ANTI KORUPSI
OLEH
KUPANG
2020
A. KASUS GAYUS TAMBUNAN
Kronologis Kasus Gayus Tambunan
Berawal tudingan Mantan Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Susno Duadji tentang
adanya praktek mafia hukum di tubuh Polri dalam penanganan kasus money laundring oknum
pegawai pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan yang merembet kepada Kejaksaan Agung
dan Tim Jaksa Peneliti, Tim Jaksa Peneliti akhirnya bersuara mengungkap kronologis
penanganan kasus Gayus H. Tambunan. Berikut ini kronologis penanganan kasus Gayus H.
Tambunan menurut Tim Peneliti Kejaksaan Agung.
Kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) terhadap rekening milik Gayus H. Tambunan di Bank Panin. Polri kemudian
melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim
Mabes Polri menetapkan Gayus H. Tambunan sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri kepada kejaksaan, Gayus H. Tambunan
dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Hal
ini karena Gayus H. Tambunan adalah seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar
di Bank Panin.
Hasil penelitian jaksa menyebutkan bahwa hanya terdapat satu pasal yang terbukti
terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapan namun hal ini
tidak terkait dengan uang senilai Rp. 25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri. Untuk
korupsi terkait dana Rp.25 milliar tidak dapat dibuktikan karena dalam penelitian ternyata uang
tersebut merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Andi Kosasih adalah
pengusaha garmen asal Batam yang mengaku pemilik uang senilai hampir Rp. 25 miliar di
rekening Bank Panin milik Gayus H. Tambunan. Hal ini didukung dengan adanya perjanjian
tertulis antara terdakwa (Gayus H. Tambunan) dan Andi Kosasih yang ditandatangani tanggal
25 Mei 2008.
Menurut Cirrus Sinaga selaku anggota Tim Jaksa Peneliti kasus Gayus, Gayus H.
Tambunan dan Andi Kosasih awalnya berkenalan di pesawat. Kemudian keduanya berteman
karena merasa sama-sama besar, tinggal dan lahir di Jakarta Utara. Karena pertemanan
keduanyalah Andi Kosasih meminta Gayus H. Tambunan mencarikan tanah dua hektar untuk
membangun ruko di kawasan Jakarta Utara. Biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan tanah
tersebut sebesar US$ 6 juta. Namun Andi Kosasih baru menyerahkan uang sebesar US$
2.810.000. Andi menyerahkan uang tersebut kepada Gayus melalui transaksi tunai di rumah
orang tua istri Gayus lengkap dengan kwitansinya, sebanyak enam kali yaitu pada tanggal 1
Juni 2008 sebesar US$ 900.000, tanggal 15 September 2008 sebesar US$ 650.000, tanggal 27
Oktober 2008 sebesar US$ 260.000, tanggal 10 November 2008 sebesar US$ 200.000, tanggal
10 Desember 2008 sebesar US$ 500.000, dan terakhir pada tanggal 16 Februari 2009 sebesar
US$ 300.000. Andi Kosasih menyerahkan uang tersebut karena dia percaya kepada Gayus H.
Tambunan.
Menurut Cirrus Sinaga, dugaan money laundring hanya tetap menjadi dugaan karena
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sama sekali tidak dapat
membuktikan uang senilai Rp. 25 milliar tersebut merupakan uang hasil kejahatan pencucian
uang (money laundring). PPATK telah dihadirkan dalam kasus tersebut sebagai saksi. Dalam
proses perkara, PPATK tidak bisa membuktikan transfer rekening yang diduga tindak pidana.
Dari perkembangan proses penyidikan kasus tersebut, ditemukan juga adanya aliran
dana senilai Rp 370 juta di rekening lainnya di Bank BCA milik Gayus H. Tambunan. Uang
tersebut diketahui berasal dari dua transaksi yaitu dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. PT.
Mega Cipta Jaya Garmindo adalah perusahaan milik pengusaha Korea, Mr. Son dan bergerak
di bidang garmen. Transaksi dilakukan dalam dua tahap yaitu pada tanggal 1 September 2007
sebesar Rp. 170 juta dan 2 Agustus 2008 sebesar Rp. 200 juta.
Setelah diteliti dan disidik, uang senilai Rp.370 juta tersebut diketahui bukan
merupakan korupsi dan money laundring tetapi penggelapan pajak murni. Uang tersebut
dimaksudkan untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi.
Namun demikian, setelah dicek, pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak diketahui berada di
mana. Uang tersebut masuk ke rekening Gayus H. Tambunan tetapi ternyata Gayus tidak urus
pajaknya. Uang tersebut tidak digunakan oleh Gayus dan tidak dikembalikan kepada Mr. Son
sehingga hanya diam di rekening Gayus. Berkas P-19 dengan petujuk jaksa untuk memblokir
dan kemudian menyita uang senilai Rp 370 juta tersebut. Dalam petunjuknya, jaksa peneliti
juga meminta penyidik Polri menguraikan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) keterangan
tersebut beserta keterangan tersangka (Gayus H. Tambunan).
Dugaan penggelapan yang dilakukan Gayus diungkapkan Cirrus Sinaga secara terpisah
dan berbeda dasar penanganannya dengan penanganan kasus money laundring, penggelapan
dan korupsi senilai Rp. 25 milliar yang semula dituduhkan kepada Gayus. Cirrus dan jaksa
peneliti lain tidak menyinggung soal Rp 25. milliar lainnya dari transaksi Roberto Santonius,
seorang konsultan pajak. Kejaksaan pun tak menyinggung apakah mereka pernah
memerintahkan penyidik Polri untuk memblokir dan menyita uang dari Roberto ke rekening
Gayus senilai Rp 25 milyar itu.
Sebelumnya, penyidik Polri melalui AKBP Margiani, dalam keterangan persnya
mengungkapkan bahwa jaksa peneliti dalam petunjuknya (P-19) berkas Gayus memerintahkan
penyidik untuk menyita besaran tiga transaksi mencurigakan di rekening Gayus. Adapun tiga
transaksi itu diketahui berasal dari dua pihak, yaitu Roberto Santonius dan PT. Mega Jaya Citra
Termindo. Transaksi yang berasal dari Roberto, yang diketahui sebagai konsultan pajak
bernilai Rp. 25 juta, sedangkan dari PT. Mega Jaya Citra Termindo senilai Rp. 370 juta.
Transaksi itu terjadi pada tanggal 18 Maret, 16 Juni dan 14 Agustus 2009. Uang senilai Rp.
395 juta tersebut disita berdasarkan petunjuk dari jaksa peneliti kasus itu.
Berkas Gayus dilimpahkan ke pengadilan. Jaksa mengajukan tuntutan 1 (satu) tahun
dan masa percobaan 1 (satu) tahun. Dari pemeriksaan atas pegawai Direktorat Jenderal Pajak
itu sebelumnya, beredar kabar bahwa ada "guyuran" sejumlah uang kepada polisi, jaksa,
hingga hakim masing-masing Rp 5 miliar. Diduga gara-gara ‘guyuran’ uang tersebut Gayus
terbebas dari hukuman. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 12 Maret 2010,
Gayus yang hanya dituntut satu tahun percobaan, dijatuhi vonis bebas.
Menurut Yunus Husein, Ketua PPATK, "Mengalirnya uang belum kelihatan kepada
aparat negara atau kepada penegak hukum. Namun anehnya penggelapan ini tidak ada pihak
pengadunya, pasalnya perusahaan ini telah tutup. Sangkaan inilah yang kemudian maju ke
persidangan Pengadilan Negeri Tangerang. Di Pengadilan Negeri Tangerang, Gayus tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan. Hasilnya,
Gayus divonis bebas.”
Sosok Gayus dinilai amat berharga karena ia termasuk saksi kunci dalam kasus dugaan
makelar kasus serta dugaan adanya mafia pajak di Direktorat Jenderal Pajak. Belum diketahui
apakah Gayus melarikan diri lantaran takut atau ada tangan-tangan pihak tertentu yang
membantunya untuk kabur supaya kasus yang membelitnya tidak terbongkar sampai ke
akarnya. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum meyakini kasus Gayus H. Tambunan bukan
hanya soal pidana pengelapan melainkan ada juga pidana korupsi dan pencucian uang.
Gayus diketahui berada di Singapura. Dia meninggalkan Indonesia pada Rabu 24 Maret
2010 melalui Bandara Soekarno-Hatta. Namun dia pernah memberikan keterangan kepada
Satgas kalau praktek yang dia lakukan melibatkan sekurang-kurangnya 10 rekannya. Imigrasi
tidak mengetahui posisi Gayus.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengatakan bahwa kasus markus pajak dengan
aktor utama Gayus H. Tambunan melibatkan sindikasi oknum polisi, jaksa, dan hakim. Satgas
menjamin oknum-oknum tersebut akan ditindak tegas oleh masing-masing institusinya,
koordinasi perkembangan ketiga lembaga tersebut terus dilakukan bersama Satgas. Ketiga
lembaga tersebut sudah berjanji akan melakukan proses internal. Kasus ini merupakan
sindikasi (jaringan) antar berbagai lembaga terkait.
Perkembangan selanjutnya kasus Gayus melibatkan Komjen Susno Duadji, Brigjen
Edmond Ilyas, Brigjen Raja Erisman. Setelah 3 kali menjalani pemeriksaan, Komjen Susno
Duadji menolak diperiksa Propam. Alasannya, dasar aturan pemeriksaan sesuai dengan Pasal
45, 46, 47, dan 48 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Pasal 25 Perpres No. I Tahun 2007 tentang Pengesahan Pengundangan dan
Penyebarluasan Peraturan, harus diundangkan menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan
HAM.
Komisi III DPR menyatakan siap memberi perlindungan hukum untuk Komjen Susno
Duadji. Pada tanggal 30 Maret 2010, polisi telah berhasil mendeteksi posisi keberadaan Gayus
di negara Singapura dan menunggu koordinasi dengan pihak pemerintah Singapura untuk
memulangkan Gayus ke Indonesia. Polri mengaku tidak akan seenaknya melakukan tindakan
terhadap Gayus meski yang bersangkutan telah diketahui keberadaannya di Singapura.
Pada tanggal 31 Maret 2010, Tim Penyidik Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam)
Polri memeriksa tiga orang sekaligus. Selain Gayus H. Tambunan dan Brigjen Edmond Ilyas,
ternyata Brigjen Raja Erisman juga ikut diperiksa. Pemeriksaan dilakukan oleh tiga tim
berbeda. Tim pertama memeriksa berkas lanjutan pemeriksaan Andi Kosasih, tim kedua
memeriksa adanya keterlibatan anggota polri dalam pelanggaran kode etik profesi, dan tim
ketiga menyelidiki keberadaan dan tindak lanjut aliran dana rekening Gayus.
Pada tanggal 7 April 2010, Komisi III DPR mengendus seorang jenderal bintang tiga
di Kepolisian diduga terlibat dalam kasus Gayus H. Tambunan dan seseorang bernama
Syahrial Johan ikut terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang melibatkan Gayus H.
Tambunan, dari Rp. 24 milliar yang digelapkan Gayus, Rp. 11 milliar mengalir kepada pejabat
kepolisian, Rp. 5 milliar kepada pejabat kejaksaan dan Rp. 4 milliar di lingkungan kehakiman,
sedangkan sisanya mengalir kepada para pengacara.
Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menetapkan bahwa selain dilakukan oleh
pembayar pajak (plagen atau dader), tindak pidana pajak dapat melibatkan penyerta
(deelderming) seperti wakil, kuasa atau pegawai pembayar pajak atau pihak lain yang
menyuruh melakukan (doen plegen atau middelijke), yang turut serta melakukan (medeplegen
atau mededader), yang menganjurkan (uitlokker), atau yang membantu melakukan tindak
pidana perpajakan (medeplichtige), Gayus mungkin saja berperan sebagai medeplegen,
uitlokker atau medeplichtige. Hal ini didasarkan pada keterangan Gayus pada Satgas
pemberantasan mafia hukum bahwa dalam melakukan aksinya tersebut Gayus melibatkan
sekurang-kurangnya sepuluh rekannya.
Namun pada kenyataannya, Indikasi tindak pidana perpajakan berupa penggelapan
yang dilakukan oleh Gayus terkait uang dua puluh lima milyar di rekening banknya tidak
terbukti. Hal ini sebagaimana hasil penelitian jaksa yang menyebutkan bahwa hanya terdapat
satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu
penggelapan namun hal ini tidak terkait dengan uang senilai Rp. 25 milliar yang diributkan
PPATK dan Polri. Penggelapan yang dimaksud yaitu adanya aliran dana senilai Rp 370 juta di
rekening Bank BCA milik Gayus H. Tambunan. Uang tersebut diketahui berasal dari dua
transaksi yaitu dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. pada tanggal 1 September 2007 sebesar
Rp. 170 juta dan 2 Agustus 2008 sebesar Rp. 200 juta. Uang tersebut dimaksudkan untuk
membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi. Namun setelah dicek,
pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak diketahui berada di mana. Uang tersebut masuk ke
rekening Gayus H. Tambunan tetapi ternyata Gayus tidak urus pajaknya. Uang tersebut tidak
digunakan oleh Gayus dan tidak dikembalikan kepada Mr. Son sehingga hanya diam di
rekening Gayus. Berdasarkan penelitian dan penyidikan, uang senilai Rp.370 juta tersebut
diketahui bukan merupakan korupsi dan money laundring tetapi penggelapan pajak murni.
Oleh karena itu, kebocoran APBN di sana-sini hampir dipastikan semakin besar
ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Sebab, semua sektor rawan dikorupsi. Hanya, peluang
beberapa pos anggaran lebih terbuka. Di antaranya, pos penganggaran untuk bantuan sosial
dan belanja modal seperti untuk pembangunan infrastruktur. Mengacu pada sejumlah kasus
korupsi yang bisa dibongkar, jika ditotal, kerugian negara memang cukup besar. Sebut saja
kasus Nazaruddin di wisma atlet yang merugikan negara sekitar Rp25 miliar. Selain itu, kasus
mafia pajak Gayus Tambunan yang merugikan keuangan negara Rp25 miliar. Jadi, kejahatan
anggaran yang belum terungkap itu sebenarnya masih sangat banyak.
2) Kasus E-KTP
Kasus E-KTP tergolong korupsi jenis perbuatan yang merugikan Negara. Perbuatan
yang merugikan negara, dapat di bagi menjadi dua bagian, yaitu mencari keuntungan
dengan cara melawan hukum dan merugikan negara serta menyalahgunakan jabatan
untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Syaratnya harus ada keuangan
negara yang masih diberikan. Biasanya bentuknya tender, pemberian barang, atau
pembayaran pajak sekian yang dibayar sekian. Kalau ada yang bergerak di sektor
industri alam kehutanan atau pertambangan, itu mereka ada policy tax juga agar mereka
menyetorkan sekali pajak, semua itu kalau terjadi curang nanti bisa masuk ke konteks
ini (kerugian negera-red).