Anda di halaman 1dari 25

I.

KONSEP TEORI
A. Definisi
Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat
terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak.
Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang
disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan
meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan
ensefalitis.
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya
yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis.17 Meningitis
adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri,
virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan
ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing,
protozoa, jamur, ricketsia, atau virus.
Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar
klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis.
Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan
dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan
respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan
serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping
gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen
etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus.
B. Anatomi Lapisan Otak
Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi
struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan
serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
a. Lapisan Luar (Durameter)
Durameter disebut juga selaput otak keras atau pachymeninx. Durameter dapat
dibagi menjadi durameter cranialis yang membungkus otak dan durameter
spinalis yang membungkus medula spinalis. Di samping itu, durameter masih
dapat dibagi lagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan meningeal yang lebih dekat ke
otak (lapisan dalam) dan lapisan endostium yang melekat erat pada tulang
tengkorak.
b. Lapisan Tengah (Araknoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan durameter
dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang
meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan di antara durameter dan araknoid
disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah
bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang
menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh cairan
serebrospinal, bagian ini dapat dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak
yang disebut lumbal fungsi.
c. Lapisan dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput tipis yang kaya akan pembuluh darah kecil
yang menyuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak dan lapisan ini melekat
erat pada permukaan luar otak atau medula spinalis. Ruangan di antara araknoid
dan piameter disebut subaraknoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel
radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang
belakang.
C. Patofisiologi
Infeksi TB pada system saraf pusat disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Seperti semua jenis infeksi TB, infeksi SSP dimulai
dari inhalasi partikel yang infektif. Dalam droplet penderita TB mengandung
sejumlah bakteri TB yag dapat mencapai alveoli dan bereplikasi dalam makrofag
(Scheld, 2004). Sekitar 2-4 minggu akan dibentuk respon imun. Kumpulan
bakteri yang diserang, limfosit, dan sel-sel yang mengelilinginya membentuk
suatu focus perkejuan. Fokus ini akan diresorpsi oleh makrofag disekitarnya dan
meninggalkan bekas infeksi. Bila, focus terlalu besar makan akan dibentuk
kapsul fibrosa yang akan mengelilingi focus tersebut, namun bakteri yang masih
hidup didalamnya dapat mengalami reaktivasi kembali. Jika pertahanan tubuh
rendah, maka focus tersebut akan semakin membesar karena terjadi proliferasi
bakteri. Pada penderita dengan sistem imunitas yang lemah, focus infeksi
tersebut akan mudah ruptur dan menyebabkan TB ekstra paru dan dapat
menyerang meningen dan jaringan otak (Van de Berk, 2004).
D. Insidensi
Sebelum maraknya penggunaan antibiotika, ditemukan 1000 anak dengan
TB akif di New York sekitar pada tahun 1930. Hampir 15% diantaranya
menderita meningitis TB dan meninggal. Pada awal tahun 2003, menurut WHO
terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan 70.000 diantaranya
menderita meningitis (Balentine, 2010). WHO juga melaporkan 9,27 juta kasus
baru dan 1,3 juta kasus ME- TB yang berhubungan dengan HIV pada tahun 2007
(Sengoz, 2011).
E. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis (TBC) adalah basil gram positif yang
memiliki panjang sekitar 2.4 mikrometer. Bakteri ini masuk ke dalam paru-paru
dengan cara inhalasi (dihirup) dan menyebar ke kelenjar getah bening disekitar
bakteri pertama kali masuk dan sebagian masuk ke dalam peredaran darah
seluruh tubuh dan mencapai organ-organ lain. Apabila bakteri yang berhasil
mencapai lapisan meningens (selaput pembungkus otak dan sumsum tulang),
dalam jumlah banyak, meningitis dapat terjadi.

F. Manifestasi Klinis
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh
mngejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Kesadaran menurun , tanda kernig
dan Brudzinki positif.
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia penderita
serta virus apa yang menyebabkan. Gejala yang paling umum adalam demam
tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu penderita merasa
sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta
penglihatan menjadi kurang jelas.
Gejala meningitis meliputi:
1. Gejala Infeksi akut
 Panas
 Nafsu makan menurun
 Anak Lesu
2. Gejala kenaikan tekanan Intra Kranial
 Kesadaran menurun
 Kejang
 Ubun – ubun besar menonjol
3. Gejala rangsang meningeal
 Kaku kuduk
 Kernig
 Brudzinski
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan
dalam tiga stadium1:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
 Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
 Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan
neurologis
Gejala: * demam (tidak terlalu tinggi)
* rasa lemah
* nafsu makan menurun (anorexia)
* nyeri perut
* sakit kepala
* tidur terganggu
* mual, muntah
* konstipasi
* apatis
* irritable1
 Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan
perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi,
apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten.4,7,9 .
 Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III1.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
 Disebut juga fase meningitik, yang ditandai dengan memberatnya penyakit.
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak/meningen.1,4
 Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas
lengkung serebri.
 Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada
bayi.
 Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di
dasar otak  menyebabkan gangguan otak / batang otak1,3.
 Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan
kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema
ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan
fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul
disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark
bilateral atau edema otak yang berat1,3.
 Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak
yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya
makin menurun.
 Gejala:
* Akibat rangsang meningen : sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama)5
* Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
- disorientasi
- bingung
- kejang
- tremor
- hemibalismus / hemikorea
- hemiparesis / quadriparesis
- penurunan kesadaran
* Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
- ptosis - reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur

Gambar 3. Kaku Kuduk (Nuchal Rigidity) Pada Penderita Meningitis

3. Stadium III (koma / fase paralitik)1


 Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu
 Gangguan fungsi otak semakin jelas.
 Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi.
 Gejala: * pernapasan irregular
* demam tinggi
* edema papil
* hiperglikemia
* kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk,
stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme,
opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.
* nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
* hiperpireksia
* akhirnya, pasien dapat meninggal.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan
yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien
meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan
terlambat atau tidak adekuat

G. Pathway
Mycobaterium Tuberculosis masuk tubuh
Tersering melalui inhalasi
Jarang pada kulit, saluran cerna
Multiplikasi
Infeksi paru / fokus infeksi lain
Penyebaran hematogen
Meningens
Membentuk tuberkel
Bakteri M.Tuberculosis tidak aktif / dormain
Bila daya tahan tubuh menurun
Rupture tuberkel meningen
Pelepasan Bakteri ke ruang subarachnoid dan encephalon
MENINGOENSEFALITIS TUBERKULOSA

Eksudat purulent menyebar ke dasar Aktivitas makrofag dan virus Mengikuti cairan darah sistemi
otak dan medulla spinalis
Pelepasan zat pirogen endogen Penyebaran infeksi sistemik
Kerusakan Spinalis
Merangsang kerja berlebihan dari Sepsis
CO2 Meningkat PGE2 di hipothalamus

Instabil termoregulasi Resiko Tinggi Infeksi


Permeabilitas vaskuler pada serebri

Suhu tubuh meningkat


Permeabilitas vaskuler pada serebri

Hipertermia
Transudasi cairan

Edema serebri Perfusi jaringan serebral tidak


efektif
Vasospasme pembuluh
Volume tekanan otak
darah arteri TIK meningkat Nyeri kepala Nyeri Akut

Sirkulasi terhenti

Gangguan perfusi jaringan Kesadaran menurun Penumpukan sekret Ketidakefektifan


otak
bersihan jalan napasa
VI. Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Anamnesis
Dapat ditemukan riwayat kontak dengan pasien TB, malaise, anoreksia,
demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan
kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial, hemiparese, atau gangguan
neurologis lain (Meiti F, 2011).

2.8.2 Pemeriksaan fisik


Sering ditemukan tanda klinis berupa kaku kuduk (40-80%), kebingungan
(10-30%), penurunan kesadaran (30-60%), parese saraf kranial (30-50%),
hemiparese (10-20%), paraparese (5-10%), dan kejang (50% pada anak-anak dan
5% pada dewasa) (Twaithes G et al, 2009).

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium rutin : tidak khas, dapat ditemukan leukosit yang meningkat,
normal, atau menurun, diff count bergeser ke kiri, kadang-kadang
ditemukan hiponatremia akibat SIADH (Meiti F, 2011).
2. Analisa CSF :
a. Jumlah lekosit 100-500/L, biasanya predominan limfosit
b. Protein 100-500 mg/dl
c. Glukosa < 45 mg/dl
d. Warna jernih atau xantochrom
e. Terdapat peningkatan tekanan pada LP, 40-75% pada anak dan 50% pada
dewasa (Meiti F, 2011) (Marra,2004).
2. Mikrobiologi : ditemukan M.tuberculosis pada kultur CSS merupakan gold
standard, tetapi sangat sulit, lebih dari 90% hasilnya negative (Meiti F,
2011).
3. CSF PCR (Polymerase Chain Reaction) spesifik tetapi tidak sensitive
(Marra CM, 2004).
4. Pada pemeriksaan foto rontgen thoraks ditemukan tuberkulosis aktif pada
paru dan dapat sembuh sampai 50% pada dewasa dan 90% pada anak-anak
(Meiti F, 2011).
5. Hasil tes PPD tuberkulin negatif pada 10-15% anak dan 50% pada dewasa
(Meiti F, 2011).
6. CT Scan kepala : Dapat ditemukan kelainan pada pemeriksaan CT scan
seperti hidrosefalus, penyangatan meningeal, lesi massa (tuberkuloma,
tuberculous abscess), dan infark. Semua pasien dengan kecurigaan
meningitis TB sebaiknya dilakukan pemeriksaan neuroimaging, idealnya
dilakukan sebelum dilakukan LP (Marra CM, 2004) (Ganiem AR, 2010).
7. Funduskopi : Dapat terlihat adanya tuberkel pada khoroid, dan edema papil
yang menandakan adanya peninggian tekanan intracranial (Meiti F, 2011).

VIII. Penatalaksanaan
1.Perawatan umum
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Mula – mula cairan diberikan secara infus dalam jumlah yang cukup dan
jangan berlebihan.
c. Bila gelisah diberi sedativa seperti Fenobarbital atau penenang.
d. Nyeri kepala diatasi dengan analgetika.
e. Panas diturunkan dengan :
Kompres es
Paracetamol
Asam salisilat

Pada anak dosisnya 10 mg/kg BB tiap 4 jam secara oral


f. Kejang diatasi dengan :
Diazepam
Dewasa : dosisnya 10 – 20 mg IV
Anak : dosisnya 0,5 mg/kg BB IV
Fenobarbital
Dewasa : dosisnya 6 – 120 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 6 mg/kg BB/hari secara oral
Difenil hidantoin
Dewasa : dosisnya 300 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 9 mg/kg BB/hari secara oral
g. Sumber infeksi yang menimbulkan meningitis purulenta diberantas
dengan obat – obatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan :
Manitol
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit dan dapat
diulangi 2 kali dengan jarak 4 jam
Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan dosis pertama 10 mg
lalu diulangi dengan 4 mg setiap 6 jam. Kortikosteroid masih
menimbulkan pertentangan. Ada yang setuju untuk memakainya tetapi
ada juga yang mengatakan tidak ada gunanya.
Pernafasan diusahakan sebaik mungkin dengan membersihkan
jalan nafas.
i. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau
(shunting).
j. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama 2 – 3
minggu, bila gagal dilakukan operasi.
k. Fisiotherapi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

2.Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin
tanpa menunggu hasil biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti
dengan antibiotika yang sesuai. Pada terapi meningitis diperlukan
antibiotika yang jauh lebih besar daripada konsentrasi bakterisidal
minimal, oleh karena :
Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid
berarti daya tahan host telah menurun.
Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit
dan fagositosis tidak efektif.
Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan
komplemen dalam likuor rendah.
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai
spektrum luas baik terhadap kuman gram positif, gram negatif dan
anaerob serta dapat melewati sawar darah otak (blood brain barier).
Selanjutnya antibiotika diberikan berdasarkan hasil test sensitivitas
menurut jenis bakteri.
Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :
a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis : Neonatus : 50 – 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Umur 1 – 2 bulan : 100 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Umur > 2 bulan : 300 – 400 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 8 – 12 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis: Prematur : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Neonatus : 7,5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Bayi dan dewasa : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis: Prematur : 25 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi genap bulan : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Anak : 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.

Dewasa : 4 – 8 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
d. Sefalosporin
Diberikan secara intravena
Sefotaksim
Dosis : Prematur & neonatus : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi & anak : 50 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2–4 kali
pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 4 – 6 jam.
Bila fungsi ginjal jelek, dosis diturunkan.
Sefuroksim
Dosis : Anak : 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 2 gram tiap 6 jam

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Anamnesa
1. Identitas:
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk
rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. Identitas
ini digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang lain. Jenis kelamin,
umur dan alamat dapat mempercepat atau memperberat keadaan penyakit
infeksi. Meningoensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.
2. Keluhan utama:
Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Mula-mula pasien gelisah , muntah-muntah , panas badan meningkat, sakit
kepala.
4. Riwayat penyakit dahulu:
Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah
menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung, telinga dan
tenggorokan.
5. Riwayat kesehatan keluarga:
Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh:
Herpes dan lain-lain. Bakteri contoh: Staphylococcus Aureus, Streptococcus ,
E. Coli , dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik

B1 (Breathing) : Perubahan-perubahan akibat peningkatan tekanan intra


cranial menyebabakan kompresi pada batang otak yang
menyebabkan pernafasan tidak teratur. Apabila tekanan
intrakranial sampai pada batas fatal akan terjadi
paralisa otot pernafasan.
B2 (Blood) : Adanya kompresi pada pusat vasomotor menyebabkan
terjadi iskemik pada daerah tersebut, hal ini akan
merangsaang vasokonstriktor dan menyebabkan
tekanan darah meningkat. Tekanan pada pusat
vasomotor menyebabkan meningkatnya transmitter
rangsang parasimpatis ke jantung.
B3 (Brain) : Kesadaran menurun. Gangguan tingkat kesadaran dapat
disebabkan oleh gangguan metabolisme dan difusi
serebral yang berkaitan dengan kegagalan neural akibat
prosses peradangan otak.
B4 (Bladder) : Biasanya pada pasien meningo ensefalitis kebiasaan
miksi dengan frekuensi normal.
B5 (Bowel) : Penderita akan merasa mual dan muntah karena
peningkatan tekanan intrakranial yang menstimulasi
hipotalamus anterior dan nervus vagus sehingga
meningkatkan sekresi asam lambung.
B6 (Bone) : Hemiplegi

 Pola aktifitas : Aktifitas tirah baring, pola istirahat terganggu dengan


dan istirahat adanya kejang / konvulsif

 Makan dan : Mual muntah, disertai dengan kesulitan menelan,


minum sehingga membutuhkan bantuan NGT dalam
pemenuhan nutrisi
 Neurosensori : Terjadi kerusakan pada nervus kranialis, yang
terkadang menyebabkan perubahan persepsi sensori.
Kaku kuduk (+), pemeriksaan kernig sign (+),
Burdinzki (+)
 Integritas ego : Perubahan status mental dari letargi sampai koma

 Kenyamanan : Terdapat nyeri kepala karena peningkatan TIK akibat


edema serebri
 Keamanan : Perubahan dalam fungsi mental, tonus otot yang tak
terkoordinasi sehingga diperlukan pengaman disamping
tempat tidur sampai restrain pada ekstremitas

2. Diagnosa Keperawatan
1) Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan edema
serebral.
2) Nyeri akut berhubungan dengan TIK meningkat
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
secret
4) Hipertermi berhubungan dengan instabil termoregulasi
5) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penyebaran infeksi sistemik
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Perfusi jaringan serebral tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri
1. Monitoring tanda-tanda vital 1. Sebagai acuan dasar
efektif berhubungan dengan selama 3x24 jam, perfusi jaringan serebral
2. Monitoring tingkat kesadaran
dalam pemberian
edema serebral menjadi adekuat dengan kriteria hasil: 3. Tinggikan kepala di tempat
1. Tanda vital dalam batas normal intervensi lebih lanjut
tidur 15-30 derajat.
TD : 120/80 mmHg 2. Penurunan tingkat
N : 60-100 x/menit
kesadaran pasien akan
S : 36,5-37,5 0 C
Kolaborasi
RR : 20-22 x/menit memerlukan tindakan
2. Menunjukkan peningkatan 1. Berikan cairan iv (larutan
yang intensif
kesadaran yang berarti hipertonik, elektrolit ). 3. Peningkatan aliran vena
2. Berikan obat : steroid, dari kepala akan
clorpomazin, asetaminofen menurunkan TIK

1. Meminimalkan fluktuasi
dalam aliran vaskuler dan
TIK.
2. Menurunkan
permeabilitas kapiler
untuk membatasi edema
serebral, mengatasi
kelainan postur tubuh
atau menggigil yang
dapat meningkatkan TIK,
menurunkan konsumsi
oksigen dan resiko
kejang
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri
1. Monitoring tanda-tanda vital 1. Sebagai acuan dasar
dengan TIK meningkat selama 3x24 jam, nyeri dapat berkurang
2. Kaji skala nyeri dengan
dalam pemberian
ataupun hilang dengan kriteria hasil:
teknik PQRST
1. Tanda vital dalam batas normal intervensi lebih lanjut
4. Ajarkan pada pasien terkait
TD : 120/80 mmHg 2. Mengetahui tingkat atau
N : 60-100 x/menit dengan teknik distraksi nyeri
skala nyeri yang
S : 36,5-37,5 0 C
(nafas dalam, berbincang-
dirasakan oleh pasien
RR : 20-22 x/menit
bincang dengan pasien) 3. Merupakan teknik non
2. Pasien mampu mengatasi nyeri 5. Berikan lingkungan yang
farmakologis dalam
3. Skala nyeri berkurang
kondusif
4. Pasien menunjukkan ekspresi wajah menurunkan rasa nyeri
Kolaborasi 4. Keramaian atau suasana
tidak menahan nyeri
1. Memberikan terapi analgetik gaduh akan menambah
2. Menganjurkan penggunaan
ketidaknyamanan yang
TENS
dirasakan pasien
1. Merupakan terapi secara
farmakologis dalam
penurun sensasi nyeri
2. TENS mampu
memblokir sensasi nyeri
yang dirasa pada pusat
nyeri di otak
Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri 1. Sebagai acuan dasar
1. Monitoring BB, TB, Lila
jalan nafas berhubungan selama 3x24 jam, intake nutrisi tubuh dalam pemberian
2. Kaji intake output makanan
dengan penumpukan sekret menjadi adekuat dengan kriteria hasil: intervensi terkait dengan
dan cairan
1. BB dan Lila dalam batas normal
3. Anjurkan penggunaan NGT pemenuhan nutrisi
2. Hasil pemeriksaan Hb dan albumin
2. Mengetahui intake
bila pasien kesulitan menelan
dalam batas normal
maupun output makanan
(Hb : 13,0 mg/dl dan albumin ) atau mengalami mual muntah
dan cairan pasien
yang tak terkontrol
3. Merupakan alternatif
4. Monitoring kadar Hb maupun
pemberian nutrisi pada
kadar albumin
pasien dengan gangguan
menelan maupun
Kolaborasi
keadaan mual muntah tak
terkontrol
1. Mengkonsultasikan
4. Kekurangan albumin
dengan ahli gizi terkait
akan meningkatkan
diit yang sesuai nutrisi resiko infeksi, dan kadar
pasien Hb yang rendah akan
meminimalkan
pendistribusian O2 oleh
oksihemoglobin
1. Merupakan intervensi
khusus dalam rencana
pemberian diit yang tepat
pada pasien, dan
mengetahui kandungan
maupun takaran nutrisi
2. yang tepat pada pasien.

Hipertermi berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri 1. Sebagai acuan dasar
1. Monitoring tanda-tanda vital
dengan instabil termoregulasi selama 3x24 jam, suhu tubuh dalam batas dalam pemberian
2. Observasi adanya reaksi
normal dengan kriteria hasil: intervensi lebih lanjut
kejang
1. Tanda vital dalam batas normal
3. Anjurkan penggunaan bila didapatkan suhu
TD : 120/80 mmHg
N : 60-100 x/menit pakaian tipis tubuh yang meningkat
S : 36,5-37,5 0 C 4. Berikan kompres air dingin
sebagai respon
RR : 20-22 x/menit saat terjadi hipertermia
peningkatan laju
2. Tidak ada reaksi konvulsi / kejang
Kolaborasi metabolisme
2. Konvulsi / kejang
Berikan terapi antipiretik
merupakan respon
sesuai indikasi
lanjutan dari peningkatan
laju metabolisme yang
signifikan

3. Pakaian yang tipis


mampu menyerap
keringat sebagai hasil
metabolisme tubuh
4. Bertujuan menurunkan
suhu tubuh yang tinggi

1. Merupakan terapi secara


farmakologis dalam
rangka menurunkan suhu
tubuh yang tinggi
Resiko tinggi infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Mandiri
1. Monitoring tanda-tanda vit
berhubungan dengan selama 3x24 jam, tidak didapatkan tanda-
penyebaran infeksi sistemik tanda infeksi kriteria hasil: 2. Beri tindakan isolasi sebagai 1. Sebagai acuan dasar
1. Tanda vital dalam batas normal
pencegahan dalam pemberian
TD : 120/80 mmHg
3. Pertahankan teknik aseptik
N : 60-100 x/menit intervensi lebih lanjut
S : 36,5-37,5 0 C dan teknik cuci tangan yang
bila didapatkan suhu
RR : 20-22 x/menit tepat saat sebelum melakukan
tubuh yang meningkat
2. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi tindakan pada pasien, sesudah
sebagai respon tubuh
(Rubor, Tumor, Kalor, Dolor,
melakukan tindakan pada
terhadap antigen yang
Fungsiolesa)
pasien. Setelah kontak dengan
3. Hasil pemeriksaan leukosit dalam masuk
cairan maupun lingkungan 2. Pada fase awal
batas normal
pasien meningitis, isolasi
4. Monitoring kadar leukosit
mungkin diperlukan
sampai organisme
Kolaborasi :
diketahui / dosis
Berikan terapi antibiotik iv: penisilin antibiotik yang cocok
G, ampisilin, klorampenikol, telah diberikan untuk
gentamisin menurunkan resiko
penyebaran pada orang
lain
3. Menurunkan resiko
pasien terkena infeksi
sekunder, dan
mengontrol penyebaran
infeksi
4. Leukositosis merupakan
tanda bahwa sedang
terjadi reaksi pertahanan
imunitas dalam tubuh
Obat yang dipilih
tergantung pada tipe
infeksi dan sensitivitas
individu
DAFTAR PUSTAKA

Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in :


http://www.emedicine.com

Be NA, Kim KS, Bishai WR, Jain SK. Pathogenesis of Central Nervous System
Tuberculosis. J Current Molecular Medicine 2009; 9:94-99

Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene


Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in:
Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008

Garcia-Monco, JC. 2005. CNS Tuberculosis and Mycobacteriosis. in: Principles


of Neurologic Infectious Diseases. Roos KL (Ed). USA. p.195-213

Ganiem, AR. 2010. Kapan Mencurigai Suatu Meningitis. Dalam: Neurology in


Daily Practice. Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD.
Bandung. Hal. 7-29

Kumar V., Cotran R.S., Robbins S.L. 2007. Robbins Basic Pathology, 7 th Ed.
EGC, 2007.

Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi


ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta :
2000. h.11

Marra, CM. 2004. Infections of The Central Nervous System. In: Manual of
Neurologic Therapeutics 7th ed. Samuels MA (Ed). USA. p.524-527

Meiti F. 2011. Meningitis Tuberkulosis. Dalam: Infeksi Pada Sistim Saraf,


Kelompok Studi Neuro Infeksi. Airlangga University Press, Surabaya

Anda mungkin juga menyukai