Anda di halaman 1dari 39

PEMERINTAH KOTA BLITAR

PERATURAN DAERAH KOTA BLITAR


NOMOR 5 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA BLITAR,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf j


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan ditetapkan sebagai salah satu jenis Pajak
Daerah Kabupaten/Kota ;
b. bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 95 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah ;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dan huruf b, maka dipandang perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang – Undang Dasar Negara Republik


Indonesia 1945 ;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi
Jawa Timur/Tengah/Barat;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok – Pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);
4. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);

1
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negaa Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3987);
7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3851) ;
8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4189);
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

2
Tahun 2009 Nomor 130 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5049) ;
11. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) ;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1982 tentang
Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3243 ) ;
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3258) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010, tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5145);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1986 tentang Tata
Cara Pemeriksaan dibidang Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3339);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4049);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari
Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4050);

3
17. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Pengahapusan Piutang Negara Atau Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4488);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4575);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
PedomanPembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis
Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala
Daerah atau Dibayar sendiri Oleh Wajib Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5179);
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah ;

4
24. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.07/2010
tentang Badan Atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang
Tidak Dikenakan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan;

25. Peraturan daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar Nomor


5 tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Blitar ;

26. Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 18 Tahun 2007 tentang


Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah;

27. Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 6 Tahun 2008 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan
Pembangunan dan Lembaga Teknis Daerah sebagaimana
telah dirubah dengan Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 4
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota
Blitar Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan dan
Lembaga Teknis Daerah ;

28. Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 7 Tahun 2008 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah sebagaimana telah
dirubah dengan Peraturan Daerah Kota Blitar Nomor 11
Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota
Blitar Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Daerah ;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BLITAR
dan
WALIKOTA BLITAR,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK BUMI DAN


BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN.

5
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kota Blitar.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Blitar.
3. Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Walikota adalah Walikota Blitar.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah DPRD Kota Blitar.
5. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Badan adalah sekumpulan dan/atau modal yang merupakan kesatuan,
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik Negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah
(BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
7. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan
pajak.
8. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
9. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
10. Kas Umum Daerah adalah Kas Umum Daerah Kota Blitar.
11. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya
disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

6
12. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman serta laut wilayah Kota.
13. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
14. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar,
dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan
melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai
perolehan baru, atau NJOP pengganti.
15. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang selanjutnya disingkat
NJOPTKP, adalah batas NJOP atas Bumi dan/atau Bangunan yang tidak
kena pajak.
16. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP
adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data
subjek dan objek pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
17. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT,
adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada
wajib pajak.
18. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak
yang terutang.
19. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD adalah
bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas
daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
20. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari
pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
21. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah
surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif
berupa bunga dan/atau denda.

7
22. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang
membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan
dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam surat pemberitahuan
pajak terutang, surat ketetapan pajak daerah, surat ketetapan pajak
daerah lebih bayar, surat tagihan pajak daerah, surat keputusan
pembetulan, atau surat keputusan keberatan.
23. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan
terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak
Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh
Wajib Pajak.
24. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding
terhadap surat keputusan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
25. Banding adalah upaya hukum yang dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan
banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
26. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi
daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan
retribusi daerah.
27. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi
daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan daerah dan retribusi
daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
28. Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan
pemerintah daerah yang diberi wewenang khusus untuk melakukan
penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah sebagaimana
dimaksud dalam undang undang hukum acara pidana.
29. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak.

8
BAB II
NAMA, OBJEK DAN SUBJEK PAJAK
Pasal 2
Dengan nama Pajak PBB-P2 dipungut pajak atas bumi dan/atau bangunan
yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan.

Pasal 3
(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
(2) Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah :
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu komplek bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya yang merupakan suatu kesatuan
dengan komplek bangunan tersebut;
b. Jalan Tol;
c. Kolam renang;
d. Pagar mewah;
e. Tempat olahraga;
f. Taman mewah;
g. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
h. Menara.
(3) Objek pajak yang tidak dikenakan PBB-P2 adalah :
a. digunakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang
tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak.

9
Pasal 4
(1) Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan.
(2) Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan.
BAB III
DASAR PENGENAAN, TARIF, DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 5
(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak.
(2) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu
dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah.
(3) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
(4) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NOJPTKP) sebesar
Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.
Pasal 6
(1) Tarif pajak ditetapkan sebesar 0,11% (nol koma sebelas persen) untuk
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sampai dengan Rp. 1.000.000.000 (satu
milyar rupiah).
(2) Tarif pajak ditetapkan sebesar 0,21% (nol koma dua puluh satu persen)
untuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lebih dari Rp. 1.000.000.000 (satu
milyar rupiah).
Pasal 7
Besaran pokok pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) setelah dikurangi Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (4).
BAB IV
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 8
Pajak yang terutang dipungut di wilayah Daerah.

10
BAB V
TAHUN PAJAK DAN SAAT PAJAK TERUTANG
Pasal 9
(1) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat pajak terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1
Januari.
(3) Masa pajak dimulai tanggal 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember
pada Tahun berkenaan.
BAB VI
PENDATAAN
Pasal 10
(1) Pendataan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek
Pajak (SPOP).
(2) Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk, selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) oleh subyek pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, tata cara pengisian dan
penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) diatur dengan
Peraturan Walikota.
BAB VII
PENETAPAN
Pasal 11
(1) Berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Walikota
menetapkan Pajak Terutang dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT).
(2) Walikota dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
dalam hal sebagai berikut :
a. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak
ditegur secara tertulis oleh Walikota sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran;
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung
berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.

11
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, tata cara penerbitan dan
penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB VIII
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
Pasal 12
(1) Pemungutan PBB-P2 dilarang diborongkan.
(2) Pembayaran Pajak yang Terutang dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak Daerah (SSPD).
(3) Pajak dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak diterimanya Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) oleh Wajib Pajak yang merupakan tanggal jatuh tempo bagi
Wajib Pajak untuk melunasi pajaknya.
(4) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan
pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1(satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan.
(5) Walikota atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan
yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
(6) Pembayaran pajak yang terutang dilakukan di Kas Daerah atau tempat
lain yang ditunjuk oleh Walikota.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran,
tempat pembayaran, angsuran dan penundaan pajak, diatur dengan
Peraturan Walikota.
Pasal 13
(1) Walikota dapat menerbitkan STPD jika :
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar ;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung ;
c. wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/denda.
(2) Jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat
Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
setiap bulan.
12
(3) Apabila dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam Surat
Tagihan Pajak Daerah (STPD), Pajak Terutang dan sanksi administrasi
tidak atau kurang dibayar diterbitkan Surat Teguran atau Surat
Peringatan atau surat lain yang sejenis.
(4) Apabila jumlah pajak yang belum dibayar tidak dilunasi dalam batas
waktu sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran atau Surat
Peringatan atau surat lain yang sejenis ditagih dengan Surat Paksa.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Penagihan Pajak, Surat Paksa
dan Penyitaan diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB IX
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 14
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah
melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak,
kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak pidana di bidang
Perpajakan Daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tertangguh apabila :
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun
tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak
tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih
mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah
Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau
penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.

Pasal 15
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.

13
(2) Penghapusan piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak
yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB X
KEBERATAN, BANDING DAN GUGATAN
Pasal 16
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atau
pejabat yang ditunjuk atas suatu :
a. SPPT;
b. SKPD ;
c. SKPDKB ;
d. SKPDKBT ;
e. SKPDLB ;
f. SKPDN ; dan
g. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika
wajib pajak dapat, menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling
sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Walikota atau
pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui
surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Pasal 17
(1) Walikota dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan, sejak tanggal
Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan.

14
(2) Keputusan walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya
atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Dalam hal pengajuan keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian,
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi
dengan pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi
administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), telah lewat
dan Walikota tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan
tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 18
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang
ditetapkan oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan
dari surat keputusan keberatan tersebut.
(3) Dalam hal permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditolak atau dikabulkan sebagian, dikenakan sanksi berupa denda sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan
keberatan.
Pasal 19
(1) Jika pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1),
atau permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1), dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak bulan
pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah
Lebih Bayar (SKPDLB).

15
Pasal 20
Wajib Pajak dapat mengajukan Gugatan terhadap:
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang; atau
b. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai prosedur atau tata cara yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah hanya dapat
diajukan kepada Pengadilan Pajak.

BAB XI
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN
DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 21
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Walikota atau
Pejabat yang ditunjuk dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDLB, atau
STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat :
a. mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDLB, atau STPD
yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang
dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang
ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan, atau
penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan
Peraturan Walikota.

16
BAB XII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 22
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan pengembalian kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar (SKPDLB).
(3) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Walikota
memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak lainnya, kelebihan
pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
Peraturan Walikota.
BAB XIII
PEMERIKSAAN
Pasal 23
(1) Walikota atau Pejabat yang ditunjuk menunjuk petugas pemeriksa yang
berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan, memberikan, dan/atau meminjamkan dokumen, data
atau informasi yang berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
dan/atau
c. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan pajak diatur
dengan Peraturan Walikota.

17
BAB XIV
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 24
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan PBB-P2 dapat diberi insentif
atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB XV
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 25
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu
yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam
rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga terhadap
tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota untuk membantu pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
ayat (2) adalah :
a. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi ahli dalam
sidang pengadilan;
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Walikota untuk
memberikan keterangan kepada Pejabat Lembaga Negara atau Instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dibidang
Keuangan Daerah.
(4) Untuk kepentingan daerah, Walikota berwenang memberi izin tertulis
kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan,
memperlihatakan buku tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada
pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan
Hukum Acara Perdata, Walikota dapat memberi izin tertulis kepada
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli

18
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan,
memperlihatakan buku tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada
padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus
menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang
diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang
bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 26
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di Bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh
Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan.
(3) Wewenag Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang Perpajakan Daerah
dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih
lengkap dan jelas.
b. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan mengenai
orang pribadi atau badan hukum tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan dan retribusi ;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana perpajakan dan retribusi ;
d. Memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana perpajakan dan retribusi ;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan
terhadap bukti tersebut ;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan retribusi ;

19
g. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang, benda dan atau dokumen yang dibawa;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan
daerah dan retribusi ;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi ;
j. Menghentikan penyidikan dan atau ;
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
(4) Penyidik sebagimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara yang diatur dalam Undang
Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 27
(1) Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SOP atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah apat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPOP atau
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah
dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar.

Pasal 28
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah
melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau
berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.

20
Pasal 29
(1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota yang karena
kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota yang dengan sengaja
tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
(dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya
dilanggar.
(4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai
dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau
Badan selaku Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan
tindak pidana pengaduan.
Pasal 30
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, dan Pasal 29 ayat (1) dan
ayat (2) merupakan penerimaan negara.

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah.

Ditetapkan di Blitar
pada tanggal 16 Desember 2013
WALIKOTA BLITAR,

Ttd.

MUH. SAMANHUDI ANWAR

21
Diundangkan di Blitar
Pada tanggal 16 Desember 2013

SEKRETARIS DAERAH KOTA BLITAR

Ttd.

Ichwanto

LEMBARAN DAERAH KOTA BLITAR TAHUN 2013 NOMOR 4

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT DAERAH KOTA BLITAR
Kepala Bagian Hukum

Hardiyanto

22
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA BLITAR
NOMOR 5 TAHUN 2013

TENTANG

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

UMUM

Pajak Daerah adalah salah satu sumber pendanaan yang sangat


penting bagi Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan Daerah. Untuk itu, sejalan dengan tujuan otonomi Daerah
penerimaan Daerah yang berasal dari Pajak Daerah dari waktu ke waktu
senantiasa perlu ditingkatkan. Hal ini dimaksudkan agar peranan pajak
Daerah dalam memenuhi kebutuhan Daerah khususnya dalam hal
penyediaan pelayanan kepada masyarakat dapat semakin meningkat.
Salah satu jenis pajak yang dapat dipungut oleh Daerah
Kabupaten/Kota sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan. Sesuai ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut, pemungutan Pajak Daerah harus
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Selanjutnya, dalam Peraturan Daerah ini diatur secara jelas dan tegas
mengenai objek, subjek, dasar pengenaan dan tarif Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Di samping itu, juga diatur hal-hal yang
berkaitan dengan administrasi pemungutannya.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dipungut
dengan menggunakan sistem official assessment dimana Wajib Pajak
membayar pajak yang terutang dengan menggunakan SPPT atau SKPD.
Dalam pembentukan Peraturan Daerah ini, di samping berpedoman
pada peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah, juga
diperhatikan, diacu dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

23
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4740);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997, Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000 (Lembaran Negara Tahun 2000, Nomor 129, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3987);
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kawasan adalah semua tanah dan bangunan
yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah
yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah
usaha pertambangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.

24
Huruf b
Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak tersebut
diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-
nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat
diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga dari yayasan sosial, kesehatan, pendidikan, dan
kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah
hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara;
Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit;
Di bidang pendidikan, contoh madrasah, pesantren;
Di bidang sosial, contoh: panti asuhan;
D bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
a. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak
dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang
sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya.
b. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung

25
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut
pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan
penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
c. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan
nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi
objek pajak tersebut.
Ayat (2)
Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. Untuk
wilayah tertentu yang perkembangan pembangunannya
mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan
NJOP dapat ditetapkan setahun sekali.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi
terlebih dahulu dengan NJOPTKP sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai objek pajak berupa:
Tanah seluas 800 m2 dengan NJOP per m2 Rp 300.000,-;
Bangunan seluas 400 m2 dengan NJOP per m2 Rp 350.000,-;
Besarnya PBB-P2 terutang adalah sebagai berikut:
1. NJOP Bumi: 800 x Rp 300.000,- Rp 240.000.000,-
2. NJOP Bangunan: 400 x Rp 350.000,- Rp 140.000.000,- +
Total NJOP Bumi dan Bangunan Rp 380.000.000,-
NJOPTKP Rp 10.000.000,-
3. Dasar pengenaan pajak (NJOP – NJOPTKP) Rp 370.000.000,-
4. Tarif pajak 0,11%
5. PBB-P2 terutang: 0,11% x Rp 370.000.000,- Rp 407.000,-

26
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan 1 (satu) tahun kalender adalah mulai dari 1
Januari sampai dengan 31 Desember.
Ayat (2)
Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan
objek pajak pada tanggal 1 Januari.
Contoh:
a. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2009 berupa tanah dan
bangunan. Pada tanggal 10 Februari 2009 bangunannya
terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan
objek pajak pada tanggal 1 Januari 2009, yaitu keadaan sebelum
bangunan tersebut terbakar.
b. Objek Pajak pada tanggal 1 Januari 2009 berupa sebidang tanah
tanpa bangunan di atasnya. Pada tanggal 25 Juli 2009 dilakukan
pendataan, ternyata di atas tersebut telah berdiri suatu
bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2009 tetap
dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2009,
sedangkan terhadap bangunannya baru akan dikenakan pada
tahun 2010.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka pendataan, Wajib Pajak diberikan SPOP untuk diisi
dan dikembalikan kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.
Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak
Pratama tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau
Wajib Pajak menerima SPOP, maka Wajib Pajak wajib mengisinya
dan mengembalikannya kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.

27
Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah:
 Jelas, dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam
SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah
tafsir yang dapat merugikan Daerah maupun Wajib Pajak sendiri.
 Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya, seperti luas tanah dan/atau bangunan, tahun
dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-
kolom/pertanyaan yang ada pada SPOP.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu Wajib
Pajak, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang
sebelumnya telah ada pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

28
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh :
SPPT tahun pajak 2012 diterima oleh Wajib Pajak pada tanggal 2 Maret
2012 dengan pajak yang terutang sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu
rupiah). Jatuh tempo ditetapkan 6 bulan setelah SPPT diterbitkan. Oleh
Wajib Pajak baru dibayar pada tanggal 5 Oktober 2012, sehingga
terjadi keterlambatan pembayaran selama 2 bulan.

Terhadap Wajib Pajak tersebut dikenakan sanksi administratif sebesar


2% (dua persen) per bulan, yakni : 2% x 2 bulan x Rp100.000,- = Rp
4.000,-
Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 5 Oktober 2012
adalah :
Pokok pajak + sanksi administratif = Rp 100.000,- + Rp 4.000,- = Rp
104.000,-

Apabila Wajib Pajak tersebut baru membayar utang pajaknya pada


tanggal 10 November 2012, maka terjadi keterlambatan selama 3
bulan.

Terhadap Wajib Pajak tersebut dikenakan sanksi administratif sebesar


2% (dua persen) per bulan, yakni: 2% x 3 bulan x Rp 100.000,- = Rp
6.000,-
Pajak terutang yang harus dibayar pada tanggal 10 November 2012
adalah :
Pokok pajak + sanksi administratif = Rp 100.000,- + Rp 6.000,- = Rp
106.000,-.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

29
Pasal 14
Ayat (1)
Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk
memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat
ditagih lagi. Kedaluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung
sejak SPPT, SKPD, atau STPD diterbitkan.
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan,
keberatan, banding atau peninjauan kembali, kedaluwarsa
penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan kembali.

Perhitungan kedaluwarsa penagihan pajak tersebut di atas tidak


dapat diberlakukan kepada Wajib Pajak apabila melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan daerah.

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

30
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka

31
menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila
terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu
dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan
tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dengan
Wajib Pajak.
Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus
maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau
kekeliruan tersebut harus dibetulkan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kekhilafan Wajib Pajak" adalah keadaan
Wajib Pajak secara sadar atau lupa atau dalam kondisi tertentu
sulit untuk menentukan pilihan dalam memenuhi kewajiban
perpajakan daerah.

Huruf b
Bupati/Walikota atau Pejabat yang ditunjuk karena jabatannya
dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau
membatalkan SPPT, SKPD, SKPDLB, atau STPD yang tidak benar.
Misalnya, Wajib Pajak yang ditolak pengajuan pengurangannya
karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
permohonan keberatan atau pengurangan tidak pada waktunya)
meskipun persyaratan materil terpenuhi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Untuk pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak
harus mengajukan permohonan dengan menyebutkan sekurang-
kurangnya:

32
a. Nomor Objek Pajak (NOP);
b. tahun pajak;
c. besarnya kelebihan pajak;
d. dokumen atau keterangan yang menjadi dasar pembayaran pajak;
e. perhitungan pajak menurut Wajib Pajak.
Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diproses
setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak
untuk mengetahui kebenaran atas permohonan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dalam rangka pengawasan
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah berwenang
melakukan pemeriksaan untuk:
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak;
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau
di tempat "Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup
pemeriksaannya, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk
tahun berjalan.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan


kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri
kebenaran data SPOP.

Pemeriksaan lapangan dapat berupa penugasan petugas untuk


melaksanakan kegiatan, guna mendapatkan data riil yang
sesungguhnya.

33
Ayat (2)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa
sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan
dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki
kewajiban memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk
memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat
penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi
petunjuk tentang kebenaran data SPOP.

Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain


dokumen, data ataupun informasi lainnya, Wajib Pajak harus
memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis
dan/atau keterangan lisan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan
tugas di bidang perpajakan daerah dilarang mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan
daerah, antara lain:
a. laporan keuangan dan hal-hal lain yang dilaporkan oleh Wajib

34
Pajak;
b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
c. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang
bersifat rahasia;
d. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkenaan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tenaga ahli, antara lain, ahli bahasa,
akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Walikota untuk
membantu pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.

Ayat (3)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak
dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan daerah.
Identitas Wajib Pajak meliputi:
1. Nama Wajib Pajak;
2. Nomor Objek Pajak (NOP);
3. Alamat Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
4. Alamat kegiatan usaha;
5. Jenis kegiatan usaha Wajib Pajak.

Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan daerah meliputi:


1. penerimaan pajak secara global;
2. penerimaan pajak per jenis pajak;
3. jumlah Wajib Pajak yang terdaftar.
4. register permohonan Wajib Pajak;
5. tunggakan pajak secara global.

Ayat (4)
Untuk kepentingan daerah, misalnya dalam rangka penyidikan,
penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerjasama dengan
Instansi Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota lain, keterangan atau
bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau
diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh

35
Bupati/Walikota.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Walikota harus dicantumkan
nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat,
ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan
atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak.
Pemberian izin tertulis dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang
dipandang perlu oleh Walikota.

Ayat (5)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam
perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah
perpajakan daerah, demi kepentingan peradilan, Bupati/Walikota
memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
pejabat pajak dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (6)
Ketentuan ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa
keterangan perpajakan daerah yang diminta hanya mengenai perkara
pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang
menyangkut bidang perpajakan daerah dan hanya terbatas pada
tersangka yang bersangkutan.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

36
Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

37
38
39

Anda mungkin juga menyukai