Anda di halaman 1dari 12

EFEK PENGGUNAAN MEDIA TIGA DIMENSI TERHADAP

PSIKOMOTORIK DAN SENSOMOTORIK MENYIKAT


GIGI PADA ANAK TUNAGRAHITA
DI YPAC PALEMBANG
Tessa Maretha1, Dientyah Nur Anggina2, Miranti Dwi Hartanti2
1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
2
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang

ABSTRAK
Kesehatan gigi dan mulut adalah hal penting bagi masyarakat. Kesehatan gigi dan mulut pada anak
berkebutuhan khusus terutama tunagrahita masih tergolong rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena anak tunagrahita memiliki kemampuan psikomotorik dan sensomotorik yang terhambat
khususnya pada saat menyikat gigi, dimana mereka masih menyikat gigi pada bagian tertentu saja
atau belum menyeluruh serta masih kurang mampu mengidentifikasi bersih tidaknya dalam kegiatan
menyikat gigi. Salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut adalah melalui Dental Health
Education (DHE) menggunakan media tiga dimensi seperti boneka gigi. Penelitian bertujuan untuk
mengetahui efek penggunaan media tiga dimensi terhadap psikomotorik dan sensomotorik sebelum
dan sesudah menyikat gigi pada anak tunagrahita di YPAC Palembang. Jenis penelitian ini adalah
quasi eksperimental dengan rancangan pretest – posttest one group design. Penelitian dilakukan di
SLB-C YPAC Palembang dengan jumlah 30 siswa dari kelas I-VI SLB-C1 YPAC Palembang diambil
30 responden secara total sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Kelompok perlakuan
diberi Dental Health Education (DHE) menggunakan media tida dimensi dengan menilai
kemampuan psikomotorik dan sensomotorik menyikat gigi. Analisis data menggunakan uji Repeated
Anova menguji perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan yang didapatkan hasil p = 0,000.
Hasil penelitian terdapat perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah diberi media
penyuluhan tiga dimensi terhadap psikomotorik dan sensomotorik.

Kata kunci : media tiga dimensi, psikomotorik dan sensomotorik, tunagrahita

ABSTRACT
Dental and oral health is important for society. Dental and oral health in children with special needs,
especially mental retardation is still relatively low. this is probably due to mentally retarded children
who have psychomotoric and sensomotoric abilities that are inhibited, especially when brushing their
teeth, where they are still brushing their teeth in certain parts or not yet comprehensive and are still
unable to identify whether or not they are clean in tooth brushing activities. One of the ways this
problem is through Dental Health Education (DHE) using three-dimensional media such as puppets.
This study aimed to determine the effect of the use of three-dimensional media on psychomotoric and
sensomotoric before and after brushing teeth in retarded children at YPAC Palembang. This type of
research was a quasi experimental design with pretest - posttest one group design. The study was
conducted at SLB-C YPAC Palembang with 30 students from class I-VI SLB-C1 YPAC Palembang
taken 30 respondents in total sampling according to the inclusion and exclusion criteria. The
treatment group was given Dental Health Education (DHE) using three dimensional media by
assessing psychomotoric and sensomotoric abilities to brush their teeth. The data analysis using the
Repeated Anova test tested the difference between before and after the treatment, the results obtained
(p = 0,000). The results of the study showed a significant difference between before and after being
given a three-dimensional counseling media on psychomotoric and sensomotoric.

Keywords: three dimensional media, psychomotoric and sensomotoric, intellectual disability


PENDAHULUAN
Kesehatan anak adalah kondisi anak yang sehat secara fisik (organ tubuh) dan psikis (mental,
emosional, sosial dan spiritual) maupun keadaan yang terbebas dari penyakit sehingga dapat
melakukan segala aktifitasnya tanpa hambatan fisik, Kesehatan seorang anak dimulai dari pola hidup
yang sehat.1 Kesehatan gigi dan mulut adalah hal penting bagi masyarakat, Sementara di banyak
masyarakat masih ditemui sikap kurang peduli terhadap kesehatan gigi dan mulut, terlebih pada anak-
anak berkebutuhan khusus misalnya tunagrahita.2
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 dalam Suciari, dkk (2015) menyatakan
bahwa angka kejadian karies gigi pada anak mengalami perlonjakan 60-90% sedangkan menurut data
dari PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) menyebutkan bahwa sedikitnya 89% penderita karies
adalah anak-anak.3 Data prevalensi karies di Indonesia mencapai 60-80% dari seluruh populasi, serta
menempati peringkat ke-6 sebagai penyakit yang paling banyak diderita.4
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 prevalensi nasional masalah gigi
dan mulut diperoleh data sebesar 25,9%, sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi masalah gigi
dan mulut diatas angka nasional, sedangkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun sebagian besar
(93,8%) menyikat gigi setiap hari.5
Anak tunagrahita merupakan anak dengan keterbelakangan mental dalam kelompok dibawah
normal dan atau lebih lamban dari pada anak normal, baik perkembangan sosial maupun
kecerdasannya, Kecerdasan mereka tidak bisa berkembang seperti anak-anak pada umumnya yang
berumur sama.6
Kemampuan sensoris anak tunagrahita yang rendah dimana kondisi seorang anak yang
intelektualnya jauh dibawah rata-rata sehingga mereka sulit untuk diajak kooperatif dan
berkonsentrasi serta terdapat keterbatasan intelegensi, Kebersihan gigi dan mulut mereka tergolong
rendah sehingga dalam menyikat gigi mereka juga sulit untuk memahami informasi cara menyikat
gigi yang baik dan benar.7 Anak tunagrahita memiliki kemampuan motorik yang terhambat pada salah
satu tahapan dalam kegiatan menyikat gigi ialah mereka masih menyikat gigi pada bagian-bagian
tertentu saja atau belum menyeluruh serta masih kurang mampu mengidentifikasi bersih tidaknya
dalam kegiatan menyikat bagian-bagian gigi. Kemampuan motorik pada tangan anak juga kurang
kuat. Karena pada umumnya masalah anak tunagrahita dijumpai dalam hal koordinasi otot jari,
tangan, lengan, dan mulut yang berhubungan dengan otot sehingga kurang bertenaga, terutama pada
daerah mulut dapat mengganggu fungsi pengunyahan dan fungsi bicara.6
Menurut penelitian Reni (2015), kemampuan sensomotorik dan psikomotorik anak tunagrahita
di sekolah inklusi se-Kecamatan Sentolo Kulonprogo secara keseluruhan adalah berbeda. Secara
rinci, 4 siswa (13.33%) mempunyai kemampuan motorik kurang, 26 siswa (86.87%) mempunyai
kemampuan motorik baik, 0 siswa (0%) mempunyai kemampuan motorik baik sekali, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan motorik anak tunagrahita se-Kecamatan Sentolo Kulon Progo masuk
dalam kategori baik.8
Beberapa cara dan upaya dalam melatih kemampuan menyikat gigi pada anak tunagrahita,
salah satunya yaitu dengan memberikan latihan sensorimotor. Latihan sensorimotor merupakan
sebuah latihan yang melibatkan koordinasi sensoris dan motorik yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan sensorimotor yang terdiri dari kemampuan visual, taktil, propioseptif, vestibuler,
auditoris dan kinestetik/gerakan motorik dengan menggunakan alat, sehingga apabila anak diberi
latihan sensorimotor akan mengalami peningkatan kemampuan menyikat gigi anak.9
Menurut WHO (2012) jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah sekitar 7% dari
total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000 pada tahun 2007. Menurut data Sensus
Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari
jumlah penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Lebih khusus lagi pada anak
tunagrahita prevalensi karies gigi dapat mencapai 82,6% dan hal tersebut termasuk dalam kategori
cukup tinggi.10
Salah satu cara untuk menanggulangi masalah kesehatan gigi adalah melalui Dental Health
Education (DHE), yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam
menjaga kebersihan gigi dan mulutnya dan bersifat preventif. Keberhasilan pendidikan kesehatan gigi
dan mulut pada anak tunagrahita ringan dipengaruhi oleh pemilihan media yang tepat.11
Salah satu media yang dapat digunakan untuk pendidikan kesehatan gigi pada anak tunagrahita
adalah media boneka gigi. Media boneka gigi merupakan suatu media pembelajaran tiga dimensi
sebagai model atau tiruan dari bentuk gigi manusia sesungguhnya (Arif, 2005).12 Dengan penggunaan
media boneka gigi, dapat mempermudah dalam memberikan pemahaman kepada siswa mengenai
bagian-bagian gigi yang kita miliki, serta dapat mencontohkan dengan jelas bagaimana cara atau
tahapan yang benar dalam menyikat gigi.13
Menurut penelitian Tiyas (2015), pemanfaatan media boneka gigi untuk meningkatkan
kemampuan bina diri (menggosok gigi) anak tunagrahita kelas I SDLB penggunaan media boneka
gigi dapat meningkatkan kemampuan bina diri siswa kelas I dilaksanakan melalui dua tahap siklus.
Pada siklus I skor rata-rata yang diperoleh adalah 54,2 dengan jumlah prosentase keberhasilan sebesar
40%, prosentase tersebut termasuk kualifikasi sangat kurang. Pada siklus II skor rata-rata yang
diperoleh sudah meningkat dibandingkan pada siklus I yaitu 80,04 dengan jumlah persentase sebesar
80%. Kemampuan bina diri siswa kelas I mengalami peningkatan pada tiap siklus.14
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian Quasy eksperimental yang menggunakan
pretest posttest one group design. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober sampai desember
2018 di YPAC Palembang Jalan Mr. R. Sudarman Ganda Subrata Sukamaju Sako Palembang.
Sampel penelitian adalah seluruh Siswa SLB-C1 YPAC Palembang yang memenuhi kriteria inklusi.
Pengambilan sampel dengan cara total sampling.
Sampel penelitian diperoleh 30 responden. Masing-masing di nilai kemampuan psikomotorik
dan kemampuan sensomotorik sebelum diberikan edukasi dan dilakukan pengukuran kembali setelah
1 minggu, 2 minggu setelah diberikan edukasi Dental Health Eduacation (DHE) menggunakan media
tiga dimensi.
Data penelitian dianalisis dengan cara univariat dan bivariat menggunakan uji repeated anova
dan post hoc bonferroni untuk menguji kemaknaan perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan
dalam tiap kelompok tetapi bila distribusi datanya tidak normal dilakukan analisis dengan uji
Friedman + Post hoc Wilcoxon.

HASIL PENELITIAN
Analisis data dari hasil penelitian akan dipaparkan dalam bentuk tabel dibawah ini:
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin F (orang) (%)
1 Laki-Laki 21 70
2 Perempuan 9 30
Total 30 100
Jenis kelamin diketahui bahwa jumlah responden 30 orang dengan responden berjenis kelamin
perempuan 9 responden (30 %) dan berjenis kelamin laki-laki 21 responden (70 %).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Usia


No Usia (Tahun) F (orang) (%)
1 7-8 3 10
2 9-10 15 50
3 11-12 7 23
4 13-14 5 17

Total 30 100
Usia responden diketahui bahwa 3 responden (10%) berusia 7-8 tahun, 15 responden (50%)
berusia 9-10 tahun, 7 responden (23%) berusia 11-12 tahun, 5 responden (17%) berusia 13-14 tahun.
Tabel 3. Distribusi Nilai Kemampuan Psikomotorik Sebeleum dan Sesudah diberikan Dental Health
Education (DHE) dengan menggunakan Media Tiga Dimensi
Responden Nilai Pretest Nilai Nilai Posttest
Posttest Siklus ke-II
Siklus ke-1
Mean 51,2 57,1 59,8
Median 54,5 58 61
Minimum 32 46 50
Maksimum 64 64 64

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa terjadi peningkatan nilai kemampuan psikomotorik
sebelum dan sesudah diberi edukasi dengan media tiga dimensi. Peningkatan kemampuan
psikomotorik dapat dilihat dari nilai rerata pretest sebesar 51,2 meningkat menjadi 57,1 pada rerata
posttest siklus ke-I dan meningkat lagi menjadi 59,8 pada rerata posttest siklus ke-II. Nilai minimum
pretest 32, posttest siklus ke-I 46 dan posttest siklus ke-II 50 serta nilai maksimum pretest dan posttest
siklus ke-I dan ke-II 64.

Tabel 4. Distribusi Nilai Kemampuan Sensomotorik Sebelum dan Sesudah diberikan Dental Health
Education (DHE) dengan menggunakan Media Tiga Dimensi
Responden Nilai Pretest Nilai Posttest Nilai Posttest
Siklus ke-I Siklus ke-II
Mean 29,8 33,2 36,3
Median 28 33,5 37
Minimum 18 22 27
Maksimum 40 40 40

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa terjadi peningkatan nilai kemampuan sensomotorik
sebelum dan sesudah diberi edukasi dengan menggunakan media tiga dimensi. Peningkatan
kemampuan sensomotorik dapat dilihat dari nilai rerata pretest sebesar 29,8 meningkat menjadi 33,2
pada rerata posttest siklus ke-I dan meningkat lagi pada rerata posttest siklus ke-II yaitu 36,3. Nilai
minimum pretest 18 dan posttest siklus ke-I 22 dan posttest siklus ke-II 27 serta nilai maksimum
pretest dan posttest siklus ke-I dan ke-II 40.

Nilai Kemampuan
100
50 51.2 57.1 59.8
29.8 33.2 36.3
0
Minggu 0 Minggu 1 Minggu 2
(pretest) (posttest 1) (posttest 2)

Kemampuan Psikomotorik
Kemampuan Sensomotorik
Gambar 1. Grafik nilai rata-rata kemampuan psikomotorik dan kemampuan sensomotorik
sebelum dan sesudah diberikan intervensi Dental Health Education (DHE) selama
2 siklus (Sumber : koleksi pribadi)
Berdasarkan gambar 1. dapat dilihat perubahan nilai rata-rata kemampuan psikomotorik dan
kemampuan sensomotorik. Rata-rata nilai kemampuan psikomotorik dan kemampuan sensomotorik
mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Hasil ini menunjukkan
bahwa intervensi Dental Health Education (DHE) dengan menggunakan tiga dimensi memberikan
perubahan pada kemampuan psikomotorik dan kemampuan sensomotorik anak tunagrahita.

Tabel 5. Uji Normalitas Data Nilai Kemampuan Psikomotorik dan Kemampuan Sensomotorik
No Kemampuan Hasil Nilai Probabilitas
(p value)
1 Kemampuan Psikomotorik Pretest 0,074
Posttest ke I 0,026
Kemampuan Posttest ke II 0,070
2 Sensomotorik Pretest 0,013
Posttest ke I 0,031
Posttest ke II 0,055
Setelah dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilks, dapat dilihat bahwa nilai p hasil dari
kemampuan psikomotorik pretest 0,074, posttest siklus ke-1 0,026 dan posttest siklus ke-II 0,070.
Karena nilai p>0,05 pada pretest dan posttest siklus ke-II, sedangkan nilai p<0,05 pada posttest siklus
ke-I, maka untuk menguatkannya peneliti melihat hasil normal Q-Q plot dimana didapatkan hasil
scatter menyebar sekitar garis diagonal dan searah mengikuti garis diagonal sehingga disimpulkan
bahwa data kemampuan psikomotorik adalah terdistribusi secara normal.

Tabel 6. Perbedaan kemampuan psikomotorik sebelum dan sesudah diberikan Dental Health
Education (DHE)
Mean (S.D) Nilai (p value)
1 Kemampuan Psikomotorik pretest 51,2 0,000

2 Kemampuan Psikomotorik posttest I 57,1 0,000

3 Kemampuan Psikomotorik posttest II 59,8 0,000

Pada
kemampuan psikomotorik setelah dilakukan uji Repeated Anova Measure, diperoleh hasil bahwa nilai
p=0,001 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara nilai
pretest dan posttest siklus ke-I dan siklus ke-II pada kemampuan psikomotorik.

Tabel 7. Uji untuk mengetahui pengukuran yang berbeda dengan uji post hoc bonferroni
Sebelum Minggu ke-1 Minggu ke-
edukasi edukasi 2 edukasi
Sebelum edukasi - 0,000* 0,065
Minggu ke-1 edukasi 0,000* - 0,000*

Minggu ke-2 edukasi 0,065 0,000* -

*Beda nyata pada taraf 5%


Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang bermakna terhadap
kemampuan psikomotorik antara sebelum edukasi dan setelah diberikan edukasi minggu ke-I dengan
rata-rata perbedaan nilai kemampuan psikomotorik sebesar 0,556 dan secara statistik signifikan
dengan p=0,000 (p<0,05). Dan ada perbedaan yang bermakna juga antara sebelum edukasi, dan
setelah diberikan edukasi minggu ke-I dan minggu ke-II dengan rata-rata perbedaan nilai kemampuan
psikomotorik sebesar 0,556 dan secara statistik signifikan dengan p=0,000 (p<0,05). Kemudian ada
perbedaan yang bermakna antara setelah diberikan edukasi minggu ke-I dan minggu ke-II dengan
rata-rata perbedaan nilai kemampuan psikomotorik sebesar 0,230 dan secara signifikan dengan
p=0,000 (p<0,05), kemudian tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara sebelum dengan setelah
minggu ke-II edukasi yaitu p=0,065 (p>0,05).

Tabel 8. Perbedaan kemampuan sensomotorik sebelum dan sesudah diberikan Dental Health
Education (DHE)
Mean (S.D) Nilai (p value)
1 Kemampuan Sensomotorik pretest 29,8 0,000

2 Kemampuan Sensomotorik posttest I 33,2 0,000

3 Kemampuan Sensomotorik posttest II 36,3 0,000

Pada kemampuan sensomotorik setelah dilakukan uji Repeated Anova Measure, diperoleh
hasil bahwa nilai p=0,001 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara nilai pretest dan posttest siklus ke-I dan siklus ke-II pada kemampuan sensomotorik.

Tabel 9. Uji untuk mengetahui pengukuran yang berbeda dengan uji post hoc bonferroni
Sebelum Minggu ke-1 Minggu ke-2
penggunaan penggunaan penggunaan
Sebelum penggunaan - 0,000* 0,066

Minggu ke-1 0,000* - 0,000*


penggunaan
Minggu ke-2 0,066 0,000* -
penggunaan
*Beda nyata pada taraf 5%
Berdasarkan tabel 9 menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang bermakna terhadap
kemampuan sensomotorik antara sebelum edukasi dan setelah diberikan edukasi minggu ke-I dengan
rata-rata perbedaan nilai kemampuan sensomotorik sebesar 0,293 dan secara statistik signifikan
dengan p=0,000 (p<0,05). Dan ada perbedaan yang bermakna juga antara sebelum edukasi, dan
setelah diberikan edukasi minggu ke-I dan minggu ke-II dengan rata-rata perbedaan nilai kemampuan
sensomotorik sebesar 0,293 dan secara statistik signifikan dengan p=0,000 (p<0,05). Kemudian ada
perbedaan yang bermakna antara setelah diberikan edukasi minggu ke-I dan minggu ke-II dengan
rata-rata perbedaan nilai kemampuan sensomotorik sebesar 0,83 dan secara signifikan dengan
p=0,000 (p<0,05), kemudian tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara sebelum dengan setelah
minggu ke-II edukasi yaitu p=0,066 (p>0,05).

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian sebesar 70 % atau sebanyak 21 orang berjenis kelamin laki-laki,
dimana anak tunagrahita didapatkan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. Menurut
Hungu (2007), jenis kelamin (sex) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara
biologis sejak seseorang lahir. Anak tunagrahita lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan, sebanyak 1,5 kali lebih besar.15
Hasil penelitian sebesar 50% atau sebanyak 15 orang anak usia 9-10 tahun yang paling
dominan pada anak tunagrahita, dimana pada usia 9-10 tahun ini baru mencapai usia kemampuan
yang sama dengan anak normal usia 7 tahun.
Pada distribusi tingkat kemampuan psikomotorik yang dimiliki oleh kelompok pretest
ditemukan dengan kategori cukup sebanyak 3 responden (10%), kategori baik sebanyak 11 responden
(37%), dan kategori sangat baik sebanyak 16 responden (53%). Setelah diberikan edukasi
kemampuan psikomotorik pada posttest siklus ke-I terjadi peningkatan yaitu tidak ditemukan
responden dengan kategori cukup sebanyak 0 responden (0%), kategori baik sebanyak 6 responden
(20%), dan kategori sangat baik sebanyak 24 responden (80%). Pada posttest siklus ke-II terjadi
peningkatan kemampuan psikomotorik yaitu tidak ditemukan responden dengan kategori cukup,
kategori baik sebanyak 1 responden (3%), dan kategori sangat baik sebanyak 29 responden (97%).
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah media tiga dimensi jenis model padat berupa
boneka gigi sebagai representasi atau tiruan dari susunan gigi manusia. Media boneka gigi digunakan
untuk membantu proses pembelajaran bina diri menyikat gigi khususnya pada tahapan menyikat gigi
untuk siswa tunagrahita di YPAC Palembang.
Pada anak tunagrahita, penggunaan media yang efektif yaitu media model atau sering disebut
juga media tiga dimensi. memiliki kelebihan, diantaranya dapat menggambarkan realisme dan tiga
dimensi, menimbulkan minat yang bersifat multisensorik, memacu kerjasama dan belajar koperatif.16
Menurut Daryanto (2013) kelebihan media tiga dimensi adalah memberikan pengalaman secara
langsung, penyajian konkrit dan menghindari verbalisme, menunjukan objek secara utuh
memperlihatkan struktur dan alur secara jelas serta dapat membantu memperjelas cara menyikat gigi,
memperlihatkan bagian-bagian gigi secara jelas, menimbulkan minat siswa karena bentuk dan warna
yang menarik.17
Pada distribusi tingkat kemampuan sensomotorik yang dimiliki oleh kelompok pretest
ditemukan dengan kategori cukup sebanyak 8 responden (26,5%), kategori baik sebanyak 14
responden (47%), dan kategori sangat baik sebanyak 8 responden (26,5%). Setelah diberikan edukasi
kemampuan sensomotorik pada posttest siklus ke-I terjadi peningkatan yaitu ditemukan responden
dengan kategori cukup sebanyak 2 responden (7%), kategori baik sebanyak 15 responden (50%), dan
kategori sangat baik sebanyak 13 responden (43%). Pada posttest siklus ke-II terjadi peningkatan
kemampuan sensomotorik yaitu tidak ditemukan responden dengan kategori cukup, kategori baik
sebanyak 4 responden (13%), dan kategori sangat baik sebanyak 26 responden (87%).
Dari hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Artanti Kurniasih (2017),
didapatkan hasil bahwa keterampilan menggosok gigi anak sebelum diberikan pendidikan kesehatan
dengan media bermain puzzle kategori kurang sebesar 44%, dan setelah diberikan pendidikan
kesehatan dengan media puzzle kategori baik sebesar 88%. Rata-rata keterampilan menggosok gigi
anak setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan media puzzle mengalami kenaikan sebesar 2,10.
Sensomotorik ialah adanya suatu rangsangan (input) pada sensori atau pancaindera yang di
informasikan ke kortex (otak tengah) lalu di olah oleh hemisphere (otak besar) dan disalurkan ke otot
sebagai output atau reaksi manusia. Tujuan dari pelatihan sesomotorik atau aktivitas seluruh olah
tubuh merupakan suatu promosi dari kualitas EQ dan IQ anak yang optimal, yang di dapat dari sistem
indera (sensori) yang terasah dan kemampuan mengembangkan koordinasi proprioseptis disertai
dengan strategi, pola pikir (persepsi) dan kesadaran tubuh yang baik pula. Periode-periode tergantung
pada banyak faktor lingkungan sosial dan perkembangan gradual merupakan proses yang kontinyu.18
Pada kemampuan psikomotorik setelah dilakukan uji Repeated Anova Measure, diperoleh
hasil bahwa nilai p=0,001 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara nilai pretest dan posttest siklus ke-I dan siklus ke-II pada kemampuan psikomotorik.
Setelah dilanjutkan dengan uji post hoc bonferroni untuk melihat pemeriksaan mana yang berbeda,
didapatkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap kemampuan psikomotorik antara sebelum
edukasi dan setelah diberikan edukasi minggu ke-I dengan rata-rata perbedaan nilai kemampuan
psikomotorik sebesar 0,556 dan secara statistik signifikan dengan p=0,000 (p<0,05). Dan ada
perbedaan yang bermakna juga antara sebelum edukasi, dan setelah diberikan edukasi minggu ke-I
dan minggu ke-II dengan rata-rata perbedaan nilai kemampuan psikomotorik sebesar 0,556 dan secara
statistik signifikan dengan p=0,000 (p<0,05). Kemudian ada perbedaan yang bermakna antara setelah
diberikan edukasi minggu ke-I dan minggu ke-II dengan rata-rata perbedaan nilai kemampuan
psikomotorik sebesar 0,230 dan secara signifikan dengan p=0,000 (p<0,05), kemudian tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara sebelum dengan setelah minggu ke-II edukasi, hal ini kemungkinan
karena pengaruh dari perilaku responden yang tidak menerapkan Dental Health Education (DHE)
cara menyikat gigi yang baik dan benar yang telah diberikan pada minggu ke-I.
Pada kemampuan sensomotorik setelah dilakukan uji Repeated Anova Measure, diperoleh
hasil bahwa nilai p=0,001 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara nilai pretest dan posttest siklus ke-I dan siklus ke-II pada kemampuan sensomotorik.
Setelah dilanjutkan dengan uji post hoc bonferroni untuk melihat pemeriksaan mana yang berbeda,
didapatkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap kemampuan sensomotorik antara sebelum
edukasi dan setelah diberikan edukasi minggu ke-I dengan rata-rata perbedaan nilai kemampuan
sensomotorik sebesar 0,293 dan secara statistik signifikan dengan p=0,000 (p<0,05). Dan ada
perbedaan yang bermakna juga antara sebelum edukasi, dan setelah diberikan edukasi minggu ke-I
dan minggu ke-II dengan rata-rata perbedaan nilai kemampuan sensomotorik sebesar 0,293 dan
secara statistik signifikan dengan p=0,000 (p<0,05). Kemudian ada perbedaan yang bermakna antara
setelah diberikan edukasi minggu ke-I dan minggu ke-II dengan rata-rata perbedaan nilai kemampuan
sensomotorik sebesar 0,83 dan secara signifikan dengan p=0,000 (p<0,05), kemudian tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara sebelum dengan setelah minggu ke-II edukasi, hal ini kemungkinan
karena pengaruh dari perilaku responden yang tidak menerapkan Dental Health Education (DHE)
cara menyikat gigi yang baik dan benar yang telah diberikan pada minggu ke-I. Faktor yang
terpenting dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut adalah faktor kesadaran dan perilaku dilakukan
di rumah tanpa pengawasan siapapun, sepenuhnya dari pengetahuan pengalaman kesadaran serta
kemauan pihak individu untuk menjaga kebersihan gigi dan mulutnya (Wawan dan Dewi, 2010).19
Efektivitas menyikat gigi bergantung pada edukasi responden yang telah dipersiapkan sebelumnya
serta sikap kooperatif responden terhadap perawatan dapat menimbulkan dampak positif pada usaha
pembersihannya.20
Berdasarkan gambar 1 grafik rata-rata nilai kemampuan psikomotorik dan sensomotorik, pada
penelitian ini nilai rerata kemampuan psikomotorik lebih besar daripada kemampuan sensomotorik,
hal ini kemungkinan disebabkan oleh anak tunagrahita memiliki kondisi kecerdasannya di bawah
rata-rata. Berpijak dari konsep tersebut Hurlock (2000), menyatakan bahwa motorik halus sebagai
pengendalian koordinasi yang lebih baik yang melibatkan kelompok otot yang lebih untuk
menggenggam, melempar dan menangkap.21
Keterampilan sensorimotor merupakan keterampilan yang mengandalkan indera dan gerakan-
gerakan tubuh. Pembelajaran mengenai sensorimotor juga diarahkan untuk melatih dan
mengembangkan fungsi mata, telinga dan latihan otot-otot. Kemampuan sensorimotor terdiri dari
kemampuan visual, taktil, proprioseptif, vestibuler, auditoris, dan kinestetik/gerakan motorik.22
Keterampilan motorik berkaitan dengan serangkaian gerak-gerik jasmaniah dalam urutan
tertentu dengan mengadakan koordinasi antara gerak-gerik berbagai anggota badan secara terpadu.
Keterampilan motorik tidak hanya menuntut kemampuan untuk rangkaian gerak jasmaniah tetapi
juga memerlukan aktivitas mental/psikis supaya terbentuk suatu koordinasi gerakan secara terpadu,
sehingga disebut kemampuan psikomotorik.23

KESIMPULAN
1. Kemampuan psikomotorik dapat dilihat dari nilai rerata sebelum diberikan intervensi sebesar
51,2 dan pada kemampuan sensomotorik pada rerata sebelum diberikan intervensi sebesar 29,8.
2. Kemampuan psikomotorik dapat dilihat dari nilai rerata posttest siklus ke-I sebesar 57,1
meningkat pada posttest siklus ke-II menjadi 59,8 dan pada kemampuan sensomotorik nilai rerata
posttest siklus ke-I sebesar 33,2 meningkat pada posttest siklus ke-II menjadi 36,3.
3. Terdapat perbedaan yang bermakna antara nilai pretest dan posttest siklus ke-I dan siklus ke-II
pada kemampuan psikomotorik dan sensomotorik menyikat gigi, dimana terdapat perbedaan
yang bermakna terhadap kemampuan psikomotorik dan sensomotorik antara sebelum diberikan
Dental Health Education (DHE) dan setelah 1 minggu dengan 2 minggu setelah diberikan Dental
Health Education (DHE), Namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara sebelum
diberikan Dental Health Education (DHE) dengan 2 minggu setelah diberikan Dental Health
Education (DHE).

SARAN
1. Bagi orangtua siswa, berdasarkan hasil penelitian terdapat peningkatan kemampuan
psikomotorik dan sensomotorik dalam pemberian edukasi dengan media boneka gigi sehingga
dapat digunakan untuk acuan pembelajaran bagi anak-anak.
2. Untuk peneliti selanjutnya, agar dapat menambah subjek penelitian yaitu intervensi edukasi
terhadap orang tua dan guru untuk meningkatkan kemampuan bina diri pada anak tunagrahita.
3. Untuk SLB-C1 YPAC Palembang, dari hasil penelitian diharapkan menjadi bahan evaluasi agar
semua siswa/i lebih meningkatkan edukasi dan informasi secara menyeluruh tentang kesehatan
gigi bagi anak-anak di SLB-C1 YPAC Palembang.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih saya haturkan kepada seluruh pihak yang terlibat dan turut membantu dalam
penelitian ini baik instansi maupun responden penelitian. Semoga jurnal penelitian ini dapat
membawa manfaat untuk ilmu kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
1. Santoso, S. 2008. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Universitas Terbuka.
2. Budiharto. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan dengan Contoh Bidang Ilmu Kesehatan
Gigi. Jakarta : EGC.
3. WHO. 2007. World Report on Disability. www.who.int. Diakses pada tanggal 15 September
2018.
4. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Rencana
program pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Jakarta.
5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
6. Apriyanto, N. 2012. Seluk-Beluk Tunagrahita dan Strategi Pembelajarannya
Yogyakarta: JAVALITERA.
7. Kabul, T. H. 2008. Kemampuan Motorik Halus Anak Tunagrahita Kelas Bawah di Balai Besar
Rehabilitasi Sosial Bina Grahita (BBR SBG) Kartini Temanggung. Skripsi: FIK UNY.
8. Reni, W. 2015. Kemampuan Motorik Halus Anak Tunagrahita di Sekolah Inklusi Se-
Kecamatan Sentolo Kulon Progo. Skripsi: FIK UNY.
9. Hamijoyo, S. 2008. Latihan Sensomotorik Anak Luar Biasa. Jakarta : Depdikbud.
10. Hadis, A. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung: Alfabeta.
11. Pratiwi, D. 2002. Gigi Sehat Merawat Gigi Sehari-Hari. Jakarta: Buku Kompas.
12. Arief, S. S. 2005. Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan,
Pemanfaatan. Jakarta: PT Raja Grafindo.
13. Sudjana, N., & Prastowo, A. 2010. Media Pembelajaran. Bandung:
Sinar Baru Algesindo.
14. Tiyas, L. R. 2015. Pemanfaatan Media Boneka Gigi untuk Meningkatkan Kemampuan Bina
Diri (menggosok gigi) Anak Tunagrahitan Kelas I di SDLB Marsudi Utomo Kesamben
Kabupaten Blitar. Skripsi, tidak dipublikasikan. Universitas Negeri Malang.
15. Hungu. 2007. Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta : Grasindo.
16. Asyhar, R. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Referensi.
17. Daryanto. 2013. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.
18. Gandasetiawan, Z. R. 2009. Mendesain Karakter Anak melalui Sensomotorik. Jakarta : Libri.
19. Wawan, A., & Dewi, M. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika.
20. Riyanti. E, Chemiawan. E, & Rizalda. R.U. 2005. Hubungan Pendidikan Penyikatan Gigi
dengan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa-Siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu Iman
Bukhari. Jurnal Kedokteran Gigi.
21. Hurlock, E. B. 2000. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
22. Widiyati, W. 2015. Pembelajaran sensorimotor untuk anak autis di PAUD inklusi sebuah
tinjauan psikologis. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan, 173.
23. Winkel, W. S. 2006. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai