Desy Maria Wahyuni (G1a218107) Perforasi Gaster

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 34

CASE REPORT SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218117/September 2019

** Pembimbing : dr. Dennison, Sp.B

Ikterus Obstruksi e.c Ca. Caput Pankreas + Sirosis Hepatis

Oleh:

Sisvanesa

G1A218117

Pembimbing :

dr. Dennison, Sp.B

PROGRAM PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU BEDAH RSUD RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)

Ikterus Obstruksi e.c Caput Pankreas +Sirosis Hepatis

Oleh:

Sisvanesa, S.Ked

G1A218117

Jambi, September 2019

Pembimbing

dr. Dennison, Sp.B

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan referat yang berjudul “Ikterus Obstruksi e.c Ca Caput Pankreas + Sirosis
Hepatis”. Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada
dr.Dennison, Sp.B selaku dosen pembimbing yang memberikan banyak ilmu
selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah.

Penulis menyadari bahwa laporan referat ini jauh dari sempurna, penulis
juga dalam tahap pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
agar lebih baik kedepannya.

Akhir kata, saya berharap semoga laporan Case Report Session (CRS) ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan
pengetahuan kita.

Jambi, September 2019

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Secara
klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum
>5mg/dL . Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin
>2mg/dL. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan
kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada
gambaran kadar bilirubin serum total.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn.S
Umur : 48 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. DR. Tazar Perum PC 4 Blok M no. 07
Agama : Islam
MRS : 7 Agustus 2019

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri pada ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang
± 3 minggu SMRS Os mengeluh sering timbul nyeri atau rasa tidak nyaman
pada ulu hati, keluhan dirasakan hilang timbul, badan kuning, mual
(+),muntah (-), demam(+), BAK lancer, BAB berwarna dempul dan keras.
± 1 minggu SMRS Os berobat di RS Arafah, dengan keluhan nyeri ulu hati
hilang timbul, badan kuning, demam (+), mual (+), muntah (-). Os melakukan
USG didapatkan hepatomegali
± 10 jam SMRS Os mengeluhkan nyeri ulu hati menjalar ke kanan atas.
Demam (+), mual (+), muntah 3x/hari, BAB berwarna dempul, badan kuning,
mata kuning, BAK berwarna coklat tua seperti teh

Riwayat Penyakit Dahulu


DM (-)
Hipertensi (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat Operasi sebelumnya (-)

5
Riwayat Penyakit Keluarga
DM (-)
Hipertensi (-)
Riwayat penyakit keganasan (-)

Riwayat Pengobatan
Os sering minum obat Pereda nyeri yang dibeli di apotek saat maagh nya
kambuh

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : GCS: 15, E:4, M:6, V:5
3. Tanda Vital :
TD : 130/80 mmHg
N : 98 kali /menit
RR : 22 kali /menit
T : 37,8˚C
VAS :7

4. Kulit
 Warna : kuning (ikterik)
 Eflorensensi : (-)
 Pigmentasi : hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
 Jaringanparut/ koloid : (-)
 Pertumbuhanrambut : normal
 Lembab kering : lembab
 Turgor : < 2 detik (baik)

5. Kepaladanleher
 Kepala : Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar

6
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), edema
pelpebra (-/-)
 Hidung : Nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), deviasi septum
(-)
 Mulut : Bentuk normal, bibir kering (-), bibir sianosis (-)
 Telinga : Bentuk normal, deformitas (-), sekret (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

6. Thoraks
Paru
 Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, pergerakan dada simetris,
retraksi dinding dada (-), sikatriks (-)
 Palpasi : Fremitus dada kanan = kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba
 Perkusi : Batas atas : ICS II linea parastenalis sinistra
Batas bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi : BJ1- BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-)

7. Abdomen
 Inspeksi : Distensi (+) simetris (+), hematoma (-)
 Auskultasi : Bising usus menurun
 Palpasi : nyeri tekan kuadran atas, defans muscular (+), teraba
massa (-), Hepatomegali, Lien tidak teraba,
 Perkusi : Hipertimpani, nyeri ketok (-)

7
8. Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, edema (-/-), CRT 2detik
 Inferior : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2 detik

2.4 DIAGNOSA BANDING


 Peritonitis diffuse ec perforasi peptic ulcer
 Peritonitis diffuse ec appendicitis perforasi

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium (7 Agustus 2019)
Pemeriksaan Darah Rutin :
- WBC : 8,71 x 109 /L (4,0-10.0)
- RBC : 4,34 x 1012 /L (3,50-5,50)
- HGB : 12,4 g/dl (11,0-16,0)
- HCT : 39,6 % (36,0-48,0)
- PLT : 465 x 109 /L (150- 300)
Pemeriksaan Kimia Darah :
- Ureum 24 mg/dl (15-39)
- Kreatinin 1,0 mg/dl (L 0,9-1,3)
(P 0,6-1,1)
- SGOT 66 U/L (<40)
- SGPT 170 U/L (<41)
Pemeriksaan Elektrolit :
- Na : 136,54 mmol/L (135-148)
- K : 4,19 mmol/L (3,5-5,3)
- Cl : 109,86 mmol/L (98-110)
- Ca : 1,29 mmol/L (1,19-1,23)

2. Radiologi
Rontgen Thorax

8
2.6 DIAGNOSIS
Pre Op : Ikterus Obstruksi e.c Ca Caput Pankreas
Post Op: Ikterus Obstruksi e.c Ca Caput Pankreas + Sirosis Hepatis

2.7 PENATALAKSANAAN
Pre Op : (IGD)

Non Medikamentosa : Medikamentosa :

- IVFD Asering 20 tpm - Ceftriaxon inj 1 x 2


- Metronidazole 3 x 500 mg
- OMZ inj 2 x 1

OKA : 15 Agustus 2019 : 09.00 – 11.00 (DPJP : dr Rizal, Sp.B KBD)


Laporan Operasi :

9
- Nama macam operasi : Laparotomi eksplorasi + Bypass
- Hasil :
 Dalam cavum abdomen didapatkan :
- kedua lobus hepar engalai sirosis
- dilatasi dari gaster dan kandung empedu
- Teraba tumor di caput pancreas
Ditemukan cairan peritoneum bercampur gastric juice ± 1500cc
 Control perdarahan
 Cuci cavum abdomen dengan N5 sampai kering
 Ditemukan fibrin- fibrin diseluruh rongga peritoneum
 Ditemukan perforaasi gaster di antrum pyloric ± 2,5 cm dengan tepi
nekrotik -> dilakukan reseksi pada gaster, ditutup dengan omentum
dan omentum di jahit dengan benang PGA 2.0
 Omentum ditutupkan ke perforasi dan dijahitkan
 Dilakukan pencucian rongga abdomen dengan NACL0,9% ± 4 liter
- Therapy Post Op :
 Ranitidin 3x50
 Fosmicin 2x2
 Ondansentron 3x8
 Asam tranexamat 3x500
 Ketorolac 3x50
 Metronidazole 3 x 500 mg

2.8 PROGNOSIS
- Ad Vitam : Dubia ad Malam
- Ad Functionam : Dubia ad Malam
- Ad Sanationam : Dubia ad Malam

10
Follow UP

TGl S O A P
27/5/19 - KU: lemah WBC : Peritonitis - O2 ventilator
Kesadaran: 12.11 - Monitor
diffuseecPerforasi
E3VXM5 Albumin : - RL + drip
TD: 139/75 2,0 Gaster Post op ketorolac
Nadi: 96 x/m Ureum : - Noreepinefrin
H+1
RR: 24 x/m 162 3cc/mnt
Suhu: 36,7 Kreatinin : - Dobutamin 7
ºC 3,4 cc/mnt
SpO2 : 98% - Ceftriaxone 1
x 2 gr
- Ranitidin 3 x
25 mg
28/5/19 - KU: lemah Albumin : Peritonitis - O2 ventilator
Kesadaran: 2,6 - Monitor
diffuseecPerforasi
E3VXM5 - RL + drip
TD: 126/70 Gaster Post Op H ketorolac +
Nadi: 86 x/m Clinix +
+2
RR: 20 x/m Clinoleic 20
Suhu: 36,4 gtt
ºC - Ceftriaxone 1
SpO2 : 98% x 2 gr
- Ranitidin 3 x
25 mg
29/5/19 - KU: sakit Peritonitis - O2 ventilator
berat - Monitor
diffuseecPerforasi
Kesadaran: - RL + drip
E3VXM5 Gaster Post Op H ketorolac +
TD: 126/70 Clinix +
+3
Nadi: 86 x/m Clinoleic 20
RR: 20 x/m gtt
Suhu: 36,4 - Ceftriaxone 1
ºC x 2 gr
SpO2 : 96% - Ranitidin 3 x
25 mg
30/5/19 - KU: Gelisah Albumin : Peritonitis - O2 ventilator
Kesadaran: 2,3 - Monitor
diffuseecPerforasi
E3VXM5 - RL + drip
TD: 130/73 Berusaha Gaster Post Op H ketorolac +
Nadi: 118 mencabut Clinix +
+4
x/m selang FTT Clinoleic 20

11
RR: 16 x/m dan NGT gtt
Suhu: 36,4 - Ceftriaxone 1
ºC x 2 gr
SpO2 : 92% - Ranitidin 3 x
25 mg
- Midazolam 3
mg
31/5/19 - KU: Gelisah Albumin : - Monitor
Kesadaran: 3,1 - RL + drip
E3VXM5 ketorolac +
TD: 102/70 Berusaha Clinix +
Nadi: 110 mencabut Clinoleic 20
x/m selang ETT gtt
RR: 17 x/m dan NGT - Ceftriaxone 1
Suhu: 36,4 x 2 gr
ºC - Ranitidin 3 x
SpO2 : 85% 25 mg
- Midazolam 3
mg
01/06/19 Dilaporkan KU: sakit Berusaha Peritonitis - O2 ventilator
u/ konsul R/ berat mencabut - Monitor
diffuseecPerforasi
intubasi : Kesadaran: selang ETT - RL + drip
Keluarga E2VXM3 dan NGT Gaster Post Op H ketorolac +
menolak TD: 69/43 Clinix +
+5
Nadi: 184 Clinoleic 20
x/m gtt
RR: 31 x/m - Ceftriaxone 1
Suhu: 36 ºC x 2 gr
SpO2 : 80% - Ranitidin 3 x
25 mg
01/6/19 Apneu GCS : - EKG : Gagal Napas - EKG
05.10 E1V1M1 asystole
WIB TD: Tidak - Reflek Os dinyatakan
teraba cahaya meninggal dunia
Nadi: Tidak : (-/-) pada pukul 05.20
teraba - Pupil WIB di depan
RR: Tidak midrisis keluarga &
teraba maksim Perawat
al (+/+

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Peritonitis
3.1.1 Definisi
Peritonitis didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik
lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akibat bakteri atau reaksi kimia dari
etiologinya.3

3.1.2 Anatomi Peritoneum

Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam


tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis
dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen.5,6 Hubungan
peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan
menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan
peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens,
dan rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum.
Peritoneum visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-
sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan
istilah ligamen peritoneum, omentum atau mesenterium.6 Mesenterium
merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi peritoneum karena
suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior
abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).5,6 Ligamen
peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu
dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang
menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior).5 Berbeda dengan
ligamen peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan
peritoneum (karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan
sejumlah jaringan adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic

13
ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser
omentum terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.5,6

Gambar 3.1. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan


peritoneum parietal dan visceral6

14
Gambar 3.2. Ligamen peritoneum dan omentum5

Peritoneum parietal disarafi untuk sensari nyeri, suhu, raba, dan tekan oleh enam
nervi thoracicus bagian bawah dan nervus lumbalis pertama. Peritoneum parietal
didalm pelvis terutama dipersarafi oleh nervus obturatorius. Peritoneum visceral
hanya disarafi untuk sensasi regangan oleh saraf-saraf otonom yang memeprsarafi
organ viscera atau yang berjalan melalui mesenterium.7Adanya persarafan yang
berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi apabila terjadi kondisi
patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau parietal. Nyeri yang
terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada reseptor
nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu
atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi.
Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga
menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal
peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localizedhypercontractility (muscle
guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal wall).6 Di sisi lain, iritasi dari
peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa
seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral

15
terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi,
antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur midgut),
dan suprapubik (struktur hindgut).6,7

3.1.4 Mekanisme pertahanan peritoneum

Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah


membran basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa,
makrofag, fibroblast, limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen.4 Total luas
permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2. Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya
steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan yang berisikan makrofag, sel
mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat difusi
semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara
terus-menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti
cairan dan zat-zat terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat
orifisum yang dibentuk oleh sel-sel mesotelium terspesialisasi yang terletak di
permukaan subdiafragma dalam rongga peritoneum menuju sirkulasi limfatik.4
Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan diafragman dan tekanan thorako-
abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh
untuk menjaga peritoneum tetap steril.

Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada


rongga peritoneum.4 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya
inflamasi, namun adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-
4 jam dan sel-sel PMN (Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam
48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan mengeluarkan sitokin, antara lain
interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), leukotriene, platelet
activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya inflamasi lokal
pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan
fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh
yang secara temporer menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga
peritoneum serta menjerat bakteri dalam sebuah “perangkap”.4 Mekanisme

16
pertahanan inilah yang menyebabkan pembentukan sebuah abses. Selain itu,
omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk memfasilitasi
pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah daerah
subphrenic.

Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan


eksudat) memiliki efek paradoks.4 Eliminasi mekanik pada mekanisme pertahanan
yang pertama sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila masif dapat
mengakibatkan shok septik dan berakhir dengan kematian. Pembentukan eksudat
dan reaksi peradangan yang kaya akan sel fagositik dan opsonin dapat
menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin berpindah pada
rongga abdomen.

3.1.5 Etiologi
Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan
peradangan yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada
peritoneum. Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang
berbeda dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya
peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi
tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ gastrointestinal),3,8
sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas traktus
(perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi. 3 Pada
peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap
mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8

3.1.6 Patofisiologi

Dalam keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen


gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti
appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi

17
gallbladder, perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, sampai volvulus,
kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau obturator).2 Akibat
kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan Klebsiella
pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk dalam
rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat
polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob).

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya


eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan
fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus. Dapat
terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata.

Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang
kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis
dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi
peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan
lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah. Proses
inflamasi akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf
simpatis dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan
terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi
juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak terkontrol.8

3.1.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai


patofisiologi terjadinya peritonitis. Pada manifestasi lokal ditemukan adanya nyeri
perut hebat, nyeri tekan seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum), nyeri

18
tersebut konstan dan intens, dan diperburuk dengan gerakan. Sebagian besar
pasien berbaring diam, dengan lutut ditekuk dan kepala diangkat; manuver ini
mengurangi ketegangan dinding perut dan mengurangi rasa sakit. rebound
tenderness, adanya muscle guarding atau rigidity (perut papan), dan manifestasi
klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen, penurunan bising usus).4

Anoreksia, mual, dan muntah adalah gejala yang sering. Namun demikian,
tergantung pada etiologi peritonitis dan waktu evolusi mereka, gejalanya dapat
bervariasi. Sebagian besar pasien terlihat dalam kondisi umum yang buruk.Suhu
biasanya di atas 38 ° Celcius, tetapi pasien yang memiliki syok septik mungkin
mengalami hipotermia. sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan
adanya demam, takikardia, takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok
(manifestasi SIRS). Takikardia dan penurunan amplitudo denyut nadi merupakan
indikasi hipovolemia, dan mereka sering terjadi pada sebagian besar
pasien. Pasien datang dengan curah jantung tinggi dan penurunan resistensi
vaskular sistemik. Mereka mungkin mengalami peningkatan tekanan nadi.4

3.1.8 Diagnosis
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik.4 Anamnesis harus mencari kemungkinan
sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai
riwayat penyakit sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke perforasi
ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease atau divertikulum
mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1
minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas untuk tifoid
mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal
(inguinalis atau femoralis) harus disuspek kemungkinan adanya strangulasi,
sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun
mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya.2
Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut dicurigai pada
pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat penyakit liver kronis
(terutama sirosis hepatis).4,8

19
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan
temuan tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti
dijelaskan pada manifestasi klinis. Nyeri pada palpasi adalah tanda peritonitis
yang paling khas, baik untuk sentuhan yang dalam maupun superfisial.
selanjutnya dinding otot mengalami kejang secara involunter dan terjadi
spasme. Suara usus mungkin ada atau tidak ada, dan mereka mungkin menyerupai
ileus awal. Peritonitis lokal menghasilkan rasa sakit yang terlokalisasi terhadap
organ penyebab terjadinya peritonitis. Perkusi perut dapat membantu melokalkan
tempat iritasi peritoneum maksimum secara akurat dengan mencari point of
maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi maksimal dari peritoneum)
untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi dari peritonitis).2,4

Pemeriksaan dubur, meskipun sangat diperlukan dalam pemeriksaan


fisik, jarang berorientasi pada asal peritonitis. Pada jam-jam pertama iritasi
peritoneum, rasa sakitnya mungkin hebat, tetapi sejauh waktu berlalu, rasa sakit
menjadi lebih berbahaya dan lebih sulit untuk dinilai.4

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah


lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis>11.000sel/ml, dengan shift
to the left yaitu peningkatan sel batang PMN), jika pasien mengalami leukopenia,
hal ini menunjukkan sepsis menyeluruh dan dikaitkan dengan prognosis yang
buruk.4

. Kimia darah mungkin normal, tetapi pada kasus yang serius dapat
menunjukkan dehidrasi parah, seperti peningkatan nitrogen ureum darah (BUN)
dan hipernatremia.dan pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan
adanya asidosis metabolik, Asidosis metabolik membantu dalam konfirmasi
diagnosis. Urinalisis sangat diperlukan untuk menyingkirkan infeksi saluran
kemih, pielonefritis, dan nefrolitiasis.4

Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat


berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada
perforasi ulkus peptikum,12 tetapi jarang pada etiologi lainnya). Pemeriksaan CT-

20
scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda penanganan
pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis).4

Diagnostic peritoneal lavage (DPL) adalah metode yang dapat dipercaya


dan aman untuk diagnosis peritonitis umum, khususnya pada pasien yang tidak
memiliki tanda-tanda konklusif pada pemeriksaan fisik, yang memiliki riwayat
medis yang buruk, atau yang memiliki sedasi atau cedera otak, usia lanjut, atau
cedera sumsum tulang belakang. Pasien yang menggunakan steroid atau pasien
yang mengalami gangguan kekebalan mungkin atau mungkin tidak memberikan
hasil konklusif dalam DPL. DPL positif (lebih besar dari 500 leukosit / mL)
menunjukkan peritonitis.2,4

Gambar 3.4. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)1

21
3.1.9 Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau
ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam
4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal). 1 Terapi empiris
untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial
peritonitis (PBPatau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami
perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah
yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi
<20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain
ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.9

Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi


etiologi (source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian
antibiotik sistemik, dan terapi suportif (resusitasi).2 Tidak seperti penanganan
peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, sine qua
non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan bersifat
life-saving.1 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and definitive source
control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat
mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.9 Keterlambatan
dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.

Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi


cairan (resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk
mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah
disfungsi organ.2,12 Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan
negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi upper GI tract
lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan colon

22
lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).2,4 Beberapa pilihan regimen
antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/
β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau
golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin
generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500
mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan
imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena).Pemberian
antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal dan hitung
jenis batang < 3%.9 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu untuk
dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65 mmHg, dan
urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP antara
8-12mmHg).4 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT)
pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan.9 Pada
pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan
pemasangan intubasi.

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari


kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan
mencegah sepsis.4,12 Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan
tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.9
Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami
perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).4,9 Pada
perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum
dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah
keadaan umum pasien membaik).9 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan
cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan
tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus(mencegah sepsis dan re-
akumulasi dari pus). Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan
iodine atau agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup
kembali. Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis
dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak

23
terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure
technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada laporan kasus ini
tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).4,9

3.1.10 Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah
10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 1).9 Faktor yang mempengaruhi tingkat
mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi
penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan
keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien
dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri
yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk
(APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan
tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi
yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka
mortalitas yang tinggi.

Tabel 1. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi9

3.2 Ulkus Gaster

3.2.1 ANATOMI

24
A. GASTER10,11

Gaster (lambung) merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar


terletak di bagian atas abdomen. Secara kasar lambung berbentuk sepeti huruf J.
Dan mempunyai dua lubang (ostium cardiacum dan ostium pyloricum) dan dua
curvature (curvature major dan curvature minor), serta dua permukaan (facies
anterior dan facies posterior).

Gaster dibagi dalam bagian-bagian berikut :

 Fundus : Berbentuk kubah, menonjol ke atas dan terletak sebelah kiri ostium
cardiacum. Biasanya fundus penuh dengan udara
 Corpus : terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura angularis (lekukan
yang selalu ada pada bagian bawah curvature minor)
 Antrum pyloricum : terbentang dari incisura angularis sampai pylorus
 Pylorus : merupakan bagian lambung yang berbentuk paling tubular. Dinding
ototnya yang lebih tebal membentuk sphincter pyloricus dan rongga pylorus
dinamakan canalis pyloricus.
Curvatura minor membentuk pinggir kanan gaster dan dihubungkan ke hepar
oleh omentum minus. Curvature major jauh lebih panjang dari curvature minor
dan terbentang dari kiri ostium cardiacum, melalu fundus dan sepanjang pinggir
kiri gaster. Omentum minus terbentang dari bagian atas curvatra major sampai ke
lien. Omentum majus terbentang dari bagian bawah curvature major sampai ke
kolon transversum.

25
(a) (b)

Gambar 2.1 Gaster. (a) Bagian – Bagian Gaster. (b) Omentum Minus dan
Majus

Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat


proksimal yang terdiri atas fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung
makanan yang ditelan serta tempat produksi asam lambung (asam hidroklorida
(HCL)) dan enzim pepsin yang memulai pencernaan protein, pada bagian korpus
melalui gerakan mencampur lambung, makanan yang tertelan dihaluskan dan
dicampur dengan sekresi lambung untuk menghasilkan campuran cair kental yang
dikenal sebagai kimus. Isi lambung harus diubah menjadi kimus sebelum dapat
dialirkan ke duodenum,sedangkan seperempat distal yaitu antrum bekerja
menyimpan makanan yang masuk hingga makanan dapat disalurkan keduodenum.

Vaskularisasi

A. Arteri

Pada gaster, arteri gastrica dextra dan sinistra mendarahi curvature minor.
Arteri gastroepiploica dextra dan sinistra mendarahi curvature major. Arteri
gastrica breves berasal dari arteri lienalis mendarahi fundus. Pada duodenum,
setengah bagian atas duodenum didarahi oleh arteria pancreaticoduodenalis
superior, sebuah cabang dari arteri gastroduodenalis. Setengah bagian bawah
didarahi oleh arteri pancreaticoduodenalis inferior, sebuah cabang dari arteri
mesenterica superior.

Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran


darahnya yang sangat kaya dan berasal dari empat jurusan berupa arteri besar
yang berada dipinggir kurvatura mayor dan minor serta didalam dinding lambung.
Dibelakang dan tepi medial duodenum juga ditemukan arteri besar, yakni
a.gastroduodenalis. dapat timbul perdarahan hebat akibat akibat erosi dinding
arteri tersebut pada tukak peptic lambung atau duodenum yang terletak dibagian
belakang.

26
B. Vena

Pada gaster, vena-vena mengalirkan darah kedalam sirkulasi portal. Vena


gastrica dextra dan sinistra bermuara ke vena porta. Vena gastrica brevis dan vena
gastroepiploica sinistra vermuara ke dalam vena lienalis, dan vena gastroepiploica
dextra bermuara ke dalam vena mesenterica superior. Pada duodenum, vena
pancreaticoduodenalis superior bermuara ke vena porta, vena

pancreaticoduodenalis inferior bermuara ke vena mesenterica superior.6 Peredaran


vena ini kaya sekali dengan hubungan kolateral ke organ yang memiliki hubungan
embryonal dengan lambung dan duodenum.5

Gambar 2.3 Vaskularisasi

27
C. Innervasi

Parasimpatis :berperan dalam hal produksi asam lambung serta peristaltic


dan pengosongan lambung. Serabut saraf parasimpatis ke lambung melalui
N.Vagus. SImpatis : Bekerja antagonis terhadap parasimpatis, dengan
menurunkan sekresi asam lambung, peristaltic dan aliran darah, serta
pengosongan gaster dihampat dengan mengaktifkan m.spinchter pyloric.
Persarafan simpatis melalui saraf splanchinicus major dan ganglia coeliaca.

3.2.2 Ulkus Gaster10

Ulkus adalah kerusakan mukosa akibat ketidakseimbangan antara faktor


pertahanan mukosa dan faktor perusak asam lambung dan pepsin. Keadaan
menjadi lebih buruk dengan pemakaian nikotin, kopi, alcohol, aspirin, NSAID,
dan kortikosteroid dan makanan yang mengiritasi lambung seperti cabai dan
merica, merupakan faktor yang turut berperan menyebabkan tukak lambung.
Tukak kronik yang muncul memiliki garis tengah yang dapat mencapai beberapa
sentimeter, berbatas tegas dengan tepi menonjol, mencakup mukosa, submucosa,
dan muskularis mukosa

Hipersekresi asam lambung. Hipersekresi asam lambung terjadi karena


kenaikan jumlah sel parietal atau meningkatnya rangsangan sel parietal. Yang
pertama dapat disebabkan oleh faktor genetic, dan yang kedua oleh tekanan
psikologis yang bisa juga oleh obstruksi parsial pylorus yang menyebabkan
pelepasan gastrin akibat distensi antrum. Gastrin berpengaruh topik terhadap sel
parietal. Perangsangan sel parietal oleh nervus vagus dikaitkan dengan stress
ertenu. Selain itu, rangsangan hormonal histamine, dan kalsium juga berperan.

Tidak efektifnya pertahanan mukosa. Asam bikarbonat yang dihasilkan


mukosa duodenum dan pancreas adalah penetral asam yang utama. Berkurangnya
faktor pelindung terhadap zat cerna ini menyebabkan terjadinya autodidigesti
mukosa duodenum. Merokok menyebabkan tukak duodenum bukan karena
meningkatkan sekresi gaster tetapi diduga karena mengganggu motilitas dan

28
menghambat sekresi bikarbonat oleh pancreas. Gastroduodenitis yang disebabkan
oleh H.Pylori dianggap berperanan penting dalam memudahkan terjadinya tukak.

Gejalanya bervariasi. Nyeri epigastrium tmbul 30 menit – 3 jam setelah


makan. Nyeri adang hilang setelah makan , mual, muntah, anoreksia, hingga
penurunan berat badan.

Pada pemeriksaan radiologi barium enema kontras ganda dapat menemukan


lebih dari 90% kasus.Bila ditemukan tukak, harus dilakukan endoskopi. Di biopsy
untuk memeriksa histologi tukak, mengingat 5% kemungkinan menjadi
keganasan. Untuk tata laksana, prinsipnya terapi tukak gaster dilakukan
dengan pemberian regimen antibiotic yang efektif terhadap H.Pylori, ditambah
antasida, mukoprotektor yaitu sukralfat, atau antagonis reseptor H2 untuk
menekan sekresi asam lambung. Dan pengendalian faktor yang memperberat
penyakit dilakukan dengan menjalankan pola hidu sehat, diet makanan asam,
pedas, kopi, dan alcohol, berhenti merokok,dan menghindarkan diri dari obat yang
merangsang lambung, seperti salisilat, kortikosteroid, dan NSAID.

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu perforasi, perdarahan, obstruksi dan


stenosis.

3.3 Perforasi Gaster2,10

Perforasi merupakan komplikasi kedua terbanyak dari ulkus peptic.


Perforasi gaster awalnya kan menyebabkan peritonitis akut. Secara klinis, pasien
yang mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, nyeri timbul mendadak
terutama dirasakan pada daerah epigastrium, akibat rangsangan peritoneum oleh
asam lambung, kemudian cairan lambung akan mengalir ke paracolica kanan
sehingga menyebabkan nyeri perut kanan bawah kemudian menyebar keseluruh
perut yang menyebabkan nyeri pada seluruh perut. Rangsangan peritoneum
menimbulkan nyeri tekan dan defans muscular. Peristaltic usus menurun sampai
hilang, bila telah terjadi peritonitis bacterial, pasien akan mengalami demam,
takikardia, dan hipotensi. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap
gerakan yang menyebabkan pergeseran antar peritoneum. Nyeri subjektif sewaktu

29
penderita bergerak, misalnya berjalan, bernapas, menggerakan bada, batuk, dan
mengejan, nyeri objektif berupa nyeri ketika peritoneum digerakkan seperti pada
palpasi, nyeri lepas, tes psoas dan tes obturator.

Tata laksana, cairan dan elektrolit intravena, antibiotic, pemasangan NGT,


dan pembedahan.

30
BAB IV
ANALISA KASUS

Peritonitis didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik


lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akibat bakteri atau reaksi kimia
(seperti asam lambung, cairan empedy, cairan pancreas yang masuk ke rongga
abdomen akibat perforasi atau operasi) berdasarkan etiologi etiologinya.
manifestasi lokal ditemukan adanya nyeri perut hebat, nyeri tekan seluruh lapang
abdomen (pada peritonitis diffuse), nyeri tersebut konstan dan intens, dan
diperburuk dengan gerakan, anoreksia, mual, dan muntah juga merupakan gejala
yang sering. Pda pemeriksaan fisik akan ditemukan nyeri pada palpasi yang
merupakan tanda peritonitis yang paling khas, baik untuk sentuhan yang dalam
maupun superfisial. selanjutnya dinding otot mengalami kejang secara involunter
dan terjadi spasme. Suara usus mungkin ada atau tidak ada.
Seorang laki laki datang ke IGD RSUD Raden Mattaher Kota Jambi
dengan keluha sejak ±3 hari SMRS Os mengeluhkan nyeri pada perut, nyeri
dirasakan tiba-tiba. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati, terus kekanan bawah dan
keseluruh lapang perut. Nyeri dirasakan terus menerus, memberat bila pasien
bergerak, bernapas, batuk atau mengejan. Nyeri berkurang bila pasien berbaring.
Lalu Os dibawa ke IGD RSUD Raden Mattaher Kota Jambi karena keluhan
semakin memberat. Selain nyeri pasien juga mengeluh badan terasa lemas dan
nafsu makan menurun. Perut terasa kembung (+), mual (+), muntah (+), demam (-
), BAB (+) feses berwarna keruh , ampas (-), BAK (+), riwayat diurut (+), riwayat
maagh (+) sejak 2 tahun dan mengkonsumsi obat pereda nyeri (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan AbdomenDistensi (+) simetris (+),
hematoma (-), Bising usus menurun, nyeri tekan seluruh kuadran abdomen, defans
muscular (+), teraba massa (-), Hepar & Lien tidak teraba,Hipertimpani, nyeri
ketok seluruh kuadran.
Pasien didiagnosa mengalami peritonitis diffuse ec susp perforasi gaster. Tata
laksana pada pasien ini adalah tindakan pembedahan : laparotomy eksplorasi.
Terapi yang diberikan pada pasien inisebelum operasi yaitu : Pemasangan

31
NGT, Pemasangan kateter, IVFD NACL 0,9% 20 gtt,Ceftriaxon inj 1 x 2 gr,
Metronidazole 3 x 500 mg, OMZ inj / 12 jam

32
BAB V
KESIMPULAN

Peritonitis merupakan peradangan pada rongga peritoneum yang dapat


disebabkan oleh bakteri ataupun reaksi kimiawi. Peritonitis kimiawi merupakan
peradangan pada peritoneum yang disebabkan langsung oleh zat kimia seperti
asam lambung. Tukak gaster adalah kerusakan mukosa akibat ketidakseimbangan
antara faktor pertahanan mukosa gaster dan faktor perusak asam lambung dan
pepsin, yang dapat mencapai lapisan muscular, serosa hingga terjadi perforasi.
Perforasi gaster merupakan komplikasi kedua terbanyak akibat tukak gaster
setelah pendarahan, perforasi gaster akibat tukak gaster merupakan kejadian yang
jarang terjadi, yang menjadi indikasi untuk dilakukan pembedahan.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Warsinggih. Bahan Ajar DR. dr. Warsinggih, SP.B – KBD Peritonitis dan
ileus. 2016. Diakses : https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/10/Perforasi-GI.pdf
2. Brunicardi FC, et al. Schwartz’s Principles Of Surgery Tenth Edition. 2010.
Mc Graw Hill Education.
3. Chris tanto, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius; 2014

4. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill


Patient. Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
5. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.
Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007.
p. 118-204
6. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.
Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Edition.
Churchill Livingstone El Sevier. 2008.
7. Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of Pain
2012.
8. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on
Pathophysiology, Clinical Manifestations, and Management. Clin Inf Dis
1997;24:1035-47
9. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
Accessed November 11, 2013.
10. Sjamsuhidajat, R., W.D. Jong. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta:
EGC: 2012
11. Snell, Rhicard. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. 2015. Jakarta :Penerbit
Buku Kedokteran: EGC

34

Anda mungkin juga menyukai