Anda di halaman 1dari 40

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker merupakan suatu pertumbuhan sel abnormal yang dapat

menyerang organ-organ tubuh. Penyakit kanker merupakan kasus terbanyak

kedua yang dapat menyebabkan kematian secara global, yakni 8,8 juta

kematian pada tahun 2015 (WHO, 2017). Menurut WHO, kanker merupakan

salah satu dari empat jenis Penyakit Tidak Menular (PTM) utama. Selain

kanker terdapat penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner dan

stroke), penyakit pernapasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi

kronis), dan diabetes (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Kanker ovarium merupakan kanker alat genital perempuan yang dapat

menyebabkan kematian tertinggi. Pada diagnosis penyakit kanker ovarium di

USA, jumlah kasus baru didapatkan sekitar 22.220 kasus setiap tahunnya dan

sekitar 16.210 kematian akibat penyakit ini.Terdapat 6% kanker ovarium dari

total kanker pada perempuan dan terdapat 1 dari 68 perempuan yang

menderita kanker ovarium (Prawirohardjo & Kampono, 2013).

Tingkat insidensi dan kematian kanker ovarium menempati urutan ketujuh

terbanyak pada wanita di dunia dan merupakan kanker alat genital ketiga

setelah kanker serviks dan kanker korpus uteri. Berdasarkan data yang

dikumpulkan sampai tahun 2012, insidensi kanker ovarium mencapai 238.719

(3,6%) dan jumlah kematian akibat kanker ovarium mencapai 151.917 (4,3%)

di dunia. Di Indonesia, terdapat 10.238 (6,4%) insiden kanker ovarium dan


angka kematian akibat penyakit ini mencapai 7.075 (7,7%) (GLOBOCAN,

2012).

Pada pasien kanker ovarium, banyak kasus kanker yang ditemukan sudah

pada stadium lanjut. Hal ini disebabkan karena kanker tidak menunjukkan

tanda dan gejala penyakit yang khas. Angka kejadian penyakit ini banyak

ditemukan pada usia di atas 40 tahun dengan makin meningkatnya usia maka

makin tinggi pula kasus yang ditemukan. Pada usia 40-44 tahun sekitar 15-16

per 100.000 orang dan usia 70-74 tahun sekitar 57 per 100.000 ditemukan

pasien dengan kanker ovarium. Sementara usia median saat diagnosis adalah

usia 63 tahun (Prawirohardjo, 2010). Berdasarkan penelitian tentang

hubungan usia terhadap kanker ovarium yang dilakukan oleh Nurlailiyani di

RSUD Moewardi pada tahun 2011-2012 didapatkan hubungan antara usia

dengan kanker ovarium. Terdapat angka kejadian dari total 82 pasien kanker

ovarium, yaitu pada usia di bawah 20 tahun sebesar 1,2%, usia 20-34 tahun

12,2%, usia 35-50 tahun 37,8%, dan kelompok usia di atas 50 tahun sebesar

48,8% (Nurlailiyani, 2013).

Jumlah kelahiran hidup (paritas) diduga memiliki pengaruh terhadap

penurunan risiko kanker ovarium. Beberapa penelitian menunjukkan

kelahiran pertama dapat menurunkan risiko kanker ovarium dibandingkan

kelahiran berikutnya, tetapi penelitian lain memperlihatkan efek perlindungan

terhadap kanker ovarium justru meningkat apabila telah terdapat kelahiran

kedua (Sung et al., 2016). Wanita yang memiliki anak memiliki faktor risiko

29% lebih rendah bila dibandingkan dengan wanita nulipara dan semakin
meningkat setiap kehamilan selanjutnya (Tsilidis et al.,2011). Studi populasi

yang dilakukan di Denmark terhadap 885 wanita yang didiagnosis ovarian

Serous Borderline Tumor (SBT) sejak tahun 1992- 2002 memperlihatkan

hubungan yang kuat antara paritas dan risiko perkembangan SBT (Rasmussen

et al., 2017).

Kelebihan berat badan atau obesitas dapat meningkatkan masalah terhadap

perkembangan endometrium dan kanker payudara pasca menopause. Akan

tetapi, hubungannya dengan kanker ovarium masih belum jelas. Pada analisis

studi kohort Indeks Massa Tubuh (IMT) memiliki hubungan dengan pasien

kanker ovarium pra-menopause saja. Selain itu analisis yang dilakukan

terhadap dua kelompok besar mengkonfirmasi adanya peningkatan sedang

terhadap risiko kanker ovarium (Kang et al, 2010; Nagle et al, 2015). Terjadi

peningkatan risiko kematian 3% tiap peningkatan 5 kg/m² pada wanita dengan

IMT di atas 18,5 kg/m² (Nagle et al, 2015).

Wanita yang pernah menggunakan kontrasepsi oral memiliki faktor risiko

yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakannya.

Durasi penggunaan kontrasepsi oral yang lama berhubungan terhadap

penurunan faktor risiko kanker ovarium. Penggunaan kontrasepsi oral lebih

dari 10 tahun memiliki 45% faktor risiko yang lebih rendah jika dibandingkan

dengan penggunaan kurang dari 1 tahun (Tsilidis et al., 2011). Penggunaan

kombinasi pil kontrasepsi oral telah mencegah 1.340 kanker (1.032

endometrial dan 308 ovarium) di Australia pada tahun 2010 (Jordan et al.,

2015).
Kondisi wanita yang infertil pun telah diketahui dapat meningkatkan

risiko terjadinya kanker ovarium. Penggunaan obat-obat fertilitas sudah

banyak digunakan untuk mengatasi hal ini. Akan tetapi, penggunaan obat-

obat itu diduga justru meningkatkan faktor risiko kanker tersebut (Tomao et

al., 2014). Obat-obat fertilitas dapat mempercepat maturasi folikel dan proses

ovulasi sehingga menaikkan tingkat gonadotropin. Clomiphene

citratemerupakan reseptor modulator selektif estrogen yang hampir sama

dengan tamoxifen yang digunakan untuk mengobati infertilitas (Diergaarde &

Kurta, 2008).

Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko terjadiya kanker ovarium

adalah usia menarche yang dini. Pada penelitian tingkat insidensi kanker

ovarium di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2008-2011 didapatkan angka

yang 5 tinggi pada kelompok usia menarche 12-14 tahun, yaitu 176 orang

dengan persentase 52,2% (Johari & Siregar 2011).

Selain peningkatan usia dan yang telah disebutkan diatas, terdapat

faktorfaktor lain yang mempengaruhi angka kejadian kanker ovarium.

Berbagai macam faktor risiko itu diantaranya, usia menikah, faktor keturunan,

penggunaan terapi hormon pengganti, dan ligasi tuba. Faktor-faktor tersebut

menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan jumlah pasien kanker

ovarium di Eropa (Li et al., 2015).

Pada penelitian yang dilakukan terhadap penderita kanker ovarium yang

memiliki faktor risiko didapatkan tipe kanker ovarium adenokarsinoma jenis

serosum. Tipe histopatologi ini banyak ditemukan sesuai dengan faktor risiko
yang dimiliki oleh penderita. Berdasarkan faktor risiko usia, usia menarche,

indeks massa tubuh, jumlah paritas didapatkan angka kejadian tumor ganas

ovarium meningkat (Arania & Windarti, 2015; Yanti & Apri, 2016).

Jumlah penderita berdasarkan penelitian karakteristik pasien kanker

ovarium di Rumah Sakit Abdul Moeloek periode tahun 2009-2013 terdapat 24

orang dengan kasus terbanyak pada wanita usia 31-40 tahun (Arania &

Windarti, 2015).

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai “Hubungan Usia, Jumlah Paritas, dan Usia Menarche

terhadap Derajat Histopatologi Kanker Ovarium di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung Tahun 2015-2016”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang diambil

adalah apakah terdapat hubungan faktor risiko (usia, jumlah paritas, dan usia

menarche) dengan derajat histopatologi kanker ovarium di RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini

bertujuan

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor risiko (usia,

jumlah paritas, dan usia menarche) dengan derajat histopatologi kanker


ovarium di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandarlampung tahun 2015-

2016.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi penderita kanker ovarium di RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek menurut derajat histopatologi.

2. Mengetahui hubungan usia dengan derajat histopatologi kanker

ovarium.

3. Mengetahui hubungan jumlah paritas dengan derajat histopatologi

kanker ovarium

4. Mengetahui hubungan usia menarche dengan derajat histopatologi

kanker ovarium.

1.4 Manfaat Penelitian


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Ovarium

2.1.1 Anatomi Ovarium

Ovarium merupakan organ berbentuk seperti buah badam (almond)

dengan ukuran sekitar 4 cm dan melekat pada uterus melalui ligamen

ligamen ovarii yang berjalan di dalam mesovarium. Ovarium memiliki

2 hubungan, ligamen infundibulopelvikum (ligamentum suspensorium

ovari) yang berjalan melewati pembuluh-pembuluh darah ovarium dan

limfatik dari dinding pelvis dan ligamentum ovarii yang melalui kornu

uterus (Ellis, 2006).

Vaskularisasi ovarium didapat dari aorta abdominalis yang turun

sepanjang dinding abdomen posterior .Arteri kemudian menyilang di

pembuluh darah arteri iliaca eksterna dan masuk ke ligamentum

suspensorium. Cabang ascendens arteri uterina yang merupakan cabang

dari arteri iliaca interna berjalan sepanjang uterus lateral menuju daerah

medial ovarium dan tuba. Arteri ovarica dan arteri uterina ascendens

kemudian merupakan cabang perdarahan terakhir dan kemudian

beranatomosis satu sama lainnya yang memberikan 10 sirkulasi

kolateral dari sumber abdominal dan pelvis ke kedua struktur (Moore &

Dalley, 2013).

Inervasi ovarium berasal dari pleksus ovaricus dan sebagian dari

pleksus uterinus (pelvikus). Ovarium dan tuba uterina terletak


intraperitoneal, sehingga berada di atas garis nyeri pelvis. Oleh karena

itu, serat nyeri aferen visceral naik secara retrogard dengan serat

simpatis desendens pleksus ovaricus dan nervus splanchnicus lumbalis

ke badan sel pada ganglia sensorik spinalis T11-L11. Serat refleks

aferen visceral mengikuti serat parasimpatis secara retrogard melalui

pleksus hypogastricus inferior dan uterinus (pelvikus) dan nervus

splanchnicus pelvicus ke badan sel pada ganglia sensorik spinalis S2-S4

(Moore & Dalley, 2013).

2.1.2 Histologi Ovarium

Ovarium melekat pada ligamentum latum uteri melalui mesovarium

(lipatan peritoneum) dan bagian lainnya melalui ligamentum ovarii propium

(dinding uterus). Permukaan ovarium dilapisi oleh satu lapisan sel, yaitu

epitel germinal dan dibawahnya terdapat jaringan ikat tunika albuginea.

Lapisan berikutnya terdapat korteks yang cukup tebal dan medulla yang

banyak terdapat pembuluh darah. Korteks dan medulla tidak memiliki batas
yang jelas dan kedua bagian ini tampak menyatu. Ovarium memiliki korpus

luteum yang berasal dari folikel yang mengalami ovulasi dan korpus albikans

saat korpus luteum berdegenerasi. Dalam tahap perkembangan (primordial,

primer, sekunder, dan matur), folikel ovarium mengalami proses degenerasi

yang disebut atresia dan sel degeneratif atretik ini kemudian akan dimakan

oleh makrofag. Atresia folikel terjadi sebelum lahir dan akan berlanjut ketika

seorang wanita memasuki masa subur (diFiore, 2010).

Gambar 2. Histologi Ovarium (diFiore, 2010)

2.1.3 Fisiologi Ovarium

Ovarium mempunyai dua fungsi utama sebagai organ penghasil ovum

dan mengeluarkan hormon seks wanita, estrogen dan progesteron. Hormon

estrogen dan progesteron berperan untuk mendorong fertilisasi ovum dan

mempersiapkan sistem reproduksi wanita untuk kehamilan. Estrogen

berperan untuk pematangan dan pemeliharaan sistem reproduksi wanita dan

membentuk karakteristik sekunder wanita. Sementara progesteron berperan

dalam mempersiapkan lingkungan yang sesuai untuk memelihara embrio dan


kemudian janin serta berperan dalam kemampuan payudara untuk

menghasilkan susu (Sherwood, 2013).

Gambar 3. Fisiologi Ovarium (Saladin, 2008)

2.2 Kanker Ovarium

2.2.1 Definisi Kanker Ovarium

Kanker ovarium merupakan penyakit heterogen yang dapat

dibedakan menjadi tiga tipe utama, yaitu sex cord stromal tumors, germ

cell tumor, dan epithelial ovarian cancer (EOC). Mayoritas kanker

ovarium yang sering ditemukan adalah tipe EOC dan memiliki

beberapa subtipe, antara lain: mucinous, clear cell, endometroid, low-

grade serous, dan high-grade serous carcinoma (HGSC). Subtipe HGSC

merupakan jenis kanker epitel yang paling banyak dan juga paling

agresif. Hal ini karena banyak wanita didiagnosis telah memasuki

stadium lanjut (stadium III atau IV) dengan nilai 5 tahun ketahanan

hidup (5 years survival rate) antara 20-40% (George et al., 2016).


2.2. 2 Epidemiologi Kanker Ovarium

Kanker ovarium epitel merupakan kanker kelima yang sering menyerang

wanita dan merupakan kanker ginekologik penyebab kematian tertinggi di

Inggris. Tiap tahun lebih dari 6.500 wanita didiagnosis menderita kanker

ovarium dan sekitar 4.400 meninggal akibat penyakit ini. Insidensi di Inggris

20 tahun terakhir menunjukkan kanker ovarium berada pada status yang

wajar dengan penurunan mortalitas 20% sejak tahun. Akan tetapi harapan

hidup wanita dengan kanker ovarium masih lemah dengan nilai 5 tahun

ketahanan hidup tidak mencapai 45% (Doufekas & Olaitan, 2014).

Tingkat insidensi dan kematian kanker ovarium menempati urutan

ketujuh terbanyak pada wanita di dunia dan merupakan kanker alat genital

ketiga setelah kanker serviks dan kanker korpus uteri. Berdasarkan data yang

dikumpulkan sampai tahun 2012, insidensi kanker ovarium mencapai 238.719

(3,6%) dan jumlah kematian akibat kanker ovarium mencapai 151.917 (4,3%)

di dunia. Di Indonesia, terdapat 10.238 (6,4%) insiden kanker ovarium dan

angka kematian akibat penyakit ini mencapai 7.075 (7,7%) (GLOBOCAN,

2012).

2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Kanker Ovarium

Pada hipotesis incessant ovulation yang diperkenalkan oleh Fathalla,

menyebutkan bahwa siklus ovulasi yang terjadi terus-menerus selama masa

produktif pada wanita meningkatkan faktor risiko terjadinya High-Grade

Serous Carcinoma (HGSC). Dia menunjukkan bahwa akibat ovulasi yang


terjadi terus-menerus akan meningkatkan terjadinya inflamasi melalui sekresi

sitokin, kemokin, bradikinin, dan hormon. Hal ini dapat mempengaruhi

kerusakan DNA melalui tekanan oksidatif pada cortical inclusion cysts (CIC) di

ovarium (George et al., 2016).

Selain hipotesis mengenai siklus ovulasi terus-menerus, terdapat teori

lain yang mencoba menjelaskan mengenai etiologi kanker ovarium. Teori itu

antara lain teori gonadotropin, teori androgen, dan 15 teori progesteron.

Hipotesis gonadotropin didasarkan pada hasil yang didapatkan dari

percobaan terhadap hewan rodentia yang telah terpapar zat karsinogenik.

Pada percobaan ini didapatkan bahwa bila kadar hormon estrogen rendah di

perifer maka kadar hormon gonadotropin akan meningkat. Peningkatan

kadar hormon gonadotropin ternyata berhubungan dengan makin

membesarnya tumor ovarium pada binatang tersebut. Hipotesis androgen

didasarkan pada bukti bahwa pada epitel ovarium terdapat reseptor

androgen. Epitel ovarium yang selalu terpapar oleh steroid dari ovarium itu

sendiri dan dari kelenjar adrenal (androstenedion, dehidroepiandrosteron,

dan testosteron) dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal

dan sel-sel epitel kanker ovarium. Berbeda dengan efek dari androgen, pada

hipostesis progesteron terdapat peranan protektif terhadap terjadinya

kanker ovarium. Percobaan yang dilakukan terhadap ayam Gallus domesticus

yang mengalami kanker ovarium terjadi penurunan insidensi kanker ovarium

setelah pemberian pil kontrasepsi progesteron (Prawirohardjo, 2010).


Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya kanker

ovarium antara lain :

1. Umur

Kejadian kanker ovarium sukar ditetapkan karena tidak semua

kanker ovarium memberikan keluhan dan memerlukan tindakan

operatif. Walaupun kanker ovarium muncul tanpa gejala tetapi sekitar

60% ditemukan pada stadium akhir. Kanker ovarium sering ditemukan

pada wanita dengan usia 40-60 tahun (kurang lebih 30 %). Berdasarkan

otopsi, Novak menemukan 35% wanita berumur 40 tahun mempunyai

sarng kanker ovarium. Sedangkan pada wanita menopause kanker

ovarium ditemukan sebesar 10% yang masih bertumbuh (Prawirohardjo,

2008).

Kanker ovarium dapat terjadi pada semua usia, semakin tinggi usia

maka tingkat kejadian semakin tinggi. Umumnya lebih sering terjadi

pada wanita menopause dan pasca-menopause, umur 20 tahun kurang

morbiditas. Berbagai jenis kanker ovarium, distribusi usia berbeda.

Kanker ovarium epitel meningkat pesat setelah usia 40, usia puncak

berusia 50-60 tahun, 70 tahun dan kemudian secara bertahap menurun,

sedangkan tumor germ cell lebih sering terjadi pada wanita muda

sebelum usia 20, wanita lajang atau kejadian kanker ovarium karena

kesuburan (Anonim, 2014).

Risiko kanker ovarium meningkat seiring dengan bertambahnya

umur. Kanker ovarium dapat menyerang pada umur yang lebih muda 10

dibandingkan dengan kanker jenis lain, biasanya mengenai wanita


berumur sekitar 20-30 tahun, tapi 80% lebih diagnosis ditemukan pada

wanita yang berumur lebih dari 40 tahun. Median umur saat didiagnosis

adalah 59 tahun (Fauzan, 2009).

Kanker ovarium dapat terjadi pada semua golongan umur, bahkan

balita dan anak-anak, tetapi jumlah temuan kasus baru paling besar

terjadi pada rentang umur 40-70 tahun. Risiko tumor ovarium untuk

menjadi keganasan juga meningkat seiring bertambahnya usia, dengan

resiko 13% pada wanita premenopause dan 45% pada wanita

postmenopause (Fauzan, 2009). Seiring dengan di mulainya usia

reproduksi, maka mulai terjadi berbagai masalah dengan kesehatan

reproduksi (Manuaba, 2009).

2. Paritas

Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup atau jumlah anak yang

dimiliki oleh seorang wanita. Dalam paritas terjadi pelepasan sel ovum

dari ovarium sehingga menyebabkan produksi estrogen untuk poliferasi

epitel ovarium. Walaupun ada beberapa hipotesis yang menghubungkan

antara paritas dengan kanker ovarium namun etiologi paritas dengan

kanker ovarium belum begitu jelas. Beberapa hipotesis mengungkapkan

bahwa tingginya paritas justru menjadi faktor proktetif terhadap kanker

ovarium, salah satunya adalah hipotesis incessant ovulation yang

menyebutkan bahwa pada saat terjadinya ovulasi akan terjadi kerusakan

11 pada epitel ovarium. Untuk proses perbaikan kerusakan ini

diperlukan waktu tertentu. Apabila kerusakan epitel ini terjadi berkali-

kali terutama jika sebelum penyembuhan sempurna tercapai, atau


dengan kata lain masa istirahat sel tidak adekuat, maka proses

perbaikan tersebut akan mengalami gangguan sehingga dapat terjadi

transformasi menjadi sel-sel neoplastik. Hal ini dapat menjelaskan

bahwa wanita yang memiliki paritas > 2 kali akan menurunkan risiko

kanker ovarium.

Kebanyakan kanker ovarium tumbuh tanpa menimbulkan keluhan

atau gejala. Pada perempuan lain mungkin mengeluh nyeri sewaktu

menstruasi, perasaan penuh dan ada tekanan pada rongga perut, nyeri

pada waktu bersenggama. Kanker ovarium lebih banyak terjadi pada

wanita nullipara dibandingkan dengan wanita yang mempunyai riwayat

frekuensi melahirkan 2 (dua) atau 3 (tiga) kali. Dari penelitian yang

dilakukan Hafiz et al di Nitsar hospital Multan Pakistan mengemukakan

bahwa kanker ovarium terjadi pada 56% pasien dengan paritas 0

(nullipara) dan 13% pasien dengan paritas 1-5 (multipara) dengan kata

lain sebagian besar kanker ovarium terjadi pada pasien nullipara (

Muzakir, 2009).

3. Menarche

Menarche merupakan menstruasi pertama yang biasa terjadi dalam

rentang usia 10-16 tahun atau pada masa awal remaja di tengah masa

pubertas sebelum memasuki masa reproduksi. Menstruasi yang 12

terjadi pada saat pertama kali merupakan pertanda bahwa seorang

remaja sedang mengalami pubertas. Pada masa ini, kadar Luteizing

Hormon (LH) Follicle Stimulating Hormon (FSH) akan meningkat sehingga

merangsang pembetukan hormon seksual.


Usia menarche dini diduga merupakan risiko kanker ovarium, hal ini

berhubungan dengan produksi hormon oleh ovarium yaitu estrogen,

estrogen sendiri terdiri dari 3 jenis hormon yaitu estradiol, estriol dan

estrion. Estradiol dan estriol diduga bersifat karsinogenik, hal ini

berhubungan dengan poliferasi jaringan ovarium dimana kedua hormon

ini memegang peranan penting. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa

menarkhe merupakan pertanda bahwa ovarium telah mulai

menghasilkan hormon estrogen. Dan faktanya bahwa usia menarche dini

(<12 tahun) menyebabkan usia menopause yang lebih lama, sehingga

keterpaparan estrogen seorang wanita yang memiliki menarche dini

lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang memiliki menarche

normal ( Fachlevy, 2011).

Walaupun usia menarche yang terlalu dini dikaitkan dengan lamanya

terpapar oleh hormon estrogen dalam meningkatkan risiko kanker

ovarium namun teori yang kuat mengaitkan menarche dengan kanker

ovarium adalah teori gonadrotopin, karena hormon gonadrotopin

adalah hormon penting selama dan pra pubertas, dimana hormon LH

berfungsi mematangkan ovarium dan memicu ovulasi serta sintesis dan

sekresi estrogen dan progesteron pada wanita sehingga pubertasi pada

13 wanita sangat dipengaruhi oleh hormon ini, adapun teori ini

didasarkan pada pengetahuan dari percobaan binatang dan data

epidemologi. Hormon hiposa diperlukan untuk perkembangan tumor

ovarium pada beberapa percobaan pada binatang rhodentia. Pada


percobaan ini ditemukan bahwa jika kadar estrogen rendah di sirkulasi

perifer, kadar hormon gonadotropin meningkat ( Fachlevy, 2011).

Peningkatan kadar hormon gonadrotopin ini ternyata berhubungan

dengan makin bertambah besarnya tumor ovarium pada binatang

tersebut. Walaupun teori ini telah mencoba menjelaskan pengaruh

peningkatan hormon gonadrotopin terhadap kanker ovarium (Fachlevy,

2011). Menarche di usia dini <12 tahun meningkatkan faktor resiko

kanker ovarium. Menstruasi yang terjadi pada saat pertama kali

merupakan pertanda bahwa seorang remaja sedang mengalami

pubertas. Pada masa ini, kadar luteizing hormone (LH) dan follicle

stimulating hormone (FSH) akan meningkat sehingga merangsang

pembentukan hormone seksual (siringo, 2012).

4. Riwayat Keluarga

Kanker ovarium memiliki kecenderungan agregasi familial, kerabat

perempuan dengan riwayat kanker ovarium, kejadian berisiko tinggi

daripada populasi umum. Dengan demikian, riwayat keluarga kanker

merupakan faktor risiko untuk kanker ovarium (Anonim, 2014). Riwayat

adanya keluarga yang menderita kanker ovarium meningkatkan 14

resiko terjadinya kanker serupa pada anggota keluarga yang lain. Resiko

kanker ovarium adalah 1,6 % pada keseluruhan populasi. Resiko

meningkat menjadi 4 sampai 5 % apabila anggota keluarga derajat 1 (ibu

atau saudara kandung) terkena kanker ovarium. Resiko meningkat

menjadi 7%, bila ada 2 anggota keluarga yang menderita kanker

ovarium (Fauzan, 2009).


Adanya riwayat keluarga yang pernah menderita kanker ovarium

atau kanker payudara merupakan salah satu penyebab terjadinya

kanker ovarium pada seorang wanita. Dimana terdapat peningkatan

risiko keganasan pada wanita yang keluarganya menderita kanker

ovarium (Fachlevy, 2011).

Pengaruh riwayat keluarga secara teori dan beberapa penelitian telah

membuktikan bahwa riwayat keluarga merupakan determinan dari

kanker ovarium. Beberapa studi genetik mengungkapkan bahwa adanya

riwayat keluarga yang menderita kanker ovarium atau kanker payudara

telah menyebabkan terjadinya mutasi pada gen BRCA 1 dan BRCA 2. Gen

BRCA 1 dan BRCA 2 merupakan gen yang memiliki fungsi untuk

mendeteksi terjadinya kerusakan dalam untai ganda DNA sel,

mekanisme kerjanya adalah berikatan dengan protein RAD51 selama

perbaikan untai ganda DNA, dimana gen ini mengadakan perbaikan

didalam inti sel, rekombinasi ini menyesuaikan dengan kromosom dari

sel induk, sehingga kerusakan pada gen ini menyebabkan tidak

terdeteksinya kerusakan gen didalam sel dan sel yang mengalami mutasi

tidak dapat 15 diperbaiki sehingga tumbuh sel yang bersifat ganas yang

berpoliferasi manjadi jaringan kanker.

5. Infertilitas

Infertilitas adalah ketidakmampuan untuk hamil selama 12 bulan

hubungan seksual yang sering tanpa kontrasepsi. Wanita yang tidak

pernah memiliki anak, memiliki infertilitas dijelaskan (ketidakmampuan

untuk melahirkan anak), tidak pernah menggunakan pil KB, atau


memiliki anak pertama mereka setelah usia 30 memiliki peningkatan

risiko kanker ovarium (Anonim, 2013).

6. Faktor hormonal

Penggunaan hormon eksogen pada terapi gejala menopause

berhubungan dengan peningkatan risiko insiden meupun tingkat

mortalitas kanker ovarium. Beberapa literatur menunjukkan

penggunaan terapi sulih hormon jangka panjang (> 5-10 tahun)

mengakibatkan peningkatan risiko kanker ovarium. Peningkatan risiko

secara kanker ovarium yang spesifik terlihat pada wanita pengguna

hormon estrogen tanpa disertai progesteron (Anonim, 2014).

Pemakaian terapi hormon pengganti pada masa menopause dengan

estrogen selama 10 tahun meningkatkan resiko relatif 2,2. Pemakaian

selama 20 tahun atau lebih meningkatkan resiko relatif 16 menjadi 3,2.

Pemakaian terapi ini disertai dengan pemberian progestin masih

meningkatkan resiko relatif menjadi 1,5 (Fauzan, 2009).


2.2.4 Pathway Ca Ovarium

Mutagen, makanan,
wanita mandul, Inkusi epitel stroma Kista
primipara tua > 45
tahun, genetik
Rangsangan hormone
estrogen meningkat

Proliferasi kista

Terapi radiasi Maligna Metastase jar sekitar

Efek samping Pembesaran massa Penurunan fungsi


organ

Kerusakan sel sekitar, Kompresi serabut


rambut rontok, penurunan saraf Ketidakefektifan
hemotopoetik, anemia, pola seksualitas
penurunan produksi
eritrosit Nyeri akut

Penurunan motilitas usus Status kesehatan menurun Ketidakefektifan perfusi


jaringan perifer

Peristaltic menurun Risiko perdarahan

Konstipasi
Koping individu tidak Gangguan citra tubuh
efektif

Ansietas
2.2.5 Tanda Dan Gejala Kanker Ovarium

Gejala kanker ovarium bisa berupa rasa tidak nyaman yang samarsamar

pada perut bagian bawah. Ovarium yang membesar pada wanita pasca

menopause bisa juga menjadi pertanda awal dari kanker ovarium. Hal ini di

sebabkan oleh terkumpulnya cairan dalam perut. Saat itu, penderita mungkin

akan merasakan nyeri pada panggul, anemia, dan berat badan yang

menurun. Terkadang, kanker ovarium melepaskan hormon yang

menyebabkan pertumbuhan berlebih pada lapisan rahim, pembesaran

payudara, dan peningkatan perumbuhan rambut (Pratyitno, 2014).

Kebanyakan wanita dengan kanker ovarium tidak menimbulkan gejala dalam

waktu yang lama. Gejala umumnya sangat bervariasi dan tidak spesifik. Pada

stadium awal gejalanya dapat berupa :

1. Jika sudah menekan rektum atau kandung kemih mungkin terjadi

konstipasi atau sering berkemih.

2. Dapat terjadi peregangan atau penekanan daerah panggul yang

menyebabkan nyeri spontan dan sakit diperut. c. Nyeri saat bersenggama.

3. Nyeri saat bersenggama.

Pada stadium lanjut gejalanya dapat berupa :

1. Asites (penimbunan cairan dalam rongga perut).

2. Penyebaran ke omentum (lemak perut) serta organ-organ di dalam

rongga perut (usus dan hati).

3. Perut membuncit, kembung, mual, gangguan nafsu makan.


4. Gangguan buang air besar dan kecil.

5. Sesak nafas akibat penumpukan cairan di rongga dada ( Chyntia, 2009).

2.2.6 Stadium Kanker Ovarium

Berikut merupakan stadium kanker ovarium berdasarkan International

Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) 2014. Tabel 1. Stadium

Kanker Ovarium (FIGO, 2014)

Stadium I : Tumor terbatas pada ovarium


IA Tumor terbatas pada 1 ovarium, kapsul utuh, tidak ada pertumbuhan di
permukaan luar, negative washing
IB Pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium, kapsul intak, tidak ada tumor di
permukaan luar
IC Tumor terbatas pada 1 atau 2 ovarium
IC1 surgical spill
IC2 kapsul pecah sebelum pembedahan atau tumor pada permukaan ovarium
1C3 Asites berisi sel ganas atau bilasan peritoneum positif (peritoneal washing)
Stadium II : Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke panggul
(di bawah pelvic brim) atau kanker peritoneal primer
II A Perluasan dan/atau metastasis ke uterus dan/atau tuba falopi
II B Perluasan ke jaringan pelvis intraperitoneal
Stadium III : Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implan di peritoneum di
luar pelvis dan/atau kgb (kelenjar getah bening) retroperitoneal atau inguinal positif
IIIA Kgb retroperitoneal positif dan/atau metastasis mikrokopik melewati pelvis
III A Hanya kgb retroperitoneal yang positif
Metastasis ≤ 10 mm
Metastasis > 10 mm
IIIB Makroskopik, ekstrapelvis, metastasis peritoneal ≤ 2 cm ± kgb
retroperitoneal positif, perluasan sampai ke kapsul hepar/spleen.
IIIC Makroskopik, ekstrapelvis, metastasis peritoneal > 2 cm ± kgb
retroperitoneal positif, perluasan sampai ke kapsul hepar/spleen.
Stadium IV : Metastasis jauh tidak termasuk metastasi peritoneal
IVA Efusi pleura dengan hasil sitologi positif IVB
IVB Metastasis parenkim hepar dan/atau spleen, metastasis ke organ ekstra-
abdominal (termasuk kgb inguinal dan kgb diluar kavitas abdominal)
2.2.7 Diagnosis Kanker Ovarium

Diagnosis kanker ovarium dilakukan pertama kali dengan anamnesa dan

pemeriksaan fisik ginekologi meliputi pemeriksaan pelvik dan rektal

(Nurlailiyani, 2013). Diagnosis pasti dilakukan dengan tindakan laparotomi

eksplorasi. Pemeriksaan pembantu yang dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosis antara lain :

1. Laparoskopi Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui letak kanker di

ovarium atau tidak. Selain itu untuk mengetahui sifat-sifat tumor

tersebut (Nurlailiyani, 2013)

2. Ultrasonografi (USG) Pemakaian USG transvaginal dapat meningkatkan

diagnosis karena mampu untuk menunjukkan morfologi tumor ovarium

secara tegas baik tumor kistik maupun tumor padat. Morfologi tumor

ovarium yang diperiksa terdiri dari tiga kategori, yaitu volume tumor,

struktur dinding tumor, dan struktur septum tumor. Penggunaan USG

transvaginal color Doppler dapat membedakan antara tumor jinak

dengan tumor ganas. Analisis gelombang suara Doppler (resistance

index atau RI, pulsality index atau PI, dan velocity) dapat menunjukkan

keganasan apabila RI <0,04 (Prawirohardjo, 2010).

3. Pemeriksaan Tumor Markers Pemeriksaan penanda tumor CA 125

(Cancer Antigen 125) dilakukan dengan memeriksa antigen yang

dihasilkan oleh epitel coelom dan epitel amnion. Permukaan epitel

ovarium akan menghasilkan CA 125 bila terdapat kista inklusi,

metaplasia permukaan epitel, dan pertumbuhan papiler. Kadar normal


CA 125 yang disepakati adalah 35 U/ml. Akan tetapi, pemeriksaan 23

kadar CA 125 memiliki spesifisitas dan positive predictive value yang

rendah karena pada kanker lain (kanker pankreas, kanker mammae,

kanker kandung kemih, kanker hati, kanker paru) kadar CA 125 juga

meningkat (Prawirohardjo, 2010).

4. Computed Tomography Scanning (CT-Scan) Pemeriksaan menggunakan

CT-scan untuk diagnosis sangat bermanfaat. Melalui pemeriksaan ini

dapat diketahui ukuran tumor primer, adanya metastasis ke hepar dan

kelenjar getah bening, asites, dan penyebaran ke dinding perut. Akan

tetapi, CT-scan kuang disenangi karena memiliki risiko radiasi, reaksi

alergi terhadap zat kontras, kurang tegas dalam membedakan tumor

kistik dengan tumor padat, dan biayanya yang mahal (Prawirohardjo,

2010).

5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan menggunakan MRI

tidak lebih baik dalam hal diagnostik, penjalaran, dan lokasi tumor di

abdomen atau pelvis. Penggunaan CT-scan lebih banyak dianjurkan

(Prawirohardjo, 2010).

2.2.8 Pencegahan

Untuk menurunkan risiko keganasan kanker ovarium, beberapa kaum

wanita menggunakan pil KB. Risiko terjadinya kanker ovarium pada mereka

labih kecil karena kanker ovarium terjadi jika ovarium aktif dan mengalami

pertumbuhan folikel. Dengan mengunakan kontrasepsi hormonal, terutama


pil KB, proses pada ovarium ditekan sehingga risiko terjadi keganasan pada

ovarium akan menurun.

Selain itu, faktor genetik juga berpengaruh. Ada sebagian wanita yang

secara genetik memiliki kecendrungan lebih besar menderita kanker. Oleh

karena itu, penting bagi anda untuk memeriksakan riwayat kesehatan

keluarga untuk mengetahui siapa saja yang pernah menderita kanker, Anda

harus lebih selektif memilih makanan yang sehat, lebih teratur berolahraga,

jangan merokok, dan hindari benda diantara para perokok (Nurcahyo, 2010).

Kesehatan merupakan salah satu rahmat dan karunia Allah yang besar

yang diberikan kepada umat manusia, karena kesehatan adalah modal

pertama dan utama dalam kehidupan manusia. Tanpa kesehatan manusia

tidak dapat melakukan kegiatan yang menjadi tugas serta kewajibannya yang

menyangkut kepentingan diri sendiri, keluarga dalam masyarakat maupun

tugas dan kewajiban melaksanakan ibadah kepada Allah. Untuk mencegah

timbulnya kanker, dapat mmelakukan pola hidup sehat. Namun, pencegahan

yang dilakukan juga tergantung pada jenis kankernya. Ada kanker yang dapat

dicegah, ada pula yang tidak. Kanker yang berasal dari sisa-sisa sel embrio

tidak dapat dicegah kerena sudah ada sejak lahir. Namun, timbulnya jenis

kanker lain sebenarnya dapat dicegah termasuk pada orang yang memiliki

bakat kanker. Caranya tak lain adalah dengan menjalani pola hidup sehat,

seperti pola makan yang baik dan berolahraga secara teratur (Chyntia, 2009).

Berbagai usaha dan pola pencegahan secara dini yaitu:

1. Lebih banyak konsumsi sayur dan buah


Sayur dan buah mengandung banyak vitamin dan mineral yang

dibutuhkan tubuh di masa pemulihan setelah masa pengobatan

berlangsung. Terutama untuk meningkatkan stamina tubuh dan

menetralisir dampak bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh selama

masa pengobatan ( Chyntia, 2009).

2. Mengatur asupan daging

Mengatur porsi asupan daging, yaitu mengkonsumsi lebih sering dalam

porsi kecil. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah, makanlah

menu daging secara perlahan-lahan (dikunyah dengan baik). Aktivitas ini

penting untuk menghindari proses pencernaan daging dalam jumlah

banyak secara cepat. Kondisi tersebut cenderung memicu produksi

hormon yang justru menghambat proses pemulihan.

3. Makanan ber-GI rendah

GI atau glycemic index, adalah takaran yang menunjukkan tinggi atau

rendahnya kadar glukosa di dalam makanan. Saat menjalani proses

pengobatan kista, sangat disarankan mengkonsumsi makanan berkadar

glukosa rendah, seperti biji-bijian, dan kacang-kacangan

4. Minum air putih

Selain jenis makanan tersebut di atas, konsumsilah air putih secara rutin.

Minimalkan, atau bahkan hindari minuman berkafein dan beralkohol,

serta batasi konsumsi makanan berkadar gula tinggi.

5. Tidur secara teratur

Tidak disangsikan lagi bahwa tidur secara teratur dan cukup memberi

dampak kesehatan yang memadai, sebab semua jenis saraf, kelancaran


aliran darah dan pertumbuhan sel serta hormon tubuh terkait dengan

faktor bekerja dan istirahatnya organ tubuh.

2.2.9 Penatalaksanaan Kanker Ovarium

1. Pembedahan

Penatalaksanaan pertama tumor ovarium adalah pembedahan.

Tindakan pembedahan selain bertujuan untuk diagnosis

(jinak/ganas, jenis sel tumor), juga bertujuan untuk terapi yaitu

pengangkatan tumor dan juga penetapan stadium (surgical

staging). Prosedur pembedahan pada tumor ovarium yang curiga

keganasan yaitu sebagai berikut:

a. Insisi media

b. Sitology cairan peritoneum atau bilasan rongga peritoneum

c. Eksplorasi rongga peritoneum, biposi daerah yang

mencurigakan

d. Salpingooovorektomi (potong beku)

e. Salpingooovorektomi kontralateral

f. Histerektomi totalis

g. Omentektomi totalis

h. Limfadenektomi pelvik kiri-kanan dan para-aorta

i. Biopsy peritoneum (paravesikal, parakolika kiri-kanan,

subdiafraghma, kavum douglas dan daerah perlengketan

tumor)
j. Eksisi lesi tumor-tumor metastasis

2. Kemoterapi
Kemoterapi kombinasi diperlukan untuk stadium 1c atau lebih
dengan kombinasi dasar cisplatin dan taxan sebagai kemoterapi
primer. Radioterapi hanya diberikan pada jenis disgerminoma
(pengangkatan ovarium dan tuba fallopi) dan penderita tidak lagi
menginginkan anak.
2.3 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

A.

1. Pengkajian Keperawatan

a. Identitas

Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa,


pendidikan, bahasa yang digunakan, pekerjaan, alamat.

b. Riwayat penyakit

1) Keluhan utama

a) Nyeri (Jenis, Intensitas, waktu, durasi, daerah yang


menyebabkan nyeri bertambah, atau berkurang), hubungan
nyeri dengan menstruasi, seksualitas, fungsi urinaria, dan
gastrointestinal.

b) Perdarahan (pada saat kehamilan, setelah menopause,


karakteristik, faktor pencetus, jumlah, warna, konsistensi).
Pengeluaran cairan/secret melalui vagina (iritasi, gatal, nyeri,
jumlah, warna, konsistensi).

c) Masa (pada mamae, karekterisrik, hubungannya dengan


menstruasi, kekenyalan, ukuran, nyeri dan pembesaran limfe)

2) Keluhan fungsi reproduksi


a) Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah dialamai masa anak-anak, penyakit
kronis pada masa dewasa, riwayat infertilitas, penyakit
gangguan metabolisme/nutrisi, penggunaan obat-obatan radiasi
yang lama, peradangan panggul, rupture appendik peritonitis.
b) Riwayat penyakit sekarang
Pengembangan dari pengkajian PQRST
c) Riwayat penyakit keluarga
DM, kardiovaskuler, kehamilan kembar, kanker, gangguan
genetik, kongenital.
d) Riwayat reproduksi
Siklus haid, durasi haid
e) Riwayat obstetric
Kehamilan, persalinan, nifas, hamil
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Lemah, tekanan darah, nadi, pernapasan
1) Kepala : Dilihat kebersihan, bentuk, adakah oedem atau
tidak.
2) Mata: ada tidaknya anemis anemis, ikterus, reflek cahaya.
3) Hidung: ada tidak ada pernafasan cuping.
4) Mulut: Kebersihan
5) Telinga: ada tidaknya serumen.
6) Leher: ada tidak nya pembesaran kelenjar.
7) Jantung: Denyut jantung
8) Ekstremitas: Adakah luka pada ekstremitas.
9) Integumen
10) Genetalia eksterna : inpeksi dan palpasi dengan posisi litotomi
bertujuan mengkaji kesesuaian umur dengan perkembangan
sistem reproduksi, kondisi rambut pada simpisis pubis dan vulva,
kulit dan mukosa vulva, tanda-tanda peradangan, bengkak dan
pengeluaran cairan vagina.
11) Pemeriksan abdomen : adanya masa abdominopelvic
12) Pelvis : dengan mengunakan spekulum dilakukan inpeksi servik
yaitu warna, bentuk, dilatasi servik, erosi, nodul, masa, cairan
pervaginam, perdarahan, lesi atau luka. Setelah spekulum dilepas
dapat dilakukan pemeriksaan bimanual yaitu : memasukan dua
jari kedalam vagina untuk pemeriksaan dinding posterior vagina
(adanya masa, ukuran, bentuk, konsistensi, mobilitas uterus,
mobilitas ovarium, adneksa).
13) Pemeriksaan rectum dan rekto vagina

d. Riwayat psikososial
1) Oksigenasi
2) Nutrisi dan cairan : kaji frekuensi makan, nafsu makan, jenis
makanan rumah, makanan yang tidak disukai.
3) Eliminasi : kaji pola BAK (frekuensi, warna, keluhan saat BAK),
pola BAB (frekuensi, warna, keluhan saat BAB).
4) Termoregulasi
5) Aktivitas dan latihan
6) Seksualitas
7) Psikososial (stress, koping, dan konsep diri)
8) Rasa aman dan nyaman
9) Spiritual
10) Hygiene : kaji oral hygiene, kebersihan rambut, kebersihan tubuh
11) Istirahat tidur : Kaji lama tidur, kebiasaan sebelum tidur, keluhan
saat tidur.
12) Aktualisasi diri
13) Rekreasi
14) Kebutuhan belajar

e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
1) Pemeriksan darah lengkap
2) Pemeriksaan kimia darah
3) Serum HCG
4) Alfa fetoprotein
5) Analisa air kemih
6) Pemeriksaan saluran pencernaan
7) Laparatomi
8) CT scan atau MRI perut.
9) Pemeriksaan panggul. Selama pemeriksaan panggul, dokter
dengan hati-hati memeriksa bagian luar alat kelamin terkena
(vulva), dan kemudian memasukkan dua jari dari satu tangan ke
dalam vagina dan sekaligus menekan sisi lain di perut untuk
merasakan rahim dan ovarium. Pemeriksaan ini menggunakan
sebuah alat yang disebut spekulum yang dimasukkan ke dalam
vagina. Spekulum vagina terbuka sehingga dokter secara visual
dapat memeriksa vagina dan leher rahim untuk kelainan.
10) USG menggunakan frekuensi tinggi gelombang suara untuk
menghasilkan gambar dari bagian dalam tubuh. USG membantu
dokter menyelidiki ukuran, bentuk dan konfigurasi ovarium. Untuk
membuat gambar dari ovarium, dokter mungkin memasukkan
penyelidikan USG ke dalam vagina Anda. Prosedur ini disebut USG
transvaginal. Pencitraan USG dapat membuat gambar dari
struktur dekat ovarium, seperti rahim anda.
11) Pembedahan untuk mengangkat contoh jaringan untuk pengujian.
Jika tes lain menyarankan mungkin memiliki kanker ovarium,
dokter dapat merekomendasikan operasi untuk mengkonfirmasi
diagnosis. Selama operasi, seorang ahli onkologi ginekologi
membuat sayatan di perut dan mengesplorasi rongga perut untuk
mendeteksi adanya kanker. Ahli bedah dapat mengumpulkan
sampel cairan perut dan menghapus ovarium untuk pemeriksaan
oleh seorang ahli patologi. Jika kanker ditemukan, ahli bedah
segera mungkin mulai operasi untuk menghapus sebanyak
mungkin kanker. Dalam beberapa kasus, ahli bedah dapat
membuat beberapa sayatan kecil di perut Anda dan masukkan
alat-alat bedah khusus dan sebuah kamera kecil, sehingga
prosedur tidak akan memerlukan sayatan yang lebih besar.
12) CA 125 tes darah. CA 125 adalah protein yang ditemukan pada
permukaan sel kanker ovarium dan beberapa jaringan sehat.
Banyak wanita dengan kanker ovarium memiliki tingkat abnormal
tinggi CA 125 dalam darah mereka. Namun, sejumlah kondisi non-
kanker juga menyebabkan peningkatan kadar CA 125, dan banyak
perempuan dengan stadium awal kanker ovarium yang normal
memiliki kadar CA 125. Untuk alasan ini, tes CA 125 tidak biasanya
digunakan untuk mendiagnosa atau ke layar untuk kanker
ovarium, tetapi dapat digunakan untuk memantau bagaimana
perawatan Anda maju.

2. Diagnose Keperawatan yang Mungkin Muncul (NANDA 2015)


a. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan perut bagian bawah
akibat kanker metastasis
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan produksi darah (anemia)
c. Ansietas berhubungan dengan stres akibat kurangnya pengetahuan
tentang penyakit dan penatalaksanaannya
d. Risiko perdarahan berhubungan dengan penurunan volume darah
(anemia, tromositopeni, kemoterapi)
e. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembedahan, terapi
penyakit kanker (terapi radiasi)
f. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus
gastrointestinal
3. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan - Comfort level Pain Management
dengan penekanan - Pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri
perut bagian bawah - Pain level secara komprehensif
akibat kanker Setelah dilakukan termasuk lokasi,
metastasis tindakan keperawatan karakteristik, durasi,
selama …. nyeri akut frekuensi, kualitas dan
pasien berkurang dengan faktor presipitasi
kriteria hasil: 2. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi
1. Tidak ada gangguan
nyeri seperti suhu
tidur
ruangan, pencahayaan
2. Tidak ada gangguan
dan kebisingan
konsentrasi
3. Ajarkan tentang teknik
3. Tidak ada gangguan
non farmakologi: napas
hubungan
dala, relaksasi, distraksi,
interpersonal
kompres hangat/ dingin
4. Tidak ada ekspresi
4. Berikan analgetik untuk
menahan nyeri dan
mengurangi nyeri: ……...
ungkapan secara
5. Tingkatkan istirahat
verbal
6. Berikan informasi
5. Tidak ada tegangan
tentang nyeri seperti
otot
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur
7. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
2. Ketidakefektifan NOC : NIC :
perfusi jaringan Circulation status Peripheral Sensation
perifer Prefusion cerebral Management (Manajemen
berhubungan sensasi perifer)
dengan penurunan Setelah dilakukan 1. Monitor adanya daerah
produksi darah tindakan keperawatan tertentu yang hanya peka
(anemia) selama …. Perfusi jaringan terhadap
perifer pasien efektif panas/dingin/tajam/tump
dengan kriteria hasil : ul
2. Monitor adanya paretese
1. Mendemonstrasikan
3. Instruksikan keluarga
status sirkulasi yang
untuk mengobservasi
ditandai dengan :
kulit jika ada lsi atau
a. Tekanan systole
laserasi
dan diastole
4. Gunakan sarung tangan
dalam rentang
untuk proteksi
yang diharapkan
5. Batasi gerakan pada
b. Tidak ada
kepala, leher dan
ortostatik
punggung
hipertensi
6. Monitor kemampuan
c. Tidak ada tanda
BAB
tanda peningkatan
7. Kolaborasi pemberian
tekanan
analgetik
intrakranial (tidak
8. Monitor adanya
lebih dari 15
tromboplebitis
mmHg)
9. Diskusikan menganai
2. Mendemonstrasikan
penyebab perubahan
kemampuan kognitif
sensasi
yang ditandai
dengan:
a. Berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai dengan
kemampuan
b. Menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
c. Memproses
informasi
d. Membuat
keputusan dengan
benar
3. Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh : tingkat
kesadaran mambaik,
tidak ada gerakan
gerakan involunter
3. Ansietas NOC : NIC :
berhubungan Anxiety Control Anxiety Reduction
dengan stres akibat Setelah dilakukan asuhan (penurunan kecemasan)
kurangnya selama ……………klien 1. Berikan informasi

pengetahuan kecemasan teratasi dgn faktual mengenai


diagnosis, tindakan
tentang penyakit kriteria hasil:
1. Klien mampu prognosis
dan
2. Libatkan keluarga untuk
penatalaksanaannya mengidentifikasi dan
mendampingi klien
mengungkapkan
3. Instruksikan pada pasien
gejala cemas
2. Mengidentifikasi, untuk menggunakan
mengungkapkan dan tehnik relaksasi.
menunjukkan tehnik 4. Dengarkan dengan

untuk mengontol penuh perhatian.

cemas 5. Identifikasi tingkat


kecemasan.
3. Vital sign dalam batas
6. Dorong pasien untuk
normal
mengungkapkan
4. Postur tubuh,
perasaan, ketakutan,
ekspresi wajah,
persepsi.
bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan

4. Risiko perdarahan NOC : NIC :


berhubungan - Blood lose severity Bleeding precautions
dengan penurunan - Blood koagulation 1. Monitor ketat tanda-
volume darah Setelah dilakukan tanda perdarahan
(anemia, tindakan keperawatan 2. Catat nilai Hb dan HT
tromositopeni, selama …. Tidak ada sebelum dan sesudah
kemoterapi) perdarahan pada pasien terjadinya perdarahan
dengan kriteria hasil: 3. Monitor nilai lab
(koagulasi) yang meliputi
1. Tidak ada hematuria
PT, PTT, Trombosit
dan hemaremesis
4. Monitor TTV ortostatik
2. Tidak ada kehilangan 5. Kolaborasi dalam
darah yang terlihat pemberian produk darah
6. Lindungi pasien dari
3. Tekanan darah dalam trauma yang dapat
batas normal (sistol menyebabkan
dan diastole) perdarahan
7. Anjurkan pasien untuk
4. Tidak ada perdarahan
meningkatkan intake
pervagina
makanan yang banyak
5. Tidak ada distensi mengandung vitamin K
abdominal 8. Hindari terjadinya
konstipasi dengan
6. Hemoglobin dan
menganjurkan untuk
hematocrit dalam
mempertahankan intake
batas normal
cairan yang adekuat dan
7. Plasma, PT, PTT dalam pelembut feses
batas normal

5. Gangguan citra NOC : NIC :


tubuh berhubungan - Body Image enchancement
Body Image
dengan - Self esteem 1. Kaji secara verbal dan

pembedahan, terapi Setelah dilakukan asuhan non verbal respon klien

penyakit kanker keperawatan selama terhadap tubuhnya


.......... diharapkan pasien 2. Monitor frekuensi
(terapi radiasi)
tidak mengalami mengkritik dirinya
gangguan citra tubuh
3. Jelaskan tentang
dengan kriteria hasil:
pengobatan, perawatan,
1. Body image positif
kemajuan dan prognosis
2. Mampu
mengidentifikasi penyakit
kekuatan personal 4. Dorong klien
3. Mendeskripsikan mengungkapkan
secara faktual
perubahan fungsi perasaannya
tubuh 5. Identifikasi arti
4. Mempertahankan pengurangan melalui
interaksi sosial
pemakaian alat bantu
6. Fasilitasi kontak dengan
individu lain dalam
kelompok kecil
6. Konstipasi NOC : NIC :
berhubungan - Bowel elimination Constipation/Impaction
dengan penurunan - Hydration Management
motilitas traktus Setelah dilakukan 1. Monitor tanda dan
gastrointestinal tindakan keperawatan gejala konstipasi
selama …. Pasien tidak 2. Monitor bising usus
mengalami konstipasi 3. Monitor feses,
dengan kriteria hasil: frekuensi, konsistensi
dan volume
1. Mempertahankan
4. Dukung intake cairan
bentuk feses lunak
5. Kolaborasi pemberian
setiap 1-3 hari
laksatif
2. Bebas dari 6. Pantau tanda-tanda dan
ketidaknyamanan dan gejala konstipasi
konstipasi

7.
3. Mengidentifikasi
indicator untuk
mencegah konstipasi

4. Feses lunak dan


berbentuk

Anda mungkin juga menyukai