Penyusun:
Pembimbing:
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Penanganan Fraktur Terbuka”. Tugas
ini disusun dalam rangka memenuhi syarat kepaniteraan Ilmu Penyakit Bedah Fakultas
Kedokteran Universtias Trisakti di RS TNI AL Dr. Mintohardjo Jakarta periode 1 Oktober – 8
Desember 2018.
Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Arie
Zakaria, SpOT selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini dan kepada dokter-dokter
pembimbing lainnya yang telah bersedia membimbing penulis selama kepaniteraan ini. Penulis
juga mengucapkan banyak terimakasih kepada para staf medis di lingkungan RS TNI AL Dr.
Mintohardjo Jakarta dan teman-teman anggota kepaniteraan klinik Bedah yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam referat yang tertulis.Oleh karena
itu penulis meminta maaf sebesarnya dan sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Atas perhatian yang diberikan, penulis mengucapkan
terimakasih.
2
PENGESAHAN REFERAT
Judul:
030.14.061
Pembimbing,
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................. 4
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 23
4
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur adalah suatu diskontinuitas susuna tulang yang disebabkan oleh trauma
atau keadaan patologis.(1) Fraktur dapat disebabkan oleh cedera, stress yang berulang,
kelemahan tulang yang abnormal atau disebut juga fraktur patologis.(2)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Secara garis besar tulang terbagi atas: (6)
1. Tulang panjang, yang termasuk adalah femur, tibia, fibula, humerus,
ulna. Tulang panjango (oslongum) terdiri dari 2 bagian, yaitu epiphysis,
diaphysis, dan metaphysis. &iaphysis atau batang, adalah bagian tengah
tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulangkortikal
yang memiliki kekuatan yang besar. Metaphysis adalah bagian tulang
yang melebar di dekat ujung akhir batang. &aerah ini terutama disusun
oleh trabekular atau sel spongiosayang mengandung sel-sel
hematopoetik. Metaphysis juga menopang sendi dan menyediakan
daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada
epiphysis. Epiphysis langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang.
Seluruh tulang dilapisi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum.
2. Tulang pendek antara lain: tulang 8ertebra dan tulang-tulang carpal.
3. Tulang pipih antara lain: tulang iga, tulang skapula, tulang pelvis.(6)
Tulang terdiri atas bagian kompak pada bagian luar yang disebut korteks
dan bagian dalamyang bersifat spongiosa berbentuk trabekular dan diluarnya
dilapisi oleh periosteum. Berdasarkan histologisnya maka dikenal: (7)
Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone), tulang ini
pertma-tama terbentuk dari osifikasi endokondral pada perkembangan
embrional dan kemudian secara perlahan-lahan menjadi tulang yang
matur dan pada umur 1 tahun tulang imatur tidak terlihat lagi. Tulang
imatur ini mengandung jaringan kolagen dengan substansi semen
danmineral yang lebih sedikit dibandingkan dengan tulang matur.
Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
- Tulang kortikal (cortical bone, dense bone, compacta bone)
- Tulang trabekular (cansellous bone, trabecular bone, spongiosa)(7)
7
Secara histolgik, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam
jumlah sel, jaringankolagen, dan mukopolisakarida. Tulang matur ditandai
dengan sistem Harversian atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi
darah melalui korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan
lebih banyak substansi semen dan mineral dibanding dengan tulang imatur.
Tulang terdiri atas bahan antar sel dan sel tulang. Sel tulang ada 2, yaitu
osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Sedang bahan antar sel terdiri dari bahan
organik (serabut kolagen, dll) dan bahan anorganik (kalsium, fosfor, dll).
Osteoblas merupakan salah satu jenis sel hasildiferensiasi sel mesenkim yang
sangat penting dalam proses osteogenesis dan osifikasi. Sebagaisel osteoblas
dapat memproduksi substansi organik intraseluler atau matriks, dimana
kalsifikasiterjadi di kemudian hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium
disebut osteoid dan apabila kalsifikasi terjadi pada matriks maka jaringan
disebut tulang. Sesaat sesudah osteoblas dikelilingi oleh substansi organik
intraseluler, disebut osteosit dimana kradaan ini terjadi dalam lakuna. Osteosit
adalah bentuk dewasa dari osteoblas yang berfungsi dalam recycling garam
kalsium dan berpartisipasi dalam reparasi tulang. Osteoklas adalah sel
makrofag yang aktivitasnya meresorpsi jaringan tulang. Kalsium hanya dapat
dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoklasis yang mengilangkan
matriks organik dan kalsium secara bersamaandan disebut deosifikasi. Jadi
dalam tulang selalu terjadi perubahan dan pembaharuan.(8)
8
Gambar 1. Histologi tulang
2.3.1 Definisi
9
pemaparan dari patah tulang terhadap lingkungan dan kontaminasi dari situs
fraktur.(10)
Selain dari flora normal kulit, hasil juga menunjukan gambaran bakteri
yang bersifat pathogen, tergantung dari paparan(kontaminasi) lingkungan pada
saat terjadinya fraktur. Fraktur terbuka memiliki beberapa konsekuensi seperti:
2.3.2 Epidemiologi
A. Etiologi
10
bermotor. Dapat juga disebabkan oleh luka tembak, maupun kecelakaan
kerja. Tingkat keparahan cidera fraktur terbuka berhubungan langsung
dengan lokasi dan besarnya gaya yang mengenai tubuh. Ukuran luka
bisa hanya beberapa milimeter hingga terhitung diameter. Tulang
mungkin terlihat atau tidak terlihat pada luka. Fraktur terbuka lainnya
dapat mengekspos banyak tulang dan otot, dan dapat merusak saraf dan
pembuluh darah sekitarnya. Fraktur terbuka ini juga bisa terjadi secara
tidak langsung, seperti cidera tipe energi tinggi yang memutar.
B. Diagnosis
1. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan
untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan
mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
a. Syok, anemia atau perdarahan.
b. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan
abdomen.
c. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
3. Pemeriksaan lokal
a. Inspeksi (Look)
Bandingkan dengan bagian yang sehat.
Perhatikan posisi anggota gerak.
Keadaan umum penderita secara keseluruhan.
Ekspresi wajah karena nyeri.
Lidah kering atau basah.
11
Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.
Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka.
Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai
beberapa hari.
Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan.
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain.
Perhatikan kondisi mental penderita.
Keadaan vaskularisasi.
b. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri.
Temperatur setempat yang meningkat.
Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang.
Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati.
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena.
Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian
distal daerah trauma , temperatur kulit.
Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang
12
mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan
akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
5. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai
yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.
2.3.3 Klasifikasi
13
simple transverse atau shortoblique dengan kominutif yang
minimal
- Grade III : kerusakan jaringan lunak yang luas, termasuk
otot, kulit, struktur neurovaskular seringkali merupakan
cidera oleh energi yang besar dengan kerusakan komponen
yang berat.
o III A : laserasi jaringan lunak yang luas, tulang tertutup
secara adekuat; fraktur segmental, luka tembak,
periosteal stripping yang minimal.
o III B : cidera jaringan lunak yang luas dengan periosteal
stirpping dan tulang terekspos, membutuhkan
penutupan flap jaringan lunak; sering berhubungan
dengan kontaminasi yang massif.
o III C : cedera vaskuler yang membutuhkan perbaikan.
14
2,3,4 Proses penyembuhan fraktur
15
ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang member
pertumbuhan cepat .setelah beberapa minggu ,kalus dari fraktur akan
membentuk massa yang meliputi jaringan osteogenik.
16
2.4 Penanganan fraktur terbuka
2.4.1 Prinsip pengobatan fraktur terbuka
Penatalaksanaan pertama harus sesuai dengan printip ATLS
(Advance Trauma Life Support) dengan memberikan penanganan
sesuai prioritas (resusitasi). Tindakan resusitasi dilakukan bila
ditemukan tanda syok hipovolemik, ganguan napas atau denyut jantung
karena fraktur terbuka seringkali terjadi bersamaan dengan cedera organ
lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau tranasfusi
darah dan pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi.(14)
Semua fraktur terbuka harus dianggap sudah terkontaminasi,
sangat penting untuk dilakukan tindakan pencegahan sebelum
terjadinya infeksi. Terdapat beberapa prinsip utama dalam penanganan
fraktur terbuka, diantaranya adalah pemberian antibiotik profilaksis,
debridemen, stabilisasi fraktur, dan penutupan luka.
c) Antibiotik profilaksis
Luka terbuka harus ditutup sampai pasien berada di ruangan
operasi. Dalam beberapa kasus pemberian co-amoxiclav atau
cefuroxime diberikan secepat mungkin mulai dari instalasi gawat
darurat. Saat dilakukan debridemen perlu diberikan antibiotik tambahan
yaitu gentamisin. Kedua antibiotik ini diberikan untuk mencegah
bakteri gram positif maupun negatif. Luka terbuka pada klasifikasi
fraktur Gustilo 1 dan 2 dapat ditutup saat akan dilakukan debridemen.
Dengan klasifikasi fraktur Gustilo tipe 3A, beberapa dokter
bedah memilih untuk menunda penutupan luka setelah prosedur second
look dilakukan. Penundaan penutupan luka juga dilakukan pada fraktur
Gustilo tipe 3B dan 3C. Pemberian antibiotik profilaksis ini terbukti
efektif terhadap methicillin-resistant Staphylococcus Aureus dan
pseudomonas. Pemberian antibiotik berdasarkan klasifikasi Gustilo
dapat dilihat pada tabel berikut
17
Tabel 1. Pemberian antibiotik berdasarkan klasifikasi Gustilo
d) Debridemen
Tindakan ini memiliki tujuan untuk membersihkan luka dari
benda asing dan juga jaringan yang sudah mati, dan meninggalkan
lapang operasi yang bersih dan jaringan yang mempunyai peredaran
darah yang baik. Balutan yang sebelumnya digunakan, diganti dengan
steril pad saat mencapai ruang operasi dan sekitar luka dibersihkan.
Steril pad kemudian dilepas lalu dilakukan irigasi dengan cairan salin.
Luka ditutup lagi dan dipersiapkan untuk dilakukan operasi.
e) Penutupan luka
Luka terbuka yang kecil dan tidak terkontaminasi pada fraktur
tipe 1 atau 2 dapat dilakukan penjahitan setelah debridemen. Pada
keadaan yang lebih berat, stabilisasi fraktur secara cepat dan penutupan
luka menggunakan graft ataupun flap merupakan tindakan ideal.
Apabila terjadi fraktur tipe 3, maka penutupan luka dapat ditunda
sampai dengan 5 hari sesuai permintaan operator sebelum dilakukan
tindakan pembedahan
18
f) Stabilisasi fraktur
Stabilisasi fraktur penting untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder dan mempercepat penyembuhan jaringan lunak sekitar.
Metode fiksasi dipilih berdasarkan derajat kontaminasi, waktu dari
kecelakaan sampai operasi, dan jumlah jaringan lunak yang rusak.
Apabila tidak ditemukan adanya kontaminasi dan penutupan
luka secara definitif dapat dilakukan segera maka penanganan
sementara fraktur dapat menyerupai fraktur tertutup yaitu fiksasi
internal atau eksternal, namun hal ini dapat dilakukan apabila dokter
bedah tulang sudah berada di tempat untuk mencegah terjadinya
komplikasi. Apabila penutupan luka ditunda, penggunaan fiksasi
eksternal dapat dilakukan sementara. Penggunaan sementara fiksasi
eksternal mempunyai beberapa syarat diantaranya adalah penutupan
luka yang ditunda tidak lebih dari 7 hari, tidak terlihat adanya
kontaminasi, dan fiksasi internal dapat mengendalikan fraktur sebaik
fiksasi eksternal. Pendekatan ini lebih tidak berisiko dibandingkan
pemasangan fiksasi internal secara langsung
g) Pencegahan tetanus
Pemberian ATS diindikasikan pada fraktur terbuka derajat III
berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang
terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka
dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat
anti tetanus dapat diberikan gamaglobulin dengan dosis 250 unit pada
penderita berusia diatas 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada anak ujsia
5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun
19
patah dalam fraktur terbuka biasanya digunakan metode fiksasi
eksternal atau internal. Metode ini memerlukan operasi.
a) Fiksasi Internal
Selama operasi, fragmen tulang yang pertama direposisi
(dikurangi) ke posisi normal kemudian diikat dengan sekrup khusus
atau dengan melampirkan pelat logam ke permukaan luar tulang.
Fragmen juga dapat diselenggarakan bersama-sama dengan
memasukkan batang bawah melalui ruang sumsum di tengah tulang.
Karena fraktur terbuka mungkin termasuk kerusakan jaringan dan
disertai dengan cedera tambahan, mungkin diperlukan waktu sebelum
operasi fiksasi internal dapat dilakukan dengan aman.
b) Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini
digunakan untuk menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam fiksasi
eksternal, pin atau sekrup ditempatkan ke dalam tulang yang patah di
atas dan di bawah tempat fraktur. Kemudian fragmen tulang direposisi.
Pin atau sekrup dihubungkan ke sebuah lempengan logam di luar kulit.
Perangkat ini merupakan suatu kerangka stabilisasi yang menyangga
tulang dalam posisi yang tepat.
20
• Cedera multipel dimana amputasi dapat mengontrol perdarahan dan
mengurangi efek sistemik/life saving
• Kasus dimana limb salvage bersifat life-threatening dengan adanya
penyakit kronik yang berat, seperti diabetes mellitus dengan gangguan
vaskular perifer berat dan neuropati.
2.5 Komplikasi
Komplikasi dari fraktur terbuka dapat dibagi dalam dua fase yaitu:
1) Fase dini
Komplikasi ini timbul dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu
setelah terjadinya fraktur. Komplikasi yang muncul pada fase dini ini antara
lain; kerusakan lapisan visceral, kerusakan pembuluh darah, kerusakan
pembuluh saraf, sindroma kompartemen, haemarthrosis, infeksi, gas gangrene.
2) Fase lambat
Komplikasi ini timbul dalam waktu beberapa minggu hingga beberapa
bulaan setelah terjadinya fraktur. Komplikasi yang muncul pada fase lambat ini
antara lain; delayed union, non-union, malunion, avascular necrosis, gangguan
pertumbuhan, lesi tendon, kompresi saraf, osteoarthritis.
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
23
11. Court-Brown CM, Brewster N. 1996. Epidemiology of open fractures.
Court-Brown CM, McQueen M, Quaba AA (eds). Management of open
fractures. London: Martin Dunitz. P25-5
12. Gustilo RB, Anderson JT. 2013. Clinical evaluation of patients with
osteomyelitis after open fractures treated at the Hospital de Urgências de
Goiânia, Goiás. scyELO Analytics. Accessed at
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0102-
36162013000100022
14. Appley, A Graham & Luis Solomon, 1993 ; Buku Ajar Orthopedi dan
Fraktur Sistem. Appley, Butterworth – Heineman.
15. Caterina MJ, Leffler A, Malmberg AB, Martin WJ, Trafton J, Petersen-
Zeitz KR et al. 2000. Science 288:306–313.
24