PENDAHULUAN
Untuk menjawab tantangan dan isu-isu global tersebut oleh perusahaan maka
diperlukan adanya sistem pengelolaan perusahaan yang baik dan setiap personil yang
mengedepankan etika, agar nantinya misi dan visi perusahaan yang telah digariskan mampu
tercapai. Bahkan GCG telah dijadikan bagian dari keunggulan bersaing (competitive
advantage) perusahaan guna memasuki pasar global dan meraih kepercayaan dari para
stakeholder(supplier, investor, konsumen, pemerintah, karyawan dan masyarakat) (Chi-Kun
Ho, 2005). Isu ini menjadi penting karena masyarakat internasional saat ini menuntut suatu
perusahaan yang ingin bersaing dipasar internasional harus mampu bersikap terbuka
(transparency), bertanggung jawab (responsibility), berkeadilan (fairness), mandiri
(independency) dan memiliki kredibilitas (accountability). Dengan demikian diharapkan
dengan adanya perubahan dan transformasi peran dan fungsi sumber daya manusia dari bersifat
mendasar dan tradisional menjadi peran dan fungsi bisnis dan strategis diharapkan akan mampu
mewujudkan sistem tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan mampu
bertanggung jawab secara sosial (corporate social responsibility) sehingga dapat membawa
perusahaan mampu berbicara dan menjawab tantangan pasar global sekaligus meningkatkan
keunggulan bersaingnya (competitive advantage).
Etika bisnis adalah salah satu yang terpenting dalam upaya penerapan GCG tersebut.
Menerapkan etika bisnis secara konsisten hingga dapat mewujudkan iklim usaha yang sehat,
efisien dan transparan merupakan salah satu sumbangsih besar yang dapat diberikan oleh dunia
usaha untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan mampu memberikan
manfaat yang besar bagi seluruh stakeholder-nya. Belakangan banyak muncul pertanyaan
mengenai apakah etika bisnis merupakan suatu hal yang penting bagi perusahaan dalam
menjalankan kegiatan bisnisnya. Seandainya tidak dilaksanakan, suatu entitas tetap dapat
berjalan dengan baik dan mmberikan keuntungan.
Jika etika bisnis yang sehat adalah yang dicapai oleh perusahaan, maka menerapkan
suatu prinsip Good Corporate Governance oleh suatu perusahaan dapat sebagai salah satu satu
alat untuk mencapai etika bisnis yang baik tersebut. Pentingnya tata kelola perusahaan yang
sehat untuk stabilitas pasar dan kepercayaan pasar penerapan GCG sebagai bagian dari etika
bisnis ini pada gilirannya dapat mempengaruhi pasar dan menjadi bahan pertimbangan yang
penting dalam proses pengambilan keputusan. Contoh, pemegang saham menanamkan
modalnya untuk membiayai perusahaan, dan tentu saja mereka mengharapkan agar perusahaan
dikelola dengan baik untuk memastikan bahwa investasinya aman dan dapat memberikan
tingkat pengembalian yang tinggi. Perusahaan tidak dapat memberikan pengembalian terhadap
investasi pemegang saham, jika produk yangdihasilkannya tidak dibeli oleh konsumen. Maka
penting bagi perusahaan untuk memastikan bahwa kebutuhan konsumen dipenuhi dengan
barang dan jasa yang kompetitif.
DEFINISI
Kata governance berasal dari bahasa Perancis gubernance yang berarti pengendalian.
Selanjutnya kata tersebut dipergunakan dalam konteks kegiatan perusahaan atau jenis
organisasi yang lain, menjadicoporate governance. Dalam bahasa Indonesia corporate
governance diterjemahkan sebagai tata kelola atau tata pemerintahan perusahaan. Good
Corporate Governance sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu pola hubungan,
sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (Direksi, Dewan Komisaris,
RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara
berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan
stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
(Sutojo dan Aldridge, 2008).
Istilah Good Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Istilah
Good Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee di
tahun 1992 yang menggunakan istilah tersebut dalam laporan mereka yang kemudian
dikenal sebagai Cadbury Report. Laporan ini dipandang sebagai titik balik (turning
point) yang sangat menentukan bagi praktik Good Corporate Governance di seluruh
dunia. Komite Cadbury, Tjager (2003) mendefinisikan Good Corporate Governance,
sebagai sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar
mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh
perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban
kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik, direktur,
manajer, pemegang saham dan sebagainya.
Menurut FCGI (2001) pengertian Good Corporate Governance adalah seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan
intern dan esktern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau
dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Menurut OCED ( Organization for economic co-operation and development)
Mendefenisikan corporate governancesebagai sekumpulan hubungan antara pihak
manajemen perusahaan, board dan pemegang saham dan pihak lain yang mempunyai
kepentingan dengan perusahaan. Good corporate governancejuga mensyaratkan adanya
struktur, perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja.
Menurut Bank Dunia (World Bank) Good corporate governance adalah kumpulan
hukum, peraturan – peraturan dan kaidah – kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat
mendorong kinerja sumber – sumber perusahaan secara efisien, menghasilkan nilai
ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun
masyarakat sekitar secara keseluruhan.
Menurut Prakarsa dari Universitas Indonesia (kalangan akademis) Good corporate
governaceadalah mekanisme administratif yang mengatur hubungan – hubungan
antara menejemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham dan kelompok
– kelompok kepentingan (stakeholder) yang lain. Hubungan – hubungan ini
dimanifiestasikan dalam bentuk berbagai aturan permainan dan sistem intensif
sebagai framework yang diperlukan untuk menentukan tujuan – tujuan serta
pemantauan kinerja yang dihasilkan.
Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos
sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal
yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara
berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah
Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang
harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau
segolongan masyarakat atau profesi”.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang
oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul
kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Etika merupakan suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh
yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran yang
kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian
profesi kepada masyarakat yang memerlukan.
Etika adalah Seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dan yang buruk,
merupakan bidang ilmu yang bersifat normatif berperan menentukan mana yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dalam Al Qur’an disebut dengan khuluk (etika), Khayr
(kebaikan), Birr (kebenaran), Qist (persamaan), ‘adl (kesetaraan dan keadilan), haqq
(kebenaran dan kebaikan) dan ma’ruf (mengetahui dan menyetujui).
Sedangkan etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan
usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan. Penerapan nilai-nilai
perusahaan dan etika bisnis secara berkesinambungan mendukung terciptanya budaya
perusahaan. Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yaitu yang mencangkup
panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi,
kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang
tidak etis.
TUJUAN
GCG bagi suatu perusahaan dimaksudkan sebagai pedoman manajemen dan pegawai
dalam menjalankan praktek bisnis yang memenuhi persyaratan Good Governance.Sedangkan
tujuannya adalah :
Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung oleh pemegang
saham akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.
Mengurangi biaya modal (Cost of Capital).
Meningkatkan nilai saham perusahaan di mata publik dalam jangka panjang.
Menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan perusahaan terhadap
keberadaan perusahaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan.
Setiap perusahaan harus membuat pernyataan tentang kesesuaian penerapan GCG dengan
Pedoman GCG ini dalam laporan tahunannya. Pernyataan tersebut harus disertai laporan
tentang struktur dan mekanisme kerja organ perusahaan serta informasi penting lain yang
berkaitan dengan penerapan GCG. Dengan demikian, pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya, termasuk regulator, dapat menilai sejauh mana Pedoman GCG pada
perusahaan tersebut telah diterapkan.
Penerapan GCG memiliki dua faktor yang memegang peranan yang menentukan
keberhasilannya sebagai berikut, seperti dikutip dari Ristifani (2009) :
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal dari
dalam perusahaan. Beberapa factor yang dimaksud antara lain:
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat
mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Di antaranya:
RUANG LINGKUP
Pertanggungjawaban (Responsibility).
Yaitu kesesuaian di dalam pengelolahan perusahaan terhadap peraturan perundang -
undangan yang berlaku dan prinsip - prinsip korporasi. Tanggung jawab perusahaan
tidak hanya diberikan kepada pemegang saham juga kepada stakeholdertetapi juga
kepada pihak – pihak yang berkepntingan lainnya.
Transparansi (Transparency)
Yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan
keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai
perusahan. Perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan
dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan mengenai
struktur dan operasi korporasi.
Akuntabilitas (Accountability)
Yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan tanggung jawab organ sehingga pengelolaan
perusahaan terlaksana secara efektif. Perusahaan harus dapat mempertanggung
jawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.
Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness)
Yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak – hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang – undang yang berlaku. Dalam
melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan
dan kewajaran.
Independensi (Independency)
Yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan
kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang – undang yang berlaku dan prinsip – prinsip korporasi yang
sehat. Untuk melancarkan pelaksanaan asas Good Corporate Governance,
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ.
Etika adalah cabang filosofi yang menyatakan tentang perilaku apa yang benar atau
yang seharusnya dilakukan (Brooks & Paul, 2012:130). Etika dapat pula diartikan sebagai
pandangan hidup untuk berperilaku sesuai norma yang berlaku. Ada empat teori etika yang
biasanya digunakan yaitu utilitarianism, deontology, justice dan fairness, dan virtue ethics.
Kemudian teori virtue ethics menyatakan bahwa kebahagiaan dalam hidup diperoleh
dengan cara menjalani hidup dengan kebaikan. Sehingga virtue ethics lebih berfokus pada
moralitas pengambil keputusan bukan seperti utilitarianism yang membahas dari sisi
konsekuensi dari perbuatan atau seperti deontology yang membahas dari sisi motivasi
pengambil keputusan.
Kemudian KNKG (2006) menyatakan prinsip dasar yang harus dimiliki perusahaan.
Perusahaan harus memiliki nilai yang menggambarkan sikap moral dalam menjalankan
usahanya, melaksanakan etika bisnis secara berkesinambungan sehingga membentuk budaya
perusahaan, dan rumusan etika bisnis dituangkan dalam pedoman perilaku agar dapat
diterapkan.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita mendengar dan menyaksikan banyaknya
skandal dan kasus-kasus kecurangan yang terjadi di perusahaan besar yang melibatkan
akuntan. Kita juga dapat menyaksikan betapa besarnya dampak kerugian masyarakat yang
ditimbulkan oleh penyalahgunaan keahlian dalam membuat informasi akuntansi yang
menyesatkan. Sampai saat ini kita masih dihadapi oleh berita-berita yang mengabarkan
makin maraknya skandal bisnis dalam berbagai bentuk manipulasi laporan keuangan yang
melibatkan para akuntan dan eksekutif puncak perusahaan-perusahaan besar berskala global
yang merugikan banyak pihak yang berkepentingan. Tahun 2009, Bernard L. Madoff, mantan
”CEO NASDAG” (Bursa Saham untuk bidang Teknologi Informasi terbesar di dunia) di
Amerika Serikat melakukan manipulasi informasi yang merugikan para investor sejumlah US
150 milard (Wilopo, 2010). Dan di Indonesia sendiri, kita sekarang lagi dihebohkan oleh
sejumlah kasus korupsi, kolusi, manipulasi dan penyuapan baik yang terjadi di kalangan
pemerintahan, perbankan maupun di legislatif, baik yang dilakukan oleh para pejabat dan
petinggi maupun yang dilakukan oleh pegawai atau karyawan. Hal ini semua menunjukkan
kepada kita betapa umat manusia sekarang ini sedang mengalami krisis moral.
Etika dalam profesi akuntan sendiri sudah terdapat etika profesi, akan tetapi etika ini
dibangun atas rasionalisme sekuler dan ternyata tidak mampu menghindari nafsu keserakahan
manusia terhadap keuntungan material itu. Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada
masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan
masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut
menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan
oleh anggota profesinya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa etika sangat diperlukan dalam akuntansi,
terutama kesadaran diri dari pada para akuntan untuk bersikap etis. Kesadaran diri ini dapat
diperoleh dari pemahaman dan pengalaman spiritual seseorang.
Profesi akuntansi merupakan sebuah profesi yang menyediakan jasa atestasi maupun
non-atestasi kepada masyarakat dengan dibatasi kode etik yang ada. Akuntansi sebagai profesi
memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang
telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban yaitu;
kompetensi, objektif dan mengutamakan integritas. Peran akuntan dalam perusahaan tidak bisa
terlepas dari penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam perusahaan.
Meliputi prinsip kewajaran (fairness), akuntabilitas (accountability), transparansi
(transparency), dan responsibilitas (responsibility). Dalam hubungannya dengan prinsip GCG,
peran akuntan secara signifikan di antaranya :
Prinsip Kewajaran.
Laporan keuangan dikatakan wajar bila memperoleh opini atau pendapat wajar tanpa
pengecualian dari akuntan publik. Laporan keuangan yang wajar berarti tidak
mengandung salah saji material, disajikan secara wajar sesuai prinsip akuntansi
berterima umum di Indonesia (dalam hal ini Standar Akuntansi Keuangan). Adanya
kewajaran laporan keuangan dapat mempengaruhi investor membeli atau menarik
sahamya pada sebuah perusahaan. Jelaslah bahwa kegunaan informasi akuntansi dalam
laporan keuangan akan dipengaruhi adanya kewajaran penyajian.
Prinsip Akuntabilitas.
Merupakan tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif, dengan
dibentuknya komite audit. Bapepam mensyaratkan, dalam keanggotaan komite audit,
minimum sebanyak 3 orang dan salah satu anggotanya harus akuntan. Komite audit
mempunyai tugas utama melindungi kepentingan pemegang saham ataupun pihak lain
yang berkepentingan dengan melakukan tinjauan atas reliabilitas dan integritas
informasi dalam laporan keuangan, laporan operasional serta parameter yang
digunakan untuk mengukur, melakukan klasifikasi dan penyajian dari laporan tersebut.
Prinsip Transparansi.
Prinsip dasar transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disampaikan
perusahaan. Kepercayaan investor akan sangat tergantung pada kualitas penyajian
informasi yang disampaikan perusahaan. Oleh karena itu akuntan manajemen dituntut
menyediakan informasi jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan
indikator yang sama.
Prinsip Responsibilitas.
Prinsip ini berhubungan dengan tanggungjawab perusahaan sebagai anggota
masyarakat. Prinsip ini juga berkaitan dengan kewajiban perusahaan untuk mematuhi
semua peraturan dan hukum yang berlaku. Seiring perubahan sosial masyarakat yang
menuntut adanya tanggungjawab sosial perusahaan, profesi akuntan pun mengalami
perubahan peran. Pandangan pemegang saham dan stakeholderlain saat ini tidak hanya
memfokuskan pada perolehan laba perusahaan, tetapi juga memperhatikan
tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Mengacu pada teori egoism bahwa setiap manusia memiliki egoism di dalam dirinya
masing-masing, maka akan ada benturan kepentingan antara kepentingan manajemen,
kepentingan pemegang saham, dan kepentingan stakeholder lainnya. Setiap entitas tersebut
memiliki kepentingan masing-masing dalam meningkatkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
Sementara itu, good corporate governance akan terlaksana jika setiap perusahaan
memiliki integritas yang tinggi dalam menjalankan usahanya. Dengan integritas yang tinggi,
perusahaan akan memperoleh kepercayaan dari para stakeholder sehingga dapat terus
menjalankan usahanya untuk jangka panjang. Misalnya dengan memberikan pengembalian
yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kreditur atau pemegang saham, perusahaan akan
mendapatkan kepercayaan dalam mengelola dana sehingga mendapatkan pinjaman atau modal
secara berkelanjutan. Maka perusahaan harus juga menyediakan informasi yang akurat dan
relevan. Artinya perusahaan dituntut untuk memiliki akuntabilitas dan transparansi yang tinggi.
Untuk dapat mewujudkan integritas yang tinggi tersebut, perusahaan harus menerapkan
asas-asas etika. Apabila perusahaan menerapkan perilaku-perilaku etis dalam setiap keputusan
yang dibuatnya, integritas tinggi tersebut akan muncul secara otomatis. Ulitarianism dan
deontology dapat digunakan untuk melahirkan perilaku etis dalam pengambilan keputusan
yang tidak hanya memperhatikan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok, melainkan
kepentingan masyarakat secara keseluruhan mencakup kepentingan perusahaan dan
stakeholder.
PENUTUP
Good corporate governance dan etika merupakan konsep yang berkesinambungan dan
tidak dapat dipisahkan. Perusahaan harus menerapkan perilaku-perilaku etis untuk dapat
melaksanakan good corporate governance. Dengan begitu, dapat ditentukan titik temu antara
kepentingan perusahaan (manajemen) dan kepentingan para stakeholder.