PENGESAHAN NIKAH
Oleh: Drs. H. T a r s i, S.H., M.HI./Wakil Ketua PA.Semarang.
A. Latar Belakang.
“Perkawinan dianggap tidak sah (hukum positif), anak hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, serta anak dan ibunya tidak berhak
atas nafkah dan warisan. Pihak lelaki atau suami tidak bisa menuntut haknya
atas harta bersama selama mereka berada dalam perkawinan di bawah tangan.”
1
1
Marcus Lange, Kata Pengantar Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pemerintah, Jakarta GT2 dan GG
Pas, hal. 17.
hanya ingin memfokuskan bagaimana pernikahan di bawah tangan yang banyak
dilakukan masyarakat atau yang tidak tercatat di KUA sebagai lembaga resmi
pemerintah pencatat nikah, tidak menimbulkan implikasi bagi pelaku dan
keturunannya.
Perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri, kawin syar’i dan kawin
modin sering pula disebut kawin kyai. Sejumlah persoalan muncul akibat dari
perkawinan tersebut, tidak saja problem hukum dari pernikahan tidak tercatat ini,
tetapi juga permasalahan sosial.
Banyak problem hukum yang dijumpai bagi pasangan suami istri dan
anak-anaknya akibat dari perkawinan di bawah tangan dan mereka mengajukan
permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Perkara-perkara isbat nikah ini,
dapat penulis klasifikasikan masalahnya sebagai berikut:
1. Suami istri telah menikah secara di bawah tangan sehingga tidak mempunyai
akte nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama
dan negara. Akibatnya anak-anak tidak dapat memperoleh Akte Kelahiran
dari instansi yang berwenang, karena untuk mendapatkan akte kelahiran itu
diperlukan akte nikah dari orang tuanya. Pernikahan mereka ini ada yang
dilangsungkan sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, kemudian suami istri tersebut mengajukan
permohonan isbat nikah.
2. Suami istri yang melangsungkan pernikahan sesudah tahun 1974 tidak
mengetahui kalau pernikahannya tidak tercatat, karena mereka merasa
dinikahkan oleh penghulu resmi dan membayar sejumlah biaya pernikahan,
namun pada saat memerlukan buku nikah sebagai syarat untuk berangkat
haji atau mengurus pensiun atau pembuatan akte kelahiran anak, baru
diketahui telah ternyata perkawinan mereka tidak tercatat di KUA setempat,
kemudian kedua suami istri mengajukan isbat nikah.
3. Suami istri menikah secara sirri kemudian terjadi sengketa perkawinan, suami
mengajukan permohonan isbat nikah untuk bercerai dan adapula istri
(Penggugat) yang mengajukan isbat nikah nikah untuk bercerai karena telah
ditinggal pergi oleh suaminya, guna memperoleh kepastian hukum tentang
status dirinya sebagai janda.
4. Seorang wanita yang tanpa sadar senang kepada seorang laki-laki beristri
dan menikah dengan laki-laki tersebut tanpa adanya pendaftaran ke Kantor
Urusan Agama. Beberapa bulan berselang, istri (pertama) laki-laki tersebut
mendatangi istri baru suaminya dan selanjutnya suami beristri dua tersebut
menghilang dan tidak kembali lagi ke rumah istri barunya. Perkawinan
tersebut terjadi sesudah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diberlakukan.
Setelah sekian lama tidak melaksanakan kewajiban lahir dan batinnya,
wanita tersebut bermaksud mengajukan permohonan isbat nikah untuk
bercerai tetapi:
Permasalahannya adalah:
5. Pasangan suami istri telah terjadi sengketa dalam perkawinan padahal secara
negara, pernikahan mereka tersebut belum dicatatkan, tidak lama kemudian
salah satu pihak meninggal dunia, lalu bagaimana tentang kewarisan,
perlindungan hukum hak-hak ahli waris bidang kekayaan. Apabila anak-anak
hasil nikah sirri berhadapan dengan saudara-saudara mereka, anak yang
dinikahi secara resmi, bagaimana perlakuan pengadilan terhadap mereka,
apakah mereka harus dikesampingkan sehingga tidak mendapat bagian dari
harta warisan, padahal secara biologis mereka juga adalah anak pewaris.
Bagaimana seharusnya Pengadilan Agama bersikap kepada mereka, jika
salah seorang dari anaknya yang lahir dari pernikahan sirri mengajukan isbat
nikah guna memperoleh hak-hak kewarisan dan hak-hak keperdataan
lainnya?.
C. Analisis dan Pemecahan Masalah
1. Perkara isbat nikah murni tanpa terkait dengan pihak lain disebut perkara
voluntair;
2. Perkara isbat nikah terkait untuk melakukan perceraian baik yang diajukan
oleh suami ataupun istri, terkait dengan poligami liar yang diajukan oleh istri
muda dan ada pula yang berhubungan dengan penyelesaian harta gono gini
dan warisan, disebut perkara kontentius.
Perkara isbat nikah (voluntair) dan (kontentius), sama-sama berawal dari
perkawinan yang tidak tercatat. Menurut hukum Islam, bahwa tujuan syari’at Islam
(maqashidu syari’ah) adalah mendatangkan maslahat dan menghindarkan
bahaya, karena perkawinan yang tidak dicatat pemerintah menimbulkan mudharat
kepada istri, anak, dan harta bersama (gono gini), maka pencatatan perkawinan
oleh pemerintah menurut sebagian orang dapat dipandang sebagai masalah
dharurat karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Hukum yang diterapkan berdasarkan ijtihad ini dapat berubah sesuai kondisi,
selama perubahan hukum itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Hadits, atau maqashidu syari’ah berdasarkan qaidah fiqhiyah2
2
Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan Hukum Islam,
Jakarta GT2 dan GG Pas, hal. 22.
Artinya: “Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman.”
Menurut Abdul Manan, ada beberapa faktor yang menjadi alat atau faktor
pengubah hukum, yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor politik,
faktor ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan supremasi hukum.3
“Apa yang tidak diperintahkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al Hadits
dapat dibuat aturan yang mengharuskan berdasarkan kemaslahatan dan
sekaligus menghindari mudharat. Berdasarkan cara berfikir ini, pencatatan
perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga kemaslahatan suami, istri, dan anak-
anaknya,”4 karena dinilai bahwa perkawinan yang tidak tercatat lebih banyak
mendatangkan mudharat dari pada manfaatnya.
3
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005, hal. 57.
4
Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya Terhadap Anak dan Harta,
Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007, hal. 38.
5
Ibid.
6
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan per Undang-Undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2004, hal. 100-101.
dalam peraturan per-undang-undangan yang berlaku yang memberikan daya
paksa terhadap masyarakat bahwa yang tidak mencatatkan perkawinannya
akan dikenai sanksi hukum. Demikian salah satu pandangan masyarakat kita.
Selain itu, sebagian masyarakat masih kuat dan berpegang teguh kepada
perspektif fiqh tradisional. Menurut pemahaman mereka, bahwa perkawinan itu
sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab fikih sudah
terpenuhi seperti calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab
dan qabul.8
7
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 2005, cet. ke-2, hal. 124.
8
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 47.
Selanjutnya seiring dengan masalah-masalah isbat nikah seperti tersebut
pada nomor 1 sampai 5 di atas, di mana disebabkan bahwa perkara isbat nikah
itu ada yang voluntair dan ada pula yang bersifat kontentius.
9
Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II Edisi 2007,
Jakarta: 2008, hal. 144-145.
10
Ibid., hal. 147.
Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan isbat nikah yang
diajukan oleh kedua suami istri (voluntair) telah diketahui bahwa “suaminya
terikat dalam perkawinan sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu
tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara sebagai Termohon. Jika Pemohon
tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu
sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. 11
11
Ibid., hal. 145.
diterima, dan juga kondisi orang yang menerima atau mendengar pesan/ceritera
tersebut, sehingga nilai keterangan orang tersebut dianggap benar.
Di samping itu, permasalahan isbat nikah yang diajukan kedua suami istri,
berdasarkan pengakuan keduanya tidak tercatat. Pengakuan seperti ini menurut
penulis harus disertai pula berupa “surat keterangan tidak tercatatnya
perkawinan” yang dibuat oleh kepala Kantor Urusan Agama (KUA) setempat,
karena KUA lah yang paling mengetahui tercatat tidaknya suatu perkawinan
seseorang. Apalagi mengingat dahulu mereka menikah melalui penghulu resmi
seperti tersebut dalam kasus nomor 2 di atas. Hal ini untuk menghindari
terjadinya pencatatan perkawinan ganda manakala permohonan isbatnya
dikabulkan, sebab dimungkinkan dewasa ini orang tidak mau berurusan ke KUA
karena merasa perkawinan mereka sudah puluhan tahun dilaksanakan tidak
mempunyai akte nikah, dan ada pula yang pernah menanyakan tetapi dijawab
oleh KUA tidak tercatat, sehingga mereka memilih mengajukan isbat nikah ke
Pengadilan Agama.
Proses pemeriksaan isbat nikah untuk bercerai seperti ini, hakim harus
berhati-hati karena rentan terjadinya penyeludupan hukum, dan tampaknya
dewasa ini akan menjadi pilihan bagi mereka yang bermaksud untuk beristri
lebih dari satu orang melalui cara pengesahan nikah dibanding dengan prosedur
poligami menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Sebab begitu hakim
menjatuhkan penetapan yang menyatakan perkawinan Pemohon dengan
Termohon sah menurut hukum, maka segala hak keperdataan suami istri
menjadi melekat dan perkawinan mereka sudah termasuk legalistik. Dalam
konteks ini, manakala suaminya meninggal dunia sebelum pengucapan ikrar
talak dilakukan atau suaminya tidak mengucapkan ikrar talak maka segala
akibat hukum tetap ada pada suami istri.
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup kelangsungan hidup dan perkembangan, dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak12
Selain itu, tidak kalah pentingnya hakim hendaknya mempertimbangkan
pula lingkungan hidup mereka, apakah perkawinan poligami liar di lingkungan
menjadi hal yang sudah biasa dan tidak asing lagi bagi warga sekitarnya,
demikian pula situasi dan kondisi saat pernikahan poligami liar dilaksanakan
atau sesudahnya, atau hal tersebut merupakan kasuistik yang jarang terjadi.
Meskipun perkawinan yang tidak tercatat ini dianggap sama dengan tidak
adanya pernikahan karena tidak dapat dibuktikan dengan buku Kutipan Akta
Nikah, tetapi secara konstitusional, negara tetap mengakui keberadaan dan hak-
hak mereka. Seperti masuknya mereka dalam daftar penduduk, pendidikan,
menjadi PNS, TNI/Polri, dan tidak menutup kemungkinan ada di antara mereka
atau keturunannya yang menjadi pejabat publik dan hakim. Jadi pada
prinsipnya, mereka juga mempunyai hak yang sama di depan hukum.
12
Lihat Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang RI
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengadilan Anak, Trinity, cet.1, 2007, hal. 5-6.
Perbedaannya hanya terletak pada tertib hukum. Perkawinan yang tercatat
adalah legistik dan yang tidak tercatat non legistik.
D. Kesimpulan
Demikian makalah ini penulis sajikan pada acara rapat kerja Mahkamah
Agung RI Tahun 2009, semoga ada manfaatnya. Segala saran dan pemikiran
yang konstruktif dari para peserta Rakerda sangat diharapkan demi
kesempurnaannya, dan sebelumnya diucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Mahkamah Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama Buku II Edisi
2007, Jakarta, 2008.
Dally, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. ke-2, 2005
Djamil, Fathurrahman, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuensinya Terhadap Anak dan
Harta, Jakarata: GT2 dan GG Pas, Mei 2007.
Lange, Marcus, Kata Pengantar Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pemerintah, Jakarta:
GT2 dan GG Pas.