Anda di halaman 1dari 17

AKUNTANSI MANAJEMEN LANJUTAN

PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN BIAYA

KELOMPOK I

I Gede Agus Dicky Surya B. (1907611021/16)


Ni Putu Eka Kartika Putri (1907611022/17)
Ida Bagus Putu Pramana Putra (1907611023/18)

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
1) PENDAHULUAN

Biaya, mungkin hal ini tidak bisa dilepaskan dari keseharian kita. Biaya dibutuhkan
ketika kita menginginkan suatu barang atau jasa. Untuk bersekolah atau kuliah, kita perlu
membayar biaya. Dalam ilmu akuntansi dan manajemen, biaya dapat diartikan sebagai
pengorbanan ekonomis yang dibuat untuk memperoleh barang atau jasa. Biaya juga bisa
berarti sesuatu yang berkonotasi sebagai penunjang yang harus dikorbankan untuk
memperoleh tujuan akhir, yaitu mendatangkan laba.

Biaya (cost) adalah kas atau setara kas yang dikorbankan untuk membeli barang atau
jasa yang diharapakan akan memberikan manfaat bagi perusahaan saat sekarang atau
periode mendatang. Akuntansi biaya merupakan suatu bidang akuntansi yang
diperuntukkan bagi proses pelacakan dan analisa terhadap biaya-biaya yang berhubungan
dengan aktivitas suatu organisasi untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangakan,
Manajemen Biaya adalah sistem yang didesain untuk menyediakaninformasi bagi
manajemen untuk mengidentifikasikan peluang-peluang penyempurnaan, perencanaan
strategi, dan pembuatan keputusan operasional mengenai pengadaan dan penggunaan
sumber-sumber yang diperlukan oleh organisasi.

Sistem manajemen biaya terdiri atas semua alat-alat, teknik-teknik, dan metode-metode
yang secara bersama-sama membentuk suatu sistem manajemen biaya. Sistem manajemen
biaya terintegrasi menunjukkan adanya hubungan dengan elemen-elemen sistem lainnya,
yaitu: (a) sistem desain dan pengembangan, (b) sistem pembelian dan produksi, (c) sistem
pelayanan konsumen, dan (d) sistem pemasaran dandistribusi. Manfaat Sistem Manajemen
Biaya membantu manajemen untuk:

1. Merencanakan dan mengendalikan organisasi


2. Meningkatkan keterlacakan biaya
3. Mengoptimalkan kinerja dalam hidup
4. Membuat keputusan
5. Manajemen investasi Mengukur kinerja
6. Mendukung otomasi dan filosofi pemanufakturan

Dalam SAP minggu ini akan membahas tentang Activity Based Costing (ABC), hal ini
dikarenakan informasi akuntansi keuangan dan informasi akuntansi manajemen memiliki
karakteristik yang berbeda, sehingga informasi tersebut seharusnya dihasilkan dari dua
sistem yang berbeda. Salah satu model yang dapat dipakai untuk mengembangkan sistem
akuntansi manajemen adalah Activity Based Costing (ABC). Perhitungan biaya berdasarkan
aktivitas (ABC) dapat meningkatkan keakuratan pengalokasian biaya, yaitu pertama-tama
dengan menelusuri biaya berbagai aktivitas, kemudian produk atau pelanggan yang
menggunakan berbagai aktivitas tersebut.

Sistem ABC timbul sebagai akibat dari kebutuhan manajemen akan informasi akuntansi
yang mampu mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk
menghasilkan produk secara akurat. Hal ini didorong oleh:

1. Persaingan global yang tajam yang memaksa perusahaan untuk cost effective.
2. Advanced manufacturing technology yang menyebabkan proporsi biaya
overhead pabrik dalam biasa produksi menjadi lebih tinggi dari primary cost.
3. Adanya strategi perusahaan yang menerapkan market driven strategy.

2) BIAYA LANGSUNG (DIRECT COST) DAN BIAYA TIDAK LANGSUNG


(INDIRECT COST)

Hubungan antara biaya dan objek biaya dapat digali untuk membantu meningkatkan
keakuratan pembebanan biaya. Pembebanan biaya secara akurat ke objek biaya sangatlah
penting. Gagasan mengenai keakuratan tidak dievaluasi berdasarkan pengetahuan tentang
biaya yang sebenarnya. Keakuratan adalah suatu konsep yang relatif dan harus dilakukan
dengan wajar dan logis terhadap penggunaan motode pembebanan biaya. Tujuannya adalah
untuk mengukur dan membebankan biaya terhadap sumber daya yang dikonsumsi oleh
objek pajak. Hubungan biaya dan objek biaya dapat secara langsung atau tidak langsung.

a. Biaya Langsung (Direct Cost)


Biaya Langsung biaya yang dapat secara mudah dan akurat ditelusuri ke objek
biaya. “Mudah” berarti penelusurannya tidak rumit, sehingga tidak memerlukan biaya
yang mahal. “Akurat” berarti biaya sumber daya yang dikonsumsi oleh biaya tersebut
dapat dihitung secara akurat karena tidak memerlukan “alokasi biaya”. Biaya yang
dapat secara mudah dan akurat ditelusuri ke objek biaya adalah biaya untuk sumber
biaya yang semata-mata dikonsumsi oleh objek biaya tersebut. Karena sumber dayanya
hanya dikonsumsi oleh objek biaya tertentu. Oleh karena itu, pembebanan biaya yang
paling akurat ke objek biaya adalah biaya langsung.Misalnya yaitu, biaya bahan mentah
atau bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung.
b. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost)
Biaya Tidak Langsung adalah biaya yang tidak dapat secara mudah dan akurat
ditelusuri ke objek biaya. Hal itu karena biayanya dikonsumsi secara bersama oleh
beberapa objek pajak. Biaya tidak langsung disebut juga dengan biaya bersama. Biaya
ini dibebankan pada produk dengan menggunakan alokasi. Jika dasar alokasinya tidak
akurat maka pembebanan biaya ke objek biaya juga tidak akurat. Karena itu, masalah
utama dalam penghitungan biaya suatu objek biaya adalah pembebanan biaya tidak
langsung yaitu bagaimana membebankannya pada produk secara akurat agar tidak
terjadi harga pokok produk terlalu tinggi atau terlalu rendah. Misalnya yaitu, biaya upah
mandor, biaya listrik biaya penyusutan mesin, biaya perbaikan gedung, dan lainnya.

Jika perusahaan menetapkan harga jual berbasis biaya, maka harga pokok yang
terlalu tinggi akan mengakibatkan harga jual juga tinggi dan produk menjadi tidak
kompetitif. Sebaliknya jika harga pokok terlalu rendah maka produk tersebut sangat
kompetitif karena harga jual akan lebih rendah dari kompetitor. Namun produk tersebut
seakan-akan berlaba, tetapi kenyataannya rugi.

3) ACTIVITY BASED COSTING

Penghitungan harga pokok produk berbasis aktivitas (Activity Based Costing) disebut
juga dengan perhitungan harga pokok tersaring. Activity Based Costing adalah sistem
akuntansi yang terfokus pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk menghasilkan produk
atau jasa. ABC menyediakan informasi perihal aktivitas-aktivitas dan sumber-sumber daya
yang dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas tersebut. Aktivitas adalah setiap kejadian
atau transaksi yang merupakan pemicu biaya yakni bertindak sebagai faktor penyebab
dalam pengeluaran biaya organisasi.

Perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas berfokus pada proses bisnis, bukan
pada departemen produksi. Idealnya perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas
mencakup semua biaya yang terjadi pada sepanjang rantai nilai yang terdiri dari riset dan
pengembangan produk, perancangan produk, produksi, pemasaran, distribusi, dan layanan
kepada pelanggan. Karena pendekatannya pada proses, perhitungan harga pokok produk
berbasis aktivitas disebut juga perhitungan harga pokok produk berbasis proses. Perhitungan
harga pokok produk berbasis aktivitas lebih rumit karena informasi biayanya lebih terperinci
dibandingkan perhitungan harga pokok produk tradisional. Akan tetapi dengan semakin
canggihnya teknologi informasi, kerumitan perhitungan harga pokok produk berbasis
aktivitas ini dapat teratasi.

Dengan Penghitungan harga pokok produk berbasis aktivitas (Activity Based Costing),
biaya overhead pabrik dibebankan ke objek biaya seperti barang/ jasa dengan
mengidentifikasi sumber daya, aktivitas, dan biayanya serta kuantitas aktivitas dan sumber
daya yang dibutuhkan untuk memproduksi output. Sistem harga pokok ABC bertujuan
memahami overhead dan profitabilitas produk konsumen. ABC adalah metode costing yang
dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer untuk keputusan strategik dan
keputusan lainnya yang mungkin akan mempengaruhi kapasitas biaya dan juga biaya tetap.

Keuntungan dan Keterbatasan dari Activity Based Costing


a. Keuntungan
1) ABC menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan informative, yang menuju pada
pengukuran kemampuan perolehan laba atas produk yang lebih akurat dan
keputusan-keputusan strategis yang diinformasikan dengan lebih baik mengenai
harga jual, lini produk, pasar pelanggan dan pengeluaran modal.
2) ABC memberikan pengukuran yang lebih akurat atas biaya-biaya pemacu aktivitas,
yang membantu manajer memperbaiki produk dan proses menilai dengan membuat
keputusan desain produk yang lebih baik, pengendalian biaya yang lebih baik dan
membantu mempertinggi berbagai nilai objek.
3) ABC membantu manajer lebih mudah mengakses informasi tentang biaya-biaya
yang relevan dalam membuat keputusan bisnis.
b. Keterbatasan
1) Pengalokasian, sekalipun data aktivitas tersedia, banyak biaya-biaya mungkin perlu
dialokasikan dan produk-produk yang didasarkan pada ukuran volume berubah-ubah
karena secara praktis tidak dapat ditemukan suatu aktivitas khusus yang
menyebabkan timbulnya biaya-biaya tidak menjadi mudah.
2) Biaya-biaya yang diabaikan, banyak biaya produk-produk khusus yang dihilangkan
dari analisis.Aktivitas-aktivitas tersebut menyebabkan biaya-biaya seperti
pemasaran, periklanan, riset dan pengembangan, teknik produk dan klaim jaminan.
3) Biaya dan waktu yang digunakan, system ABC sangat mahal untuk dikembangkan
dan diterapkan. Hal ini juga sangat memakan waktu. Seperti kebanyakan manajemen
inovasi atau sistm akuntansi, seringkali memerlukan lebih dari setahun untuk
mengembangkan dan melaksanakan ABC dengan berhasil.
4) ACTIVITY BASED COSTING WITH IDLE CAPACITY

Kelemahan model Activity Based Costing yang telah dibahas adalah model ini hanya
akan memberikan gambaran mengenai kondisi perusahaan yang akurat saat ini. Namun
demikian, jika model Activity Based Costing ini tidak dapat dipergunakan untuk melihat
dari dampak efesiensi yang dilakukan perusahaan. Meskipun perusahaan dapat melakukan
efesiensi sedemikian rupa, sehingga dapat menghilangkan salah satu aktivitas yang
dilakukannya. Hal tersebut belum tentu menjamin bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan
perusahaan otomatis akan mengalami penurunan.

Hal ini dikarenakan, jika perusahaan menghilangkan aktivitas, maka biaya tetap dari
aktivitas tersebut tidak serta merta hilang, yang dapat dihilangkan adalah biaya non tetap.
Karena itu, model Activity Based Costing yang dapat dipergunakan untuk efesiensi adalah
model Activity Based Costing yang memisahkan biaya tetap dengan biaya non tetap.

Dalam model ABC, pembagian biaya berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:
a. Biaya fleksibel, merupakan kategori biaya yang berfluktuasi sesuai dengan jumlah
aktivitas yang dilakukan perusahaan. Biaya ini yang dapat dihilangkan oleh perusahaan.
b. Biaya tetap, merupakan biaya yang muncul akibat adanya komitmen perusahaan
terhadap penggunaan sumber daya untuk melakukan suatu aktivitas. Komitmen tersebut
sudah dilakukan untuk suatu tertentu, sehingga sulit untuk dibatalkan. Biaya-biaya
inilah yang akan tetap muncul walaupun perusahaan sudah dapat menghilangkan
aktivitas yang memakai biaya-biaya tersebut. Jika aktivitas dihilangkan, maka biaya-
biaya tersebut akan menjadi beban perusahaan dalam bentuk kapasitas menganggur.

Dalam model ABC ini, maka biaya tetap ini harus dibebankan berdasarkan kapasitas teoritis
(theoretical capacity), atau kapasitas praktikal (practical capacity).
1. Kapasitas teoritis merupakan kapasitas maksimal dari penggunaan sumber daya yang
dimiliki perusahaan. Misalkan, perusahaan membayar seseorang untuk bekerja dalam
perusahaan selama 8 jam per harinya. Jumlah itulah yang akan menjadi kapasitas
teoritis orang perharinya. Sedangkan kapasitas teoritis dari mesin adalah kapasitas
terpasang dari mesin tersebut.
2. Kapasitas praktikal merupakan kapasitas teoritis setelah dikurangi dengan waktu-waktu
tidak produktif. Misalkan diperkirakan waktu tidak produktif dari seseorang selama
satu hari adalah 2 jam, maka kapasitas praktikal dari orang tersebut adalah enam jam
perhari. Kapasitas praktikal dari mesin adalah kapasitas teoritikal mesin dikurangi
dengan kapasitas tidak produktif dari mesin tersebut, misalkan waktu kapasitas yang
dipakai untuk pemeliharaan, dan lain-lain. Dalam model Activity Based Costing ini,
kapasitas yang dipergunakan biasanya adalah kapasitas praktikal.

Dalam akuntansi biaya tradisional, tarif overhead yang ditentukan dimuka dihitung
dengan membagi anggaran biaya overhead dengan ukuran aktivitas yang dianggarkan
seperti anggaran jam kerja langsung. Praktek seperti ini akan mengakibatkan pembebanan
kapasitas yang menganggur ke produk dan juga akan menyebabkan biaya produksi per unit
tidak stabil. Jika anggaran aktivitas turun, tarif overhead akan meningkat karena komponen
tetap dalam overhead hanya digunakan untuk jumlah produk yang lebih sedikit sehingga
biaya produksi per unit akan meningkat. Berlawanan dengan akuntansi biaya tradisional,
dalam ABC produk hanya dibebani biaya dari kapasitas yang digunakan dan tidak dibebani
oleh biaya kapasitas yang tidak digunakan.Pendekatan ini menyebabkan biaya per unit yang
lebih stabil dan konsisten dengan tujuan pembebanan biaya ke produk yang menyebabkan
aktivitas.

5) TIME DRIVEN ACTIVITY

Sejarah Time Driven Activity Base Costing


Ketidakpastian lingkungan bisnis menyebabkan sistem pembiayaan terus mengalami
perkembangan dan perbaikan. Traditional ABC muncul padatahun 1980an menggantikan
traditional costing. Kemudian pada tahun 2003, konsep Time-Driven ABC mulai
diperkenalkan dan dikembangkan untuk merevisi Traditional ABC. Berikut ini sejarah
perkembangan Time-Driven ABC:
a. Era Traditional Costing (Tahun 1925 sampai dengan tahun 1980an). Pada saat era
penggunaan traditional costing, lingkungan bisnis masih stabil, tidak ada kompetisi baik
dari dalam negeri maupun luar negeri, dan diferensiasi produk masih rendah. Hal ini
menyebabkan sistem pengendalian biaya tidak terlalu penting bagi perusahaan. Sistem
akuntansi manajemen tradisional cenderung berproduksi berdasarkan informasi besarnya
biaya yang dialokasikan pada produk dengan metode sederhana dan berubah-ubah,dan
alokasinya seringkali tidak berhubungan dengan permintaan yang dibuat oleh produk
atas sumber daya perusahaan.
b. Era Traditional ABC (Tahun 1980an sampai dengan tahun 2004) Pada tahun 1980an,
dikembangkan sistem biaya yang baru menggantikan Traditional Costing, yaitu
Traditional ABC. Traditional ABC timbul sebagai akibat dari kebutuhan manajemen
akan informasi akuntansi yang mampu mencerminkan konsumsi sumber daya dalam
berbagai aktivitas untuk menghasilkan mekanisme penghitungan biaya yang akurat. Hal
ini didorong oleh:
1. Persaingan global yang tajam yang memaksa perusahaan untuk cost effective,
2. Advanced manufacturing technology yang menyebabkan proporsi biaya overhead
pabrik dalam biaya produksi menjadi lebih tinggi dari primary cost, dan
3. Adanya strategi perusahaan yang menerapkan market driven strategi.
c. Era Time-Driven ABC (Tahun 2004 sampai dengan sekarang). Seiring dengan
berjalannya waktu, Traditional ABC menjadi sulit diterapkan pada banyak perusahaan
karena menimbulkan biaya yang mahal untuk keperluan wawancara dan survey terhadap
sistem ABC. Selain masalah mahalnya biaya untuk wawancara dan survei, masih banyak
kesulitan yang timbul dari aplikasi sistem Traditional ABC, padahal kompetisi usaha
semakin ketat dan semakin kompleks. Untuk memperbaiki kekurangan yang timbul dari
sistem Traditional ABC, maka pada tahun 2004, Robert S. Kaplan dan Steven R.
Anderson mengembangkan inovasi baru terhadap sistem ABC yang disebut Time-Driven
ABC.

Kekurangan ABC Sebagai Faktor Penyebab Dikembangkannya Time Driven ABC

Beberapa persoalan muncul di dalam praktek penerapan Traditional ABC, antara lain
sebagai berikut:
1) Proses wawancara dan survei kepada karyawan menelan biaya sangat mahal dan
memakan waktu yang cukup panjang.
2) Ketidak akuratan dan bias mempengaruhi keakuratan tarif cost driver yang berasal dari
estimasi individual subjective atas perilaku mereka di masa lalu maupun di masa
mendatang.
3) Karena mahalnya biaya wawancara dan survey kepada karyawan, maka sistem ABC
tidak diupdate secara rutin.
4) Sulit menambah aktifitas baru ke dalam sistem, memerlukan estimasi ulang atas jumlah
biaya yang harus ditetapkan untuk aktifitas yang baru.
5) Sulit diterapkan pada perusahaan yang beroperasional pada skala besar. Dengan kata
lain, Traditional ABC sulit untuk merespon peningkatan dari diversity dan kompleksitas
pesanan maupun pelanggan, padahal perusahaan berskala besar pasti memiliki tingkat
diversity dan kompleksitas pesanan maupun konsumen yang sangat tinggi.
Faktor-faktor di atas menyebabkan dikembangkannya sistem Time-Driven ABC yang
diharapkan dapat memperbaiki kekurangan yang timbul dari Traditional ABC.

Pengertian Time Driven Activity Based Costing (TDABC)

Time driven Activity Based Costing ini berhubungan dengan waktu, yang mana dalam
proses produksi , seluruh aktivitas selalu dipengaruhi dan dibatasi oleh waktu. Meliputi di
dalamnya upah tenaga kerja, depresiasi dan lain sebagainya karena merupakan kompensasi
atas penggunaan waktu oleh manusia maupun oleh mesin dan peralatan yang digunakan.
Sehingga waktu menjadi salah satu kendali yang dapat digunakan dalam melakukan analisa
dan implementasi Time Driven Activity Based Costing. Sehingga dapat dikatakan, jika time
driven ini adalah salah satu kendali yang dapat digunakan dalam melakukan analisa dan
implementasi TDABC .

Menurut Kaplan et al. (2007), metode Time-Driven Activity-Based Costing hanya


membutuhkan dua parameter, yaitu:
a) unit cost untuk menghasilkan kapasitas, dan
b) waktu yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi atau aktivitas (unit times).

Yang mana unit cost dapat dihitung dengan membagi biaya penyediaan kapasitas
dengan kapasitas praktis. Sedangkan unit time dapat diperoleh dengan cara observasi
langsung atau dengan wawancara dan tidak diperlukan akurasi yang tepat. Sehingga
Pembebanan biaya menggunakan metode Time-Driven Activity-Based Costing lebih
sederhana, lebih murah, dan lebih cepat untuk diimplementasikan dibandingkan metode
Activity-Based Costing.

Time Driven ABC: Pendekeatan yang Sederhana dan Kuat

Pendekatan alternatif untuk mengestimasi model ABC, yaitu Time-Driven ABC,


mampu mengatasi segala keterbatasan dari Traditional ABC. Time-Driven ABC
memerlukan dua estimasi baru yaitu: (1) Biaya per unit darikapasitas yang tersedia, dan (2)
konsumsi unit waktu oleh setiap aktifitas.

Estimasi Biaya Per Unit


Prosedur yang baru dimulai dengan menggunakan informasi yang samadengan
pendekatan Traditional ABC, yaitu:
1. Menentukan besarnya biaya dari sumber daya yang menyediakan kapasitas.
2. Mengestimasi kapasitas aktual dari sumber daya yang tersedia.

Estimasi Unit Waktu


Bagian kedua dari informasi baru yang diperlukan pada pendekatan Time-Driven ABC
adalah estimasi waktu yang diperlukan untuk melakukan suatu transaksi. Prosedur Time-
Driven ABC menggunakan estimasi waktu yang diperlukan setiap saat transaksi terjadi.
Estimasi unit waktu ini menggantikan proses wawancara pekerja untuk mempelajari berapa
persen waktu pekerja yang dihabiskan untuk semua aktifitas.

6) PERBANDINGAN TIME-DRIVEN ABC DENGAN TRADITIONAL ABC

Pada tabel ditunjukkan perbandingan implementasi Time-Driven ABC dengan


Traditional ABC sebagai berikut:

PERBANDINGAN

IMPLEMENTASI TIME-DRIVEN ABC DENGAN TRADITIONAL ABC

Implementasi Time-Driven ABC: Implementasi Traditional ABC:


Mengidentifikasi departemen sumber daya Mengindentifikasi aktifitas dan pool biaya
yang bermacam-macam. aktifitas.
Mengestimasi total biaya dari setiap Membebankan biaya ke aktifitas-aktifitas.
departemen sumber daya departemen
sumber daya.
Mengestimasi kapasitas pada prakteknya Menentukan activity driver.
untuk setiap departemen sumber daya.
Menghitung biaya per unit dari setiap Menentukan tarif activity driver.
kapasitas sumber daya.
Menentukan estimasi unit waktu untuk Membebankan biaya ke produk.
setiap transaksi.
Membebankan biaya ke produk.

Pada tabel tersebut dapat terlihat bahwa Traditional ABC merupakan model biaya
“push”. Implementasinya dimulai dengan menetapkan total biaya overhead terlebih dahulu,
menghitung biaya per unit dari aktifitas, dan pada akhirnya menghasilkan alokasi biaya
kepada produk. Sebaliknya, Time-Driven ABC merupakan model biaya “pull”. Implementasi
dari Time-Driven ABC dimulai dengan melakukan estimasi dua parameter, dan pada akhirnya
menghasilkan alokasi biaya kepada produk. Dapat disimpulkan bahwa Traditional ABC
(Push Model) menghitung biaya aktifitas yang actual dan membebankannya ke produk.
Sedangkan Time-Driven ABC menghitung biaya aktifitas pada tarif standar dan
menghilangkan biaya kapasitas yang tidak digunakan. Pada pertengahan tahun 1980an,
Traditional ABC hadir menggantikan Traditional Costing yang sudah tidak relevan lagi
untuk digunakan oleh perusahaan-perusahaan.

Adapun kelebihan Traditional ABC dibandingkan dengan Traditional Costing adalah


sebagai berikut:

(1) Menyediakan alternative metode penghitungan dan analisis biaya yang lebih baik
daripada Traditional Costing
(2) Memberikan informasi yang efektif untuk pengambilan keputusan
(3) Memberikan informasi yang berkelanjutan dalam penerapan proses dan penurunan biaya.

Tetapi pada prakteknya, Traditional ABC memiliki banyak kekurangan (keterbatasan)


yang menyebabkannya sulit untuk diterapkan di banyak perusahaan. Dan kemudian, Time-
Driven ABC hadir untuk memberikan alternatif yang lebih baik, lebih akurat, dan lebih
sederhana untuk diterapkan di perusahaan-perusahaan. Robert S. Kaplan dan Steven R.
Anderson, menyatakan bahwa Time-Driven ABC akan memberikan perbaikan yang sangat
hebat atas sistem yang lama (Traditional ABC).

a) Kelebihan Model Time-Driven ABC


Kelebihan dari model Time-Driven ABC dibandingkan dengan Traditional ABC adalah
sebagai berikut:
1) Sangat mudah dan cepat diimplementasikan.
2) Tidak mahal dan mudah diupdate.
3) Mudah divalidasi dengan pengamatan langsung terhadap model estimasi dari unit
waktu.
4) Mampu diterapkan pada perusahaan dengan skala besar.
5) Mudah menggabungkan fitur spesifik untuk pesanan, supplier, dan pelanggan
khusus.
6) Lebih memandang kepada efisiensi proses dan pemanfaatan kapasitas.
b) Kekurangan Model Time-Driven ABC
Kekurangan dari model Time-Driven ABC dibandingkan Traditional ABC adalah
kesalahan estimasi waktu yang dilakukan dalam menghitung waktu pada setiap sumber
daya.

7) KASUS JOHN DEERE COMPONENTS WORKS


John Deere adalah pandai besi yang mengembangkan alat bajak baja pertama yang
sukses secara komersial, didirikan pada tahun 1837 oleh John Deere. Selama tahun 1970,
Deere menghabiskan lebih dari satu miliar dollar untuk melakukan modernisasi pabrik,
perluasan usaha dan perkakas. Selama tiga dekade, Deere mengembangkan lini produknya,
membangun pabrik baru dan menjalankan usaha sesuai dengan kapasitas pabrik, namun
tetap tidak mampu untuk memenuhi permintaan. Kemudian Deere melakukan diversifikasi
terhadap peralatan industri lainnya seperti konstruksi, utility, dan pertambangan. Kemudian
pada tahun 1962 Deere mulai membangun gedung dan traktor perkebunan dan peralatan
lainnya untuk mengembangkan usahanya.

Pada pertengahan tahun 1980 Deere telah menjadi perusahaan yang terbesar di dunia
yang bergerak dalam bidang perkebunan dan peralatan. Tetapi pada tahun tersebut
komoditas pertanian mengalami penurunan sehingga Deere mengambil beberapa kebijakan
yaitu menurunkan level operasinya, memotong biaya yang memungkinkan, meningkatkan
tekanan untuk mendorong pengambilan keputusan, dan melakukan restrukturisasi. Untuk
meningkatkan volume produksi, Deere ingin agar produksi komponennya memasok untuk
perusahaan dan industri lain.

Selama beberapa tahun, komponen traktor dibuat dan dirakit di pabrik traktor,
Waterloo. Untuk menghasilkan produk lain, pada tahun 1970 Deere berhasil memisahkan
komponen produksi traktor menjadi mesin dan perakitan. Untuk perakitan traktor dan mesin
dipindahkan ke pabrik baru di area Waterloo. Pada akhir tahun ke 10, gedung lama untuk
produksi traktor digunakan untuk memproduksi komponen traktor yang dinamakan John
Deere Component Works (JDCW). JDCW memiliki 3 divisi, yaitu divisi hydraulics, drive
trains division, dan gear dan divisi produk spesial. JDCW didesain untuk menjadi bagian
dari produsen peralatan yang diproduksi Deere, terutama traktor.
Selama tahun 1970, kegiatan operasi dan peralatan JDCW telah dirancang untuk
membantu divisi traktor sebesar 150 unit per hari. Pada pertengahan tahun 1980, JDCW
memproduksi suku cadang kurang dari kebutuhan. Aktivitas volume yang rendah
merupakan efek yang sangat merugikan mesin dan bisnis karena mesin tersebut lebih efisien
untuk produksi bervolume tinggi.

Hampir seluruh penjualan JDCW merupakan penjualan internal. Pabrik peralatan


diminta untuk membeli secara internal komponen-komponen utama, misalnya transmisi
desain lanjutan dan roda yang akan memberikan keuntungan kompetitif pada Deere.
Kebijakan perusahaan menyatakan bahwa transfer pricing antara divisi ditentukan pada nilai
full cost. Perusahaan juga memiliki kebijakan make-buy, pada saat terjadi kelebihan
kapasitas, divisi yang akan melakukan pembelian harus menggunakan direct cost dan bukan
full cost sebagai acuan untuk dibandingkan dengan tawaran harga pasar.

Dalam perhitungan dengan standard costing, JDCW menjumlahkan unsur-unsur biaya yang
terdiri dari:
(1) Direct Labor (run time only)
(2) Direct Material
(3) Overhead (direct + period) applied on direct labor
(4) Overhead (direct + period) applied on material dollars
(5) Overhead (direct + period) applied on ACTS (Actual Cycle Time Standards) machine
hours

Setiap satu tahun sekali, departemen akuntansi JDCW menetapkan kembali tarif
overhead berdasarkan dua studi, studi normal dan studi proses. Dalam studi normal,
menentukan nilai standar dari direct labor dan machine hours dan total overhead untuk
tahun berikutnya dengan menetapkan “volume normal”. Studi proses meruntuhkan
overhead yang diproyeksikan pada volume normal di antara 100-plus proses JDCW seperti
lukisan, lembaran logam, menggiling, turning machines, dan heat treating.

Selama beberapa tahun JDCW menggunakan tenaga kerja langsung sebagai tarif untuk
mengalokasikan overhead. Namun pada tahun 1960, perusahaan menerapkan pemisahan
overhead berdasarkan material. Tarif tersebut termasuk biaya pembelian, penerimaan,
pemeriksaan,dan bahan mentah. Biaya-biaya tersebut dialokasikan ke persentase markup
disamping biaya material. Dari waktu ke waktu tarif terpisah ini sudah ditetapkan untuk
baja, castings, dan pembelian untuk merefleksikan perbedaan permintaan.
Perhitungan menggunakan tenaga kerja langsung dan material overhead ini dibagi atas
biaya langsung (biaya variabel), seperti biaya setup, scrap, materials handling, bervariasi
tergantung volume aktivitas produksi dan periode (biaya tetap), seperti pajak, biaya
depresiasi, listrik, gaji tidak dipengaruhi oleh aktivitas produksi. Pada tahun 1984, JDCW
memperkenalkan machine hours sebagai basis alokasi overhead seperti basis tenaga kerja
dan material. Dengan peningkatan penggunaan mesin, maka basis tenaga kerja langsung
tidak lagi digunakan sebagai basis overhead, karena tidak lagi merefleksikan performa
kerjanya. Jam kerja digunakan untuk proses dimana waktu kerja setara machine hours, jika
terdapat perbedaan maka jam atas ACTS digunakan untuk mengalokasikan biaya overhead.

Analisis Permasalahan

Sejarah mencatat kehancuran agribisnis yang dimulai dengan turunnya nilai tanah
pertanian dan harga komoditas yang menurun tajam yang mengakibatkan Deere untuk
mengatur tingkat pelaksanaan operasi semakin ke menurun, pemotongan biaya,
menekankan pembuat keputusan dilakukan secara desentralisasi, dan rekstrukturisasi pada
proses manufaktur. Deere juga melakukan pengurangan tempat produksi, mengurangi
karyawan, mendorong agar karyawan pensiun dini, dan tidak melakukan penggantian untuk
karyawan yang keluar dari perusahaan.

Sejumlah kegagalan terjadi terus-menerus dalam kompetisi JDCW untuk melakukan


penawaran. Mereka memberikan kontrak, dan semua pekerjaan dijual ke supplier luar.
JDCW hanya mendapatkan segilintir barang yang diminta yang kebanyakan merupakan
low-volume stuff yang tidak diinginkan. JDCW berfikir bahwa mungkin mereka akan
mendapatkan bisnis yang mana direct cost-nya lebih murah dibandingkan dengan
penawaran luar walaupun sebenarnya full cost-nya tidak. Penyebab penawarannya tidak
kompetitif adalah karena harganya lebih mahal dibandingkan supplier luar, dan lebih mahal
dibandingkan dengan divisi-divisi lain di Deere Company. Karena hal tersebut JDCW
mempertanyakan ketepatan metode pembiayaan yang dipakai saat ini, yang menyebabkan
JDCW tidak dapat bersaing dengan kompetitor-kompetitornya.

JDCW mempunyai 3 divisi yaitu The Hidraulics Division, The Drive Trains Division,
dan Gear and Special Product Division. Sebagai bagian dari sebuah perusahaan terintegrasi
secara vertikal, JDCW mendapatkan part dari Deere’s Equipment Division, karena dapat
memproduksi berbagai macam part dalam jumlah yang banyak, walaupun produksi traktor
relatif rendah. Rendahnya produksi traktor memberikan kerugian pada mesin karena mesin
lebih efisien beroperasi pada jumlah yang besar.

Kebijakan perusahaan, melakukan transfer antar divisi berdasarkan full cost (direct
material+direct labour+direct overhead +period overhead). Perusahaan juga punya
kebijakan make-buy policy ketika kapasitas mencukupi, yaitu divisi pembeli bisa
membandingkan yang mana yang lebih rendah antara direct cost (bukan full cost)
dibandingkan dengan penawaran dari luar.

Equipment Division tampaknya hanya melihat harga, berperilaku seperti profit center
bukan cost center, karena hanya memerhatikan keuntungan divisi dibandingkan perusahaan
secara keseluruhan. Dalam prakteknya equipment division tidak mengikuti kebijakan
perusahaan, sehingga JDCW kehilangan porsi untuk equipment factory karena perusahaan
pesaing.

Pada awalnya JDCW menggunakan standar costing untuk perhitungan biayanya,


alokasi overhead berdasarkan pada direct labor hours, machine hours, dan material. Pada
kenyataannya metode biaya ini bekerja cukup baik di masa lalu karena perusahaan
memproduksi produk yang spesifik dalam secara konsisten. Namun, metode biaya ini tidak
memberikan sistem alokasi biaya yang terbaik bagi JDCW.

Keith William menyadari kekurangan dari penggunaan standard costing tersebut dan
beralih menggunakan Activity Based Costing, yang mencerminkan nilai cost per unit yang
tepat untuk tiap produk. Namun, perbedaan nilai cost penggunaan standard costing dan
Activity Based Costing bervariasi, ada beberapa produk yang mengalami penurunan cost
dan ada yang justru cost-nya menjadi lebih besar. Berdasarkan penjelasan di atas,
permasalahan yang terjadi di perusahaan yaitu:

1) Penggunaan Standard Costing System yang tidak sesuai dengan perusahaan yang besar
dan memproduksi barang yang sangat bervariasi dan tidak mencerminkan actual cost
per unit.
2) Perusahaan menyadari adanya kesalahan dalam menentukan biaya dengan penggunaan
Standard Costing dan beralih menggunakan Activity Based-Costing, namun hasil yang
diperoleh sangat bervariasi, ada yang biayanya menjadi lebih kecil dan menjadi lebih
besar.
3) Penggunaan mesin yang tidak efisien karena volume produksi yang rendah
4) Equipment Division tampaknya hanya melihat harga, berperilaku seperti profit center
bukan cost center, karena hanya memerhatikan keuntungan divisi.

Pemecahan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka berikut adalah analisis pemecahan


masalah menurut kelompok kami, yaitu :
1) Berdasarkan analaisis permasalahan yang terjadi di JDCW maka sebaiknya saat
menentukan biaya overhead atas produk sebaiknya perusahaan melakukan 2 tahap yang
terdapat dalam ABC yaitu :
a) Mengidentifikasi aktivitas-aktivitas proses produksi yang signifikan dari setiap
produk. Dimana JDCW memiliki dua cost driver (direct labor dan machine hour).
b) Menentukan biaya per unit produk berdasarkan ketujuh cost driver untuk
menghasilkan satu unit produk.
2) Dalam memberikan harga JDCW kalah saing dengan suplier luar dikarenakan harga yang
ditawarkan lebih mahal, sehingga dengan harga yang tidak kompetitif ini, keinginan
divisi gear and special products untuk menjual suku cadangnya tidak dapat dilaksanakan.
Harga per unit yang tidak kompetitif ini sebagian besar disebabkan karena JDCW
menggunakan standard cost accounting system dalam mengalokasikan overheadnya.
Tarif overhead didasarkan pada basis direct labor, material dollars, dan actual cycle time
standard (ACTS).
3) Seharusnya dalam menentukan cost produksi perusahaan menentukan terlebih dahulu
berapa orang operator yang untuk menjalankan setiap mesin dan bagi jam kerja (orang
dan mesin).
4) Biaya pembelian, pemeriksaan, dll yang dialokasikan dalam markup disamping biaya
material, seharusnya dialokasikan sebagai komponen penambah harga beli bahan baku,
bukan di mark up. Karena hal tersebut akan membuat harga jual satuanya menjadi lebih
mahal, sehingga tidak dapat memasuki pasar.
5) Tarif listrik seharusnya dihitung berdasarkan kapasitas mesin x tarif / jamnya
6) Dalam melakukan pengurangan tenaga kerja seharusnya tarif cost yang digunakan juga
menyesuaikan mengikuti jumlah karyawan yang baru.
7) Biaya mark up seharusnya ditiadakan, dan harga di material seharusnya hanya mencakup
biaya penerimaan bahan, harga perolehan bahan dan pajak yang dibayarkan saat membeli
bahan tersbut. Sehingga akan mendapatkan harga jual yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA

Accounting Coach. 2019. Introduction to Activity Based Costing


https://www.accountingcoach.com/activity-based-costing/explanation. Diakses pada
Tanggal 24 Agustus 2019.

Modul Chartered Accountant: Akuntansi Manajemen Lanjutan. 2015. Ikatan Akuntan


Indonesia.

Mulyadi. 2014. Akuntansi biaya, Edisi Kelima.Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Robert S. Kaplan and Steven R. Anderson, 2007. Time Driven Activity Based Costing: A
Simpler and More Powerfull Path To Higher Profits, Boston, Mass: Harvard Business
Publishing..

Anda mungkin juga menyukai