Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

PENANGANAN FRAKTUR TERBUKA

Penyusun:

Fajar Fanani Joeang – 030.14.061

Pembimbing:

dr. Arie Zakaria, SpOT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH


RS TNI AL DR. MINTOHARDJO JAKARTA
PERIODE 1 OKTOBER – 8 DESEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Penanganan Fraktur Terbuka”. Tugas
ini disusun dalam rangka memenuhi syarat kepaniteraan Ilmu Penyakit Bedah Fakultas
Kedokteran Universtias Trisakti di RS TNI AL Dr. Mintohardjo Jakarta periode 1 Oktober – 8
Desember 2018.

Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Arie
Zakaria, SpOT selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini dan kepada dokter-dokter
pembimbing lainnya yang telah bersedia membimbing penulis selama kepaniteraan ini. Penulis
juga mengucapkan banyak terimakasih kepada para staf medis di lingkungan RS TNI AL Dr.
Mintohardjo Jakarta dan teman-teman anggota kepaniteraan klinik Bedah yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam referat yang tertulis.Oleh karena
itu penulis meminta maaf sebesarnya dan sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Atas perhatian yang diberikan, penulis mengucapkan
terimakasih.

Jakarta, 6 November 2018

Fajar Fanani Joeang

2
PENGESAHAN REFERAT

Judul:

PENANGANAN FRAKTUR TERBUKA

FAJAR FANANI JOEANG

030.14.061

Telah diuji dan disajikan di hadapan Pembimbing

RS TNI AL Dr. Mintohardjo, Jakarta

Pada hari _____, _________ 2018

Jakarta, __________ 2018

Pembimbing,

dr. Arie Zakaria, SpOT

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2

PENGESAHAN REFERAT ........................................................................................... 3

DAFTAR ISI.................................................................................................................. 4

DAFTAR TABEL ................................................................ Error! Bookmark not defined.

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 6

2.1 Anatomi ......................................................................................................... 6

2.2 Histologi ............................................................................................................ 9

2.3 Definisi ...............................................................Error! Bookmark not defined.

2.4 Epidemiologi .......................................................Error! Bookmark not defined.

2.5 Klasifikasi ...................................................................................................... 13

2.6 Tatalaksana .................................................................................................. 18

2.7 Prognosis ........................................................................................................ 20

BAB III KESIMPULAN .............................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 23

4
BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur adalah suatu diskontinuitas susuna tulang yang disebabkan oleh trauma
atau keadaan patologis.(1) Fraktur dapat disebabkan oleh cedera, stress yang berulang,
kelemahan tulang yang abnormal atau disebut juga fraktur patologis.(2)

Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur


dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam
hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu
objek yang tajam dari luar hingga kedalam.(3)

Dari 31,575 kejadian fraktur pertahun di Amerika didapatkan 1000 kejadian


fraktur terbuka dan tertinggi yaitu fraktur ekstremitas bawah sekitar 3,7% pertahunnya
atau 488 kejadian fraktur terbuka dari 13,096 fraktur ekstremitas bawah. Diurutan
selanjutnya yaitu fraktur terbuka ekstremitas atas 3,3%, pelvis 0,6%, dan bahu 0,2%.(4)

Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat, karena diskontinuitas pada


kulit, debris dan infeksi dapat masuk ke lokasi fraktur dan mengakibatkan infeksi pada
tulang. Infeksi pada tulang dapat menjadi masalah yang sulit ditangani. Oleh karena
itu, fraktur terbuka memerlukan penanganan segera untuk mengurangi risiko infeksi.(5)

Selain untuk mencegah infeksi, penanganan yang cepat juga diharapkan


menyembuhkan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting
untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan
dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur,
penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik yang adekuat.(5)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi tulang

Gambar 1. Anatomi tulang Panjang

Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik dan mempunyai 5


fungsi utama, yaitu membentuk rangka badan, tempat melekat otot, bagian dari
tubuh untuk melindungi danmempertahankan alat-alat dalam, seperti otak,
sumsum tulang belakang, jantung dan paru-paru,tempat deposit kalsium, fosfor,
magnesium, dan garam dan sebagai organ yang berfungsi sebagai jaringan
hematopoetik untuk memproduksi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan
trombosit.

6
Secara garis besar tulang terbagi atas: (6)
1. Tulang panjang, yang termasuk adalah femur, tibia, fibula, humerus,
ulna. Tulang panjango (oslongum) terdiri dari 2 bagian, yaitu epiphysis,
diaphysis, dan metaphysis. &iaphysis atau batang, adalah bagian tengah
tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulangkortikal
yang memiliki kekuatan yang besar. Metaphysis adalah bagian tulang
yang melebar di dekat ujung akhir batang. &aerah ini terutama disusun
oleh trabekular atau sel spongiosayang mengandung sel-sel
hematopoetik. Metaphysis juga menopang sendi dan menyediakan
daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada
epiphysis. Epiphysis langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang.
Seluruh tulang dilapisi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum.
2. Tulang pendek antara lain: tulang 8ertebra dan tulang-tulang carpal.
3. Tulang pipih antara lain: tulang iga, tulang skapula, tulang pelvis.(6)

2.2 Histologi tulang

Tulang terdiri atas bagian kompak pada bagian luar yang disebut korteks
dan bagian dalamyang bersifat spongiosa berbentuk trabekular dan diluarnya
dilapisi oleh periosteum. Berdasarkan histologisnya maka dikenal: (7)

 Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone), tulang ini
pertma-tama terbentuk dari osifikasi endokondral pada perkembangan
embrional dan kemudian secara perlahan-lahan menjadi tulang yang
matur dan pada umur 1 tahun tulang imatur tidak terlihat lagi. Tulang
imatur ini mengandung jaringan kolagen dengan substansi semen
danmineral yang lebih sedikit dibandingkan dengan tulang matur.
 Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
- Tulang kortikal (cortical bone, dense bone, compacta bone)
- Tulang trabekular (cansellous bone, trabecular bone, spongiosa)(7)

7
Secara histolgik, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam
jumlah sel, jaringankolagen, dan mukopolisakarida. Tulang matur ditandai
dengan sistem Harversian atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi
darah melalui korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan
lebih banyak substansi semen dan mineral dibanding dengan tulang imatur.
Tulang terdiri atas bahan antar sel dan sel tulang. Sel tulang ada 2, yaitu
osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Sedang bahan antar sel terdiri dari bahan
organik (serabut kolagen, dll) dan bahan anorganik (kalsium, fosfor, dll).
Osteoblas merupakan salah satu jenis sel hasildiferensiasi sel mesenkim yang
sangat penting dalam proses osteogenesis dan osifikasi. Sebagaisel osteoblas
dapat memproduksi substansi organik intraseluler atau matriks, dimana
kalsifikasiterjadi di kemudian hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium
disebut osteoid dan apabila kalsifikasi terjadi pada matriks maka jaringan
disebut tulang. Sesaat sesudah osteoblas dikelilingi oleh substansi organik
intraseluler, disebut osteosit dimana kradaan ini terjadi dalam lakuna. Osteosit
adalah bentuk dewasa dari osteoblas yang berfungsi dalam recycling garam
kalsium dan berpartisipasi dalam reparasi tulang. Osteoklas adalah sel
makrofag yang aktivitasnya meresorpsi jaringan tulang. Kalsium hanya dapat
dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoklasis yang mengilangkan
matriks organik dan kalsium secara bersamaandan disebut deosifikasi. Jadi
dalam tulang selalu terjadi perubahan dan pembaharuan.(8)

8
Gambar 1. Histologi tulang

2.3 Fraktur terbuka

2.3.1 Definisi

Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen


fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus
dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami
penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga kedalam. Fraktur terbuka
sering timbul komplikasi berupa infeksi. Infeksi bisa berasal dari flora normal
di kulit ataupun bakteri pathogen khususnyabakteri gram (-). Golongan flora
normal kulit, seperti Staphylococus, Propionibacteriumacne, Micrococus dan
dapat juga Corynebacterium. Selain dari flora normal kulit, hasil juga
menunjukan gambaran bakteri yang bersifat pathogen, tergantung dari paparan
(kontaminasi) lingkungan pada saat terjadinya fraktur.(9)

Karena energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan jenis patah tulang,


pasiensering memiliki luka tambahan, beberapa berpotensi mengancam
nyawa, yang memerlukan pengobatan. Terdapat 40-70% dari trauma berada
di tempat lain dalamtubuh bila ada fraktur terbuka. Fraktur terbuka mewakili
spektrum cedera: Pertama, masalah mendasar dasar patah tulang; kedua,

9
pemaparan dari patah tulang terhadap lingkungan dan kontaminasi dari situs
fraktur.(10)

Selain dari flora normal kulit, hasil juga menunjukan gambaran bakteri
yang bersifat pathogen, tergantung dari paparan(kontaminasi) lingkungan pada
saat terjadinya fraktur. Fraktur terbuka memiliki beberapa konsekuensi seperti:

1. Adanya kontaminasi pada luka dan fraktur dari lingkungan luar.


2. Adanya kehancuran jaringan lunak dan de8askularisasi yang
memperbesar suseptibilitas terhadap infeksi.
3. Disrupsi dari jaringan lunak yang dapat yang dapat mempengaruhi
penyembuhan fraktur akibat hilangnya kontribusi dari sel
osteoprogenitor yang berasal dari jaringan lunak disekitarnya.
4. Hilangnya fungsi dari otot, tendon, saraf, pembuluh darah, serta
struktur ligament yang berada di sekitarnya.(10)

2.3.2 Epidemiologi

Frekuensi dari fraktur terbuka bervariasi tergantung dari faktor


geografis dan sosioekonomis, populasi penduduk, dan trauma yang
terjadi. Dari data yang diambil Edinburgh Orthopaedic Trauma Unit di
Skotlandia mendata sebanyak 21 kasus per 100.000 dalam setahun.
Fraktur diafisis menduduki peringkat terbanyak pada tibia (21,6%),
disusul oleh femur (12,1%), radius dan ulna (9,3%), dan humerus
(5,7%). Pada tulang panjang, fraktur terbuka diafiseal lebih sering
terjadi dibanding metafiseal (15,3%) versus (1,2%).(11)

A. Etiologi

Fraktur terbuka disebabkan oleh energi tinggi trauma, paling


sering dari pukulan langsung, seperti dari jatuh atau tabrakan kendaraan

10
bermotor. Dapat juga disebabkan oleh luka tembak, maupun kecelakaan
kerja. Tingkat keparahan cidera fraktur terbuka berhubungan langsung
dengan lokasi dan besarnya gaya yang mengenai tubuh. Ukuran luka
bisa hanya beberapa milimeter hingga terhitung diameter. Tulang
mungkin terlihat atau tidak terlihat pada luka. Fraktur terbuka lainnya
dapat mengekspos banyak tulang dan otot, dan dapat merusak saraf dan
pembuluh darah sekitarnya. Fraktur terbuka ini juga bisa terjadi secara
tidak langsung, seperti cidera tipe energi tinggi yang memutar.

B. Diagnosis
1. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan
mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
a. Syok, anemia atau perdarahan.
b. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan
abdomen.
c. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
3. Pemeriksaan lokal
a. Inspeksi (Look)
 Bandingkan dengan bagian yang sehat.
 Perhatikan posisi anggota gerak.
 Keadaan umum penderita secara keseluruhan.
 Ekspresi wajah karena nyeri.
 Lidah kering atau basah.

11
 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka.
 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai
beberapa hari.
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan.
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain.
 Perhatikan kondisi mental penderita.
 Keadaan vaskularisasi.
b. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri.
 Temperatur setempat yang meningkat.
 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang.
 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati.
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena.
 Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian
distal daerah trauma , temperatur kulit.
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang

12
mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan
akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.

4. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
5. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai
yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.

2.3.3 Klasifikasi

Menurut Gustilo dan Anderson, fraktur terbuka dibagi menjadi


3 kelompok: (12)

- Grade I : kulit terbuka < 1 cm, bersih, biasanya dari luar ke


dalam; kontusio otot minimal; fraktur simple transverse atau
short oblique.
- Grade II : laserasi > 1 cm, dengan kerusakan jaringan lunak yang
luas, kerusakan komponen minimal hingga sedang; fraktur

13
simple transverse atau shortoblique dengan kominutif yang
minimal
- Grade III : kerusakan jaringan lunak yang luas, termasuk
otot, kulit, struktur neurovaskular seringkali merupakan
cidera oleh energi yang besar dengan kerusakan komponen
yang berat.
o III A : laserasi jaringan lunak yang luas, tulang tertutup
secara adekuat; fraktur segmental, luka tembak,
periosteal stripping yang minimal.
o III B : cidera jaringan lunak yang luas dengan periosteal
stirpping dan tulang terekspos, membutuhkan
penutupan flap jaringan lunak; sering berhubungan
dengan kontaminasi yang massif.
o III C : cedera vaskuler yang membutuhkan perbaikan.

Gambar 3. Klasifikasi fraktur terbuka

14
2,3,4 Proses penyembuhan fraktur

a) Primary bone healing


Apabila fraktur yang terjadi stabil, contohnya seperti fraktur
impaksi pada tulang trabecular dimana tidak terdapat stimulasi
pembentukan kalus melainkan terdapat pembentukan formasi
osteoblast diantara fragmen. Celah antara permukaan fraktur akan
dipenuhi oleh pembuluh kapiler yang baru dan sel osteoprogenitor yang
berujung pada tumbuhnya tulang yang baru.
b) Secondary bone healing
Penyembuhan melalui kalus mempunyai 5 proses
penyembuhan.

1. Fase hematoma (dalam waktu 24 jam timbul perdarahan)

Apabila terjadi fraktur tulang panjang, maka pembuluh darah


kecil yang melewati kanalikuli dalam system haversian mengalami
robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara
kedua sisi fraktur.Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami
robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi
ektravasasi darah ke dalam jaringan lunak.Osteosit dengan lakunanya
yang terletak didekat fraktur akan kehilangan darah dan mati,yang akan
menimbulakn suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi
fraktur segera setelah trauma.

2. Fase proliferasi/inflamasi (terjadi 1-5 hari)

Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktir sebagai suatu reaksi


penyembuhan.Penyembuhan terjadi karena adanya sel-sel osteogenik
yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna
serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktivitas
seluler dalam kanalis medularis. Pada tahap awal penyembuhan fraktur

15
ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang member
pertumbuhan cepat .setelah beberapa minggu ,kalus dari fraktur akan
membentuk massa yang meliputi jaringan osteogenik.

3. Fase pembentukan kalus(terjadi 6-10 hari setelah trauma)

Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari


setiap fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada
kondroblas membentuk tulang rawan.tempat osteoblas diduduki oleh
matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-
garam kalsium membentuk tulang imatur.Bentuk tulang ini disebut
woven bone.

4.Fase konsolidasi (2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh)

Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-


lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas
yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan diresorpsi
secara bertahap.

5.Fase remodeling(waktu lebih dari 10 minggu)

Pada fase remodeling ini perlahan-lahan terjadi resorpsi secara


osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus
eksterna secara perlahan-lahan hilang.kalus intermediate berubah
menjadi tulang yang kompak dan berisi system haversian dan kalus
bagian dalam akan mengalami peronggaan membentuk ruang sumsum.

16
2.4 Penanganan fraktur terbuka
2.4.1 Prinsip pengobatan fraktur terbuka
Penatalaksanaan pertama harus sesuai dengan printip ATLS
(Advance Trauma Life Support) dengan memberikan penanganan
sesuai prioritas (resusitasi). Tindakan resusitasi dilakukan bila
ditemukan tanda syok hipovolemik, ganguan napas atau denyut jantung
karena fraktur terbuka seringkali terjadi bersamaan dengan cedera organ
lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau tranasfusi
darah dan pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi.(14)
Semua fraktur terbuka harus dianggap sudah terkontaminasi,
sangat penting untuk dilakukan tindakan pencegahan sebelum
terjadinya infeksi. Terdapat beberapa prinsip utama dalam penanganan
fraktur terbuka, diantaranya adalah pemberian antibiotik profilaksis,
debridemen, stabilisasi fraktur, dan penutupan luka.

c) Antibiotik profilaksis
Luka terbuka harus ditutup sampai pasien berada di ruangan
operasi. Dalam beberapa kasus pemberian co-amoxiclav atau
cefuroxime diberikan secepat mungkin mulai dari instalasi gawat
darurat. Saat dilakukan debridemen perlu diberikan antibiotik tambahan
yaitu gentamisin. Kedua antibiotik ini diberikan untuk mencegah
bakteri gram positif maupun negatif. Luka terbuka pada klasifikasi
fraktur Gustilo 1 dan 2 dapat ditutup saat akan dilakukan debridemen.
Dengan klasifikasi fraktur Gustilo tipe 3A, beberapa dokter
bedah memilih untuk menunda penutupan luka setelah prosedur second
look dilakukan. Penundaan penutupan luka juga dilakukan pada fraktur
Gustilo tipe 3B dan 3C. Pemberian antibiotik profilaksis ini terbukti
efektif terhadap methicillin-resistant Staphylococcus Aureus dan
pseudomonas. Pemberian antibiotik berdasarkan klasifikasi Gustilo
dapat dilihat pada tabel berikut

17
Tabel 1. Pemberian antibiotik berdasarkan klasifikasi Gustilo

d) Debridemen
Tindakan ini memiliki tujuan untuk membersihkan luka dari
benda asing dan juga jaringan yang sudah mati, dan meninggalkan
lapang operasi yang bersih dan jaringan yang mempunyai peredaran
darah yang baik. Balutan yang sebelumnya digunakan, diganti dengan
steril pad saat mencapai ruang operasi dan sekitar luka dibersihkan.
Steril pad kemudian dilepas lalu dilakukan irigasi dengan cairan salin.
Luka ditutup lagi dan dipersiapkan untuk dilakukan operasi.

e) Penutupan luka
Luka terbuka yang kecil dan tidak terkontaminasi pada fraktur
tipe 1 atau 2 dapat dilakukan penjahitan setelah debridemen. Pada
keadaan yang lebih berat, stabilisasi fraktur secara cepat dan penutupan
luka menggunakan graft ataupun flap merupakan tindakan ideal.
Apabila terjadi fraktur tipe 3, maka penutupan luka dapat ditunda
sampai dengan 5 hari sesuai permintaan operator sebelum dilakukan
tindakan pembedahan

18
f) Stabilisasi fraktur
Stabilisasi fraktur penting untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder dan mempercepat penyembuhan jaringan lunak sekitar.
Metode fiksasi dipilih berdasarkan derajat kontaminasi, waktu dari
kecelakaan sampai operasi, dan jumlah jaringan lunak yang rusak.
Apabila tidak ditemukan adanya kontaminasi dan penutupan
luka secara definitif dapat dilakukan segera maka penanganan
sementara fraktur dapat menyerupai fraktur tertutup yaitu fiksasi
internal atau eksternal, namun hal ini dapat dilakukan apabila dokter
bedah tulang sudah berada di tempat untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Apabila penutupan luka ditunda, penggunaan fiksasi
eksternal dapat dilakukan sementara. Penggunaan sementara fiksasi
eksternal mempunyai beberapa syarat diantaranya adalah penutupan
luka yang ditunda tidak lebih dari 7 hari, tidak terlihat adanya
kontaminasi, dan fiksasi internal dapat mengendalikan fraktur sebaik
fiksasi eksternal. Pendekatan ini lebih tidak berisiko dibandingkan
pemasangan fiksasi internal secara langsung

g) Pencegahan tetanus
Pemberian ATS diindikasikan pada fraktur terbuka derajat III
berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang
terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka
dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat
anti tetanus dapat diberikan gamaglobulin dengan dosis 250 unit pada
penderita berusia diatas 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada anak ujsia
5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun

2.4.2 Penanganan tindakan pembedahan


Hal ini penting untuk menstabilkan patah tulang sesegera
mungkin untuk mencegah kerusakan jaringan yang lebih lunak. Tulang

19
patah dalam fraktur terbuka biasanya digunakan metode fiksasi
eksternal atau internal. Metode ini memerlukan operasi.

a) Fiksasi Internal
Selama operasi, fragmen tulang yang pertama direposisi
(dikurangi) ke posisi normal kemudian diikat dengan sekrup khusus
atau dengan melampirkan pelat logam ke permukaan luar tulang.
Fragmen juga dapat diselenggarakan bersama-sama dengan
memasukkan batang bawah melalui ruang sumsum di tengah tulang.
Karena fraktur terbuka mungkin termasuk kerusakan jaringan dan
disertai dengan cedera tambahan, mungkin diperlukan waktu sebelum
operasi fiksasi internal dapat dilakukan dengan aman.

b) Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini
digunakan untuk menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam fiksasi
eksternal, pin atau sekrup ditempatkan ke dalam tulang yang patah di
atas dan di bawah tempat fraktur. Kemudian fragmen tulang direposisi.
Pin atau sekrup dihubungkan ke sebuah lempengan logam di luar kulit.
Perangkat ini merupakan suatu kerangka stabilisasi yang menyangga
tulang dalam posisi yang tepat.

Pada beberapa kasus, amputasi menjadi pilihan terapi.


Immediate amputation biasanya diindikasikan pada keadaan berikut:
• Fraktur terbuka derajat IIIC dimana lesi tidak dapat diperbaiki dan
iskemia sudah terjadi >8 jam
• Anggota gerak yang mengalami crush berat dan jaringan viable yang
tersisa untuk revaskularisasi sangat minimal
• Kerusakan neurologis dan soft tissue yang berat, dimana hasil akhir
repair tidak lebih baik dari penggunaan prosthesis.

20
• Cedera multipel dimana amputasi dapat mengontrol perdarahan dan
mengurangi efek sistemik/life saving
• Kasus dimana limb salvage bersifat life-threatening dengan adanya
penyakit kronik yang berat, seperti diabetes mellitus dengan gangguan
vaskular perifer berat dan neuropati.

2.5 Komplikasi

Komplikasi dari fraktur terbuka dapat dibagi dalam dua fase yaitu:

1) Fase dini
Komplikasi ini timbul dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu
setelah terjadinya fraktur. Komplikasi yang muncul pada fase dini ini antara
lain; kerusakan lapisan visceral, kerusakan pembuluh darah, kerusakan
pembuluh saraf, sindroma kompartemen, haemarthrosis, infeksi, gas gangrene.

2) Fase lambat
Komplikasi ini timbul dalam waktu beberapa minggu hingga beberapa
bulaan setelah terjadinya fraktur. Komplikasi yang muncul pada fase lambat ini
antara lain; delayed union, non-union, malunion, avascular necrosis, gangguan
pertumbuhan, lesi tendon, kompresi saraf, osteoarthritis.

21
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur terbuka adalah diskontinuitas atau terputusnya jaringan tulang maupun


jaringan skeletal akibat tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang yang terpapar oleh lingkungan luar. Fraktur terbuka merupakan suatu
keadaan darurat. Insiden fraktur terbuka sebesar 4% dan banyak pada laki-laki.
Klasifikasi fraktur terbuka yang dianut dewasa ini adalah menurut Gustillo dan
Anderson. Penyebabnya bisa berupa trauma langsung dan tidak langsung. Diagnosis
fraktur terbuka didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik yang paling
bermakna adalah look, feel dan move serta penunjang berupa pemeriksaan radiologis,
CT-Scan maupun MRI. Tujuan dari tata laksana fraktur terbuka adalah untuk
mengurangi resiko infeksi, terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota
gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang
berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta
pemberian antibiotik yang adekuat. Komplikasi fraktur sendiri terdiri dari komplikasi
fase dini maupun fase lambat. Prognosis tergantung pada penolongan fraktur itu sendiri
yang harus dilakukan sebelum 6 jam (golden period).

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Sagaran VC, Manjas M, Rasyid R. 2017. Distribusi Fraktur Femur Yang


Dirawat Di Rumah Sakit Dr.M.Djamil, Padang (2010 – 2012). Jurnal
Kesehatan Andalas. 6(3): 568-8

2. Appley. A. G. and Solomon.L. 2010. Apley’s system of ortopedic and


fracture united kingdom.hodder amold

3. Salter R. B. (1999). Degenerative Disorder Of Joint and Related


Tissues. In : Textbook Of Disorder and Injuries Of Musculoskeletel System,
3rd ed. Baltimore : William and Wilkins

4. Bugler CB. 2012. The Epidemiology Of Open Fractures In Adults.


Injury. 43(6):891-7

5. Rasjad C. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi,cetakan ke-V. Jakarta:


Yarsif Watampone. Hal:332-334

6. Rasjad C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Struktur Dan Fungsi


Tulang. Jakarta: Yarif Watampone. Hal:9-10

7. Carlos J, Jose C, Robert K. 1998. Histologi Dasar. Jakarta: EGC

8. Ott S. Bone Growth And Remodelling. Accessed at


http://depts.washington.edu/bonebio/ASBMRed/growth.html

9. Sugiarso. 2010. Pola Kuman Penderita Fraktur Terbuka. Universitas


Sumatera Utara. Accessed at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27630/6/Cover.pdf.

10. American Academy of Orthopaedics Surgeons. 2011. Open Fractures.


Accessed at http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00582.

23
11. Court-Brown CM, Brewster N. 1996. Epidemiology of open fractures.
Court-Brown CM, McQueen M, Quaba AA (eds). Management of open
fractures. London: Martin Dunitz. P25-5

12. Gustilo RB, Anderson JT. 2013. Clinical evaluation of patients with
osteomyelitis after open fractures treated at the Hospital de Urgências de
Goiânia, Goiás. scyELO Analytics. Accessed at
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0102-
36162013000100022

13. Latief SA. 2007. Petunjuk Praktis Anastesiologi.Edisi Kedua. Penerbit


FKUI. Jakarta.

14. Appley, A Graham & Luis Solomon, 1993 ; Buku Ajar Orthopedi dan
Fraktur Sistem. Appley, Butterworth – Heineman.

15. Caterina MJ, Leffler A, Malmberg AB, Martin WJ, Trafton J, Petersen-
Zeitz KR et al. 2000. Science 288:306–313.

24

Anda mungkin juga menyukai