Anda di halaman 1dari 26

Longitudinal Case

SEORANG PEREMPUAN 18 TAHUN DENGAN TYPHOID FEVER

Oleh:
Dhea Qiasita G99181019

Pembimbing:
dr Arifa Martha

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Besar Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

SEORANG PEREMPUAN 18 TAHUN DENGAN TYPHOID FEVER

Oleh:
Dhea Qiasita G99181019

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal

dr Arifa Martha
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Nn. V
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Nogosari, Boyolali
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 3 Februari 2020
Tanggal Periksa : 3 Februari 2020

B. Data dasar
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan saat hari pertama
dan selama perawatan di Bangsal Melati Puskesmas Nogosari

Keluhan utama:
Pusing selama 10 hari
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD Puskesmas Nogosari dengan keluhan
pusing berdenyut selama 10 hari. Awalnya pusing dirasakan tidak
seperti berputar, namun 2 hari terakhir pasien merasa pusing berputar.
Pusing menetap dan tidak hilang dengan obat pusing dari apotek.
Pusing dirasakan sampai membuat pasien berkunang-kunang dan
tidak kuat beraktivitas. Pusing disertai mual dan panas. Pasien juga
mengeluhkan penurunan nafsu makan. Muntah disangkal. Telinga
berdengung disangkal. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat sakit serupa Disangkal
Riwayat tekanan darah
Disangkal
tinggi
Riwayat sakit gula Disangkal
(+) operasi apendiktomi 10
Riwayat operasi
tahun yang lalu
Riwayat alergi Disangkal
Riwayat sakit ginjal Disangkal

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat sakit serupa Disangkal
Riwayat sakit gula Disangkal
Riwayat tekanan darah
Disangkal
tinggi
Riwayat alergi Disangkal

Riwayat kebiasaan
Makan Pasien mengaku makan 3-4 kali sehari
dengan nasi dan lauk pauk. Pasien mengaku
makan tidak teratur
Olahraga Disangkal
Suplemen Disangkal
multivitamin

Riwayat gizi
Pasien mempunyai pola makan yang tidak menentu dan biasa
mengkonsumsi makanan pedas dengan gizi seimbang. Saat ini pasien
mengalami sedikit penurunan nafsu makan.
Riwayat sosial ekonomi
Pasien bekerja sebagai pelajar. Pasien tinggal bersama ibu, ayah
dan ketiga anaknya. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS.
Pohon keluarga pasien:

Keterangan
Laki –laki

Pasien

Perempuan

Meninggal dunia

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 3 Februari 2020 dengan hasil sebagai
berikut:
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis,
GCS E4V5M6, kesan gizi kurang
2. Tanda vital
 Tensi : 103/80 mmHg
 Nadi : 98 kali /menit
 Frekuensi nafas : 20 kali /menit
 Suhu : 37.2 0 C
3. Status gizi
 BeratBadan : 35 kg
 Tinggi Badan : 145 cm
 IMT : 17.2 kg/m2
 Kesan : underweight
4. Kulit : Warna coklat, turgor menurun (-), kering (-)
5. Kepala : mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-),
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-),pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek
cahaya (+/+), strabismus (-/-), nistagmus (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
8. Hidung : Tersumbat (-), sekret (-), gatal (-),
9. Mulut : lidah typhoid (-), Mukosa Basah (+), sianosis (-), gusi
berdarah (-), papil lidah atrofi (-), gusi berdarah (-),
10. Leher : JVP R+2 cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
leher (-), leher kaku (-),
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan = kiri, retraksi intercostal (-), sela iga melebar (-),
pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-),
12. Jantung
 Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
 Palpasi : Ictus kordis teraba, tidak kuat angkat
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
13. Pulmo
 Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi intercostal (-).
 Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
 Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada
SIC VI linea medioclavicularis dextra, pekak pada
batas absolut paru hepar
- Kiri : Sonor, sesuai batas paru jantung pada SIC V linea
medioclavicularis sinistra
 Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-), ronki basah
kasar (-),
- Kiri : Suara dasar vesikuler normal, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-), ronki basah
kasar (-),
13. Abdomen
 Inspeksi : Dinding perut lebih rendah dari dinding thorak,
ascites (-).
 Auskultasi : Bising usus (+) 12 x / menit
 Perkusi : meterorismus (+), pekak alih (-), liver span 10 cm.
 Palpasi : distended (+), nyeri tekan(+), nyeri lepas (-),
defans muskuler (-), hepar dan lien tidak teraba,
14. Ekstremitas :
Akral dingin _ _ Oedem - -
_ _ - -
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium darah
Tanggal 3 Februari 2020
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 13.7 g/dl 12 – 16
Hct 34 % 35 – 45
AL 7.2 10 /  L
3
4.0 – 10.0
AT 318 103 /  L 150 – 450
AE 5.03 106/  L 3.80 – 5.00
HITUNG JENIS
Netrofil Segmen 51 % 36 – 73
Limfosit 41 % 15 – 45
Mid 8 % 0 – 11
SEROLOGI
S Typhii O Negatif Negatif
S Typhii H 1/320 Negatif

IV. RESUME

1. Keluhan utama
Pusing selama 10 hari
2. Anamnesis:
Pusing berdenyut selama 10 hari. Awalnya pusing dirasakan tidak
seperti berputar, namun 2 hari terakhir pasien merasa pusing
berputar. Pusing menetap dan tidak hilang dengan obat pusing dari
apotek. Pusing dirasakan sampai membuat pasien berkunang-
kunang dan tidak kuat beraktivitas. Pusing disertai mual dan panas.
Pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan.
3. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, GCS
E4/V5/M6. Kesan gizi underweight. Tekanan darah 103/80 mmHg
Nadi 98 kali /menit, Frekuensi nafas : 20 kali /menit, Suhu : 37.20
C . Pemeriksaan abdomen didapatkan Dinding perut lebih rendah
dari dinding thorak, meterorismus (+), distended (+), nyeri
tekan(+).
4. Pemeriksaan tambahan:
a. Laboratorium darah (03/02/2020):
S typhii H 1/320

V. DIAGOSIS BANDING
1. Typhoid Fever
2. Dengue Fever
3. Malaria

VI. DIAGOSIS ATAU PROBLEM


1. Typhoid Fever

VII. TATA LAKSANA


1. Bed Rest tidak total
2. Diet Lunak TKTP
3. Infus RL 20 tpm
4. Injeksi Ranitidin 1 ampul/12jam
5. Injeksi ondansentron 1 ampul
6. Injeksi Spashi 1 ampul
7. Paracetamol 3x1 tab
8. Tiamphenicol 3x1 tab

VIII. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad sanam : dubia ad bonam
3. Ad fungsionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP

Tanggal 04/02/2020 (DPH 1)


Subyektif Pusing dan nyeri perut, mual (+)
Obyektif KU : Sadar, Compos Mentis
Tensi : 90/62 mmHg
Respirasi : 20 kali /menit
Nadi : 79 kali /menit
Suhu : 37,3° C
VAS :2
Kepala : mesocephal
Mata : Mata merah (-/-), CA(-/-), SI(-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : Sianosis(-), mukosa basah (+), lidah typhoid (-)
Leher : JVP R+2 cm, KGB tidak membesar
Cor
I : IC tidak tampak
P : IC teraba di Ictus kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS
IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor/sonor
A : Suara dasar vesikuler(+/+), ronki basah halus (-/-)
Abdomen
I : DP lebih rendah dari DD
A : Bising usus (+) 6 x/menit
P : meteorismus (+)
P : hepar lien tidak teraba
Ekstremitas

Akral Dingin - -
- -
Assesment 1. Typhus Abdominalis
Terapi 1. Bed Rest tidak total
2. Diet Lunak TKTP
3. Infus RL 20 tpm
4. Injeksi Ranitidin 1 ampul/12jam
5. Dimenhidrinat 3x1 tab
6. Paracetamol 3x1 tab
7. Tiamphenicol 3x1 tab
Tanggal 05/02/2020 (DPH 2)
Subyektif Pusing, mual, nyeri perut berkurang
Obyektif KU : Sadar, Compos Mentis
Tensi : 96/60 mmHg
Respirasi : 20 kali /menit
Nadi : 70 kali /menit
Suhu : 36° C
VAS :2
Kepala : mesocephal
Mata : Mata merah (-/-), CA(-/-), SI(-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : Sianosis(-), mukosa basah (+), lidah typhoid (-)
Leher : JVP R+2 cm, KGB tidak membesar
Cor
I : IC tidak tampak
P : IC teraba di Ictus kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS
IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor/sonor
A : Suara dasar vesikuler(+/+), ronki basah halus (-/-)
Abdomen
I : DP lebih rendah dari DD
A : Bising usus (+) 6 x/menit
P : meteorismus (-)
P : hepar lien tidak teraba
Ekstremitas

Akral Dingin - -
- -
Assesment 1. Typhus Abdominalis
Terapi 1. Bed Rest tidak total
2. Diet Lunak TKTP
3. Infus RL 20 tpm
4. Injeksi Ranitidin 1 ampul/12jam
5. Dimenhidrinat 3x1 tab
6. Paracetamol 3x1 tab
7. Tiamphenicol 3x1 tab
Tanggal 06/02/2020 (DPH 3)
Subyektif Tidak ada keluhan
Obyektif KU : Sadar, Compos Mentis
Tensi : 89/59 mmHg
Respirasi : 20 kali /menit
Nadi : 68 kali /menit
Suhu : 36,4° C
VAS :1
Kepala : mesocephal
Mata : Mata merah (-/-), CA(-/-), SI(-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : Sianosis(-), mukosa basah (+), lidah typhoid (-)
Leher : JVP R+2 cm, KGB tidak membesar
Cor
I : IC tidak tampak
P : IC teraba di Ictus kordis teraba di SIC VI 2 cm lateral LMCS
IC tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo
I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor/sonor
A : Suara dasar vesikuler(+/+), ronki basah halus (-/-)
Abdomen
I : DP lebih rendah dari DD
A : Bising usus (+) 6 x/menit
P : meteorismus (-)
P : hepar lien tidak teraba
Ekstremitas

Akral Dingin - -
- -
Assesment 1. Typhus Abdominalis
Terapi BLPL
BAB II

KUNJUNGAN RUMAH

I. DATA ANGGOTA KELUARGA

Hubungan Umur Pendidikan


NO Nama
dengan KK (tahun) Terakhir
1 Yulinoto KK 42 SMP
2 Rukimah Istri 39 SMP
3 Vanessa Yulia Anak 17 SMA
4 Divika Nur Anak 13 SMP
5 Oktavia Putri Anak 5 PAUD

II. DATA PENUNJANG KELUARGA


a. Rumah dan Sanitasi
Kunjungan rumah dilakukan 2 kali yaitu pada tanggal 17
dan 18 Februari 2020 dikarenakan individu yang sakit tidka dapat
ditemui pada tanggal 17 Februari 2020.
Kondisi tempat tinggal pasien dan keluarga baik dengan
ventilasi cukup dan pencahayaan baik. Terdapat saluran buang
limbah yang cukup karena walaupun telah tersesia saluran buang
limbah keluarga pasien mengaku masih sering membuang sampah
di halaman rumah dan membakarnya. Terdapat sumber air bersih
dan sehat dan jamban yang memenuhi syarat. Terdapat tempat
sampah dibelakang rumah. Rasio luas bangunan rumah ukuran
45m2 untuk 5 anggota keluarga sudah sesuai dengan standard
minimal 8m2 untuk 1 anggota keluarga.

b. PHBS di Rumah Tangga


Ibu hamil dikeluarga pasien belum selalu ditolong oleh
tenaga kesehatan. Setiap anak di keluarga pasien diberikan ASI
esklusif selama 6 bulan ketika bayi dan ditimbang setiap bulan
ketika balita. Keluarga pasien menggunakan air bersih untuk
makan, minum, kebersihan diri dan mencuci tangan. Keluarga
pasien belum membuang sampah pada tempatnya namun sudah
berupaya menjaga lingkungan rumah tampak bersih. Keluarga
pasien mengkonsumsi lauk, pauk, sayur dan buah setiap hari.
Keluarga pasien menggunakan jamban sehat dan mengaku
memberantas jentik dirumah setiap minggu. Keluarga pasien tidak
berolahraga setiap hari.Terdapat anggota keluarga yang masih
merokok didalam rumah.

III. DATA PENGKAJIAN INDIVIDU YANG SAKIT

Pengkajian individu yang sakit, Nn. V, dilakukan pada tanggal 18


Februari 2020. Pengkajian meliputi anamnesis dan pemeriksaan tanda vital.
Hasil dari anamnesis adalah adanya keluhan berupa pasien merasa
pertahanan tubuhnya kurang ditandai dengan merasa meliliit setelah makan
makanan yang sedikit pedas, BAB cair sebanyak 2 kali pada saat tanggal 10
Februari 2020 dan sering pusing jika kelelahan atau kehujanan. Pasien juga
menyampaikan bahwa pada tanggal 14 Februari 2020 pasien sempat
memeriksakan tekanan darah ke apotik dan mendapat hasil 70/64mmHg.
Pada saat pemeriksaan tanda vital pasien didapati dalam batas
normal dengan tekanan darah 90/60mmHg, suhu 36.8, laju pernapasan
10x/menit dan laju nadi 90x/menit.

IV. DOKUMENTASI

Gambar 2.1 Kunjungan Rumah dan tampak depan rumah keluarga pasien
pada tanggal 17(Kiri) dan 18(Kanan) Februari 2020
Gambar 2.2 Ruang tengah keluarga pasien tampak cukup luas dengan
ventilasi dan pencahayaan cukup

Gambar 2.3 Jamban permanen keluarga pasien


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Bakteri dari genus Salmonella sangat mudah beradaptasi baik pada


manusia maupun hewan dan menyebabkan spektrum penyakit yang luas.
Pertumbuhan serotipe S. Typhi dan S. Paratyphi terbatas pada inang manusia dan
menyebabkan demam enterik (tipus). Serotipe lainnya (Salmonella nontyphoidal,
atau NTS) dapat berkoloni di saluran pencernaan berbagai hewan, termasuk
mamalia, reptil, burung, dan serangga. Lebih dari 200 serotipe yang bersifat
patogen bagi manusia sering menyebabkan gastroenteritis dan dapat dikaitkan
dengan infeksi lokal dan / atau bakteremia.

I. ETIOLOGI
Genus basil gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae ini terdiri
dari dua spesies: S. choleraesuis, yang berisi enam subspesies, dan S.
bongori. Hampir semua serotipe S. choleraesuis subspesies I merupakan
pathogen untuk manusia. Karena sebutan S. choleraesuis mengacu untuk
spesies dan serotipe, penunjukan spesies S. enterica telah direkomendasikan
dan diadopsi secara luas. Menurut sistem nomenklatur Salmonella saat ini,
penunjukan taksonomi penuh Salmonella enterica subspecies enterica
serotype Typhimurium dapat dipersingkat untuk Salmonella serotipe
Typhimurium, atau cukup Salmonella Typhimurium.
Anggota dari tujuh subspesies Salmonella diklasifikasikan ke> 2400
serotipe (serovar) sesuai dengan dinding sel antigen O [lipopolysaccharide
(LPS) somatic komponen], antigen Vi permukaan (terbatas pada S. Typhi
dan S. Paratyphi C), dan antigen flagellar H. Untuk kesederhanaan, sebagian
besar serotipe Salmonella diberi nama untuk kota tersebut di mana mereka
diidentifikasi, dan serotipe sering digunakan sebagai sebutan spesies.
Salmonellae bersifat gram negatif, tidak membentuk spora, secara fakultatif
basil anaerob yang berukuran panjang 2-3 μm dan lebar 0,4-0,6 μm.
II. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid merupakan penyakit yang rawan terjadi di Indonesia,
karena karakteristik iklim yang sangat rawan dengan penyakit yang
berhubungan dengan musim. Terjadinya penyakit yang berkaitan dengan
musim yang ada di Indonesia dapat dilihat meningkatnya kejadian penyakit
pada musim hujan. Penyakit yang harus diwaspadai pada saat musim hujan
adalah ISPA, leptosiposis, penyakit kulit, diare, demam berdarah dan demam
tifoid.
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit terbanyak di Rumah
Sakit dan Puskesmas di Jawa Timur pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Pada
data Riskesdas 2007 menyatakan bahwa Kabupaten Situbondo menempati
posisi ke 2 yang mempunyai prevalensi demam tifoid terbesar di Provinsi
Jawa Timur dengan prevalensi sebesar 1,59% diagnosis dan 2,53% diagnosis
dan gejala. Data RSUD dr. Abdoer Rahem pada tahun 2013 menyatakan
bahwa demam tifoid termasuk posisi ke 3 penyakit rawat inap pada tahun
2012. Kelompok usia 5–14 tahun merupakan kelompok usia terbanyak yang
terkena demam tifoid yakni sebanyak 136 kasus dari 406 kasus. Berdasarkan
laporan dari RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo pada tahun 2014
menyatakan bahwa angka kejadian demam tifoid mengalami kenaikan dari
tahun 2011 hingga 2013.

III. PATOGENESIS
Semua infeksi Salmonella dimulai dengan menelan organisme dalam
makanan atau air yang terkontaminasi. Dosis menular yaitu sebesar 103–106
unit pembentuk koloni. Kondisi yang menurunkan keasaman lambung
(seperti: usia <1 tahun, konsumsi antasid) atau integritas usus (Penyakit
radang usus, riwayat operasi pencernaan, atau perubahan flora usus oleh
pemberian antibiotik) meningkatkan kerentanan terhadap infeksi Salmonella.
Begitu salmonella mencapai usus kecil, mereka menembus lapisan lendir usus
dan melintasi lapisan usus melalui sel mikrofold fagosit (M) yang berada di
dalam Peyer’s Patch. Salmonella bisa memicu pembentukan kerutan pada
membran sel epitel normal yang nonfagositik. Kerutan ini menjangkau dan
menelan bakteri yang melekat dalam vesikel besar dengan suatu proses
disebut sebagai bakteri-mediated endocytosis (BME). BME bergantung pada
protein Salmonella yang masuk ke dalam sitoplasma sel epitel oleh sistem
sekresi bakteri (sekresi tipe III). Protein bakteri ini akan memediasi perubahan
sitoskeleton aktin yang diperlukan untuk serapan Salmonella.
Setelah melintasi lapisan epitel usus kecil, S. Typhi dan S. Paratyphi,
yang menyebabkan demam enteric (tipus), difagositosis oleh makrofag.
Salmonella ini selamat dari lingkungan antimikroba makrofag dengan
merasakan sinyal lingkungan yang memicu perubahan dalam sistem
pengaturan bakteri fagositosis. Salah satu bentuk system pengaturannya
adalah dengan memicu ekspresi protein membran luar dan memediasi
modifikasi di LPS sehingga bakteri dapat terbebas dari aktivitas mikrobisida
dan berpotensi mengubah pensinyalan sel host. Selain itu, salmonella
menyandikan sistem sekresi tipe III kedua yang secara langsung memberikan
protein bakteri melintasi membran fagosom ke dalam sitoplasma makrofag.
Sekresi fungsi sistem ini mengandung vakuola Salmonella sehingga
mempromosikan kelangsungan hidup dan replikasi bakteri.
Setelah difagositosis, salmonella menyebar ke seluruh tubuh tubuh
dalam makrofag melalui jalur limfatik dan menjajah jaringan
retikuloendotelial (hati, limpa, kelenjar getah bening, dan sumsum tulang).
Pasien memiliki tanda yang relatif sedikit atau tidak sama sekali dan gejala
selama tahap inkubasi awal ini. Tanda dan gejala, termasuk demam dan sakit
perut, dapat merupakan hasil dari sekresi sitokin oleh makrofag dan sel epitel
sebagai respons terhadap produk bakteri yang diakui oleh reseptor imun
bawaan saat jumlah organisme telah banyak direplikasi. Seiring waktu,
perkembangan hepatosplenomegali kemungkinan berhubungan dengan
rekrutmen sel mononuklear dan pengembangannya dari respon imun yang
dimediasi sel khusus untuk Kolonisasi S. typhi. Pembesaran dan Nekrosis
Peyer’s Patch dapat terjadi karena rekrutmen tambahan sel mononuklear dan
limfosit ke Peyer’s Patch ataupun dimediasi oleh produk bakteri yang
mempromosikan kematian sel serta respons peradangan.

Gambar 3.1 Patogenesis masuknya bakteri Salmonella pada manusia

Berbeda dengan demam enterik, yang ditandai dengan infiltrasi sel


mononuklear ke usus kecil mukosa, gastroenteritis NTS ditandai oleh infiltrasi
leukosit polimorfonuklear (PMN) massif di mukosa usus besar dan kecil.
Respons ini tergantung pada induksi interleukin (IL) 8, faktor kemotaksis
neutrofil yang kuat, yang disekresikan oleh sel-sel usus sebagai akibat dari
kolonisasi Salmonella dan translokasi protein bakteri ke dalam sel inang
sitoplasma. Degranulasi dan pelepasan zat beracun oleh neutrofil dapat
menyebabkan kerusakan pada usus mukosa, menyebabkan diare inflamasi
pada gastroenteritis nontyphoidal.

IV. DEMAM TIFOID


Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam
dan sakit perut disebabkan oleh penyebaran S. Typhi atau S. Paratyphi.
Awalnya penyakit ini disebut demam tifoid karena kesamaan klinisnya dengan
tifus. Namun, pada awal 1800-an, demam tifoid jelas didefinisikan secara
patologis sebagai penyakit unik berdasarkan hubungannya dengan Peyer’s
Patch mesenterika yang diperbesar kelenjar getah bening. Pada tahun 1869,
diberikan situs anatomi infeksi, istilah demam enterik diusulkan sebagai
sebutan alternatif untuk membedakan demam tifoid dari tipus. Namun, hingga
hari ini, kedua sebutan itu adalah digunakan secara bergantian.

V. MANIFESTASI KLINIK
Demam enterik terdiri dari demam dan sakit perut yang
manifestasinya bervariasi. Meskipun demam ditemui pada lebih dari 75% dari
kasus, nyeri perut dilaporkan hanya 30-40%. Indeks kecurigaan yang tinggi
untuk demam enterik ini diperlukan ketika seseorang datang dengan demam
dan sejarah perjalanan baru-baru ini ke negara berkembang.
Rata-rata masa inkubasi S.Typhi 10-14 hari tetapi berkisar antara 3
hingga 21 hari, dengan durasinya kemungkinan besar mencerminkan jumlah
inoculum, kesehatan inang dan status kekebalan tubuh. Gejala yang paling
menonjol adalah berkepanjangan demam (38,8° –40,5° C; 101,8° –104,9 ° F),
yang bisa bertahan hingga 4 minggu jika tidak diobati. S. Paratyphi A diduga
menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada S. Tipi, dengan gejala
gastrointestinal dominan. Namun, prospektif studi 669 kasus berturut - turut
demam enterik di Indonesia, Kathmandu dan Nepal, menemukan bahwa
infeksi tersebut secara klinis tidak bisa dibedakan. Dalam seri ini, gejala
dilaporkan pada evaluasi medis awal termasuk sakit kepala (80%), menggigil
(35-45%), batuk (30%), berkeringat (20-25%), myalgia (20%), malaise (10%),
dan arthralgia (2-4%). Gejala saluran pencernaan termasuk anoreksia (55%),
sakit perut (30-40%), mual (18-24%), muntah (18%), dan diare (22-28%)
lebih sering terjadi daripada konstipasi (13-16%). Temuan fisik termasuk lidah
typhoid (51–56%), splenomegali (5-6%), dan nyeri tekan perut (4-5%).
Temuan fisik awal demam enterik termasuk ruam ("Bintik-bintik
mawar"), hepatosplenomegali (3-6%), epistaksis, dan bradikardia relatif pada
puncak demam tinggi. Bintik-bintik mawar (Gambar 3.2) berwarna salmon,
pucat, ruam makulopapular terletak terutama di perut dan dada. Ruam ini
terlihat pada ∼30% pasien di RSUP akhir minggu pertama dan hilang tanpa
jejak setelah 2-5 hari. Pasien dapat memiliki dua atau tiga lesi, dan Salmonella
dapat dibiakkan dari biopsi punch lesi ini. Ruam yang pucat sulit untuk
dideteksi pada pasien dengan warna kulit gelap.
Perkembangan keparahan penyakit (yang terjadi di Indonesia) ∼10–
15% pasien) tergantung pada faktor inang (imunosupresi, terapi antasid,
paparan sebelumnya, dan vaksinasi), strain virulensi dan inokulum, dan
pilihan terapi antibiotik. Pendarahan gastrointestinal (10-20%) dan perforasi
usus (1-3%) paling sering terjadi di minggu ketiga dan keempat dan
merupakan hasil dari hiperplasia, ulserasi, dan nekrosis Peyer’s patch di lokasi
awal infiltrasi Salmonella. Kedua komplikasi ini mengancam jiwa dan
membutuhkan resusitasi cairan dan intervensi bedah segera, dengan
memperluas cakupan antibiotik untuk peritonitis polimikroba dan pengobatan
perdarahan gastrointestinal, termasuk reseksi usus. Manifestasi neurologis
terjadi pada 2-40% pasien dan termasuk meningitis, Guillain- Sindrom Barré,
neuritis, dan gejala neuropsikiatri (dijelaskan sebagai " delirium bergumam "
atau "koma vigil"), dengan manifestasi paasien senang memilin di seprai atau
melihat benda imajiner.
Komplikasi langka yang insidennya berkurang dengan perawatan
antibiotik cepat termasuk koagulasi diseminata intravascular, sindrom
hematofagosit, pankreatitis, abses hati dan limpa serta granuloma,
endokarditis, perikarditis, miokarditis, orkitis, hepatitis, glomerulonefritis,
pielonefritis dan sindrom uremik hemolitik, berat pneumonia, radang sendi,
osteomielitis, dan parotitis. Sekitar 10% pasien mengalami kekambuhan
ringan, biasanya dalam 2-3 minggu resolusi demam dan dalam hubungan
dengan strain yang sama jenis dan profil kerentanan.
Gambar 3.2 Skin rash pada demam typhoid
Hingga 10% dari pasien dengan demam tifoid yang tidak diobati
mengeluarkan S. Typhi dalam tinja hingga 3 bulan, dan 1-4% merupakan
kasus asimptomatik kronis, dengan ditemukannya S. Typhi dalam urin atau
feses selama> 1 tahun. kasus asimptomatik kronis lebih sering terjadi pada
wanita, bayi, dan orang dengan kelainan empedu atau kandung kemih atau
bersamaan infeksi dengan Schistosoma haematobium.

VI. DIAGNOSA
Karena presentasi klinis demam enterik relative tidak spesifik,
diagnosis perlu dipertimbangkan dalam bentuk apa pun termasuk pelancong
demam yang kembali dari negara berkembang, terutama anak benua India,
Filipina, atau Amerika Latin. Diagnosis lain yang harus dipertimbangkan
dalam perjalanan ini termasuk malaria, hepatitis, bakteri enteritis, demam
berdarah, infeksi riketsia, leptospirosis, abses hati amebik, dan infeksi HIV
akut. Selain kultur bakteri, tidak ada tes laboratorium khusus diagnostik untuk
demam enterik. Dalam 15-25% kasus, leukopenia dan neutropenia dapat
dideteksi. Leukositosis lebih banyak umum di antara anak-anak, selama 10
hari pertama sakit, dan dalam kasus yang rumit oleh perforasi usus atau
infeksi sekunder. Temuan laboratorium tidak spesifik lainnya termasuk tes
fungsi hati yang cukup tinggi dan tingkat enzim otot.
Diagnosis definitif demam enterik membutuhkan isolasi S. Typhi
atau S. Paratyphi dari darah, tulang sumsum, tempat-tempat steril lainnya,
bintik-bintik mawar, tinja, atau usus sekresi. Hasil kultur darah sangat
bervariasi; sensitivitasnya setinggi 90% selama minggu pertama infeksi dan
menurun hingga 50% pada minggu ketiga. Hasil yang rendah pada pasien
yang terinfeksi berhubungan dengan rendahnya jumlah salmonella (<15
organisme / mL) dan atau untuk pengobatan antibiotik baru-baru ini.
Tidak seperti kultur darah, kultur sumsum tulang tetap sangat (90%)
sensitif walaupun telah menjalani terapi antibiotik selama 5 hari. Kultur
sekresi usus (terbaik diperoleh secara noninvasive dengan uji string
duodenum) dapat positif meskipun kultur sumsum tulang negatif. Jika darah,
sumsum tulang, dan sekresi usus semua dikultur, hasilnya > 90%. Kultur tinja,
meskipun negatif pada 60-70% dari kasus selama minggu pertama, bisa
menjadi positif selama minggu ketiga infeksi pada pasien yang tidak diobati.
Beberapa tes serologis, termasuk tes Widal tidak cukup sensitif atau spesifik
untuk menggantikan metode kultur sebagai alat diagnostik demam enterik.
Sedang dikembangkan penelitian terkait reaksi rantai polimerase dan
pemeriksaan DNA tes untuk mendeteksi S. Tipi dalam darah.

VII. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN


Secara teoritis, mungkin untuk menghilangkan salmonella yang
menyebabkan demam enterik karena mereka hanya hidup pada manusia dan
disebarkan oleh makanan dan air yang terkontaminasi. Namun, mengingat
tingginya prevalensi penyakit di Indonesia negara-negara berkembang yang
tidak memiliki pembuangan limbah yang memadai dan pengolahan air,
tujuan ini saat ini tidak realistis. Wisatawan negara-negara berkembang harus
diedukasi untuk memantau asupan makanan dan air mereka dengan hati-hati
dan untuk pertimbangkan vaksinasi. Dua vaksin tifoid tersedia secara
komersial: (1) Ty21a, vaksin S. Typhi yang dilemahkan secara oral hidup
(diberikan pada hari 1, 3, 5, dan 7, dengan booster setiap 5 tahun); dan (2) Vi
CPS, vaksin parenteral yang terdiri dari Vi murni polisakarida dari kapsul
bakteri (diberikan dalam satu dosis, dengan booster setiap 2 tahun). Vaksin
parenteral typhoid / paratyphoid A dan B yang lama tidak lagi boleh
diberikan karena efek samping yang signifikan. Vaksin sel utuh yang
terbunuh aseton tersedia hanya untuk digunakan oleh militer A.S. Usia
minimal untuk vaksinasi adalah 6 tahun untuk Ty21a dan 2 tahun untuk Vi
CPS. Saat ini, tidak ada vaksin berlisensi untuk demam paratifoid.

Tabel 3.1 Jenis Vaksin Typhoid dan aturan penggunaannya

VIII. TATA LAKSANA


Pasien tanpa komplikasi dapat diobati secara rawat jalan. Mereka
harus disarankan untuk menggunakan teknik mencuci tangan yang ketat dan
untuk menghindari menyiapkan makanan untuk orang lain selama sakit.
Rawat pasien harus ditempatkan di isolasi kontak selama fase akut infeksi.
Tinja dan urine harus dibuang secara aman.
Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari
pengobatan suportif meliputi istirahat dan diet, medikamentosa, terapi
penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk
mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah
baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama
14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien
diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai
dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk
pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan
dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung
keadaan umum pasien.
Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani
perawatan di rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi
penyakit tifus. Waktu penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga
satu bulan. Jenis antibiotic yang sesuai dapat dilihat di Tabel berikut.

Tabel 3.2 Drug of Choice pada pasien dengan Demam Typhoid


DAFTAR PUSTAKA
Appiah, Grace D;. Hughes, Michael J; Chatham-Stephens, Kevin. 2020. Typhoid
& Paratyphoid Fever. CDC Yellow Book 2020: Health Information for
International Travellers. Chapter 4.
https://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2020/travel-related-infectious-
diseases/typhoid-and-paratyphoid-fever.
Dennis L. Kasper, MD; Anthony S. Fauci, MD. 2010. Harrison’s Infectious
Diseases. The McGraw-Hill Companies. US.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Antisipasi Penyakit Menular Saat Banjir.
Jakarta
Judarwanto, Widodo. 2014. PENANGANAN TERKINI DEMAM TIFOID
(TIFUS). Jurnal Pediatri: Pediatric Infectious Tropical Disease.
https://jurnalpediatri.com/2014/03/20/penanganan-terkini-demam-tifoid-tifus/
Nuruzzaman, Hilda dan Syahrul, Fariani. 2016. ANALISIS RISIKO KEJADIAN
DEMAM TIFOID BERDASARKAN KEBERSIHAN DIRI DAN KEBIASAAN
JAJAN DI RUMAH. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 4, No. 1 Januari 2016:
74–86.
Upadhyay, Rajesh; Nadkar, Milind Y; Muruganathan, A; Tiwaskar, Mangesh;
Amarapurkar, Deepak; Banka, NH; Mehta, Ketan K; Sathyaprakash, BS;
2015. API Recommendations for the Management of Typhoid Fever. Journal
of The Association of Physicians of India Vol. 63 November 2015.

Anda mungkin juga menyukai