Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

ANTI KORUPSI

OLEH

DELVIANA NOVITA JELITA (1701050003)

SOFIA SETIA (1701050030)

APRIDIANA FERA CIKS (1701050056)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020
A. KASUS GAYUS TAMBUNAN
Kronologis Kasus Gayus Tambunan
Berawal tudingan Mantan Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Susno Duadji tentang
adanya praktek mafia hukum di tubuh Polri dalam penanganan kasus money laundring oknum
pegawai pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan yang merembet kepada Kejaksaan Agung
dan Tim Jaksa Peneliti, Tim Jaksa Peneliti akhirnya bersuara mengungkap kronologis
penanganan kasus Gayus H. Tambunan. Berikut ini kronologis penanganan kasus Gayus H.
Tambunan menurut Tim Peneliti Kejaksaan Agung.
Kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) terhadap rekening milik Gayus H. Tambunan di Bank Panin. Polri kemudian
melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim
Mabes Polri menetapkan Gayus H. Tambunan sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri kepada kejaksaan, Gayus H. Tambunan
dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Hal
ini karena Gayus H. Tambunan adalah seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar
di Bank Panin.
Hasil penelitian jaksa menyebutkan bahwa hanya terdapat satu pasal yang terbukti
terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapan namun hal ini
tidak terkait dengan uang senilai Rp. 25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri. Untuk
korupsi terkait dana Rp.25 milliar tidak dapat dibuktikan karena dalam penelitian ternyata uang
tersebut merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Andi Kosasih adalah
pengusaha garmen asal Batam yang mengaku pemilik uang senilai hampir Rp. 25 miliar di
rekening Bank Panin milik Gayus H. Tambunan. Hal ini didukung dengan adanya perjanjian
tertulis antara terdakwa (Gayus H. Tambunan) dan Andi Kosasih yang ditandatangani tanggal
25 Mei 2008.
Menurut Cirrus Sinaga selaku anggota Tim Jaksa Peneliti kasus Gayus, Gayus H.
Tambunan dan Andi Kosasih awalnya berkenalan di pesawat. Kemudian keduanya berteman
karena merasa sama-sama besar, tinggal dan lahir di Jakarta Utara. Karena pertemanan
keduanyalah Andi Kosasih meminta Gayus H. Tambunan mencarikan tanah dua hektar untuk
membangun ruko di kawasan Jakarta Utara. Biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan tanah
tersebut sebesar US$ 6 juta. Namun Andi Kosasih baru menyerahkan uang sebesar US$
2.810.000. Andi menyerahkan uang tersebut kepada Gayus melalui transaksi tunai di rumah
orang tua istri Gayus lengkap dengan kwitansinya, sebanyak enam kali yaitu pada tanggal 1
Juni 2008 sebesar US$ 900.000, tanggal 15 September 2008 sebesar US$ 650.000, tanggal 27
Oktober 2008 sebesar US$ 260.000, tanggal 10 November 2008 sebesar US$ 200.000, tanggal
10 Desember 2008 sebesar US$ 500.000, dan terakhir pada tanggal 16 Februari 2009 sebesar
US$ 300.000. Andi Kosasih menyerahkan uang tersebut karena dia percaya kepada Gayus H.
Tambunan.
Menurut Cirrus Sinaga, dugaan money laundring hanya tetap menjadi dugaan karena
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sama sekali tidak dapat
membuktikan uang senilai Rp. 25 milliar tersebut merupakan uang hasil kejahatan pencucian
uang (money laundring). PPATK telah dihadirkan dalam kasus tersebut sebagai saksi. Dalam
proses perkara, PPATK tidak bisa membuktikan transfer rekening yang diduga tindak pidana.
Dari perkembangan proses penyidikan kasus tersebut, ditemukan juga adanya aliran
dana senilai Rp 370 juta di rekening lainnya di Bank BCA milik Gayus H. Tambunan. Uang
tersebut diketahui berasal dari dua transaksi yaitu dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. PT.
Mega Cipta Jaya Garmindo adalah perusahaan milik pengusaha Korea, Mr. Son dan bergerak
di bidang garmen. Transaksi dilakukan dalam dua tahap yaitu pada tanggal 1 September 2007
sebesar Rp. 170 juta dan 2 Agustus 2008 sebesar Rp. 200 juta.
Setelah diteliti dan disidik, uang senilai Rp.370 juta tersebut diketahui bukan
merupakan korupsi dan money laundring tetapi penggelapan pajak murni. Uang tersebut
dimaksudkan untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi.
Namun demikian, setelah dicek, pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak diketahui berada di
mana. Uang tersebut masuk ke rekening Gayus H. Tambunan tetapi ternyata Gayus tidak urus
pajaknya. Uang tersebut tidak digunakan oleh Gayus dan tidak dikembalikan kepada Mr. Son
sehingga hanya diam di rekening Gayus. Berkas P-19 dengan petujuk jaksa untuk memblokir
dan kemudian menyita uang senilai Rp 370 juta tersebut. Dalam petunjuknya, jaksa peneliti
juga meminta penyidik Polri menguraikan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) keterangan
tersebut beserta keterangan tersangka (Gayus H. Tambunan).
Dugaan penggelapan yang dilakukan Gayus diungkapkan Cirrus Sinaga secara terpisah
dan berbeda dasar penanganannya dengan penanganan kasus money laundring, penggelapan
dan korupsi senilai Rp. 25 milliar yang semula dituduhkan kepada Gayus. Cirrus dan jaksa
peneliti lain tidak menyinggung soal Rp 25. milliar lainnya dari transaksi Roberto Santonius,
seorang konsultan pajak. Kejaksaan pun tak menyinggung apakah mereka pernah
memerintahkan penyidik Polri untuk memblokir dan menyita uang dari Roberto ke rekening
Gayus senilai Rp 25 milyar itu.
Sebelumnya, penyidik Polri melalui AKBP Margiani, dalam keterangan persnya
mengungkapkan bahwa jaksa peneliti dalam petunjuknya (P-19) berkas Gayus memerintahkan
penyidik untuk menyita besaran tiga transaksi mencurigakan di rekening Gayus. Adapun tiga
transaksi itu diketahui berasal dari dua pihak, yaitu Roberto Santonius dan PT. Mega Jaya Citra
Termindo. Transaksi yang berasal dari Roberto, yang diketahui sebagai konsultan pajak
bernilai Rp. 25 juta, sedangkan dari PT. Mega Jaya Citra Termindo senilai Rp. 370 juta.
Transaksi itu terjadi pada tanggal 18 Maret, 16 Juni dan 14 Agustus 2009. Uang senilai Rp.
395 juta tersebut disita berdasarkan petunjuk dari jaksa peneliti kasus itu.
Berkas Gayus dilimpahkan ke pengadilan. Jaksa mengajukan tuntutan 1 (satu) tahun
dan masa percobaan 1 (satu) tahun. Dari pemeriksaan atas pegawai Direktorat Jenderal Pajak
itu sebelumnya, beredar kabar bahwa ada "guyuran" sejumlah uang kepada polisi, jaksa,
hingga hakim masing-masing Rp 5 miliar. Diduga gara-gara ‘guyuran’ uang tersebut Gayus
terbebas dari hukuman. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 12 Maret 2010,
Gayus yang hanya dituntut satu tahun percobaan, dijatuhi vonis bebas.
Menurut Yunus Husein, Ketua PPATK, "Mengalirnya uang belum kelihatan kepada
aparat negara atau kepada penegak hukum. Namun anehnya penggelapan ini tidak ada pihak
pengadunya, pasalnya perusahaan ini telah tutup. Sangkaan inilah yang kemudian maju ke
persidangan Pengadilan Negeri Tangerang. Di Pengadilan Negeri Tangerang, Gayus tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan. Hasilnya,
Gayus divonis bebas.”
Sosok Gayus dinilai amat berharga karena ia termasuk saksi kunci dalam kasus dugaan
makelar kasus serta dugaan adanya mafia pajak di Direktorat Jenderal Pajak. Belum diketahui
apakah Gayus melarikan diri lantaran takut atau ada tangan-tangan pihak tertentu yang
membantunya untuk kabur supaya kasus yang membelitnya tidak terbongkar sampai ke
akarnya. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum meyakini kasus Gayus H. Tambunan bukan
hanya soal pidana pengelapan melainkan ada juga pidana korupsi dan pencucian uang.
Gayus diketahui berada di Singapura. Dia meninggalkan Indonesia pada Rabu 24 Maret
2010 melalui Bandara Soekarno-Hatta. Namun dia pernah memberikan keterangan kepada
Satgas kalau praktek yang dia lakukan melibatkan sekurang-kurangnya 10 rekannya. Imigrasi
tidak mengetahui posisi Gayus.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengatakan bahwa kasus markus pajak dengan
aktor utama Gayus H. Tambunan melibatkan sindikasi oknum polisi, jaksa, dan hakim. Satgas
menjamin oknum-oknum tersebut akan ditindak tegas oleh masing-masing institusinya,
koordinasi perkembangan ketiga lembaga tersebut terus dilakukan bersama Satgas. Ketiga
lembaga tersebut sudah berjanji akan melakukan proses internal. Kasus ini merupakan
sindikasi (jaringan) antar berbagai lembaga terkait.
Perkembangan selanjutnya kasus Gayus melibatkan Komjen Susno Duadji, Brigjen
Edmond Ilyas, Brigjen Raja Erisman. Setelah 3 kali menjalani pemeriksaan, Komjen Susno
Duadji menolak diperiksa Propam. Alasannya, dasar aturan pemeriksaan sesuai dengan Pasal
45, 46, 47, dan 48 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Pasal 25 Perpres No. I Tahun 2007 tentang Pengesahan Pengundangan dan
Penyebarluasan Peraturan, harus diundangkan menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan
HAM.
Komisi III DPR menyatakan siap memberi perlindungan hukum untuk Komjen Susno
Duadji. Pada tanggal 30 Maret 2010, polisi telah berhasil mendeteksi posisi keberadaan Gayus
di negara Singapura dan menunggu koordinasi dengan pihak pemerintah Singapura untuk
memulangkan Gayus ke Indonesia. Polri mengaku tidak akan seenaknya melakukan tindakan
terhadap Gayus meski yang bersangkutan telah diketahui keberadaannya di Singapura.
Pada tanggal 31 Maret 2010, Tim Penyidik Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam)
Polri memeriksa tiga orang sekaligus. Selain Gayus H. Tambunan dan Brigjen Edmond Ilyas,
ternyata Brigjen Raja Erisman juga ikut diperiksa. Pemeriksaan dilakukan oleh tiga tim
berbeda. Tim pertama memeriksa berkas lanjutan pemeriksaan Andi Kosasih, tim kedua
memeriksa adanya keterlibatan anggota polri dalam pelanggaran kode etik profesi, dan tim
ketiga menyelidiki keberadaan dan tindak lanjut aliran dana rekening Gayus.
Pada tanggal 7 April 2010, Komisi III DPR mengendus seorang jenderal bintang tiga
di Kepolisian diduga terlibat dalam kasus Gayus H. Tambunan dan seseorang bernama
Syahrial Johan ikut terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang melibatkan Gayus H.
Tambunan, dari Rp. 24 milliar yang digelapkan Gayus, Rp. 11 milliar mengalir kepada pejabat
kepolisian, Rp. 5 milliar kepada pejabat kejaksaan dan Rp. 4 milliar di lingkungan kehakiman,
sedangkan sisanya mengalir kepada para pengacara.
Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menetapkan bahwa selain dilakukan oleh
pembayar pajak (plagen atau dader), tindak pidana pajak dapat melibatkan penyerta
(deelderming) seperti wakil, kuasa atau pegawai pembayar pajak atau pihak lain yang
menyuruh melakukan (doen plegen atau middelijke), yang turut serta melakukan (medeplegen
atau mededader), yang menganjurkan (uitlokker), atau yang membantu melakukan tindak
pidana perpajakan (medeplichtige), Gayus mungkin saja berperan sebagai medeplegen,
uitlokker atau medeplichtige. Hal ini didasarkan pada keterangan Gayus pada Satgas
pemberantasan mafia hukum bahwa dalam melakukan aksinya tersebut Gayus melibatkan
sekurang-kurangnya sepuluh rekannya.
Namun pada kenyataannya, Indikasi tindak pidana perpajakan berupa penggelapan
yang dilakukan oleh Gayus terkait uang dua puluh lima milyar di rekening banknya tidak
terbukti. Hal ini sebagaimana hasil penelitian jaksa yang menyebutkan bahwa hanya terdapat
satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu
penggelapan namun hal ini tidak terkait dengan uang senilai Rp. 25 milliar yang diributkan
PPATK dan Polri. Penggelapan yang dimaksud yaitu adanya aliran dana senilai Rp 370 juta di
rekening Bank BCA milik Gayus H. Tambunan. Uang tersebut diketahui berasal dari dua
transaksi yaitu dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. pada tanggal 1 September 2007 sebesar
Rp. 170 juta dan 2 Agustus 2008 sebesar Rp. 200 juta. Uang tersebut dimaksudkan untuk
membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi. Namun setelah dicek,
pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak diketahui berada di mana. Uang tersebut masuk ke
rekening Gayus H. Tambunan tetapi ternyata Gayus tidak urus pajaknya. Uang tersebut tidak
digunakan oleh Gayus dan tidak dikembalikan kepada Mr. Son sehingga hanya diam di
rekening Gayus. Berdasarkan penelitian dan penyidikan, uang senilai Rp.370 juta tersebut
diketahui bukan merupakan korupsi dan money laundring tetapi penggelapan pajak murni.
Oleh karena itu, kebocoran APBN di sana-sini hampir dipastikan semakin besar
ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Sebab, semua sektor rawan dikorupsi. Hanya, peluang
beberapa pos anggaran lebih terbuka. Di antaranya, pos penganggaran untuk bantuan sosial
dan belanja modal seperti untuk pembangunan infrastruktur. Mengacu pada sejumlah kasus
korupsi yang bisa dibongkar, jika ditotal, kerugian negara memang cukup besar. Sebut saja
kasus Nazaruddin di wisma atlet yang merugikan negara sekitar Rp25 miliar. Selain itu, kasus
mafia pajak Gayus Tambunan yang merugikan keuangan negara Rp25 miliar. Jadi, kejahatan
anggaran yang belum terungkap itu sebenarnya masih sangat banyak.

B. KASUS SETYA NOVANTO


1. Kasus Korupsi e – KTP
Semua orang mungkin setuju jika korupsi itu tindakan yang merugikan berbagai
kalangan dan tentunya menghambat tercapainya suatu tujuan. Begitu juga korupsi yang
dilakukan para koruptor dalam pelaksanaan program e – KTP. Dari beberapa sumber yang
kami dapatkan, anggaran pelaksanaan program e-KTP adalah sebesar Rp. 5,9 triliun.
Dikutip dari nasional.kompas.com, Pihak pemenang tender dalam proyek e-KTP ini adalah
Konsorsium Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Konsorium proyek ini
terdiri dari PNRI serta lima perusahaan BUMN dan swasta, yakni Perum PNRI, PT
Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sucofindo, PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Artha
Putra.
Anggaran sebesar Rp. 5,9 triliun tersebut dikorupsi sebesar Rp. 2,3 triliun.
Anggaran yang dikembalikan sebesar Rp. 250 miliar. Namun, pihak yang mengembalikan
dana tersebut identitasnya masih di rahasiakan oleh KPK. KPK hanya menginformasikan
dana tersebut: Rp. 220 miliar dari 5 korporasi dan 1 konsorium, Rp. 30 miliar dari
perorangan (14 orang).
Setya disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor juncto Pasal 55
ayat 1 ke 1 KUHP. Dalam kasus ini, KPK sebelumnya telah menetapkan dua mantan
pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, serta pengusaha Andi Agustinus alias Andi
Narogong. Nama Setya muncul dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Ia disebut mendapat
jatah 11 persen dari nilai proyek e-KTP sebesar Rp574 miliar. Setya juga disebut
mengarahkan perusahaan pemenang proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut.
Dari keterangan sejumlah saksi di persidangan, Setya memang disebut menjadi
pemegang proyek e-KTP. Ia juga diduga orang dekat Andi Narogong.
Setya sebelumnya bersumpah tidak menerima sepeserpun uang terkait dugaan korupsi e-
KTP. Ia juga memastikan Golkar tak pernah menerima Rp150 miliar seperti yang disebut
dalam dakwaan.

2. Kronologis Penangkapan Setya Novanto


Komisi Pemberantasan Korupsi menerbitkan surat perintah penangkapan untuk
Ketua DPR Setya Novanto, Rabu (15/11/2017) malam. Novanto sebelumnya mangkir dari
pemeriksaan sebagai tersangka. Salah satu alasan dia mangkir adalah sedang melakukan
uji materi terhadap Undang-Undang KPK.
Novanto juga memilih berada di gedung DPR mengikuti rapat paripurna ketimbang
menghadiri pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Desas-desus
akan dilakukannya upaya menjemput Novanto mencuat menjelang Rabu petang. Saat itu
sudah beredar kabar mengenai adanya tim dari KPK yang berangkat menjemput Novanto.
Suasana pengamanan dari kepolisian di depan gedung KPK juga tidak biasanya.
Ratusan personel Brimob dan Sabhara berjaga-jaga hingga malam hari. Padahal, polisi
dalam jumlah besar yang berjaga di halaman depan gedung KPK biasanya hanya saat pagi
sampai sore atau saat berlangsungnya demo. Belakangan, upaya KPK menangkap Novanto
terbukti dengan tibanya penyidik KPK di kediaman Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan, Rabu sekitar pukul 21.40.
Ketika tiba di kediaman Novanto, para penyidik KPK tidak langsung diizinkan
masuk. Para penyidik KPK menunggu di depan kediaman Novanto untuk menunggu Ketua
Umum Partai Golkar itu dan kuasa hukumnya. Selang beberapa saat kemudian mereka baru
diizinkan masuk ke rumah Novanto. Saat tiba di kediaman Novanto, penyidik KPK terlihat
dikawal 12 polisi dari satuan Brimob. Ada sekitar lima mobil Toyota Innova yang
membawa para penyidik KPK. Sejumlah politisi Partai Golkar, di antaranya Aziz
Syamsuddin, datang ke kediaman Novanto. Aziz tidak diperbolehkan masuk.
Namun, kabar mengejutkan kemudian disampaikan Wakil Ketua Dewan Pakar
Partai Golkar Mahyudin yang keluar dari kediaman Novanto. Wahyudin menyampaikan
kepada wartawan bahwa Novanto tidak berada di dalam rumah. Novanto yang terjerat
kasus korupsi saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar itu pun tak diketahui
keberadaannya. Novanto dikhawatirkan kabur.
Meski kedatangan penyidik KPK ke kediaman Novanto sudah tersiar, KPK belum
segera memberikan pernyataan. Baru pada Rabu jelang tengah malam Juru Bicara KPK
Febri Diansyah menyampaikan pernyataan tertulis mengenai imbauan agar Novanto
menyerahkan diri.
Pada Kamis (16/11/2017) dini hari pukul 00.41, KPK memberikan pernyataan
resmi. Selain mengimbau agar Novanto kooperatif dan menyerahkan diri, KPK juga
mengumumkan menerbitkan surat perintah penangkapan kepada Novanto. KPK memilih
menangkap Novanto dengan dasar Pasal 21 KUHAP, di mana di dalamnya terdapat syarat
subyektif dan tersangka diduga kuat melakukan tindak pidana. Namun, tim KPK yang
mendatangi kediaman Ketua Umum Partai Golkar itu tidak mendapati yang bersangkutan.
Tim KPK pun melakukan pencarian.
Meski begitu, KPK belum menyimpulkan Novanto melarikan diri di tengah upaya
penangkapan tersebut. Nama Novanto juga belum dicantumkan dalam daftar pencarian
orang (DPO) alias buron. Jika Novanto tidak juga ditemukan, KPK baru akan
berkoordinasi dengan Polri untuk menerbitkan DPO atas Novanto. Sementara jika sudah
menangkap Novanto, KPK punya waktu 1 x 24 jam untuk menentukan apakah yang
bersangkutan ditahan atau tidak.
Tim KPK akhirnya keluar dari rumah Ketua DPR Setya Novanto, Kamis sekitar
pukul 02.43. Mereka keluar setelah lima jam berada di kediaman Novanto. Para penyidik
keluar dengan membawa 3 tas jinjing, 1 koper biru, 1 koper hitam, dan 1 alat elektronik
yang belum diketahui fungsinya. Saat ditanya mengenai aktivitas di dalam, mereka enggan
menjawab dan terus berjalan menuju mobil masing-masing. Mereka juga enggan
menanggapi saat ditanya wartawan ihwal barang yang dibawa di dalam tas dan koper.
Mereka meninggalkan kediaman Novanto dengan menggunakan 10 mobil Toyota
Innova. Sekitar pukul 03.15 mobil yang ditumpangi penyidik tiba di KPK. Jumlahnya
sekitar delapan mobil dan melaju kencang ke dalam gedung KPK. Mobil-mobil ini diduga
yang mengantar penyidik KPK dari kediaman Novanto. KPK menetapkan kembali
Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP pada Jumat (10/11/2017).
Novanto lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya setelah
memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK. Dalam kasus e-KTP, Novanto bersama
sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Sejumlah
pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo,
pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, serta dua mantan pejabat Kemendagri,
Irman dan Sugiharto.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat
Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara
diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek Rp 5,9 triliun tersebut.
Setelah ditetapkannya Setya Novanto memberi kesimpulan dalam beberapa aspek,
yang pertama adalah Diberhentikannya Setya Novanto dari jabatannya sebagai Ketua
DPR-RI Periode 2014-2019. Artinya ada kekosongan sementara pada kursi Ketua DPR-
RI. Dalam aspek hukumnya seseorang yang tidak beritikad baik dalam memenuhi
panggilan hukum dalam hal ini pelanggaran kasus korupsi yang dialami Setya Novanto
dapat dijemput paksa oleh KPK sebagai lembaga Pemberantasan Korupsi dengan
kewenangannya. Setelah ditangkapnya Setya Novanto memungkinkan adanya tersangka
baru dalam kasus ini.

C. KASUS HARUN MASIKU


Harun masiku merupakan tersangka kasus suap terhadap eks Komisioner KPU Wahyu
Setiawan agar dapat duduk dikursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menggantikan posisi
Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Polemik keberadaan eks Caleg PDIP Harun Masiku
berbuntut panjang. Bahkan, simpang siurnya data perlintasan Harun Masiku hingga memakan
korban.
Menkumham Yasonna H. Laoly mencopot Ronny F. Sompie selaku Dirjen Imigrasi.
Politikus PDIP itu pun kemudian menunjuk Irjen Kemenkumham Jhoni Ginting sebagai
pengganti sementara Ronny Sompie. Polemik ini berawal dari keberangkatan Harun Masiku
ke Singapura, tapi kemudian sempat tak terdeteksi kepulangannya ke Indonesia. Hal ini
memicu polemik sebab Harun Masiku merupakan tersangka kasus suap terhadap eks
Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Pihak Imigrasi, bahkan Yasonna, sempat menyebut bahwa Harun Masiku belum ada di
Indonesia. Belakangan, pernyataan itu diralat. Berikut kronologi polemik keberadaan Harun
Masiku yang berujung pencopotan Dirjen Imigrasi:
 Senin, 6 Januari 2020 : Harun Masiku tercatat pergi dari Indonesia menuju Singapura.
Imigrasi mendapat catatan perlintasannya.
 Selasa, 7 Januari 2020 : Harun Masiku kembali ke Indonesia. Namun, data perlintasan
itu sempat tak tercatat. (Belakangan, Imigrasi memperbaharui data perlintasan Harun
Masiku)
 Kamis, 9 Januari 2020 : KPK menetapkan Harun Masiku sebagai tersangka bersama
eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan, eks caleg PDIP sekaligus orang kepercayaan
Wahyu, Agustiani Tio Fridelina; dan swasta yang juga eks caleg PDIP, Saeful Bahri.
Harun Masiku diduga menyuap Wahyu senilai Rp 400 juta melalui Saeful Bahri dan
Agustiani Tio. Suap itu agar Harun menggantikan Riezky Aprilia sebagai anggota DPR
RI dalam mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Ketiga tersangka di antaranya
telah ditahan. Sementara, Harun Masiku tak termasuk yang terjaring OTT. Saat itu,
KPK meminta Harun Masiku agar menyerahkan diri.
 Senin, 13 Januari 2020 : Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengaku mendapat
informasi bahwa eks caleg PDIP itu berada di luar negeri. Pada hari yang sama, Ditjen
Imigrasi menyebut Harun Masiku berada di luar negeri sejak tanggal 6 Januari 2020,
atau 2 hari sebelum OTT Wahyu Setiawan. Imigrasi belum menerima catatan Harun
Masiku sudah kembali ke Indonesia. Masih di tanggal 13 Januari, KPK mengajukan
permintaan pencegahan Harun Masiku ke luar negeri. Meski ketika itu Imigrasi
menyatakan belum ada data Harun kembali, KPK tetap meminta ia dicegah pergi ke
luar negeri. Saat itu Plt juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan status cegah tetap
dikirimkan mengantisipasi Harun Masiku kembali ke luar negeri usai kembali ke
Indonesia.
 Rabu, 15 Januari 2020 : PDIP menggelar konferensi pers. Ketika itu, DPP PDIP
membentuk tim hukum untuk menyikapi pemberitaan mengenai dugaan keterlibatan
PDIP dalam kasus suap Wahyu Setiawan. Yasonna, Ketua DPP PDIP Bidang Hukum
yang juga Menkumham, turut hadir dalam konferensi pers tersebut. Yasonna menilai
pemberitaan yang beredar menyudutkan PDIP.
 Kamis, 16 Januari 2020 : Pemberitaan Koran Tempo mengungkap informasi Harun
Masiku terbang dari Singapura ke Indonesia menggunakan Batik Air ID 7156 tanggal
7 Januari. Pada hari yang sama, Yasonna kekeh menyatakan Harun Masiku masih
berada di luar negeri. Saat itu, Yasonna membantah Harun Masiku telah kembali ke
tanah air pada 7 Januari.
 Jumat, 17 Januari 2020 : Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno-Hatta,
Saffar Muhammad Godam, mengetahui berita dari Koran Tempo yang menyebut
Harun Masiku terbang dari Singapura ke Indonesia tanggal 7 Januari. Saffar yang
mengetahui berita itu dari temannya lalu menindaklanjuti dan menginformasikan
kepada Ditjen Imigrasi. Kemudian Ditjen Imigrasi mendalami informasi tersebut.
 Sabtu, 18 Januari 2020 : Dirjen Imigrasi (kini sudah dicopot), Ronny F. Sompie, juga
menyampaikan bahwa Harun Masiku tercatat masih berada di luar negeri sejak 6
Januari menuju Singapura. Saat itu Ronny mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi
dengan otoritas Singapura. Hal itu untuk mengetahui lokasi pasti keberadaan Harun
apakah masih di Singapura atau tidak. Sebab, menurut kabar yang beredar, Harun telah
kembali ke Indonesia pada Selasa (7/1). Masih di hari yang sama, Ditjen Imigrasi
berupaya mengonfirmasi informasi dari Koran Tempo dengan mengecek CCTV di
Terminal 2F Bandara Soetta yang dimiliki PT Angkasa Pura II (Persero). Ditjen
Imigrasi kemudian menyurati AP II untuk meminta rekaman CCTV. Tetapi karena saat
itu hari Sabtu (18/1), pihak AP II belum dapat memberikan rekaman CCTV dan harus
menunggu hingga Senin (20/1).
 Minggu, 19 Januari 2020 : Sebuah tangkapan layar CCTV di Bandara Soetta yang
memperlihatkan seorang laki-laki diduga Harun Masiku beredar. Ronny Sompie
kemudian memerintahkan tim internal Ditjen Imigrasi dan Kantor Imigrasi Kelas I
Khusus TPI Soekarno-Hatta untuk mengusut data perlintasan di counter TPI Terminal
2F. Hasilnya, tim Ditjen Imigrasi menemukan data atas nama Harun Masiku setelah
dilakukan investigasi secara menyeluruh pada seluruh perangkat PC di semua counter
kedatangan di Terminal 2F.
 Senin, 20 Januari 2020 : Ketua KPK, Komjen Firli Bahuri, menyatakan Harun Masiku
telah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Namun tak disebut sejak
kapan Harun Masiku menjadi DPO. Di hari yang sama, istri Harun Masiku, Hilda,
menyebut suaminya memberi kabar sudah di Jakarta pada tanggal 7 Januari. Terhadap
informasi yang menyebut Harun Masiku sudah di Indonesia sejak 7 Januari, Firli
menyatakan KPK menelusurinya.
 Rabu, 22 Januari 2020 : Ronny Sompie akhirnya mengonfirmasi Harun Masiku sudah
berada di Indonesia sejak 7 Januari. Ia berdalih ada delay time dalam pemrosesan data
perlintasan. Sehingga, data Harun Masiku tiba di Indonesia telat diketahui. Ia pun
meminta jajarannya untuk mengusut keterlambatan itu.
 Jumat, 24 Januari 2020 : Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM akan
membentuk tim independen untuk mengusut keterlambatan data perlintasan Harun
Masiku. Tim tersebut diisi pihak dari Bareskrim, Siber BSSN, dan Ombudsman RI.
Masih pada hari yang sama, Ronny juga menggelar konferensi pers. Ia menyatakan,
keterlambatan data perlintasan data Harun Masiku disebut akibat persoalan replikasi
dari sistem baru di Bandara Soetta. Sementara itu, fitur tambahan ini tergolong masih
baru di Terminal 2F. Menurut Ronny, replikasi data di counter Imigrasi Terminal 2F
Bandara Soetta, yang jadi lokasi kedatangan Harun, terlambat mengirimkan data (delay
system) ke server pusat Ditjen Imigrasi.
 Selasa, 28 Januari 2020 : Yasonna Laoly mencopot Ronny Sompie dari jabatannya
sebagai Dirjen Imigrasi. Yasonna menyatakan pencopotan tersebut agar tim Irjen
Kemenkumham bekerja tanpa beban. Tak hanya Ronny Sompie, Direktur Sistem dan
Teknologi Informasi Keimigrasian (Dirsistik), Alif Suaidi, turut dicopot.

D. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KASUS GAYUS TAMBUNAN, E-KTP, DAN


HARUN MASIKU
1. Persamaan
Ketiga kasus di atas memiliki kesamaan yakni merupakan kasus korupsi. Korupsi
sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola
administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media, seringkali
perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi
juga sering dikaitkan pemaknaannya dengan politik. Sekalipun sudah dikategorikan
sebagai tindakan yang melanggar hukum, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk
pelanggaran hukum lainnya. Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga
dikaitkan dengan perekonomian, kebijakan publik, kebijakan internasional, kesejahteraan
sosial, dan pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan
korupsi hingga organisasi internasional seperti PPB memiliki badan khusus yang
memantau korupsi dunia. Dasar atau landasan untuk memberantas dan menanggulangi
korupsi adalah memahami pengertian korupsi itu sendiri. Pada bagian ini dibahas mengenai
pengertian korupsi berdasarkan definisi-definisi umum dan pendapat para pakar.
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau
“corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa
“corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari
bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris),
“corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13
buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut,
korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut
menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana
karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kerugian keuangan negara
b. Suap-menyuap
c. Penggelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan
g. Gratifikasi
2. Perbedaan
Perbedaan ketiga kasus di atas adalah terletak pada bentuk/jenis tindak pidana korupsi.
Perincian perbedaan bentuk/jenis korupsi :
1) Kasus Gayus Tambunan
Kasus gayus tambunan tergolong dalam jenis adalah Penipuan. Penipuan terhadap
badan pemerintah, lembaga swasta, atau masyarakat umumnya.Usaha untuk
memperoleh keuntungan dengan mengatasnamakan suatu lembaga tertentu seperti
penipuan memperoleh hadiah undian dari suatu perusahaan, padahal perusahaan yang
sesungguhnya tidak menyelenggarakan undian.
Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial
ada di dalam diri setiap orang. keserakahan dan kerakusan para pelaku
korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya.

2) Kasus E-KTP
Kasus E-KTP tergolong korupsi jenis perbuatan yang merugikan Negara. Perbuatan
yang merugikan negara, dapat di bagi menjadi dua bagian, yaitu mencari keuntungan
dengan cara melawan hukum dan merugikan negara serta menyalahgunakan jabatan
untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Syaratnya harus ada keuangan
negara yang masih diberikan. Biasanya bentuknya tender, pemberian barang, atau
pembayaran pajak sekian yang dibayar sekian. Kalau ada yang bergerak di sektor
industri alam kehutanan atau pertambangan, itu mereka ada policy tax juga agar mereka
menyetorkan sekali pajak, semua itu kalau terjadi curang nanti bisa masuk ke konteks
ini (kerugian negera-red).

3) Kasus Harun Masiku


Kasus korupsi Harun Masiku tergolong dalam bentu/jenis suap. Suap adalah semua
bentuk tindakan pemberian uang atau menerima uang yang dilakukan oleh siapa pun
baik itu perorangan atau badan hukum (korporasi). Korporasi sudah bisa dipidana,
makanya penting sekali dunia usaha mengerti audit. Jadi penerimanya ini syaratnya
khusus, penerimanya itu klasifikasinya ialah pegawai negeri atau penyelenggara
negara. Pasal diberikannya di depan atau DP dulu atau nanti di belakang diminta, itu
tidak menjadi persoalan, dua-duanya tetap suap-menyuap sepanjang kita
memberikannya kepada dua pihak tadi.
DAFTAR PUSTAKA

www.cnnindonesia.com/nasional, Diakses Pada tanggal 01 Januari 2020 Pukul 10. 09 WITA

www.news.detik.com/berita, Diakses Pada tanggal 01 Januari 2020 Pukul 10. 20 WITA

www.nasional.kompas.com/read, Diakses Pada tanggal 01 Januari 2020 Pukul 10. 20 WITA

www.antaranews.com, Diakses Pada tanggal 01 Januari 2020 Pukul 11. 00 WITA

www.m.tempo.co, Diakses Pada tanggal 01 Januari 2020 Pukul 10. 30 WITA

Anda mungkin juga menyukai