BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA)
disertai elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non
STE) dan angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC
2005). Walaupun persentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan
patofisiologi (Libby,1995). Jika troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST
elevasi disebut IMA non STE dan jika troponin negatif disebut APTS seperti yang
ditunjukkan pada gambar 1. (Hamm dkk,2004; PERKI,2012)
2.1.2. Epidemiologi
Data dari GRACE 2001, menunjukkan pasien yang datang ke rumah sakit
dengan keluhan nyeri dada ternyata yang terbanyak adalah IMA-STE (34%), IMA
non STE (31%) dan APTS (29%) (Budaj dkk,2003) seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2.
2.1.3. Patofisiologi
Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan
bermigrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi
menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik.
Makrofag ini terus membentuk sel busa (Braunwald, 1989; Libby,1995). LDL
yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan respon
inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin II yang menyebabkan
gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin dengan melibatkan
platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi respon protektif
yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous. Plak yang
stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture (Libby, 1995).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari agregat trombus dan fibrin (Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989).
9
IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu IMA STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang
waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan
menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich red trombus
yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon terhadap
terapi trombolitik (Gambar 3) ( Hamm dkk,2004)
10
Cole dkk (1954) melaporkan bahwa pasien IMA yang datang ke rumah
sakit dengan kadar lekosit > 15.000/ml ternyata dalam 2 bulan memiliki risiko
kematian 4 kali lebih tinggi dibandingkan pasien IMA dengan kadar lekosit yang
normal (<10.000/ml). Peningkatan kadar lekosit merupakan indikator inflamasi
sistemik (Munir. 2010) dan telah diterima sebagai respon kejadian IMA serta
merupakan prediktor independen yang kuat untuk kematian jangka panjang pada
IMA non STE yang dilakukan tindakan revaskularisasi (Mueller. 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Nunez J 2005 juga menunjukkan bahwa
peningkatan kadar lekosit dalam darah sebagai salah satu prediktor jangka
panjang terhadap kejadian kematian kardiovaskuler (tabel 1).
Tabel 1 . Kadar lekosit berperan dalam risiko kematian jangka panjang pada
IMA non STE (A) dan IMA STE (B). (Nunez J, 2005)
mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang diisap, kadar HDL
kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL
kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat
meningkatkan tipe IV hiperlipidemi dan hipertrigliserid, pembentukan platelet
yang abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi ; sehingga orang
yang perokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis daripada yg
bukan perokok (Anwar 2004)
A. B.
Tabel.3. A. Indikator klinis serta skor stratifikasi risiko pada IMA STE dan B.
Angka kematian dalam 30 hari terhadap skor stratifikasi risiko. (Morrow DA,
2000)
15
Skor risiko TIMI untuk IMA STE (tabel 9) menunjukkan hubungan yang
kuat antara kematian dalam 30 hari, sebanyak > 40 kali lipat pada kelompok
dengan skor > 8 dibandingkan dengan skor 0. Sementara kelompok skor > 5
hanya sebanyak 12% namun > 2 kali lipat dari jumlah populasi (Morrow dkk,
2000)
16
Tabel 6 . Hubungan antara skor TIMI pada IMA non STE /APTS terhadap angka
kematian dan revaskularisasi dalam 30 hari (Pollack Jr,2006)
17
Scirica dkk (2002) melaporkan bahwa pasien dengan IMA non STE /
APTS yang mengalami serangan angina yang memberat akan memiliki risiko
kematian yang meningkat dalam 1 tahun.
jangka pendek (30 hari) terkait IMA dan kematian (PERKI,2012). Peningkatan
kadar troponin merupakan prediktor independen terhadap kematian 30 hari dan
selama pengamatan jangka panjang (1 tahun dan lebih). Nilai prognostik dari
cTnT dan cTnI ternyata sama (Ohman,1996; Luciano,2005). Peningkatan troponin
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Pasien dengan IMA non STE jika
disertai dengan peningkatan kadar enzim jantung troponin dalam 12 jam, maka
memiliki risiko tinggi kejadian kematian (dalam 30 hari dengan angka kematian
sampai dengan 4 – 5 %) (Christenson RH,1998)
Tabel 8. Definisi dan prognosis SKA berdasarkan kadar serum enzim troponin T
(SIGN,2007)
2.4.3. Elektrokardiografi
informasi prognostik tambahan, selain hasil troponin dan variabel klinis lainnya
(Hamm. 2004; PERKI.2012). Pada penelitian GRACE (2001) juga dijumpai
faktor yang berhubungan secara independen terhadap peningkatan angka kematian
yaitu pertambahan usia, klas Killip, peningkatan denyut jantung, depresi segmen
ST, tanda-tanda gagal jantung, tekanan darah sistolik yang rendah, nyeri dada
yang khas dan peningkatan enzim jantung. Adanya gambaran segmen ST yang
deviasi (Kaul. 2003) merupakan prediktor yang kuat untuk hasil akhir klinis
dibandingkan dengan peningkatan enzim jantung troponin pada pasien SKA
(SIGN, 2007).
depresi segmen ST yang disertai inversi segmen T yang bertahan beberapa hari.
Pada infark miokard pada umumnya dianggap bahwa Q menunjukkan nekrosis
miokard, sedangkan R menunjukkan miokard yang masih hidup, sehingga bentuk
QR menunjukkan infark non-transmural sedangkan bentuk QS menunjukkan
infark transmural. Pada infark miokard non-Q, berkurangnya tinggi R
menunjukkan nekrosis miokard. Pada infark miokard dinding posterior murni,
gambaran EKG menunjukkan bayangan cermin dari infark miokard anteroseptal
terhadap garis horisontal, jadi terdapat R yang tinggi di V1, V2, V3 dan disertai T
yang simetris (Sudoyo dkk).
2.5. Komplikasi
Pasien dengan irama atrial fibrilasi (AF) yang baru muncul setelah
serangan IMA menunjukkan peningkatan angka risiko kejadian kardiovaskuler
dan kematian. AF merupakan aritmia yang paling sering muncul setelah serangan
IMA dan menjadi prediktor utama untuk hasil akhir klinis pada pasien dengan
SKA. (Antoni dkk, 2010). Hasil GRACE menunjukkan bahwa persentase kejadian
kematian lebih tinggi pada IMA non STE dibandingkan dengan IMA STE (13%
vs 8%), namun pada kejadian masuk kembali ke rumah sakit dijumpai persamaan
persentase antara IMA non STE dan APTS (20%) (gambar 5).
Gambar 7 . Hasil akhir klinis : mulai rawatan sampai jangka waktu 6 bulan
(GRACE,1999)
Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian
23
morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun
sudah mendapat nitrogliserin (Trisnohadi, 2006).
Terapi medikamentosa
• Obat anti iskemia
ICCU; Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet, karena resiko
muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya
minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30%
kalori total dan kandungan kolesterol <300mg/hari. Menu harus diperkaya serat,
kalium, magnesium, dan rendah natrium. Penggunaan narkotik sering
menyebabkan efek konstipasi sehingga di anjurkan penggunaan pencahar ringan
secara rutin. Sedasi, pasien memerlukan sedasi selama perawatan, untuk
mempertahankan periode inaktivasi dengan penenang (Alwi, 2009).
Terapi farmakologis
• Fibrinolitik
• Antitrombotik
• Inhibitor ACE
• Beta-Blocker
2.6.3. Penatalaksanaan NSTEMI