Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1 Tunagrahita
2.1.1.1 Definisi Tunagrahita
Menurut Sumantri (2007), tunagrahita adalah istilah yang digunakan
untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-
rata. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah retardasi
mental. Kondisi kecerdasan anak tunagrahita yang dibawah rata-rata ditandai
oleh kecerdasan intelegensi dan ketidakmampuan dalam interaksi sosial, sukar
mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu
anak tunagrahita membutuhkan layanan pendidikan khusus yang disesuaikan
dengan tingkat kemampuan anak tersebut. Pendidikan khusus untuk anak
tunagrahita dikenal dengan Sekolah Luar Biasa bagian C atau SLB-C. Banyak
istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang memiliki kondisi
kecerdasannya dibawah rata-rata, dalam bahasa indonesia pernah digunakan
misalnya lemah otak, lemah ingatan, lemah psikis, istilah ini digunakan ketika
pendidikan luar biasa (PLB) belum digalakkan sesuai dengan perkembangan
pendidikan istilah penyebutan diperhalus dari lemah otak jadi tuna mental dan
saat ini disebut tunagrahita.
Menurut Mumpuniarti (2007), istilah tunagrahita disebut hambatan
mental untuk melihat kecenderungan kebutuhan khusus pada mereka,
hambatan mental termasuk penyandang lamban belajar maupun tunagrahita,
yang dahulu dalam bahasa indonesia disebut istilah bodoh, tolol, dungu, tuna
mental atau keterbelakangan mental. Menurut Effendi (2006), bahwa
tunagrahita merupakan suatu kondisi yang tidak bisa disembuhkan dengan obat
apapun.

2.1.1.2 Klasifikasi Tunagrahita


Klasifikasi menurut American Association on Mental Deficiency/
AAMD (Amin, 2005), sebagai berikut.
7
Universitas Muhammadiyah Palembang
8

a. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik)


Tingkat kecerdasannya IQ mereka berkisar 50 – 70 mempunyai
kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik,
penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja, mampu menyesuaikan
lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri dalam masyaraakat, mampu
melakukan pekerjaan semi trampil dan pekerjaan sederhana.
b. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)
Tingkat kecerdasan IQ berkisar 30–50 dapat belajar keterampilan
sekolah untuk tujuan fungsional, mampu melakukan keterampilan
mengurus dirinya sendiri, mampu mengadakan adaptasi sosial di lingkungan
terdekat, mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan.
c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat)
Tingkat kecerdasan IQ mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki
kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri. Ada yang masih mampu
dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana dan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat terbatas.
Klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan tipe-tipe klinis/fisik
(Mumpuniarti, 2007), sebagai berikut.
a. Sindrom Down (mongolisme) karena kerusakan kromosom.
b. Kretinisme (cebol).
c. Hidrosefalus karena cairan otak yang berlebihan.
d. Microsefalus karena kekurangan gizi dan faktor radiasi, karena penyakit
pada tengkorak, brachiacephalus (kepala besar).
Menurut Sumantri (2007), mengklasifikasikan anak tunagrahita
sebagai berikut.
1. Anak tunagrahita mampu didik (debil)
Anak yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi
ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui
pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal.
2. Anak tunagrahita mampu latih (imbesil)

Universitas Muhammadiyah Palembang


9

Anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya


sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi
anak tunagrahita mampu didik.
3. Anak tunagrahita mampu rawat (idiot)
Anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia
tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus
kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan bantuan orang lain. Dengan
kata lain, anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang
membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak
mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain.

2.1.1.3 Karakteristik Tunagrahita


Jika dibandingkan anak normal pada umumnya penyandang tunagrahita
mempunyai ciri yang berbeda-beda, perbedaan yang paling prinsip pada anak
tunagrahita dengan anak normal dapat dilihat dari segi intelektual dan
sosialnya. Beberapa ahli memberi batasan karakteristik anak tungrahita sebagai
berikut.
Menurut Sumantri (2007), ada beberapa karakteristik anak tunagrahita.
a. Keterbatasan intelegensi
Kapasitas anak tunagrahita terutama yang bersifta abstrak seperti
berhitung, menulis dan membaca juga terbatas, kemampuan belajarnya
cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
b. Keterbatasan sosial
Anak tunagrahita cenderung bergaul dengan anak yang lebih muda
usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu
memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus
selalu dibimbing dan diawasi. Mereka mudah terpengaruh, cenderung
melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
c. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
Memerlukan waktu lebih lama untuk melaksanakan reaksi pada situasi
yang belum dikenalnya, keterbatasan penguasaan bahasa, kurang mampu untuk

Universitas Muhammadiyah Palembang


10

mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara baik dan buruk,


membedakan yang benar dan salah.

2.1.1.4 Etiologi Tunagrahita


Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan seseorang menjadi
tunagrahita. Para ahli dari berbagai ilmu telah membagi faktor-faktor penyebab
menjadi beberapa kelompok. Menurut Hashim (2005), faktor penyebab
tunagrahita dibagi menjadi dua yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor
endogen misalnya dari genetik sedangkan faktor eksogen misalnya hal yang
diluar sel keturunan (bukan genetik) misalnya infeksi dan virus yang
menyerang otak, benturan, radiasi dan sebagainya mengelompokkan faktor-
faktor tersebut menjadi dua gugus yaitu endogen dan eksogen. Berikut ini
beberapa penyebab ketunagrahitaan yang sering ditemukan baik dari faktor
keturunan, maupun dari faktor lingkungan (Apriyanto, 2012).
a. Faktor Keturunan
Terjadi karena adanya kelainan kromosom (inversi, delesi, duplikasi)
dan kelainan gen (kekuatan kelainan, lokus gen).
b. Gangguan Metabolisme Gizi
Kegagalan dalam metabolisme dan kegagalan dalam pemenuhan
kebutuhan gizi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fisik maupun
mental pada individu. Gangguan metabolisme tersebut meliputi asam
amino (fenilketon), gangguan metabolisme sakarida (gargolisme), kelainan
hipotiroidisme (kretinisme).
c. Infeksi dan Keracunan
Adanya infeksi dan keracunan yaitu terjadi selama janin masih berada
dalam kandungan ibunya. Infeksi dan keracunan ini terjadi secara tidak
langsung yaitu melalui penyakit-penyakit yang dialami ibunya, misalnya
penyakit rubella, sifilis bawaan, graviditas sindrom yang beracun.
d. Trauma dan Zat Radioaktif
Bagian tubuh bayi khususnya pada otak ketika bayi lahir yaitu terjadi
trauma otak yang dapat menimbulkan pendarahan intrakranial yang
mengakibatkan terjadinya kecacatan pada otak. Sedangkan pada zat

Universitas Muhammadiyah Palembang


11

radioaktif yang terpapar ke tubuh ibu yang sedang hamil misalnya


ketidaktepatan penyinaran atau radiasi sinar x selama bayi dalam
kandungan mengakibatkan tunagrahita mikrosephalus. Janin yang terkena
zat radioaktif pada usia tiga sampai enam minggu pertama kehamilan
sering menyebabkan kelainan pada berbagai organ. Karena pada masa ini
embrio mudah sekali terpengaruh.
e. Masalah pada Kelahiran
Pada waktu perinatal, misalnya kelahiran yang disertai hipoksia dapat
dipastikan bahwa bayi yang dilahirkan menderita kerusakan otak,
menderita kejang dan nafas yang pendek. Kerusakan otak pada prenatal
dapat disebabkan oleh trauma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit.
f. Faktor Lingkungan (Sosial Budaya)
Menurut Paton dan Polloway dalam Apriyanto (2012) bahwa
bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan dalam melakukan
interaksi yang terjadi selama periode perkembangan menjadi salah satu
penyebab ketunagrahitaan. Anak tunagrahita banyak ditemukan pada
daerah yang memiliki tingkat sosial ekonomi rendah, hal ini disebabkan
ketidakmampuan lingkungan memberikan stimulus yang diperlukan
selama masa perkembangannya.

2.1.2 Masalah Kesehatan Gigi dan Mulut


Anak tunagrahita memiliki risiko yang lebih tinggi akan masalah
kesehatan gigi dan mulut. Hal tersebut karena mereka memiliki kekurangan dan
keterbatasan mental untuk melakukan pembersihan gigi sendiri yang optimal.
Kesehatan mulut penting bagi kesehatan dan kesejahteraan tubuh secara umum
dan sangat mempengaruhi kualitas kehidupan, termasuk fungsi bicara,
pengunyahan dan rasa percaya diri. Gangguan kesehatan mulut akan
berdampak pada kinerja seseorang. Masalah kesehatan gigi dan mulut yang
paling sering untuk penderita tunagrahita adalah penyakit jaringan gusi
(periodontal), gigi berlubang dan gigi tidak beraturan (malokluksi). Kelainan
ini juga ditambah dengan kesulitan anak untuk dapat menjaga kesehatan gigi

Universitas Muhammadiyah Palembang


12

mulutnya secara mandiri dan kurang aktifnya otot mulut untuk mendapatkan
pembersihan alamiah gigi yang baik (Putri, dkk, 2012).
Keadaan kebersihan mulut pada anak umumnya lebih buruk dibanding
dengan orang dewasa. Hal ini diperparah dengan kebiasaan anak yang sering
mengkonsumsi makanan dan minuman yang menyebabkan karies
(Hutagalung, 2010). Perilaku masyarakat terhadap kesehatan gigi, salah
satunya dapat diukur dari kebiasaan menyikat gigi. Anak usia sekolah dasar
rentan terhadap gangguan kesehatan gigi dan mulut, untuk itu perlu mendapat
perhatian lebih dalam menjaga kesehatan gigi dan mulutnya. Pengetahuan anak
tentang waktu menyikat gigi yang tepat masih sangat kurang yang
menyebabkan kesehatan gigi dan mulut anak pada umumnya dalam kondisi
buruk dan sering dijumpai penumpukan plak dan deposit – deposit lainnya pada
permukaan gigi (Hamfasir, 2010).
Penyebab dari resiko anak mempunyai karies gigi dapat dipengaruh
oleh rendahnya tingkat pengetahuan orang tua khususnya ibu, mengenai pola
makan anak, kebersihan gigi mulut anak dan pemeriksaan rutin kedokter gigi
(Budiharto, 2008). Perilaku anak yang mendukung atau tidak mendukung
dalam kebersihan gigi dan mulut didasari dari pengetahuan orang tua tentang
pentingnya menjaga kebersihan gigi dan mulut. Melalui proses pendidikan
pengetahuan tersebut dapat diperoleh secara alami maupun secara terencana
(Situmorang, 2001).
Peran aktif orangtua ini sangat diperlukan terutama pada anak usia
prasekolah. Anak usia prasekolah khususnya anak usia 4-6 tahun memerlukan
bantuan orangtua dalam membersihkan dan menyikat gigi walaupun anak
mampu untuk memanipulasi pergerakan sikat gigi mereka. Untuk menghindari
kerusakan gigi pada anak maka peranan orangtua hendaknya ditingkatkan
dalam membiasakan menyikat gigi anak secara teratur (Situmorang, 2001).

2.1.2.1 Oral Hygiene


Kesehatan adalah kapital utama pembangunan yang tanpanya, kapital-
kapital lain tidak akan berfungsi optimal (Grossman, 1972). Kesehatan gigi
merupakan bagian intergral dari kesehatan secara keseluruhan yang dapat

Universitas Muhammadiyah Palembang


13

mempengaruhi kualitas hidup sehingga perlu dibudidayakan di seluruh


masyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2012)
Rongga mulut merupakan bagian pertama dari saluran pencernaan dan
daerah awal masuknya makanan dalam sistem pencernaan (Manson dan Eley,
1993). Rongga mulut merupakan salah satu tempat di tubuh manusia dengan
susunan kualitas bakteri yang paling bervariasi dan dapat menjadi satu tempat
yang efektif untuk bakteri patogen berkembang biak, oleh karena itu sangat
penting menjaga kesehatan secara keseluruhan (Madigan, Martinko & Parker,
2000).
Oral Hygiene dalam kesehatan gigi dan mulut sangatlah penting,
beberapa masalah mulut dan gigi bisa terjadi karena kurangnya menjaga
kebersihan gigi dan mulut. Kesadaran menjaga oral hygiene sangat perlu dan
merupakan obat pencegah terjadinya masalah gigi dan mulut yang paling
manjur. Masalah yang dapat timbul karena tidak menjaga oral hygiene adalah
Karries gigi, Penyakit periodontal, Plak, Halitosis, Keilosis, Stomatitis,
Glosisits, dan Gingivitis (Perry dan Potter, 2005).
Pembersihan rongga mulut (oral hygiene) adalah tindakan
membersihkan rongga mulut, gigi dan gingiva dengan tujuan: (1) mencegah
penyakit pada mulut dan gigi beserta jaringan pendukungnya, (2) mencegah
penyakit yang penularannya melalui mulut, (3) meningkatkan pertahanan tubuh
terhadap infeksi baik di jaringan rongga mulut maupun infeksi sistemik, dan (4)
mempertahankan fungsi mulut untuk proses asupan makanan (Kohn et al.,
2003).
Rongga mulut yang sehat memungkinkan seseorang untuk
berkomunikasi secara efektif, menikmati berbagai macam makanan,
meningkatkan kualitas hidup, percaya diri dan mempunyai kehidupan sosial
yang lebih baik. Kondisi sebaliknya, rongga mulut yang tidak sehat dapat
berpengaruh pada kehidupan sosial seseorang, keterbatasan fungsi
pengunyahan, keterbatasan fungsi bicara, rasa sakit dan terganggunya waktu
bekerja atau sekolah (Halim, 2011).
Penyakit gigi dan mulut tidak dapat diremehkan karena mempengaruhi
seluruh tubuh. jika dibiarkan, dapat berkontribusi terhadap penyakit lain yang

Universitas Muhammadiyah Palembang


14

lebih berbahaya sehingga mempengaruhi kualitas hidup dan memperpendek


usia harapan hidup (McGuire, 2000).

2.1.3 Kemampuan Bina Diri dalam Menyikat Gigi


2.1.3.1 Definisi kemampuan
Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa,
sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan berarti kesanggupan,
kecakapan, kekuatan (KBBI, 2012). Kemampuan, berarti kapasitas seorang
individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Dari
pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah
kesanggupan atau kecakapan seorang individu dalam menguasai suatu keahlian
dan digunakan untuk mengerjakan beragam tugas dalam suatu pekerjaan.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa kemampuan keseluruhan seorang individu pada
dasarnya terdiri atas dua kelompok faktor.
a. Kemampuan Intelektual, merupakan kemampuan yang dibutuhkan untuk
melakukan berbagai aktifitas mental (berfikir, menalar dan memecahkan
masalah).
b. Kemampuan Fisik, merupakan kemampuan melakukan tugas-tugas yang
menuntut stamina, ketrampilan, kekuatan, dan karakteristik serupa
(Robbins & Judge, 2009).

A. Kemampuan Kognitif
Kognitif berhubungan dengan atau melibatkan kognisi. Sedangkan
kognisi merupakan kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk
kesadaran, perasaan, dan sebagainya) atau usaha mengenali sesuatu melalui
pengalaman sendiri. Kemampuan kognitif adalah penampilan-penampilan
yang dapat diamati sebagai hasil-hasil kegiatan atau proses memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman sendiri (Sudjono, 2001). Ciri khas belajar
kognitif terletak dalam belajar memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk
representasi yang mewakili obyek-obyek yang dihadapi, entah obyek itu orang,
benda atau kejadian/peristiwa. Obyek-obyek itu direpresentasikan atau
dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau lambang,

Universitas Muhammadiyah Palembang


15

yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental. Pengaturan aktivitas


mental dengan menggunakan kaidah dan konsep yang telah dimiliki yang
kemudian direpresentasikan melalui tanggapan, gagasan, atau lambing
(Winkel, 2006).
Bloom, dkk (2006) berpendapat bahwa taksonomi tujuan ranah kognitif
meliputi enam jenjang proses berpikir sebagai berikut.
a. Pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali
atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan
sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya.
b. Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami
sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain,
memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari
berbagai segi. Seorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila
ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci
tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri.
c. Penerapan adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau
menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-
prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru
dan konkret.
d. Analisis, mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan kedalam
bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat
dipahami dengan baik.
e. Sintesis adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan
suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan
mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau faktor-faktor
yang satu dengan faktor-faktor yang lainnya. Sintesis merupakan suatu
proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur- unsur secara logis,
sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk
pola baru.
f. Evaluasi adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah
kognitif. Penilaian atau evaluasi disini merupakan kemampuan seseorang
untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai, atau ide,

Universitas Muhammadiyah Palembang


16

misalnya jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan, maka ia akan


mampu memilih satu pilihan yang terbaik, sesuai dengan patokan atau
kriteria yang ada (Sudjono, 2001).

B. Kemampuan Sensomotorik
Sistem saraf pada manusia terdiri dari dua komponen yaitu sel saraf
dan sel glial. Sel saraf berfungsi sebagai alat untuk menghantarkan impuls dari
panca indera menuju otak yang selanjutnya oleh otak akan dikirim ke otot.
Sedangkan sel glial berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada neuron (Feriyawati,
2006). Tujuan dari pelatihan sesomotorik atau aktivitas seluruh olah tubuh
merupakan suatu promosi dari kualitas EQ dan IQ anak yang optimal, yang di
dapat dari sistem indera (sensori) yang terasah dan kemampuan
mengembangkan koordinasi proprioseptis disertai dengan strategi, pola pikir
(persepsi) dan kesadaran tubuh yang baik pula. Periode-periode tergantung
pada banyak faktor lingkungan sosial dan perkembangan gradual merupakan
proses yang kontinyu (Gandasetiawan, 2009).

Gambar 2.1. Diagram yang menunjukkan pembagian utama dari sistem


saraf vertebrata (Marieb's Human Anatomy & Physiology, 2008)
Universitas Muhammadiyah Palembang
17

Bagian-bagian yang umumnya tidak berkembang pada anak


Indonesia khususnya anak berkebutuhan khusus saat ini adalah gerakan fisik
(koordinasi), perilaku (mental), serta persepsi dan motorik yang berhubungan
langsung dengan sensori (respons). Mereka hanya mempunyai pola pikir yang
berbeda dengan teman sebayanya. Umumnya anak seperti ini kurang mau
bersosialisasi, selalu memilih jalan pintas, malas berjuang untuk mendapatkan
sesuatu, malas berkomunikasi (Brown, dkk, 2006).

C. Kemampuan Psikomotorik
Kata motor digunakan sebagai istilah merujuk pada hal, keadaan, dan
kegiatan-kegiatan yang melibatkan otot-otot dan gerakan-gerakannya, juga
kelenjar-kelenjar dan sekresinya (pengeluaran cairan atau getah). Secara
singkat, motor dapat pula dipahami sebagai segala keadaan yang meningkatkan
atau menghasilkan rangsang terhadap kegiatan organ fisik (Endang, 2007).
Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls saraf
ke susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi tanggapan
rangsangan (Feriyawati, 2006). Sistem atau susunan saraf merupakan salah
satu bagian terkecil dari organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang
paling kompleks. Susunan saraf manusia mempunyai arus informasi yang cepat
dengan kecepatan pemrosesan yang tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik
(impuls saraf) (Bahrudin, 2013). Alur informasi pada sistem saraf dapat
dipecah secara skematis menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau
internal yang mengenai organ-organ sensorik akan menginduksi pembentukan
impuls yang berjalan ke arah susunan saraf pusat (SSP) (impuls afferent),
terjadi proses pengolahan yang komplek pada SSP (proses pengolahan
informasi) dan sebagai hasil pengolahan, Sistem saraf pusat membentuk impuls
yang berjalan ke arah perifer (impuls efferent) dan mempengaruhi respons
motorik terhadap stimulus (Bahrudin, 2013). Berpijak dari konsep tersebut
Hurlock (2000), menyatakan bahwa motorik halus sebagai pengendalian
koordinasi yang lebih baik yang melibatkan kelompok otot yang lebih untuk
menggenggam, melempar dan menangkap.

Universitas Muhammadiyah Palembang


18

Gambar 2.2. Skema fungsi saraf dasar (The human central Nervous
system, 2007)

Keterampilan motorik berkaitan dengan serangkaian gerak-gerik


jasmaniah dalam urutan tertentu dengan mengadakan koordinasi antara gerak-
gerik berbagai anggota badan secara terpadu. Keterampilan motorik tidak
hanya menuntut kemampuan untuk rangkaian gerak jasmaniah tetapi juga
memerlukan aktivitas mental/psikis supaya terbentuk suatu koordinasi gerakan
secara terpadu, sehingga disebut kemampuan psikomotorik (Winkel, 2006).
Lalu diklasifikasikan ranah psikomotorik dalam tujuh jenjang, sebagai berikut.
a. Persepsi mencakup kemampuan untuk mengadakan diskriminasi yang
tepat antara dua perangsang atau lebih, berdasarkan perbedaan antara ciri-
ciri fisik yang khas pada masing-masing rangsangan.
b. Kesiapan mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam
keadaan akan memulai gerakan atau rangkaian gerakan.
c. Gerakan terbimbing, mencakup kemampuan untuk melakukan suatu
rangkaian gerak-gerik sesuai dengan contoh yang diberikan (imitasi).
d. Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan untuk melakukan suatu
rangkaian gerak-gerik dengan lancar karena sudah dilatih secukupnya
tanpa memperhatikan lagi contoh yang diberikan.
e. Gerakan yang kompleks, mencakup kemampuan untuk melaksanakan
suatu keterampilan yang terdiri atas beberapa komponen dengan lancar,
tepat dan efisien.

Universitas Muhammadiyah Palembang


19

f. Penyesuaian pola gerakan, mencakup kemampuan untuk mengadakan


perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan kondisi setempat atau
dengan menunjukkan suatu taraf keterampilan yang telah mencapai
kemahiran.
g. Kreativitas mencakup kemampuan untuk melahirkan pola-pola gerak-gerik
yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.

2.1.3.2 Definisi Bina Diri


Bina diri memiliki beberapa istilah lain yang sering digunakan,
diantaranya perawatan diri, ketrampilan membantu diri, dan manajemen
pribadi. Dilihat dari berbagai istilah tersebut maka dapat diketahui bahwa bina
diri yaitu membahas mengenai kegiatan-kegiatan mengurus diri berupa
kegiatan rutin sehari-hari (Mumpuniarti, 2007). Menurut Casmini (2007) bina
diri merupakan suatu usaha untuk membangun diri individu baik sebagai
individu maupun makhluk sosial melalui pendidikan di keluarga, sekolah, dan
masyarakat sampai terwujudnya suatu kemandirian untuk melaksanakan
kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Bila ditinjau dari pengertian bina diri
maka dapat diartikan bahwa bina diri memiliki arti yang luas yaitu mengurus
diri, menolong diri, dan merawat diri. Pembelajaran bina diri perlu diberikan
kepada anak tunagrahita karena pada umumnya mereka mengalami
permasalahan dalam mengurus atau memelihara diri sendiri. Oleh karena itu
perlu adanya pengajaran mengenai bina diri tersebut sehingga nantinya mereka
tidak lagi bergantung kepada bantuan orang lain.
Sebagaimana pendapat Mumpuniarti (2007) menyatakan bahwa bina
diri (keterampilan perawatan diri) merupakan program yang dipersiapkan bagi
siswa hambatan mental supaya mampu menolong diri sendiri dalam
melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan kebutuhannya sendiri. Dari
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa bina diri merupakan suatu program
yang diberikan untuk membangun individu melalui pendidikan formal maupun
non formal guna mencapai kemandirian dalam melaksanakan kegiatan sehari-
hari yang berhubungan dengan kebutuhannya sendiri. Program bina diri yang

Universitas Muhammadiyah Palembang


20

diterapkan dalam penelitian ini yaitu pada materi menyikat gigi yang tercakup
dalam materi kebersihan diri.
Menurut Widya (2003) program bina diri terdiri dari beberapa aspek
pengembangan yang berkaitan satu sama lain, yaitu: a) merawat diri: makan-
minum, kebersihan badan, menjaga kesehatan; b) mengurus diri: berpakaian,
berhias diri; c) menolong diri: menghindar dan mengendalikan diri dari bahaya;
d) berkomunikasi: komunikasi nonverbal, verbal atau tulisan; e) bersosialisasi:
pernyataan diri, pergaulan dengan anggota keluarga, teman, dan anggota
masyarakat; f) penguasaan pekerjaan: pemeliharaan alat, penguasaan
keterampilan, mencari informasi pekerjaan, mengkomunikasikan hasil
pekerjaan dengan orang lain; g) pendidikan seks: membedakan jenis kelamin,
menjaga diri dan alat reproduksi, menjaga diri dari sentuhan lawan jenis.
Dari beberapa pembelajaran bina diri terdapat pembelajaran menyikat
gigi, yaitu pembelajaran yang diberikan guna mengajarkan tata cara menyikat
gigi pada anak tunagrahita sampai mereka mampu melakukannya secara
mandiri. Pembelajaran yang diberikan berupa langkah-langkah dalam
menyikat gigi, yaitu dari menyiapkan peralatan, menuangkan pasta gigi,
berkumur, menyikat gigi, membersihkan peralatan, dan mengembalikan
peralatan pada tepat semula (Potter & Perry, 2005).

2.1.3.3 Tujuan Bina Diri


Tujuan dari pembelajaran bina diri yang diberikan kepada anak
tunagrahita dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Menurut
Widya (2003), tujuan dari pembelajaran bina diri diantaranya sebagai berikut.
a. Tujuan umum dari pembelajaran bina diri adalah agar anak tunagrahita
mampu melaksanakan kegiatan keseharian secara mandiri tanpa bergantung
kepada bantuan orang lain serta mempunyai rasa tanggung jawab.
b. Tujuan khusus dari pembelajaran bina diri bagi anak tunagrahita adalah
untuk menumbuhkan serta meningkatkan kemampuan anak dalam
melaksanakan kegiatan pribadinya, berkomunikasi, serta bersosialisai.
Pembelajaran bina diri bagi anak tunagrahita sedang memerlukan prosedur

Universitas Muhammadiyah Palembang


21

yang dapat menjadikan anak mampu memahami, mengamati, melihat dan


mempraktikkan apa yang telah diajarkan.
Menurut Hasan (2014), dalam menyusun rencana kegiatan bina diri
diarahkan pada tiga aspek.
a. Sebagai proses belajar, anak diberikan kesempatan belajar secara optimal,
kapan saja, dimana saja sehingga anak mampu untuk mendengarkan,
melihat, mengamati, dan melakukannya.
b. Sebagai proses sosialisasi, anak bukan hanya menjadi cerdas dan terampil
akan tetapi juga mampu bertanggung jawab.
c. Sebagai proses pembentukan dan pengembangan diri anak kearah
kemandirian.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran bina diri bagi anak tunagrahita mempunyai tujuan untuk
memandirikan anak, yaitu menjadikan anak mampu melakukan keterampilan
kegiatan sehari-hari tanpa meminta bantuan orang lain seperti menyikat gigi.
Selain itu juga untuk melatih tanggung jawab, komunikasi, serta sosialisasi
dalam diri anak tersebut.

2.1.3.4 Menyikat Gigi


Salah satu program pembelajaran bina diri yang diajarkan kepada anak
tunagrahita untuk merawat diri adalah menyikat gigi. Menyikat gigi merupakan
cara yang dilakukan untuk membersihkan dan menjaga kesehatan mulut dan
gigi. Menyikat gigi merupakan aktivitas yang harus dilakukan oleh semua
orang baik anak-anak, remaja, dewasa maupun tua, begitu pula untuk anak
berkebutuhan khusus. Cara mengajarkan sikat gigi pada anak tunagrahita
adalah dengan menjelaskan dan mempraktikkan langkah-demi langkah dimulai
dari mempersiapkan peralatan sampai mengeringkan mulut dengan handuk.
Keterampilan menyikat gigi yang akan dilatih dalam penelitian ini adalah pada
tahapan menyikat gigi dari arah depan, samping kanan, kiri, atas dan bawah
(Wantah, 2007).
Menurut Ginandjar (2009), cara menyikat gigi yang baik dan benar
adalah sebagai berikut: 1) memegang sikat gigi senyaman mungkin,

Universitas Muhammadiyah Palembang


22

mengoleskan pasta gigi, menyikat gigi bagian depan dengan cara naik turun
secara pelan-pelan; 2) sikat bagian gigi kanan kemudian kiri dengan cara yang
sama; 3) sikat bagian gigi dalam atas dan bawah; 4) membersihkan lidah; 5)
lakukan gosokan sebanyak 8-10 disetiap bagian gigi dengan waktu 2-3 menit;
6) berkumur-kumur; dan 7) menyimpan sikat gigi di tempat yang bersih.
Berdasarkan pendapat Pratiwi (2002), langkah-langkah menyikat gigi
terdapat tujuh langkah. Langkah tersebut dapat dikaji lebih lanjut sesuai dengan
karakteristik anak tunagrahita sebagai berikut.
a. Mempersiapkan peralatan menyikat gigi, seperti: sikat gigi dan pasta gigi.
b. Mengambil pasta gigi secukupnya di atas sikat gigi.
c. Menyikat gigi bagian depan atas dan bawah, arah menyikat
naik turun. Menyikat bagian gigi samping kanan dan kiri, arah menyikat
naik turun.
d. Menyikat gigi bagian dalam atas dan bawah, arah menyikat
dengan cara diputar.
e. Berkumur dengan air sampai bersih dan busanya hilang .
f. Mengembalikan peralatan pada tempatnya.
Berdasarkan dari pendapat ahli mengenai langkah-langkah menyikat
gigi peneliti akan mengkaji langkah-langkah menyikat gigi untuk anak
tunagrahita. Kegiatan awal yang harus dilakukan adalah mengenalkan
peralatan menyikat gigi seperti pasta gigi, sikat gigi, dan gayung. Mengajarkan
cara menuangkan pasta gigi di atas sikat gigi. Untuk mengajarkan cara
menuangkan pasta gigi kepada anak tunagrahita diberi ukuran sebesar biji
jagung. Karena sering kali anak tunagrahita dalam menyikat gigi, ukuran pasta
gigi yang dituangkan ke sikat gigi terlalu banyak dan sering dibuat mainan atau
dimakan. Selanjutnya mengajarkan langkah-langkah menyikat gigi dengan
cara berulang-ulang. Ketika langkah-langkah menyikat gigi sudah selesai,
langkah terakhir adalah berkumur. Langkah ini yang perlu pengawasan lebih
untuk kriteria anak tunagrahita, karena sebagian besar anak tunagrahita
menelan air yang untuk berkumur. Maka dari itu, gunakan air matang untuk
mengantisipasi kejadian tersebut. Permukaan gigi dalam, luar dan pengunyah
harus disikat dengan teliti dan menyikat gigi dengan sekuat tenaga tidak

Universitas Muhammadiyah Palembang


23

dianjurkan karena dapat merusak email dan gusi, dan akan menyebabkan
perkembangan lubang karena vibrasi (Busana & Priyono, 2004).
Berdasarkan berbagai pendapat ahli yang dipaparkan di atas mengenai
tata cara menyikat gigi yang baik dan benar, maka dapat disimpulkan bahwa
tahapan-tahapan yang dilakukan dalam menyikat gigi yang baik dan benar
adalah sebagai berikut: 1) memegang sikat gigi dengan benar kemudian
mengoleskan pasta gigi; 2) menyikat gigi bagian depan yang menghapap ke
bibir dan pipi, dimulai dari bagian atas dilanjutkan bagian bawah dari sebelah
kanan dahulu baru sebelah kiri; 3) menyikat bagian kunyah gigi bagian atas
terlebih dahulu dilanjutkan bagian bawah dimulai dari sebelah kanan
dilanjutkan sebelah kiri; 4) menyikat bagian dalam gigi yang menghadap ke
lidah dan langit-langit bagian atas terlebih dahulu dilanjutkan bagian bawah
dimulai dari sebelah kanan baru sebelah kiri; 5) menyikat gigi dalam bagian
depan dengan gerakan menarik dari atas ke bawah; 6) menyikat lidah untuk
membersihkan bakteri pada lidah. Setiap bagian dilakukan sebanyak 10-20
gosokan. Metode yang digunakan yaitu metode horizontal dengan cara
menggerakannya secara maju mundur, untuk gerakan menyikat gigi dalam
bagian depan dengan meletakan sikat secara vertikal dan menggerakan dari
arah gusi ke arah mahkota gigi. Pembelajaran menyikat gigi pada tahapan
menyikat gigi bagian depan, samping, kunyah, dalam, dan lidah ini
menggunakan media berupa boneka gigi. Dengan media tersebut siswa dapat
melihat, mengamati serta mempraktikkan bagaimana cara menyikat gigi yang
baik dan benar secara jelas (Ariningrum, 2006).

2.1.4 Dental Health Education (DHE)


2.1.4.1 Dental Health Education (DHE)
Dental Health Education (DHE) atau yang biasa juga dikenal sebagai
Pendidikan Kesehatan Gigi merupakan suatu usaha terencana dan terarah
dalam bentuk pendidikan non formal yang berkelanjutan. Pendidikan
kesehatan gigi adalah suatu proses belajar yang timbul oleh karena adanya
kebutuhan kesehatan sehingga menimbulkan aktivitas-aktivitas perseorangan

Universitas Muhammadiyah Palembang


24

atau masyarakat dengan tujuan untuk menghasilkan kesehatan yang baik


(Tambun, 2010).

2.1.4.2 Tujuan Dental Health Education (DHE)


Pendidikan kesehatan gigi pada anak yaitu suatu usaha yang secara
emosional akan menghilangkan rasa takut, menumbuhkan rasa ingin tahu, mau
mengamati, dan akhirnya secara fisik akan melakukan aktivitas sedemikian
rupa sehingga baik untuk kesehatan pribadi. Maksud dan tujuan pendidikan
kesehatan gigi dan mulut pada anak-anak pada hakekatnya adalah
memperkenalkan anak dengan dunia kesehatan gigi serta segala persoalan
mengenai gigi, sehingga mampu memelihara kesehatan gigi, melatih anggota
badan anak sehingga mereka dapat membersihkan gigi sesuai dengan
kemampuannya, dan mendapatkan kerjasama yang baik dari anak bila
memerlukan perawatan pada giginya. Tujuan pendidikan kesehatan gigi ialah;
a) Meningkatkan pengertian dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut; b) Menghilangkan atau paling sedikit
mengurangi penyakit gigi dan mulut dan gangguan lainnya pada gigi dan mulut
(Malik, 2010).

2.1.4.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan


Pada dasarnya pendidikan harus dilaksanakan seumur hidup sesuai
dengan proses perkembangan psikis dan biologis manusia. Demikian pula
halnya dengan pendidikan kesehatan. Oleh karena itu lingkungan pendidikan
kesehatan dapat kita bedakan atas.
a. Keluarga
Menurut Tambun (2010) lingkungan pendidikan ini biasanya disebut
sebagai pendidikan informal dan merupakan pendidikan dasar yang diperoleh
oleh setiap individu sebelum mendapatkan pendidikan lain. Penanaman
pendidikan kesehatan sedini mungkin oleh orang tua terhadap anaknya akan
berpengaruh besar dalam perubahan sikap pelihara diri anaknya.

Universitas Muhammadiyah Palembang


25

b. Sekolah
Pendidikan yang diperoleh di sekolah disebut sebagai pendidikan
formal. Sebagai bukti bahwa seseorang telah menyelesaikan suatu jenjang
pendidikan formal akan memperoleh ijazah atau surat tanda tamat belajar.
Penanaman pendidikan kesehatan akan berpengaruh terhadap pembentukan
sikap pelihara diri yang diharapkan akan terus tertanam sampai akhir hayat.
c. Masyarakat
Pendidikan ini biasanya dilakukan untuk menambah atau melengkapi
pendidikan di sekolah.

2.1.4.4 Pendidikan Kesehatan Gigi di Sekolah-Sekolah


Penyuluhan kesehatan gigi paling sering ditujukan pada anak-anak
sekolah, khususnya anak sekolah dasar. Terbukti ada perbaikan jangka pendek
tentang kesehatan gigi dan kebersihan mulut tetapi perbaikan-perbaikan ini
umumnya tidak menetap. Penguatan yang terus-menerus, tidak diragukan lagi
dimana penting dan bermanfaat besar, hanya dapat diperoleh jika orang tua
dapat dilibatkan. Hanya sayang hal ini tidak praktis. Akhir-akhir ini telah
terjadi perubahan terhadap pendekatan penyuluhan kesehatan gigi disekolah-
sekolah dimana dilakukan pengembangan program yang dapat dikaitkan
kedalam pekerjaan sekolah. Umumnya studi-studi ini menunjukkan bahwa
program-program dapat diterima oleh para guru atau anak-anak, pengetahuan
mengenai kesehatan gigi dapat ditingkatkan, dan beberapa perbaikan pada
tingkah laku kesehatan gigi dapat diperoleh (dilihat melalui perbaikan
kebersihan mulut dan kesehatan gigi). Pada sejumlah sekolah lanjutan
beberapa bulan setelah program berakhir, hasil yang ditunjukkan adalah tetap
terpeliharanya beberapa perbaikan tetapi bukti manfaat jangka panjang belum
ada (Riyanti dan Saptarini, 2010)

2.1.4.5 Media Boneka Gigi


Media model disebut juga media tiruan atau media tiga dimensi. Media
tiga dimensi merupakan tiruan dari tiga dimensional dari beberapa objek nyata
yang terlalu besar, terlalu jauh, terlalu kecil, terlalu mahal, terlalu jarang, atau

Universitas Muhammadiyah Palembang


26

terlalu ruwet untuk dibawa ke dalam kelas untuk dipelajari siswa. Media
boneka gigi merupakan salah satu media yang digunakan untuk media
pembelajaran cara menyikat gigi yang benar pada anak-anak khususnya anak
yang mengalami retardasi mental (tunagrahita) (Sudjana, 2010).
Menurut Sanaky (2013), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan media model, diantaranya.
a. Bentuk dan besar model perlu diperhatikan agar dapat terlihat oleh
pembelajaran.
b. Jangan terlalu banyak memberikan penjelasan karena pembelajar lebih
berkonsentrasi pada model daripada penjelasan.
c. Model digunakan untuk maksud tertentu dalam pengajaran, bukan
bertujuan untuk mengisi waktu pengajar dan mengurangi peranan pengajar
di kelas.
d. Usahakan agar para pembelajar sebanyak mungkin dapat belajar dari model
atau benda tiruan dengan mendorong mereka bertanya, berdiskusi, atau
memberikan kritik.
e. Model hendaknya diintegrasikan dengan alat-alat lainnya supaya
pengajaran lebih berhasil.
f. Di dalam suatu pelajaran hanya menggunakan model-model tertentu dan
jangan menggunakan bermacam-macam model karena dapat menyebabkan
kebingunan bagi para pembelajar.
g. Apabila menggunakan beberapa model hendaknya model tersebut satu sama
lainnya berhubungan dan menghubungkan pelajaran satu dengan pelajaran
lainnya.
Menurut klasifikasinya terdapat media dengan jenis alat-alat audio
visual yang terbagi menjadi 3 jenis media, diantaranya: a) proyeksi: kepala
proyektor, slide, film, dan LCD; b) non proyeksi: papan tulis, poster, papan
tempel, kartun, papan planel, dsb; c) benda tiga dimensi berupa benda-benda
tiruan. Berdasarkan jenis-jenis dari media diatas terdapat media model atau
sering disebut juga media tiga dimensi. Dalam penelitian ini yang digunakan
adalah jenis model padat berupa model boneka gigi sebagai representasi atau
tiruan dari susunan gigi manusia. Media boneka gigi digunakan untuk

Universitas Muhammadiyah Palembang


27

membantu proses pembelajaran bina diri menyikat gigi khususnya pada


tahapan menyikat gigi untuk siswa tunagrahita di YPAC Palembang. Media
boneka gigi ini berbentuk sebuah boneka gigi geraham yang di memiliki mulut,
dan di dalam mulut terdapat susunan gigi lengkap dengan lidahnya. Bahan
pembuatannya menggunakan veboa pada bagian bonekanya sehingga aman
untuk anak anak dan dalamnya berisi dakron, sedangkan pada bagian susunan
giginya terbuat dari bahan resin dan fiber (Sanaky, 2013).

Gambar 2.3. Media Boneka Gigi dengan Penampakan Susunan Gigi.

Gambar 2.4. Media Boneka Gigi dengan Salah Satu Bentuk Gigi.

Media boneka gigi ialah salah satu media Dental Health Education
(DHE) pada anak tunagrahita yang digunakan untuk membantu proses
pembelajaran bina diri menggosok gigi khususnya pada tahapan menggosok
gigi untuk siswa tunagrahita. Sebagaimana pendapat Meimulyani dan Caryoto
(2013) bahwasanya anak tunagrahita sedang mempunyai daya tangkap sangat
Universitas Muhammadiyah Palembang
28

lambat sehingga diperlukan alat peraga untuk menarik minat anak dan supaya
anak tidak cepat bosan karena mereka cepat sekali bosan dalam menerima
pelajaran. Dalam hal ini media yang diperlukan bagi anak tunagrahita harusnya
dengan benda atau situasi yang sesungguhnya, karena sebagaimana
karakteristik anak tunagrahita sedang ialah tidak mampu berpikir secara
abstrak.

2.1.4.6 Kelebihan dan Kekurangan Media Boneka Gigi


Adapun kelebihan media boneka gigi ialah, Menurut Smaldino, et al
(2012) bahwasanya media model memiliki kelebihan, diantaranya dapat
menggambarkan realisme dan tiga dimensi, menimbulkan minat yang bersifat
multisensorik, memacu kerjasama dan belajar koperatif. Pendapat lain
dikemukakan oleh Asyhar (2012), kelebihan media model adalah dapat dibawa
ke ruang kelas dan mampu menunjukan bagian-bagian penting suatu objek.
Sedangkan menurut Daryanto (2013), kelebihan media tiga dimensi adalah
memberikan pengalaman secara langsung, penyajian konkrit dan menghindari
verbalisme, menunjukan objek secara utuh memperlihatkan struktur dan alur
secara jelas serta dapat membantu memperjelas cara menyikat gigi,
memperlihatkan bagian-bagian gigi secara jelas, menimbulkan minat siswa
karena bentuk dan warna yang menarik.
Kekurangan media boneka gigi ialah, Menurut Smaldino, et al (2012)
bahwasanya media model memiliki Kekurangan media model diantaranya
biaya pembuatan yang mahal, penyimpanan yang sulit, serta mudah rusak.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Asyhar (2012) Kelemahan media model
yaitu tidak semua orang mampu mengembangkan dan tidak mampu
memberikan pengalaman langsung. Menurut Daryanto (2013) Kelemahan
media model adalah sulit menjangaku sasaran jumlah besar, perlu ruang
penyimpanan, perawatan rumit serta biaya yang dikeluarkan besar, mudah
kotor sehingga harus sering dibersihkan, membutuhkan ruang penyimpanan.

Universitas Muhammadiyah Palembang


29

2.1.4.7 Penggunaan Media Boneka Gigi dalam Pembelajaran


Menurut Bahri dan Zain (2010) ada enam langkah yang dapat
diterapkan dalam pembelajaran menggunakan media. Langkah-langkah
tersebut, diantaranya.
a. Merumuskan tujuan pembelajaran dengan menggunakan media boneka
gigi dengan subyek siswa tunagrahita mampu mempraktikkan cara
menyikat gigi yaitu pada tahapan menyikat gigi bagian depan, samping,
kunyah, dalam, mahkota, dan lidah dengan baik, benar, dan merata.
b. Persiapan guru dengan menyiapkan media yang akan digunakan dalam
pembelajaran yakni media boneka gigi, serta mempersiapkan materi
menyikat gigi.
c. Persiapan kelas, dilakukan supaya siswa mampu mengamati dan
mempraktikkan pembelajaran yang diajarkan menggunakan media bone
gigi.
d. Penyajian pelajaran dan pemanfaatan media, guru memanfaatkan media
boneka gigi untuk menyampaikan pembelajaran menyikat gigi dengan
mencontohkan terlebih dahulu cara menyikat gigi bagian demi bagian
menggunakan boneka gigi. Kemudian anak diminta mencoba
mempraktikkan pada media boneka gigi.
e. Langkah kegiatan belajar siswa yaitu siswa belajar aktif menggunakan
media dan mempraktikkan pada diri sendiri dengan bantuan guru ataupun
tidak. Siswa mempraktikkan terlebih dahulu apa yang diajarkan guru ke
media boneka gigi, setelah itu mencoba mempraktikkan pada gigi siswa
masing-masing supaya anak bisa lebih faham dan mampu menyikat gigi
dengan baik dan benar.
f. Langkah evaluasi pengajaran yaitu guru memberikan penilaian terhadap
hasil pembelajaran, serta partisipasi siswa dalam pembelajaran. Penilaian
hasil belajar berupa praktik, yaitu siswa mempraktikkan cara menyikat
gigi pada semua bagian.

Universitas Muhammadiyah Palembang


30

2.2 Kerangka Teori

DHE dengan
Media Tiga
Dimensi

Bina Diri Anak


Tunagrahita

Kognitif Psikomotorik Sensomotorik

Motivasi Skill Mental Sensoris Motorik

Kesulitan
Membersihkan Gigi

Masalah Gigi dan


Mulut

Oral hygiene

Kesehatan Gigi
dan Mulut

: Diteliti

: Tidak Diteliti

2.3 Hipotesis
Media tiga dimensi dapat meningkatkan kemampuan psikomotorik dan
sensomotorik pada anak tunagrahita di YPAC Palembang.

Universitas Muhammadiyah Palembang

Anda mungkin juga menyukai