DISUSUN OLEH :
DOSEN KOORDINATOR:
DOSEN PEMBIMBING:
DISUSUN OLEH :
DOSEN KOORDINATOR:
DOSEN PEMBIMBING:
i
LEMBAR PENGESAHAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Judul
Memahami Karakteristik Eksterior Fasade Museum Ranggawarsita Semarang dalam
Penggunaan Arsitektur Tradisional Jawa
Objek Amatan
Museum Ranggawarsita, Jalan Abdulrahman Saleh No.1, Semarang, Jawa Tengah
Disusun Oleh
Isna Nur Aisyiyah - 21020116120012
Koordinator Mata Kuliah Riset Desain Dosen Pembimbing Mata Kuliah Riset
Arsitektur Desain Arsitektur
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya
laporan Riset Desain Arsitetur ini dapat terselesaikan. Penulisan laporan Riset Desain
Arsitektur ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat lulus dalam mengikuti perkuliahan
mata kuliah Riset Desain Arsitektur semester 6 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro. Saya menyadari, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dalam penyusunan laporan ini , sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaiakn laporan saya ini.
Oleh karena itu, Saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:
Demikian laporan ini telah penyusun selesaikan, besar harapan agar laporan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Saya menyadari bahwa dalam pembuatan dan penyusunan laporan
Riset Desain Arsitektur ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya
mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan penyusunan tugas yang lebih baik di
kemudian hari.
Semarang, Mei 2019
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
2.1. Museum................................................................................................................... 6
iv
2.3.2 Ciri-ciri Arsitektur Tradisional ...................................................................... 12
4.1 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Entrance Hall Museum
Ranggawarsita ......................................................................................................... 27
4.2 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Gedung Pertemuan Museum
Ranggawarsita ......................................................................................................... 31
4.3 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Art Shop Museum
Ranggawarsita ......................................................................................................... 35
4.9 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Gedung Kantor Museum
Ranggawarsita ......................................................................................................... 50
4.10 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Gudang Museum Ranggawarsita
................................................................................................................................. 52
v
4.11 Kesimpulan Telaah Eksterior Fasade Museum Ranggawarsita .............................. 55
BAB V PENUTUP
LAMPIRAN....................................................................................................................... 69
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Empyak Setangkep .......................................................................................... 14
Gambar 3.9 Pintu Masuk Utama Ruang Pameran Museum Ranggawarsita ...................... 24
Gambar 3.10 Pagar Pembatas Museum Ranggawarsita ........................................................ 24
Gambar 4.1 Pembagian Area Analisa Eksterior Fasade Museum Ranggawarsita ............. 26
Gambar 5.1 Pembagian Area Analisa Eksterior Fasade Museum Ranggawarsita ............. 64
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Kelayakan Sidang
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
1
Museum memiliki sifat bangunan yang memiliki banyak filosofi, banyak arsitek
yang akan terjebak dengan pemahaman sebuah museum atau menemukannya sebagai
titik awal sebuah kreativitas. Museum yang menjadi sebuah studi kasus di dalam
penulisan ini, yaitu museum Ranggawarsita yang terletak di Semarang, Jawa Tengah.
Museum Ranggawarsita memiliki nilai lokal yang tinggi dan memperhatikan
keselarasannya dengan lingkungannya berada. Museum Ranggowarita juga diakui
sebagai museum terbesar se-ASEAN yang menjadi kebanggaan Indonesia. Museum Ini
didesain oleh Ir. Totok Rusmanto.
BAB I : PENDAHULUAN
3
Merupakan pembahasan tentang studi literatur untuk menggali dan memahami
berbagai teori dan konsep yang berkaitan dengan tema pengkajian, mencakup teori-
teori mengenai aritektur lokal. Juga terdapat pengertian museum pada umumnya dilihat
dari segi arsitektur.
BAB IV : PENUTUP
4
1.7 KERANGKA BERFIKIR
Metode Pembahasan
Analisis
Analisis studi kasus berdasarkan kajian teori yang mendukung
Kesimpulan
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 MUSEUM
Kata Museum berasal dari bahasa Yunani kuno “Museion” yang berarti rumah
dari sembilan dewi Yunani (Mousa) yang menguasai seni murni ilmu pengetahuan.
Dewi Mousa adalah anak dari dewa Zeus. Dengan dewi Memouse yang dianggap
sebagai pelindung seni dan ilmu pengetahuan arti dan makna museum terus
berkembang yang berarti Gedung atau ruangan sebagai tempat menyimpan atau
mempertontonkan barang-barang seni hasil manusia. Kemudian Gedung tersebut
dipakai untuk menyimpan benda yang mempunyai arti sejarah dalam arti luas. Dalam
perkembangannya museum tidak hanya menyimpan benda hasil budaya saja namun
juga terdapat batuan, flora, fauna, dll. (museum definition, 2014).
Pengertian museum yang dipakai sekarang adalah pengertian museum menurut
ICOM (International Council of Museum) pasal tiga dan empat yang berbunyi
“Museum adalah suatu lembaga yang bersifat tetap dan memberikan pelayanan
terhadap kepentingan masyarakat dan kemajuannya terbuka untuk umum tidak
bertujuan semata-mata mencari keuntungan untuk mengumpulkan, memelihara,
meneliti, dan memamerkan benda-benda yang merupakan tanda bukti evolusi alam dan
manusia untuk tujuan studi, pendidikan, dan rekreasi”.
6
Menurut Arbi et al (2012) dalam buku Konsep Penyajian Museum Bagian 6,
Konsep penataan eksterior harus terakomodasi dengan jelas dalam gambar rencana
tapak (siteplan). Penataan diutamakan pada halaman muka museum yang berorientasi
kepentingan publik, dan taman yang berhubungan dengan ruang-ruang publik yang
berada di dalam bangunan. Semua ruang publik pada eksterior museum harus diberi
penanda (signage) dengan standar yang berlaku, harus jelas terbaca, dan mudah terlihat.
Eksterior lebih pada tatanan bentuk, fasade dan kulit bangunan (material dan
warna). Eksterior adalah bagian dari bangunan yang dapat dilihat dari luar karena tidak
adanya suatu tembok atau atap yang menghalanginya (Riany, 2013).
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian eksterior adalah
bagian luar (dari bangunan dan sebagainya). Sementara Purwaningsih (1996) yang
dikutip oleh Wahyudi (2009) dalam jurnal penelitian UNS dengan judul Perpaduan
Arsitektur Belanda dan Arsitektur Tradisional Jawa Tengah pada Bangunan
Peninggalan Belanda di Jl.Perintis Kemerdekaan Surakarta menerangkan bahwa, ruang
luar (eksterior) adalah ruang buatan yang tak beratap atau berdinding.
Area luar bangunan atau biasa disebut sebagai eksterior bangunan adalah bagian
pertama yang akan dilihat oleh orang lain. Karena itu, tampilan eksterior yang menarik
selalu menjadi prioritas bagi sebagian besar orang. Design Eksterior adalah suatu
rancangan untuk membuat sesuatu yang membuat indah yang ada di luar ruangan, atau
out door (Anonymous, 2015).
7
2.2.2 PENGERTIAN FASADE
8
menggambarkan bentuk, keunikan atau kondisi Fasad bangunan yang dimaksud atau
Fasade bangunan yang berada dekat bangunan yang dituju atau dicari (Sastra,2013).
Menurut Krier (1983: 61-66), dalam yang dikutip oleh Riany et al (2013) pada
Jurnal Reka Karsa, Komponen fasade yang perlu diamati meliputi gerbang dan pintu
masuk, zona lantai dasar, jendela, pintu, dinding, pagar pembatas (railing) atap dan
akhiran bangunan, signage dan ornament fasade. Komposisi Fasade Menurut Rob Krier
(1983: 61 – 66) komposisi fasade bangunan yang diamati meliputi proporsi, irama
(rhythm), ornamen, bentuk, material, warna dan tekstur.
Untuk itu komponen Fasade bangunan yang diamati meliputi: (Cahyadi ,2010)
9
C. Jendela dan pintu masuk ke bangunan
Jendela dan pintu dilihat sebagai unit spasial yang bebas. Elemen ini
memungkinkan pemandangan kehidupan urban yang lebih baik, yaitu adanya bukaan
dari dalam bangunan ke luar bangunan.
Fungsi jendela sebagai sumber cahaya bagi ruang interior, yaitu efek penetrasi
cahaya pada ruang interior. Jendela juga merupakan bukaan bangunan yang
memungkinkan pemandangan dari dan ke luar bangunan. Selain memenuhi kebutuhan
fungsionalnya, jendela juga dapat menjadi elemen dekoratif pada bidang dinding.
Pintu memainkan peran yang menentukan dalam konteks bangunan, karena
pintu mempersiapkan tamu sebelum memasuki ruang, karena itu makna pintu harus
dipertimbangkan dari berbagai sudut pandang . Kegiatan memasuki ruang pada sebuah
bangunan pada dasarnya adalah suatu penembusan dinding vertikal, dapat dibuat
dengan berbagai desain dari yang paling sederhana seperti membuat sebuah lubang
pada bidang dinding sampai ke bentuk pintu gerbang yang tegas dan rumit.
Posisi pintu pada sebuah bangunan sangat penting untuk lebih mempertegas
fungsi pintu sebagai bidang antara ruang luar dan ruang dalam bangunan. Karena letak
atau posisi sebuah pintu sangat erat hubungannya dengan bentuk ruang yang dimasuki,
dimana akan menentukan konfigurasi jalur dan pola aktivitas di dalam ruang.
10
F. Tanda-tanda (Signs) dan Ornamen pada Fasade
Tanda-tanda (signs) adalah segala sesuatu yang dipasang oleh pemilik toko,
perusahaan, kantor, bank, restoutan dan lain-lain pada tampak muka bangunannya,
dapat berupa papan informasi, iklan dan reklame. Tanda-tanda ini dapat dibuat menyatu
dengan bangunan, dapat juga dibuat terpisah dari bangunan.
Tanda pada bangunan berupa papan informasi, iklan atau reklame merupakan
hal yang penting untuk semua jenis bangunan fungsi komersial. Karena tanda-tanda
tersebut merupakan bentuk komunikasi visual perusahaan kepada masyarakat (publik)
yang menginformasikan maksud-maksud yang ingin disampaikan oleh perusahaan
komersial.
Sedangkan ornamen merupakan kelengkapan visual sebagai unsur estetika pada
Fasade bangunan. Ornamentasi pada Fasade bangunan fungsi komersial, selain sebagai
unsur dekoratif bangunan juga meruapakan daya tarik atau iklan yang ditujukan untuk
menarik perhatian orang.
11
berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu suku bangsa sehingga dijadikan
sebagai suatu identitas suku bangsa tersebut. Arsitektur tradisional adalah suatu
bangunan yang bentuk, ragam hias dan cara pelaksanaannya diwariskan turun temurun
dari generasi ke generasi. Arsitektur tradisional adalah cermin tata nilai dan budaya
yang ditradisikan oleh masyarakatnya.
Arsitektur tradisional adalah cara konservatif dari membangun yang digunakan
oleh para arsitek. Tujuan utamanya adalah untuk memelihara keindahan dari sebuah
kebudayaan tertentu. Mereka menggunakan bahan atau alat yang berhubungan dengan
kebudayaan tersebut.
Arsitektur tradisional sebagai salah satu bentuk warisan budaya merupakan
pengendapan fenomena dari waktu ke waktu yang berlangsung secara runtut
evolusioner dengan situasi budaya yang penuh konflik perubahan atau perkembangan.
Tuntutan akan makna dan identitas dari arsitektur semakin meningkat. Kekerdilan
penalaran kognitif dan kemiskinan penghayatan afektif atas nafas dan jiwa yang
melembari arsitektur tradisional selama ini telah mengakibatkan munculnya bangunan-
bangunan yang berbedak tradisional, komponen fisik dan wajah visualnya dipakai,
tetapi falsafah nilai, sistem perlambang dan pemaknaan sosial ditiadakan (Budihardjo,
1989).
13
teh, ketela pohon dan lain-lain. Merupakan ragam arsitektur yang paling tua dan
sederhana, dapat diketahui dari relief pada dinding candi Borobudur dan Prambanan,
terbentuk dari empat tiang dengan satu bidang atap persegi panjang yang lereng.
Setiap tiang yang dipasang harus sama jaraknya dengan yang lain agar tiang
tersebut tidak miring dan membahayakan bangunan. Untuk tujuan pemasangan tiang
utama, kayu yang digunakan harus yang benar-benar kuat, tua dan tidak cacat.
Tiang yang akan digunakan biasanya bentuknya bulat dan bujur sangkar, serta
dibuat dari bambu atau kayu tahun. Yang dimaksud kayu tahun adalah kayu yang tidak
pernah dimakan oleh rayap seperti mempunyai warna yang sangat indah, misalnya
coklat muda, coklat tua (kayu jati), hitam (glugu) dan kuning (kayu nangka).
Pada sistem peletakan saka ada dua macam. Yang pertama, yaitu dengan sistem
purus dimana purus yang berfungsi sebagai kunci dimasukan ke dalam purus ompak.
Sedangkan sistem yang kedua yaitu sistem ceblokan, dimana pada sistem ini tiang
langsung ditancapkan ke dalam lantai.
3) Dinding
Dalam hal ini tergantung pada pilihan orangnya. Apakah ia akan memilih yang
murah atau yang mahal. Di daerah pedalaman Wonosari, Gunung Kidul masih ada
16
dinding rumah yang berdindingkan daun kelapa (bleketepe). Selain itu ada juga ada
rumah yang berdinding bambu (gedheg), kombinasi bambu dan papan (kontangan),
papan (gebyok) serta dinding dari batu bata. Apakah ia akan memilih yang murah atau
yang mahal. Untuk dinding yang selain terbuat dari batu bata, biasanya menggunakan
sistem knock-down. Dengan teknik seperti ini, si pembuat rumah memakai sistem
amplokan dari kayu. Yang dinamakan sistem amplokan adalah sistem gapitan, yaitu
gapitan yang mengabungkan sistem yang satu dengan dinding yang lain agar mudah
dilepas jika pemilik rumah memiliki hajat. Gapitan tersebut berfungsi sebagai
pemersatu, penguat dan sekaligus mempermudah bentuk dinding. Selain itu juga,
membuat dinding kelihatan rapi.
Daun pintu pada bangunan Jawa memiliki dua tipe. Yang pertama yaitu pintu
dengan dua buah daun pintu, orang menyebutnya Kupu Tarung. Pintu kupu tarung ini
memiliki sirkulasi yang baik, tapi memiliki kekurangan dari segi kekuatan konstruksi.
Yang kedua adalah pintu dengan satu daun pintu, dinamakan dengan pintu Inep-Siji.
Pintu jenis ini lebih kokoh, aman, praktis dan tentu saja ekonomis.
Pintu-pintu tersebut umumnya terbuat dari kayu. Tapi, ada juga didesa yang
membuat pintu dari bambu, pintu model ini disebut Slorongan.
Seperti hal pintu, jendela pada rumah Jawa juga memiliki dua tipe. Yang
pertama jendela dengan dua jendela, orang menyebutnya dengan istilah Dhudhan,
sedang yang kedua adalah jendela dengan satu daun jendela disebut sebagai Monyetan.
17
Gambar 2.9 Jendela
5) Ornamen Jawa
Sebagian besar bermotif alam yang distalisasi, dan hanya sedikit saja yang
bermotif benda-benda selain alam seperti Kaligrafi, Panahan, Mustaka dan Makutha.
Kebanyakan ragam hias tersebut ditempatkan pada kerangka bangunan yang
terbuat dari kayu. Penempatan ragam hias tersebut pada kerangka kayu bangunan
adalah pada ujung-ujung dan bagian tengah-tengah balok.
18
BAB III
DATA
19
Gambar 3.2 Block Plan Museum Ranggawarsita
Keterangan Gambar :
A. Ruang Pameran Tetap/ Gedung A 4. Mushola 12. Koperasi Gana Artha
B. Ruang Pameran Tetap/ Gedung B 5. Ruang Perkantoran 13. Tempat Parkir Speda Motor
C. Ruang Pameran Tetap/ Gedung C 6. Gudang 14. Tempat Parkir Mobil
D. Ruang Pameran Tetap/ Gedung D 7. Laboratorium 15. Ruang Tata Pameran/ R.
E. Gedung Apresiasi Budaya 8. Ruang Karantina Preparasi
1. Entrance Hall 9. Pos Satpam 16. Bendera
2. Ruang Auditorium 10. Kantin/Warung
3. Ruang Perpustakaan 11. Art Shop
20
Museum Ranggawarsita mempunyai dua misi, yaitu : Meningkatkan apresiasi
budaya dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap budaya. Museum Jawa
Tengah Ranggawarsita mempunyai visi : Bangga Peduli Budaya, yang berarti bangga
mengurusi beragam warisan budaya dan perwujudan lain ekspresi budaya. Selain itu,
museum ini memfasilitasi pelatihan (kursus) yang berlatar belakang edukasi budaya
Jawa secara periodik dengan menggunakan beberapa ruangan yang tersedia. Pada hari
besar nasional juga menyelenggarakan atraksi yang mampu menarik minat masyarakat
dan pelajar untuk mengunjungi museum. Atraksi yang disajikan lebih berhubungan
pelestarian nilai-nilai budaya seperti : Barongan, Kuntulan, Kuda Lumping dan lain
sebagainya.
21
3.3 EKSTERIOR BANGUNAN MUSEUM RANGGAWARSITA
Pada jalan samping menuju ruang pengelola, bahan penutup jalan menggunakan
paving block dengan campuran warna merah dan abu-abu. Diiringi degan penataan
landscape tanaman peneduh di samping kanan dan kiri.
23
Pintu masuk ruang display museum Ranggawarsita menggunakan pintu ayun
dengan dua buah daun pintu. Pintu masuk menggunakan material kaca dengan handle
pintu aluminium. Di pintu masuk juga terdapat stiker tokoh punakawan paling utama
dalam pewayangan yaitu Semar. Diatas pintu masuk juga terdapat tanda sign pintu
masuk dengan tulisan Ruang Pameran.
d. Pagar Pembatas
Pagar pembatas bangunan museum Ranggawarsita bersifat
permanen,digunakan untuk fungsi keindahan, melindungi privatisasi, keamanan. Pagar
pembatas menggunakan dinding beton dengan finishing cat berwarna kuning dan putih.
24
Jawa Tengah. Atap mueum Ranggawarsita menggunakan penutup genteng berwarna
coklat tua.
25
BAB IV
ANALISA EKSTERIOR FASADE MUSEUM
RANGGAWARSITA
Pada bab ini akan dilihat aplikasi penggunaan arsitektur tradisional Jawa pada
eksterior fasad bangunan museum Ranggawarsita yang ada di Semarang. Penggunaan
ini ditinjau dari segi fisik eksterior fasad bangunan, yang langsung dapat dikenali
melalui unsur visual, maupun dari konsep bangunan.
Area yang kedua dengan block warna merah pada gambar 4.1 yaitu area gedung
pameran yang dapat dilihat pengunjung secara visual ketika ingin memasuki gedung-
gedung pameran. Area tersebut terdiri dari Gedung A, Gedung B, Gedung C, dan
Gedung D ruang pameran.
Area yang ketiga yaitu area belakang yaitu dengan block warna hijau yang
terdiri dari gedung kantor dan gudang yang daat dilihat pengunjung ketika memasuki
area belakang museum melewati jalan samping Gedung Pertemuan.
4.1 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Entrance Hall Museum
Ranggawarsita
Telaah museum Ranggawarsita dengan cara mencari pengaruh budaya Jawa
dari wujud fisik museum Ranggawarsita. Tabel 01 menjelaskan bagaimana eksterior
fasad yang menghadap ke jalan pada museum Ranggawarsita yaitu pada Entrance Hall
dihubungkan dengan ada/tidaknya pengaruh dari arsitektur Jawa.
Atap Bentuk atap tradisional Atap pengaruh rumah joglo Atap museum tersebut
Jawa terbagai menjadi 5 dan pelana. menggunakan atap joglo
macam, yaitu panggang pe, dengan penutup genteng
kampung, limasan, joglo, berwarna coklat tua pada
Tajug (Wahyudi,2009) bagian pendapa bagian
belakang.
material : terakota / tanah
liat Sedangkan pada pendopo
bagian depan
menggunakan atap pelana
dengan sudut kemiringan
sekitar 30 derajat.
27
Kolom Soko guru menjadi struktur Kolom pengaruh rumah Pada bagian pendopo
utama pada bangunan joglo depan kolom
(pendopo) menggunakan bahan bata
merah diplester dengan
Bentuk kolom: balok/kotak
bentuk dasar seperti
Material: kayu rumah kampung dengan
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Material : batu bata yang
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada susunannya satu bata
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional berperan sebagai dinding
(gebyok) jawa pemikul
28
(Wahyudi,2009)
(Cahyani,2015)
Pintu- Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Pintu dan Jendela tidak
Jendela daun pintu (Kupu Tarung) jendela tidak terpengaruh memiliki ciri khas dari
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. bangunan berarsitektur
daun pintu (Inep-Siji) Jawa. Pintu dan jendela
menggunakan material
Material pintu : kayu atau
kaca dan aluminium
bambu
sebagai pegangannya.
(Wahyudi,2009) Pada Entrance Hall
29
memiliki jalusi dengan orang yang akan berlalu-
bukaan ke samping lalang.
(Cahyani,2015)
Proporsi Pada bangunan tradisional, Dari segi proporsi bangunan, Pada bangunan Pendopo
tinggi atap joglo (kepala pendopo utama memiliki Museum Ranggawarsita,
bangunan) jauh lebih proporsi yang berbeda dari tinggi atap tidak jauh
tinggi (dua kali lipat) dari proporsi bangunan yang berbeda dari tinggi
bagian badan bangunan itu menggunakan atap joglo bangunan itu sendiri.
sendiri. yang biasa dijumpai. Bangunan tradisional
yang dibuat terlalu tinggi
(Kustianingrum, 2010)
justru menghilangkan
kesan megah bangunan.
Namun, berbeda dengan
museum Ranggawarsita
a
walaupun bagian badan
b
bangunan dibuat jauh
lebih tinggi dari yang
umum ditemui, kesan
30
megah bangunan tetap
dapat terlihat.
Dengan bentuk bangunan yang dibawa langsung dari daerah asalnya, yaitu
Semarang sebagai Ibu Kota Jawa Tengah, bangunan dapat diangap dapat
mempresentasikan secara keseluruhan wujud dari sebuah bentuk kebudayaan Jawa.
Penyesuaian atau adaptasi fungsi bangunan seperti perubahan bahan pintu dan
jendela, bahan untuk kolom atau saka-saka serta penambahan jumlah saka-saka dari
jumlah pada umumnya untuk memenuhi fungsi bangunan yang bersifat publik serta
untuk menambah kualitas fisik bangunan serta untuk mendukung fungsi yang menuntut
kesan ‘terbuka’ dan well-coming.
4.2 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Gedung Pertemuan Museum
Ranggawarsita
Telaah museum Ranggawarsita dengan cara mencari pengaruh budaya Jawa
dari wujud fisik museum Ranggawarsita. Tabel 02 menjelaskan bagaimana eksterior
fasad yang menghadap ke jalan pada Gedung Pertemuan museum Ranggawarsita
dihubungkan dengan ada/tidaknya pengaruh dari arsitektur Jawa.
31
Unit Arsitektur Jawa dan Pengaruh Budaya pada Analisa
Amatan Pemaknaannya Studi Kasus
Atap Bentuk atap tradisional Atap pengaruh rumah joglo. Atap museum Gedung
Jawa terbagai menjadi 5 Pertemuan tersebut
macam, yaitu panggang pe, menggunakan dua atap
kampung, limasan, joglo, joglo dengan penutup
Tajug (Wahyudi,2009) genteng berwarna coklat
tua dengan ketinggian
material : terakota / tanah
atap yang berbeda.
liat
Kolom Soko guru menjadi struktur Kolom pengaruh rumah Pada bangunan Gedung
utama pada bangunan kampung Pertemuan kolom
(pendopo) menggunakan bahan bata
merah diplester dengan
Bentuk kolom: balok/kotak
bentuk dasar seperti
Material: kayu rumah kampung dengan
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Material : batu bata yang
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada susunannya satu bata
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional berperan sebagai dinding
(gebyok) jawa pemikul Tinggi dinding
skala akrab
Dinding berfungsi hanya
sebagai penutup
(Wahyudi,2009)
32
Elevasi lantai tinggi :
cerminan stratifikasi
tingkat sosial penghuni
rumah Trap depan teras
berfungsi sama seperti
kuncung, pemberhentian di
depan pendopo (teras)
Pintu- Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Pintu dan Jendela tidak
Jendela daun pintu (Kupu Tarung) jendela tidak terpengaruh memiliki ciri khas dari
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. bangunan berarsitektur
daun pintu (Inep-Siji) Jawa. Pintu dan jendela
menggunakan material
Material pintu : kayu atau
kaca dan dengan kusen
bambu (Wahyudi,2009)
kayu. Yang terpengaruh
Pintu terletak pada sumbu oleh konsep arsitektur
tengah tampak, jendela di jawa hanya letak pintu
kanan – kirinya .Bukaan yang berada di sumbu
jendela relatif kecil daun tegah tampak dengan dua
jendela memiliki jalusi buah daun pintu.
dengan bukaan ke
samping.Tinggi pintu :
skala akrab
(Cahyani,2015)
(Wahyudi,2009)
33
Proporsi Pada bangunan tradisional, Dari segi proporsi bangunan, Pada bangunan Gedung
tinggi atap joglo (kepala pendopo utama memiliki Pertemuan Museum Ran-
bangunan) jauh lebih proporsi yang berbeda dari ggawarsita, tinggi atap
tinggi (dua kali lipat) dari proporsi bangunan yang tidak jauh berbeda dari
bagian badan bangunan itu menggunakan atap joglo tinggi bangunan itu
sendiri. yang biasa dijumpai. sendiri. Bangunan
tradisional yang dibuat
(Kustianingrum, 2010)
terlalu tinggi justru
c a menghilangkan kesan
b megah bangunan. Namun,
berbeda dengan museum
Ranggawarsita walaupun
bagian badan bangunan
dibuat tidak jauh berbeda
tingginya dengan tinggi
atap, kesan megah
bangunan tetap dapat
terlihat.
Hasil telaah pada studi kasus Gedung Pertemuan pada museum Ranggawarsita
didapatkan bahwa pengaruh arsitektur tradisional Jawa ditemukan pada bentuk atap
joglo serta adanya undakan depan teras yang menjadi ruang peralihan untuk memasuki
wilayah teras. Pada eksterior fasad gedung ini tidak ditemukan keberadaan ornament
yang menjadi salah atu unsur yang cukup penting untuk memperkuat kesan asitektur
tradisional Jawa yang biasa digunakan pada suatu bangunan.
34
4.3 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Art Shop Museum Ranggawarsita
Telaah museum Ranggawarsita dengan cara mencari pengaruh budaya Jawa
dari wujud fisik museum Ranggawarsita. Tabel 03 menjelaskan bagaimana eksterior
fasad yang menghadap ke jalan pada Art Shop museum Ranggawarsita dihubungkan
dengan ada/tidaknya pengaruh dari arsitektur Jawa.
Atap Bentuk atap tradisional Atap tidak mendapat Atap art shop
Jawa terbagai menjadi 5 pengaruh arsitektur Jawa menggunakan bentuk hip
macam, yaitu panggang pe, roof yang merupakan
kampung, limasan, joglo, penyempurnaan dari
Tajug (Wahyudi,2009) bentuk atap pelana yang
terdiri dari dua bidang
material : terakota / tanah
miring yang berbentuk
liat
trapesium.
Kolom Soko guru menjadi struktur Kolom tidak dipengaruhi Pada bangunan Art Shop
utama pada bangunan arsitektur Jawa tidak terdapat saka atau
(pendopo) tiang yang menjadi
penyangga kekuatan
Bentuk kolom: balok/kotak
bangunan.
Material: kayu
(Wahyudi,2009)
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Selain sebagai penutup
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada dinding juga berfungsi
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional sebagai penyalur beban.
(gebyok) jawa Hal ini berbeda dengan
konsep bangunan Jawa
Dinding berfungsi hanya
yang dindingnya biasa
sebagai penutup
hanya sebagai penutup.
Tinggi dinding skala akrab
(Wahyudi,2009)
35
Lantai Lantai pengaruh rumah Joglo Terdapat undakan depan
teras yang berfungsi
sebagai ruang peralihan
untuk memasuki wilayah
teras.
(Cahyani,2015)
Pintu- Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Pintu dan Jendela tidak
Jendela daun pintu (Kupu Tarung) jendela tidak terpengaruh memiliki ciri khas dari
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. bangunan berarsitektur
daun pintu (Inep-Siji) Jawa. Pintu dan jendela
menggunakan material
Material pintu : kayu atau
kaca dan dengan kusen
bambu (Wahyudi,2009)
aluminium.
Pintu terletak pada sumbu
tengah tampak, jendela di
kanan – kirinya
(Cahyani,2015)
4.4 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Mushola Museum Ranggawarsita
Telaah museum Ranggawarsita dengan cara mencari pengaruh budaya Jawa
dari wujud fisik museum Ranggawarsita. Tabel 04 menjelaskan bagaimana eksterior
fasad yang menghadap ke jalan pada Mushola museum Ranggawarsita dihubungkan
dengan ada/tidaknya pengaruh dari arsitektur Jawa.
Kolom Soko guru menjadi struktur Kolom dipengaruhi Pada bangunan Mushola
utama pada bangunan arsitektur Jawa. kolom dibentuk seperti
(pendopo) trapesium yang melebar
ke bawah dengan
Bentuk kolom: balok/kotak
finishing cat warna abu-
Material: kayu abu.
(Wahyudi,2009)
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Selain sebagai penutup
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada dinding juga berfungsi
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional sebagai penyalur beban.
(gebyok) jawa Hal ini berbeda dengan
konsep bangunan Jawa
Dinding berfungsi hanya
yang dindingnya biasa
sebagai penutup
hanya sebagai penutup.
37
Tinggi dinding skala akrab
(Wahyudi,2009)
(Cahyani,2015)
Pintu- Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Jendela dari material kaca
Jendela daun pintu (Kupu Tarung) jendela tidak terpengaruh sepenuhnya dengan
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. bukaan yang cukup lebar.
daun pintu (Inep-Siji)
Pada eksterior fasad
Material pintu : kayu atau mushola tidak langsung
bambu menunjukkan bentuk
pintu.
(Wahyudi,2009)
38
memiliki jalusi dengan
bukaan ke samping
(Cahyani,2015)
Dari amatan studi kasus pada Mushola pengaruh arsitektur tradisional Jawa
ditemukan pada bentuk atap joglo serta adanya undakan depan teras yang menjadi
ruang peralihan untuk memasuki wilayah Mushola.
Atap Bentuk atap tradisional Atap tidak terpengaruh oleh Pada Gedung A museum
Jawa terbagai menjadi 5 arsitektur Jawa Ranggawarsita ini, pada
macam, yaitu panggang pe, bagian Tampak depan
kampung, limasan, joglo, tidak terlihat bentuk atap
Tajug (Wahyudi,2009) karena menggunakan
rekayasa atap
material : terakota / tanah
tersembunyi. Bentu atap
liat
aslinya tidak terlihat dari
fasad karena ditutup oleh
dinding yang dilapisi oleh
keramik berwarna cream.
Atap tersembunyi ini
merupakan salah satu
gaya arsitektur modern
minimalis.
39
Kolom Soko guru menjadi struktur Kolom tidak terpengaruh Soko Guru atau Kolom
utama pada bangunan arsitektur Jawa. pada Gedung A berbentuk
(pendopo) persegi menggunakan
bahan bata merah
Bentuk kolom: balok/kotak
diplester dan difinishing
Material: kayu
dengan cat berwarna
(Wahyudi,2009) putih dan abu-abu.
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Material : batu bata yang
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada susunannya satu bata
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional berperan sebagai dinding
(gebyok) jawa. pemikul. Tinggi dinding
skala akrab.
Dinding berfungsi hanya
sebagai penutup
(Wahyudi,2009)
(Cahyani,2015)
40
Pintu- Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Pintu pada Gedung A
Jendela daun pintu (Kupu Tarung) jendela terpengaruh terbuat dari material kayu
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. sepenuhnya dan terdpat
daun pintu (Inep-Siji) ukiran-ukiran yang
menjadi ciri arsitektur
Material pintu : kayu atau
Jawa yang memiliki
bambu (Wahyudi,2009)
banyak sekali ornament
Pintu terletak pada sumbu hias berupa ukiran. Pintu
tengah tampak, jendela di ini memiliki dua buah
kanan – kirinya daun pintu namun
(Cahyani,2015)
Ornamen Praba Pada Saka Gedung A tidak Saka atau kolom pada
Hias terpengaruh arsitektur Jawa Gedung A hanya
Ragam hias ini berupa
pada difinshing cat dan tidak
relief yang dipahatkan
Saka terdapat ragam hias
pada tiang-tiang bangunan
ataupun ornament sama
utama dan selalu diberi
sekali.
warna baik warna emas,
hijau, biru ataupun merah.
Pada tiang, hiasan ini,
ditempatkan pada keempat
sisi ujung dan pangkal
tiang.
41
4.6 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Gedung B Museum
Ranggawarsita
Telaah museum Ranggawarsita dengan cara mencari pengaruh budaya Jawa
dari wujud fisik museum Ranggawarsita. Tabel 06 menjelaskan bagaimana eksterior
fasad yang menghadap ke jalan pada Gedung B museum Ranggawarsita dihubungkan
dengan ada/tidaknya pengaruh dari arsitektur Jawa.
Atap Bentuk atap tradisional Atap tidak terpengaruh oleh Pada Gedung B museum
Jawa terbagai menjadi 5 arsitektur Jawa Ranggawarsita ini, pada
macam, yaitu panggang pe, bagian Tampak depan
kampung, limasan, joglo, tidak terlihat bentuk atap
Tajug (Wahyudi,2009) karena menggunakan
rekayasa atap
material : terakota / tanah
tersembunyi. Bentuk atap
liat
yang sebenarnya pada
Gedung B juga tidak
terlihat dari fasade depan
karena diselubungi oleh
dinding baru bata yang di
plester dan finishing utuk
dinding penutup atap pada
Gedung B ini hanya
difinishing cat berwarna
putih yang sudah banyak
terkelupas.
Kolom Soko guru menjadi struktur Kolom tidak terpengaruh Soko Guru atau Kolom
utama pada bangunan arsitektur Jawa. pada Gedung B berbentuk
(pendopo) persegi menggunakan
bahan bata merah
Bentuk kolom: balok/kotak
diplester dan difinishing
Material: kayu dengan cat cream.
(Wahyudi,2009)
42
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Material : batu bata yang
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada susunannya satu bata
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional berperan sebagai dinding
(gebyok) jawa. pemikul Tinggi dinding
skala akrab.
Dinding berfungsi hanya
sebagai penutup
(Wahyudi,2009)
(Cahyani,2015)
Pintu- Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Pintu terdiri dua buah
Jendela daun pintu (Kupu Tarung) jendela tidak terpengaruh daun pintu dengan bukan
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. ayun terbuat dari material
daun pintu (Inep-Siji) kaca dengan pegangan
dari material aluminium.
Material pintu : kayu atau
bambu (Wahyudi,2009) Jendela berupa jendela
mati dengan material kaca
dengan kuseun kayu
43
Pintu terletak pada sumbu dengan ukuran lubang
tengah tampak, jendela di jendela yang relative
kanan – kirinya besar.
(Cahyani,2015)
Dari amatan studi kasus pada Gedung B tidak menampilkan adanya ciri khas
dari arsitektur tradisional Jawa, baik dari bentuk bangunan maupun dari ornamen yang
menjadi karakter bangunan tradisional Jawa. Pengaruh arsitektur Tradisional Jawa haya
terlihat pada adanya trap menuju pintu masuk.
44
Unit Arsitektur Jawa dan Pengaruh Budaya pada Analisa
Amatan Pemaknaannya Studi Kasus
Atap Bentuk atap tradisional Atap tidak terpengaruh oleh Pada Gedung C museum
Jawa terbagai menjadi 5 arsitektur Jawa Ranggawarsita ini, pada
macam, yaitu panggang pe, bagian Tampak depan
kampung, limasan, joglo, tidak terlihat bentuk atap
Tajug (Wahyudi,2009) karena menggunakan
rekayasa atap
material : terakota / tanah
tersembunyi. Atap
liat
Gedung C masih sama
seperti Gedung B yang
ditutupi dengan dinding
untuk bagian fasadnya.
Material yang digunakan
adalah dinding batu bata
yang di plaster dengan
finishing cat berwarna
putih. Bedanya yaitu pada
Gedung C, dindig
penutup atapnya diberi
tekstur garis-garis berupa
nat dengan jarak yang
sama antar nat nya.
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Material : batu bata yang
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada susunannya satu bata
berperan sebagai dinding
45
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional pemikul Tinggi dinding
(gebyok) jawa. skala akrab.
(Wahyudi,2009)
Lantai Elevasi lantai tinggi : Lantai terpengaruh oleh Pada lantai depan Pintu
cerminan stratifikasi arsitektur Jawa. masuk Gedung C tidak
tingkat sosial penghuni terdapat perbedaan
rumah Trap depan teras elevasi lantai yang biasa
berfungsi sama seperti menjadi ciri khas
kuncung, pemberhentian di arsitektur Jawa.
depan pendopo (teras)
(Cahyani,2015)
Pintu- Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Sebelum memasuki Pintu
Jendela daun pintu (Kupu Tarung) jendela tidak terpengaruh masuk Gedung C
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. pengunjung disambut
daun pintu (Inep-Siji) dengan bentuk gapura
yang dibentuk dari bata
Material pintu : kayu atau
merah ekspose dan untuk
bambu
lubang pintu masuknya
(Wahyudi,2009) terbuat dari kayu secara
utuh dengan ornament-
46
Pintu terletak pada sumbu ornamen ukiran pada
tengah tampak, jendela di kayu tersebut.
kanan – kirinya
Pintu terdiri dua buah
Tinggi pintu : skala akrab daun pintu dengan bukan
ayun terbuat dari material
Bukaan jendela relatif
kaca dengan kusen dari
kecil daun jendela
material kayu.
memiliki jalusi dengan
bukaan ke samping
(Cahyani,2015)
Dari amatan studi kasus eksterior fasad pada Gedung C tidak menampilkan
adanya ciri khas dari arsitektur tradisional Jawa, baik dari bentuk bangunan maupun
dari ornamen yang menjadi karakter bangunan tradisional Jawa.
47
Unit Arsitektur Jawa dan Pengaruh Budaya pada Analisa
Amatan Pemaknaannya Studi Kasus
Atap Bentuk atap tradisional Atap tidak terpengaruh oleh Pada Gedung D museum
Jawa terbagai menjadi 5 arsitektur Jawa Ranggawarsita ini,
macam, yaitu panggang pe, menggunakan atap
kampung, limasan, joglo, pelana.
Tajug (Wahyudi,2009)
Soko guru menjadi struktur Kolom tidak terpengaruh Soko Guru atau Kolom
utama pada bangunan arsitektur Jawa. pada Gedung D berbentuk
Kolom
(pendopo) persegi menggunakan
bahan bata merah
Bentuk kolom: balok/kotak
diplester dan difinishing
Material: kayu
dengan cat putih dan
(Wahyudi,2009) abu-abu.
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Material : batu bata yang
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada susunannya satu bata
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional berperan sebagai dinding
(gebyok) jawa. pemikul. Tinggi dinding
skala akrab.
Dinding berfungsi hanya
sebagai penutup
(Wahyudi,2009)
48
rumah Trap depan teras
berfungsi sama seperti
kuncung, pemberhentian di
depan pendopo (teras)
(Cahyani,2015)
Pintu- Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Pintu terdiri dua buah
Jendela daun pintu (Kupu Tarung) jendela tidak terpengaruh daun pintu dengan bukan
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. ayun terbuat dari material
daun pintu (Inep-Siji) kaca dengan kusen dari
material kayu yang
Material pintu : kayu atau
difinishing cat warna abu-
bambu
abu.
(Wahyudi,2009)
(Cahyani,2015)
Ornamen Praba Pada Saka Gedung D tidak Pada Gedung D saka tidak
Hias terpengaruh arsitektur Jawa. terdapat ornamen hanya
Ragam hias ini berupa
pada difinishing cat putih dan
relief yang dipahatkan
Saka abu-abu.
pada tiang-tiang bangunan
utama dan selalu diberi
warna baik warna emas,
hijau, biru ataupun merah.
Pada tiang, hiasan ini,
ditempatkan pada keempat
49
sisi ujung dan pangkal
tiang.
Dari amatan studi kasus eksterior fasad pada Gedung D tidak menampilkan
adanya ciri khas dari arsitektur tradisional Jawa, baik dari bentuk bangunan maupun
dari ornamen yang menjadi karakter bangunan tradisional Jawa.
4.9 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Gedung Kantor Museum
Ranggawarsita
Atap Bentuk atap tradisional Atap tidak terpengaruh oleh Pada Gedung Kantor
Jawa terbagai menjadi 5 arsitektur Jawa museum Ranggawarsita
macam, yaitu panggang pe, ini, menggunakan atap
kampung, limasan, joglo, limasan.
Tajug (Wahyudi,2009)
Kolom Soko guru menjadi struktur Kolom tidak terpengaruh Soko Guru atau Kolom
utama pada bangunan arsitektur Jawa. pada Gedung Kantor
(pendopo) berbentuk persegi
menggunakan bahan bata
Bentuk kolom: balok/kotak
merah diplester dan
Material: kayu difinishing dengan cat.
(Wahyudi,2009)
50
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Material : batu bata yang
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada susunannya satu bata
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional berperan sebagai dinding
(gebyok) jawa. pemikul Tinggi dinding
skala akrab.
Dinding berfungsi hanya
sebagai penutup
(Wahyudi,2009)
(Cahyani,2015)
Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Pintu terdiri dua buah
daun pintu (Kupu Tarung) jendela tidak terpengaruh daun pintu dengan bukan
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. ayun terbuat dari material
Pintu- daun pintu (Inep-Siji) kayu dengan pegangan
Jendela pintu bahan aluminium.
Material pintu : kayu atau
Pintu tidak terletak di
bambu (Wahyudi,2009)
sumbu tengah bangunan.
51
Pintu terletak pada sumbu Jendela terdapat dua tipe,
tengah tampak, jendela di yang pertama ada jendela
kanan – kirinya kaca dengan kuseun kayu
dengan bukaan yang
Tinggi pintu : skala akrab
cukup lebar dan yang
Bukaan jendela relatif kedua yaitu jendela kaca
kecil daun jendela dengan diberi railing dari
memiliki jalusi dengan bahan besi.
bukaan ke samping
(Cahyani,2015)
Ornamen Praba Pada Saka Gedung Kantor Pada Gedung Kantor saka
Hias tidak terpengaruh arsitektur tidak terdapat ornamen
Ragam hias ini berupa
pada Jawa. hanya difinishing cat.
relief yang dipahatkan
Saka
pada tiang-tiang bangunan
utama dan selalu diberi
warna baik warna emas,
hijau, biru ataupun merah.
Pada tiang, hiasan ini,
ditempatkan pada keempat
sisi ujung dan pangkal
tiang.
Dari amatan studi kasus eksterior fasad pada Gedung Kantor tidak
menampilkan adanya ciri khas dari arsitektur tradisional Jawa, baik dari bentuk
bangunan maupun dari ornamen yang menjadi karakter bangunan tradisional Jawa.
4.10 Telaah Arsitektur Jawa pada Eksterior Fasade Gudang Museum Ranggawarsita
52
Unit Arsitektur Jawa dan Pengaruh Budaya pada Analisa
Amatan Pemaknaannya Studi Kasus
Atap Bentuk atap tradisional Atap tidak terpengaruh oleh Pada Gedung Kantor
Jawa terbagai menjadi 5 arsitektur Jawa museum Ranggawarsita
macam, yaitu panggang pe, ini, menggunakan atap
kampung, limasan, joglo, limasan.
Tajug (Wahyudi,2009)
Kolom Soko guru menjadi struktur Kolom tidak terpengaruh Soko Guru atau Kolom
utama pada bangunan arsitektur Jawa. pada Gudang berbentuk
(pendopo) persegi menggunakan
bahan bata merah
Bentuk kolom: balok/kotak
diplester dan difinishing
Material: kayu
dengan cat.
(Wahyudi,2009)
Dinding Material : bambu (gedheg), Material dinding dan skala Material : batu bata yang
kombinasi bambu dan tingginya mengacu pada susunannya satu bata
papan (kontangan), papan disain arsitektur tradisional berperan sebagai dinding
(gebyok) jawa. pemikul. Tinggi dinding
skala akrab.
Dinding berfungsi hanya
sebagai penutup
(Wahyudi,2009)
53
Elevasi lantai tinggi :
cerminan stratifikasi
tingkat sosial penghuni
rumah Trap depan teras
berfungsi sama seperti
kuncung, pemberhentian di
depan pendopo (teras)
(Cahyani,2015)
Pintu- Pintu dengan dua buah Bentuk dan tatanan pintu Pintu Gudang berbentuk
Jendela daun pintu (Kupu Tarung) jendela tidak terpengaruh pintu rolling lipat dari
atau pintu dengan satu arsitektur Jawa. bahan besi.
daun pintu (Inep-Siji)
(Cahyani,2015)
Ornamen Praba Pada Saka Gudang tidak Pada gudang saka tidak
Hias terpengaruh arsitektur Jawa. terdapat ornamen hanya
Ragam hias ini berupa
pada difinishing cat.
relief yang dipahatkan
Saka
pada tiang-tiang bangunan
utama dan selalu diberi
warna baik warna emas,
hijau, biru ataupun merah.
54
Pada tiang, hiasan ini,
ditempatkan pada keempat
sisi ujung dan pangkal
tiang.
Dari amatan studi kasus eksterior fasad pada Gudang tidak menampilkan
adanya ciri khas dari arsitektur tradisional Jawa, baik dari bentuk bangunan maupun
dari ornamen yang menjadi karakter bangunan tradisional Jawa.
55
Gedung Pertemuan
Art Shop
Menggunakan Hip
Roof
Mushola
Atap Mushola
menggunakan atap Joglo
dengan bentuk Joglo Semar
Tinandu.
Gedung A
Rekayasa Atap
tersembunyi.
Bentuk atap yang
sebenarnya tidak
terlihat dari fasade
Atap ditutupi oleh
dinding yang
dilapisi dengan
keramik berwarna
cream
Gedung B
Rekayasa Atap
tersembunyi.
56
Bentuk atap yang
sebenarnya tidak
terlihat dari fasade
Atap ditutupi oleh
dinding batu bata
yang di plaster
polos dengan
finishing cat
warna putih
Gedung C
Rekayasa Atap
tersembunyi.
Bentuk atap yang
sebenarnya tidak
terlihat dari fasade
Gedung D
Rekayasa Atap
tersembunyi.
Gedung Kantor
Atap Limasan
Gudang
Atap Limasan
57
saka dan di ujung-ujung
bangunan.
Gedung Pertemuan
Penempatan kolom
sesuai dengan bentuk
rumah kampung salah
satu ciri arsitektur
tradisional Jawa dengan
jumlah soko guru 4 di
ujung-ujung bangunan.
Soko guru menjadi
struktur utama pada
bangunan teras
Art Shop
Mushola
58
atau atap dipikul
dengan dinding
dinding.
Memakai 2 saka guru
sebagai tiang utama
yang menyangga atap
brunjung
Gedung A
Gedung B
Gedung C
Gedung D
Gedung Kantor
Gudang
Gedung Pertemuan
Pada Teras :
Material Batu bata
Dinding berfungsi
sebagai pemikul
Tinggi dinding
skala akrab
Art Shop
Material Batu-bata
59
Dinding sebagai
penutup dan
penyalur beban
Mushola
Material Batu-bata
Dinding sebagai
penutup dan
penyalur beban
Gedung A
Material Batu-bata
Dinding sebagai
penutup dan
penyalur beban
Gedung B
Material Batu-bata
Dinding sebagai
penutup dan
penyalur beban
Gedung C
Material Batu-bata
Dinding sebagai
penutup dan
penyalur beban
Gedung D
Material Batu-bata
Dinding sebagai
penutup dan
penyalur beban
Gedung Kantor
Material Batu-bata
Dinding sebagai
penutup dan
penyalur beban
60
Gudang
Material Batu-bata
Dinding sebagai
penutup dan
penyalur beban
Gedung B
Terdapat undakan
untuk menuju Gedung
B berupa trap
Gedung C
Gedung D
Gedung Kantor
61
Terdapat undakan
untuk menuju teras
Gedung kantor
Gudang
Gedung Pertemuan
Art Shop
Mushola
Gedung A
Menggunakan material
full kayu
Terdapat ukiran-ukiran
khas jawa pada pintu
Pintu memiliki dua
buah daun pintu
Gedung B
Gedung C
Gedung D
Gedung Kantor
Gudang
62
Art Shop
Mushola
Gedung A
Gedung B
Gedung C
Gedung D
Gedung Kantor
Gudang
63
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Arsitektur tradisional, seperti halnya tradisi, memiliki sifat dinamis, yaitu tidak
tertutup terhadap adanya perubahan. Perubahan-perubahan ini umumnya disebabkan
oleh adanya perubahan kebutuhan akan ruang, baik dari segi luasan, fungsi maupun
pemaknaan. Dengan begitu, penggunaan unsur-unsur arsitektur tradisional pada
berbagai fungsi dengan konteks yang berbeda bukan lagi menjadi hal yang aneh.
64
Ruang Pertemuan, dan Mushola yang dekat dengan gerbang. Atapnya yang
menggunakan atap joglo menunjukkan bahwa Ir. Totok Rusmanto mengadaptasi dari
Arsitektur Tradisional Jawa. Semua bangunan pada area depan juga memperlihatkan
penggunaan perbedaan level untuk memasuki gedungnya yang menerapkan konsep
lantai yang terdapat trap depan teras yang berfungsi sama seperti kuncung,
pemberhentian di depan pendopo (teras). Selain itu pada fasad depan entrance hall
memiliki bentuk dan susunan saka-saka sesuai dengan Arsitektur Jawa dan
pemaknaannya serta ornament-ornamen yang juga mengadopsi dari arsitektur Jawa.
Untuk area tengah yaitu bagian Gedung Pameran yang terdiri dari Gedung A,
Gedung B, Gedung C, dan Gedung D tidak banyak menerapkan pengaruh arsitektur
Jawa untuk penampilan fasadnya. Beberapa bagian sudah muali menerapkan arsitektur
modern yang terlihat pada atap Gedung A, Gedung B dan Gedung C yang menerapkan
atap tersembunyi minimalis dan Gedung D menggunakan atap pelana. Semua Kolom
pada fasad Gedung pameran menggunakan material batu-bata yang di plaster dengan
finishing cat dan tidak menggunakan ornamen ciri khas arsitektur jawa. Penerapan
arsitektur jawa hanya terlihat pada Pintu pada Gedung A yang menggunakan material
full kayu yang biasa dijumpai pada bangunan berarsitektur tradisional Jawa dengan
menampilkan ornament-ornamen ukiran. Untuk penerapan level lantai hanya
diterapkan pad pintu masuk Gedung B.
Pada area belakang dengan block hijau pada gambar 5.1 Pembagian Area
Analisa Eksterior Fasade Museum Ranggawarsita yang menganalisa Gedung Kantor
dan Gudang terlihat tidak menampilkan arsitektur tradisional Jawa pada kedua fasad
bangunan. Hanya satu pengaruh yang diterapkan pada bangunan kantor yaitu level
lantai yang memili trap untuk menuju teras. Konsep Arsitektur tradisional bangunan
museum yang terbentuk adalah hasil terjemahan dari kepatuhan atas pakem-pakem
yang sudah ada. Penggunaan unsur-unsur fisik dari arsitektur tradisional Jawa pada
Museum Ranggawarsita ini tidak hanya digunakan unuk membentuk suasanan
tradisional tetapi juga sebagai cara untuk menampilkan bentuk identitas bangunan.
5.2 Saran
Ilmu arsitektur di Indonesia dinilai sudah meninggalkan arsitektur tradisional
Indonesia. Banyak arsitek Indonesia yang mengaplikasikan gaya modern pada desain-
65
desainnya dengan beralasan mengikuti perkembangan jaman dan untuk unjuk gigi pada
dunia internasional bahwa desain-desain dari para arsitek Indonesia tidak kalah dari
arsitektur Eropa. Terdapat nilai tradisi yang sangat tinggi dalam arsitektur tradisional.
Penting untuk mempelajari arsitektur tradisional karena dari sana kita dapat mengetahui
perkembangan arsitektur, dan bagaimana nenek moyang kita menciptakan desain yang
berfungsi baik. Kearifan lokal dalam merancang tersebut yang sudah diwarisi oleh
leluhur patut dipertahankan.
66
DAFTAR PUSTAKA
Arbi,Y et al. 2012. Konsep Penyajian Museum, Jakarta : Direktorat Permuseuman, Direktorat
Jendral Sejarah dan Purbakala, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ( ISBN 13
9786021962701).
Binta, I et al. 2018. Tipologi Elemen Arsitektur pada Fasad Bangunan Shophouse Kampung
Cina Bengkulu, Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, Volume 7 Nomor 1, Maret (ISSN
2301-9247 dan EISSN 2622-0954).
Cahyadi, A.R. 2010. Karakteristik Fasade Bangunan Factory Outlet di Jalan Ir. H. Djuanda
Bandung, a paper on Academia.
Cahyani,Risqi et al. 2015. Pengaruh Arsitektur Tradisional Jawa dalam Hunian Kolonial di
Kampung Bubutan Surabaya, Jurnal Ruas, Volume 13 Nomor 1, Juni (ISSN 1693-370)
Putri, D.K et al. 2011. Kebudayaan dan Kesenian Indonesia. Diakses dari :
http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/04/perkembangan-arsitektur-
tradisional-di.html
Rahmansyah dan Rauf,B. 2014. Arsitektur Tradisional Bugis Makassar (Survei pada Atap
Bangunan Kantor di Kota Makassar), Jurnal Forum Bangunan, Volume 12 Nomor 2,
Juli.
Riany,M et al. 2013. Kajian Ekspresi Bangunan Eiger Adventure Store Jl. Sumatera Bandung
Ditinjau dari Eksterior dan Interior Bangunan, Jurnal Reka Karsa, Volume 1 Nomor 2,
Agustus.
Sastra, S.M. 2013. Inspirasi Fasade Rumah Tinggal. Yogyakarta : C.V Andi Offset.
Sayekti, R.D.A.P., 2010, Museum Keris di Yogyakarta, E-Journal UAJY, hal. 160-161, Juni
67
Sumadio,B. 1996/1997. Bunga Rampai Permuseuman. Jakarta : Direktorat Permuseuman.
Wahyudi, T. 2009. Perpaduan Arsitektur Belanda dan Arsitektur Tradisional Jawa Tengah
pada Bangunan Peninggalan Belanda di Jl.Perintis Kemerdekaan Surakarta, Skripi
UNS-FKIP Jur. Pendidikan Teknik dan Kejuruan.
Widayanti, R. 2013. Kajian Aspek Pemakaian Energi pada Sistem Bangunan Tradisional Jawa.
E-Journal Gunadarma.
68
LAMPIRAN
Surat Kelayakan Sidang ............................................................................................. 1 lembar
69
BERITA ACARA SIDANG RISET DESAIN ARSITEKTUR
Hari : Senin
Tanggal : 27 Mei 2019
Waktu Sidang : 14.00-14.40
Tempat Sidang : Ruang Sidang A, Departemen Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro
Tim Penyaji
Nama : Isna Nur Aisyiyah
NIM : 21020116120012
Tim Pembahas
Pembahas 1 : Sari Gita Wardani / 21020116120010
Pembahas 2 : Ayu Radinna / 21020116120011
Pembahas 3 : Anis Khoiriyatul Arifah / 21020116120023
1. Pukul 14.00 penyaji telah menyiapkan bahan beserta alat pendukung yang digunakan
dalam presentasi. Dan dibuka dengan arahan dari dosen pembimbing.
2. Pukul 14.00 - 14.20 presentasi dilakukan oleh penyaji selama kurang lebih 20 menit
menggunkan media presentasi powerpoint dan proyektor yang berisi mengenai pokok-
pokok materi.
3. Pukul 14.20 - 14.40 dilakukannya sesi tanya jawab dengan tim pembahas yang dipimpin
oleh dosen pembimbing. Kemudian dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan, masukan,
dan arahan dari dosen pembimbing.
Tanya Jawab
Adapun rincian pelaksanaan sesi tanya jawab, diskusi dan saran oleh dosen
pembimbing, sebagai berikut:
Jawaban :
Karena arsitektur tentu saja memiliki peranan yang penting untuk mengekspresikan
identitas kedaerahan. Arsitektur tradisional hadir dan menjadi salah satu bagian pembentuk
identitas dari suatu daerah. Dikarenakan museum Ranggawarsita ini berada di Semarang dan
masih berada di Jawa, maka arsitektur tradisional yang dipakai adalah arsitektur tradisional
Jawa.
Jawaban
Karena menurut saya eksterior bangunan menjadi hal yang penting untuk dibicarakan
karena untuk bangunan umum eksterior akan menjadi hal pertama yang akan dilihat oleh
siapapun terutama untuk pengunjung. Ekspresi bangunan juga penting dibahas karena untuk
mencerminkan fungsi bangunan sebelum seseorang memasuki bangunan tersebut.