan Minamata (Jepang) adalah contoh kasus keracunan
logam berat. Logam berat yang berasal dari limbah tailing perusahaan tambang serta
limbahbukan sekedar formalitas kebutuhan administrasi. akibat pencemaran B3 di wilayah
penambangan.

Anda mungkin juga menyukai