Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi saat ini, kasus kejadian Benigna Prostat Hyperplasia

(BPH) dilaporkan terus meningkat banyak dijumpai pada pria umur 50 tahun

dan lansia. BPH atau pembesaran prostat timbul seiring dengan bertambahnya

umur sebab BPH erat kaitanya dengan proses penuaan, hampir setiap 50% pria

diatas 50 tahun mengalami hiperplasia prostat (Elizabeth,2009).

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan suatu penyakit dimana

terjadi pembesaran dari kelenjar prostat akibat hyperplasia jinak dari sel-sel

yang biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut. Kelainan ini ditentukan pada

usia 40 tahun dan frekuensinya kelenjar prostat (Aprina, Noven & Sunarsih,

2017)

Menurut data WHO (2013), diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus

degeneratif, salah satunya ialah BPH, dengan insidensi di negara maju

sebanyak 19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5.35% kasus.

Tahun 2013 di Indonesia BPH menjadi urutan kedua setelah batu saluran

kemih terdapat 9,2 juta kasus BPH, di antaranya diderita oleh laki-laki berusia

di atas 60 tahun (Adelia.F., Monoarfa. A., Wahiu. A, 2017)

Kasus Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) yang terjadi di Jawa Tengah,

kasus tertinggi gangguan prostat berdasarkan laporan rumah sakit terjadi di

Kabupaten Grobogan yaitu sebesar 4.794 kasus (66,33 %) dibandingkan

dengan jumlah keseluruhan kasus gangguan prostat di kabupaten atau kota lain

1
2

di Jawa Tengah. Bila dibandingkan kasus keseluruhan penyakit tidak menular

lain di Kota Grobogan sebesar 46,81 %. Sedangkan kasus tertinggi kedua

adalah kota Surakarta 488 kasus (6,75 %) dan dibandingkan dengan jumlah

keseluruhan penyakit tidak menular lain di kota Surakarta maka proporsi

kasus ini adalah 3,52 %. Rata-rata kasus gangguan prostat di Jawa Tengah

adalah 206,48 kasus (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013)

Berdasarkan hasil data dari RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo pada

tahun 2017. Data prevalensi tentang BPH secara mikroskopi dan anatomi

sebesar 40% dan 90% terjadi pada rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun.

Data pasien Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) yang diperoleh pada bulan

Maret sampai dengan Mei 2017 di Ruang Edeleweis RSUD Prof. Dr Margono

Soekarjo Purwokerto menujukan angka paling tinggi yaitu 61 pasien . (Rekam

Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo, 2017).

Penyebab terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui secara pasti,

namun faktor usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH.

Beberapa faktor meyebutkan bahwa hiperplasia prostat sangat erat kaitannya

dengan peningkatan dehidrotestosteron (DHT), peningkatan esterogen-

testosteron, interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat, berkurangnya

kematian sel, dan teori stem sel (Prabowo & Pranata,2014)

Masalah keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

menurut (Purnomo,2011) adalah nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik,

resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasiv, Inkontinensia urin .

Namun masalah yang sering muncul adalah Inkontinensia Urine. Inkontinensia


3

urin adalah ketidakmampuan pasien mengontrol urin setelah tindakan operasi

yang ditandai dengan urin menetes setelah miksi yang disebut dribbling. Selain

itu, kelemahan otot dasar pelvic akibat operasi yang dapat menimbulkan

dribbling (Sjamsuhidajat & Jong, 2005 dalam Majid, 2009)

Penangananan BPH dapat dilakukan dalam berbagai cara diantaranya

watchfull waiting, medikamentosa, dan tindakan pembedahan. Terapi dengan

pembedahan invasif minimal akan dilakukan apabila penerapan terapi

farmakologi tidak dapat berjalan dengan lancar. Terapi ini dilakukan pada

penderita BPH dengan tingkat sedang dan tingkat berat. Prosedur bedah yang

paling umum adalah Transurethral resection of the prostate (TURP). Pada

prosedur TURP dilakukan pemotongan uretra prostat dengan cara bedah

elektro (elektrosurginal). Risiko pada prosedur TURP ini adalah terjadinya

pendarahan, efek samping seksual, infeksi saluran kemih dan terjadi

inkontinensia urine (Kapoor, 2012).

Salah satu dari efek tindakan pembedahan tersebut adalah terjadinya

inkontinensia urine pada klien (Laberge, 2009 dalam Majid, 2009).

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan pasien mengontrol urin setelah

tindakan operasi yang ditandai dengan urin menetes setelah miksi yang disebut

dribbling. Kecuali itu, kelemahan otot dasar pelvic akibat operasi yang dapat

menimbulkan dribbling (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005 dalam Majid, 2009). J

ika hal ini tidak segera di tanggulangi, 2-4 % pasien mengalami Inkontinensia

total. Untuk usaha dalam pencegahan hal tersebut terjadi maka perlu dilakukan

perawatan dengan cara latihan otot dasar pelvic atau senam kegel (kegel
4

exercises). Kegel exercises adalah latihan untuk menguatkan otot – otot

panggul secara sadar dengan melakukan gerakan kontraksi berulang – ulang

untuk menurunkan inkontinensia urine (Memorial Hospital, 2009 dalam Majid,

2009). Tindakan tersebut bisa diajarkan kepada pasien sebelum melakukan

operasi, dengan harapan setelah operasi pasien dapat melakukannya sesuai

teori yang benar. Kegel exercise harus dilaksanakan secara optimal dan sedini

mungkin agar hasilnya optimal. Seperti yang dikatakan Rosenbaum, dkk. (2004

) bahwa, perlu dilakukan perawatan sedini mungkin dan latihan khusus terkait

inkontinensia untuk membantu kemajuan pemulihan pasca operasi. Latihan

sedini mungkin ini dilakukan ketika klien masih terpasang kateter. Hal ini

bertujuan untuk mempersiapkan bladder ketika kateter dilepas. Setelah klien

paham dengan kegel exercise maka klien akan dengan sadar melakukan kegel

exercise pasca tindakan operasi untuk menurunkan inkontinesia urine yang

dialami klien. Hal tersebut perlu adanya pengamatan dan evaluasi agar hasil

kegel exercise dapat dirasakan manfaatnya dan berjalan optimal. Dijelaskan

oleh Nursalam (2008) bahwa, kegel exercise harus dilakukan rutin untuk

memperkuat penutupan uretra dan secara reflek menghambat kontraksi

kandung kemih.

Berdasarkan uraian masalah diatas penulis tertarik untuk menyusun

laporan kasus dengan judul ” Asuhan Keperawatan Pada Post operasi

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Dengan Fokus Studi Inkontinensia

Urine Dorongan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto”


5

B. Batasan Masalah

Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan Pada Post

operasi Benign Prostatat Hyperplasia (BPH) Dengan Fokus Studi

Inkontinensia Urine Dorongan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo

Purwokerto.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat

Hyperplasia (BPH) penulis ingin mengetahui bagaimanakah Asuhan

keperawatan pada pasien post operasi Benigna Prostat Hyperplasia dengan

fokus studi Inkontinensia Urine dorongan di RSUD Prof. Dr. Margono

Soekardjo.

D. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami Benigna

Prostat Hypeplasia (BPH) dengan fokus studi Inkontinensia Urine dorongan

dengan terapi Kegel Exercise di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo.

2. Tujuan Khusus

a. Menguraikan konsep dasar teori penyakit Benigna Prostat Hyperplasia

(BPH) dan asuhan keperawatannya.

b. Melakukan asuhan keperawatan pada klien Benigna Prostat Hyperplasia

(BPH) dengan mulai dari pengkajian sampai evaluasi dengan


6

menggunakan terapi kegel exercise di Ruang Edelwais RSUD Prof. Dr.

Margono Soekardjo.

c. Menganalisa kesenjangan antara teori dan praktik yang dibahas pada

laporan kasus klien Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) dengan

Inkontinensia Urine dorongan menggunakan terapi kegel exercise di

Ruang Edelwais RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo.

E. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis

dalam dunia keperawatan sebagai panduan perawat dalam pengelolaan

kasus keperawatan Inkontinensia urine dorongan pada klien dengan

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi perawat

Dapat menambah wawasan dan keterampilan perawat dan sebagai

panduan perawat dalam pengelolaan kasus keperawatan Inkontinensia

urine dorongan pada klien dengan Benigna Prostat Hyperplasia (BPH).

b. Bagi Rumah Sakit

Dapat dijadikan sebagai panduan dalam pengelolaan klien dengan

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH). pada perawat yang bekerja di

rumah sakit.
7

c. Bagi institusi pendidikan

Dapat digunakan sebagai referensi bagi mahasiswa Prodi DIII

Keperawatan Purwokerto khususnya dalam pengelolaan klien Benigna

Prostat Hyperplasia (BPH).

d. Bagi klien

Menambah pengetahuan klien tentang Inkontinensia urine dorongan

dengan Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) dan cara perawatan atau

penanganannya.
8
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Benigna Prost Hiperplasia

1. Definisi BPH

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan suatu penyakit dimana

terjadi pembesaran dari kelenjar prostat akibat hyperplasia jinak dari sel-

sel yang biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut. kelainan ini ditentukan

pada usia 40 tahun dan frekuensinya kelenjar prostat (Aprina,dkk 2017).

Menurut Aulawi (2014), BPH adalah terjadinya pelebaran pada prostat

yang menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di

bawah kandung kemih dan menyebabkan gejala -gejala seperti sering

kencing dan retensi urin.

2. Etiologi Atau Penyebab

Menurut Muttaqin dan Sari (2014), beberapa faktor yang

menyebabkan terjadinya BPH yaitu :

a. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat

penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat yang disebabkan

peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen.

b. Adanya ketidakseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen .

Dimana terjadi peningkatan estrogen dan penurunan testosteron

sehingga mengakibatkan pembesaran pada prostat.


10

c. Interaksi antara stroma dan epitel.

Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth faktor dan

penurunan transforming factor beta menyebabkan hiperplasia stroma

dan epitel.

d. Peningkatan estrogen menyebabkan berkurangnya kematian sel stroma

dan epitel dari kelenjar prostat.

e. Teori sel stem, meningkatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi

produksi berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel sehingga

menyebabkan proliferasi sel sel prostat (Purnomo, 2008)

3. Patofisiologi

Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40

tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang akan terjadi perubahan

patologi dan anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan . Perubahan

hormonal menyebabkan hyperplasia jaringan penyangga stromal dan

elemen gladular pada prostat. Proses pembesaran prostat terjadi secara

perlahan sehingga perubahanpada saluran kemih juga terjadi secara

berlahan.

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher

buli – buli dan daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan

meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan

destrusor disebut dengan fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut

maka destrusor akan lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan

tidak mampu untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang


11

selanjutnya dapat menyebabkan disfungsi saluran kemih atas. (Purnomo,

2008)

4. Manifestasi Klinis

Menurut Padila (2012) gejala klinis yang ditimbulkan oleh BPH disebut

sebagai Syndroma Prostatisme yang dibagi menjadi dua yaitu:

a. Gejala Obstruktif

1) Hesistancy yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai

dengan mengejan.

2) Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing.

3) Terminal dribbling yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.

4) Pancaran lemah.

5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil.

b. Gejala Iritasi

1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

2) Frekuensi yaitu klien miksi lebih sering dari biasanya.

3) Dysuria yaitu nyeri pada waktu miksi

Wijayaningsih (2013) mengatakan, tanda dan gejala dapat dilihat

dari stadiumnya:

a. Stadium I

Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan

urin sampai habis.


12

b. Stadium II

1) Ada retensi urin tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan

urin walaupun tidak sampai habis, masih tersisa 50 – 150 cc.

2) Ada rasa tidak enak waktu BAK (dysuria).

3) Nokturia.

c. Stadium III

Urin selalu tersisa 150 cc atau lebih.

d. Stadium IV

Retensi urin total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urin menetes

secara periodik.

5. Komplikasi

Kerusakan traktus uranius bagian atas akibat dari obstruksi kronik

mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan

peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan

hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu

endepan yang menambah iritasi dan hematuri. Selain itu stasis urin dalam

vesika urinaria menjadikan media metode pertumbuhan mikroorganisme

yang akan menyebabkan terjadinya refluks menyebabkan pyelonefritis.


13

6. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic pada klien BPH dilakukan secara cermat dan

teliti agar memperoleh diagnosa yang tepat. pemeriksaan diagnostik klien

BPH menurut (Prabowo & Andi 2014) adalah:

a. Urinalisis dan Kultur Urin

Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red

Blood Cel) dalam urin yang memanifestasikan adanya perdarahan /

hematuria.

b. DPL (Deep Peritoneal Lavage)

Pemeriksaan pendukung ini ntuk melihat ada atau tidaknya perdarahan

internal dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah cairan abdomen

dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.

c. Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin

Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai

data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH,

karena obstruksi yang berlangsung kronis seringkali menimbulkan

hidronefrosis yang lambat laun akan memperberat fungsi ginjal dan

pada akhirnya menjadi gagal ginjal.

d. PA (Patalogi Anatomi)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.

Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk

mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna, sehingga akan

menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.


14

e. Catatan harian berkemih

Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urin, sehingga akan terlihat

bagaimana siklus rutinitas miksi dari klien. Data ini menjadi bekal

untuk membandingkan dengan pola eliminasi urin yang normal.

f. Uroflowmetri

Menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran urin. Pada

obstruksi dini seringkali pancaran melemah bahkan meningkat. Hal ini

disebabkan obstruksi dari kelenjar prostat pada traktus urinarius. Selain

itu, volume residu urin juga harus diukur. Normalnya residual urin

<100 ml. Namun, residual yang tinggi membuktikan bahwa vesika

urinaria tidak mampu mengeluarkan urin secara baik karena adanya

obstruksi.

g. USG Ginjal dan Vesika Urinaria

USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari

BPH, misalnya hidronefrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria

akan memperlihatkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.

h. Pemeriksaan Colok Dubur

Haryono (2013) berpendapat, pemeriksaan colok dubur dapat

memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rectum,

kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan prostat. Pada perabaan

melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah

asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba.

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa


15

urin setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan dengan mengukur urin

yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula di

ketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.

7. Penatalaksanaan

Menurut Bukhori (2016) Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan

beberapa cara antara lain :

a. Anamnesa

Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan Lower Urinary Tract

Symptoms (LUTS) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah,

intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut

gejala obstruksi dan gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi serta

disuria. International Prostate Symptoms Score (IPSS) adalah

kumpulan pertanyaan yang merupakan pedoman untuk mengevaluasi

beratnya LUTS. Keadaan pasien BPH dapat ditentukan berdasarkan

skor yang diperoleh :

1. Skor 0 - 7 = gejala ringan.

2. Skor 8 - 19 = gejala sedang.

3. Skor 20- 35 = gejala berat.

Pada penatalaksaan keperawatan, pasien dianjurkan mengurangi

minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,

mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol

supaya tidak sering miksi.


16

b. Terapi medikamentosa, bertujuan untuk mengurangi retensio otot polos

prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika

dengan obat penghambat adrenergik alfa Dan mengurangi volume

prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar

hormone testosteron atau Dihidosteron melalui penghambat 5α –

reductase.

c. Terapi bedah

Menurut Haryono (2013), intervensi bedah yang dapatdilakukan

meliputi :

1) Pembedahan terbuka (Prostatektomi)

Beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan

adalah : Prostatektomi suprapubik, Prostatektomi perineal, dan

Prostatektomi retropubik.

2) Pembedahan endourologi

Menurut Purnomo (2011), pembedahan endourologi dapat dilakukan

dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:

a) Transurethral Resection of the Prostate (TURP), yaitu tindakan

ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus

medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP pasien

akan terpasang kateter three way, yang dilakukan irigasi kandung

kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah

pembekuan darah.
17

b) Transurethral Incision of the Prostate (TIUP).

c) Bladder Neck Incision (BNI)

d) Elektrovaporisasi Prostat.

e) Laser Prostaktomi

A. Konsep Inkontinensia Urine dorongan

1. Definisi Inkontinensia Urine Dorongan

Inkontinensia urine dorongan adalah pengeluaran urin secara

involunter yang terjadi segera setelah keinginan berkemih yang keluar

muncul (NANDA,2015)

Inkontinensia urine dorongan merupakan keadaan dimana

seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera

setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia

dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2

jam sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat, 2010).

2. Etiologi Inkontinensia Urin Dorongan

Beberapa penyebab terjadinya inkontinensia urine dorongan

disebabkan oleh penurunan kapasitas kandung kemih, iritasi pada

reseptor rengangan kandung kemih yang menyebabkan spasme

(inspeksi saluaran kemih), minuman alkohol atau kafein, peningkatan

konsentrasi urin, dan distensi kandung kemih yang berlebihan.

(Hidayat, 2010).
18

3. Batasan Karakteristik Inkontinensia Urin Dorongan

Batasan yang terjadi pada Inkontinensia urine dorongan adalah

dorongan berkemih, Pengeluaran Urin involunter pada kontraksi

kandung kemih, Pengeluaran urin involunter pada spasme kandung

kemih, Tidak mampu mencapai toilet pada waktunya untk berkemih

(NANDA,2015).

4. Faktor yang Berhubungan

Menurut Herdman dan Kamitsuru (2015), faktor risiko penyebab

inkontinensia urine dorongan adalah karena asupan alkohol, gangguan

kontraktilitas kandung kemih, hiperaktivitas destrusor pada gangguan

kontraktilitas kandung kemih, inspaksi fekal, kapasitas kandung kemih

kecil, kebiasaan toileting tidak efektif, program pengobatan, relaksasi

sfingter involunter, uretritis atrofik, dan vaginitis atrofik.

5. Pengelolaan Inkontinensia Urine Dorongan Pada Pasien Post

Operasi BPH

Pengelolaan inkontinensia urine dorongan adalah tindakan yang

dilakukan agar klien dapat mengontrol keluarnya urin dari kandung

kemih. Menurut Aspiani (2015) . Komplikasi yang terjadi pada klien

post Operasi BPH yaitu Retensi urin, Hernia dan hemorid, Hematuri,

Pyeleonefritris dan Inkontenensia urine. Inkontinensia urine yang

ditandai dengan rasa panas ketika miksi dari urin menetes setelah miksi

yang disebut dribbling. Sama seperti yang di katakan Escudero (2006

dalam Prayitno, 2014) mengatakan diantara perubahan-perubahan


19

eliminasi urin pada pasien post operasi prostat, yang paling sering

(64%) adalah inkontinensia urine dan terjadi karena adanya kelemahan

otot destrusor kandung kemih yang diakibatkan adanya perlukan pasca

operasi prostat. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi

inkontinensia urine dengan mengembalikan fungsi otot kandung kemih

dengan cara latihan otot dasar pelvic atau disebut kegel exercise dan

latihan bladder training.

Bladder training secara bertahap dapat meningkatkan kapasitas

kandung kemih dan menahan urgensi berkemih. (LeMone dkk, 2016).

Cara melakukan bladder training yaitu dengan mengeklem atau mengikat

aliran urin ke urin bag pada klien yang terpasang kateter. Umumnya

bladder training dilakukan dengan cara selang kateter diklem selama 1-3

jam dan dilepas setelah 1 jam yang dilakukan secara berulang. Bladder

training bisa dilakukan lebih dini agar klien dapat terhindar dari

inkontinensia urine dan dapat dilakukan selama 2 hari ataupun lebih sesuai

dengan program yang ditentukan (Shabrini, Ismonah dan Syamsul, 2015).

Seperti yang dikatakan Shabrini dkk (2015) bahwa bladder training

sejak dini lebih efektif untuk mencegah inkontinensia pada klien yang

terpasang kateter urin pasca operasi, meningkatkan jumlah waktu

pengosongan kandung kemih, secara nyaman tanpa adanya urgensi atau

inkontinensia atau kebocoran. Bladder training tidak harus dilakukan

sehari sebelum kateter dilepas, namun dapat dilakukan lebih dini dan

dilakukan secara rutin setiap hari agar terhindar dari inkontinensia urine

(Shabrini dkk, 2013). Darmojo (2014) juga menambahkan bahwa


20

latihan bladder training terbukti efektif baik untuk mencegah

inkontinensia urine dorongan.

Kegel exescises adalah aktivitas fisik yang tersusun dalam suatu

program yang dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan

kebugaran tubuh dan juga dapat meningkatkan mobilitas kandung

kemih serta bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan

kebutuhan eliminasi urin dengan membantu memperkuat otot dasar

panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara reflek

menghambat kontraksi kandung kemih Majid, (2009). Kegel exercise

dapat meningkatkan resistensi uretra dan disertai dengan penggunaan

otot secara sadar oleh pasien sehingga mencegah dribbling pasca

operasi TURP (Hall & Brody, 2005 dalam Majid, 2009).

Seperti yang dikatakan Rosenbaum, dkk . (2004) bahwa, perlu

dilakukan perawatan sedini mungkin dan latihan khusus terkait

inkontinensia untuk membantu kemajuan pemulihan pasca operasi.

Latihan sedini mungkin ini dilakukan ketika klien masih terpasang

kateter, ini bertujuan untuk mempersiapkan bladder ketika kateter

dilepas.

Hal tersebut dikatakan Rosebeum,dkk, (2004) yang mengatakan

fungsi urodinamik pasca reseksi prostat atau TURP khususnya terhadap

keluhan bahwa kegel exercises dapat dilakukan pada klien yang

terpasang kateter cukup lama, klien yang akan dilakukan pelepasan

dower kateter, klien yang mengalami inkontinensia retention urine, dan


21

klien post operasi. Menurut Wallace dan Frahm (2009) , kegel exercise

dapat dilakukan dengan posisi tubuh berbaring dan kedua lutut di tekuk

tanpa saling berdekatan. Kemudian mencoba untuk melakukan

kontraksi pada otot dasar pelvic seperti saat mencoba untuk menahan

buang angin. Lakukan latihan ini pagi, siang dan sore dengan lama

waktu menahan 10 detik. Klien harus melakukan latihan dengan tepat

dan sesuai prosedur untuk mencapai hasil yang optimal. Kegel exercise

yang dilakukan secara teratur dapat menghasilkan keefektifan dari

manfaat latihan tersebut. Nursalam, (2008) menjelaskan bahwa, kegel

exercise harus dilakukan rutin untuk memperkuat penutupan uretra dan

secara reflek menghambat kontraksi kandung kemih. Tingkat

keberhasilan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Rosenbaum

(2004), tingkat keberhasilan kegel exercise terhadap pencegahan

inkontinensia urin dipengaruhi oleh faktor pendukung dan faktor

penghambat. Faktor penghambat keberhasilan kegel exercise

menangani inkontinensia urine dapat berupa tidak rutin dalam

melakukan latihan dan durasi atau sesi latihan tidak sesuai dengan

prosedur yang sudah ditetapkan. Sedangkan faktor pendukungnya

berupa klien setuju untuk dilakukan latihan, kooperatif dalam

melakukan latihan, rutin dalam melakukan kegel exercises, dan durasi

latihan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Keberhasilan dapat

ditandai dengan klien mengatakan sudah tidak sakit saat miksi, mampu

mencapai waktu toilet antara waktu dorongan dan pengeluaran urin,


22

berwarna jernih dengan bau yang khas (Bulechek, dkk.,2016).

Keberhasilan kegel exercises dapat dinilai pada beberapa minggu

setelah latihan. Lama waktu pelaksanaan latihan otot dasar panggul

berkisar antara 3 minggu sampai 12 minggu. Semua latihan

menekankan pentingnya latihan secara teratur di rumah. Pada minggu

pertama klien sudah dapat merasakan hasilnya yaitu berkurangnya

keluhan yang dirasakan. Latihan yang dilakukan meliputi

mengencangkan otot –otot yang digunakan untuk menghentikan flatus

atau aliran urin selama 10 detik, kemudian ditingkatkan, selanjutnya

istirahat selama 10 detik. Untuk efektifitas latihan ini perlu untuk

dilaksanakan 2 atau 3 kali sehari sampai paling tidak selama 6 minggu.

Smeltzer & Bare (2013). yang menjelaskan kondisi dribbling pulih

setelah maksimal 6 minggu dilakukan kegel exercises pada klien post

operasi BPH.

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut Nursalam (2008), menyatakan fokus pengkajian data BPH

berdasarkan dari kaji riwayat adanya gejala meliputi serangan, frekuensi

urinaria setiap hari, berkemih pada malam hari, sering berkemih,

perasaan tidak dapat mengosongkan vasika urinaria, dan menurunnya

pacaran urine. Kemudian gunakan indeks gejala untuk

menentukan gejala berat dan dampak terhadap gaya hidup pasien.

Lakukan pemeriksaan rektal (palpasi ukuran, bentuk, dan konsistensi) dan


23

pemeriksaan abdomen untuk mendetaksi distensi kandung kemih serta

derajat pembesaran prostat dan lakukan pengukuran erodinamik yang

sederhana, uroflowmetry, dan pengukuran residual prostat, jika

indikasikan.

Konsep asuhan keperawatan menurut (DiGuilio dkk, 2014), dimulai

dengan pengkajian yang merupakan bagian pertama untuk mengelola, dan

dari pengkajian dapat disimpulkan penyebab risiko utama inkontinensia

urine dan manajemen yang tepat untuk setiap klien, diantaranya yaitu:

a) Riwayat Kesehatan Klien

1) Keluhan utama yang terkait dengan perasaan subjektif klien pada

gangguan eliminasi setelah dilakukannya operasi, misalnya perasaan

ingin miksi yang sangat mendesak.

2) Riwayat operasi dan riwayat penyakit dahulu penyakit misalnya

penyakit saraf dan diabetes.

3) Kaji ada nyeri saat miksi dan harus menunggu lama dan harus

mengedan, seberapa sering klien miksi, apakah dapat menahan

perasaan ingin miksi yang sangat mendesak, dan terbangun pada

malam hari untuk miksi

4) Obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat merokok dan konsumsi

alkohol.
24

b) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan head to toe yang dilakukan secara menyeluruh dari kepala

sampai ujung kaki secara sistematis yang meliputi keadaan umum,

TTV, kepala, bagian wajah, telinga, leher, ekstermitas atas dan bawah,

dada, punggung, abdomen, genetalia, anus, dan rectum

2. Diagnosa

Menurut Carpenito dan Moyet (2007), diagnosa merupakan tahap kedua

dari proses yang sebelumnya dilakukan analisa data. Diagnosa merupakan

pernyataan untuk menggambarkan status kesehatan klien dan keluarganya.

Data pengkajian menunjukkan apakah diagnosa berupa actual atau resiko.

Diagnosa juga harus meliputi kemungkinan penyebab masalah yang

dialami klien. Berdasarkan hal tersebut, diagnosa yang mungkin muncul

pada klien post operasi BPH diantaranya:

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.

2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasiv.

3) Inkontinensia urine dorongan berhubungan dengan infeksi kandung

kemih

3. Perencanaan

Menurut Bulechek, dkk (2016), perencanaan keperawatan atau Nursing

Intervention Classification (NIC) pada risiko inkontinensia urine dorongan

pada klien post operasi BPH adalah :


25

a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

diharapkan masalah inkontinensia dorongan dapat dicegah

b. Nursing Outcome Classification (NOC):

1) Inkontinensia Urine

Tabel 2.1 indikator dan skala perencanaan kontinensia urin.

Skala
Indikator
Awal Akhir
Mengosongkan kandung kemih sepenuhnya 2 5
Mencapai toilet antara waktu dorongan 2 5
Berkemih dan pengeluaran urin
Urin residu klien >100-200 ml 2 5
Mampu mengerti dan melakukan kegel execise 2 5
dengan tepat sesuai yang diajarkan

Keterangan skala :

1 : Berat

2 : Cukup berat

3 : Sedang

4 : Ringan

5 : Tidak ada

c. Nursing Intervention Classification (NIC) :

1) Manajemen Eliminasi Urin

a) Monitor eliminasi urin.

b) Monitor tandan gejala retensi urin.

c) Batasi intake cairan 2-3 jam sebelum tidur.


26

d) Anjurkan klien dan keluarga mencatat haluran urin dan pola urin

jika diperlukan.

1. Perawatan Inkontinensia Urine

a) Identifikasi multifaktor yang menyebabkan inkontinensia

urine.

b) Anjurkan klien untuk minum minuman 1500cc perhari.

c) Tetapkan interval jadwal eliminasi dengan rutinitas yang

dilakukan setiap hari.

d) Kurangi konsumsi yang menyebabkan iritasi bladder.

2. Latihan otot dasar pelvic

a) Kaji kemampuan urgensi berkemih.

b) Instruksikan klien untuk menahan otot-otot sekitar uretra

dan anus, kemudian relaksasikan seperti ingin menahan

buang angina selama 10 detik dilakukan 10 kali selama 3-

5 menit.

4. Implementasi

Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana asuhan keperawatan

oleh perawat pada klien. Perawat memiliki tanggung jawab untuk fokus

pada klien dan berorientasi pada hasil seperti yang dirumuskan pada

rencana. Pada implementasi klien post operasi BPH dengan fokus utama

inkontinensia urine dorongan, penulis melakukan tindakan inovasi untuk

menunjang asuhan keperawatan berupa metode kegel exercises. Tujuannya

adalah untuk meningkatkan resistensi uretra. Kegel exercises dilakukan

dengan posisi berbaring dan kedua lutut ditekuk tanpa saling berdekatan.
27

Lakukan kontraksi pada otot dasar pelvic seperti mencoba menahan buang

angin. Lakukan latihan ini pagi, siang dan sore dengan lama waktu menahan

10 detik sebanyak 10 kali selama 3-5 menit. Perawat harus selalu memantau

keadan klien, produksi urin, pola berkemih, fungsi kognitif, masalah

bekemih yang dialami dan pengobatan (Wallce & Frahm, 2009 ).

5.Evaluasi

Evaluasi yang diharapkan pada klien post operasi BPH tidak terjadi

inkontinensia urine dorongan setelah dilakukan tindakan operasi 3 x 24 jam

dan dilanjutkan satu minggu pertama.


28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Dalam laporan kasus ini penulis melaksanakan pengelolaan pada pasien

post operasi BPH. Penulis memfokuskan pada satu masalah keperawatan yaitu

inkontinensia urine dorongan. Desain Penelitian deskripsif dengan pendekatan

studi kasus.

Studi kasus yaitu studi yang mengeksplrasi suatu masalah atau fenomena

dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam dan

menyertakan berbagai sumber informasi. Studi kasus dibatasi oleh waktu dan

tempat serta kasus yang dipelajari berupa peristiwa, aktivitas atau individu.

B. Subjek Penelitian

Subjek atau partisipan dalam studi kasus ini adalah dua klien dengan

masalah keperawatan dan diagnosis medis yang sama, yaitu asuhan

keperawatan pada klien yang mengalami Inkontinensia urine dorongan pada

post operasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) di RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara

convenience sampling, merupakan teknik sampling yang samplingnya diplih

berdasarkan pertimbangan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh sampling

yang yang memiliki karakteristik yang dikehendaki oleh peneliti Dalam kasus

ini menggunakan dua responden (klien), dimana memiliki kriteria sebagai

berikut:
29

1. Kriteria inklusi

a. Dua Klien post operasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) di ruang

perawatan rawat inap di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto.

b. Klien dengan post operasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) minimal

dirawat 3 hari.

c. Klien telah terdiagnosa keperawatan Inkontinensia Urine dorongan.

d. Klien bersedia menjadi responden.

2. Kriteria ekslusif

a. Klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) dengan komplikasi Hernia

b. Klien tidak bersedia menjadi responden.

C. Fokus Studi

Karya tulis ilmiah studi kasus ini berjudul Asuhan Keperawatan Pada

Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Dengan Fokus

Studi Inkontinensia Urine Dorongan

D. Definisi Operasional Fokus Studi

Inkontinensia urine dorongan adalah pengeluaran urin secara involunter

yang terjadi segera setelah keinginan berkemih yang keluar muncul

(NANDA,2015), dengan post operasi Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

yang dilakukan perawatan dengan cara latihan otot dasar pelvic atau senam

kegel (kegel exercises). Kegel exercises adalah latihan untuk menguatkan otot

– otot panggul secara sadar dengan melakukan gerakan kontraksi berulang –

ulang untuk menurunkan inkontinensia urine (Memorial Hospital, 2009).


30

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang penulis gunakan adalah menggunakan format

yang meliputi: pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, perencanaan,

penatalaksanaan, dan evaluasi

F. Metode Pengumpulan data

Pada penelitian ini metode pengumpulan data yang dilakukan

untuk memperoleh data subjek penelitian menurut (Anggraini, 2013)

meliputi:

1. Wawancara

Dalam pengkajian kasus ini, wawancara dilakukan dengan pasien,

maupun keluarga pasien, dan tim kesehatan lainnya untuk

mendapatkan data subyektif. Data yang perlu ditanyakan yaitu : Data

biografi pasien, kaji keluhan pasien, pola persepsi tentang kesehatan,

pola aktivitas kesehatan, pola nutrisi dan metabolik, pola eliminasi, pola

istirahat, pola kognitif, pola persepsi diri, pola peran hubungan, pola nilai

keyakinan, dan pengkajian fisik dimulai dari keadaan umum, pernafasan,

metabolik dan integumen, dan neuro atau sensori.

2. Observasi

Dalam studi kasus ini, observasi dilakukan dengan cara melakukan

pengamatan secara umum, dilakukan melalui pemeriksaan fisik secara

head to toe dengan menggunakan teknik Inspeksi, Palpasi, Perkusi,

Auskultasi (IPPA).
31

3. Pemeriksaan penunjang

Untuk mendukung hasil pengamatan yang maksimal, maka peneliti

menggunakan dokumen pendukung. Dokumen pendukung ini berupa data

yang diperoleh dari status rekamedik pasien seperti Pemeriksaan

penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: pemeriksaan laboratorium darah

(Hb, leukosit, trombosit) ,urinalisis, pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan

kreatinin), pemeriksaan USG dan pemeriksaan patologis.

4. Studi dokumentasi

Pada kasus ini penulis melakukan pengumpulan data yang terdapat di

RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto atau melalui status (rekam

medik) yang dimiliki klien seperti hasil laboratorium dan pemeriksaan

diagnostik, yang berhubungan dengan data yang mendukung klien dengan

Inkontinensia urine dorongan pada post Benigna Prost Hyperplasia

(BPH).

G. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi yang digunakan penulis dalam penyusunan asuhan keperawatan

pada post operasi Benigna Prostat Hyperplasia ( BPH ) dengan fokus studi

Inkontinensia Urine dorongan yaitu di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto lama waktu sejak klien pertama kali masuk rumah sakit sampai

pulang dan atau klien yang dirawat minimal 3 hari. Jika sebelum 3 hari klien

sudah pulang, maka perlu penggantian klien lainnya yang sejenis, dan bila

perlu dapat dilanjutkan dalam bentuk home care.


32

H. Analisis Data dan Penyajian Data

Dalam melakukan analisis, data terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan

mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh

dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan terutama dalam pengujian

hipotesis. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus

ditempuh, diantaranya:

1. Pengumpulan data

Dalam melakukan pengumpulan data yang diperlukan dalam asuhan

keperawatan pada klien Inkontinensia Urine dorongan pada pasien post op

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) dapat dilakukan melalui hasil

wawancara, observasi, dan dokumentasi.

2. Mereduksi data ( rangkuman/ hal hal pokok )

Data dari hasil wawancara yang sudah terkumpul dijadikan dalam bentuk

transkip dan dikelompokkan menjadi data subjektif dan obyektif kemudian

dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik.

3. Penyajian data

Penyajian data yang digunakan penulis adalah dengan menggunakan tabel,

gambar, bagan atau teks naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan

cara mengaburkan identitas klien.

4. Kesimpulan

Dari data yang terkumpul kemudian data tersebut akan dibahas dan

dibandingkan dengan hasil sebelumnya dan secara teoritis menggunakan

perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan menggunakan metode


33

induksi. Metode induksi adalah proses pembentukan hipotesis dan

pengambilan kesimpulan berdasarkan data yang diobservasi dan

dikumpulkan terlebih dahulu. Data yang dikumpulkan terkait dengan data

pengkajian, diagnosis, perencanaan, tindakan, dan evaluasi.

I. Etika Penelitian

Menurut Hidayat (2010) etika penelitian yang mendasari penyusunan karya

tulis ilmiah ini adalah:

1. Informed Consent (lembar persetujuan menjadi klien)

Penulis memberikan lembar persetujuan penelitian kepada responden.

Kemudian peneliti memberikan informasi yang adekuat mengenai tujuan

dari asuhan keperawatan yang akan dilakukan dan memberikan informasi

terkait dengan hak dan kewajiban responden. Peneliti memberikan

kesempatan kepada responden untuk mengambil keputusan apakah

bersedia ataupun menolak berpartisipasi secara sukarela.

2. Anonimity (tanpa nama)

Penulis menjamin akan menjaga kerahasiaan klien dengan cara

mencantumkan inisial nama pada laporan kasus.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Penulis menjamin kerahasiaan dari hasil laporan kasus baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya seperti terkait informasi responden

disimpan dilaptop pribadi penulis. Hanya kelompok data tertentu yang

akan dilaporkan sebagai hasil penulisan dan data yang ditampilkan bersifat

umum.
34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran lokasi pengambilan data

Pada bab ini, penulis akan membahas tentang laporan kasus asuhan

keperawatan inkontinensia urine dorongan pada Tn. SD dan Tn. SW

post operasi BPH di Ruang Kenanga dan Edelweis RSUD Prof. Dr.

Margono Soekardjo Purwokerto yang meliputi pengkajian, diagnosa,

intervensi, implementasi dan evaluasi. Asuhan keperawatan ini

dilakukan selama 3 hari di Rumah Sakit yaitu pada Tn. SD tanggal 12

April 2018 sampai 14 April 2018 dan Tn. SW pada tanggal 20 April

2018 sampai 22 April 2018 serta dilanjutkan dirumah untuk keduanya.

2. Pengkajian

a. Identitas klien

Tabel 4.1 Identitas Klien

IDENTITAS Klien 1 Klien 2


Nama Tn.SD Tn. SW
Umur 68 Tahun 68 Tahun
Jenis Kelamin Laki – laki Laki- laki
Alamat Pandansari ¼ Bancarkembar RT 3/6
Paguyangan Purwokerto Utara
Pendidikan SD SD
Pekerjaan Buruh Buruh
Agama Islam Islam
Suku / Bangsa Jawa / Indonesia Jawa/ Indonesia
Status Pernikahan Menikah Menikah
No.RM 00-88-16-19 22-08-19-28
Diagnosa medis Post op BPH Post op BPH
Tanggal Masuk 10 April 2019 18 April 2019
Asuhan di RS 10-14 April 2019 18-23 April 2019
35

b. Riwayat Penyakit

Tabel 4.2 Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit Klien 1 (Tn.SD) Klien 2 (Tn. SW)


Keluhan Utama Pasien mengatakan nyeri Pasien mengatakan nyeri
setelah dilakukan tindakan setelah dilakukan
operasi tindakan operasi
P : Nyeri karena operasi P : Nyeri karena operasi
Q : Di sayat – sayat Q : Di sayat – sayat
R : Genetalia R : Genetalia
S : skala 6 S : skala 6
T : sering T : sering

Keluhan tambahan Pasien mengatakan Pasien mengatakan


kencing secara normal di kencing secara normal di
bantu selang setelah bantu selang setelah
operasi, Air kencing operasi, Air kencing
berwana kuning keruh ± bercampur darah
400 cc, masih terasa sakit berwana merah terang ±
ketika urin keluar , Pasien 1500 cc, masih terasa
dan keluarga mengatakan sakit ketika urin keluar ,
tidak begitu paham Pasien dan keluarga
tentang penyakit dan mengatakan tidak begitu
penangangannya. paham tentang penyakit
dan penangangannya.

Riwayat penyakit Pasien mengatakan hari Pasien mengatakan hari


sekarang rabu 10 April 2019 datang kamis 18 April 2019
ke IGD RSUD Prof. Dr. datang ke Poli urologi
Margono Soekarjo RSUD Prof. Dr.
Purwokerto. Pasien Margono Soekarjo
mengeluh Nyeri saat Purwokerto. Pasien
Kencing dan Sulit BAB , mengeluh Nyeri saat
Pasien saat ini sudah di Kencing dan merasa
rawat di ruang Kenanga tidak puas saat kencing,
bed 8 dan sudah Pasien saat ini sudah di
dilakukan operasi rawat di ruang Edelwais
padahari Kamis 11 April bed 20 dan sudah
2019, sampai saat ini dilakukan operasi pada
pasien masih dalam hari Sabtu 20 April
pantauan dan dalam 2019, sampai saat ini
proses penyembuhan pasien masih dalam
pantauan dan dalam
proses penyembuhan
36

Tabel 4.2 Riwayat Penyakit

Riwayat Penyakit Klien 1 (Tn. SD) Klien 2 (Tn. SW)


Riwayat penyakit Pasien mengatakan sudah Pasien mengatakan
dahulu pernah sulit BAK, nyeri, sudah pernah sulit BAK,
dan panas ketika BAK ± 1 nyeri, dan panas ketika
tahun yang lalu . Pasien BAK ± 4 bulan yang
mengatakan mempunyai lalu . Pasien mengatakan
riwayat hipertensi dan tidak mempunyai
diabetes militus. Pasien riwayat hipertensi .
mengatakan tidak Pasien mengatakan tidak
memiliki alergi obat memiliki alergi obat
maupun makanan. maupun makanan

Riwayat keluarga Pasien mengatakan Pasien mengatakan


keluarga nya ada yang keluarganya tidak ada
memiliki penyakit seperti yang memiliki penyakit
beliau yaitu BPH dan seperti pasien yaitu BPH
hipertensi

c. Perubahan Pola kesehatan

Tabel 4.3 Perubahan Pola Kesehatan

Pola Klien 1 (Tn.SD) Klien 2 (Tn.SW)


Kesehatan
Pola persepsi dan DS : Pasien dan keluarga DS : Pasien dan keluarga
manajemen mengatakan mengatakan
kesehatan kesehatan kesehatan
merupakan hal merupakan hal
penting dan apabila penting dan apabila
ada anggota ada anggota
keluarga yang sakit keluarga yang sakit
langsung dibawa ke langsung dibawa ke
pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan
terdekat terdekat.
DO : Pasien dirawat di DO : Pasien dirawat di ruang
ruang Kenangan Edelweis bed 20
bed. 8 RSUD Prof. Dr.
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Margono Soekarjo Purwokerto untuk
Purwokerto untuk kesembuhannya
kesembuhannya.
37

Tabel 4.3 Perubahan Pola Kesehatan

Pola Kesehatan Klien 1 (Tn. SD) Klien 2 (Tn.SW)


Pola Nutrisi DS : Pasien mengatakan DS : Pasien mengatakan
tidak nafsu makan dan tidak nafsu makan dan
minum sedikit minum 2
DO :Terlihat ada sisa DO : Terlihat ada sisa
makanan di meja makanan di meja
pasien BB :45 kg , pasien.BB :71 kg ,
TB : 155 cm TB : 165 cm
Pola Eliminasi DS :Hari kedua setelah DS : Hari pertama setelah
operasi pasien operasi Pasien
mengatakan BAK di mengatakan BAK di
bantu selang DC , bantu selang DC ,
masih merasa nyeri masih terasa sakit
ketika urin keluar. DO : Pasien terpasang DS
DO : Pasien terpasang DS threeway dan selang
threeway dan selang irigasi NaCl 0,9 %.
irigasi NaCl 0,9 %. Selang DC ukuran
Selang DC ukuran 20 . Air kencing
20 . warna urin bercampur dengan
kuning keruh ±400 darah berwarna merah
cc terang ±1500 cc
Pola Aktivitas DS : Setelah operas i DS : Setelah operasi pasien
dan latihan pasien mengatakan mengatakan semua
semua aktivitasnya aktivitasnya dibantu
dibantu oleh oleh keluarga
keluarga. DO : Pasien melakukan
DO : Pasien melakukan mandi, makan dan
mandi, makan dan minum, berpakaian,
minum , mobilitas tempat tidur
berpakaian , dan ambulasi di bantu
mobilitas tempat oleh orang lain dan
tidur dan ambulasi toileting di bantu alat
di bantu oleh
orang lain dan
Toileting di bantu
alat
Pola Persepsi dan DS :Keluarga pasien DS : Keluarga pasien
Kognisi mengatakan pasien mengatakan pasien
masih dapat masih dapat
berkomunikasi berkomunikasi dengan
dengan baik. Pasien baik. Pasien
mengatakan fungsi mengatakan fungsi
penglihatan penglihatan terganggu
terganggu namun namun fungsi
fungsi pendengaran,
38

Tabel 4.3 Perubahan Pola Kesehatan

Pola Kesehatan Klien 1 (Tn. SD) Klien 2 (Tn.SW)


pendengaran, dan dan penciuman
penciuman berfungsi berfungsi dengan baik
dengan baik DO : Pasien menggunakan
DO : Pasien nyambung kacamata dan
saat diajak nyambung saat diajak
berkomunikasi berkomunikasi
Pola Istirahat dan DS : Pasien mengatakan DS : Pasien mengatakan
Tidur pasen tidak bisa tidak bisa tidur
tidur nyenyak nyenyak karena
karena terkadang terkadang bangun
bangun ketika ketika merasakan
merasakan nyeri nyeri
DO : pasien tampak sedikit DO : pasien tampak sedikit
lesu lesu

Pola Konsep Diri DS : Pasien mengatakan DS : Pasien mengatakan


setelah setelah mendapatkan
mendapatkan perawatan di Rumah
perawatan di Sakit maka
Rumah Sakit maka penyakitnya akan
penyaitnya akan dapat sembuh dan
dapat sembuh dan segera pulang
segera pulang kerumah.
kerumah. DO : Pasien dan keluarga
DO : Pasien dan keluarga kooperatif dalam
kooperatif dalam segala tindakan
segala tindakan keperwatan yang
keperawatan yang dilakukan
dilakukan
Pola Peran dan DS : Pasien mengatakan DS : Pasien mengatakan
hubungan dirinya adalah dirinya adalah suami
suami dari istrinya dari istrinya dan ayah
dan ayah dari 2 dari 2 anak
anak DO : Pasien tampak
DO : Pasien tampak ditunggu oleh
ditunggu oleh keluarganya selama di
keluarganya selama rawat di rumah sakit
di rawat di rumah
sakit.
39

Tabel 4.3 Perubahan Pola Kesehatan

Pola Kesehatan Klien 1 (Tn. SD) Klien 2 (Tn.SW)


Pola keyakinan DS : Pasien mengatakan DS : Pasien mengatakan
dan nilai beragama islam dan beragama islam dan
rajin beribadah rajin beribadah serta
serta berdoa untuk berdoa untuk
kesehatannya kesehatannya
DO : Pasien dan keluarga DO : Pasien dan keluarga
tampak selalu tampak selalu berdoa
berdoa dan berusaha dan berusaha untuk
untuk kesembuhan kesembuhan pasien
pasien

d. Pemeriksaan fisik

Tabel 4.4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik Klien 1 (Tn.SD) Klien 2 (Tn.SW)


Keadaan umum Baik Baik
Kesadaran Composentris Composentris
Tanda-tanda vital
Tekanan darah 150/90 mmHg 160/ 90 mmHg
Denyut Nadi 86 x / menit 84 x / menit
Respirasi 21 x / menit 24 x / menit
Suhu 37,8 °C 36,5 °C
Pemeriksaan Head To
Toe
Kepala bentuk mesochepal, bentuk mesochepal,
rambut pendek bersih rambut pendek
beruban
bersih beruban
Mata mata simetris, fungsi mata simetris, fungsi
penglihatan terganggu penglihatan
mempunyai riwayat
penyakit glukoma
terganggu
Telinga bentuk simetris, fungsi bentuk simetris, fungsi
pendengaran baik pendengaran baik
Hidung bentuk simetris, bersih, bentuk simetris,
fungsi penciuman baik bersih, fungsi
penciuman baik

Mulut Tidak ada sianosis Tidak sianosis


Leher Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
kelenjar tyroid kelenjar tyroid
40

Tabel 4.4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik Klien 1 (Tn.SD) Klien 2 (Tn.SW)


Dada
Jantung
Inspeksi Simetris Simetris
Palpasi Teraba ictus cordis pada Teraba ictus cordis
ICS 4-5 pada ICS 4-5
Perkusi Sonor Sonor

Inspeksi Datar Datar


Perkusi Tidak ada nyeri tekan Tidak ada nyeri tekan
Auskultasi Suara tympany Suara tympany
Palpasi Bising usus normaal 12x Bising usus normaal
/ menit 12x / menit
Integumen turgor kulit baik, CRT turgor kulit baik, CRT
( Capilary Refill Time ( Capilary Refill Time
<2 detik), tidak sianosis <2 detik), tidak sianosis
Genetalia terpasang DC three way terpasang DC three way
ukuran 20 ukuran 20
Ekstermitas Atas : Terpasng selang Atas : Terpasng selang
infus RL di infus RL di
tangan sebelah tangan sebelah
kiri , tidak kiri , tidak
terdapat edema, terdapat edema,
tidak terdapat tidak terdapat
luka luka
Bawah : Tidak terdapat Bawah : Tidak terdapat
edema, tidak edema, tidak
terdapat luka terdapat luka

a. Hasil pemeriksaan Diagnostik

Tabel 4.5 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil
Laboratorium Klien 1 Klien 2
Satuan Nilai Normal
Tanggal (Tn.SD) (Tn.SW)
10 April 2019 18 April 2019
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 14,3 13,4 g/dL 13,2-17,3
Leukosit H 14320 H 6220 u/L 3800-10600
Hematocrit 41 40 ϴ 40-52
Eritrosit 5,1 5,1 106/Ul 4,4-5,9
Trombosit 389.000 176.000 u/L 150.000-
440.000
MCV 81,0 78,0 Fl 80-100
41

Tabel 4.5 Pemeriksaan Laboratorium Lanjutan

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Laboratorium Normal
Tanggal Klien 1 (Tn.SD) Klien 2 (Tn.SW)
10 April 2019 18 April 2019
MCH 28,0 26,0 Pg/cell 26-34
MCHC 34,6 33,5 ϴ 32-36
RDW 13,6 15,7 ϴ 11,5-14,5
HITUNG HASIL
Basofil 0,5 1,3 ϴ 0,0-1,0
Eosinophil 2,4 3,9 ϴ 2,0-4,0
Batang 2,4 1,0 ϴ 2,00-5,00
Segmen 79,1 60,2 ϴ 40,00-
70,00
Limfosit 10,1 27,7 ϴ 25,0-40,0
Monosit 5,5 5,9 ϴ 2,0-8,0
PT 10,0 10,3 Detik 9,9-11,8
APTT 31,5 38,9 Detik 26,4-37,5
KIMIA KLINIK
SGOT L 14 L 17 u/L 15-37
SGPT 24 25 u/L 16-63
Ureum darah 43,20 38,80 mg/dL 14,98-
38,52
Kreatinin Darah 1,09 1,26 mg/dL 0,70-1,30

e. Pemeriksaan Penunjang

Tabel 4.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil
Klien 1 (Tn.SD) Klien 2 (SW)
Tanggal 10 April 2019 18 April 2019
Thorax Hasil : Hasil :
- Apek pulmo bilateral - Cor : CTR > 50%
tampak tenang - Apeks Jantung
- Corakan vesikuler bergeser ke
pulmo dalam batas laterocaudal
normal - Pulmo : Corakan
- Tak tampak nodul , vaskuler normal
fibrotic maupun - Tak tampak bercak
klasifikasi pada kedua kedua
- Sinus costofrenicus lapangan paru
dextra sinistra - Hemidiafragma
kanan setinggi
42

Tabel 4.6 Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Pemeriksaan Hasil
Klien 1 (Tn.SD) Klien 2 (SW)
Tanggal 10 April 2019 18 April 2019
- lancip - kosta 10 posterior
- Diafragma dextra - Sinus kostofrenikus
et sinistra licin tak kanan kiri lancip
mend atar Kesan :
- Cardomegaly (LV)
- Cor. CTR : 0,50
- Pulmo dalam batas
deng an penonjolan normal
aortic knob
- Sistema tulang
intacttak tampak
lesi litik mapun
sklerotik pada foto
saat ini
Kesan :
- Pulmo dalam batas
normal
- Mild cardiomegali
denga n elongatio
aorta
Cystografis Hasil :
X Foto Polos
Tak tampak opasitas
patologis pada vakum
pelvis
- Pemeriksaa n cystografi
(terpasang balon
kateter )
- Tampak k ontras mengisi
lancar ves ika urinaria .
Vesika uri naria dinding
irreguler . Tak tampak
indentasi pada aspek
inferoposterior
- Tampak additional
shadow. Bentuk oval
batas tega s , soliter pada
aspek lateroposterior
kiri . Post miksi , masih
tampak sis a kontras
43

Tabel 4.6 Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Pemeriksaan Hasil
Klien 1 (Tn.SD) Klien 2 (SW)
Tanggal 10 April 2019 18 April 2019
Kesan : Hasil :
- Identasi pada aspek - Preperitoneal fat line
inferoposterior vesika kanan kiri baik
urinaria → masih - Psoas line kana kiri dan
mungkin gambaran kontur kedua ginjal baik
pembesaran prostat - Tak tampak opasitas
- Cystitis patologis pada cavum
- Divertikel vesika abdomen maupun cavum
urinaria pada aspek pelvis
lateroposterior kiri - Jumlah dan distribusi
udara usus normal
- Tak tampak distensi
maupun dilatasi loo-
doop usus
- Tak tampak gambaran
coiled spring maupun
herring bone
- Tampak fekal material
- Tak tampak free air

X-Foto Kesan :
Abdomen AP - Tak tampak urolith opak
Supine pada vacum abdomen
maupun cavum pelvis
- Tak tampak gambaran
ileus
EKG Pemeriksaan EKG di Pemeriksaan EKG di
lakukan 10 April 2019 lakukan 18 April 2019
dengan hasil interpretasi dengan hasil interpretasi
sinus normal sinus rytme sinus normal sinus rytme
dan normal EKG tanpa dan normal EKG tanpa
elevasi dan depresi elevasi dan depresi

f. Terapi

Tabel 4.7 Terapi

Terapi Klien 1 (Tn.SD) Klien 2 Tn.SW)


Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr 2 x 1 gr
Injeksi Ketorolac 2 x 30 mg 2 x 30 mg
Injeksi Ranitidine 2 x 30 mg 2 x 30 mg
Injeksi Furosemid 2 x 10 mg 2 x 10 mg
Injeksi Asam Tranexamat 3 x 500 mg 3 x 500 mg
Infus RL 20 tpm 20 tpm
Irigasi NaCl 0,9 %
44

3. Analisa data

Tabel 4.8 Analisa Data

Data Etiologi Masalah


Klien 1
DS : Pasien mengatakan BAK masih di Hiperaktivitas Inkontinensia
bantu dengan selang , pasien detrusor dengan Urine dorongan
mengatakan masih merasa nyeri gangguan
ketika urin keluar kontraktilitas
DO : Pasien terpasang selang DC three kandung kemih
way ukuran 20 , aliran urin
lancar , tidak terjadi sumbatan ,
urin berwarna kuning keruh
bercampur darah
Klien 2
DS : Pasien mengatakan BAK masih Hiperaktivitas Inkontinensia
dibantu dengan selang pasien detrusor dengan Urine dorongan
mengatakan masih merasa nyeri gangguan
ketika urin keluar, merasa tidak kontraktilitas
puas saat berkemih

DO :
Pasien terpasang selang DC three
way ukuran 20 , aliran urin
lancar , tidak terjadi sumbatan ,
urin bercampur darah berwarna
merah terang

4. Diagnosa Keperawatan

Tabel 4.9 Diagnosa Keperawatan

Klien Diagnosa Keperawatan


Klien 1 Inkontensia urin dorongan berhubungan dengan
Klien 2 Hiperaktivitas detrusor dengan gangguan kontraktilitas
kandung kemih
45

5. Perencanan

Tabel 4.10 Perencanan

Diagnosa Kriteria Hasil Perencanaan


keperawatan
Klien 1
Dx NOC NIC
Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan Manajement Cairan (4120)
urine dorongan keperawan 3 x 24 jam di 1. Monitor makanan dan
b.d harapkan inkontensia urin minuman yang di
Hiperaktivitas dorongan dapat berkurang konsumsi
detrusor dengan indikator : 2. Monitor tanda – tanda
dengan Kontinensia urin (0502) vital pasien
gangguan Eliminasi urin 3. Dukung pasien dan
kontraktilitas Indikator Awal Tujuan keluarga untuk
kandung - Menahan 1 4 membantu dalam
kemih adanya pemberian makan yang
dorongan baik
keinginan Perawatan selang :
untuk Perkemihan (1867)
berkemih 1. Bersihkan kateter urin
- Memulai 1 4 eksternal pada meatus
dan dan daerah kulit secara
menghenti berkala
kan urin 2. Kaji karakteristik
- Mampu 2 4 drainase urin
mengerti 3. Monitor terkait distensi
dan kandung kemih
melakukan
k egel
execise
dengan
tepat sesui
yang di
ajarkan
46

Tabel 4.10 Perencanan Lanjutan

Diagnosa Kriteria Hasil Perencanaan


keperawatan
Klien 1
Dx NOC NIC
Keterangan : Latihan Kandung kemih
1 : Tidak pernah menunjukan (0570)
2 : Jarang menunjukan 1. Pertimbangkan
3:Kadang – kadang kemampuan untuk
menunjukan mengenali dorongan
4 : Sering menunjukan pengosongan kandung
5 : Selalu menunjukan kemih dan lakukan
bladder training
2. Ajarkan pasien untuk
seacara sadar menahan
urin sampai waktu yang
dijadwalkan
Latihan otot pelvis (0560)
1. Intrusikan pasien untuk
menahan otot - otot
sekitar uretra dan anus ,
kemudian relaksasi ,
seolah – olah ingin
menahan buang air kecil
2. Kaji kemampuan urgensi
berkemih pasien
6. Pelaksanaan

Tabel 4.11 Pelaksanaan

IMPLEMENTASI
Klien 1
Diagnosa Keperawatan
Inkontinensia urine dorongan berhubungan dengan Hiperaktivitas detrusor dengan gangguan kontraktilitas kandung kemih
12 April 2019 13 April 2019 14 April 2019
Jam Tindakan Jam Tindakan Jam Tindakan
08.00 - Mengkaji keadaan umum 06.00 - Mengobservasi KU pasien 06.00 - Mengobservasi keadaan pasien
08.15 - Menanyakan keluhan pasien 06.30 - Menganjurkan pasien untuk 06.30 - Menganjurkan pasien untuk sarapan
08.30 - Mengukur tanda - tanda vital sarapan pagi
pasien 07.00 - Mengganti cairan infus RL 07.00 - Mengajarkan latihan otot – otot
09.00 - Mengobservasi eliminasi urin 08.00 - Memberikan terapi obat injeksi pelvis / k egel exercise
09.30 - Memberikan terapi obat Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr, Injeksi 07.30 - Melatih pasien dan keluarga bladder
Ceftriaxone 1 x 1 gr, Injeksi Ketorolac 2 x 30 mg, Injeksi training
Ketorolac 1 x 30 mg, Injeksi Ranitidine 2 x 30 mg, Injeksi 08.00 - Melakukan personal hygnr DC
Ranitidine 1 x 30 mg, Injeksi Furosemid 2 x 10 mg , Injeksi 08.30 - Mengukur tanda – tanda vital pasien
Furosemid 1 x 10 mg , Injeksi Asam Tranexamat 3 x 500 mg - Menyakan keluhan pasien
Asam Tranexamat 3 x 500 mg - Memonitor tanda - tanda vital 09.00 - Memberikan discharge planning
- Melakukan personal hygine di 08.30 - Melakukan personal hygine di 09.30 kepada pasien dan keluarga agar
10.00 daerah kelamin selang DC pasien daerah kelamin selang DC tetap monitor urin, menjaga pola
- Mengajarkan teknik relaksasi 09.00 pasien makan dan minum , Melakukan k egel
(nafas dalam ) untuk mengurangi - Mengganti cairan irigasi exercise dan bladder training . Dan
11.00 nyeri - Mengajarkan latihan otot – menganjurkan kontrol pada tanggal
- Menganjurkan pasien makan 09.15 otot pelvis / k egel exercise 24 April 2019
siang 09.30 - Monitor karakteristik urin
12.00
10.30

47
48

Tabel 4.11 Pelaksanaan Lanjutan

IMPLEMENTASI
Klien 1
Diagnosa Keperawatan
Inkontinensia urine dorongan berhubungan dengan Hiperaktivitas detrusor dengan gangguan kontraktilitas kandung kemih
12 April 2019 13 April 2019 14 April 2019
Jam Tindakan Jam Tindakan Jam Tindakan
15.30 - Mengajarkan teknik nafas dalam 12.00 - Memonitor makanan dan minuman 10.00 - Melepas infus pasien
kembali yang sudah di konsumsi
16.00 - Memberikan obat injeksi Asam 12.15 - Menganjurkan pasien untuk
Tranexamat 1 x 500 mg 14.00 istirahat
16.30 - Meminta pasien untuk makan - Mengobservasi urin yang di
18.00 sore 15.00 keluarkan melalui traksi DC
19.00 - Monitor produksi urin 16.00 - Mengganti cairan infus RL
20.10 - Monitor karakteristik urin - Memberikan obat injeksi asam
20.30 - Memberikan pasien posisi 17.00 tranexamat 1 x 500 mg
nyaman - Menganjurkan latihan otot – otot
21.30 - Mengkaji ulang nyeri yang 18.00 pelvis / k egel exercise
22.00 dirasakan pasien - Monitor makanan dan minuman
23.30 - Anjurkan pasien untuk istirahat 19.30 yang di konsumsi pasien
- Monitor distensi kandung kemih 21.00 - Memonitor karakteristik urin
- Memberikan terapi injeksi 21.30 - Menganjurkan pasien istirahat
Ceftriaxone ,Injeksi Ketorolac, 00.00 - Memberikan pasien posisi nyaman
Injeksi Ranitidine, Injeksi - Memberikan terapi injeksi
Furosemid, Injeksi Asam Ceftriaxone ,Injeksi Ketorolac,
tranexamat Injeksi Ranitidine, Injeksi
Furosemid,Asam Tranexamat
49

Tabel 4.11 Pelaksanaan Lanjutan

IMPLEMENTASI
Klien 2
Diagnosa Keperawatan
Inkontinensia urine dorongan berhubungan dengan Hiperaktivitas detrusor dengan gangguan kontraktilitas kandung kemih
12 April 2019 13 April 2019 14 April 2019
Jam Tindakan Jam Tindakan Jam Tindakan
12.00 - Mengkaji keadaan umum 06.00 - Mengganti cairan infus RL 06.00 - Mengobservasi keadaan pasien
- Menanyakan keluhan pasien 06.30 - Mengobservasi KU pasien 06.30 - Menganjurkan pasien untuk
12.15 - Mengukur tanda - tanda vital 07.00 - Menganjurkan pasien untuk sarapan pagi
pasien sarapan 07.00 - Mengajarkan latihan otot – otot
12.30 - Menganjurkan pasien untuk minum 08.00 - Memberikan terapi obat injeksi pelvis / k egel exercise
air putih yang banyak Ceftriaxone, Injeksi Ketorolac, 07.30 - Melatih pasien dan keluarga
13.00 - Meminta pasien untuk makan siang Injeksi Ranitidine Injeksi bladder training
- Memberikan posisi nyaman Furosemid Injeksi Asam 08.00 - Melakukan personal hygnr DC
13.30 - Mengajarkan teknik nafas dalam Tranexamat 08.30 - Mengukur tanda – tanda vital
14.00 - Meminta pasien untuk istirahat 08.30 - Memonitor tanda - tanda vital 09.00 pasien
14.45 - Mengganti cairan irigasi 09.00 - Menganjurkan pasien melakukan 10.00 - Menyakan keluhan pasien
15.00 - Mengobservasi eliminasi urin senam k egel exercise 11.30 - Monitor karakteristik urin
15.30 - Mengajarkan pasien untuk - Melakukan personal hygine di - Memonitor makanan yang sudah di
15.45 melakukan senam k egel exercise 09.15 daerah kelamin selang DC pasien 12.00 konsumsi
- Memberikan terapi obat Injeksi - Mengganti cairan irigasi - Menganjurkan pasien minum air
16.00 Asam Tranexamat 1 x 500 mg 12.00 putih yang banyak 3 liter / hari
- Melakukan personal hygine di 09.30 12.15 - Menganjurkan pasien untuk
16.15 daerah kelamin selang DC pasien istirahat
13.00 - Mengobservasi urin yang di
keluarkan melalui DC
- Mengganti cairan infus RL
50

Tabel 4.11 Pelaksanaan Lanjutan

IMPLEMENTASI
Klien 2
Diagnosa Keperawatan
Inkontinensia urine dorongan berhubungan dengan Hiperaktivitas detrusor dengan gangguan kontraktilitas kandung kemih
12 April 2019 13 April 2019 14 April 2019
Jam Tindakan Jam Tindakan Jam Tindakan
16.30 - Mengajarkan teknik relaksasi 10.00 - Menganjurkan pasien melakukan 14.00 - Menganjurkan latihan otot – otot
(nafas dalam ) untuk mengurangi senam k egel exercise pelvis / k egel exercise
nyeri 10.30 - Monitor karakteristik urin 16.00 - Memberikan obat injeksi asam
17.00 - Meminta pasien untuk makan sore 12.15 - Memonitor makanan yang sudah tranexamat 1 x 500 mg
- Monitor cairan IV yang masuk di konsumsi 16.30 - Monitor makanan yang di konsumsi
17.30 melalui selang infus 13.00 - Menganjurkan pasien minum air pasien
- Monitor produksi urin putih yang banyak 3 liter / hari 17.00 - Menganjurkan pasien minum air
18.30 - Monitor karakteristik urin 14.00 - Menganjurkan pasien untuk putih yang banyak
19.00 - Manganjurkan pasien untuk istirahat 17.30 - Menganjurkan pasien untuk
20.00 melaukan senam k egel execis 16.00 - Mengobservasi urin yang di melakukan senam kegel exercise
- Monitor distensi kandung kemih keluarkan melalui DC 19.30 - Memonitor karakteristik urin
20.30 - Mengkaji ulang nyeri yang 16.30 - Mengganti cairan infus RL 20.00 - Menganjurkan pasien istirahat
22.00 dirasakan pasien 17.00 - Menganjurkan latihan otot – otot 21.00 - Memberikan posisi nyaman
- Memberikan posisi nyaman pelvis / k egel exercise 23.30 - Memberikan terapi obat injeksi
23.00 - Menganjurkan pasien istirahat 17.30 - Memberikan obat injeksi asam Ceftriaxone Injeksi Ketorolac,
tranexamat 1 x 500 mg Injeksi Ranitidine, Injeksi
19.30 - Monitor makanan yang di Furosemid, Injeksi Asam
konsumsi pasien Tranexamat
51

Tabel 4.11 Pelaksanaan Lanjutan

IMPLEMENTASI
Klien 2
Diagnosa Keperawatan
Inkontinensia urine dorongan berhubungan dengan Hiperaktivitas detrusor dengan gangguan kontraktilitas kandung kemih
12 April 2019 13 April 2019 14 April 2019
Jam Tindakan Jam Tindakan Jam Tindakan
20.00 - Menganjurkan pasien minum air
putih yang banyak
21.00 - Menganjurkan pasien untuk
melakukan senam kegel exercise
- Memonitor karakteristik urin
21.30 - Menganjurkan pasien istirahat
- Memberikan Terapi obat
00.00
52

7. Evaluasi

Tabel 4.12 Evaluasi

Diagnosa : Inkontinensia urine dorongan berhubungan dengan Hiperaktivitas detrusor dengan gangguan kontraktilitas

kandung kemih

EVALUASI
Klien 1
12 April 2019 13 April 2019 14 April

S : Pasien mengatakan BAK masih sakit S : Pasien mengatakan saat BAK masih terasa sakitnya S : Pasien mengatakan saat BAK sudah
O :Terpasang DC three way ukuran 20 dan sudah berkurang tidak sakit
irigasi NaCl 0,9%, urin berwarna kuning O : Terpasang DC three way ukuran 20 dan irigasi O : Terpasang DC three way ukuran 20
keruh , aliran urin lancar NaCl 0,9%, urin berwarna kuning , aliran urin dan irigasi NaCl 0,9%, urin berwarna
A :Masalah Inkontinensia urine dorongan lancar kuning , aliran urin lancar
belum teratasi A : Masalah Inkontinensia urine dorongan belum A : Masalah Inkontinensia urine
P : Lanjutkn intervensi teratasi dorongan belum teratasi
- Kaji karakteristik drainase urine. P : Lanjutkn intervensi P : Lanjutkn intervensi
- Ajarkan Bladder training - Kaji karakteristik drainase urine. - Ajarkan Bladder training
- Ajarkan latihan otot-otot pelvis/ Kegel - Ajarkan Bladder training - Ajarkan latihan otot-otot pelvis
exercise - Ajarkan latihan otot-otot pelvis - Bersihkan kateter urine eksternal
- Bersihkan kateter urine eksternal pada - Bersihkan kateter urine eksternal pada meatus pada meatus
meatus dan daerah kulit secara berkala dan daerah kulit secara berkala.
dan daerah kulit secara berkala.
53

Tabel 4.12 Evaluasi Lanjutan

EVALUASI
Klien 1
Kunjungan Pertama Kunjungan kedua
18 April 2019 30 April 2019

S : Klien mengatakan melakukan bladder training, latihan otot pelvis/ S : Pasien mengatakan belum bisa mengontrol berkemih dan masih
k egel exercise dan melakukan perawatan kateter . Namun klien ngompol
mengeluh sulit BAK , masih terpasang kateter , aliran urin lancar , O : Urin berwarna kuning dan bau khas urin , Kateter di lepas pada tanggal
urin berwarna kuning 24 April 2019
O : Klien terpasang terpasang kateter , urin berwarn kuning dan bau khas A : Masalah belum teratasi
urin P : Lanjutkan Intervensi
A : Masalah belum teratasi - Ajarkan latihan otot – otot pelvis / Kegel exercise
P : Lanjutkn intervensi - Jaga eliminasi yang di jadwalkan sehingga dapat membantu
- Ajarkan Bladder training dalam mempertahankan kebiasaan berkemih
- Ajarkan latihan otot-otot pelvis
- Bersihkan kateter urine eksternal pada meatus dan daerah kulit
secara berkala.
54

Tabel 4.12 Evaluasi Lanjutan

EVALUASI
Klien 2
20 April 2019 21 April 2019 22 APRIL 2019

S : Pasien mengatakan BAK masih sakit S : Pasien mengatakan BAK masih sulit S : Pasien mengatakan BAK masih sulit
O :Terpasang DC three way ukuran 20 dan O : Terpasang DC three way ukuran 20 dan irigasi O : Terpasang DC three way ukuran 20 dan
irigasi NaCl 0,9%, urin berwarna NaCl 0,9%, urin bercampur darah warna merah irigasi NaCl 0,9%, urin berwarna kuning ,
merah pekat , aliran urin agak terang , aliran urin lancar aliran urin lancar
tersumbat A : Masalah Inkontinensia urine dorongan belum A : Masalah Inkontinensia urine dorongan
A : Masalah Inkontinensia urine dorongan teratasi belum teratasi
belum teratasi P : Lanjutkn intervensi P:Memberikan discharge planning kepada
P : Lanjutkn intervensi - Kaji karakteristik drainase urine. pasien dan keluarga
- Kaji karakteristik drainase urine. - Ajarkan Bladder training - agar tetap monitor urin
- Ajarkan Bladder training - Ajarkan latihan otot-otot pelvis - menjaga pola makan dan minum
- Ajarkan latihan otot-otot pelvis - Bersihkan kateter urine eksternal pada meatus - Melakukan k egel exercise dan bladder
- Bersihkan kateter urine eksternal dan daerah kulit secara berkala. training
pada meatus dan daerah kulit - Dan menganjurkan kontrol pada
secara berkala tanggal 30 April 2019
55

Tabel 4.12 Evaluasi Lanjutan

EVALUASI
Klien 2
Kunjungan Pertama Kunjungan kedua
26 April 2019 2 Mei 2019

S : Klien mengatakan melakukan bladder training, latihan otot pelvis/ S : Pasien mengatakan mengenali keinginan berkemih, sudah menjaga pola
k egel exercise dan melakukan perawatan kateter . Namun klien berkemih yang teratur namum respon berkemih belum tepat waktu, saat
mengeluh sulit BAK , masih terpasang kateter , aliran urin ingin BAK tidak sampai toilet.
lancar , urin berwarna kuning O : Urin berwarna kuning dan bau khas urin , Kateter di lepas pada tanggal 30
O : Klien terpasang terpasang kateter , urin berwarna kuning dan bau April 2019
khas urin A : Masalah belum teratasi
A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan Intervensi
P : Lanjutkn intervensi - Ajarkan latihan otot – otot pelvis / Kegel exercise
- Ajarkan Bladder training - Jaga eliminasi yang di jadwalkan sehingga dapat membantu dalam
- Ajarkan latihan otot-otot pelvis mempertahankan kebiasaan berkemih
- Bersihkan kateter urine eksternal pada meatus dan daerah
kulit secara berkala.
B. Pembahasan

Dalam pembahasan ini penulis akan membahas tentang kesenjangan yang

terjadi anatar teori dengan kondisi riil pada kasus Inkontinensia urine dorongan

pada Tn. SD dan Tn.SW dengan post operasi BPH di Ruang Kenanga dan

Ruang Edelweis RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dengan

mengguanakan metode kegel exercise dan Bledder training . Pelaksaan

dilakukan selama 3 hari klien 1 pada tanggal 12-14 April 2019 dan klien 2

pada tanggal 20-22 April 2019 di Rumah sakit . Pada pembahasan ini akan

dibahas pada aspek pengkajian, implementasi dan keberhasilan menggunakan

metode kegel exercise dan bladder training .

Pengkajian Klien 1 (Tn.SD) Hari kedua setelah operasi pasien mengatakan

belum BAB dan BAK di bantu selang DC , masih terasa sakit dan klien 2 (Tn.SW)

Hari pertama setelah operasi Pasien mengatakan belum BAB dan BAK di

bantu selang DC , masih terasa sakit . Ditemukan data bahwa kedua klien

mempunyai kesamaan tidak bisa BAK secara normal di bantu selang DC

karena klien post operasi hari ke-0 dan hari ke-1 . Hasil urin Tn.SD berwarna

kuning keruh bercampur dengan darah sedangkan pada Tn.SW hasil urin

berwarna merah muda / hematuri . Ini sesuai dengan yang di katakan Escudero

(2006 dalam Prayitno, 2014) bahwa klien BPH setelah dilakukan pembedahan

akan mengalami hematuri dan Inkontinensia urine.

Pada Klien 1 (Tn.SD ) terpasang kateter three way + selang irigasi NaCl

0,9% sedangkan pada klien 2 (Tn.SW) terpasang kateter three way + traksi +

selang irigasi 0,9%. Hal tersebut sesuai dengan menurut Purnomo (2011)

56
57

bahwa setelah operasi TURP pasien akan terpasang kateter three way, yang

dilakukan irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk

mencegah pembekuan darah.

Masalah keperawatan yang muncul pada kedua klien adalah Inkontinensia

urine dorongan . Masalah eliminasi urin dapat diketahui setelah kateter di

lepas. Klien telah dilakukan operasi BPH dengan indikasi TURP dan terpasang

kateter sejak 5 hari yang lalu (Klien 1) dan 6 hari yang lalu (Klien 2) selama di

rawat di rumah sakit . Hal ini katakan Escudero (2006 dalam Prayitno, 2014)

mengatakan diantara perubahan-perubahan eliminasi urin pada pasien post

operasi prostat, yang paling sering (64%) adalah inkontinensia urine, dan

terjadi karena adanya kelemahan otot destrusor kandung kemih yang

diakibatkan adanya perlukan pasca operasi prostat. Hal ini juga dikatakan

Smeltzer and Bare (2013), bahwa Otot detrusor yang tidak berkontraksi

mengakibatkan klien tidak dapat mengontrol pengeluaran urinnya sehingga

berisiko terjadi inkontinensia urine dan salah satu terapi untuk mengatasi

keadaan ini adalah dengan melakukan bladder training dan kegel exercise .

Tindakan yang di bahas pada laporan kasus masalah Inkontinensia urine

dorongan , penulis memfokuskan tindakan pada latihan otot – otot pelvic /

kegel exercise dan bladder training . Seperti yang dikatakan Shabrini dkk

(2015) bahwa bladder training sejak dini lebih efektif untuk mencegah

inkontinensia pada klien yang terpasang kateter urin pasca operasi,

meningkatkan jumlah waktu pengosongan kandung kemih, secara nyaman

tanpa adanya urgensi atau inkontinensia atau kebocoran. Bladder training tidak
58

harus dilakukan sehari sebelum kateter dilepas, namun dapat dilakukan lebih

dini dan dilakukan secara rutin setiap hari agar terhindar dari inkontinensia

urine (Shabrini dkk, 2015). Darmojo (2014) juga menambahkan bahwa latihan

bladder training terbukti efektif baik untuk mencegah inkontinensia urine

dorongan.

Kegel exescises adalah aktivitas fisik yang tersusun dalam suatu program

yang dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh

dan juga dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih serta bermanfaat dalam

menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin dengan membantu

memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara

reflek menghambat kontraksi kandung kemih Majid, (2009). Menurut Wallace

dan Frahm (2009) Kegel exercise dapat dilakukan dengan posisi tubuh

berbaring dan kedua lutut di tekuk tanpa saling berdekatan. Kemudian

mencoba untuk melakukan kontraksi pada otot dasar pelvic seperti saat

mencoba untuk menahan buang angin. Lakukan latihan ini pagi, siang dan sore

dengan lama waktu menahan 10 detik. Klien harus melakukan latihan dengan

tepat dan sesuai prosedur untuk mencapai hasil yang optimal. Kegel exercise

yang dilakukan secara teratur dapat menghasilkan keefektifan dari manfaat

latihan tersebut. Sebelum dilakukan latihan , penulis menjelaskan kepada

kedua pasien dan keluarga fungsi kegel exercise, penulis melibatkan pasien dan

keluarga dalam mengajarkan senam kegel exercise yang benar . Selama latihan

kegel exercise berlangsung klien mengikuti prosedur latihan dan dapat

mendemostrasikan latihan dengan benar. Dalam melakukan latihan klien


59

selalu di pantau oleh penulis, keluarga dan perawat ruangan . Pada Tn. SD

melakukan bladder training hari keempat post operasi klien dapat merasakan

adanya urgensi urin dan menahan urin selama 3 jam, sedangkan Tn. SW

melakukan bladder training di mulai pada hari kedua post operasi klien dapat

menahan urin selama 1 jam . Penulis menyarankan kepada klien dan keluarga

untuk mempraktekkan sendiri tindakan bladder training agar klien dapat

terbiasa merasakan dorongan urine yang akan keluar seperti saat tidak

memakai kateter serta dapat membantu klien menemukan pola eliminasi yang

tepat.

Pada saat kunjungan kedua Tn. SD (klien 1) pada tanggal 30 April 2019,

didapatkan data bahwa klien mengatakan belum bisa mengontrol berkemih dan

masih ngompol, kateter di lepas pada tanggal 24 April 2019. Sedangkan Tn.

SW (klien 2) pada tanggal 2 Mei 2019, didapatkan data bahwa klien

mengatakan mengenali keinginan berkemih, sudah menjaga pola berkemih

yang teratur namum respon berkemih belum tepat waktu, saat ingin BAK tidak

sampai toilet, kateter di lepas pada tanggal 30 April 2019.

Tn. SD melakukan kegel exercise selama 20 hari dan Tn. SW melakukam

senam kegel exercise 18 hari mulai dari hari kedua post operasi TURP sampai

setelah kateter dilepas. Kegel exercise dapat meningkatkan resistensi uretra dan

disertai dengan penggunaan otot secara sadar oleh pasien sehingga mencegah

dribbling pasca operasi TURP (Hall & Brody, 2005 dalam Majid, 2009). Hal

ini juga di jelaskan Nursalam, (2008) bahwa, kegel exercise harus dilakukan
60

rutin untuk memperkuat penutupan uretra dan secara reflek menghambat

kontraksi kandung kemih.

Setelah dilakukan kegel exercise secara rutin, keberhasilan kegel exercise

pada Tn.SD tercapai pada hari ke-20 sedangkan Tn.SW tercapai pada hari ke-

18. Tingkat keberhasilan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut

Rosenbaum (2004), tingkat keberhasilan kegel exercise terhadap pencegahan

inkontinensia urine dipengaruhi oleh faktor pendukung dan faktor penghambat.

Faktor penghambat keberhasilan kegel exercise menangani inkontinensia urine

dapat berupa tidak rutin dalam melakukan latihan dan durasi atau sesi latihan

tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Sedangkan faktor

pendukungnya berupa klien setuju untuk dilakukan latihan, kooperatif dalam

melakukan latihan, rutin dalam melakukan kegel exercise, dan durasi latihan

sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Pada laporan kasus ini keberhasilan

kegel exercise adalah karena pasien mau menjadi responden dan mau

melakukan secara rutin dan Menurut Rosenbaum (2004) mengatakan bahwa

melakukan secara rutin dan sesuai prosedur yang di tetapkan .

Keberhasilan di tandai Tn. SD mengatakan sudah tidak sakit saat miksi,

tidak ngompol, mampu mengtrol berkemih, mampu mencapai waktu toilet

antara waktu dorongan dan pengeluaran urin, berwarna jernih dengan bau yang

khas. Hal ini di dukung teori (Bulechek, dkk., 2016), bahwa keberhasilan dapat

ditandai tidak sakit saat miksi , mampu mengtrol berkemih, mampu mencapai

waktu toilet antara waktu dorongan dan pengeluaran urin, berwarna jernih

dengan bau yang khas . Keberhasilan pada Tn. SW yang tidak sakit saat BAK,
61

merasa puas saat berkemih, mampu mencapai toilet saat berkemih, pengeluaran

urin lancar, urin berwarna kuning jernih, urin berbau khas. Hal ini di dukung

teori Smeltzer & Bare (2013) bahwa keberhasilan kegel exercises dapat dinilai

pada beberapa minggu setelah latihan. Lama waktu pelaksanaan latihan otot

dasar panggul berkisar antara 3 minggu sampai 12 minggu. Semua latihan

menekankan pentingnya latihan secara teratur di rumah. Pada minggu pertama

klien sudah dapat merasakan hasilnya yaitu berkurangnya keluhan yang

dirasakan.
62
63

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan dan tujuan khusus penulisan laporan

kasus pengelolaan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi Dengan

Fokus Studi Inkontinensia Urine Dorongan di Ruang Kenanga dan Ruang

Edelweis RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, selama 3 x 24 jam

yaitu tanggal 12 - 14 April 2019 pada klien 1 dan 20-22 April 2019 pada klien

2 maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengkajian yang dilakukan pada kedua pasien ditemukan persamaan pada pola

eliminasi pada kedua klien BAK masih bantu dengan selang DC dan masih

terasa sakit . Adapun perbedaannya yakni pada Pasien 1 Air kencing berwana

kuning keruh sedangkan pasien 2 Air kencing bercampur darah berwana merah

terang , dan riwayat kesehatan keluarga dengan riwayat BPH dan hipertensi.

2. Penulis menemukan kesamaan masalah keperawatan yang muncul kedua

klien yaitu Inkontinensia Urine Dorongan dapat diatasi dengan tindakan

keperawatan salah satunya yaitu kegel exercise

3. Perencanaan tindakan keperawatan untuk mengatasi inkontinensia urine

dorongan seharusnya lebih banyak dan bervariasi sehingga dapat

meningkatkan keberhasilan intervensi asuhan keperawatan pada pasien post

BPH.
64

4. Tindakan keperawatan yang penulis lakukan kepada kedua klien yaitu kegel

exercises yang dilakukan secara rutin dan sesuai prosedur untuk mencegah

inkontinensia urine dorongan pada pasien post operasi BPH di lakukan

selama 10 detik diulang 10 kali selama 3 – 5 menit dilakukan pagi, siang

dan sore . Efektif dilakukan selama 3 – 12 minggu untuk menguatkan otot

panggul.

5. Penulis diharapkan dapat melakukan kunjungan kerumah pasien untuk

mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan.

B. Saran

Setelah melakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam di Rumah Sakit

dan dilanjutkan dengan perawatan dirumah, selanjutnya penulis memberikan

saran dari hasil asuhan keperawatan yang telah dilakukan, antara lain:

1. Pengkajian

a. Perawat

Pada saat pengkajian seharusnya benar – benar dikaji sehingga akan

menemukan kesenjangan baik teori maupun dengan kondisi pasien yang

sebenarnya..

b. Klien dan Keluarga

Diharapkan klien dan keluarga menyampaikan riwayat kesehatan klien

dengan lengkap agar permasalah klien dapat tertasi secara maksinal.

2. Diagnosa

Pada penentu diagnosa keperawatan perawat perlu menambah diagnosa lain

yang tepat sehingga masalah Inkontinensia urine dorongan dapat teratasi.


65

3. Perencanaan

Perawat seharusnya melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi

Inontinensia urine dorongan lebih banyak dan bervariasi sehingga untuk

meningkatkan keberhasilan intervensi pada pasien post operasi BPH

4. Pelaksaan

a. Perawat

Tindakan yang dilakukan seharusnya selalu melakukan pemantauan kegel

exercise secara rutin dan sesuai prosedur.

b. Klien dan Keluarga

Klien dan keluarga seharusnya seharusnya patuh dalam melakukan kegel

exercise secara rutin dan secara prosedur untuk mengatasi inkontensia

urine dorongan.

5. Evaluasi

a. Perawat

Secara menyeluruh agar penulis dapat memotivasi kedua klien untuk

melakukan latihan kegel exercise secara mandiri di rumah

b. Klien dan Keluarga

Klien diharapkan melakukan latihan kegel exercise secara mandiri, rutin,

dan sesuai prosedur agar dapat mengurangi risiko terjadinya

inkontinensia urine dorongan.

Anda mungkin juga menyukai