Anda di halaman 1dari 15

PROBLEMATIKA NIKAH DI BAWAH TANGAN KAITANNYA DENGAN

PENGESAHAN NIKAH
Oleh: Drs. H. T a r s i, S.H., M.HI./Wakil Ketua PA.Semarang.

A. Latar Belakang.

Perkawinan di bawah tangan atau tidak tercatat menimbulkan


problematika hukum yang tidak sedikit. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa
dampak perkawinan yang tidak dicatatkan antara lain adalah:

“Perkawinan dianggap tidak sah (hukum positif), anak hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, serta anak dan ibunya tidak berhak
atas nafkah dan warisan. Pihak lelaki atau suami tidak bisa menuntut haknya
atas harta bersama selama mereka berada dalam perkawinan di bawah tangan.”
1

Dampak adanya praktik nikah di bawah tangan, tidak hanya dirasakan


oleh pelakunya, tetapi yang paling merasakan adalah anak yang lahir dari praktik
nikah di bawah tangan itu. Padahal anak sama sekali tidak berdosa dan tidak
tahu apa yang terjadi, tetapi anaklah yang dikemudian hari paling merasakan
kesulitannya.

Isbat nikah yang selama ini dianggap solusi penyelesaian perkawinan di


bawah tangan yang ditawarkan Undang-Undang sekarang pun tidak lepas dari
permasalahan. Banyak hal yang harus dicermati dalam permohonan isbat nikah
ini, sehingga hakim pun dalam memeriksa perkara isbat nikah harus selektif dan
berhati-hati sehingga kesan menggampangkan pengesahan nikah melalui isbat
nikah tidak terjadi.

Terkait masalah status hukum perkawinan di bawah tangan, sebagian


menilai bahwa nikah di bawah tangan adalah sah secara agama sementara
secara kenegaraan tidak sah. Dalam hal ini penulis tidak ingin larut dalam
kontradiksi tersebut, tidak ingin mengklaim sah dan tidaknya nikah. Penulis

1
Marcus Lange, Kata Pengantar Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pemerintah, Jakarta GT2 dan GG
Pas, hal. 17.
hanya ingin memfokuskan bagaimana pernikahan di bawah tangan yang banyak
dilakukan masyarakat atau yang tidak tercatat di KUA sebagai lembaga resmi
pemerintah pencatat nikah, tidak menimbulkan implikasi bagi pelaku dan
keturunannya.

Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan


hanya dapat dibuktikan dengan Akte Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah. Perkawinan di bawah tangan jelas tidak memiliki Akte Nikah, maka bagi
masyarakat yang tidak mempunyai Akte Nikah dapat mengajukan isbat nikahnya
ke Pengadilan Agama (ayat 2), dalam hal-hal yang berkenaan dengan: (a).
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, (b). Hilangnya Akte
Nikah, (c). Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan, (d). Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan (e). Perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.

Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan


mengadili perkara isbat nikah, tentunya harus memberikan pelayanan terbaik
bagi pencari keadilan agar permasalahan nikah di bawah tangan yang
dilaksanakannya atau karena tidak punya akte nikah dapat segera teratasi,
sehingga problematika yang terkait hal-hal keperdataan bagi pasangan suami
istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan ini terselesaikan
dengan baik.

B. Beberapa Masalah Tentang Perkara Isbat Nikah

Perkawinan di bawah tangan atau kawin sirri, kawin syar’i dan kawin
modin sering pula disebut kawin kyai. Sejumlah persoalan muncul akibat dari
perkawinan tersebut, tidak saja problem hukum dari pernikahan tidak tercatat ini,
tetapi juga permasalahan sosial.

Banyak problem hukum yang dijumpai bagi pasangan suami istri dan
anak-anaknya akibat dari perkawinan di bawah tangan dan mereka mengajukan
permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Perkara-perkara isbat nikah ini,
dapat penulis klasifikasikan masalahnya sebagai berikut:
1. Suami istri telah menikah secara di bawah tangan sehingga tidak mempunyai
akte nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama
dan negara. Akibatnya anak-anak tidak dapat memperoleh Akte Kelahiran
dari instansi yang berwenang, karena untuk mendapatkan akte kelahiran itu
diperlukan akte nikah dari orang tuanya. Pernikahan mereka ini ada yang
dilangsungkan sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, kemudian suami istri tersebut mengajukan
permohonan isbat nikah.
2. Suami istri yang melangsungkan pernikahan sesudah tahun 1974 tidak
mengetahui kalau pernikahannya tidak tercatat, karena mereka merasa
dinikahkan oleh penghulu resmi dan membayar sejumlah biaya pernikahan,
namun pada saat memerlukan buku nikah sebagai syarat untuk berangkat
haji atau mengurus pensiun atau pembuatan akte kelahiran anak, baru
diketahui telah ternyata perkawinan mereka tidak tercatat di KUA setempat,
kemudian kedua suami istri mengajukan isbat nikah.
3. Suami istri menikah secara sirri kemudian terjadi sengketa perkawinan, suami
mengajukan permohonan isbat nikah untuk bercerai dan adapula istri
(Penggugat) yang mengajukan isbat nikah nikah untuk bercerai karena telah
ditinggal pergi oleh suaminya, guna memperoleh kepastian hukum tentang
status dirinya sebagai janda.
4. Seorang wanita yang tanpa sadar senang kepada seorang laki-laki beristri
dan menikah dengan laki-laki tersebut tanpa adanya pendaftaran ke Kantor
Urusan Agama. Beberapa bulan berselang, istri (pertama) laki-laki tersebut
mendatangi istri baru suaminya dan selanjutnya suami beristri dua tersebut
menghilang dan tidak kembali lagi ke rumah istri barunya. Perkawinan
tersebut terjadi sesudah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diberlakukan.
Setelah sekian lama tidak melaksanakan kewajiban lahir dan batinnya,
wanita tersebut bermaksud mengajukan permohonan isbat nikah untuk
bercerai tetapi:

a. Ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah;


b. Perkawinannya sesudah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
diberlakukan, dan
c. Perkawinannya merupakan perkawinan kedua bagi laki-laki beristri
tersebut.
Memang berdasarkan ketentuan pasal 7 huruf a dan e Kompilasi Hukum
Islam, permohonannya beralasan hukum, tetapi ketentuan pasal tersebut pada
huruf d tidak terpenuhi, sedangkan ketentuan pada ayat b pasal tersebut “dapat”
dianggap sama dengan perkawinan yang tidak tercatat. Akan tetapi
permohonannya itu berbenturan dengan ketentuan huruf c di atas, yang terkait
dengan asas perkawinan di Indonesia (pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan syarat-syarat suami berpoligami (pasal 4 dan 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 atau Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang
Izin Poligami).

Permasalahannya adalah:

1) Ia tidak dapat bercerai dari suaminya itu, kecuali apabila


pernikahannya diisbatkan;
2) Pernikahannya tidak dapat diisbatkan tanpa suami, Tergugat tidak
mendapat persetujuan istri pertamanya;
3) Apabila pengadilan mengisbatkannya, berarti perkawinan tersebut
terjadi sebagaimana didalilkan oleh Penggugat (yang bertindak pula
sebagai (Pemohon) dan isbat nikah tersebut menimbulkan hukum
lainnya, yaitu adanya hubungan hukum kewarisan antara Pemohon
dengan suaminya. Bila ternyata suaminya itu meninggal dunia setelah
atau antara tanggal perkawinan yang diisbatkan dan tanggal
perceraiannya yang diajukan dan diputus bersama-sama dan terkait
harta gono gini yang harus dibagi;
4) Apabila pengadilan menolaknya atau sekurang-kurangnya menyatakan
permohonan Pemohon tidak diterima, bagaimana wanita tersebut
melepaskan ikatan perkawinannya?;
5) Bagaimana pengadilan menyelesaikan kasus di atas?

5. Pasangan suami istri telah terjadi sengketa dalam perkawinan padahal secara
negara, pernikahan mereka tersebut belum dicatatkan, tidak lama kemudian
salah satu pihak meninggal dunia, lalu bagaimana tentang kewarisan,
perlindungan hukum hak-hak ahli waris bidang kekayaan. Apabila anak-anak
hasil nikah sirri berhadapan dengan saudara-saudara mereka, anak yang
dinikahi secara resmi, bagaimana perlakuan pengadilan terhadap mereka,
apakah mereka harus dikesampingkan sehingga tidak mendapat bagian dari
harta warisan, padahal secara biologis mereka juga adalah anak pewaris.
Bagaimana seharusnya Pengadilan Agama bersikap kepada mereka, jika
salah seorang dari anaknya yang lahir dari pernikahan sirri mengajukan isbat
nikah guna memperoleh hak-hak kewarisan dan hak-hak keperdataan
lainnya?.
C. Analisis dan Pemecahan Masalah

Dari permasalahan-permasalahan perkara isbat nikah seperti diuraikan di


atas, dapat penulis bagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Perkara isbat nikah murni tanpa terkait dengan pihak lain disebut perkara
voluntair;
2. Perkara isbat nikah terkait untuk melakukan perceraian baik yang diajukan
oleh suami ataupun istri, terkait dengan poligami liar yang diajukan oleh istri
muda dan ada pula yang berhubungan dengan penyelesaian harta gono gini
dan warisan, disebut perkara kontentius.
Perkara isbat nikah (voluntair) dan (kontentius), sama-sama berawal dari
perkawinan yang tidak tercatat. Menurut hukum Islam, bahwa tujuan syari’at Islam
(maqashidu syari’ah) adalah mendatangkan maslahat dan menghindarkan
bahaya, karena perkawinan yang tidak dicatat pemerintah menimbulkan mudharat
kepada istri, anak, dan harta bersama (gono gini), maka pencatatan perkawinan
oleh pemerintah menurut sebagian orang dapat dipandang sebagai masalah
dharurat karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Hukum yang diterapkan berdasarkan ijtihad ini dapat berubah sesuai kondisi,
selama perubahan hukum itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Hadits, atau maqashidu syari’ah berdasarkan qaidah fiqhiyah2

‫تغيراالحكام بتغيراالحوال واألزمنة‬

2
Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan Hukum Islam,
Jakarta GT2 dan GG Pas, hal. 22.
Artinya: “Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman.”

Menurut Abdul Manan, ada beberapa faktor yang menjadi alat atau faktor
pengubah hukum, yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor politik,
faktor ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan supremasi hukum.3

Di samping itu ada pula yang menjadikan maslahat mursalah sebagai


landasan berpendapat. Teori ini mengajarkan bahwa:

“Apa yang tidak diperintahkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al Hadits
dapat dibuat aturan yang mengharuskan berdasarkan kemaslahatan dan
sekaligus menghindari mudharat. Berdasarkan cara berfikir ini, pencatatan
perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga kemaslahatan suami, istri, dan anak-
anaknya,”4 karena dinilai bahwa perkawinan yang tidak tercatat lebih banyak
mendatangkan mudharat dari pada manfaatnya.

Para perancang ordonansi perkawinan di Pakistan mendasarkan fikiran


mereka pada ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa dalam melakukan
transaksi penting seperti utang piutang saja hendaknya selalu dicatatkan,
apalagi perkawinan yang bahkan lebih penting dari utang piutang. 5

Menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaannya itu. Ayat (2), berbunyi, “ tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan per-undang-undangan yang berlaku.”6

Pasal 2 ayat (1) di atas, menunjukkan dengan jelas apabila perkawinan


dilakukan menurut agama adalah sah, perkawinan yang berdasarkan agama
Islan yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, maka perkawinan itu
dianggap sah sehingga tidak perlu lagi dicatatkan dan tidak ada satu pasal pun

3
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005, hal. 57.
4
Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya Terhadap Anak dan Harta,
Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007, hal. 38.

5
Ibid.

6
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan per Undang-Undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2004, hal. 100-101.
dalam peraturan per-undang-undangan yang berlaku yang memberikan daya
paksa terhadap masyarakat bahwa yang tidak mencatatkan perkawinannya
akan dikenai sanksi hukum. Demikian salah satu pandangan masyarakat kita.

Sedangkan ketentuan ayat (2) di atas, yang mengharuskan setiap


perkawinan dicatat adalah demi mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan
dalam masyarakat. Hal ini merupakan politik hukum negara yang bersifat
preventif untuk mengkoordinir masyarakatnya demi terwujudnya ketertiban dan
keteraturan dalam sistem kehidupan termasuk dalam masalah perkawinan yang
diyakini tidak luput dari berbagai macam konflik.

Menurut Peunoh Daly, bahwa “pencatatan perkawinan adalah dalam


rangka mengatur urusan duniawi supaya lebih baik untuk kepentingan
pengawasan dan agar mudah mendapat data lengkap bagi pengadilan untuk
kepentingan hukum, seperti dalam persoalan pembagian harta warisan,
kepastian hukum tentang siapa yang harus menjamin pengasuhan dan
pendidikan anak, kewalian dalam perkawinan dan harta.7

Selain itu, sebagian masyarakat masih kuat dan berpegang teguh kepada
perspektif fiqh tradisional. Menurut pemahaman mereka, bahwa perkawinan itu
sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab fikih sudah
terpenuhi seperti calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab
dan qabul.8

Dari dua pemikiaran dan pendapat di atas, penulis cenderung bahwa


pernikahan yang tidak tercatat sepanjang dilaksanakan menurut agama Islam
yang memenuhi syarat dan rukun nikah dan tidak terdapat larangan kawin
sebagaimana yang diatur dalam pasal 8 sampai dengan 10 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 sampai dengan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam
adalah sah, sedangkan pencatatan perkawinan hanya merupakan tindakan
administrasi guna mengatur agar data-data perkawinan di Indonesia dapat
diketahui bagi pihak-pihak yang memerlukan dan perkawinan tanpa dicatat itu,
tidaklah mengurangi keabsahan suatu perkawinan.

7
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 2005, cet. ke-2, hal. 124.

8
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 47.
Selanjutnya seiring dengan masalah-masalah isbat nikah seperti tersebut
pada nomor 1 sampai 5 di atas, di mana disebabkan bahwa perkara isbat nikah
itu ada yang voluntair dan ada pula yang bersifat kontentius.

Permasalahan isbat nikah nomor 1 dan 2 adalah voluntair dan nomor 3, 4,


dan 5 bersifat kontentius. Permohonan isbat nikah menurut ketentuan pasal 7
ayat 4 Kompilasi Hukum Islam dapat diajukan oleh suami, atau istri, anak-anak
mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Berdasarkan ketentuan ini, salah satu pihak berhak mengajukan


permohonan isbat nikah. Permasalahannya adalah apabila perkara isbat nikah
bersifat voluntair, maka yang mengajukan permohonannya adalah kedua suami
istri, masing-masing sebagai Pemohon I dan Pemohon II, sedangkan jika
permohonan isbat nikah hanya diajukan oleh salah seorang saja, suami atau istri
atau anak-anak mereka, maka perkara ini masuk dalam kategori kontentius dan
produknya berupa putusan, kecuali dalam hal suami atau istri yang ditinggal mati
tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka permohonan isbat
nikah seperti ini diajukan secara voluntair dan produknya adalah penetapan.9

Permohonan isbat nikah yang bersifat voluntair, sebelum perkara


permohonan pengesahan nikah disidangkan Pengadilan Agama wajib
mengumumkan permohonan pengesahan nikah itu yang dilakukan oleh
jurusita/jurusita pengganti melalui radio atau media elektronik lainnya sebanyak
3 kali dalam jangka waktu 3 bulan. Konsekuensinya Pemohon harus dibebani
membayar biaya tambahan 3 kali pengumuman tersebut yang masuk dalam
SKUM panjar biaya perkara. Pengumuman itu dimaksudkan agar pihak-pihak
yang berkepentingan atau merasa dirugikan setelah mendengar pengumuman,
dapat melakukan intervensi (voeging, tussenkomst, atau vrijwaring) selama
perkara belum diputus. Pemeriksaan perkara ini dilakukan setelah lewat jangka
waktu satu bulan dari tanggal pengumuman terakhir.10 Pemohon I dan Pemohon
II sebelumnya harus dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti ke alamat yang
bersangkutan.

9
Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II Edisi 2007,
Jakarta: 2008, hal. 144-145.
10
Ibid., hal. 147.
Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan isbat nikah yang
diajukan oleh kedua suami istri (voluntair) telah diketahui bahwa “suaminya
terikat dalam perkawinan sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu
tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara sebagai Termohon. Jika Pemohon
tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu
sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. 11

Tentu saja dengan dimasukkan istri terdahulu sebagai pihak dalam


perkara ini, kedudukan ini berubah menjadi kontentius dan produknya berupa
putusan. Sementara itu manakala tidak diketahui permohonan isbat nikah yang
diajukan oleh kedua suami istri, yang oleh majelis hakim telah dijatuhkan
penetapan dan sudah berkekuatan hukum tetap, maka pihak-pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan
Agama tersebut.

Permasalahan isbat nikah yang diajukan secara voluntair, terdapat pula


kesulitan dalam pembuktiannya, terutama jika dikaitkan dengan ketentuan pasal
1944 KUH Perdata yang mengatakan bahwa persaksian itu harus bersumber
pada pengetahuan sendiri dari apa yang dilihat, dialami, dan didasarkan sendiri
terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Peristiwa pernikahan Pemohon dengan
istrinya, yang bertindak sebagai saksi-saksi sudah meninggal dunia, yang ada
hanya keterangan secara turun temurun. Kalau berpegang teguh pada
ketentuan pasal 1944 KUH Perdata di atas, tentu permohonan isbat nikah itu
mesti harus ditolak karena saksi-saksi yang sebenarnya menyaksikan
perkawinan tidak dapat diajukan oleh Pemohon. Hal ini tentu sangat merugikan
para pihak yang berperkara, padahal mereka sudah hidup rukun berpuluh tahun
dan masyarakat membenarkan bahwa mereka adalah suami istri yang belum
pernah bercerai. Terhadap permasalahan pembuktian isbat nikah seperti ini,
penulis berpendapat boleh menggunakan persaksian testimonium de auditu
dalam penyelesaian suatu perkara.

Persaksian testimonium de auditu, dapat diterima sebagai alat bukti yang


tentu saja hakim harus memperhatikan pula tentang dari siapa pesan/ceritera itu

11
Ibid., hal. 145.
diterima, dan juga kondisi orang yang menerima atau mendengar pesan/ceritera
tersebut, sehingga nilai keterangan orang tersebut dianggap benar.

Di samping itu, permasalahan isbat nikah yang diajukan kedua suami istri,
berdasarkan pengakuan keduanya tidak tercatat. Pengakuan seperti ini menurut
penulis harus disertai pula berupa “surat keterangan tidak tercatatnya
perkawinan” yang dibuat oleh kepala Kantor Urusan Agama (KUA) setempat,
karena KUA lah yang paling mengetahui tercatat tidaknya suatu perkawinan
seseorang. Apalagi mengingat dahulu mereka menikah melalui penghulu resmi
seperti tersebut dalam kasus nomor 2 di atas. Hal ini untuk menghindari
terjadinya pencatatan perkawinan ganda manakala permohonan isbatnya
dikabulkan, sebab dimungkinkan dewasa ini orang tidak mau berurusan ke KUA
karena merasa perkawinan mereka sudah puluhan tahun dilaksanakan tidak
mempunyai akte nikah, dan ada pula yang pernah menanyakan tetapi dijawab
oleh KUA tidak tercatat, sehingga mereka memilih mengajukan isbat nikah ke
Pengadilan Agama.

Selanjutnya berkaitan permohonan isbat nikah untuk bercerai


sebagaimana didiuraikan pada kasus nomor 3 di atas, yakni suami mengajukan
isbat nikah untuk bercerai dengan istrinya. Dalam perkara ini suami harus
didudukkan sebagai “Pemohon” dan istri sebagai “Termohon”. Pada posita
permohonan Pemohon memuat tentang pelaksanaan perkawinan mereka yang
tidak tercatat dan dalam petitum meminta supaya “menetapkan sahnya
perkawinan antara Pemohon………….dengan Termohon………….yang
dilaksanakan pada tanggal…………di……….

Proses pemeriksaan isbat nikah untuk bercerai seperti ini, hakim harus
berhati-hati karena rentan terjadinya penyeludupan hukum, dan tampaknya
dewasa ini akan menjadi pilihan bagi mereka yang bermaksud untuk beristri
lebih dari satu orang melalui cara pengesahan nikah dibanding dengan prosedur
poligami menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Sebab begitu hakim
menjatuhkan penetapan yang menyatakan perkawinan Pemohon dengan
Termohon sah menurut hukum, maka segala hak keperdataan suami istri
menjadi melekat dan perkawinan mereka sudah termasuk legalistik. Dalam
konteks ini, manakala suaminya meninggal dunia sebelum pengucapan ikrar
talak dilakukan atau suaminya tidak mengucapkan ikrar talak maka segala
akibat hukum tetap ada pada suami istri.

Untuk menghindari adanya penyeludupan hukum dari pihak-pihak yang


sengaja menempuh melalui permohonan isbat nikah. Menurut hemat penulis,
setiap permohonan isbat nikah untuk bercerai, termasuk yang diajukan oleh istri
harus dibuat PUTUSAN SELA sebelum menjatuhkan putusan akhir. Dalam
putusan sela memuat sahnya suatu perkawinan. Untuk keseragaman amarnya
berbunyi:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;


2. Menetapkan sahnya perkawinan antara……dengan….yang dilaksanakan
pada tanggal…..di……;
3. Menangguhkan biaya perkara hingga putusan akhir;
Putusan sela yang merupakan satu kesatuan dengan Berita Acara ini,
tidaklah mungkin dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang sengaja
menempuh melalui isbat nikah untuk melegalkan perkawinan mereka, sehingga
dengan demikian putusan akhir yang diserahkan kepada Pemohon tidak ada lagi
mencantumkan pernyataan yang mengesahkan perkawinan mereka.

Sementara itu, terdapat pula permohonan isbat nikah yang jelas-jelas


diajukan oleh istri kedua untuk bercerai, sementara suaminya telah menghilang
dan tidak pernah kembali lagi karena takut terhadap istri pertamanya. Seperti
gambaran kasus nomor 4 di atas. Apabila hal ini terjadi, maka istri kedua
sebagai “Penggugat”, suami dan istri pertamanya masing-masing sebagai
Tergugat I dan Tergugat II.

Proses pemeriksaan dan penyelesaian permohonan isbat nikah seperti


ini, hakim harus memperhatikan kedua belah pihak dan mendudukkannya
secara proporsional dan adil, agar kelak dalam putusan nanti tidak menimbulkan
akibat serius, baik bagi Penggugat, Tergugat I, dan Tergugat II dan anak-anak
kedua belah pihak. Untuk itu dari segala aspek maslahat dan mudharat harus
dipertimbangkan dan amanat pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman hendaknya menjadi acuan dalam menerapkan
hukum di mana “hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Di samping itu hakim juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar
Konvensi Hak-Hak Anak sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 2
meliputi:

a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup kelangsungan hidup dan perkembangan, dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak12
Selain itu, tidak kalah pentingnya hakim hendaknya mempertimbangkan
pula lingkungan hidup mereka, apakah perkawinan poligami liar di lingkungan
menjadi hal yang sudah biasa dan tidak asing lagi bagi warga sekitarnya,
demikian pula situasi dan kondisi saat pernikahan poligami liar dilaksanakan
atau sesudahnya, atau hal tersebut merupakan kasuistik yang jarang terjadi.

Hakim tidak boleh khawatir dan ragu menghadapi problematika isbat


nikah yang terkait dengan poligami liar, apalagi sudah jelas ada ketentuan pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, “perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.” Hal ini menunjukkan sepanjang perkawinan itu
dilaksanakan menurut agama Islam yang terpenuhi syarat dan rukun nikah,
maka perkawinan itu adalah sah dan tak perlu lagi diragukan keabsahannya.
Sedangkan karena tidak tercatatnya perkawinan itu seperti yang disebutkan ayat
(2), tidaklah mengurangi keabsahan suatu perkawinan.

Meskipun perkawinan yang tidak tercatat ini dianggap sama dengan tidak
adanya pernikahan karena tidak dapat dibuktikan dengan buku Kutipan Akta
Nikah, tetapi secara konstitusional, negara tetap mengakui keberadaan dan hak-
hak mereka. Seperti masuknya mereka dalam daftar penduduk, pendidikan,
menjadi PNS, TNI/Polri, dan tidak menutup kemungkinan ada di antara mereka
atau keturunannya yang menjadi pejabat publik dan hakim. Jadi pada
prinsipnya, mereka juga mempunyai hak yang sama di depan hukum.

12
Lihat Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang RI
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengadilan Anak, Trinity, cet.1, 2007, hal. 5-6.
Perbedaannya hanya terletak pada tertib hukum. Perkawinan yang tercatat
adalah legistik dan yang tidak tercatat non legistik.

Masih terkait permasalahan isbat nikah seperti gambaran kasus nomor 5


di atas, di mana salah seorang suami atau istri meninggal dunia, lalu anak-anak
yang lahir dari perkawinan di bawah tangan mengajukan permohonan isbat
nikah untuk mendapatkan harta warisan. Anak-anak sebagai Pemohon dan ahli
waris lainnya sebagai Termohon. Meskipun kasus seperti ini menurut edisi
terbaru revisi Buku II Mahkamah Agung RI Tahun 2009, “pengesahan nikah
dapat digabung dengan gugatan waris,” tetapi menurut hemat penulis
permasalahan seperti ini, sebaiknya dipisah. Permohonan isbat nikah diajukan
secara tersendiri kemudian setelah memperoleh penetapan pengadilan dan
berkekuatan hukum tetap, baru gugatan waris diajukan. Hal ini akan lebih
mudah penyelesaiannya, terlebih sesuai Surat Edaran TUADA ULDILAG Nomor:
17/TUADA-AG/IX/2009 tanggal 25 September 2009 yang menganjurkan
pemisahan perkara komulasi dan sekaligus menurut hemat penulis dapat
memberikan kontribusi secara signifikan bagi penerimaan negara bukan pajak.

D. Kesimpulan

Mengingat berbagai persoalan yang ditimbulkan dari pernikahan di bawah


tangan, maka semua pihak yang terkait termasuk hakim sebagai pengambil
keputusan dalam lembaga peradilan harus terus menggali berbagai persoalan
hukum yang timbul dalam masyarakat, termasuk mencari solusi terbaik seputar
nikah di bawah tangan.

Permasalahan seputar nikah di bawah tangan yang diajukan isbat nikah,


meskipun perkaranya berbentuk voluntair apalagi yang bersifat kontentius,
hakim harus berhati-hati dan teliti dalam memutuskan persoalan yang muncul
sebagai imbas pernikahan ini, mengingat perkara ini sangat rentan dengan
manipulasi dan kepentingan terselubung.

Permohonan isbat nikah baik voluntair maupun yang bersifat kontentius


dari perkawinan tidak tercatat, tidaklah keabsahannya ditentukan ada tidaknya
pencatatan perkawinan tetapi ditentukan apakah perkawinan tersebut memenuhi
syarat dan rukun perkawinannya. Meskipun demikian, pencatatan perkawinan
tetap sangat diperlukan untuk tertibnya administrasi perkawinan di Indonesia.

Untuk menghindari terjadinya upaya penyeludupan hukum melalui


permohonan isbat nikah yang bersifat kontentius, maka hakim dalam proses
pemeriksaannya hendaknya lebih dahulu membuat putusan sela sebelum
menjatuhkan putusan akhir dan khusus permohonan isbat nikah yang
digabungkan dengan gugatan waris, sebaiknya dipisah. Permohonan isbat nikah
diajukan secara tersendiri kemudian baru gugatan waris. Hal ini untuk
memudahkan penyelesaiannya.

Demikian makalah ini penulis sajikan pada acara rapat kerja Mahkamah
Agung RI Tahun 2009, semoga ada manfaatnya. Segala saran dan pemikiran
yang konstruktif dari para peserta Rakerda sangat diharapkan demi
kesempurnaannya, dan sebelumnya diucapkan terima kasih.

Banjarmasin, 09 November 2009

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

Agung, Mahkamah Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama Buku II Edisi
2007, Jakarta, 2008.

Dally, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. ke-2, 2005

Djamil, Fathurrahman, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuensinya Terhadap Anak dan
Harta, Jakarata: GT2 dan GG Pas, Mei 2007.

Lange, Marcus, Kata Pengantar Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pemerintah, Jakarta:
GT2 dan GG Pas.

Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005.

____________, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam, Jakarta: Kencana, 2006.

Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan, Himpunan Peraturan Per Undang-Undangan


Dalam Limgkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2004.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang RI


Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pengadilan Anak, Trinity, cet ke-1, 2007.

Yanggo, Huzaemah Tahido, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan


Hukum Islam, Jakarta: GT2 dan GG Pas.

Anda mungkin juga menyukai