1 (Purnama, 2012)
2 Ibid
1
B. Latar Belakang
Setelah Abu Bakar menjadi Khalifah selama satu tahun dan sudah berhasil
menyelesaikan masalah internal (orang-orang murtad dan nabi palsu), Ia pun mulai
mencoba memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan cara melakukan ekspedisi ke
wilayah Arab Utara dan Selatan. Pada tahun 633 M, Abu Bakar mengutus Khalid bin
Walid untuk melakukan negosiasi kepada kaum Persia dengan cara memberikan
beberapa pilihan yakni: 1) Menerima Islam sebagai agama mereka; 2) Tetap teguh
kepada agama mereka tetapi mengharuskan membayar jizyah (pajak); 3) Jika tidak
memilih antara kedua pilihan tersebut, maka perang sebagai jalan terakhir. Lalu,
komandan Persia yang bernama Hurmuz lebih memilih alternatif ketiga yakni dengan
cara berperang. 3 Mendengar keputusan tersebut, Khalid bin Walid mempersiapkan
18.000 pasukannya untuk siap berperang melawan pasukan yang sudah disiapkan
Hurmuz. Terjadilah perang yang pertama kali dalam ekspidisi Khalid ke Utara.
Dengan terbunuhnya Hurmuz, pasukan dari Persia pun mundur dan secara otomatis
peperangan dimenangkan oleh kaum muslimin.
Kemenangan ini diikuti dengan kemenangan umat muslim pada perang-
perang kecil yang menyusul setelahnya, salah satunya peperangan Al-Madzar. 4
Peperangan ini terjadi karena pasukan Persia mendapat bala bantuan dari Kisra yang
dipimpin oleh panglimanya yakni Qarin bin Qiryanis. Tetapi, pasukan Persia tidak
mau menerima kekalahan mereka, sehingga terjadilah perang di Al-Walajah sebagai
upaya pembalasan dari perang sebelumnya.5 Meskipun perang tersebut lebih dahsyat
daripada sebelumnya, namun panglima Andar Zaghar yang memimpin pasukan
tersebut melarikan diri dan tewas kehausan. Perjalanan berlanjut ke Ullaisy dan
perang kembali terjadi karena Khalid membunuh beberapa orang dari Bani Bakar bin
Wail yang merupakan warga keturunan Nasrani Arab. Tetapi, Khalid berhasil
mengalahkan tentara Ullaisy dengan pedangnya. Perang ini memakan korban
sebanyak 70.000 orang yang mayoritas korbannya berasal dari sebuah kota
Umghisyia.
Kemenangan tersebut sampai ke telinga Abu Bakar ditandai dengan
diterimanya seperlima dari harta rampasan perang beserta tawanan dari kaum wanita
dan anak anak yang dibawa oleh Jandal dari Bani I’jil. Kemudian, pasukan Muslim
2
melanjutkan perjalanannya untuk mengepung wilayah-wilayah sekitarnya yang
dimulai dari Hirah.
C. Pembahasan
C.1 Perdamaian di Hirah
Setelah Khalid berhasil memenangkan peperangan di Ullaisy, Ia melanjutkan
perjalannya menuju Hirah, Kedatangan Khalid di Hirah disambut baik oleh para
pembesar-pembesar kota tersebut bersama dengan Qabishah bin Iyas bin Hayyah ath-
Tha’iy yang merupakan Gubernur Hirah. Singgah nya Khalid bin Walid ke Hirah
tidak lain untuk menyampaikan sebuah pesan yang berisi: “Aku mengajak kalian
kepada Allah dan agama Islam. Jika kalian menerima tawaran ini maka bayarlah
upeti. Jika kalian tetap enggan menerimanya maka sesungguhnya aku datang kepada
kalian dengan membawa pasukan yang lebih mencintai kematian dari pada kecintaan
kalian kepada kehidupan. Kami akan memerangi kalian hingga Allah menjadi hakim
antara kami dan kalian.”6
Pesan yang dibawa Khalid bin Walid ditanggapi dengan baik oleh Qabishah,
dibanding dengan jalan perang. Qabishah selaku gubernur Hirah lebih memilih jalan
damai, yakni dengan membayar jizyah. Jizyah yang dibayarkan Hirah sebanyak
90.000 dirham, dan dalam sebagian riwayat disebutkan 200.000 dirham. Jizyah
tersebut merupakan yang pertama kali dipungut dari tanah Iraq, dan kemudian hasil
dari pemungutan tersebut dikirimkan ke Madinah beserta dengan jizyah-jizyah dari
kota-kota yang sebelumnya telah mengikat perjanjian perdamaian.
Dalam peristiwa tersebut, Khalid menulis sebuah surat perjanjian damai, dan
mengambil dari mereka uang muka sebanyak 400.000 dirham. Namun, penulisan
surat perjanjian perdamaian itu ditunda sampai mereka menyerahkan seorang wanita
bernama Karamah binti Abdul Masih kepada Syuwail yang merupakan seorang
prajurit dari sahabat Rasulullah SAW. Penyerahan Karamah binti Abdul Masih
kepada Syuwail disebabkan oleh adanya pesan Rasulullah sebelum beliau wafat, yang
mana beliau berkata “Kelak mereka akan menaklukan istana - istana Raja Hirah yang
indah seolah olah halaman istana mereka laksana taring – taring serigala”. Kemudian
Syuwail meminta kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah SAW, berilah untuku puteri
raja Buqailah” dan Rasulullah pun memenuhi permintaan Syuwail. Meskipun pada
6 Ibid, p. 127
3
akhirnya para kaum Hirah ingin menebus perempuan tersebut namun perjanjian
damai di Hirah tetap berjalan setelah adanya kesepakatan penebusan antara Syuwail
dengan kaum Hirah yang ingin menebus perempuan tersebut. Setelah perjanjian
damai tersebut terjadi, Khalid memutuskan untuk menetap di Hirah selama setahun
sembari mengawasi negeri Persia.
Setelah menetap selama setahun di Hirah, Khalid dan pasukannya melanjutkan
perjalanan menuju Kisrah, disana utusan Kisrah bernama Amru bin Abdul Masih bin
Hayyan bin Buqaila yang merupakan seorang Nasrani Arab melakukan dialog singkat
dengan Khalid.
Khalid bertanya kepadanya, “Dari mana asalmu?”
Dia menjawab “Dari tulang punggung ayahku.”
Khalid bertanya lagi, “Dari mana datangmu?”
Dia menjawab, “Diatas bumi.”
Khalid bertanya, “Celaka engkau, didalam apakah engkau (apa agamamu)?”
Dia menjawab, “Dalam bajuku.”
Khalid bertanya “Celakalah engkau, apa engkau tidak terikat (apakah engkau
berakal)?”
Dia Menjawab, “Ya, dan juga terikat.”
Khalid berkata, “Sesungguhnya aku bertanya padamu.”
Dia menjawab, “Aku hanya menjawab pertanyaanmu”
Khalid bertanya, “Apakah engkau memilih damai atau perang?”
Dia menjawab “Aku memilih damai.”
Khalid bertanya “Untuk apa benteng-benteng yang aku lihat ini?”
Dia menjawab “Kami bangun untuk menahan orang-orang yang bodoh hingga
orang yang cerdik datang untuk mendidik mereka”7
Setelah adanya dialog tersebut. Khalid bin Walid mengirmkan surat kepad
gubernur Kisra yang berdiam di Madain dan para petingginya. Isi surat tersebut
sebagai berikut:
Amma Ba’du
“Segala puji bagi Allah yang telah menghancurkan kalian, mencabut
kekuasaan dan menghinakan tipu daya kalian, sesungguhnya yang mengerjakan shalat
seperti shalat kami, menghadap kiblat kami dan memakan sembelihan kami, maka dia
7 Ibid, p. 129
4
telah dianggap sebagai seorang muslim, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama
seperti kami.
Jika sampai kepada kalian suratku ini maka segera kirimkan kepadaku upeti,
kalian akan menjadi ahlu dzimmah dibawah perlindungan kami. Jika tidak, maka
demi Allah yang tiada Illah yang hak disembah selain diriNya, aku pasti akan
mengirim kepada kalian suatu kaum yang lebih mencintai kematian dari pada
kecintaan kalian kepada kehidupan.”8
8 Ibid, p. 130
9 Iqbal, 2000, p. 129
5
Seperti yang telah disampaikan diatas, bahwa umat Islam akan memberikan
perlindungan kepada kaum setempat, untuk menjamin perlindungan tersebut termasuk
kepada harta kekayaan mereka, maka khalifah Abu Bakar menetapkan sebuah
kebijakan berupa larangan membeli tanah dari daerah yang telah ditaklukan.10 Selain
itu dalam perlindungan beragama terdapat sebuah kebijakan berupa larangan adanya
intervensi pemerintah terhadap agama warganya. Dalam artian diberlakuakn
kebebasan beragama, ada pula para penguasa juga tidak diperkenankan untuk
melakukan intervensi terhadap agama yang ada dalam negara yang berada dibawah
kekuasaan Islam.
D. Analisa
Abu Bakar menjadi pemimpin yang memiliki dua sisi berlawanan. Di satu saat Ia
begitu lembut, di saat yang lain justru sebaliknya, begitu tegas. Karakteristik itu juga
terjadi dalam praktik diplomasi yang dilakukan di masanya. Dapat terlihat melalui
surat yang Ia titipkan kepada para diplomatnya, salah satunya Khalid, kepada
pemimpin di negeri-negeri lain. Pertama, menerima Islam sebagai agama mereka;
memperlihatkan kejelasan tujuan diplomasi yang dilakukan oleh Abu Bakar yaitu
menyebarkan dakwah Islam. Kedua, tetap teguh kepada agama mereka tetapi
mengharuskan membayar jizyah; memperlihatkan adanya alternatif damai yang
bersifat kolaboratif antara pemerintahnya dan masyarakat setempat. Ketiga, jika tidak
memilih antara kedua pilihan tersebut, maka perang sebagai jalan terakhir; menjadi
pilihan akhir yang jelas dan tegas, tanpa ada alternatif lain setelahnya, dari khilafah
pimpinan Abu Bakar.
Salah satu diplomat utama yang dimiliki oleh Abu Bakar adalah Khalid bin Walid.
Selain menjadi diplomat, Ia juga seorang komandan perang. Melalui risalahnya dalam
dua kasus di atas, terlihat bagaimana pola diplomasi yang terjadi di masa Abu Bakar.
Diawali dengan kedatangan, dan pemberian penawaran kepada para pemimpin kota,
seperti yang Khalid katakana ketika memasuki Hira, “Aku mengajak kalian kepada
Allah dan agama Islam. Jika kalian menerima tawaran ini maka bayarlah upeti. Jika
kalian tetap enggan menerimanya maka sesungguhnya aku datang kepada kalian
dengan membawa pasukan yang lebih mencintai kematian dari pada kecintaan kalian
kepada kehidupan.” Kemudian jika respon yang terjadi memilih damai, dengan segera
10 Ibid
6
kesepakatan dituliskan secara resmi. Jika memilih perang, maka dilakukan pula di
tempat yang kuhusus tanpa melibatkan masyarakat biasa.
Khalid sendiri sebagai seorang diplomat, menunjukkan kapasitas, kapabilitas dan
integritasnya. Kedudukannya sebagai seorang komandan perang yang membawahi
ribuan pasukan Muslimin dan menjadi ujung tombak ekspansi khekhalifahan Abu
Bakar membuat namanya terkenal seantero jazirah Arabia. Hal ini menunjukkan
adanya kapasitas serta potensi yang strategis dimiliki dalam diri seorang Khalid,
sehingga membuatnya ditempatkan di garis terdepan sekaligus menjadi diplomat
kaum Muslim. Kemudian Ia juga piawai dalam merangkai, memilih, serta
membingkai kata-katanya sehingga tidak hanya membuat lawan mudah memahami
tetapi juga menggetarkan hati mereka. Dapat dilihat dari surat-surat yang Ia kirim ke
pemimpin-pemimpin Persia dan dialognya dengan Amru bin Abdul Masih di atas.
Selain itu integritasnya terutama terhadap dakwah Islam tidak perlu dipertanyakan,
dapat dilihat bagaimana pemahamannya yang lengkap tentang tauhid dan Islam.
Bahkan dapat kita lihat pada kendala dalam kesepakatan perjanjian Hirah di awal,
karena adanya Hadits Rasulullah tentang janji diserahkannya seorang wanita, yang
kala itu sudah berusia 80 tahun, kepada salah seorang sahabat yang ada di dalam
pasukan Khalid.
7
Daftar Pustaka
Iqbal, A. (2000). Diplomasi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Katsir, I. (2002). al-Bidayah wan-Nihayah. Riyadh: Dar al-Wathan.
Purnama, Y. (2012, Maret 21). Biografi Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu'anhu.
Retrieved from Muslim.or: www.muslim.or.id