Hiperealitas adalah ketidakmampuan kesadaran manusia untuk
membedakan kenyataan dan fantasi sehingga kebenaran, keaslian, kepalsuan, fakta, atau kebohongan sangat sulit untuk dibedakan.
Jean Baudrillad, mengungkapkan
istilah Simulasi dan Simulacra dalam menjelaskan konsep dari Hiperealitas. Menurut Baudrillad, Simulasi adalah keadaan dimana representasi atau gambaran dari sebuah objek menjadi lebih penting daripada objek itu sendiri sedangkan Simulacra adalah sebuah duplikasi yang sebenarnya tidak pernah ada sehingga perbedaan antara duplikasi dan fakta menjadi kabur.
Simulasi, Simulacra, dan Hiperealitas ini sudah melebur bersama
di sela-sela kehidupan kita dan sedikit demi sedikit mengaburkan sisi yang nyata dari sosok kita sebagai makhluk hidup. Simulasi misalnya, dalam kemoderenan yang melahirkan banyaknya media sosial membuat setiap orang merasa harus ikut bermain agar dianggap kekinian. Dalam beberapa media sosial seperti Instagram atau Path, kita akan menemukan banyak pengguna yang menggunggah foto makanan atau rumah makan yang sedang hits di kalangan kelompok tertentu untuk mempertahankan eksistensinya di kelompok tersebut. Tujuan utama dari sebuah objek menjadi tidak lebih penting daripada gambaran objek itu sendiri. Saya sebagai salah satu contoh gambaran manusia yang juga melebur bersama efek Hiperealitas, sialnya, juga mempunyai akun media sosial yang belakangan saya anggap membuang-buang waktu. Setelah membaca beberapa rubrik dan artikel yang membahas Hiperealitas, sosial media, dan internet saya mulai sadar yang saya lakukan selama ini kebanyakan adalah sebuah kesia-siaan yang tidak nyata.
Sebagai pengguna Path selama satu tahun lebih saya akhirnya
memutuskan untuk pensiun sekitar 3 minggu yang lalu. Di dalam sosial media Path ini, pengguna dapat membagikan foto, lokasi, status, bahkan fitur sleep dan awake yang memberitahukan kapan dan dimana kita bangun atau tidur. Apa pentingnya? Private sharing yang dibuat Path dengan membatasi 150 pertemanan-pun sudah bertambah menjadi 500, entah apa alasanya. Yang semakin menjadikan media ini tampak seperti media pamer. Bagaimana tidak, fenomenanya, (tanpa menyinggung pengguna Path yang masih aktif) ketika seorang pengguna utamanya yang dianggap menonjol atau gaul mengunggah aktivitasnya, setelahnya pengguna lain akan berduyun-duyun mengikuti agar tidak dianggap ketinggalan trend. Efek Hiperealitas, agaknya, juga disertai budaya Konsumerisme.
Tanpa memedulikan kondisi kenyataan yang ada pada diri
mereka, yang paling penting punya foto di tempat hits dan di like oleh banyak orang. Bisa makan ditempat mahal dan upload foto makanan tidak peduli dompet kering untuk beberapa hari. Yang paling mengejutkan, adalah fenomena selfie diatas gedung tinggi yang sampai merenggut 2 remaja Russia, meskipun hasil fotonya selamat.
Bahkan, beberapa sosial media tampaknya memang tidak berguna
dan membuat kita bodoh, namun entah bagaimana penggunanya masih beramai-ramai berjejalan dalam Hiperealitas. Sekali lagi, tanpa menyinggung pengguna dari sosial media ini, saya berpendapat bahwa ask.fm adalah salah satu sosial media yang paling tidak berguna dan didalamnya banyak ditemui fenomena bullying karena fitur anonymous-nya. Selain itu, sering dijumpai sebuah pertanyaan yang sebenarnya dari pertanyaan tersebut penanyanya ingin menunjukkan dirinya. Yah, semua orang memang ingin menjadi pusat perhatian. Tetapi dalam dunia Hiperealitas, sulit mengetahui siapa diri kita sebenarnya.
Efek hiperealitas yang melebur bersama dunia maya tersebut juga
meluas di era dimana informasi dapat kita terima hanya dengan sentuhan ujung jari. Informasi-informasi yang kita terima, kita tidak pernah tau mana yang benar dan mana yang salah. Kebenaran dan kebohongan sudah tidak dapat dibedakan batasnya. Kebebasan mengemukakan pendapat menjadi alasan kuat seseorang menyebarkan opininya meskipun tidak dilandasi alasan yang benar. Seperti saat menjelang pemilu Presiden beberapa waktu lalu, pendukung masing-masing pihak menyebarkan informasi bahkan saling menjatuhkan pihak lawan dengan menyebarkan informasi-informasi yang tidak jelas keakuratannya sehingga mengaburkan pikiran pihak-pihak netral.
Menurut Baudrillard, kita hidup dalam dunia yang
semakin kaya informasi dan semakin miskin makna.
Hiperealitas juga membuat orang-orang merasa telah melakukan
sesuatu padahal mereka tidak melakukan apa-apa. Kita seolah- olah empati dan peduli di media sosial hanya dengan sebuah hashtag. Padahal di dunia nyata, kita adalah sosok yang anti sosial. Berteman dengan banyak orang di facebook atau ratusan follower di twitter membuat kita merasa orang-orang ingin mengetahui kehidupan kita. Terkadang, saya berangan-angan tentang dunia yang belum mengenal internet beberapa tahun lampau. Manusia merupakan manusia yang nyata, dunia yang mereka kenal hanyalah dunia yang mereka tinggali, bukan sebuah dunia digital yang menjadikan mereka sosok yang berbeda antara dunia maya dan nyata.
Ketika ingin berkenalan dengan seseorang, kita mendekatinya
untuk memperkenalkan diri dan berjabat tangan, bukan mengklik tombol add friend. Ketika ingin mengetahui seseorang lebih jauh, kita menjalin pertemanan dengan orang-orang terdekatnya agar bisa tahu ia seperti apa, tidak mengunjungi akun sosial medianya dan membaca deskripsi serta status-statusnya, yang dengan kemudahan luar biasa kita bisa tahu dari lagu favoritnya sampai apa yang sedang ia lakukan detik itu. Sebelum internet, dibutuhkan usaha yang tidak mudah untuk ingin berkenalan dengan seseorang, tidak seperti sekarang ketika semua orang beramai-ramai memberitahukan aktivitasnya, ekspresi perasaan, atau kepribadiannya lewat sosial media. Sebelum internet, seseorang akan berusaha lebih untuk mengenal orang lain, menunggu untuk bertatap muka untuk bisa berkomunikasi. Kita, sebagai manusia yang sudah terjerat hiperialisme dan dunia maya, tidak akan merasakan keromantisan seperti itu.