KELOMPOK I
Biaya, mungkin hal ini tidak bisa dilepaskan dari keseharian kita. Biaya dibutuhkan
ketika kita menginginkan suatu barang atau jasa. Untuk bersekolah atau kuliah, kita perlu
membayar biaya. Dalam ilmu akuntansi dan manajemen, biaya dapat diartikan sebagai
pengorbanan ekonomis yang dibuat untuk memperoleh barang atau jasa. Biaya juga bisa
berarti sesuatu yang berkonotasi sebagai penunjang yang harus dikorbankan untuk
memperoleh tujuan akhir, yaitu mendatangkan laba.
Biaya (cost) adalah kas atau setara kas yang dikorbankan untuk membeli barang atau
jasa yang diharapakan akan memberikan manfaat bagi perusahaan saat sekarang atau
periode mendatang. Akuntansi biaya merupakan suatu bidang akuntansi yang
diperuntukkan bagi proses pelacakan dan analisa terhadap biaya-biaya yang berhubungan
dengan aktivitas suatu organisasi untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangakan,
Manajemen Biaya adalah sistem yang didesain untuk menyediakaninformasi bagi
manajemen untuk mengidentifikasikan peluang-peluang penyempurnaan, perencanaan
strategi, dan pembuatan keputusan operasional mengenai pengadaan dan penggunaan
sumber-sumber yang diperlukan oleh organisasi.
Sistem manajemen biaya terdiri atas semua alat-alat, teknik-teknik, dan metode-metode
yang secara bersama-sama membentuk suatu sistem manajemen biaya. Sistem manajemen
biaya terintegrasi menunjukkan adanya hubungan dengan elemen-elemen sistem lainnya,
yaitu: (a) sistem desain dan pengembangan, (b) sistem pembelian dan produksi, (c) sistem
pelayanan konsumen, dan (d) sistem pemasaran dandistribusi. Manfaat Sistem Manajemen
Biaya membantu manajemen untuk:
Dalam SAP minggu ini akan membahas tentang Activity Based Costing (ABC), hal ini
dikarenakan informasi akuntansi keuangan dan informasi akuntansi manajemen memiliki
karakteristik yang berbeda, sehingga informasi tersebut seharusnya dihasilkan dari dua
sistem yang berbeda. Salah satu model yang dapat dipakai untuk mengembangkan sistem
akuntansi manajemen adalah Activity Based Costing (ABC). Perhitungan biaya berdasarkan
aktivitas (ABC) dapat meningkatkan keakuratan pengalokasian biaya, yaitu pertama-tama
dengan menelusuri biaya berbagai aktivitas, kemudian produk atau pelanggan yang
menggunakan berbagai aktivitas tersebut.
Sistem ABC timbul sebagai akibat dari kebutuhan manajemen akan informasi akuntansi
yang mampu mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk
menghasilkan produk secara akurat. Hal ini didorong oleh:
1. Persaingan global yang tajam yang memaksa perusahaan untuk cost effective.
2. Advanced manufacturing technology yang menyebabkan proporsi biaya
overhead pabrik dalam biasa produksi menjadi lebih tinggi dari primary cost.
3. Adanya strategi perusahaan yang menerapkan market driven strategy.
Hubungan antara biaya dan objek biaya dapat digali untuk membantu meningkatkan
keakuratan pembebanan biaya. Pembebanan biaya secara akurat ke objek biaya sangatlah
penting. Gagasan mengenai keakuratan tidak dievaluasi berdasarkan pengetahuan tentang
biaya yang sebenarnya. Keakuratan adalah suatu konsep yang relatif dan harus dilakukan
dengan wajar dan logis terhadap penggunaan motode pembebanan biaya. Tujuannya adalah
untuk mengukur dan membebankan biaya terhadap sumber daya yang dikonsumsi oleh
objek pajak. Hubungan biaya dan objek biaya dapat secara langsung atau tidak langsung.
Jika perusahaan menetapkan harga jual berbasis biaya, maka harga pokok yang
terlalu tinggi akan mengakibatkan harga jual juga tinggi dan produk menjadi tidak
kompetitif. Sebaliknya jika harga pokok terlalu rendah maka produk tersebut sangat
kompetitif karena harga jual akan lebih rendah dari kompetitor. Namun produk tersebut
seakan-akan berlaba, tetapi kenyataannya rugi.
Penghitungan harga pokok produk berbasis aktivitas (Activity Based Costing) disebut
juga dengan perhitungan harga pokok tersaring. Activity Based Costing adalah sistem
akuntansi yang terfokus pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk menghasilkan produk
atau jasa. ABC menyediakan informasi perihal aktivitas-aktivitas dan sumber-sumber daya
yang dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas tersebut. Aktivitas adalah setiap kejadian
atau transaksi yang merupakan pemicu biaya yakni bertindak sebagai faktor penyebab
dalam pengeluaran biaya organisasi.
Perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas berfokus pada proses bisnis, bukan
pada departemen produksi. Idealnya perhitungan harga pokok produk berbasis aktivitas
mencakup semua biaya yang terjadi pada sepanjang rantai nilai yang terdiri dari riset dan
pengembangan produk, perancangan produk, produksi, pemasaran, distribusi, dan layanan
kepada pelanggan. Karena pendekatannya pada proses, perhitungan harga pokok produk
berbasis aktivitas disebut juga perhitungan harga pokok produk berbasis proses. Perhitungan
harga pokok produk berbasis aktivitas lebih rumit karena informasi biayanya lebih terperinci
dibandingkan perhitungan harga pokok produk tradisional. Akan tetapi dengan semakin
canggihnya teknologi informasi, kerumitan perhitungan harga pokok produk berbasis
aktivitas ini dapat teratasi.
Dengan Penghitungan harga pokok produk berbasis aktivitas (Activity Based Costing),
biaya overhead pabrik dibebankan ke objek biaya seperti barang/ jasa dengan
mengidentifikasi sumber daya, aktivitas, dan biayanya serta kuantitas aktivitas dan sumber
daya yang dibutuhkan untuk memproduksi output. Sistem harga pokok ABC bertujuan
memahami overhead dan profitabilitas produk konsumen. ABC adalah metode costing yang
dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer untuk keputusan strategik dan
keputusan lainnya yang mungkin akan mempengaruhi kapasitas biaya dan juga biaya tetap.
Kelemahan model Activity Based Costing yang telah dibahas adalah model ini hanya
akan memberikan gambaran mengenai kondisi perusahaan yang akurat saat ini. Namun
demikian, jika model Activity Based Costing ini tidak dapat dipergunakan untuk melihat
dari dampak efesiensi yang dilakukan perusahaan. Meskipun perusahaan dapat melakukan
efesiensi sedemikian rupa, sehingga dapat menghilangkan salah satu aktivitas yang
dilakukannya. Hal tersebut belum tentu menjamin bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan
perusahaan otomatis akan mengalami penurunan.
Hal ini dikarenakan, jika perusahaan menghilangkan aktivitas, maka biaya tetap dari
aktivitas tersebut tidak serta merta hilang, yang dapat dihilangkan adalah biaya non tetap.
Karena itu, model Activity Based Costing yang dapat dipergunakan untuk efesiensi adalah
model Activity Based Costing yang memisahkan biaya tetap dengan biaya non tetap.
Dalam model ABC, pembagian biaya berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:
a. Biaya fleksibel, merupakan kategori biaya yang berfluktuasi sesuai dengan jumlah
aktivitas yang dilakukan perusahaan. Biaya ini yang dapat dihilangkan oleh perusahaan.
b. Biaya tetap, merupakan biaya yang muncul akibat adanya komitmen perusahaan
terhadap penggunaan sumber daya untuk melakukan suatu aktivitas. Komitmen tersebut
sudah dilakukan untuk suatu tertentu, sehingga sulit untuk dibatalkan. Biaya-biaya
inilah yang akan tetap muncul walaupun perusahaan sudah dapat menghilangkan
aktivitas yang memakai biaya-biaya tersebut. Jika aktivitas dihilangkan, maka biaya-
biaya tersebut akan menjadi beban perusahaan dalam bentuk kapasitas menganggur.
Dalam model ABC ini, maka biaya tetap ini harus dibebankan berdasarkan kapasitas teoritis
(theoretical capacity), atau kapasitas praktikal (practical capacity).
1. Kapasitas teoritis merupakan kapasitas maksimal dari penggunaan sumber daya yang
dimiliki perusahaan. Misalkan, perusahaan membayar seseorang untuk bekerja dalam
perusahaan selama 8 jam per harinya. Jumlah itulah yang akan menjadi kapasitas
teoritis orang perharinya. Sedangkan kapasitas teoritis dari mesin adalah kapasitas
terpasang dari mesin tersebut.
2. Kapasitas praktikal merupakan kapasitas teoritis setelah dikurangi dengan waktu-waktu
tidak produktif. Misalkan diperkirakan waktu tidak produktif dari seseorang selama
satu hari adalah 2 jam, maka kapasitas praktikal dari orang tersebut adalah enam jam
perhari. Kapasitas praktikal dari mesin adalah kapasitas teoritikal mesin dikurangi
dengan kapasitas tidak produktif dari mesin tersebut, misalkan waktu kapasitas yang
dipakai untuk pemeliharaan, dan lain-lain. Dalam model Activity Based Costing ini,
kapasitas yang dipergunakan biasanya adalah kapasitas praktikal.
Dalam akuntansi biaya tradisional, tarif overhead yang ditentukan dimuka dihitung
dengan membagi anggaran biaya overhead dengan ukuran aktivitas yang dianggarkan
seperti anggaran jam kerja langsung. Praktek seperti ini akan mengakibatkan pembebanan
kapasitas yang menganggur ke produk dan juga akan menyebabkan biaya produksi per unit
tidak stabil. Jika anggaran aktivitas turun, tarif overhead akan meningkat karena komponen
tetap dalam overhead hanya digunakan untuk jumlah produk yang lebih sedikit sehingga
biaya produksi per unit akan meningkat. Berlawanan dengan akuntansi biaya tradisional,
dalam ABC produk hanya dibebani biaya dari kapasitas yang digunakan dan tidak dibebani
oleh biaya kapasitas yang tidak digunakan.Pendekatan ini menyebabkan biaya per unit yang
lebih stabil dan konsisten dengan tujuan pembebanan biaya ke produk yang menyebabkan
aktivitas.
Beberapa persoalan muncul di dalam praktek penerapan Traditional ABC, antara lain
sebagai berikut:
1) Proses wawancara dan survei kepada karyawan menelan biaya sangat mahal dan
memakan waktu yang cukup panjang.
2) Ketidak akuratan dan bias mempengaruhi keakuratan tarif cost driver yang berasal dari
estimasi individual subjective atas perilaku mereka di masa lalu maupun di masa
mendatang.
3) Karena mahalnya biaya wawancara dan survey kepada karyawan, maka sistem ABC
tidak diupdate secara rutin.
4) Sulit menambah aktifitas baru ke dalam sistem, memerlukan estimasi ulang atas jumlah
biaya yang harus ditetapkan untuk aktifitas yang baru.
5) Sulit diterapkan pada perusahaan yang beroperasional pada skala besar. Dengan kata
lain, Traditional ABC sulit untuk merespon peningkatan dari diversity dan kompleksitas
pesanan maupun pelanggan, padahal perusahaan berskala besar pasti memiliki tingkat
diversity dan kompleksitas pesanan maupun konsumen yang sangat tinggi.
Faktor-faktor di atas menyebabkan dikembangkannya sistem Time-Driven ABC yang
diharapkan dapat memperbaiki kekurangan yang timbul dari Traditional ABC.
Time driven Activity Based Costing ini berhubungan dengan waktu, yang mana dalam
proses produksi , seluruh aktivitas selalu dipengaruhi dan dibatasi oleh waktu. Meliputi di
dalamnya upah tenaga kerja, depresiasi dan lain sebagainya karena merupakan kompensasi
atas penggunaan waktu oleh manusia maupun oleh mesin dan peralatan yang digunakan.
Sehingga waktu menjadi salah satu kendali yang dapat digunakan dalam melakukan analisa
dan implementasi Time Driven Activity Based Costing. Sehingga dapat dikatakan, jika time
driven ini adalah salah satu kendali yang dapat digunakan dalam melakukan analisa dan
implementasi TDABC .
Yang mana unit cost dapat dihitung dengan membagi biaya penyediaan kapasitas
dengan kapasitas praktis. Sedangkan unit time dapat diperoleh dengan cara observasi
langsung atau dengan wawancara dan tidak diperlukan akurasi yang tepat. Sehingga
Pembebanan biaya menggunakan metode Time-Driven Activity-Based Costing lebih
sederhana, lebih murah, dan lebih cepat untuk diimplementasikan dibandingkan metode
Activity-Based Costing.
PERBANDINGAN
Pada tabel tersebut dapat terlihat bahwa Traditional ABC merupakan model biaya
“push”. Implementasinya dimulai dengan menetapkan total biaya overhead terlebih dahulu,
menghitung biaya per unit dari aktifitas, dan pada akhirnya menghasilkan alokasi biaya
kepada produk. Sebaliknya, Time-Driven ABC merupakan model biaya “pull”. Implementasi
dari Time-Driven ABC dimulai dengan melakukan estimasi dua parameter, dan pada akhirnya
menghasilkan alokasi biaya kepada produk. Dapat disimpulkan bahwa Traditional ABC
(Push Model) menghitung biaya aktifitas yang actual dan membebankannya ke produk.
Sedangkan Time-Driven ABC menghitung biaya aktifitas pada tarif standar dan
menghilangkan biaya kapasitas yang tidak digunakan. Pada pertengahan tahun 1980an,
Traditional ABC hadir menggantikan Traditional Costing yang sudah tidak relevan lagi
untuk digunakan oleh perusahaan-perusahaan.
(1) Menyediakan alternative metode penghitungan dan analisis biaya yang lebih baik
daripada Traditional Costing
(2) Memberikan informasi yang efektif untuk pengambilan keputusan
(3) Memberikan informasi yang berkelanjutan dalam penerapan proses dan penurunan biaya.
Pada pertengahan tahun 1980 Deere telah menjadi perusahaan yang terbesar di dunia
yang bergerak dalam bidang perkebunan dan peralatan. Tetapi pada tahun tersebut
komoditas pertanian mengalami penurunan sehingga Deere mengambil beberapa kebijakan
yaitu menurunkan level operasinya, memotong biaya yang memungkinkan, meningkatkan
tekanan untuk mendorong pengambilan keputusan, dan melakukan restrukturisasi. Untuk
meningkatkan volume produksi, Deere ingin agar produksi komponennya memasok untuk
perusahaan dan industri lain.
Selama beberapa tahun, komponen traktor dibuat dan dirakit di pabrik traktor,
Waterloo. Untuk menghasilkan produk lain, pada tahun 1970 Deere berhasil memisahkan
komponen produksi traktor menjadi mesin dan perakitan. Untuk perakitan traktor dan mesin
dipindahkan ke pabrik baru di area Waterloo. Pada akhir tahun ke 10, gedung lama untuk
produksi traktor digunakan untuk memproduksi komponen traktor yang dinamakan John
Deere Component Works (JDCW). JDCW memiliki 3 divisi, yaitu divisi hydraulics, drive
trains division, dan gear dan divisi produk spesial. JDCW didesain untuk menjadi bagian
dari produsen peralatan yang diproduksi Deere, terutama traktor.
Selama tahun 1970, kegiatan operasi dan peralatan JDCW telah dirancang untuk
membantu divisi traktor sebesar 150 unit per hari. Pada pertengahan tahun 1980, JDCW
memproduksi suku cadang kurang dari kebutuhan. Aktivitas volume yang rendah
merupakan efek yang sangat merugikan mesin dan bisnis karena mesin tersebut lebih efisien
untuk produksi bervolume tinggi.
Dalam perhitungan dengan standard costing, JDCW menjumlahkan unsur-unsur biaya yang
terdiri dari:
(1) Direct Labor (run time only)
(2) Direct Material
(3) Overhead (direct + period) applied on direct labor
(4) Overhead (direct + period) applied on material dollars
(5) Overhead (direct + period) applied on ACTS (Actual Cycle Time Standards) machine
hours
Setiap satu tahun sekali, departemen akuntansi JDCW menetapkan kembali tarif
overhead berdasarkan dua studi, studi normal dan studi proses. Dalam studi normal,
menentukan nilai standar dari direct labor dan machine hours dan total overhead untuk
tahun berikutnya dengan menetapkan “volume normal”. Studi proses meruntuhkan
overhead yang diproyeksikan pada volume normal di antara 100-plus proses JDCW seperti
lukisan, lembaran logam, menggiling, turning machines, dan heat treating.
Selama beberapa tahun JDCW menggunakan tenaga kerja langsung sebagai tarif untuk
mengalokasikan overhead. Namun pada tahun 1960, perusahaan menerapkan pemisahan
overhead berdasarkan material. Tarif tersebut termasuk biaya pembelian, penerimaan,
pemeriksaan,dan bahan mentah. Biaya-biaya tersebut dialokasikan ke persentase markup
disamping biaya material. Dari waktu ke waktu tarif terpisah ini sudah ditetapkan untuk
baja, castings, dan pembelian untuk merefleksikan perbedaan permintaan.
Perhitungan menggunakan tenaga kerja langsung dan material overhead ini dibagi atas
biaya langsung (biaya variabel), seperti biaya setup, scrap, materials handling, bervariasi
tergantung volume aktivitas produksi dan periode (biaya tetap), seperti pajak, biaya
depresiasi, listrik, gaji tidak dipengaruhi oleh aktivitas produksi. Pada tahun 1984, JDCW
memperkenalkan machine hours sebagai basis alokasi overhead seperti basis tenaga kerja
dan material. Dengan peningkatan penggunaan mesin, maka basis tenaga kerja langsung
tidak lagi digunakan sebagai basis overhead, karena tidak lagi merefleksikan performa
kerjanya. Jam kerja digunakan untuk proses dimana waktu kerja setara machine hours, jika
terdapat perbedaan maka jam atas ACTS digunakan untuk mengalokasikan biaya overhead.
Analisis Permasalahan
Sejarah mencatat kehancuran agribisnis yang dimulai dengan turunnya nilai tanah
pertanian dan harga komoditas yang menurun tajam yang mengakibatkan Deere untuk
mengatur tingkat pelaksanaan operasi semakin ke menurun, pemotongan biaya,
menekankan pembuat keputusan dilakukan secara desentralisasi, dan rekstrukturisasi pada
proses manufaktur. Deere juga melakukan pengurangan tempat produksi, mengurangi
karyawan, mendorong agar karyawan pensiun dini, dan tidak melakukan penggantian untuk
karyawan yang keluar dari perusahaan.
JDCW mempunyai 3 divisi yaitu The Hidraulics Division, The Drive Trains Division,
dan Gear and Special Product Division. Sebagai bagian dari sebuah perusahaan terintegrasi
secara vertikal, JDCW mendapatkan part dari Deere’s Equipment Division, karena dapat
memproduksi berbagai macam part dalam jumlah yang banyak, walaupun produksi traktor
relatif rendah. Rendahnya produksi traktor memberikan kerugian pada mesin karena mesin
lebih efisien beroperasi pada jumlah yang besar.
Kebijakan perusahaan, melakukan transfer antar divisi berdasarkan full cost (direct
material+direct labour+direct overhead +period overhead). Perusahaan juga punya
kebijakan make-buy policy ketika kapasitas mencukupi, yaitu divisi pembeli bisa
membandingkan yang mana yang lebih rendah antara direct cost (bukan full cost)
dibandingkan dengan penawaran dari luar.
Equipment Division tampaknya hanya melihat harga, berperilaku seperti profit center
bukan cost center, karena hanya memerhatikan keuntungan divisi dibandingkan perusahaan
secara keseluruhan. Dalam prakteknya equipment division tidak mengikuti kebijakan
perusahaan, sehingga JDCW kehilangan porsi untuk equipment factory karena perusahaan
pesaing.
Keith William menyadari kekurangan dari penggunaan standard costing tersebut dan
beralih menggunakan Activity Based Costing, yang mencerminkan nilai cost per unit yang
tepat untuk tiap produk. Namun, perbedaan nilai cost penggunaan standard costing dan
Activity Based Costing bervariasi, ada beberapa produk yang mengalami penurunan cost
dan ada yang justru cost-nya menjadi lebih besar. Berdasarkan penjelasan di atas,
permasalahan yang terjadi di perusahaan yaitu:
1) Penggunaan Standard Costing System yang tidak sesuai dengan perusahaan yang besar
dan memproduksi barang yang sangat bervariasi dan tidak mencerminkan actual cost
per unit.
2) Perusahaan menyadari adanya kesalahan dalam menentukan biaya dengan penggunaan
Standard Costing dan beralih menggunakan Activity Based-Costing, namun hasil yang
diperoleh sangat bervariasi, ada yang biayanya menjadi lebih kecil dan menjadi lebih
besar.
3) Penggunaan mesin yang tidak efisien karena volume produksi yang rendah
4) Equipment Division tampaknya hanya melihat harga, berperilaku seperti profit center
bukan cost center, karena hanya memerhatikan keuntungan divisi.
Pemecahan Masalah
Robert S. Kaplan and Steven R. Anderson, 2007. Time Driven Activity Based Costing: A
Simpler and More Powerfull Path To Higher Profits, Boston, Mass: Harvard Business
Publishing..