2 years ago
Advertisements
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejadian preeklamsia berat menempati urutan kedua dari kematian ibu dan perinatal di
Indonesia (Mayunani, 2016, p. 313). Preeklamsia berat jarang dilakukan persalinan
pervaginam karena dapat membahayakan ibu dan bayinya serta berisiko terjadi injuri.
Biasanya ibu hamil yang mengalami tekanan darah yang tinggi berakhir dengan persalinan
Sectio Caesarea, sehingga pada post Sectio Caesarea klien akan mengalami gangguan rasa
nyaman nyeri dari efek pembedahan (Solehati & Kokasih, 2015, p. 80).
Menurut World Health Organization komplikasi kehamilan dan persalinan di Dunia pada
tahun 2015 adalah 303.000 jiwa, salah satunya yang berkomplikasi pre-eklamsia/eklamsia
dengan sectio caesarea (Syifa,dkk, 2017, p. 2). Di Indonesia tahun 2013 sekitar 215 orang
yang mengalami pre-eklamsia berat dengan sectio caesarea dan 247 orang tahun 2014,
tahun 2015 sebanyak 271 orang (Manalu, 2015, p. 1). Di Jawa Timur tahun 2013 sebanyak
166 orang, tahun 2014 sebanyak 164 orang, kemudian meningkat pada tahun 2015 sekitar
165 orang, sedangkan di Kota Banyuwangi yang mengalami pre-eklamsia dengan sectio
caesarea tahun 2013 sebanyak 33 orang, tahun 2014 sebanyak 25 orang, tahun 2015
sebanyak 91 orang, tahun 2016 sebanyak 41 orang (Dinkes Prov. Jatim, 2016, pp. 27).
Sedangkan di RSUD Genteng tahun 2018 bulan Januari- Juni sebanyak 32 orang.
Setiap keadaan menginginkan kelahiran normal, namun tidak akan mungkin terjadi apabila
terdapat indikasi dalam kehamilannya. Diantaranya preeklamsia berat, hal jika tidak segera
diatasi dalam penanganan yang tepat dapat terjadi cedera pada ibu dan juga bayi. Sehingga
ibu hamil dengan PEB ataupun eklamsia dapat melakukan persalinan sectio caesarea yang
tujuannya untuk menyelamatkan bagi ibu, anak atau mungkin keduanya (Oxorn & william,
2010, p. 634). Dampak yang dirasakan oleh klien paska sectio Caesarea yaitu rasa nyeri
hebat akibat dari tindakan pembedahan (Triyana, 2013, p. 207). Rasa ketidaknyamanan
dapat disebabkan oleh terjadinya kerusakan saraf sensorik atau juga diawali rangsangan
aktivitas sel T ke korteks serebri dan menimbulkan persepsi nyeri (Nurhayati,dkk, 2015, p.
53).
Penatalaksanaan pengobatan dalam bentuk farmakologi pada paska sectio caesarea yang
dapat digunakan seperti obat-obatan analgesik seperti tramadol, asam mefenamat (Solehati
& Kokasih, 2015, p. 89). sedangkan menurut (Hartati dan Maryunani, 2015, p. 42) dengan
cara relaksasi seperti nafas sebanyak 3 kali dan juga menggunakan posisi ibu yang nyaman,
tidak ada gerakan fisik atau dengan rileks. Bisa juga menggunakan distraksi dengan cara
pengalihan dari fokus perhatian nyeri ke tempat yang menyenangkan contohnya seperti
melihat TV, melihat pandangan yang menyenangkan. Serta bisa juga memberikan
aromaterapi dengan tujuan untuk mengurangi rasa nyeri pada luka operasi (Solehati &
Kokasih, 2015, p. 184).
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan pada klien
yang mengalami post sectio caesarea dengan indikasi PEB H-0 gangguan rasa nyaman
nyeri di RSUD Genteng.
Melakukan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami post sectio caesarea dengan
indikasi PEB H-0 gangguan rasa nyaman nyeri di RSUD Genteng.
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah literatur dan wawasan tentang asuhan
keperawatan klien yang mengalami post sectio caesarea indikasi preeklamsia berat hari ke-
0 dengan gangguan rasa nyaman nyeri.
Hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai acuan atau bahan kajian dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien yang mengalami post sectio caesarea terutama dengan
indikasi PEB H-0 gangguan rasa nyaman nyeri dalam menyusun rencana tindakan untuk
mengajarkan klien teknik relaksasi, distraksi dan juga menggunakan aromaterapi pada klien
untuk respon nyeri dalam kualitas.
Dapat meningkatkan kualitas pelayanan terutama pada asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami post sectio caesarea terutama dengan indikasi PEB H-0 gangguan rasa nyaman
nyeri yang berdampak pada kepuasan pelayanan.
Diharapkan dari hasil penulisan Karya Tulis Ilmiah ini sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan dalam hal memberikan Asuhan Keperawatan Pada Klien yang mengalami
Post Sectio Caesarea dengan Indikasi PEB H-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri dan sebagai
referensi dalam penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul penelitian.
4. Manfaat Bagi Klien/ Responden
Klien dapat memahami teknik relaksasi, distraksi serta menggunakan aromaterapi dan
diharapkan dapat menerapkan teknik tersebut ketika mengalami nyeri sesuai dengan
prosedur sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
Diharapkan dari Karya Tulis Ilmiah ini dapat meningkatkan pengetahuan terutama untuk
mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Klien yang mengalami Post Sectio Caesarea dengan
Indikasi PEB H-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Pre-eklamsia adalah suatu hipertensi atau tekanan darah tinggi yang timbul setelah 20
minggu kehamilan dan disertai dengan proteinuria (Walyani, 2015, p. 43).
Pre-eklamsia Berat adalah tekanan darah yang tinggi (hipertensi) 160/110 mmHg atau lebih
dan disertai proteinuria +3, edema di kehamilan 20 minggu atau lebih (Maryunani, 2016, p.
172).
Jadi menurut pengertian diatas PEB merupakan tekanan darah tinggi yaitu 160/110 mmHg
atau lebih, dan disertai dengan adanya protein di kandungan urin ibu bahkan terjadi edema
di kehamilan >20 minggu.
2. Etiologi
Timbulnya pre-eklamsia pada ibu hamil >20 minggu tidak diketahui secara pasti
penyebabnya, namun secara umum disebabkan vasospasme arteriola dan juga ada faktor
lain yang dapat mempengaruhi timbulnya pre-eklamsia diantaranya; hidramnio,
primigravida, multigravida, kehamilan ganda, mola hidatidosa, malnutrisi berat, dan bisa
dari faktor usia ibu yang kurang dari 18 tahun atau lebih dari 35 tahun serta anemia
(Maryunani, 2016, p. 172).
3. Klasifikasi
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 186) klasifikasi pre-eklampsia dibagi menjadi dua
bagian yaitu:
1. Pre-eklampsi ringan
Terdapat tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih dengan pengukuran dua kali
pemeriksaan dalam jarak periksa 1 jam atau dapat sebaliknya 6 jam
Terdapat edema yang umum yang biasa terjadi pada muka, jari tangan, kaki, atau
kenaikan berat badan 1 kg atau lebih per minggu
Proteinuria +1 sampai +2
1. Pre-eklamsia berat
4. Manifestasi Klinis
Menurut pendapat (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 187) tanda dan gejala pre-eklamsia berat
adalah sebagai berikut:
Nyeri kepala pada bagian depan dan belakang kepala dengan diikuti tekanan darah
yang tinggi dan juga sakit kepala terus – menerus
Pandangan kabur dan kebutaan sementara
Ibu gelisah, bila mendengar suara berisik
Nyeri perut pada ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah
Gangguan pernafasan dan terjadi cyanosis
Penurunan kesadaran penurunan fungsi ginjal
Sedangkan menurut (Maryunani, 2016, p. 319) cara menentukan edema yaitu sebagai
berikut:
Kriteria menentukan adanya edema adalah nilai positif jika terjadi edema di daerah
tibia, lumbosakral, wajah dan tangan.
Bila sulit menentukan tingkat edema, maka metode dibawah ini dapat digunakan
adalah sebagai berikut:
+ = Sedikit edema pada daerah kaki pretibia
++ = Edema ditentukan pada ekstremitas bawah
+++ =Edema pada muka, tangan, abdomen bagian bawah
++++ =Anasarka disertai asites.
5. Patofisiologi
Penyebab pre-eklamsia pada usia kehamilan >20 minggu belum diketahui secara pasti,
namun secara umum dapat penyebabnya adalah vasospasme arteriola kemudian terjadi
peningkat TD > 160/110 mmHg, proteinuria kwalitatif +3 dalam 24 jam, oliguria, nyeri
pada ulu hati, sakit kepala disertai pandangan kabur sehingga terjadi pre-eklamsia berat dan
persalinan berakhir dengan seksio caesarea (Maryunani, 2016, p. 172). Pembedahan dinding
abdomen akan menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan yang meliputi pembuluh
darah, dan saraf. Sehingga akan merangsang pengeluaran zat histamine, prostaglandin, dan
menimbulkan rasa nyeri (Solehati & Kokasih, 2015, p. 93). Kemudian dari luka operasi,
kuman bisa saja masuk dicelah perlukaan sehingga dapat mengakibatkan risko infeksi, dan
juga gangguan integritas kulit (Solehati & Kokasih,
2015, p. 93).
Dalam proses operasi akan dilakukan tindakan anestesi, sehingga dapat menimbulkan
kelemahan fisik, pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan mandiri sehingga
terjadi gangguan mobilitas fisik (Solehati & Kokasih, 2015, p. 93). Pada post anestesi
didapatkan penurunan bising usus dan melemahnya otot-otot eliminasi, sehingga
menimbulkan kesulitan buang air besar dan terjadi konstipasi (Asih & Risneni, 2016, p. 71).
Kemudian di post partum nifas terjadi penurunan progesteron yang menjadi kontraksi uterus
sehingga menyebabkan risiko perdarahan (Solehati & Kokasih, 2015, p. 93).
6.
Meningkat TD > 160/110 mmHg
Proteinuria 5 gram/ 24 jam
Vasospasme arteriola
pathway
Gambar 2.1 Pathway post Sectio Caesarea indikasi PEB berdasarkan (Nurarif & Kusuma,
2016, p. 218) dan (Solehati & Kokasih, 2015, p. 93).
7. Komplikasi
Menurut (Mitayani, 2013, pp. 16-17) komplikasi yang dapat terjadi pada klien PEB sebagai
berikut:
1. Pada ibu
Eklamsia
Solusio plasenta
Perdarahan sukapsula hepar
Kelainan pembekuan darah (DIC)
Sindrom HELLP ( hemolisis, elevated, liver, enzim, dan low platelet count)
Ablasio retina
Gagal jantung hingga syok dan kematian
1. Pada janin
8. Penatalaksanaan
Pada pasien preeklamsia berat penatalaksanaan yang tepat diberikan adalah semacam obat
sedatif dengan tujuan mencegah adanya kejang. sesudah 12 sampai 24 jam sudah teratasi,
maka tindakan selanjutnya adalah menghentikan kehamilan. juga
diberikan larutan MgSO4 20% dengan dosis 4gr secara i.v (intravena) loading dose dalam
4-5 menit dan memasukkan perlahan-lahan.
selanjutnya di berikan MgSO4 40% sebanyak 12gr dalam 500 cc RL drip dengan 17 tetes
/menit. dengan tujuan untuk menurunkan tekanan darah dan meningkatkan diuresis. Pada
pre-eklampsia dapat diberikan juga klorpromazim dengan dosis 50 mg secara i.m
ataupun diazepam 20 mg i.m (Nurarif & Kusuma, 2016, p. (Nurarif & Kusuma, 2016, p.
188).
1. Definisi
Sectio caesarea adalah operasi mengeluarkan bayi dengan pembedahan di perut dan rahim
pada wanita hamil (Triyana, 2013, p. 204).
Jadi menurut pengertian diatas dapat disimpulkan sectio caesarea adalah persalinan buatan
yang sengaja dilakukan pembedahan pada perut ibu (laparatomi) dan rahim (histeretomi)
untuk mengeluarkan bayi.
Menurut (Solehati & Kokasih, 2015, pp. 79-85) terdapat indikasi yang menyebabkan sectio
caesarea yaitu:
Dari distosia
Keadaan persalinan lama dengan adanya kesulitan dari persalinan dan disebabkan karena
kelelahan saat mengedan.
CPD
Ketidakseimbangan antara kepala janin dengan pelvis ibu, terhadap keadaan panggul
abnormal sehingga rawan untuk dilakukan persalinan normal.
Keadaan ibu hamil dengan PEB tidak memungkinkan untuk melakukan persalinan secara
normal karena dapat mengakibatkan injuri terhadap bayi dan juga ibunya. Secara umum,
dengan PEB ibu hamil mengharuskan persalinan secara sectio caesarea.
Biasanya dengan ibu yang mempunyai riwayat persalinan seksio caesarea, maka dapat
dipastikan persalinan berikutnya diharus melalui persalinan sectio caesarea karena dapat
terjadi robekan di rahim.
Plasenta terletak di segmen uterus, hal ini dapat menutupi sebagian atau bisa seluruh
pembukaan jalan lahir.
Terjadinya pelepasan sebagian pada plasenta sebelum janin lahir. Sehingga ketika plasenta
terpisah mengalami pendarahan pada ibu, yang mengakibatkan kematian terhadap janin.
Dengan gawat janin dapat melihat perhitungan dari denyut jantung dan juga mekonium
yang terdapat pada cairan amnion.
Dengan letak sungsang, lintang, dan presentasi ganda mudah terjadinya penyulit di
persalinan.
Jenis-jenis operasi sectio caesarea menurut (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 215) sebagai
berikut:
1. Sectio caesareavaginalis
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut:
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10
cm. tetapi saat ini teknik ini jarang dilakukan karena memiliki banyak kekurangan namun
pada kasus seperti opersi berulang yang memiliki banyak perlengketan organ cara ini dapat
dipertimbangkan.
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim (low
cervical transfersal) kira-kira sepanjang 10 cm.
4. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada persalinan sectio caesarea menurut (Mitayani, 2013, p. 112)
sebagai berikut:
1. Bagi ibu
2. Infeksi puerperalis
1. Perdarahan
2. Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih dan juga emboli paru.
3. Bagi bayi
4. Terjadi kematian perinatal pasca sectio caesarea.
2.1.3 Nifas
Masa nifas adalah masa dimana organ reproduksi kembali ke keadaan tidak hamil dengan
membutuhkan waktu kurang lebih 6 minggu (Asih & Risneni, 2016, p. 179).
Masa nifas (purperium) yang dimaksud adalah plasenta lahir sampai berakhir kemudian alat
kandungan kembali seperti keadaan semula (Sulistyawati, 2009, p. 5).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa nifas merupakan keluarnya darah dari
rahim karena sebab melahirkan atau setelah melahirkan dengan waktu kurang lebih 6
minggu.
Menurut (Asih & Risneni, 2016, pp. 66-67) organ dalam sistem reproduksi yang
mengalami perubahan seperti:
Uterus
Fundus uteri kira-kira sepusat dalam hari pertama bersalin. Penyusutan antara 1-1,5 cm atau
sekitar 1 jari per hari. Dalam 10- 12 hari uterus tidak teraba lagi diabdomen karena sudah
masuk di bawah simfisis.
Afterpains
Pada primipara, tonus uterus meningkat sehingga fundus pada umunya tetap kencang dan
keras.
Lochea
Lochea rubra (Cruenta)
Terjadi pada hari ke 1-2 post partum, berwarna merah dengan mengandung darah dari luka
pada plasenta dan serabut dari decidua dan chorion.
Lochea sanguilenta
Berwarna merah kuning, berisi darah lendir, hari ke tiga sampai ke tujuh paska persalinan.
Lochea serosa
Keluar pada hari ke 7-14, berwarna kecoklatan dengan mengandung lebih banyak serum,
dan lebih sedikit darah terhadap leukosit dan laserasi plasenta.
Lochea alba
Tempat plasenta
Saat plasenta keluar normalnya uterus berkontraksi dan relaksasi sehingga volume / ruang
tempat plasenta berkurang atau berubah cepat dalam 1 hari setelah persalinan berkerut
sampai diameter 7,5 cm.
Pada awal nifas, Rugae mulai tampak pada minggu ketiga. Pada anus umumnya terlihat
hemoroid dengan ukuran mengecil beberapa minggu postpartum.
Konstipasi dapat terjadi pada awal puerperium akibat dari kurangnya makanan dan
pengendalian terhadap BAB. BAB secara spontan bisa tertunda selama dua sampai tiga hari
setelah ibu melahirkan. Keadaan ini biasa disebabkan karena tonus otot usus
menurun (Sulistyawati, 2009, p. 78).
Terjadi diuresis yang sangat banyak dalam hari pertama puerperium. Diuresis yang banyak
setelah persalinan sampai 5 hari pospartum. Dinding saluran kencing memperlihatkan
oedema dan hyperanemia. Kadang-kadang oedema dari trigonum menimbulkan ostruksi
dari uretra sehingga terjadi retensio urin. Dilatasi ureter dan pyelum, normal kembali dalam
waktu 2 minggu (Asih & Risneni, 2016, p. 72).
Oksitosin
Dalam sirkulasi darah akan mengakibatkan kontraksi otot uterus sehingga dapat membantu
proses involusi uterus.
Prolaktin
Prolaktin mengalami penurunan yang dikeluarkan dengan glandula tipituitary anterior yang
bereaksi terhadap alveoli dari payudara sehingga menstimulasi produksi ASI.
Pada plasenta terlepas dari dinding uterus dan lahir, tingkat hormon HCG, HPL, Estrogen
dan progesteron terjadi penurunan dengan cepat, normalnya setelah 7 hari.
Pada masa pemulihan ibu khusunya dapat menyusui, namun, ovulasi tidak menentu
terjadinya sebelum 20 minggu, dan tidak terjadi juga pada usia 28 minggu pada ibu dengan
menyusui minimal 6 bulan. Pada ibu yang tidak menyusui ovulasi dan menstruasi biasanya
mulai antara 7- 10 minggu (Asih & Risneni, 2016, p. 73).
Temperatur
Selama 24 jam pertama dapat meningkat sampai 38 derajat celcius akibat efek dehidrasi
persalinan. Setelah 24 jam wanita tidak harus demam (Asih & Risneni, 2016, p. 74).
Denyut nadi
Denyut nadi normal pada orang dewasa adalah 60-80 kali per menit. Denyut nadi sehabis
melahirkan biasanyua akan lebih cepat (Sulistyawati, 2009, p. 81).
Pernafasan
Keadaan pernapasan selalu berhubungan dengan suhu dan denyut nadi (Sulistyawati, 2009,
p. 81).
Tekanan darah
Pada beberapa hari pertama setelah kelahiran, fibrinogen, plasminogen, dan faktor
pembekuan menurun cukup cepat. Akan tetapi darah lebih mampu untuk melakukan
koagulasi dengan peningkatan viskositas, dan ini berakibat meningkatkan risiko
thrombosis (Asih & Risneni, 2016, p. 74).
Lekositosis terjadi peningkatan, sel darah putih dapat berjumlah 15.000 selama persalinan,
namun tetap meningkat pada beberapa hari pertama post partum. Yang dibuktikan dengan
jumlah sel darah putih meningkat sampai 25.000-30.000, pada keadaan patologi jika ibu
mengalami partus lama, Hb, Ht dan eritrosit jumlahnya dapat berubah dalam awal
nifas (Asih & Risneni, 2016, p. 75).
Ibu nifas kehilangan 5 sampai 6 kg pada waktu melahirkan, dan 3 sampai 5 kg selama
minggu pertama masa nifas. Dapat terjadi kehilangan cairan melalui keringat dan terjadi
peningkatan jumlah urine yang menyebabkan penurunan berat badan mencapai 2,5 kg
selama masa paska partum (Asih & Risneni, 2016, p. 75).
1. Perubahan kulit
Pada kehamilan terjadi pigmentasi kulit di beberapa tempat karena proses hormonal.
Pigmentasi ini berupa kloasma gravidarum pada pipi, hiperpigmentasi kulit di payudara,
hiperpigmentasi kulit di dinding perut. Kemudian setelah persalinan, hormonal berkurang
sehingga hiperpigmentasi pun menghilang (Asih & Risneni, 2016, pp. 66-76).
Menurut pendapat (Sulistyawati, 2009, p. 96) kebutuhan dasar pada ibu masa nifas yaitu:
Ibu menyusui harus mendapatkan tambahan zat makanan sebesar 800 kkal karena
digunakan untuk memproduksi ASI dan aktivitas terhadap ibu.
Anjurkan untuk mengonsumsi tambahan seperti kalori tiap hari sebanyak 500 kalori
Makan dengan diet yang berimbang, cukup protein, mineral, dan vitamin
Minum minimal 3 liter setiap hari, terutama setelah menyusui
Anjurkan ibu menggunakan atau meminum tablet zat besi selama masa nifas
Anjurkan meminum kapsul vitamin A agar dapat memberikan vitamin A kepada
bayinya melalui ASI
1. Ambulasi dini
Ambulasi dini yaitu membimbing pasien keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya
untuk berjalan.
1. Eliminasi
6 jam pertama post partum, pasien dapat buang air kecil. Apabila urine tertahan dalam
kandung kemih maka dapat mengakibatkan kesulitan pada organ perkemihan, misalnya
infeksi. Hal ini karena pasien menahan air kencing, takut akan merasakan sakit pada luka
kalan lahir.
Dalam 24 jam pertama, pasien harus dapat buang air besar karena semakin lama feses
tertahan dalam usus maka akan semakin lancar. Feses yang tertahan di usus terserap oleh
usus. Untuk meningkatkan volume feses, anjurkan pasien untuk makan tinggi serat dan
banyak minum air putih.
1. Kebersihan diri
Ibu mengalami keletihan dan kondisi psikisnya belum stabil, sehingga pada ibu post partum
belum cukup kooperatif untuk membersihkan dirinya.
Langkah terhadap perawatan kebersihan diri terhadap ibu post partum, yaitu dengan:
Menjaga kebersihan di seluruh tubuh dengan tujuan untuk mencegah adanya infeksi
dan alergi kulit terhadap
Kemudian membersihkan daerah genitalnya dengan sabun dan Ibu dapat mengerti
dalam membersihkan daerah vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang, kemudian
membersihkan daerah anus.
Setelah dibersihkan melakukan penggantian pembalut setiap kali darah penuh, dengan
minimal 2 kali sehari
Mencari tempat cuci tangan, sabun dan air setiap kali ia selesai membersihkan daerah
kemaluannya.
Apabila mempunyai luka episiotomy, segera menghindari dengan menyentuh daerah
luka.
1. Istirahat
Ibu post partum dengan tujuan beristirahat karena untuk memulihkan kembali keadaan
fisiknya. Keluarga agar disarankan dalam memberikan kesempatan kepada ibu untuk
beristirahat yang cukup sebagai persiapan energgi dalam pemberian ASI
1. Seksual
Pada seksual aman bagi ibu post partum, karena begitu darah merah berhenti, ibu dapat
memasukkan satu atau dua jarinya ke dalam vagina tanpa rasa nyeri (Sulistyawati, 2009,
pp. 96-103).
1. Nyeri Akut
Nyeri akut akan dapat menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih
pada area yang rusak. Fungsi dari nyeri akut adalah memberikan peringatan akan cedera
atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat, misalnya
nyeri karena terkilir, nyeri pada patah tulang, atau pembedahan abdomen.
2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis dapat menjadi penyebab utama ketidakmapuan fisik dan psikologi sehingga
akan timbul masalah seperti kehilangan pekerjaan, ketidakmapuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari yang sederhana, disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga atau
teman-teman. Nyeri kronik dapat berkembang lebih lambat sehingga terjadi dalam waktu
yang lebih lama dan pasien sulit mengingat sejak kapan nyeri mulai dirasakan (Heriana,
2014, pp. 37-38).
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Kebudayaan
4. Makna nyeri
5. Perhatian
6. Ansietas
7. Keletihan
8. Pengalaman sebelumnya
9. Gaya koping
10. Dukungan keluarga dan sosial
11. Faktor lingkungan (Heriana, 2014, pp. 38-39)
Dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan dari 0-10 yang
menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri yang sangat ia rasakan.
1. 0 = tidak nyeri
2. 1-3 = nyeri ringan
3. 4-6 = nyeri sedang
4. 7-9 = nyeri berat terkontrol
5. 10 = nyeri berat tidak terkontrol
Gambar 2.2 skala nyeri menurut Hayward berdasarkan (Haswita & Sulistyowati, 2017, pp.
186).
Dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan dari 0-5 yang
menurutnya paling mengambarkan pengalaman nyeri yang sangat ia rasakan. Berikut
bilangan tersebut:
1. 0 = Tidak nyeri
2. 1 = Nyeri ringan
3. 2 = Nyeri sedang
4. 3 = Nyeri berat atau parah
5. 4 = Nyeri sangat hebat
6. 5 = Nyeri hebat
7. Skala wajah atau wong-baker FACES rating scale
Dilakukan dengan cara memerhatikan mimik wajah pasien pada saat nyeri tersebut
menyerang. Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat menyebutkan intensitas
nyerinya dengan skala angka misalnya anak-anak dan lansia
Gambar 2.3 skala nyeri menurut wong-baker FACES berdasarkan (Haswita & Sulistyowati,
2017, pp. 186).
1. Tahap aktivitas
Menerima rangsangan nyeri sampai tubuh bereaksi terhadap nyeri yang meliputi:
1. Respon simpatoadrenal
Respons yang tidak sengaja seringkali juga dinamakan respons autonom juga bersifat
protektif, mencakup; peningkatan pengeluaran keringat, TD naik, RR naik, takipnea,
dilatasi pupil, ketegangan otot, mual dan muntah, pucat.
1. Respon muskular
Respons yang sengaja merupakan reaksi otot yang mencetuskan usaha untuk
menghilangkan rangsangan rasa sakit, juga bersifat protektif, sebagai contoh; menngeliat
kesakitan, mengusap daerah yang sakit, imobilitas, buru-buru menarik tangan dari sebuah
benda yang panas, mengambil posisi tertentu seperti menarik lutut sampai menekan perut
bilamana rasa sakit di perut tidak tertahankan.
1. Respon emosional
Respon emosional terhadap rasa sakit mempunyai ambang yang luas dan berbeda-beda dari
orang ke orang, antara lain bergejolak, mudah tersinggung, perubahan tingkah laku,
berteriak, menangis, diam, dan kewaspadaan meningkat.
2. Tahap pemantulan
Pada tahap ini nyeri terlihat hebat tetapi sangat singkat, karena sistem saraf parasimpatis
mengambil alih tugas, sehingga dapat terjadi respon yang berlawanan dengan tahap
aktivasi.
3. Tahap adaptasi
Saat nyeri berlansung lama, tubuh mencoba untuk beradaptasi melalui peran endorfin.
Reaksi adaptasi melalui peran endorfin. Reaksi adaptasi tubuh ini terhadap nyeri dapat
berlansung beberapa jam / beberapa hari. Jika nyeri berlangsung dengan lama akan
menurunkan sekresi norepinefrin kemudian individu merasa tidak berdaya dan tidak
berharga serta lesu (Heriana, 2014, pp. 42-43).
Cara relaksasi posisi ibu tetap berbaring, tidak ada gerakan fisik, mata terpejam dengan
mengedurkan seluruh tubuh lemaskan sambil menarik nafas dalam dari hidung dan
keluarkan pelan-pelan dari mulut seperti meniup balon dan lakukan selama 5- 10 menit.
Bisa juga menggunakan distraksi dengan cara pengalihan dari fokus perhatian nyeri ke
tempat yang menyenangkan (Hartati & Maryunani, 2015, p. 42). Kemudian terdapat terapi
holistik yang berfungsi sebagai mengatasi nyeri seperti menggunakan sentuhan terapeutik,
akupresur dan relaksasi. Teknik relaksasi terhadap klien dapat memberikan kontrol diri
ketika terjadi rasa nyeri yang sangat hebat. Relaksasi ini dapat dipergunakan pada saat
seseorang sehat ataupun sakit (Nurhayati, dkk, 2015, p. 58).
1. Identitas
Terjadi pada usia ibu kurang 18 tahun tahun atau lebih dari 35 tahun (Maryunani, 2016, p.
172).
Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, adanya gangguan serebral, gangguan
penglihatan, nyeri kepala, dan nyeri pada epigastrium, mual dan muntah, terdapat edema
pada ekstremitas, proteinuria lebih dari 3 gr (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 186)
1. Keluhan utama
Nyeri pada luka bekas operasi Sectio Caesarea di daerah perut (Solehati & Kokasih, 2015,
p. 94).
3. Riwayat obstetrik
1. Riwayat menstruasi
Menarche, siklus, teratur tidak, lama, warna, bau, banyak, flour albus, dismenorhe, HPHT
(hari pertama haid terakhir) untuk menghitung usia kehamilan ibu, TP (taksiran
persalinan) (Pudiastuti, 2012, p. 178).
1. Genogram
Keluarga yang mempunyai penyakit keturunan seperti hipertensi, maka akan mengalami
resiko tinggi terjadinya preeklamsia (Pudiastuti, 2012, p. 178).
Biasanya Pre-eklamsia berat terjadi pada kehamilan >20 minggu (Maryunani, 2016, p. 151)
Pada umumnya, ibu hamil yang menderita PEB berakhir dengan persalinan sectio caesarea
(Solehati & Kokasih, 2015, p. 80).
5. Riwayat kesehatan
Pada riwayat kesehatan terdapat riwayat yang pernah dialami oleh ibu yang mencakup; ibu
pernah menderita penyakit hipertensi sebelum hamil, mempunyai riwayat preeklamsia pada
kehamilan terdahulu, mudah terjadi pada ibu dengan obesitas, pernah menderita penyakit
ginjal kronis (Maryunani, 2016, p. 318). Selain riwayat tersebut terdapat riwayat penyakit
keluarga yaitu ada yang mempunyai riwayat preeklamsia dan eklamsia dalam keluarga atau
penyakit keturunan (Sukarni & Sudarti, 2014, p. 36).
6. Masalah psikososial
Masalah psikososial sering muncul akibat nyeri yang dialami oleh klien paska operasi sectio
caesarea yang dapat mempengaruhi keadaan psikologis pasien dalam jangka waktu yang
lama, sehingga mengakibatkan ketakutan, menggangu proses pengenalan ibu dan bayi, dan
menyebabkan ibu merasa tertekan, hal ini akan mengakibatkan produksi ASI menurun atau
ASI tidak keluar (Solehati & Kokasih, 2015, pp. 94-95).
Menurut (Maryunani, 2016, p. 327) setelah paska operasi 6 jam puasa dan paska operasi
pasien akan merasakan mual dan muntah selama 12 jam.
2. Pola eliminasi
3. Buang Air Kecil
Adanya ketidak mampuan kandung kemih untuk mengosongkan urin, adanya keinginan
buang air kecil yang harus segera dikeluarkan, adanya perasaan nyeri saat berkemih
diare (Solehati & Kokasih, 2015, pp. 109-110).
Buang air besar menjadi tidak lancar karena adanya konstipasi (Asih & Risneni, 2016, p.
71).
Karena kondisi psikis yang belum stabil, biasanya ibu post partum masih belum cukup
kooperatif untuk membersihkan dirinya (Sulistyawati, 2009, p. 102).
Adanya nyeri pada luka post op dan pusing masih dirasakan, hal ini yang menyebabkan ibu
sulit tidur (Solehati & Kokasih, 2015, p. 93).
Biasanya ibu tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa karena masih terbaring lemah,
biasanya paska persalinan ibu diajarkan mobilisasi miring kanan dan kiri, serta sulit untuk
berkonsentrasi karena adanya rasa nyeri(Solikhah, 2011, p. 100).
1. Keadaan umum
Pada ibu post sectio caesarea biasanya composmentis setelah efek anestesi (Sulistyawati,
2009, p. 81).
Tekanan darah
Tekanan darah tidak berubah. Kemungkinan tekanan darah akan lebih rendah setelah ibu
melahirkan karena ada perdarahan. Tekanan darah meningkat pada saat post partum dan ini
menandakan adanya pre eklamsia (Sulistyawati, 2009, p. 81).
Pernafasan
Frekuensi pernafasan normal pada orang dewasa 16-24 kali per menit. Pernafasan lambat
pada post partum karena terjadi pemulihan.Pernafasan ini berhubungan dengan keadaan
suhu dan denyut nadi. Kemudian pada suhu, pernafasan pada masa postpartum menjadi
lebih cepat, kemungkinan ada tanda-tanda syok (Heryani, 2012, p. 43).
Nadi
Denyut nadi normal pada orang dewasa 60-80 kali permenit. Paska melahirkan, denyut nadi
dapat menjadi bradikardia maupun lebih cepat. Denyut nadi yang melebihi 100 kali per
menit, harus waspada kemungkinan infeksi atau perdarahan postpartum (Heryani, 2012, p.
42).
Suhu
Dalam 1 hari (24 jam) post partum, suhu badan akan naik sedikit (37,5- 38 ͦ
C) (Sulistyawati, 2009, p. 81).
Bersih, tidak ada pembengkakan, persebaran rambut rata, rambut tampak berantakan, terjadi
pusing akibat tekanan darah yang tinggi (Hartati & Maryunani, 2015, p. 85).
Mata
Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, respon cahaya pupil isokor +/+ dengan diameter 2
mm, ekspresi wajah tampak meringis dengan mengetahui skala nyeri dan gelisah akibat
luka operasi (Hartati & Maryunani, 2015, p. 85).
Hidung
Tidak ada sekret tidak ada polip, tidak mengalami sinusitis, dan tidak ada nyeri tekan
(Hartati & Maryunani, 2015, p. 85).
Mulut mukosa bibir terasa kering, tidak terdapat stomatitis pada lidah dan geraham befungsi
dengan baik, tidak terdapat caries (Hartati & Maryunani, 2015, p. 85).
Telinga
Tidak mengalami penurunan pendengaran, bersih dan tidak ada serumen (Hartati &
Maryunani, 2015, p. 85).
Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, tidak ada nyeri tekan dan tidak ada kaku kuduk
(Hartati & Maryunani, 2015, p. 85)
Pergerakan dada teratur, tidak ada kelainan, vocal fremitus kanan/ kiri sama, terdengar
suara sonor dan tidak ada wheezing ataupun rochi.
1. Payudara
Colostrum keluar, ASI keluar, mamae membesar, aerola berwarna kehitaman, papila
menonjol tidak ada benjolan dan tidak ada nyeri tekan (Pudiastuti, 2012, p. 181). Payudara
membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak karena peningkatan prolaktin
pada hari I-III (Sulistyawati, 2009, p. 80).
Sirkulasi jantung
Ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di ICS 5-6 midclavicula sinistra, pada saat
diperkusi terlihat suara pekak, suara jantung terdengar bunyi jantung S1- S2 tunggal
(Hartati & Maryunani, 2015, p. 85)..
Abdomen
Biasanya terdapat striae pada dinding abdomen, adanya luka jahitan operasi, tidak ada
oedem, adanya nyeri tekan pada luka insisi post op sectio caesarea, peristaltik usus
menurun, (Solehati & Kokasih, 2015, p. 96). Pada fundus uteri sepusa dalam hari pertama
bersalin, penyusutan antara 1-1,5 cm atau sekitar 1 jari perhari. Waktu involusi bayi lahir
TFU setinggi pusat, berat uterus 1000 gram, diameter uterus 12,5 cm dan saat dipalpasi
keras (Asih & Risneni, 2016, p. 67).
Genetalia
Adanya pengeluaran lochea rubra pada hari pertama sampai hari kedua post partum,
warnanya merah mengandung darah dari luka pada plasenta, serabut dari decidua dan
chorion serta berbau amis atau anyir, pada perineum dan anus tidak oedem dan juga tidak
ada luka jahitan (Asih & Risneni, 2016, pp. 68-69).
Ekstremitas (muskuloskletal)
1. Pada ekstremitas atas tidak ada oedem ataupun varises, biasanya terpasang infus
line.
2. Pada ekstremitas bawah tidak ada oedem, persendian ekstremitas bawah lemah,
refleks lemah, pergerakan terbatas, tonus otot
5555 5555
4444 4444
(Asih & Risneni, 2016, p. 72).
Kulit/ Integumen
Terdapat luka operasi, warna kulit pucat, turgor kulit ≤2 detik, CRT ≤2 detik, akral
hangat (Asih & Risneni, 2016, p. 72).
1. Pemeriksaan urinalis
Protein meningkat Proteinuria 5 gram/ 24 jam atau lebih, +++ atau ++++ pada
pemeriksaan (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 216) .
2. Hemoglobin/ hematokrit
Menunjukkan penurunan Hb/ Ht dan peningkatan jumlah sel darah putih (Maryunani &
Yulianingsih, 2009, p. 109).
2.3.5 Penatalaksanaan
Dosis awal :
Syarat-syarat pemberian:
Penatalaksanaan non farmakologi dengan cara relaksasi posisi ibu tetap berbaring, tidak ada
gerakan fisik, mata terpejam dengan mengedurkan seluruh tubuh lemaskan sambil menarik
nafas dalam dari hidung dan keluarkan pelan-pelan dari mulut seperti meniup balon dan
lakukan selama 5- 10 menit. Bisa juga menggunakan distraksi dengan cara pengalihan dari
fokus perhatian nyeri ke tempat yang menyenangkan (Hartati, 2015, p. 42). Serta jika perlu
berikan aromaterapi sehingga dapat meningkatkan kesehatan fisik, emosi, dan mengurangi
rasa nyeri (Solehati & Kokasih, 2015, p. 184).
Definisi : perasaan sensori atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual
atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat
yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab:
Subjektif
Mengeluh nyeri
Objektif
Tampak meringis
Bersikap protektif (mis, waspada posisi menghindari nyeri)
Gelisah
Frekuensi nadi meningkat
Sulit tidur
Objektif
Tekanan darah meningkat
Pola nafas berubah
Nasfu makan berubah
Proses berfikir terganggu
Menarik diri
Berfokus pada diri sendiri
Diaforesis
Kondisi pembedahan
Cedera traumatis
Infeksi
Sindrom koroner akut
Glaukoma(PPNI, 2016, p. 172).
Definisi: Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri.
Penyebab
1. Perubahan metabolisme
2. Penurunan kekuatan otot
3. Gangguan neuromuskular
4. Nyeri
5. Kekakuaan sendi
6. Penurunan masa otot
7. Efek agen farmakologis
8. Gangguan musculoskeletal
Subjektif
Objektif
Subjektif
Objektif
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak terkoordinasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
Definisi : Berisiko mengalami kehilangan darah baik inernal (terjadi di dalam tubuh)
maupun eksternal (terjadi hingga keluar tubuh).
1. Faktor Risiko :
Aneurisme
Gangguan gastrointestinal (mis. Ulkus lambung, polip, varises)
Gangguan fungsi hati (mis. Sirosis hepatitis)
Komplikasi kehamilan (mis. Ketuban pecah sebelum waktunya, plasenta
previa/abrupsio, kehamilan kembar).
Komplikasi pasca partum (mis. Atoni uterus, retensi plasenta).
Gangguan koagulasi (mis. Trombositopenia).
Efek agen farmakologis
Tindakan pembedahan
Trauma
Kurang terpapar informasi tentang pencegahan pendarahan
Proses keganasan.
Tindakan pembedahan
Trauma
Trombositopenia (PPNI, 2016, p. 42).
Definisi: penurunan defekasi normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas
serta feses kering dan banyak.
Penyebab:
1. Penurunan gastrointestinal
2. Kelemahan otot abdomen
Subjektif:
Objektif:
Feses keras
Peristaltik usus menurun.
Subjektif:
Objektif
Distensi abdomen
Kelemahan umum
Teraba massa pada rektal
Hemoroid
Kehamilan (PPNI, 2016, pp. 113-114).
Definisi : kerusakan kulit ( dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membran mukosa,
kornea, fasia,otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen).
Penyebab :
1. Perubahan sirkulasi
2. Perubahan status nutrisi ( kelebihan atau kekurangan)
3. Kekurangan atau kelebihan volume cairan
4. Efek terapi radiasi
5. Neuropati perifer
6. Perubahan hormonal
Objektif
Objektif
1. Nyeri
2. Perdarahan
3. Kemerahan
4. Hematoma
1. Imobilisasi
2. Gagal jantung kongestif
3. Gagal ginjal
4. Diabetes melitus
5. Imunodefisiensi (mis, AIDS)(PPNI, 2016, p. 282).
6. Risiko infeksi b.d tindakan invasif
Faktor Risiko :
Tindakan invasif
Gangguan fungsi hati (PPNI, 2016, p. 304).
Kriteria Hasil:
Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai
kenyamanan
Mempertahankan tingkat nyeri pada skala (0-2)
Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesik dan non analgesik secara
tepat
Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernapasan, frekuensi jantung, atau
tekanan darah
Dapat mengenali faktor penyebab nyeri dengan menunjukkan dapat berdaptasi dengan
nyeri
Melaporkan pola tidur yang baik
Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
Aktivitas Keperawatan:
Pengkajian :
Aktivitas kolaboratif:
Aktivitas lain:
Lakukan perubahan posisi, relaksasi, ganti linen tempat tidur bila diperlukan.
Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak
nyaman dengan melakukan pengalihan (Wilkinson, 2016, p. 533).
Kriteria hasil :
Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi, jika diperlukan.
Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri
Menyangga berat badan
Berjalan tanpa bantuan
Berpindah dari dan ke bed atau kursi roda
Aktivitas keperawatan
Pengkajian
Ajarkan dan bantu pasien dalam proses berjalan (seperti: dari tempat tidur ke kursi)
1. Kriteria Hasil:
Mengalami perdarahan minimal atau tidak ada perdarahan yang tampak (mis, jahitan
tidak lebih dari satu balutan setiap 4 jam)
Mempunyai tekanan darah, nadi, dan pernapasan dalam batas normal.
1. Aktivitas keperawatan
Pengkajian
Aktivitas kolaboratif
Aktivitas lain
1. Kriteria Hasil:
1. Aktivitas keperawatan
Pengkajian:
Aktivitas kolaborasi
Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan serat dan cairan dalam diet
Aktivitas lain
Anjurkan aktivitas optimal untuk merangsang eliminasi defekasi pasien
Berikan privasi dan keamanan untuk pasien selama eliminasi defekasi.(Wilkinson,
2016, pp. 96-98).
Gangguan kerusakan integritas kulit d kerusakan kulit bekas operasi
1. Kriteria Hasil:
Pasien atau keluarga menunjukkan rutinitas perawatan kulit atau perawatan luka yang
optimal
Drainase purulen (atau lainnya) atau bau luka
Tidak terdapat nekrosis dan perluasan luka ke jaringan dibawah kulit, serta
pembentukan saluran sinus berkurang atau tidak ada
Eritema kulit dan eritema disekitar luka minimal
1. Aktivitas keperawatan
Pengkajian
Penurunan area insisi (NIC): inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
Kaji luka terhadap karakteristik berikut: lokasi, luas dan kedalaman, adanya karakter
eksudat (termasuk kekentalan, warna dan bau), ada atau tidaknya atau epitelialisasi,
ada atau tidaknya jaringan nekrotik, ada atau tidaknya tanda – tanda
infeksi luka setempat, ada atau tidaknya perluasan luka ke jaringan dibawah kulit dan
pembentukan saluran sinus.
Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan, termasuk tanda dan gejala infeksi, cara
mempertahankan luka insisi tetap kering saat mandi, dan mengurangi penekanan pada insisi
tersebut
Aktivitas kolaboratif
Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori dan
vitamin
Aktivitas lain
Lakukan perawatan luka atau perawatan kulit secara rutin yang dapat meliputi tindakan
berikut: ubah dan atur posisi pasien secara sering, pertahankan jaringan sekitar
terbebas dari drainase dan kelembapan yang berlebihan, lindungi pasien dari
konstaminasi feses atau urine
Bersihkan dan balut area insisi pembedahan menggunakan prinsip steril atau tindakan
asepsis medis berikut, jika perlu: gunakan sarung tangan sekali pakai (steril, jika
perlu), bersihkan area insisi dari area “bersih ke kotor” menggunakan satu kasa atau
satu sisi kasa pada setiap usapan, bersihlan area sekitar jahitan atau steples,
menggunakan lidi kapas steril, bersihkan ujung drainase, bergerak dengan gerakan
berputar dan pusat ke luar, gunakan
1. Aktivitas Keperawatan
Pengkajian
Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh, denyut jantung, drainase,
penampilan luka, sekresi, penampilan urine, suhu kulit, lesi kulit, keletihan, dan
malaise.
Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
Pantau hasil laboratorium
Aktivitas Kolaboratif :
Aktivitas Lain :
2.3.8 Implementasi
2.3.9 Evaluasi
Evaluasi keperawatan menggunakan teknik S.O.A.P pada klien dengan post sectio
caesarea dengan indikasi PEB H-0 gangguan rasa nyaman nyeri, bila menemukan masalah
baru menggunakan S.O.A.P.I.E.R evaluasi meliputi evaluasi / catatan perkembangan yang
dialami oleh klien setelah diberikan implementasi keperawatan (Mitayani, 2013, p. 116).
BAB 3
METODE PENELITIAN
Studi kasus dalam penelitian ini adalah masalah asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami post sectio caesarea dengan indikasi PEB H-0 gangguan rasa nyaman nyeri.
3.3 Partisipan
Informasi atau partisipan dalam penelitian adalah orang atau penyakit yang benar-benar
tahu dan menguasai masalah, serta terlibat langsung dengan masalah penelitian. Jadi
peneliti dapat menggunakan metode kualitatif, karena penelitian saling berhubungan dengan
faktor kontekstual, hal ini responden jaringan sebanyak mungkin informasi dari berbagai
sumber. Penentuan sampel atau informasi (partisipan) dalam penelitian kualitatif berfungsi
untuk mendapatkan informasi yang maksimum (Munif, 2010, hal. 77). Partisipan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.3.1 Pasien
Pasien dapat di peroleh data tentang data subjektif meliputi keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat sebelumnya, obat-obatan yang digunakan, alergi obat sedangkan untuk
data objektif dari pemeriksaan fisik.
3.3.2 Keluarga
Data yang diperoleh dari keluarga meliputi genogram, riwayat penyakit keluarga dari
riwayat lingkungan.
1. Bidan
Data yang di peroleh Bidan meliputi tentang keadaan dan kondisi klien selama dirumah
sakit atau kondisi saat pertama klien datang.
2. Dokter
Pada dokter di dapatkan data meliputi terapi medis yang diberikan pada klien, kronologi
atau patofisiologi penyakit yang diderita klien dan perkembangan kondisi klien selama
dirumah sakit.
Hasil data yang di temukan dari petugas laboratorium atau radiologi meliputi hasil
pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan laboratorium.
4. Ahli Gizi
Dari ahli gizi dapat diperoleh data tentang diet yang harus diberikan pada klien post sectio
caesarea dan makanan yang tidak boleh dimakan oleh klien.
3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian : Lokasi dalam pengamilan kasus di RSUD Genteng.
2. Waktu Penelitian : Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal yang ditentukan.
3.5.2 Wawancara
Peneliti dalam mendapatkan data melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan
responden. Alat yang dipakai pada wawancara ini adalah kuisioner (Munif, 2010, hal. 90).
Dokumentasi dapat memberi informasi tentang situasi yang tidak dapat diperoleh langsung
melalui observasi langsung atau wawancara. Sumber dokumen bisa dari yang informal
sampai formal. Seperti jadwal, laporan dan catatan kasus, standar asuhan sebagai sumber
(Afiyanti & Rachmawati, 2014, p. 133).
Perpanjangan pengamatan ini dapat mengamati secara langsung bahkan terus menerus
bagaimana proses sosial dan pembentukan perilaku yang dialami para partisipannya,
memperoleh pemahaman yang adekuat untuk dapat menuliskan dan mendeskripsikan hasil
temuannya dari perspektif para partisipannya dengan sebaik-baiknya untuk mempererat
hubungan saling percaya dengan para partisipannya sehingga menghasilkan data (Afiyanti
& Rachmawati, 2014, p. 175).
3.6.2 Triangulasi
Triangulasi adalah suatu pendekatan analisa data yang mensintesa dari berbagai sumber.
Triangulasi dalam pengujian kredebilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari
berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat
triangulasi sumber, triangulasi metode dan triangulasi waktu (Bachri, 2010, pp. 55-56).
1. Triangulasi sumber
2. Triangulasi metode
Triangulasi metode adalah usaha cara mengecek keabsahan data atau men-cek keansahan
temuan penelitian. Dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu teknik
pengumpulan data untuk mendapatkan data yang sama (Bachri, 2010, p. 57).
3. Triangulasi waktu
Triangulasi waktu digunakan untuk validitas data yang berkaitan dengan perubahan suatu
proses dan perilaku manusia, karena perilaku manusia mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Sehingga observasi peneliti perlu mengadakan pengamatan tidak hanya satu kali
pengamatan saja (Bachri, 2010, p. 56).
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-
hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Reduksi data
bisa dilakukan dengan jalan melakukan abstrakasi. Abstraksi merupakan usaha membuat
rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap
berada dalam data penelitian. Dengan kata lain proses reduksi data ini dilakukan oleh
peneliti secara terus menerus saat melakukan penelitian untuk menghasilkan catatan-catatan
inti dari data yang diperoleh dari hasil penggalian data (Suyoto & Sodik, 2015, p. 100).
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan. Penyajian data dilakukan untuk dapat melihat gambaran keseluruhan
atau bagian-bagian tertentu dari gambaran keseluruhan. Pada tahap ini peneliti berupaya
mengklasifikasikan dan menyajikan data sesuai dengan pokok permasalahan yang diawali
dengan pengkodean pada setiap subpokok permasalahan (Suyoto & Sodik, 2015, p. 101).
3.7.3 Kesimpulan
Kesimpulan atau verifikasi adalah tahap akhir dalam proses analisa data. Pada bagian ini
peneliti mengutarakan kesimpulan dari data-data yang telah diperoleh. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk mencari makna data yang dikumpulkan dengan mencari hubungan,
persamaan, atau perbedaan. Penarikan kesimpulan bisa dilakukan dengan jalan
membandingkan kesesuaian pernyataan dari subyek penelitian dengan makna yang
terkandung dengan konsep-konsep dasar dalam penelitian tersebut (Suyoto & Sodik, 2015,
p. 101).
Merupakan persetujuan dari pasien atau persetujuan atau keluarganya terhadap tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap dirinya atau keluarganya setelah mendapat penjelasan
yang adekuat dari dokter (Nasrullah, 2014, p. 39).
Anonymity atau tanpa nama merupakan menjamin seluruh informasi yang diberikan oleh
subjek tidak dilaporkan dengan cara apapun untuk mengidentifikasi subjek dan tidak
mungkin diakses oleh orang lain selain tim penelitian (Sumijatun, 2012, p. 192).
Confidentility atau kerahasiaan merupakan informasi tentang klien harus dijaga privasi lain.
Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca
dalam rangka pengobatan klien. tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut
kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area
pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan
lain harus dihindari (Dalami, 2010, p. 11).
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Gambar Lokasi Pengambilan Data
Lokasi penelitian Asuhan Keperawatan Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Indikasi
PEB H-0 dengan Gangguan Rasa Nyaman Nyeri tepatnya di Ruang Bersalin RSUD
Genteng. Jumlah tempat tidur di Ruang bersalin sebanyak 21 Bed. Jumlah tenaga bidan
sebanyak 19 orang, dengan jumlah D III Kebidanan 19 orang. Ruang bersalin terdapat 10,
ruangan yang pertama ruangan eklamsia terdapat 3 bed A1-A3 dilengkapi dengan kamar
mandi 1 dengan keadaan bersih, yang kedua ruangan VK terdiri dari 3 bed A1-A3
dilengkapi dengan kamar mandi 1 dengan keadaan bersih, ketiga ruangan kelas 1 terdapat 3
bed A1-A3 dilengkapi dengan kamar mandi 1 dengan keadaan bersih, ruangan kelas
2 terdapat 2 bed A1-A2 dilengkapi dengan kamar mandi 1 dengan keadaan bersih, ruang
kelas 3 terdapat 4 bed A1-A4 dilengkapi dengan kamar mandi 1 dengan keadaan bersih,
ruang kelas 3 post SC terdapat 4 bed A1-A4 dilengkapi dengan kamar mandi 1 dengan
keadaan bersih, ruang isolasi terdapat 2 bed A1-A2 dilengkapi dengan kamar mandi 1
dengan keadaan bersih. Jadi total keseluruhan dari bed yang tersedia di Ruang Bersalin
berjumlah 21 bed. BOR: 46%. Pada klien berada di ruang kelas 2 bed A2.
Keterangan :
1. Ruang Eklamsia
2. Ruang VK
3. Ruang kelas 3
4. Ruang dapur
5. Ruang kelas 3 Post SC
6. Ruang Bidan
7. Ruang kelas 1
8. Ruang Dokter
9. Ruang isolasi
10. Ruang kelas 2
11. Ruang IMD dan perawatan payudara
4.1.2 Pengkajian
Pengkajian tanggal 27 juni 2018 jam 06.00 WIB. Pengambilan data dilakukan melalui
wawancara ke keluarga, observasi dan pemeriksaan fisik serta dari catatan keperawatan
maupun catatan medis.
1. Identitas Klien
Tabel 4.1 Identitas Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan Indikasi PEB Hari
Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
Tabel 4.2 Status Kesehatan Saat Ini Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan
Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng. Tanggal 27-06-
2018.
Keluhan Utama
3. Riwayat Obstetri
4. Riwayat Menstruasi
Tabel 4.3 Riwayat Menstruasi Klien yang mengalami Post Sectio Caesarea dengan Indikasi
PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
Banyaknya ±20 cc
HPHT 25/09/2017
HPL 02/07/2018
Lamanya 7 hari
Keluhan Tidak ada keluhan
Tabel 4.4 Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu klien Post Sectio Caesarea
Dengan Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
Tanggal 27-06-2018.
Riwayat kehamilan,
Klien
persalinan dan nifas
Tahun 2018
Umur kehamilan 39- 40 minggu
Perdarahan nifas ± 50 cc
BB anak 3200 gr
PB 52 cm
1. Genogram
Keterangan :
: perempuan
: garis keturunan
: laki-laki
: garis perkawinan
: pasien
: meninggal
Gambar 4.2 Genogram Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan Indikasi PEB
Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng. Tanggal 27-06-2018.
Tabel 4.5 Riwayat Kehamilan Sekarang, Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea
Dengan Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
Tanggal 27-06-2018.
ANC:
Kunjungan 3x
– Trimester I
Mual muntah, susah tidur, dan nafsu makan
Keluhan selama hamil: menurun
Terapi yang
digunakan:
Fe 1x 1 (pil)
KIE:
– Trimester II
Makan sedikit tapi sering.
Keluhan selama hamil:
Kunjungan 3 x
Terapi yang
digunakan:
KIE:
Fe 1x 1 (pil)
Sambungan…
Kunjungan 3 x
Aspilet 1 x ½
Terapi yang Istirahat yang cukup
digunakan:
KIE:
Riwayat persalinan
Klien
sekarang
Tanggal 27/06/2018 jam 01.05 wib
dilakukan jenis persalinan buatan
yaitu Sectio Caesarea dengan diagnosa G1
P00 PEB dan selesai pada jam 01.35 wib
menggunakan anestesi SAB.
Bayi lahir tanggal 27/06/2018 jam 01.15
wib dengan jenis kelamin laki-laki, apgar
score 5-6 (Asfiksia Sedang), dan terdapat
Tipe persalinan anus.
Tabel 4.7 Riwayat Keluarga Berencana Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea
Dengan Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
Riwayat kesehatan
Tabel 4.8 Riwayat Kesehatan Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan
Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
6. Riwayat Psikososial
Tabel 4.9 Riwayat Psikososial Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan
Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
7. Kebutuhan Dasar
Tabel 4.10 Kebutuhan Dasar Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan
Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
2) Pola
eliminasi BAK sebanyak 3-5x sehari,
berwarna kuning pekat, bau
a. Buang Air amoniak, tidak ada keluhan
Kecil
Sambungan …
8. Pemeriksaan fisik
Tabel 4.11 Pemeriksaan Fisik Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan
Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
Suhu 36 ͦC
MAP 96
SPO2 97
Berat badan 65 kg
Hidung
Mulut mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis
pada dan geraham berfungsi dengan baik, tidak
ada karises
Mulut dan
tenggorokan Tidak mengalami penurunan pendengaran,
telinga bersih, dan tidak ada serumen
Leher:
Sambungan…
Dada
Paru-paru I:Pergerakan dada teratur
P:Sonor
Payudara
I:Simetris, mamae membesar, papila menonjol,
aerola berwarna kehitaman, ASI tidak keluar,
colostrum keluar sedikit
P:Pekak
Abdomen
I:Adanya luka jahitan operasi berbentuk
horizontal, sepanjang ± 13 cm dibagian perut
bawah yaitu di atas simpisis pubis, luka tertutup
dengan kasa steril, tidak ada perdarahan atau
rembesan pada area luka, tidak ada oedem, bentuk
perut cembung, terdapat striae
P:Suara tympani
5555 5555
4444 4444
Bawah
I:Warna kulit pucat
Integument
9. Pemeriksaan penunjang
Tabel 4.12 Pemeriksaan Penunjang Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea
Dengan Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
SGOT 16 <31U/l
Tanggal 27/06/2018
BASO% 0,3% 0- 2
MONO% 6,0 % 2– 11
DARAH
LENGKAP:
Hemoglobin
9,4 gr/ dL 11- 16
Leukosit
13.700 4000-10000
Hematokrit
31% 37- 54 %
Trombosit
277.000 150000- 400000
Tabel 4.13 Terapi Medis Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan
Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
– Tramadol 3x 50 mg
Tabel 4.14 Analisa Data Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan
Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
8. S: 36 C, akral dingin
Post partum nifas
9. N: 100x /menit Penurunan progesteron
dan esterogen
DS: Kontraksi uterus
Pengeluaran lochea Risiko perdarahan
Klien mengatakan
badannya terasa lemas
3. Hb 9,4 gr/ dL
Post partum nifas
4. Ht 31% Penurunan progesteron
dan esterogen
5. Urine keluar 1550 cc Pengeluaran lochea
dalam 5 jam paska
persalinan danberwarna
pekat
Hb menurun
Gangguan
mobilitas fisik
DS:
O2 menurun
Klien mengatakan nyeri
saat bergerak
DO: Kelemahan
1 Tampak lemah
2 Pergerakan terbatas, Gangguan mobilitas
klien terbaring ditempat fisik
tidur
3 Kesulitan miring
kanan kiri
5 Tonus otot
5555 5555
4444 4444
Sambungan
2 Gelisah
merangsang area
3 Skala nyeri 8, sulit sensorik
tidur gangguan rasa nyaman
nyeri
4 Pasien masih puasa
5 Tidak konsentrasi
6 Keringat dingin
3. Hb 9,4 gr/dL
ketidakadekuatan
4. S: 36 C, N: 100x refleks menghisap bayi
/menit, RR 20 x/menit Ketidakefektifan
pemberian ASI
DS:
DO: Ketidakefektifan
pemberian ASI
1 Bayi tidak mampu
melekat pada payudara ibu
Tabel 4.15 Daftar Prioritas Masalah Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio
Caesarea Dengan Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD
Genteng.
Tanggal
No DIAGNOSA KEPERAWATAN
muncul
1. 27/06/2018
Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d
suplai O2 menurun yang ditandai dengan klien
mengatakan pusing seperti berputar, GCS E3-V4-
M6, muntah 1x, pergerakan terbatas, respon
cahaya pupil +/+, isokor 2/2 mm, MAP 96, SPO2
97, O2 nasal kanul 3 lpm, TD: 144/ 78 mmHg, S:
36 C, akral dingin, N: 100x /menit
5555 5555
4444 4444
3. 27/06/2018
5. 27/06/2018
6. 27/06/2018
Intervensi
Tabel 4.16 Intervensi Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan Indikasi
PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
Dx Keperawatan Intervensi
(tujuan & kriteria (NIC) Rasional
hasil)
DX 1 Pengkajian 1. Membantu
Ketidakefektifan 1. Kaji tekanan darah mengetahui
perfusi jaringan dan pernafasan klien perkembangan klien
serebral
2. Mengetahui
GCS yang dialami
Setelah dilakukan klien
tindakan asuhan 2. Pantau tingkat
keperawatan 3x 24 kesadaran klien
jam diharapkan
masalah
ketidakefektifan
perfusi jaringan Aktivitas kolaboratif 1. Melancarkan
serebral dapat teratasi aliran O2 ke otak
1. Mengatur posisi
dengan kriteria hasil:
head up sudut 30 derajat 2. Mengatasi
1. Tidak mengalami perfusi serebral tidak
2. Kolaborasi efektif
sakit kepala dengan
pemberian terapi obat anti
dan tanda-tanda vital
dalam batas normal hipertensi
2. Terbebas dari
kejang
Aktivitas lain 1. Menambah
3. Mempunyai pupil 1. kebutuhan oksigen
Berikan O2 sesuai
yang sama besar dan kebutuhan
reaktif dengan reflek
cahaya +/+, isokor
3/3 mm
DX 2
Risiko perdarahan
Setelah dilakukan
tindakan asuhan
keperawatan 3x 24
jam diharapkan
masalah risiko
peradarahan dapat
teratasi dengan
kriteria hasil:
3. Mengetahui
balutan terdapat
perdarahan yang
cukup banyak atau
sedikit yang dapat
mengakibatkan resiko
3. Amati balutan untuk
infeki
perdarahan yang tampak
Sambungan…
Aktivitas lain
1. Menghentikan
1. Observasi kontraksi uterus terjadinya perdarahan
2. Observasi TFU
1. Mengetahui
lemah atau kuat
2. Untuk tinggi
fundus uteri teraba
lunak atau keras, lunak
menandakan adanya
perdarahan
3. Observasi lochea
3. Mengetahui
warna lochea dan
keluarnya lochea
Pengkajian
DX 3
1. Meminta
bantuan untuk
aktivitas mobilisasi,
jika diperlukan.
Sambungan…
DX 4 Pengkajian :
Gangguan rasa 1. Pantau tanda-tanda
nyaman nyeri vital 1. Mengetahui
perkembangan klien
Setelah dilakukan
tindakan asuhan
keperawatan 3x 24
jam diharapkan
masalah dapat 2. Kaji skala nyeri 2. Mengetahui
beradaptasi pada pasien untuk menilai tingkat keparahan nyeri
nyeri dengan kriteria
nyeri atau
hasil: ketidaknyamanan pada
skala 0 sampai 10 (0=
1. Memperlihatkan tidak ada nyeri atau tidak
teknik relaksasi nyamanan,10= nyeri
secara individual hebat)
yang efektif
2. Mempertahankan
tingkat nyeri pada 3. Lakukan pengkajian
skala (0-2) nyeri yang komprehensip
meliputi lokasi,
3. Menggunakan karakteristik 3. Untuk mengetahui
tindakan meredakan
tindakan keperawatan
nyeri dengan
selanjutnya
analgesik dan non
analgesik secara Penyuluhan :
tepat
1. Berikan pengetahuan
4. Tidak mengalami tentang penyebab nyeri
gangguan dalam 1. Meningkatkan
frekuensi pengetahuan kepada
pernapasan, klien dan juga keluarga
frekuensi jantung, klien
atau tekanan darah
Aktivitas kolaboratif:
1.Kolaborasikan dengan
dokter tentang pemberian 1. Analgesik akan
analgesik mengurangi nyeri anda
Mencegah nyeri
bertambah
Sambungan….
5. Dapat mengenali
Aktivitas lain:
factor penyebab 1. Untuk
1. Lakukan
dengan menunjukkan memberikan posisi yang
perubahan posisi,
dapat beradaptasi nyaman pada klien
relaksasi, ganti linen
dengan nyeri
6. Melaporkan pola tempat tidur bila
tidur yang baik diperlukan
2. Dengan cara
7. Melaporkan 2. Bantu pasien pengalihan baik
kesejahteraan fisik untuk lebih berfokus digunakan agar tidak
dan psikologis pada aktivitas, bukan terfokus dengan nyeri
pada nyeri dan rasa
tidak nyaman dengan
melakukan pengalihan
DX 5
Risiko infeksi
Pengkajian
1 Mencegah
2 Ajarkan kepada timbulnya
pengunjung untuk mikroorganisme
mencuci tangan sewaktu patogen
masuk dan
meninggalkan ruang 2 Mencegah
pasien timbulnya
mikroorganisme
Aktivitas Kolaboratif : patogen terhadap
pengunjung ke pasien,
1 Pengendalian Infeksi pasien ke pengunjung
(NIC): berikan terapi
antibiotik, bila
diperlukan
1 Dapat mematikan
patogen penyebab
infeksi
Sambungan…
Aktivitas Lain :
1. Batasi jumlah 1. Mengurangi faktor
pengunjung infeksi ke pasien
ataupun ke pengunjung
Pengkajian
DX 6 1. Meningkatkan
1. Kaji pengetahuan
pengetahuan kepada
Ketidakefektifan dan pengalaman ibu
klien dan juga keluarga
pemberian ASI dalam pemberian ASI
klien
2. Mengetaui
2. Kaji kemampuan refleks mengisap kuat
Setelah dilakukan atau lemah
tindakan asuhan bayi mengisap secara
keperawatan 3x 24 efektif
jam diharapkan
masalah 3. Mempermudah
ketidakefektifan bayi untuk mengisap
3. Pantau
pemberian ASI dapat ASI
keterampilan ibu dalam
teratasi dengan menempelkan bayi ke
kriteria hasil: putting
1. Mempertahan-
kan keefektifan
pemberian ASI Penyuluhan
Implementasi
Tabel 4.17 Implementasi Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan
Indikasi PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri Di RSUD Genteng.
*Memberikan
cairan infus 24
jam
Sambungan….
Risiko 08.00 Memantau kadar 08.00 Memantau kadar 07.00 Mengamati insisi
hemoglobin dan hemoglobin dan
perdarahan dan luka untuk
kematokrit kematokrit
b/d tindakan perdarahan yang
R/: 9,4 gr / dL R/: 10.5 gr / dL
pembedahan tampak
R/: luka terbalut
dengan kasa, dan
11.00 *Mengganti 15.00 Melaksanakan advis tidak ada
cairan infus dokter perdarahan yang
tampak pada area
R/: cairan RL+ R/ luka post op
Oxytocin 2 amp methylergometrine
17 tpm 0,125 mg, diminum
secara oral dan
sesudah makan Mengobservasi
16.20 08.00 kontraksi uterus
Memberikan
penjelasan 15.05 R/: kontraksi uterus
kepada klien dan Mengamati insisi kuat
keluarga untuk dan luka untuk
melaporkan jika perdarahan yang
ada tanda-tanda tampak
perdarahan Mengobservasi
08.10
R/: luka terbalut TFU
R/: klien dan dengan kasa, dan
keluarga tidak ada R/: TFU 3 jari
mengerti dan perdarahan yang dibawah pusat dan
kooperatif tampak pada area teraba keras
16.25 16.20 luka post op.
08.20
Mengamati Mengobsevasi
insisi dan luka Mengobservasi lochea
untuk kontraksi uterus
perdarahan yang 16.25 R/: keluar berwarna
tampak R/: kontraksi uterus coklat, keluar 10
kuat cc, urine 600 cc
R/: luka terbalut berwarna jernih
dengan kasa, selama 8 jam dan
dan tidak ada kateter dilepas
perdarahan yang Mengobservasi TFU
tampak pada
area luka post 16.30 R/: TFU 2 jari 08.30
op. dibawah pusat dan Melaksanakan
16.28 teraba keras advis dokter
R/
Mengobservasi methylergometrine
TFU dan Mengobsevasi 0,125 mg, diminum
kontraksi uterus lochea secara oral dan
sesudah makan
R/: TFU setinggi R/: keluar lochea
pusat dan teraba rubra berwarna
keras, kontraksi merah, keluar ±40
uterus kuat cc, urine 1200 cc
dibuang berwarna
pekat selama
16 jam
Sambungan…
21.00
Melaksanakan
advis dokter
R/: inj.
Ketorolax 30 mg
Inj. Tramadol 50
mg
Sambungan…..
Sambungan….
*Membantu
16.30 menyiapkan air
hangat dan
menyeka klien
Sambungan….
Sambungan….
08.25 Melakukan
perubahan posisi,
relaksasi, ganti
linen tempat tidur
bila diperlukan
R/: posisi klien
berbaring ditempat
tidur, mengikuti
nafas dalam 3x
Memantau tanda
dan gejala infeksi
10.00 Mengajarkan pasien Memantau tanda
R/: luka horizontal teknik mencuci dan gejala infeksi
13 cm tertutup 07.15
tangan yang benar
kasa kering, tidak R/: luka horizontal
ada cairan yang R/: pasien lemah dan 13 cm tertutup kasa
keluar dari luka terbaring di tempat kering, tidak ada
tidur cairan yang keluar
07.25 11.00 dari luka
Mengajarkan kepada
Mengamati pengunjung untuk
penampilan mencuci tangan
hygiene personal sewaktu masuk dan
untuk meninggalkan ruang
perlindungan pasien
terhadap infeksi
R/: pengunjung
R/: tampak kooperatif dalam
pengeluaran mencuci tangan
lochea rubra di sebelum kontak
underped dan dengan pasien dan
darah terkena tangan bersih
selimut pasien
Sambungan….
Mengamati
penampilan
hygiene personal
untuk
perlindungan
terhadap infeksi
R/: keluarga
pasien dapat
mengganti selimut
yang terkena
Ketidakefek-tifan 10.00 16.40 darah 11.03 Mengkaji
pemberian ASI pengetahuan
b/d Mengkaji dan pengalaman
ketidakadekuatan pengetahuan ibu dalam
refleks dan pengalaman Mengkaji
pemberian ASI
menghisap bayi ibu dalam pengetahuan dan
pemberian ASI pengalaman ibu R/: klien
dalam pemberian percaya diri
R/:ibu tidak ASI dalam menyusui
mengerti dan klien dapat
pemberian ASI R/: klien percaya
mengerti disaat
yang benar, diri dalam
bayinya lapar
karena pertama menyusui dan
kali mempunyai 16.45 klien dapat
anak, kurang mengerti disaat
percaya diri bayinya lapar
dalam menyusui
dan klien dapat
mengerti disaat
Memantau
bayinya lapar
keterampilan ibu
dalam
menempelkan
bayi ke puting
R/: bayi mencari
puting ibu tetapi
bayi tidak mau
menetek
Sambungan….
Mengajarkan ibu
menggunakan cara Melakukan
Memantau
menyedot ASI perawatan
10.45 keterampilan ibu 12.00 payudara dan
dalam dengan alat seperti
mengekop
menempelkan bayi 16.55 spuit
ke puting R/: ASI keluar
R/: ASI keluar sedikit
sedikit 10 cc
R/: bayi mencari
puting ibu tetapi
bayi tidak mau Melakukan
menetek perawatan payudara
Tabel 4.18 Evaluasi Pada Klien Yang Mengalami Post Sectio Caesarea Dengan Indikasi
PEB Hari Ke-0 Gangguan Rasa Nyaman nyeri Di RSUD Genteng.
Terapi:
methyldopa 250
mg 3x 1 sehari
Diminum secara
oral dan sesudah
makan, kemudian
dilanjut kontrol
tanggal 3/7/2018
pada hari ke-7 di
poli hamil dan
dirawat luka
Sambungan….
KIE: Menjaga
kebutuhan istirahat
yang cukup
Terapi:
methylergometrine
0,125 mg 3x 1
diminum secara oral
dan sesudah makan,
kemudian dilanjut
kontrol tanggal
3/7/2018 pada hari
ke-7 di poli hamil
dan dirawat luka
Sambungan….
Tabel 4.18 lanjutan
S: klien
S: klien mengatakan sudah
S: klien
Gangguan mengatakan sudah bisa beraktivitas
mengatakan nyeri 21.00 bisa miring kanan 13.00 tanpa bantuan
mobilitas saat bergerak
fisik b/d kiri O:
21.00 O: O:
kelemahan
klien bisa miring – klien bisa
klien bisa miring miring kanan kiri
kanan kiri, kanan kiri, tanpa bantuan,
menggerakkan menggeser,
menggeser, dan dapat menggeser,
menekuk kaki, bisa menekuk kaki,
menekuk kaki menggerakkan duduk dengan
dengan meminta Kaki dengan tidak mandiri
bantuan keluarga meminta bantuan,
– aktivitas dibantu tetapi jika duduk – melakukan
dengan bantuan aktivitas mandiri
seluruhnya
keluarga
– tidak kuat dalam – Dapat
– aktivitas masih menyangga berat
menyangga
dibantu badannya saat
badannya saat
miring kanan kiri duduk dan berjalan
– kuat dalam
– tidak bisa menyangga – Berjalan tanpa
badannya saat bantuan
berjalan, pasien
miring kanan kiri
tirah baring
– Klien dapat
– tidak bisa berpindah dari bed
– klien tidak mau
berjalan, pasien ke kursi roda
berpindah dari bed
tirah baring
ke kursi roda
– tonus otot
karena pusing dan – klien tidak mau
mual berpindah dari bed 5555 5555
ke kursi roda
– tonus otot 5555 5555
karena nyeri saat
A: masalah teratasi
dibuat bergerak
5555 5555
4444 4444 P: intervensi
– tonus otot
dihentikan, pasien
A: masalah teratasi
pulang
sebagian 5555 5555
4444 4444 KIE:
P: intervensi A: masalah teratasi – Jangan
dilanjutkan (no. sebagian bekerja yang
1,2,3,4,5,6) terlalu berat
P: lanjutkan
intervensi (no.
1,2,3,4,5)
–
–
Sambungan….
Sambungan…….
– Makan telur
rebus minimal 6
butir, yang 4
dimakan putihnya
saja, yang 2
dimakan sama
kuningnya
Terapi: asam
mefenamat 500 mg
3x 1 sehari diminum
secara per oral dan
sesudah makan.
Kemudian dilanjut
kontrol tanggal
3/7/2018 pada hari
ke-7 di poli hamil
dan dirawat luka
1. Identitas
Saat pengkajian pada asuhan keperawatan Preeklamsia Berat terdapat kesenjangan antara
fakta dengan teori, faktanya pada pengkajian identitas pada klien didapatkan terjadi pada
usia 23 tahun.
Menurut (Cunningham, 2014.h.731) umur merupakan salah satu faktor yang menentukan
status kesehatan ibu hamil. Akan tetapi pada kasus preklampsia, umur tidak menjadi satu-
satunya faktor resiko kemunculan preeklampsia melainkan ada faktor lain seperti
primigravida, lingkungan dan gaya hidup yang tidak sehat. Sedangkan menurut
(Baratawidjaya & Rengganis, 2010, p. 232) usia 20-35 tahun dalam rentang usia sehat dapat
terjadi preeklamsia, karena kehamilan pertama pada ibu hamil atau disebut dengan
primigravida, hal ini terjadi pada proses kehamilan dan persalinan yang memicu resiko
autoimun adalah faktor psikologis yang cenderung kurang stabil dan faktor gaya hidup yang
tidak sehat.
Menurut peneliti, di usia 23 tahun bisa terjadi preeklamsia berat, hal ini pada primigavida
atau ibu yang pertama kali hamil terjadi karena faktor psikologis yang cenderung kurang
stabil sehingga meningkatkan kejadian preeklamsia dan juga bisa dari faktor gaya hidup
yang tidak sehat.
Terjadi kesenjangan pada keluarga berencana dimana pada pasien belum pernah KB.
Menurut peneliti, klien sebelumnya tidak pernah melakukan KB, hal ini juga mempengaruhi
terhadap kehamilan pertamanya. Meskipun ibu tidak menggunakan KB, ibu bisa mengalami
tekanan darah yang meningkat karena adanya ketidakseimbangan pada hormon estrogen
dan progesteron dalam tubuh. Serta dari hormon kortisol dan adrenalin sendiri juga bisa
memicu terjadinya peningkatan tekanan darah.
3. Riwayat kesehatan
Terjadi kesenjangan pada riwayat kesehatan pada pasien ditemukan bahwa klien tidak
pernah mengalami penyakit hipertensi sebelumnya namun pada ibu klien terdapat riwayat
hipertensi dan juga pernah mengalami preeklamsia.
Menurut (Perry & Potter dalam Hardianto 2011) penyebab hipertensi pada ibu hamil tidak
berbeda dengan penyebab kondisi normal yaitu dipicu peningkatan tekanan aliran darah
yang dipompa oleh jantung sehingga menyebabkan kerusakan dinding arteri di pembuluh
darah. Secara umum hipertensi pada usia muda disebabkan karena pola hidup dan pola
makan yang tidak sehat yang kerap dilakukan oleh ibu hamil seperti stress berkepanjangan,
kurangnya olahraga ditambah dengan mengonsumsi garam berlebihan, menu makanan yang
siap saji dan mengandung lemak jenuh. Dari stress berkepanjangan berefek pada kehamilan
pertama, secara fisiologis seperti perubahan suasana hati akibat adanya perubahan hormon,
kelelahan, sakit punggung, kekhawatiran yang muncul terhadap kehamilan dan persalinan
sehingga mengakibatkan tekanan darah klien menjadi tinggi. Sedangkan menurut
(Maryunani, 2016, p. 318) preeklamsia dapat terjadi karena ada yang mempunyai riwayat
preeklamsia dan eklamsia dalam keluarga atau penyakit keturunan (Sukarni & Sudarti,
2014, p. 36).
Menurut peneliti, hipertensi dapat terjadi pada ibu hamil karena sewaktu ibu hamil tidak
memperhatikan kesehatannya terutama pada gaya hidup yang kurang sehat, atau pola makan
yang tidak sehat. sehingga pada usia muda dapat terjadi hipertensi dan juga preeklampsia
pada kehamilan pertamanya. Kemudian bisa juga dilihat dari riwayat keluarga ada yang
mengalami preeklamsia yaitu ibunya klien sendiri, hal ini dipengaruhi adanya perubahan
gen yang merupakan kondisi turun temurun dalam keluarga.
Terjadi kesenjangan pada pola eliminasi (buang air kecil) pada pasien ditemukan bahwa
klien memakai selang kateter, urine berwarna pekat dengan volume 1550 cc dalam 5 jam
paska persalinan.
Menurut (Solehati & Kokasih, 2015, pp. 109-110) pola eliminasi buang air kecil
didapatkan adanya ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan urin, adanya
keinginan buang air kecil yang harus segera dikeluarkan, serta adanya perasaan nyeri saat
berkemih. Kateter adalah sebuah alat berbentuk pipa yang dimasukkan ke dalam kandung
kemih dengan tujuan dilakukan pemasangan kateter yaitu membantu memenuhi kebutuhan
klien untuk mengosongkan kandung kemih, terutama pada pasien akan operasi. Membantu
melatih kembali atau memulihkan pengendalian kandung kemih secara normal, menjaga
agar kandung kemih tidak boleh tegang sehingga menekan unsur lain (Manuaba, 2010, p.
32).
Menurut peneliti, di pasang selang kateter karena pasien baru selesai operasi sectio caesarea
dan pemasangan kateter bertujuan untuk membantu pasien mengosongkan kandung kemih,
apabila kandung kemih tidak kosong akan menekan organ lain kemudian membantu pasien
memulihkan pengendalian kandung kemih secara normal, dan bertujuan untuk mengetahui
keluarnya urine sesuai dengan input atau intake cairan.
5. Keadaan umum
Terjadi kesenjangan pada keadaan umum dimana pada pasien ditemukan pada klien tingkat
kesadaran apatis, GCS E3-V4-M6.
Menurut (Sulistyawati, 2009, p. 81) pada ibu post sectio caesarea biasanya tingkat
kesadaran composmentis setelah efek anestesi. Namun menurut pendapat (Manuaba, 2010,
p. 24) lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi
sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi bahwa sebelum itu timbul serangan baru yang berulang
sehingga penderita tetap dalam keadaan kesadaran apatis, selama serangan tekanan darah
meningkat yang menyebabkan pusing terus menerus sehingga terjadi penurunan suplai O2
menurun dan nadi cepat.
Menurut peneliti keadaan umum terlihat apatis dengan GCS E3-V4-M6, hal ini terjadi
karena serangan baru yang berulang dan mengakibatkan suplai O2 menurun, dimana pada
pasien terlihat keadaan sadar, tetapi acuh tak acuh terhadap keadaan disekitarnya. Dengan
pasien dapat memberi respon yang adekuat bila diberikan stimulus, klien hanya dapat
membuka mata saat dipanggil namanya, kemudian saat diajak bicara klien terlihat bingung,
dan klien mampu mengikuti perintah sederhana seperti menunjukkan jumlah jari-jari dari
angka yang disebut oleh peneliti.
6. Suhu
Menurut (Sulistyawati, 2009, p. 81) ditemukan Dalam 1 hari (24 jam) post partum, suhu
badan akan naik sedikit (37,5- 38 ͦ C) karena adanya peningkatan basal metabolisme rate
yang digunakan dalam proses involusi. Sedangkan menurut (Solehati & Kokasih, 2015, pp.
112) suhu tubuh di antara 36-38 ͦ C merupakan perubahan fisiologis yang normal untuk ibu
post partum sampai hari ketiga.
Menurut peneliti, suhu klien sudah normal dalam 24 jam paska persalinan, klien tidak
mengalami kenaikan pada suhu yang dijelaskan menurut teori.
Terjadi kesenjangan pada pemeriksaan fisik payudara dimana pada pasien ditemukan ASI
tidak keluar, colostrum keluar sedikit.
Menurut (Anggraini, 2010, p. 2) faktor kelahiran bisa menyebabkan ASI tidak kunjung
keluar karena ibu stres atau mengalami persalinan traumatik karena proses persalinan yang
sangat lama atau dilakukan dengan operasi caesarea, penggunaan cairan intravena atau
cairan infus yang banyak selama proses persalinan dapat menyebabkan payudara bengkak
dan ketersediaan ASI tertunda sampai payudara kembali normal, obat penghilang rasa sakit,
dan bentuk puting payudara yang tidak biasa, seperti puting payudara datar atau masuk ke
dalam.
8. Penatalaksanaan
Terjadi kesenjangan pada penatalaksanaan dimana pada pasien diberikan infus D5% drip
MgSO4 40% selama 24 jam paska persalinan dan dilakukan perawatan luka setelah hari ke-
7 post operasi di ruang poli hamil dan mengobservasi luka.
Menurut (Pudiastuti, 2012, p. 167) pemberian infus diberikan RL dengan drip MgSO4 40%
dan pemberian infus D5% drip MgSO4 40% 17 tetes/ menit berfungsi untuk mencegah
terjadinya kejang. Perawatan luka dilakukan setelah hari ke-7 post operasi karena tidak ada
perdarahan yang tampak atau rembesan pada luka. Sedangkan perban luka diganti setelah
24 jam pertama, sekaligus dinilai keadaan luka operasi, hal ini terjadi perdarahan sampai
darahnya menembus diatas kasa, kemudian luka perlu ditutup dengan kasa steril, sehingga
sisa darah dapat diserap oleh kasa. Dengan menutup luka dapat mencegah terjadinya
kontaminasi. Sehingga pada saat mengganti kasa yang lama perlu diperhatikan tehnik
aseptik supaya tidak terjadi infeksi (Maryunani, 2016, p. 333).
Menurut peneliti, pemberian infus D5% drip MgSO4 40% dengan tetesan 17 tpm dalam 24
jam paska persalinan, fungsinya sama saja untuk mencegah terjadinya kejang dan jika
perawatan luka dilakukan pada hari ke- 7, dikarenakan sehabis operasi, luka yang timbul
langsung ditutup dengan kasa steril selagi dikamar bedah dan biasanya tidak perlu diganti
sampai diangkat jahitannya, kecuali bila terjadi perdarahan sampai darahnya menembus
diatas kasa, barulah diganti dengan kasa steril kembali.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pada klien diagnosa keperawatan yang muncul
antara lain: ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, risiko perdarahan, ketidakefektifan
pemberian ASI, gangguan mobilitas fisik, gangguan rasa nyaman nyeri, risiko infeksi.
Sedangkan menurut (Nuratif & Kusuma, 2016, p. 218) dan (Solehati & kokasih, 2015, p.
93), klien dengan post sectio caesarea indikasi PEB bisa muncul gangguan rasa nyaman
nyeri, risiko perdarahan, gangguan mobilitas fisik, konstipasi, gangguan integritas kulit,
risiko infeksi.
Pada studi kasus ini muncul diagnosa tambahan yaitu ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral dan juga ketidakefektifan pemberian ASI pada klien post SC.
Terjadi diagnosa tambahan dikarenakan klien mengalami sakit kepala masih tetap
bertambah, keadaan lemah, GCS E3-V4-M6, muntah 1x, pergerakan terbatas, respon
cahaya pupil +/+ dengan diameter 2 mm, MAP 96, SPO2 97, O2 nasal kanul 3 lpm, TD:
144/ 78 mmHg, S: 36 C, akral dingin, N: 100x /menit.
Menurut teori (Wilkinson, 2015, p. 806) ketidakefektifan perfusi jaringan serebral adalah
penurunan oksigen yang mengakibatkan kegagalan pengiriman nutrisi ke jaringan pada
tingkat kapiler. Tanda- tanda peningkatan TIK yaitu sakit kepala, mual dan
muntah, penglihatan ganda, tekanan darah meningkat, merasa bingung, linglung, gelisah
atau timbul perubahan perilaku (Sukarni & Sudarti, 2014, p. 36).
Menurut peneliti, klien terjadi tanda-tanda peningkatan TIK dengan klien mengalami pusing
terus menerus, muntah, GCS E3-V4-M6, respon cahaya pupil +/+, isokor dengan diameter 2
mm dan juga pergerakan terbatas karena terdapat luka bekas operasi. Hal ini menyebabkan
suplai O2 menurun sehingga terpasang monitor, O2 nasal kanul 3 lpm dan mengobservasi
klien setiap 30 menit sekali.
Terjadi diagnosa tambahan dikarenakan klien mengeluhkan anak sulit menetek, keadaan
umum lemah, ASI tidak keluar, colostrum keluar sedikit, bayi menangis di payudara ibu,
isapan bayi lemah.
Menurut peneliti, bayi sulit menetek karena ASI klien tidak mau keluar sehingga bayi
menangis terus menerus, begitu juga dengan refleks isapan bayipun lemah, hal ini jika ASI
klien tidak keluar maka dilakukan dengan cara perawatan payudara dan memompanya
untuk mendapatkan ASI. Karena dengan isapan bayi dapat merangsang hormon oksitosin,
sehingga ASI dapat keluar.
Pada studi kasus ini diagnosa yang tidak muncul yaitu konstipasi dan gangguan integritas
kulit pada post SC hari ke-0.
1. Konstipasi
Diagnosa konstipasi tidak muncul dikarenakan klien takut BAB dan terdapat luka post
sectio caesarea di bagian perut bawah simpisis pubis.
Menurut teori (Wilkinson, 2015, p. 806) berdasarkan tinjauan pustaka adalah penurunan
defekasi normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta feses kering dan
banyak yang dibuktikan dengan defekasi kurang dari 2 kali seminggu. Sedangkan menurut
(Solehati & kokasih, 2015, p. 104) pada pasien post seksio sesarea secara khas terjadi
kelemahan pada abdomen sehingga menyebabkan motilitas cerna mengalami penurunan
yang di sebabkan beberapa hal yaitu efek obat anestesi, menurunnya hormon progesteron
dan kurangnya mobilisasi dini.
Jadi menurut peneliti, dikatakan konstipasi jika klien tidak bisa BAB > 3 hari dan feses
keras yang menyebabkan kelemahan otot abdomen. Serta terjadi fisiologis pada klien post
SC hari ke-0 karena klien tidak mengonsumsi makanan apapun atau klien puasa, sehingga
tidak ada yang diolah di sistem pencernaan yang menyebabkan feses keras.
Diagnosa kerusakan integritas kulit tidak muncul, karena pada faktanya, klien mengalami
pembedahan yang bersifat buatan atau tidak alami dengan melakukan sayatan disepanjang
perut.
Menurut teori (Wilkinson, 2015, p. 806) berdasarkan tinjauan pustaka kerusakan integritas
kulit adalah perubahan epidermis dan dermis atau jaringan (membran mukosa, kornea,
fasia,otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen). Pada intervensi tidak
ada tindakan mandiri keperawatan untuk menangani jenis kerusakan pada sectio caesarea.
Sedangkan pada Sectio caesarea yaitu operasi melahirkan bayi dengan sayatan sepanjang
perut dan rahim wanita hamil, sehingga kondisi seperti ini dapat sembuh dengan
sendirinya (Triyana, 2013, p. 204).
Menurut peneliti, diagnosa ini tidak terdapat pada klien post SC, sebab tidak ada tindakan
mandiri keperawatan untuk menangani jenis kerusakan ini dan biasanya kondisi ini sembuh
sendiri.
4.2.3 Intervensi
4.2.4 Implementasi
Berdasarkan implementasi pada klien, tindakan keperawatan yang dilakukan sudah sesuai
dengan rencana keperawatan yang telah direncanakan sebelumnya
Namun pada diagnosa gangguan mobilitas fisik pelaksanaan tindakan sudah sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun sebelumnya karena disesuaikan dengan kondisi klien. Pada
implementasi yang diberikan ada beberapa tambahan tindakan seperti membantu
menyiapkan air hangat dan menyeka klien, mengajarkan klien mobilisasi pada 10 jam post
operasi sectio caesarea dengan miring kanan kiri, mengajarkan dan menjelaskan klien
tentang mobilisasi dini dengan menggeser, menekuk kaki dan menjelaskan kepada klien dan
keluarga, memberikan HE kepada keluarga dan klien tentang jika klien sudah bisa flatus
diperbolehkan minum dan makan, serta mengkaji pengetahuan klien dalam mobilisasi
miring kanan kiri.
Menurut (Solehati & kokasih, 2015, p. 106) memandikan pasien merupakan tindakan
keperawatan yang dilakukan kepada pasien yang tidak mampu mandi secara mandiri atau
memerlukan bantuan orang lain. Menurut (Hartati & Maryunani, 2015, p. 110) mobilisasi
ibu setelah sectio caesarea merupakan suatu pergerakan, posisi atau adanya kegiatan yang
dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalinan caesarea.
Menurut peneliti membantu menyiapkan air hangat dan menyeka klien, karena klien masih
belum bisa berjalan kekamar mandi, maka klien perlu diseka dan mengajarkan mobilisasi
pada klien dengan tujuan dapat memperlancar sirkulasi aliran darah. Namun jika tidak
dilatih dengan mobilisasi, efek samping terhadap luka tersebut terlihat kaku dan aliran darah
tidak berjalan dengan lancar.
4.2.5 Evaluasi
Berdasarkan hasil dari tabel evaluasi pada klien dengan diagnosa gangguan
rasa nyaman nyeri teratasi dalam batas waktu 3 hari, menunjukkan
perkembangan membaik, pasien dapat beradaptasi terhadap nyeri, dan
mengatakan nyeri berkurang sehingga diperbolehkan pulang.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada BAB ini diuraikan tentang kesimpulan dari hasil studi kasus dan saran yang dapat
diberikan penulis tentang karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Klien
yang Mengalami Post Sectio Caesarea dengan Indikasi PEB H-0 Gangguan Rasa Nyaman
Nyeri di Ruang Bersalin RSUD Genteng tahun 2018”.
Kesimpulan
Asuhan Keperawatan Klien yang Mengalami Post Sectio Caesarea dengan Indikasi PEB H-
0 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri di Ruang Bersalin RSUD Genteng tahun 2018
5.1.1. Pengkajian
Hasil pengkajian pada klien ditemukan keluhan yaitu nyeri luka pada luka
bekas operasi
5.1.2. Diagnosa
5.1.3. Intervensi
Tahap perencanaan studi kasus asuhan keperawatan pada klien Post Sectio
Caesarea dengan Indikasi PEB H-0 dilakukan tindakan keperawatan untuk
mengatasi gangguan rasa nyaman nyeri dengan mempertahankan posisi
yang nyaman, menggunakan relaksasi nafas dalam dan distraksi sebagai
cara pengalihan nyeri dengan tidak terfokus oleh nyerinya dan dari
kunjungan keluarga, motivasi yang diberikan keluarga terhadap klien bisa
membuat nyerinya berkurang, selain itu dilakukan tindakan untuk
memberikan obat analgesik untuk meredakan nyeri.
5.1.4. Implementasi
5.1.5. Evaluasi
5.2. Saran
Pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit sudah memenuhi syarat dalam pemberian
asuhan keperawatan, baik tenaga medis maupun tenaga keperawatan. Namun, alangkah
lebih baik jika petugas kesehatan khususnya di ruang bersalin dapat menerapkan kiat yang
dapat mencegah dan mengurangi ansietas pada pasien sehingga pasien bisa melakukan
aktivitas tanpa adanya kecemasan akibat dari reaksi hospitalisasi.
Advertisements
Share this:
Related
Leave a Comment
Nursing Science
Back to top
Advertisements