Anda di halaman 1dari 2

HUBUNGAN ETIKA DENGAN ILMU

Istilah etika (Ethict, dalam bahasa Inggris, atau ethica, dalam bahasa latin) secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti :
tempat tinggal yang biasa; padang rumput; kandang habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak;
perasaan, sikap, cara berfikir . dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan
arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika”. Etika itu adalah filsafat
tentang nilai, kesusilaan, tentang baik dan buruk. Selain etika mempelajari nilai-nilai, juga
merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Ada juga yang menyebutkan bahwa etika
adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan keseluruhan budi (baik dan buruk). Maka dapat
disimpulkan etika itu merupakan sebagaian dan berhubungan dengan ilmu pengetahuan.
Menurut penulis, mereka yang berfaham bahwa ilmu itu bebas nilai, menggunakan
pertimbangan yang didasarkan atas nilai dari yang diwakili oleh ilmu yang bersangkutan. Begitu
pula etika sebagai bagian dari filsafat merupakan ilmu pengetahuan tentang nilai-nilai moral
manusia. Ilmu sebagai daya tarik bagi hasrat ingin tahu manusia yang tanpa henti dan kebenaran,
sehingga perlu diperhatikan etika sebagai efek tambahan dari ilmu setelah diterapkan dalam
masyarakat

Fase Empiris Rasional


Etika telah menjadi pusat perhatian sejak jaman yunani kuno. Sampai saat ini pun etika
masih tetap menjadi bidang kajian menarik. N. Daldjoeni menjelaskan pada masa Aristoteles,
pandangan terhadap penilaian ilmu berada pada fase empiris rasional. Aritoteles pernah
mengatakan bahwa ilmu itu tak mengabdi kepada fihak lain. Ilmu digulati oleh manusia demi ilmu
itu sendiri.
Aristoteles pernah menuturkan “Primum vivere, deinde philosophari” yang artinya kira-
kira: berjuang dulu untuk hidup, barulah boleh berfilsafat. Begitu pentingnya proses berfilsafat
sehingga ada pandangan bahwa kegiatan berilmu baru dapat dilakukan setelah yang bersangkutan
tak banyak lagi disebutkan oleh perjuangan sehari-hari mencari nafkah.
Dalam masa fase empiris rasional dianggap untuk mendapatkan ilmu memerlukan
ketenangan dan kebijaksanaan. Ketika seseorang yang sehari-hari masih disibukan oleh aktifitas
mencari nafkah, maka orang tersebut tidak dapat memiliki ketenangan dan kebijaksanaan dalam
kegiatan berilmu.
Namun, ilmu pada masa ini tidak berperan dalam mengarahkan apapun. Ilmu hanya dicari
dan dicapai, namun belum adanya kepentingan dan tantangan untuk mengembangkan dan
menerapkan ilmu dalam kehidupan. Menurut N. Daldjoeni tugas suatu generasi pada masa ini
terbatas kepada mencapai ilmu tersebut, untuk kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya.
Belum ada tuntutan supaya sebelum ilmu diteruskan harus terlebih dahulu dikembangkan. Baru
sejak abad ke-17 ilmu giat dikembangkan di eropa; orang juga mencari apa tujuan sebenarnya dari
ilmu. Dengan itu fase yang sifatnya empiris rasional mulai bergerak ke fase eksperimental rasional.
Dalam masa transisi inilah, ilmu berkembang bukan sekedar tujuan bagi pencapaian seseorang,
namun berkembang menjadi suatu sarana untuk mencapai suatu.

Faham Pragmatis
Seperti dijelaskan sebelumnya, ilmu berkembang pada masa empiris rasional hanya
sekedar menjadi tujuan bagi pencapaian seseorang menjadi suatu sarana untuk mencapai sesuatu.
Seiring dengan perkembangan waktu, tujuan seseorang dalam mendalami ilmu bermacam-macam
sesuai kepentingan masing-masing individu, mulai dari perkembangan ekonomi, teknologi, taraf
hidup, mengumpulkan kekayaan, ataupun meningkatkan kebahagiaan.
Ilmu bukan sesuatu yang abstrak, ilmu adalah hal kongkret yang kita hayati. Maka
munculah rasa hormat terhadap ilmu yang diterapkan dalam kehidupan karena dirasakan bahwa
ilmu membawa hidup menjadi lebih baik. Dalam KBBI, pragmatis adalah bersifat praktis dan
berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan);
mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis maka anggapan bahwa ilmu merupakan
sarana kemajuan dan kebenaran ilmu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu dipahami
sebagai faham pragmatis. Maka terlihatlah bahwa ilmu tidak bebas nilai, di dalamnya ada aspek
efek-efek praktis dari ilmu yang menentukan kebenaran ilmu.

Anda mungkin juga menyukai