Oleh:
Dhea Qiasita G99181019
Pembimbing:
dr Arifa Martha
Oleh:
Dhea Qiasita G99181019
dr Arifa Martha
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Nn. V
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Nogosari, Boyolali
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 3 Februari 2020
Tanggal Periksa : 3 Februari 2020
B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan saat hari pertama
dan selama perawatan di Bangsal Melati Puskesmas Nogosari
Keluhan utama:
Pusing selama 10 hari
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD Puskesmas Nogosari dengan keluhan
pusing berdenyut selama 10 hari. Awalnya pusing dirasakan tidak
seperti berputar, namun 2 hari terakhir pasien merasa pusing berputar.
Pusing menetap dan tidak hilang dengan obat pusing dari apotek.
Pusing dirasakan sampai membuat pasien berkunang-kunang dan
tidak kuat beraktivitas. Pusing disertai mual dan panas. Pasien juga
mengeluhkan penurunan nafsu makan. Muntah disangkal. Telinga
berdengung disangkal. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat sakit serupa Disangkal
Riwayat tekanan darah
Disangkal
tinggi
Riwayat sakit gula Disangkal
(+) operasi apendiktomi 10
Riwayat operasi
tahun yang lalu
Riwayat alergi Disangkal
Riwayat sakit ginjal Disangkal
Riwayat kebiasaan
Makan Pasien mengaku makan 3-4 kali sehari
dengan nasi dan lauk pauk. Pasien mengaku
makan tidak teratur
Olahraga Disangkal
Suplemen Disangkal
multivitamin
Riwayat gizi
Pasien mempunyai pola makan yang tidak menentu dan biasa
mengkonsumsi makanan pedas dengan gizi seimbang. Saat ini pasien
mengalami sedikit penurunan nafsu makan.
Riwayat sosial ekonomi
Pasien bekerja sebagai pelajar. Pasien tinggal bersama ibu, ayah
dan ketiga anaknya. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.
Pohon keluarga pasien:
Keterangan
Laki –laki
Pasien
Perempuan
Meninggal dunia
IV. RESUME
1. Keluhan utama
Pusing selama 10 hari
2. Anamnesis:
Pusing berdenyut selama 10 hari. Awalnya pusing dirasakan tidak
seperti berputar, namun 2 hari terakhir pasien merasa pusing
berputar. Pusing menetap dan tidak hilang dengan obat pusing dari
apotek. Pusing dirasakan sampai membuat pasien berkunang-
kunang dan tidak kuat beraktivitas. Pusing disertai mual dan panas.
Pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan.
3. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, GCS
E4/V5/M6. Kesan gizi underweight. Tekanan darah 103/80 mmHg
Nadi 98 kali /menit, Frekuensi nafas : 20 kali /menit, Suhu : 37.20
C . Pemeriksaan abdomen didapatkan Dinding perut lebih rendah
dari dinding thorak, meterorismus (+), distended (+), nyeri
tekan(+).
4. Pemeriksaan tambahan:
a. Laboratorium darah (03/02/2020):
S typhii H 1/320
V. DIAGOSIS BANDING
1. Typhoid Fever
2. Dengue Fever
3. Malaria
VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Akral Dingin - -
- -
Assesment 1. Typhus Abdominalis
Terapi 1. Bed Rest tidak total
2. Diet Lunak TKTP
3. Infus RL 20 tpm
4. Injeksi Ranitidin 1 ampul/12jam
5. Dimenhidrinat 3x1 tab
6. Paracetamol 3x1 tab
7. Tiamphenicol 3x1 tab
Tanggal 05/02/2020 (DPH 2)
Subyektif Pusing, mual, nyeri perut berkurang
Obyektif KU : Sadar, Compos Mentis
Tensi : 96/60 mmHg
Respirasi : 20 kali /menit
Nadi : 70 kali /menit
Suhu : 36° C
VAS :2
Kepala : mesocephal
Mata : Mata merah (-/-), CA(-/-), SI(-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : Sianosis(-), mukosa basah (+), lidah typhoid (-)
Leher : JVP R+2 cm, KGB tidak membesar
Cor
I : IC tidak tampak
P : IC teraba di Ictus kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS
IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor/sonor
A : Suara dasar vesikuler(+/+), ronki basah halus (-/-)
Abdomen
I : DP lebih rendah dari DD
A : Bising usus (+) 6 x/menit
P : meteorismus (-)
P : hepar lien tidak teraba
Ekstremitas
Akral Dingin - -
- -
Assesment 1. Typhus Abdominalis
Terapi 1. Bed Rest tidak total
2. Diet Lunak TKTP
3. Infus RL 20 tpm
4. Injeksi Ranitidin 1 ampul/12jam
5. Dimenhidrinat 3x1 tab
6. Paracetamol 3x1 tab
7. Tiamphenicol 3x1 tab
Tanggal 06/02/2020 (DPH 3)
Subyektif Tidak ada keluhan
Obyektif KU : Sadar, Compos Mentis
Tensi : 89/59 mmHg
Respirasi : 20 kali /menit
Nadi : 68 kali /menit
Suhu : 36,4° C
VAS :1
Kepala : mesocephal
Mata : Mata merah (-/-), CA(-/-), SI(-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : Sianosis(-), mukosa basah (+), lidah typhoid (-)
Leher : JVP R+2 cm, KGB tidak membesar
Cor
I : IC tidak tampak
P : IC teraba di Ictus kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS
IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor/sonor
A : Suara dasar vesikuler(+/+), ronki basah halus (-/-)
Abdomen
I : DP lebih rendah dari DD
A : Bising usus (+) 6 x/menit
P : meteorismus (-)
P : hepar lien tidak teraba
Ekstremitas
Akral Dingin - -
- -
Assesment 1. Typhus Abdominalis
Terapi BLPL
BAB II
KUNJUNGAN RUMAH
IV. DOKUMENTASI
Gambar 2.1 Kunjungan Rumah dan tampak depan rumah keluarga pasien
pada tanggal 17(Kiri) dan 18(Kanan) Februari 2020
Gambar 2.2 Ruang tengah keluarga pasien tampak cukup luas dengan
ventilasi dan pencahayaan cukup
I. ETIOLOGI
Genus basil gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae ini terdiri
dari dua spesies: S. choleraesuis, yang berisi enam subspesies, dan S.
bongori. Hampir semua serotipe S. choleraesuis subspesies I merupakan
pathogen untuk manusia. Karena sebutan S. choleraesuis mengacu untuk
spesies dan serotipe, penunjukan spesies S. enterica telah direkomendasikan
dan diadopsi secara luas. Menurut sistem nomenklatur Salmonella saat ini,
penunjukan taksonomi penuh Salmonella enterica subspecies enterica
serotype Typhimurium dapat dipersingkat untuk Salmonella serotipe
Typhimurium, atau cukup Salmonella Typhimurium.
Anggota dari tujuh subspesies Salmonella diklasifikasikan ke> 2400
serotipe (serovar) sesuai dengan dinding sel antigen O [lipopolysaccharide
(LPS) somatic komponen], antigen Vi permukaan (terbatas pada S. Typhi
dan S. Paratyphi C), dan antigen flagellar H. Untuk kesederhanaan, sebagian
besar serotipe Salmonella diberi nama untuk kota tersebut di mana mereka
diidentifikasi, dan serotipe sering digunakan sebagai sebutan spesies.
Salmonellae bersifat gram negatif, tidak membentuk spora, secara fakultatif
basil anaerob yang berukuran panjang 2-3 μm dan lebar 0,4-0,6 μm.
II. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid merupakan penyakit yang rawan terjadi di Indonesia,
karena karakteristik iklim yang sangat rawan dengan penyakit yang
berhubungan dengan musim. Terjadinya penyakit yang berkaitan dengan
musim yang ada di Indonesia dapat dilihat meningkatnya kejadian penyakit
pada musim hujan. Penyakit yang harus diwaspadai pada saat musim hujan
adalah ISPA, leptosiposis, penyakit kulit, diare, demam berdarah dan demam
tifoid.
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit terbanyak di Rumah
Sakit dan Puskesmas di Jawa Timur pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Pada
data Riskesdas 2007 menyatakan bahwa Kabupaten Situbondo menempati
posisi ke 2 yang mempunyai prevalensi demam tifoid terbesar di Provinsi
Jawa Timur dengan prevalensi sebesar 1,59% diagnosis dan 2,53% diagnosis
dan gejala. Data RSUD dr. Abdoer Rahem pada tahun 2013 menyatakan
bahwa demam tifoid termasuk posisi ke 3 penyakit rawat inap pada tahun
2012. Kelompok usia 5–14 tahun merupakan kelompok usia terbanyak yang
terkena demam tifoid yakni sebanyak 136 kasus dari 406 kasus. Berdasarkan
laporan dari RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo pada tahun 2014
menyatakan bahwa angka kejadian demam tifoid mengalami kenaikan dari
tahun 2011 hingga 2013.
III. PATOGENESIS
Semua infeksi Salmonella dimulai dengan menelan organisme dalam
makanan atau air yang terkontaminasi. Dosis menular yaitu sebesar 103–106
unit pembentuk koloni. Kondisi yang menurunkan keasaman lambung
(seperti: usia <1 tahun, konsumsi antasid) atau integritas usus (Penyakit
radang usus, riwayat operasi pencernaan, atau perubahan flora usus oleh
pemberian antibiotik) meningkatkan kerentanan terhadap infeksi Salmonella.
Begitu salmonella mencapai usus kecil, mereka menembus lapisan lendir usus
dan melintasi lapisan usus melalui sel mikrofold fagosit (M) yang berada di
dalam Peyer’s Patch. Salmonella bisa memicu pembentukan kerutan pada
membran sel epitel normal yang nonfagositik. Kerutan ini menjangkau dan
menelan bakteri yang melekat dalam vesikel besar dengan suatu proses
disebut sebagai bakteri-mediated endocytosis (BME). BME bergantung pada
protein Salmonella yang masuk ke dalam sitoplasma sel epitel oleh sistem
sekresi bakteri (sekresi tipe III). Protein bakteri ini akan memediasi perubahan
sitoskeleton aktin yang diperlukan untuk serapan Salmonella.
Setelah melintasi lapisan epitel usus kecil, S. Typhi dan S. Paratyphi,
yang menyebabkan demam enteric (tipus), difagositosis oleh makrofag.
Salmonella ini selamat dari lingkungan antimikroba makrofag dengan
merasakan sinyal lingkungan yang memicu perubahan dalam sistem
pengaturan bakteri fagositosis. Salah satu bentuk system pengaturannya
adalah dengan memicu ekspresi protein membran luar dan memediasi
modifikasi di LPS sehingga bakteri dapat terbebas dari aktivitas mikrobisida
dan berpotensi mengubah pensinyalan sel host. Selain itu, salmonella
menyandikan sistem sekresi tipe III kedua yang secara langsung memberikan
protein bakteri melintasi membran fagosom ke dalam sitoplasma makrofag.
Sekresi fungsi sistem ini mengandung vakuola Salmonella sehingga
mempromosikan kelangsungan hidup dan replikasi bakteri.
Setelah difagositosis, salmonella menyebar ke seluruh tubuh tubuh
dalam makrofag melalui jalur limfatik dan menjajah jaringan
retikuloendotelial (hati, limpa, kelenjar getah bening, dan sumsum tulang).
Pasien memiliki tanda yang relatif sedikit atau tidak sama sekali dan gejala
selama tahap inkubasi awal ini. Tanda dan gejala, termasuk demam dan sakit
perut, dapat merupakan hasil dari sekresi sitokin oleh makrofag dan sel epitel
sebagai respons terhadap produk bakteri yang diakui oleh reseptor imun
bawaan saat jumlah organisme telah banyak direplikasi. Seiring waktu,
perkembangan hepatosplenomegali kemungkinan berhubungan dengan
rekrutmen sel mononuklear dan pengembangannya dari respon imun yang
dimediasi sel khusus untuk Kolonisasi S. typhi. Pembesaran dan Nekrosis
Peyer’s Patch dapat terjadi karena rekrutmen tambahan sel mononuklear dan
limfosit ke Peyer’s Patch ataupun dimediasi oleh produk bakteri yang
mempromosikan kematian sel serta respons peradangan.
V. MANIFESTASI KLINIK
Demam enterik terdiri dari demam dan sakit perut yang
manifestasinya bervariasi. Meskipun demam ditemui pada lebih dari 75% dari
kasus, nyeri perut dilaporkan hanya 30-40%. Indeks kecurigaan yang tinggi
untuk demam enterik ini diperlukan ketika seseorang datang dengan demam
dan sejarah perjalanan baru-baru ini ke negara berkembang.
Rata-rata masa inkubasi S.Typhi 10-14 hari tetapi berkisar antara 3
hingga 21 hari, dengan durasinya kemungkinan besar mencerminkan jumlah
inoculum, kesehatan inang dan status kekebalan tubuh. Gejala yang paling
menonjol adalah berkepanjangan demam (38,8° –40,5° C; 101,8° –104,9 ° F),
yang bisa bertahan hingga 4 minggu jika tidak diobati. S. Paratyphi A diduga
menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada S. Tipi, dengan gejala
gastrointestinal dominan. Namun, prospektif studi 669 kasus berturut - turut
demam enterik di Indonesia, Kathmandu dan Nepal, menemukan bahwa
infeksi tersebut secara klinis tidak bisa dibedakan. Dalam seri ini, gejala
dilaporkan pada evaluasi medis awal termasuk sakit kepala (80%), menggigil
(35-45%), batuk (30%), berkeringat (20-25%), myalgia (20%), malaise (10%),
dan arthralgia (2-4%). Gejala saluran pencernaan termasuk anoreksia (55%),
sakit perut (30-40%), mual (18-24%), muntah (18%), dan diare (22-28%)
lebih sering terjadi daripada konstipasi (13-16%). Temuan fisik termasuk lidah
typhoid (51–56%), splenomegali (5-6%), dan nyeri tekan perut (4-5%).
Temuan fisik awal demam enterik termasuk ruam ("Bintik-bintik
mawar"), hepatosplenomegali (3-6%), epistaksis, dan bradikardia relatif pada
puncak demam tinggi. Bintik-bintik mawar (Gambar 3.2) berwarna salmon,
pucat, ruam makulopapular terletak terutama di perut dan dada. Ruam ini
terlihat pada ∼30% pasien di RSUP akhir minggu pertama dan hilang tanpa
jejak setelah 2-5 hari. Pasien dapat memiliki dua atau tiga lesi, dan Salmonella
dapat dibiakkan dari biopsi punch lesi ini. Ruam yang pucat sulit untuk
dideteksi pada pasien dengan warna kulit gelap.
Perkembangan keparahan penyakit (yang terjadi di Indonesia) ∼10–
15% pasien) tergantung pada faktor inang (imunosupresi, terapi antasid,
paparan sebelumnya, dan vaksinasi), strain virulensi dan inokulum, dan
pilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal (10-20%) dan perforasi
usus (1-3%) paling sering terjadi di minggu ketiga dan keempat dan
merupakan hasil dari hiperplasia, ulserasi, dan nekrosis Peyer’s patch di lokasi
awal infiltrasi Salmonella. Kedua komplikasi ini mengancam jiwa dan
membutuhkan resusitasi cairan dan intervensi bedah segera, dengan
memperluas cakupan antibiotik untuk peritonitis polimikroba dan pengobatan
perdarahan gastrointestinal, termasuk reseksi usus. Manifestasi neurologis
terjadi pada 2-40% pasien dan termasuk meningitis, Guillain- Sindrom Barré,
neuritis, dan gejala neuropsikiatri (dijelaskan sebagai " delirium bergumam "
atau "koma vigil"), dengan manifestasi paasien senang memilin di seprai atau
melihat benda imajiner.
Komplikasi langka yang insidennya berkurang dengan perawatan
antibiotik cepat termasuk koagulasi diseminata intravascular, sindrom
hematofagosit, pankreatitis, abses hati dan limpa serta granuloma,
endokarditis, perikarditis, miokarditis, orkitis, hepatitis, glomerulonefritis,
pielonefritis dan sindrom uremik hemolitik, berat pneumonia, radang sendi,
osteomielitis, dan parotitis. Sekitar 10% pasien mengalami kekambuhan
ringan, biasanya dalam 2-3 minggu resolusi demam dan dalam hubungan
dengan strain yang sama jenis dan profil kerentanan.
Gambar 3.2 Skin rash pada demam typhoid
Hingga 10% dari pasien dengan demam tifoid yang tidak diobati
mengeluarkan S. Typhi dalam tinja hingga 3 bulan, dan 1-4% merupakan
kasus asimptomatik kronis, dengan ditemukannya S. Typhi dalam urin atau
feses selama> 1 tahun. kasus asimptomatik kronis lebih sering terjadi pada
wanita, bayi, dan orang dengan kelainan empedu atau kandung kemih atau
bersamaan infeksi dengan Schistosoma haematobium.
VI. DIAGNOSA
Karena presentasi klinis demam enterik relative tidak spesifik,
diagnosis perlu dipertimbangkan dalam bentuk apa pun termasuk pelancong
demam yang kembali dari negara berkembang, terutama anak benua India,
Filipina, atau Amerika Latin. Diagnosis lain yang harus dipertimbangkan
dalam perjalanan ini termasuk malaria, hepatitis, bakteri enteritis, demam
berdarah, infeksi riketsia, leptospirosis, abses hati amebik, dan infeksi HIV
akut. Selain kultur bakteri, tidak ada tes laboratorium khusus diagnostik untuk
demam enterik. Dalam 15-25% kasus, leukopenia dan neutropenia dapat
dideteksi. Leukositosis lebih banyak umum di antara anak-anak, selama 10
hari pertama sakit, dan dalam kasus yang rumit oleh perforasi usus atau
infeksi sekunder. Temuan laboratorium tidak spesifik lainnya termasuk tes
fungsi hati yang cukup tinggi dan tingkat enzim otot.
Diagnosis definitif demam enterik membutuhkan isolasi S. Typhi
atau S. Paratyphi dari darah, tulang sumsum, tempat-tempat steril lainnya,
bintik-bintik mawar, tinja, atau usus sekresi. Hasil kultur darah sangat
bervariasi; sensitivitasnya setinggi 90% selama minggu pertama infeksi dan
menurun hingga 50% pada minggu ketiga. Hasil yang rendah pada pasien
yang terinfeksi berhubungan dengan rendahnya jumlah salmonella (<15
organisme / mL) dan atau untuk pengobatan antibiotik baru-baru ini.
Tidak seperti kultur darah, kultur sumsum tulang tetap sangat (90%)
sensitif walaupun telah menjalani terapi antibiotik selama 5 hari. Kultur
sekresi usus (terbaik diperoleh secara noninvasive dengan uji string
duodenum) dapat positif meskipun kultur sumsum tulang negatif. Jika darah,
sumsum tulang, dan sekresi usus semua dikultur, hasilnya > 90%. Kultur tinja,
meskipun negatif pada 60-70% dari kasus selama minggu pertama, bisa
menjadi positif selama minggu ketiga infeksi pada pasien yang tidak diobati.
Beberapa tes serologis, termasuk tes Widal tidak cukup sensitif atau spesifik
untuk menggantikan metode kultur sebagai alat diagnostik demam enterik.
Sedang dikembangkan penelitian terkait reaksi rantai polimerase dan
pemeriksaan DNA tes untuk mendeteksi S. Tipi dalam darah.