Anda di halaman 1dari 4

Komplikasi obat Anestesi lokal.

1. Efek samping lokal


Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah
yang cukup besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan
atau ada gangguan pembekuan darah, maka akan dapat timbul hematom.
Hematom ini bila terinfeksi akan dapat membentuk abses Apabila tidak
infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa
meninggalkan bekas. Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan
kompres hangat, atau insisi apabila telah terjadi abses disertai pemberian
antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end arteri dilakukan anestesi
lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang
memerlukan tindakan nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.

2. Pengaruh Pada Sistem Organ


Karena blokade kanal sodium mempengaruhi bangkitan aksi potensial di
seluruh tubuh, sehingga bukan hal yang mengejutkan jika anestesi lokal
dapat menyebabkan intoksikasi sistemik.

A. Neurologis
Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi
intoksikasi dari anestesi lokal dan merupakan sistem yang dimonitoring
awal dari gejala overdosis pada pasien yang sadar. Gejala awal adalah
rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan sensorik dapat berupa
tinitus, dan penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi (kurang istirahat,
agitasi, gelisah, paranoid) sering menunjukkan adanya depresi sistem
saraf pusat (misal, bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan tidak
sadar). Kontraksi otot yang cepat, kecil dan spontan mengawali adanya
kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti dengan gagal nafas. Reaksi
eksitasi merupakan hasil dari blokade selektif pada jalur inhibitor.
Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi
menyebabkan kejang pada konsentrasi obat lebih rendah dalam darah
dibanding agen anestesi dengan potensi yang lebih rendah. Dengan
menurunkan aliran darah otak dan pemaparan obat, benzodiazepin
dan hiperventilasi meningkatkan batas ambang terjadinya kejang
karena anestesi lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat dan tepat
menghentikan kejang. Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus tetap
dipertahankan. Lidokain intravena (1,5 mg/kg) menurunkan aliran
darah otak dan menurunkan peningkatan tekanan intrakranial yang
biasanya timbul pada intubasi pasien dengan penurunan komplians
intrakranial. Lidokain dan prokain infus selama ini digunakan sebagai
tambahan dalam teknik anestesi umum, karena kemampuannya
menurunkan MAC dari anestesi inhalasi sampai 40%. Dosis lidokain
berulang 5% dan 0,5% tetracaine dapat menjadi penyebab dari
neurotoksik (sindroma kauda ekuina) setelah dilakukan infus kontinu
melalui keteter bore-kecil pada anestesi spinal. Hal in terjadi mungkin
karena adannya pooling obat di kauda ekuina, yang sebabkan
peningkatan konsentrasi obat dan kerusakan saraf yang permanen.

Penelitian pada hewan menunjukkan neurotoksisitas pada


pemberian berulang melalui intratekal bahwa lidokain = tetracaine >
bupivacaine > ropivacaine. Gejala neurologis transien, yang terdiri dari
disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri pada ekstremitas dan bokong
pernah dilaporkan setelah dilakukan anestesi spinal dengan berbagai
agent anestesi. Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan adanya iritasi
pada radiks, dan gejala ini biasanya menghilang dalam 1 minggu.
Faktor resikonya adalah penggunaan lidokain, posisi litotomi, obesitas,
dan kondisi pasien.

B. Respirasi
Lidokain mendepresi respon hipoksia. Paralisis dari nervus interkostalis
dan nervus phrenicus atau depresi dari pusat respirasi dapat
mengakibatkan apneu setelah pemaparan langsung anestesi lokal.
Anestesi lokal merelaksasikan otot polos bronkhus. Lidokain intravena
(1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif untuk memblok refleks
bronkokonstriksi saat dilakukan intubasi. Lidokain diberikan sebagai
aerosol dapat sebabkan bronkospasme pada beberapa pasien yang
menderita penyakit saluran nafas reaktif.

C. Kardiovaskular
Umumnya, semua anestesi lokal mendepresi automatisasi miokard
(depolarisasi spontan fase IV) dan menurunkan durasi dari periode
refraktori. Kontraktilitas miokard dan kecepatan konduksi juga
terdepresi dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh ini
menyebabkan perubahan membran otot jantung dan inhibisi sistem
saraf autonom. Semua anestesi lokal, kecuali cocaine, merelaksasikan
otot polos, yang sebabkan vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang
terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung, dan hipotensi dapat
mengkulminasi terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada jantung mayor
biasanya membutuhkan konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi yang
dapat sebabkan kejang. Injeksi intravaskular bupivicaine yang tidak
disengaja selama anestesi regional mengakibatkan reaksi kardiotoksik
yang berat, termasuk hipotensi, blok atrioventrikular, irama
idioventrikular dan aritmia yang dapat mengancam nyawa seperti
takikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis
respiratorik merupakan faktor predisposisi. Ropivacaine memiliki
banyak kesamaan dalam psikokimia dengan bupivacaine kecuali
bahwa sebagian dari ropivacaine adalah larut-lemak. Waktu onset dan
durasi kerja sama, namun ropivacaine memblok motorik lebih rendah,
yang sebabkan potensi lebih rendah, ditunjukkan dalam beberapa
penelitian.
Yang paling menjadi perhatian, ropivacaine memiliki index terapi
yang besar karena 70% lebih sedikit menyebabkan intoksikasi kardia
dibandingkan dengan bupivacaine. Ropivacain dikatakan memiliki
toleransi terhadap sistem saraf pusat yang lebih besar. Keamanan dari
ropivacaine ini mungkin disebabkan karena kelarutan lemaknya yang
rendah atau availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang murni, yang
bertolak belakang dengan struktur dari bupivacaine. Levobupivacaine,
merupakan isomer S(-) dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di
Amerika Serikat, dilaporkan memilikiefek samping terhadap
cardiovaskular dan serebral yang lebih kecil dari pada struktur
campuran; penelitian mengatakan bahwa efeknya terhadap
kardiovaskular hampir menyerupai efek ropivacaine.

D. Imunologi
Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokal—yang
bukan intoksikasi sistemik karena konsentrasi plasma yang
berlebihan—merupakan hal yang jarang. Ester memiliki
kecenderungan menginduksi reaksi alergi karena adanya derivat ester
yaitu asam paminobenzoic, yang merupakan suatu alergen. Sediaan
komersial multidosis dari amida biasanya mengandung methylparaben,
yang memiliki struktur kimia mirip dengan PABA. Bahan tambahan ini
yang bertanggung jawab terhadap sebagian besar reaksi alergi.
Anestesi lokal dapat membantu mengurangi respon inflamasi karena
pembedahan dengan cara menghambat pengaruh asam
lysophosphatidic dalam mengaktivasi neutrofil.

E. Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine).
Secara histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik,
edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu.
Steroid tambahan atau injeksi epinefrin memperburuk nekrosis otot.
Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine menghasilkan
kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine.

F. Hematologi
Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah
trombosis dan menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan
fibrinolisis dalam darah yang diukur dengan thromboelastography.
Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi autolog
epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya
emboli yang lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi
epidural.
Interaksi Obat
Anestesi lokal meningkatkan potensi blokade otot non-depolarisasi. Suksinil kolin
dan anestesi lokal ester bergantung pada pseudokolinesterase untuk
metabolismenya. Pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi
masingmasing obat. Dibucaine, anestesi lokal amida, menghambat
pseudokolinesterase dan digunakan untuk mendeteksi kelainan genetik enzim.
Inhibitor pseudokolinaesterase dapat menyebaban penurunan metabolisme dari
anestesi lokal ester. Cimetidine dan propanolol menurunkan aliran darah hepatik
dan bersihan lidokain. Level lidokain yang lebih tinggi dalam darah meningkatkan
potensi intoksikasi. Opioid (misal, fentanil, morfin) dan agonis adrenergik α2
(contoh: epinefrin, klonidin) meningkatkan potensi penghilang rasa nyeri anestesi
lokal. Kloroprokain epidural dapat mempengaruhi kerja analgesik dari morfin
intraspinal.

sumber referensi:

Samodro,R., Sutiyono,D., Satoto,H. 2011. Mekanisme Kerja Obat Anestesi


Lokal. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Anda mungkin juga menyukai