Desy Maria Wahyuni (G1a218107) Perforasi Gaster
Desy Maria Wahyuni (G1a218107) Perforasi Gaster
Desy Maria Wahyuni (G1a218107) Perforasi Gaster
Oleh:
Sisvanesa
G1A218117
Pembimbing :
UNIVERSITAS JAMBI
2019
1
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
Sisvanesa, S.Ked
G1A218117
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan referat yang berjudul “Ikterus Obstruksi e.c Ca Caput Pankreas + Sirosis
Hepatis”. Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada
dr.Dennison, Sp.B selaku dosen pembimbing yang memberikan banyak ilmu
selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah.
Penulis menyadari bahwa laporan referat ini jauh dari sempurna, penulis
juga dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
agar lebih baik kedepannya.
Akhir kata, saya berharap semoga laporan Case Report Session (CRS) ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan
pengetahuan kita.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Secara
klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum
>5mg/dL . Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin
>2mg/dL. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan
kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada
gambaran kadar bilirubin serum total.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri pada ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang
± 3 minggu SMRS Os mengeluh sering timbul nyeri atau rasa tidak nyaman
pada ulu hati, keluhan dirasakan hilang timbul, badan kuning, mual
(+),muntah (-), demam(+), BAK lancer, BAB berwarna dempul dan keras.
± 1 minggu SMRS Os berobat di RS Arafah, dengan keluhan nyeri ulu hati
hilang timbul, badan kuning, demam (+), mual (+), muntah (-). Os melakukan
USG didapatkan hepatomegali
± 10 jam SMRS Os mengeluhkan nyeri ulu hati menjalar ke kanan atas.
Demam (+), mual (+), muntah 3x/hari, BAB berwarna dempul, badan kuning,
mata kuning, BAK berwarna coklat tua seperti teh
5
Riwayat Penyakit Keluarga
DM (-)
Hipertensi (-)
Riwayat penyakit keganasan (-)
Riwayat Pengobatan
Os sering minum obat Pereda nyeri yang dibeli di apotek saat maagh nya
kambuh
4. Kulit
Warna : kuning (ikterik)
Eflorensensi : (-)
Pigmentasi : hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
Jaringanparut/ koloid : (-)
Pertumbuhanrambut : normal
Lembab kering : lembab
Turgor : < 2 detik (baik)
5. Kepaladanleher
Kepala : Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar
6
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), edema
pelpebra (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), deviasi septum
(-)
Mulut : Bentuk normal, bibir kering (-), bibir sianosis (-)
Telinga : Bentuk normal, deformitas (-), sekret (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
6. Thoraks
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, pergerakan dada simetris,
retraksi dinding dada (-), sikatriks (-)
Palpasi : Fremitus dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas atas : ICS II linea parastenalis sinistra
Batas bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ1- BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-)
7. Abdomen
Inspeksi : Distensi (+) simetris (+), hematoma (-)
Auskultasi : Bising usus menurun
Palpasi : nyeri tekan kuadran atas, defans muscular (+), teraba
massa (-), Hepatomegali, Lien tidak teraba,
Perkusi : Hipertimpani, nyeri ketok (-)
7
8. Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-/-), CRT 2detik
Inferior : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2 detik
2. Radiologi
Rontgen Thorax
8
2.6 DIAGNOSIS
Pre Op : Ikterus Obstruksi e.c Ca Caput Pankreas
Post Op: Ikterus Obstruksi e.c Ca Caput Pankreas + Sirosis Hepatis
2.7 PENATALAKSANAAN
Pre Op : (IGD)
9
- Nama macam operasi : Laparotomi eksplorasi + Bypass
- Hasil :
Dalam cavum abdomen didapatkan :
- kedua lobus hepar engalai sirosis
- dilatasi dari gaster dan kandung empedu
- Teraba tumor di caput pancreas
Ditemukan cairan peritoneum bercampur gastric juice ± 1500cc
Control perdarahan
Cuci cavum abdomen dengan N5 sampai kering
Ditemukan fibrin- fibrin diseluruh rongga peritoneum
Ditemukan perforaasi gaster di antrum pyloric ± 2,5 cm dengan tepi
nekrotik -> dilakukan reseksi pada gaster, ditutup dengan omentum
dan omentum di jahit dengan benang PGA 2.0
Omentum ditutupkan ke perforasi dan dijahitkan
Dilakukan pencucian rongga abdomen dengan NACL0,9% ± 4 liter
- Therapy Post Op :
Ranitidin 3x50
Fosmicin 2x2
Ondansentron 3x8
Asam tranexamat 3x500
Ketorolac 3x50
Metronidazole 3 x 500 mg
2.8 PROGNOSIS
- Ad Vitam : Dubia ad Malam
- Ad Functionam : Dubia ad Malam
- Ad Sanationam : Dubia ad Malam
10
Follow UP
TGl S O A P
27/5/19 - KU: lemah WBC : Peritonitis - O2 ventilator
Kesadaran: 12.11 - Monitor
diffuseecPerforasi
E3VXM5 Albumin : - RL + drip
TD: 139/75 2,0 Gaster Post op ketorolac
Nadi: 96 x/m Ureum : - Noreepinefrin
H+1
RR: 24 x/m 162 3cc/mnt
Suhu: 36,7 Kreatinin : - Dobutamin 7
ºC 3,4 cc/mnt
SpO2 : 98% - Ceftriaxone 1
x 2 gr
- Ranitidin 3 x
25 mg
28/5/19 - KU: lemah Albumin : Peritonitis - O2 ventilator
Kesadaran: 2,6 - Monitor
diffuseecPerforasi
E3VXM5 - RL + drip
TD: 126/70 Gaster Post Op H ketorolac +
Nadi: 86 x/m Clinix +
+2
RR: 20 x/m Clinoleic 20
Suhu: 36,4 gtt
ºC - Ceftriaxone 1
SpO2 : 98% x 2 gr
- Ranitidin 3 x
25 mg
29/5/19 - KU: sakit Peritonitis - O2 ventilator
berat - Monitor
diffuseecPerforasi
Kesadaran: - RL + drip
E3VXM5 Gaster Post Op H ketorolac +
TD: 126/70 Clinix +
+3
Nadi: 86 x/m Clinoleic 20
RR: 20 x/m gtt
Suhu: 36,4 - Ceftriaxone 1
ºC x 2 gr
SpO2 : 96% - Ranitidin 3 x
25 mg
30/5/19 - KU: Gelisah Albumin : Peritonitis - O2 ventilator
Kesadaran: 2,3 - Monitor
diffuseecPerforasi
E3VXM5 - RL + drip
TD: 130/73 Berusaha Gaster Post Op H ketorolac +
Nadi: 118 mencabut Clinix +
+4
x/m selang FTT Clinoleic 20
11
RR: 16 x/m dan NGT gtt
Suhu: 36,4 - Ceftriaxone 1
ºC x 2 gr
SpO2 : 92% - Ranitidin 3 x
25 mg
- Midazolam 3
mg
31/5/19 - KU: Gelisah Albumin : - Monitor
Kesadaran: 3,1 - RL + drip
E3VXM5 ketorolac +
TD: 102/70 Berusaha Clinix +
Nadi: 110 mencabut Clinoleic 20
x/m selang ETT gtt
RR: 17 x/m dan NGT - Ceftriaxone 1
Suhu: 36,4 x 2 gr
ºC - Ranitidin 3 x
SpO2 : 85% 25 mg
- Midazolam 3
mg
01/06/19 Dilaporkan KU: sakit Berusaha Peritonitis - O2 ventilator
u/ konsul R/ berat mencabut - Monitor
diffuseecPerforasi
intubasi : Kesadaran: selang ETT - RL + drip
Keluarga E2VXM3 dan NGT Gaster Post Op H ketorolac +
menolak TD: 69/43 Clinix +
+5
Nadi: 184 Clinoleic 20
x/m gtt
RR: 31 x/m - Ceftriaxone 1
Suhu: 36 ºC x 2 gr
SpO2 : 80% - Ranitidin 3 x
25 mg
01/6/19 Apneu GCS : - EKG : Gagal Napas - EKG
05.10 E1V1M1 asystole
WIB TD: Tidak - Reflek Os dinyatakan
teraba cahaya meninggal dunia
Nadi: Tidak : (-/-) pada pukul 05.20
teraba - Pupil WIB di depan
RR: Tidak midrisis keluarga &
teraba maksim Perawat
al (+/+
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Peritonitis
3.1.1 Definisi
Peritonitis didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik
lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akibat bakteri atau reaksi kimia dari
etiologinya.3
13
ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser
omentum terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.5,6
14
Gambar 3.2. Ligamen peritoneum dan omentum5
Peritoneum parietal disarafi untuk sensari nyeri, suhu, raba, dan tekan oleh enam
nervi thoracicus bagian bawah dan nervus lumbalis pertama. Peritoneum parietal
didalm pelvis terutama dipersarafi oleh nervus obturatorius. Peritoneum visceral
hanya disarafi untuk sensasi regangan oleh saraf-saraf otonom yang memeprsarafi
organ viscera atau yang berjalan melalui mesenterium.7Adanya persarafan yang
berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi apabila terjadi kondisi
patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau parietal. Nyeri yang
terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada reseptor
nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu
atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi.
Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga
menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal
peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localizedhypercontractility (muscle
guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal wall).6 Di sisi lain, iritasi dari
peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa
seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral
15
terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi,
antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur midgut),
dan suprapubik (struktur hindgut).6,7
16
pertahanan inilah yang menyebabkan pembentukan sebuah abses. Selain itu,
omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk memfasilitasi
pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah daerah
subphrenic.
3.1.5 Etiologi
Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan
peradangan yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada
peritoneum. Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang
berbeda dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya
peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi
tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ gastrointestinal),3,8
sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas traktus
(perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi. 3 Pada
peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap
mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8
3.1.6 Patofisiologi
17
gallbladder, perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, sampai volvulus,
kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau obturator).2 Akibat
kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan Klebsiella
pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk dalam
rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat
polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob).
Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang
kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis
dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi
peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan
lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah. Proses
inflamasi akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf
simpatis dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan
terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi
juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak terkontrol.8
18
tersebut konstan dan intens, dan diperburuk dengan gerakan. Sebagian besar
pasien berbaring diam, dengan lutut ditekuk dan kepala diangkat; manuver ini
mengurangi ketegangan dinding perut dan mengurangi rasa sakit. rebound
tenderness, adanya muscle guarding atau rigidity (perut papan), dan manifestasi
klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen, penurunan bising usus).4
Anoreksia, mual, dan muntah adalah gejala yang sering. Namun demikian,
tergantung pada etiologi peritonitis dan waktu evolusi mereka, gejalanya dapat
bervariasi. Sebagian besar pasien terlihat dalam kondisi umum yang buruk.Suhu
biasanya di atas 38 ° Celcius, tetapi pasien yang memiliki syok septik mungkin
mengalami hipotermia. sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan
adanya demam, takikardia, takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok
(manifestasi SIRS). Takikardia dan penurunan amplitudo denyut nadi merupakan
indikasi hipovolemia, dan mereka sering terjadi pada sebagian besar
pasien. Pasien datang dengan curah jantung tinggi dan penurunan resistensi
vaskular sistemik. Mereka mungkin mengalami peningkatan tekanan nadi.4
3.1.8 Diagnosis
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik.4 Anamnesis harus mencari kemungkinan
sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai
riwayat penyakit sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke perforasi
ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease atau divertikulum
mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1
minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas untuk tifoid
mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal
(inguinalis atau femoralis) harus disuspek kemungkinan adanya strangulasi,
sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun
mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya.2
Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut dicurigai pada
pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat penyakit liver kronis
(terutama sirosis hepatis).4,8
19
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan
temuan tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti
dijelaskan pada manifestasi klinis. Nyeri pada palpasi adalah tanda peritonitis
yang paling khas, baik untuk sentuhan yang dalam maupun superfisial.
selanjutnya dinding otot mengalami kejang secara involunter dan terjadi
spasme. Suara usus mungkin ada atau tidak ada, dan mereka mungkin menyerupai
ileus awal. Peritonitis lokal menghasilkan rasa sakit yang terlokalisasi terhadap
organ penyebab terjadinya peritonitis. Perkusi perut dapat membantu melokalkan
tempat iritasi peritoneum maksimum secara akurat dengan mencari point of
maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi maksimal dari peritoneum)
untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi dari peritonitis).2,4
. Kimia darah mungkin normal, tetapi pada kasus yang serius dapat
menunjukkan dehidrasi parah, seperti peningkatan nitrogen ureum darah (BUN)
dan hipernatremia.dan pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan
adanya asidosis metabolik, Asidosis metabolik membantu dalam konfirmasi
diagnosis. Urinalisis sangat diperlukan untuk menyingkirkan infeksi saluran
kemih, pielonefritis, dan nefrolitiasis.4
20
scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda penanganan
pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis).4
21
3.1.9 Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau
ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam
4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal). 1 Terapi empiris
untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial
peritonitis (PBPatau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami
perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah
yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi
<20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain
ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.9
22
lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).2,4 Beberapa pilihan regimen
antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/
β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau
golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin
generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500
mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan
imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena).Pemberian
antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal dan hitung
jenis batang < 3%.9 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu untuk
dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65 mmHg, dan
urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP antara
8-12mmHg).4 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT)
pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan.9 Pada
pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan
pemasangan intubasi.
23
terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure
technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada laporan kasus ini
tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).4,9
3.1.10 Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah
10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 1).9 Faktor yang mempengaruhi tingkat
mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi
penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan
keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien
dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri
yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk
(APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan
tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi
yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka
mortalitas yang tinggi.
3.2.1 ANATOMI
24
A. GASTER10,11
Fundus : Berbentuk kubah, menonjol ke atas dan terletak sebelah kiri ostium
cardiacum. Biasanya fundus penuh dengan udara
Corpus : terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura angularis (lekukan
yang selalu ada pada bagian bawah curvature minor)
Antrum pyloricum : terbentang dari incisura angularis sampai pylorus
Pylorus : merupakan bagian lambung yang berbentuk paling tubular. Dinding
ototnya yang lebih tebal membentuk sphincter pyloricus dan rongga pylorus
dinamakan canalis pyloricus.
Curvatura minor membentuk pinggir kanan gaster dan dihubungkan ke hepar
oleh omentum minus. Curvature major jauh lebih panjang dari curvature minor
dan terbentang dari kiri ostium cardiacum, melalu fundus dan sepanjang pinggir
kiri gaster. Omentum minus terbentang dari bagian atas curvatra major sampai ke
lien. Omentum majus terbentang dari bagian bawah curvature major sampai ke
kolon transversum.
25
(a) (b)
Gambar 2.1 Gaster. (a) Bagian – Bagian Gaster. (b) Omentum Minus dan
Majus
Vaskularisasi
A. Arteri
Pada gaster, arteri gastrica dextra dan sinistra mendarahi curvature minor.
Arteri gastroepiploica dextra dan sinistra mendarahi curvature major. Arteri
gastrica breves berasal dari arteri lienalis mendarahi fundus. Pada duodenum,
setengah bagian atas duodenum didarahi oleh arteria pancreaticoduodenalis
superior, sebuah cabang dari arteri gastroduodenalis. Setengah bagian bawah
didarahi oleh arteri pancreaticoduodenalis inferior, sebuah cabang dari arteri
mesenterica superior.
26
B. Vena
27
C. Innervasi
28
menghambat sekresi bikarbonat oleh pancreas. Gastroduodenitis yang disebabkan
oleh H.Pylori dianggap berperanan penting dalam memudahkan terjadinya tukak.
29
penderita bergerak, misalnya berjalan, bernapas, menggerakan bada, batuk, dan
mengejan, nyeri objektif berupa nyeri ketika peritoneum digerakkan seperti pada
palpasi, nyeri lepas, tes psoas dan tes obturator.
30
BAB IV
ANALISA KASUS
31
NGT, Pemasangan kateter, IVFD NACL 0,9% 20 gtt,Ceftriaxon inj 1 x 2 gr,
Metronidazole 3 x 500 mg, OMZ inj / 12 jam
32
BAB V
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Warsinggih. Bahan Ajar DR. dr. Warsinggih, SP.B – KBD Peritonitis dan
ileus. 2016. Diakses : https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/10/Perforasi-GI.pdf
2. Brunicardi FC, et al. Schwartz’s Principles Of Surgery Tenth Edition. 2010.
Mc Graw Hill Education.
3. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius; 2014
34