Anda di halaman 1dari 8

A.

Pendahuluan
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat memutar roda
pemerintahan dan berperan dalam globalisasi kearah yang lebih baik. Anak
membutuhkan pembinaan dan pengembangan sejak usia dini dari orang tua maupun
lembaga pendidikan untuk dapat berkembang secara optimal. Tetapi tidak semua anak
bisa menjalani kehidupan normal seperti yang lainnya. Ada beberapa anak-anak yang
harus mengalami gangguan pendengaran atau yang lebih dikenal dengan Tunarungu.
Istilah tunarungu diambil dari kata “Tuna” dan “Rungu”. Tuna artinya kurang dan
Rungu artinya pendengaran. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli
(deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah mereka yang indra
pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran tidak
berfunngsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indra pendengarannya
mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan
maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar. (Somantri, 2006).
.Anak tunarungu mempunyai kecacatan yang tidak segera tampak dibanding
dengan anak berkelainan lainnya. Kecacatan baru diketahui jika anak tunarungu diajak
berkomunikasi. Secara sepintas yang nampak pada anak tunarungu justru penampilan
yang tidak berbeda dengan penampilan anak dengar pada umumnya. Akan tetapi, anak
tunarungu mengalami gangguan yang akan berdampak pada perkembangan sosio emosi,
kognitif, bahasa dan bicara. Sampai dewasa, kecacatan dan gangguan ini akan terus
berpengaruh untuk anak tunarungu yang akan membawanya pada pribadi yang berbeda.
Banyak anak tunarungu yang menarik diri dari lingkungan atau bahkan menjadi egois
untuk dirinya sendiri.
Dalam menangani ketunarunguan, peran orang tua dan lingkungan terdekat harus
lebih ditingkatkan, karena anak-anak tunarungu harus lebih ekstra dibimbing untuk
dilatih menjadi anak yang sama dengan yang lainnya. Seperti melatih artikulasi kata dan
bahasa yang dilakukan untuk membuat anak bisa berbicara lancar, walaupun mengalami
kesulitan dalam hal mendengar. Selain itu, melatih kepercayaan diri anak, karena
banyak anak-anak tunarungu yang mengalami ketidak percayaan diri dan menutup diri
dari lingkungan karena menganggap dirinya berbeda. Sama halnya juga dengan melatih
interaksi sosial, mengajarkan kepada anak bahwa lingkungan dan keluarga memiliki
nilai-nilai sosial yang harus ditanamkan sejak dini walaupun ditengah keterbatasan.
B. Perkembangan Sosial Emosi Anak Tuna Rungu
Keterbatasan dalam berkomunikasi sering menimbulkan kesulitan sosial dan
perilaku. Meadow menyatakan bahwa inventarisasi kepribadian dengan konsisten
menunjukkan bahwa anak-anak tunarungu mempunyai lebih banyak masalah
penyesuaian daripada anak-anak normal. Jika anak-anak tunarungu yang tanpa masalah-
masalah nyata atau serius diteliti, mereka menunjukkan kekhasan akan kekakuan,
egosentrik, tanpa control dalam diri, impulsif dan keras kepala. Hambatan belajar yang
dihadapi anak tunarungu sebagai dampak terhambatnya perkembangan emosi dan
penyesuaian sosial tidak akan terlepas dari keberfungsian kedua aspek sosial dan emosi
yang saling berhubungan. Fungsi emosi diartikan sebagai persepsi seseorang tentang
dirinya, dan fungsi sosial adalah sebagai persepsi tentang hubungan dirinya dengan
orang lain dalam situasi sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa pendengaran memegang
peran yang signifikan dalam perkembangan awal emosi sosial namun bukan esensial.
Sedangkan pada tahap perkembangan yang lebih lanjut bahasalah yang memegang
peran berarti dan esensial. (Somantri, 2006).
Keterbatasan yang terjadi dalam komunikasi pada anak tunarungu mengakibatkan
perasaan terasing dari lingkungannya. Anak tunarungu mampu melihat semua kejadian,
akan tetapi tidak mampu memahami dan mengikutinya secara menyeluruh sehingga
menimbulkan emosi yang tidak stabil, mudah curiga, dan kurang percaya diri. Dalam
pergaulan cenderung memisahkan diri terutama dengan anak normal, hal ini disebabkan
oleh keterbatasan kemampuan untuk melakukan komunikasi secara lisan. Anak-anak
tunarungu sering merasa bahwa dirinya berbeda dan sering kali tidak percaya diri, untuk
itulah keluarga dan lingkungan terdekat harus mendukung dan mendorong anak-anak
tunarungu untuk tetap beraktifitas seperti biasa bahkan untuk dapat berkarya seperti
anak-anak normal lainnya.
Perkembangan sosio emosi merupakan salah satu perkembangan yang memiliki
pengaruh yang besar terhadap interaksi sosial anak tunarungu selain perkembangan
bahasa. Umumnya, anak pada fase ini mampu untuk mendeskripsikan diri mereka
secara psikologis misalnya mendeskripsikan sifat-sifat yang dimiliki. Anak-anak juga
mampu untuk membedakan diri mereka dengan sesamanya. (Santrock, 2009). Disfungsi
pendengaran yang dimiliki anak tunarungu menjadi hambatan mereka untuk bisa
memahami adanya perbedaan perspektif dari orang lain. Anak tunarungu yang berada
pada masa tengah dan akhir anak-anak masih memiliki egosentris yang tinggi dibanding
dengan anak-anak normal lainnya.
Keterlambatan dalam perkembangan bahasa membuat anak tunarungu mengalami
kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh
ketidakjelasan pengucapan anak tunarungu sehingga mereka mengalami kesulitan untuk
memahami perasaan dan pikiran orang lain. Hal ini membuat anak-anak tunarungu
sering menafsirkan segala sesuatu secara negatif atau salah menafsirkan sehingga
mereka memiliki tekanan tersendiri terhadap emosinya. Keterbatasan pemahaman
terhadap orang lain juga membuat mereka lebih sering bertindak agresif dan lebih sering
merasa gelisah. (Somantri, 2006).
Berikut dilihat dari segi emosi dan sosial anak tunarungu :
a. Egosentrisme yang melebihi anak normal.
b. Memiliki perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas.
c. Ketergantungan terhadap orang lain.
d. Perhatian mereka lebih sukar dialihkan.
e. Umumnya anak tunarungu memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tidak banyak
masalah.
f. Lebih mudah marah dan cepat tersinggung.
Selain keenam permasalahan tersebut, ada beberapa sifat dan ciri sebagai
konsekuensi dan dampak terhambatnya perkembangan emosi dan sosial anak tunarungu
menurut Van Uden dan Meadow adalah (dalam Effendi, 2006):
1. Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Karena dunia
penghayatan mereka lebih sempit, maka anak tuli akan lebih terarah kepada diri
sendiri, sehingga mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan
orang lain, dan kurang menyadari atau peduli efek perilakunya terhadap orang lain.
Dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikirannya secara berlebihan, sukar
menyesuaikan diri. Bahasa merupakan suatu faktor yang penting dalam
perkembangan kontak dan interaksi sosial. Bahasa merupakan alat utama untuk
mengkristalisasikan dan menstruktur pengalaman. Jadi kemampuan bahasa yang
terbatas akan membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan
akan memperkuat sifat egosentris ini.
2. Memiliki sifat impulsif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang
jelas dan matang, serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin ditimbulkan oleh
perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi. Sukar
bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam
jangka panjang. Dalam membuat rencana jangka panjang diperlukan kemampuan
untuk memikirkan atau membayangkan berbagai kemungkinan di masa datang
berdasarkan masa kini. Justru dalam hal inilah mereka kekurangan karena kurang
mempunyai konsep tentang relasi/hubungan. Sifat kaku, menunjuk pada sikap kaku
atau kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas. Hal ini disebabkan
oleh sempitnya bidang penghayatan dan berpikir sebagai akibat ketulian dan
kemiskinan bahasa. Pikiran dan perasaan mereka terbatas pada hal-hal konkret saja.
Menurut Meadow hal ini dapat menyebabkan suatu ketidakmampuan untuk
mengubah suatu tuntutan sesuai perubahan situasi atau kejadian. Erat kaitannya
dengan sifat ini adalah kesulitan dalam mendapatkan pengertian tentang hubungan
sebab akibat baik dalam lingkungan fisik maupun sosial dan kesulitan dalam
memahami alasan atau sebab dari suatu kejadian.
3. Sifat lekas marah atau tersinggung, karena kemiskinan bahasanya, anak tunarungu
tidak dapat menjelaskan atau mengekspresikan keinginanya dengan baik dan
sebaliknya kurang dapat memahami apa yang dikatakan orang lain. Keadaan ini
dapat menyebabkan kekecewaan, ketegangan, dan frustrasi yang diekspresikan
secara aktif dan agresif tetapi kadang dapat diungkapkan dengan sikap malu-malu,
ragu-ragu dan menarik diri. Kedua sikap yang berlawanan ini banyak bergantung
dari reaksi orangtua atau pendidik terhadap kemampuan anak sehingga
terbentuknya konsep diri yang negatif pada anak, pada akhirnya dapat menghambat
proses kegiatan belajar di kelas. Meadow menjelaskan bahwa pembentukan konsep
diri terjadi sejalan dengan perkembangan social seorang anak. Berdasarkan reaksi
atau sikap orang lain dalam lingkungannya terhadap diri dan tindakannya akan
terbentuk pandangan terhadap diri sendiri.
Dalam kehidupannya anak tunarungu akan masuk ke dalam lingkungan orang
mendengar. Namun keadaan yang dialami anak tunarungu menyebabkan anak
memerlukan perhatian khusus. Untuk mencapai tujuan tersebut peran orang tua dalam
upaya meningkatkan rasa percaya diri anak tunarungu sangat dibutuhkan.
C. Perkembangan Bicara Anak Tunarungu
Menurut Tarigan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan. Tujuan utama dari berbicara adalah untuk
berkomunikasi, untuk itu sang pembicara harus memahami makna segala sesuatu yang
dikomunikasikannya dan menyampaikan gagasan pikiran secara efektif. (Rachnawati,
2018). Ketunarunguan yang dialami oleh seorang anak akan menyebabkan konsekuensi
yang kompleks bagi anak, terutama perkembangan anak menjadi sangat terhambat.
Akibat dari ketunarunguan ini anak akan mengalami gangguan-gangguan yang
kompleks bagi dirinya diumur yang masih belia. Gangguan-gangguan ini menghambat
perkembangan bahasa, kognitif, sosiemosi dan bahkan bicara. Anak tunarungu akan
merasa berbeda dengan yang anak lainnya, terlebih saat dia sudah mulai mengerti
lingkungan. Gangguan ini akan membuat anak menjadi enggan dan merasa malu untuk
berteman maupun berinteraksi dengan lingkungannya.
Kenyataan bahwa anak tunarungu mengalami gangguan dalam pendengarannya,
mengakibatkan perkembangan bahasa anak pada tahap laling terhenti. Pada tahap laling,
anak normal yang bisa mendengar telah mengalami kematangan auditori sehingga
mampu menyadari bunyi atau suara yang dihasilkan sendiri maupun orang lain dari
hasil pengulangan bunyi-bunyi yang telah didengarnya, namun pengalaman tersebut
tidak terjadi pada anak tunarungu. Oleh karena itu anak tunarungu tidak akan
memberikan imbal balik dengan membuat suara-suara sendiri, sehinggga anak
tunarungu tidak dapat berbicara jika tidak dilatih dengan kata lain bisu. Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan keterampilan tersebut dapat dikembangkan.
Hallahan dan Kaufman mengemukakan, ketidakmampuan bicara disebabkan oleh
tiga faktor yang saling berkaitan yaitu (dalam Rachmawati, 2018) :
1. Penerimaan bunyi melalui pendengaran tidak cukup sebagai umpan balik untuk
menyuarakan bunyi. Sebagai akibat gangguan pendengaran, maka bunyi yang
didengarnya tidak sempurna.
2. Penerimaan bicara dari orang yang sengaja mengajak bicara, tidak cukup untuk
menunjang pendengarannya.
3. Anak tunarungu tidak mampu mendengar contoh bahasa ataupun bicara dari
orang yang mengajak bicara. Oleh karena perbendaharaan kata kurang, anak
tunarungu sulit menginterpretasikan gerak bicara orang lain.
Bagi anak tunarungu untuk mengembangkan keterampilan berbicara merupakan
proses yang kompleks, sebab salah satu syarat penting yang diperlukan dalam
keterampilan berbicara adalah kemampuan mendengar. Gelfand mengungkapkan bahwa
berbicara merupakan permasalahan utama yang dialami oleh anak tuna rungu dalam
habilitasi dan pendidikan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Sunardi dan Sunaryo, yang
menyatakan bahwa diakibatkan kehilangan kemampuan mendengar pada anak
tunarungu, akan membatasi persepsi bicara anak serta kekurang mampuan untuk
memonitor produksi bahasa dan bicaranya (Sunardi & Sunaryo, 2007).
Gangguan bicara ini tidak terlepas juga dari adanya gangguan artikulasi anak
sejak dini. Gangguan artikulasi anak tunarungu disebabkan dua faktor yaitu faktor
organik dan faktor fungsional. Pertama, Faktor organik yaitu gangguan artikulasi yang
dipengaruhi oleh tingkat kehilangan pendengaran dan kelainan pada alat ucap seperti
bibir, lidah, otot-otot bicara, rahang, dan langit-langit yang menyebabkan kelainan
artikulasi. Kedua, Faktor fungsional yaitu gangguan artikulasi yang dipengaruhi oleh
metode pengajaran di sekolah ataupun contoh yang kurang baik dalam keluarga dalam
mengucapkan kata-kata yang kurang jelas artikulasinya. Oleh sebab itu, anak tunarungu
harus dilatih mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang jelas secara berulang-ulang
agar anak terampil mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang jelas. Adapun
Sebab-sebab gangguan artikulasi menurut Samuel A. Kirk dan James J. Gallagher
adalah (dalam Bunawan & Leni, 2000):
a. Adanya kesalahan interaksi lidah, bibir, gigi, langit-langit.
b. Gerakan-gerakan rahang, bibir, lidah salah.
c. Ada penyimpangan pada lidah, larynk, tekak (pharink), bibir, gigi, langit-langit
keras dan lunak serta mekanisme pernapasan.
Gangguan artikulasi ini merupakan kesalahan interaksi dan gerakan lidah, bibir,
gigi, langit-langit, laring, lidah pada saat bicara, suara yang dihasilkan tidak sesuai kata
yang sebenarnya. Misalnya anak ingin bicara rumah menjadi “lumah/ luma”, hidung
menjadi “idun/ hidun” dan lain-lain. Ada pula yang disebabkan adanya kelainan pada
lidah, laring, bibir, gigi, langit-langit keras dan lunak sehingga suara yang keluar tidak
seperti yang dinginkan. Hal tersebut dapat diatasi dengan latihan artikulasi yang
dilakukan secara berulang-ulang mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang jelas
sehingga anak terampil mengucapkan kata-kata dengan artikulasi yang jelas. Gangguan
artikulasi pada anak tunarungu disebabkan oleh banyak hal. Hal tersebut diantaranya
kelainan pada lidah, laring, bibir, gigi, langit-langit keras dan lunak sehingga anak
bicara tidak mengeluarkan kata-kata yang diinginkan. Selain itu juga ada yang
disebabkan intelegensi yang rendah, sehingga kemampuan anak dalam menyerap suatu
informasi atau bahasa sangat lambat. Meskipun demikian, dengan adanya latihan yang
dilakukan secara berulang-ulang diharapkan anak terampil mengucapkan kata-kata
dengan artikulasi yang jelas juga termasuk pada anak tunarungu, dengan latihan yang
lebih keras, anak akan diajari secara jelas bagaimana mengucapkan kata-kata dengan
artikulasi yang jelas.
MacDonald dan Gillete mencatat bahwa keterlambatan perkembangan bahasa dan
bicara anak tunarungu cenderung disebabkan ketidakmampuan orangtua dan orang-
orang lain yang signifikan dengan anak tunarungu untuk berfungsi sebagai partner
komunikasi yang baik. Itulah pengaruh orang tua terhadap anak, serta alasan mengapa
orang tua sangat perlu untuk membimbing anak mereka menghadapi keterbatasan yang
dimiliki, membimbing anak menemukan jalan yang sesuai untuk mencapai apa yang
seharusnya bisa dicapai oleh anak. Oleh sebab itu perlu adanya bimbingan dari orang
tua untuk membantu dan mengarahkan anak mereka dalam tujuan membantu
penguasaan keterampilan berbicara anak. Bantuan tersebut diwujudkan dalam bentuk
pemberian program bimbingan orang tua dengan materi komponen-komponen dalam
keterampilan berbicara meliputi fonologi, kosakata, struktur dan kecepatan kelancaran
umum. Selain itu, orang tua juga bisa meminta bantuan dengan yang lebih ahli untuk
membantu keterampilan dalam pembelajaran bicara pada anaknya (Sunardi & Sunaryo,
2007).
Daftar Pustaka
Bunawan, Leni. 2000. Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama
Effendi, M. 2006. Pengantar psikopedagogik anak berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.
Rachmawati Eni. 2018. Pengaruh Program Bimbingan Orang Tua Terhadap Keterampilan
Berbicara Anak Tunarungu Kelas Tinggi Pada Tingkat Sekolah Dasar Luar Biasa. Jurnal
Pemikiran Dan Pengembangan Sd. Volume 6, Nomor 1. 57-64.
Santrock J.W. 2009. Life Span Development. London: Brown & Benchmark.
Somantri, Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Refika Aditama.
Sunardi dan Sunaryo. 2007. Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Depdiknas.

Anda mungkin juga menyukai