Anda di halaman 1dari 19

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindroma Koroner Akut

2.1.1. Definisi

Merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan


kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan
oksigen miokardium dan aliran darah (Kumar, 2007).

Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA)
disertai elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non
STE) dan angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC
2005). Walaupun persentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan
patofisiologi (Libby,1995). Jika troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST
elevasi disebut IMA non STE dan jika troponin negatif disebut APTS seperti yang
ditunjukkan pada gambar 1. (Hamm dkk,2004; PERKI,2012)

Gambar 1 . Spektrum dan definisi dari SKA. (PERKI,2012)


7

2.1.2. Epidemiologi

Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding


IMA non STE / APTS adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4
tahun), angka kematian pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi
dibanding pasien IMA-STE (Rationale and design of GRACE. 2001).

Data dari GRACE 2001, menunjukkan pasien yang datang ke rumah sakit
dengan keluhan nyeri dada ternyata yang terbanyak adalah IMA-STE (34%), IMA
non STE (31%) dan APTS (29%) (Budaj dkk,2003) seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2.

Gambar 2. Jumlah kasus Sindroma Koroner Akut (Budaj dkk,2003)

2.1.3. Patofisiologi

Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan


oleh adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-
zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan
gula darah dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) (Libby. 1995;
Hamm. 2004). Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan cell
molecule adhesion seperti sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF-α),
kemokin (monocyte chemoatractant factor-I), dan platelet derived growth factor.
8

Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel dan
bermigrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi
menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik.
Makrofag ini terus membentuk sel busa (Braunwald, 1989; Libby,1995). LDL
yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan respon
inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin II yang menyebabkan
gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin dengan melibatkan
platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi respon protektif
yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous. Plak yang
stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture (Libby, 1995).

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen,


adenosin diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit,
yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor
glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino
pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi (Deckelbaum,1990).

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari agregat trombus dan fibrin (Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989).
9

Gambar 3. Patofisiologi aterosklerosis pada pembuluh darah


(Findlay dkk,2005)

IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu IMA STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang
waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan
menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich red trombus
yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon terhadap
terapi trombolitik (Gambar 3) ( Hamm dkk,2004)
10

Gambar 4. Patofisiologi terjadinya sindroma


koroner akut (Hamm dkk,2004)

2.2. Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut

Data dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebelum umur 60 tahun


didapatkan 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 perempuan menderita SKA. Ini berarti
bahwa laki-laki mempunyai risiko 2-3 kali lebih besar dari perempuan (Katz,
2006). Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena
rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi 02 akibat inhalasi CO
atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan tahikardi, vasokonstruksi
pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-
10% Hb menjadi carboksi-Hb. Di samping itu rokok dapat menurunkan kadar
HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok
yang diisap, kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok
penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok.
Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV hiperlipidemi dan hipertrigliserid,
pembentukan platelet yang abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi
11

; sehingga orang yang perokok cenderung lebih mudah terjadi proses


aterosklerosis daripada yg bukan perokok.

Usia sering dihubungkan sebagai faktor determinan terhadap hasil akhir


pada kejadian SKA bahwa peningkatan usia dihubungkan dengan peningkatan
yang bermakna terhadap hasil akhir klinis (Jacobs. 1999). Pada penelitian
GRACE ternyata menunjukkan bahwa usia merupakan prediktor penduga yang
independen terhadap kematian dalam rawatan rumah sakit pada kejadian SKA
dengan odds ratio 1.70 setiap 10 tahun, dimana usia tua memiliki risiko tinggi
kematian pada SKA (Alexander KP. 2007). Penelitian yang dilakukan Antman
(2000) menunjukkan hasil bahwa walaupun usia di atas 65 tahun merupakan
bagian dari penilaian skor risiko TIMI namun ternyata tindakan angiografi dan
revaskularisasi lebih sedikit dilakukan pada usia tua. Hasil penelitian SPACE di
Arab Saudi menunjukkan bahwa pasien dengan usia ≥ 70 tahun memiliki angka
kematian di rumah sakit lebih tinggi (7%) dibandingkan dengan usia < 70 tahun
(1.6% - 3%) hal ini oleh karena pasien usia tua kurang mendapat terapi secara
agresif (Al-Saif. 2011).

Gambar 5. Faktor usia terhadap risiko kematian kardiovaskuler


dan perdarahan mayor. (Budaj dkk,2003)
12

Cole dkk (1954) melaporkan bahwa pasien IMA yang datang ke rumah
sakit dengan kadar lekosit > 15.000/ml ternyata dalam 2 bulan memiliki risiko
kematian 4 kali lebih tinggi dibandingkan pasien IMA dengan kadar lekosit yang
normal (<10.000/ml). Peningkatan kadar lekosit merupakan indikator inflamasi
sistemik (Munir. 2010) dan telah diterima sebagai respon kejadian IMA serta
merupakan prediktor independen yang kuat untuk kematian jangka panjang pada
IMA non STE yang dilakukan tindakan revaskularisasi (Mueller. 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Nunez J 2005 juga menunjukkan bahwa
peningkatan kadar lekosit dalam darah sebagai salah satu prediktor jangka
panjang terhadap kejadian kematian kardiovaskuler (tabel 1).

Tabel 1 . Kadar lekosit berperan dalam risiko kematian jangka panjang pada
IMA non STE (A) dan IMA STE (B). (Nunez J, 2005)

Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya serangan


jantung dan stroke. Sekitar 24 % kematian akibat serangan jantung pada laki-laki
dan 11 % pada perempuan disebabkan karena kebiasaan merokok (Huon. 2000).
Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan
oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi 02 akibat inhalasi CO atau dengan
perkataan lain dapat menyebabkan tahikardi, vasokonstruksi pembuluh darah,
merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10% Hb menjadi
carboksi-Hb. Di samping itu rokok dapat menurunkan kadar HDL kolesterol tetapi
13

mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang diisap, kadar HDL
kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL
kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat
meningkatkan tipe IV hiperlipidemi dan hipertrigliserid, pembentukan platelet
yang abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi ; sehingga orang
yang perokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis daripada yg
bukan perokok (Anwar 2004)

Peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) pada saat serangan nyeri


dada merupakan faktor risiko independen yang kuat (Koon-Hou & Topol E.J.
2000) dan prognostik yang jelek untuk pasien dengan SKA bahkan pada pasien
non diabetik (Bilal. 2007). Sean (2007) menunjukkan bahwa angka kematian
dalam 30 hari lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan tanpa diabetes pada
IMA non STE/APTS (2.1% vs 1.1%, P <.001) dan IMA STE (8.5% vs 5.4%, P
<.001). Penelitian DIGAMI (Malmberg. 1995) menunjukkan hasil bahwa
pengontrolan metabolik insulin secara intensif dengan menggunakan insulin dan
infus glukosa pada pasien dengan diabetes mellitus atau glukosa darah >11.0
mmol/l ternyata memberikan keuntungan dalam menekan angka kematian setahun
menjadi lebih rendah (18.6% dibandingkan 26.1%).

Saman (2007) menganalisis bahwa umur, DM, hipertensi dan tidak


dilakukan terapi reperfusi ternyata didapatkan bermakna berhubungan dengan
peningkatan risiko kematian dalam 30 hari (tabel 2). Pada laki-laki usia
pertengahan (45-65 tahun) dengan tingkat serum kolesterol yang tinggi (kolesterol
: >240 mg/dL dan LDL kolesterol : >160 mg/dL) risiko terjadinya SKA akan
meningkat (Sacks dkk,1996).

Tabel 2. Analisis Univariat : prediktor kematian (Saman. 2007)


14

Ada beberapa sistem penilaian stratifikasi risiko yang dapat memprediksi


kematian pada pasien dengan SKA yaitu GRACE,TIMI, PURSUIT dan FRISC
(Wallentin. 2000) yang paling sering digunakan adalah GRACE dan TIMI
(Antman. 2000). Pada penilaian secara prospektif, skor risiko GRACE
memberikan stratifikasi paling akurat untuk risiko pada saat awal rawat dan
pulang, karena kekuatan diskriminatifnya yang baik dan juga merupakan prediksi
yang paling akurat terhadap hasil akhir klinis dan digunakan sebagai data yang
sah untuk penelitian-penelitian selanjutnya (PERKI, 2012). Penerapan secara
umum dan ketepatan hasil akhir dari skor GRACE dapat digunakan sebagai
stratifikasi risiko pada SKA. Risiko skor TIMI untuk IMA non STE/APTS dibuat
sebagai alat bantu prognostik para klinisi (Antman dkk, 2000; Francisco dkk,
2005) yang dapat digunakan secara mudah dengan hanya menggunakan variabel-
variabel dasar (Morrow dkk, 2000) untuk mengevaluasi hasil akhir klinis jangka
pendek (14 hari) dan jangka panjang (6 bulan) (Marc dkk, 2003). Nilai skor
tersebut dapat dihubungkan dengan luasnya penyempitan pada pembuluh darah
koroner (Lakhani dkk, 2010; Manoharan dkk, 2009)

Penentuan risiko berdasarkan skor risiko Thrombolysis in Myocardial


Infarction (TIMI) untuk IMA STE sebagai berikut (Morrow. 2000) :

A. B.

Tabel.3. A. Indikator klinis serta skor stratifikasi risiko pada IMA STE dan B.
Angka kematian dalam 30 hari terhadap skor stratifikasi risiko. (Morrow DA,
2000)
15

Angka rata-rata kematian, IMA ataupun pasien dengan revaskularisasi


segera secara signifikan meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah skor risiko
TIMI (Soiza dkk, 2006), mulai dari > 5% pada pasien dengan skor risiko 0-1
sampai dengan > 40% pada skor risiko 6 atau 7. (Marc dkk, 2003). Untuk IMA
non STE/APTS, penilaian dibagi menjadi skor 0-2 = risiko rendah, skor 3–4 =
risiko sedang dan skor 5–7 = skor tinggi. Penentuan risiko penting dilakukan
untuk penentuan strategi pengobatan (Antman dkk, 2000). Penentuan risiko
berdasarkan skor risiko TIMI untuk IMA non STE/ APTS seperti dalam tabel 4.

Tabel 4. Stratifikasi Risiko TIMI pada IMA STE (Morrow,2000)

Skor risiko TIMI untuk IMA STE (tabel 9) menunjukkan hubungan yang
kuat antara kematian dalam 30 hari, sebanyak > 40 kali lipat pada kelompok
dengan skor > 8 dibandingkan dengan skor 0. Sementara kelompok skor > 5
hanya sebanyak 12% namun > 2 kali lipat dari jumlah populasi (Morrow dkk,
2000)
16

Tabel 5. Hubungan antara skor TIMI pada IMA STE terhadap


angka kematian dalam 30 hari (Morrow dkk,2000)

Pollack Jr dkk (2006) melakukan pemantauan dalam 30 hari terhadap


pasien dengan IMA non STE/ APTS yang datang ke unit gawat darurat. Ternyata
43 pasien meninggal dalam 30 hari, 15 pasien kembali masuk dengan IMA, 14
pasien dilakukan tindakan intervensi koroner perkutan setelah berobat jalan, dan
10 pasien dilakukan tindakan CABG. Hasil skor risiko TIMI saat pasien tiba di
unit gawat darurat ternyata menunjukkan korelasi terhadap hasil akhir klinis
dalam 30 hari (tabel 6; chi-square, p < 0.001 dan Cochran-Armitage trend test, p
< 0.001)

Tabel 6 . Hubungan antara skor TIMI pada IMA non STE /APTS terhadap angka
kematian dan revaskularisasi dalam 30 hari (Pollack Jr,2006)
17

2.3. Manifestasi Klinis Sindroma Koroner Akut

Gambaran klinis awal sangat prediktif untuk prognosis awal. Timbulnya


gejala saat istirahat menandakan prognosis lebih buruk dibanding gejala yang
hanya timbul pada saat aktivitas fisik. Pada pasien dengan gejala intermiten,
peningkatan jumlah episode yang mendahului kejadian acuan juga mempunyai
dampak terhadap hasil akhir klinis. Adanya takikardia, hipotensi atau gagal
jantung pada saat masuk rumah sakit juga mengindikasikan prognosis buruk dan
memerlukan diagnosis serta tatalaksana segera (PERKI,2012).Faktor risiko yang
tinggi termasuk angina yang memberat, nyeri dada yang berkelanjutan (> 20
menit), edema paru (Killip klas ≥2 ), hipotensi dan aritmia seperti pada tabel 7.
(Antman EM, 2005).

Tabel 7. Klasifikasi Killip terhadap angka kematian pada IMA-STE


(Antman EM, 2005)

Scirica dkk (2002) melaporkan bahwa pasien dengan IMA non STE /
APTS yang mengalami serangan angina yang memberat akan memiliki risiko
kematian yang meningkat dalam 1 tahun.

2.4. Pengakkan Diagnosa

2.4.1. Pemeriksaan Fisik


18

Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa


beristirahat (gelisah) dengan ekstrimitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi
nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat
adanya STEMI.
Serangan MI biasanya akut, dengan rasa sakit seperti angina, tetapi tidak
seperti angina yang biasa, maka disini terdapat rasa penekanan yang luar biasa
pada dada. Jika pasien sebelumnya pernah mendapat serangan angina, maka ia
tahu bahwa sesuatu yang berbeda dari serangan angina sebelumnya sedang
berlangsung. Kebalikan dengan angina yang biasa, IMA terjadi sewaktu pasien
dalam keadaan istirahat, sering pada jam-jam awal dipagi hari.
Rasa sakitnya adalah diffus dan bersifat mencekam, mencekik,
mencengkeram atau membor. Paling nyata didaerah subternal, dari mana ia
menyebar kedua lengan, kerongkongan atau dagu, atau abdomen sebelah atas
(sehingga ia mirip dengan kolik cholelithiasis, cholesistitis akut ulkus peptikum
akut atau pancreatitis akut).
Pada IMA non STE, nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau
kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat,
perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan menjadi gejala
yang sering ditemukan. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia
pada IMA non STE telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu,
mual, diaforesis, syncope atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher
juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien berusia lebih dari 65
tahun (Sudoyo. 2007).
2.4.2. Penanda Enzim Jantung

GRACE (2001) dan WHO (Tunstall. 1994) menggunakan kriteria


diagnostik dengan penanda enzim jantung untuk IMA dan APTS . Angka
kematian dalam 30 hari dan 6 bulan pada pasien SKA dijumpai signifikan cukup
tinggi dengan peningkatan kadar troponin yang tinggi pada pasien dengan IMA
non STE/APTS, seperti yang ditunjukkan pada tabel 5 (SIGN,2007). Troponin I
atau T merupakan penanda biologis terpilih untuk memprediksi hasil akhir klinis
19

jangka pendek (30 hari) terkait IMA dan kematian (PERKI,2012). Peningkatan
kadar troponin merupakan prediktor independen terhadap kematian 30 hari dan
selama pengamatan jangka panjang (1 tahun dan lebih). Nilai prognostik dari
cTnT dan cTnI ternyata sama (Ohman,1996; Luciano,2005). Peningkatan troponin
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Pasien dengan IMA non STE jika
disertai dengan peningkatan kadar enzim jantung troponin dalam 12 jam, maka
memiliki risiko tinggi kejadian kematian (dalam 30 hari dengan angka kematian
sampai dengan 4 – 5 %) (Christenson RH,1998)

Tabel 8. Definisi dan prognosis SKA berdasarkan kadar serum enzim troponin T
(SIGN,2007)

2.4.3. Elektrokardiografi

Gambaran EKG awal sangat berguna untuk menduga kejadian SKA.


Jumlah lead yang menunjukkan depresi ST dan magnitudonya, merupakan
indikasi adanya iskemia berat dan luas dan berkorelasi dengan prognosis terhadap
angka kematian dalam 1 tahun seperti yang di tunjukkan pada tabel 6 (Hamm.
2004). Pemantauan segmen ST secara berkala pada EKG saat istirahat memberi
20

informasi prognostik tambahan, selain hasil troponin dan variabel klinis lainnya
(Hamm. 2004; PERKI.2012). Pada penelitian GRACE (2001) juga dijumpai
faktor yang berhubungan secara independen terhadap peningkatan angka kematian
yaitu pertambahan usia, klas Killip, peningkatan denyut jantung, depresi segmen
ST, tanda-tanda gagal jantung, tekanan darah sistolik yang rendah, nyeri dada
yang khas dan peningkatan enzim jantung. Adanya gambaran segmen ST yang
deviasi (Kaul. 2003) merupakan prediktor yang kuat untuk hasil akhir klinis
dibandingkan dengan peningkatan enzim jantung troponin pada pasien SKA
(SIGN, 2007).

Tabel 9. Jumlah angka kematian dalam 1 tahun terhadap luasnya infark


(Hamm,2004).

Timbulnya kelainan-kelainan EKG pada IMA bisa terlambat, sehingga


untuk menyingkirkan diagnosis IMA membutuhkan EKG serial. Fase evolusi
yang terjadi bias sangat bervariasi, bisa beberapa jam hingga 2 minggu. Selama
evolusi atau sesudahnya, gelombang Q bisa hilang sehingga disebut infark
miokard non-Q. Gambaran infark miokard subendokardial pada EKG tidak begitu
jelas dan memerlukan konfirmasi klinis dan laboratoris, pada umumnya terdapat
21

depresi segmen ST yang disertai inversi segmen T yang bertahan beberapa hari.
Pada infark miokard pada umumnya dianggap bahwa Q menunjukkan nekrosis
miokard, sedangkan R menunjukkan miokard yang masih hidup, sehingga bentuk
QR menunjukkan infark non-transmural sedangkan bentuk QS menunjukkan
infark transmural. Pada infark miokard non-Q, berkurangnya tinggi R
menunjukkan nekrosis miokard. Pada infark miokard dinding posterior murni,
gambaran EKG menunjukkan bayangan cermin dari infark miokard anteroseptal
terhadap garis horisontal, jadi terdapat R yang tinggi di V1, V2, V3 dan disertai T
yang simetris (Sudoyo dkk).

Gambar 6. Gambaran EKG STEMI dan NSTEMI

Penelitian dari Fibrinolytic Therapy Trialists’ Collaboration (FTTC)


(1994) melaporkan bahwa gambaran EKG merupakan prediktor kematian yang
cukup memberikan manfaat apabila dijumpai adanya elevasi segmen-ST atau
bundle branch block yang dianggap baru. Go AS (1998) menunjukkan bahwa
right bundle branch block (RBBB) ternyata banyak dijumpai pada gambaran EKG
namun memiliki angka kematian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan left
bundle branch block (LBBB).
22

2.5. Komplikasi

Pasien dengan irama atrial fibrilasi (AF) yang baru muncul setelah
serangan IMA menunjukkan peningkatan angka risiko kejadian kardiovaskuler
dan kematian. AF merupakan aritmia yang paling sering muncul setelah serangan
IMA dan menjadi prediktor utama untuk hasil akhir klinis pada pasien dengan
SKA. (Antoni dkk, 2010). Hasil GRACE menunjukkan bahwa persentase kejadian
kematian lebih tinggi pada IMA non STE dibandingkan dengan IMA STE (13%
vs 8%), namun pada kejadian masuk kembali ke rumah sakit dijumpai persamaan
persentase antara IMA non STE dan APTS (20%) (gambar 5).

Gambar 7 . Hasil akhir klinis : mulai rawatan sampai jangka waktu 6 bulan
(GRACE,1999)

2.6. Penatalaksanaan Sindroma Koroner Akut

2.6.1. Penatalaksanaan Angina Pektoris Tidak Stabil

Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian
23

morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun
sudah mendapat nitrogliserin (Trisnohadi, 2006).

Terapi medikamentosa
• Obat anti iskemia

• Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.

• Obat anti agregasi trombosit

• Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa

• Obat anti trombin

• Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin

• Direct trombin inhibitors


Tindakan revaskularisasi pembuluh darah
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan
penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila di sertai
faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan operasi bypass (CABG) dapat
memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi resiko kembalinya ke
rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk
daripada bedah elektif.
Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan
pada satu atau dua pembuluh darah atau bila ada kontra indikasi pembedahan, PCI
merupakan pilihan utama.
Pada angina tak stabil perlunya dilakukan tindakan invasif dini atau
konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada resiko tinggi, seperti
angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin meningkat, faal
ventrikel yang buruk, adanya gangguan irama jantung seperti takikardi ventrikel,
perlu tindakan invasif dini (Trisnohadi, 2006).

2.6.2. Penatalaksanaan STEMI

Tatalaksana di rumah sakit


24

ICCU; Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet, karena resiko
muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya
minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30%
kalori total dan kandungan kolesterol <300mg/hari. Menu harus diperkaya serat,
kalium, magnesium, dan rendah natrium. Penggunaan narkotik sering
menyebabkan efek konstipasi sehingga di anjurkan penggunaan pencahar ringan
secara rutin. Sedasi, pasien memerlukan sedasi selama perawatan, untuk
mempertahankan periode inaktivasi dengan penenang (Alwi, 2009).
Terapi farmakologis
• Fibrinolitik

• Antitrombotik

• Inhibitor ACE

• Beta-Blocker
2.6.3. Penatalaksanaan NSTEMI

Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG


untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
• Terapi antiiskemia
• Terapi anti platelet/antikoagulan

• Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)

• Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.

Anda mungkin juga menyukai