Anda di halaman 1dari 4

Hiperealitas dan Dunia Maya

Rhoma Cahyanti
Follow
Sep 19, 2015 · 4 min read

Hiperealitas adalah ketidakmampuan kesadaran manusia untuk


membedakan kenyataan dan fantasi sehingga kebenaran,
keaslian, kepalsuan, fakta, atau kebohongan sangat sulit untuk
dibedakan.

Jean Baudrillad, mengungkapkan


istilah Simulasi dan Simulacra dalam menjelaskan konsep dari
Hiperealitas. Menurut Baudrillad, Simulasi adalah keadaan
dimana representasi atau gambaran dari sebuah objek menjadi
lebih penting daripada objek itu sendiri
sedangkan Simulacra adalah sebuah duplikasi yang sebenarnya
tidak pernah ada sehingga perbedaan antara duplikasi dan fakta
menjadi kabur.

Simulasi, Simulacra, dan Hiperealitas ini sudah melebur bersama


di sela-sela kehidupan kita dan sedikit demi sedikit mengaburkan
sisi yang nyata dari sosok kita sebagai makhluk hidup. Simulasi
misalnya, dalam kemoderenan yang melahirkan banyaknya media
sosial membuat setiap orang merasa harus ikut bermain agar
dianggap kekinian. Dalam beberapa media sosial
seperti Instagram atau Path, kita akan menemukan banyak
pengguna yang menggunggah foto makanan atau rumah makan
yang sedang hits di kalangan kelompok tertentu untuk
mempertahankan eksistensinya di kelompok tersebut. Tujuan
utama dari sebuah objek menjadi tidak lebih penting daripada
gambaran objek itu sendiri.
Saya sebagai salah satu contoh gambaran manusia yang juga
melebur bersama efek Hiperealitas, sialnya, juga mempunyai akun
media sosial yang belakangan saya anggap membuang-buang
waktu. Setelah membaca beberapa rubrik dan artikel yang
membahas Hiperealitas, sosial media, dan internet saya mulai
sadar yang saya lakukan selama ini kebanyakan adalah sebuah
kesia-siaan yang tidak nyata.

Sebagai pengguna Path selama satu tahun lebih saya akhirnya


memutuskan untuk pensiun sekitar 3 minggu yang lalu. Di dalam
sosial media Path ini, pengguna dapat membagikan foto, lokasi,
status, bahkan fitur sleep dan awake yang memberitahukan kapan
dan dimana kita bangun atau tidur. Apa pentingnya? Private
sharing yang dibuat Path dengan membatasi 150 pertemanan-pun
sudah bertambah menjadi 500, entah apa alasanya. Yang semakin
menjadikan media ini tampak seperti media pamer. Bagaimana
tidak, fenomenanya, (tanpa menyinggung pengguna Path yang
masih aktif) ketika seorang pengguna utamanya yang dianggap
menonjol atau gaul mengunggah aktivitasnya, setelahnya
pengguna lain akan berduyun-duyun mengikuti agar tidak
dianggap ketinggalan trend. Efek Hiperealitas, agaknya, juga
disertai budaya Konsumerisme.

Tanpa memedulikan kondisi kenyataan yang ada pada diri


mereka, yang paling penting punya foto di tempat hits dan di like
oleh banyak orang. Bisa makan ditempat mahal dan upload foto
makanan tidak peduli dompet kering untuk beberapa hari. Yang
paling mengejutkan, adalah fenomena selfie diatas gedung tinggi
yang sampai merenggut 2 remaja Russia, meskipun hasil fotonya
selamat.

Bahkan, beberapa sosial media tampaknya memang tidak berguna


dan membuat kita bodoh, namun entah bagaimana penggunanya
masih beramai-ramai berjejalan dalam Hiperealitas. Sekali lagi,
tanpa menyinggung pengguna dari sosial media ini, saya
berpendapat bahwa ask.fm adalah salah satu sosial media yang
paling tidak berguna dan didalamnya banyak ditemui fenomena
bullying karena fitur anonymous-nya. Selain itu, sering dijumpai
sebuah pertanyaan yang sebenarnya dari pertanyaan tersebut
penanyanya ingin menunjukkan dirinya. Yah, semua orang
memang ingin menjadi pusat perhatian. Tetapi dalam dunia
Hiperealitas, sulit mengetahui siapa diri kita sebenarnya.

Efek hiperealitas yang melebur bersama dunia maya tersebut juga


meluas di era dimana informasi dapat kita terima hanya dengan
sentuhan ujung jari. Informasi-informasi yang kita terima, kita
tidak pernah tau mana yang benar dan mana yang salah.
Kebenaran dan kebohongan sudah tidak dapat dibedakan
batasnya. Kebebasan mengemukakan pendapat menjadi alasan
kuat seseorang menyebarkan opininya meskipun tidak dilandasi
alasan yang benar. Seperti saat menjelang pemilu Presiden
beberapa waktu lalu, pendukung masing-masing pihak
menyebarkan informasi bahkan saling menjatuhkan pihak lawan
dengan menyebarkan informasi-informasi yang tidak jelas
keakuratannya sehingga mengaburkan pikiran pihak-pihak netral.

Menurut Baudrillard, kita hidup dalam dunia yang


semakin kaya informasi dan semakin miskin makna.

Hiperealitas juga membuat orang-orang merasa telah melakukan


sesuatu padahal mereka tidak melakukan apa-apa. Kita seolah-
olah empati dan peduli di media sosial hanya dengan sebuah
hashtag. Padahal di dunia nyata, kita adalah sosok yang anti
sosial. Berteman dengan banyak orang di facebook atau ratusan
follower di twitter membuat kita merasa orang-orang ingin
mengetahui kehidupan kita.
Terkadang, saya berangan-angan tentang dunia yang belum
mengenal internet beberapa tahun lampau. Manusia merupakan
manusia yang nyata, dunia yang mereka kenal hanyalah dunia
yang mereka tinggali, bukan sebuah dunia digital yang
menjadikan mereka sosok yang berbeda antara dunia maya dan
nyata.

Ketika ingin berkenalan dengan seseorang, kita mendekatinya


untuk memperkenalkan diri dan berjabat tangan, bukan mengklik
tombol add friend. Ketika ingin mengetahui seseorang lebih jauh,
kita menjalin pertemanan dengan orang-orang terdekatnya agar
bisa tahu ia seperti apa, tidak mengunjungi akun sosial medianya
dan membaca deskripsi serta status-statusnya, yang dengan
kemudahan luar biasa kita bisa tahu dari lagu favoritnya sampai
apa yang sedang ia lakukan detik itu. Sebelum internet,
dibutuhkan usaha yang tidak mudah untuk ingin berkenalan
dengan seseorang, tidak seperti sekarang ketika semua orang
beramai-ramai memberitahukan aktivitasnya, ekspresi perasaan,
atau kepribadiannya lewat sosial media. Sebelum internet,
seseorang akan berusaha lebih untuk mengenal orang lain,
menunggu untuk bertatap muka untuk bisa berkomunikasi. Kita,
sebagai manusia yang sudah terjerat hiperialisme dan dunia maya,
tidak akan merasakan keromantisan seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai