Anda di halaman 1dari 42

Referat

SKIZOFRENIA

Tessa Maretha, S.Ked


71 2019 018

Pembimbing:
dr. Meidian Sari, Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT DR. ERNALDI BAHAR
PROVINSI SUMATERA SELATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang berjudul

Skizofrenia

Oleh:
Tessa Maretha, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit
DR.Ernaldi Bahar Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang periode 13 Juli – 19 Juli 2020.

Palembang, Juli 2020

dr. Meidian Sari, Sp,KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Semesta Alam, Allah SWT, atas nikmat dan
karunia-Nya. Sholawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW.
Penulis menghaturkan terima kasih atas bimbingan selama pengerjaan
referat, dengan judul “Skizofrenia” ini kepada pembimbing dr. Meidian Sari,
Sp.KJ. dan bagi semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis haturkan terima
kasih atas bantuannya hingga referat ini dapat terselesaikan. Semoga bantuan yang
telah diberikan mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa didalam referat ini masih banyak kekurangan
baik itu dalam penulisan maupun isi referat. Karena itu, Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya referat ini. Penulis berharap
referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, Juli 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi........................................................................ 2
2.3 Etiologi................................................................................. 3
2.4 Patofisiologi ......................................................................... 8
2.5 Gambaran Klinis................................................................... 12
2.6 Penegakkan Diagnosis.......................................................... 14
2.7 Jenis-Jenis Skizofrenia......................................................... 16
2.8 Pemeriksaan Penunjang........................................................ 24
2.9 Diagnosis Banding............................................................... 25
2.10 Penatalaksanaan.................................................................... 27
2.11 Komplikasi........................................................................... 31
2.12 Prognosis.............................................................................. 32
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan.......................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 35

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di


seluruh dunia adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa
semakin modern dan industrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor
psikososialnya, yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak
mampu mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.1
Gangguan jiwa merupakan gangguan pada pikiran, perasaan, atau perilaku
yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Skizofrenia
adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-
kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan
dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek
abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme.
Meskipun demikian, kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya
tidak terganggu.2
Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis dari berbagai
keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu yang melibatkan proses pikir,
emosi, persepsi dan tingkah laku. Skizofrenia merupakan golongan psikosa yang
ditandai dengan tidak adanya pemahaman diri (insight) dan ketidakmampuan
menilai realitas (RTA).3 Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok
masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang
hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir
1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa
dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu
15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun.
Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar
di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala
skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif,
dan gangguan dalam hubungan interpersonal.4,5
Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan
variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu
bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada
umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.6

2.2 Epidemiologi

Survei telah dilakukan di berbagai negara memiliki laju insiden per tahun
skizofrenia antara 0,1-0,4 per 1000 populasi. Insiden yang tinggi terjadi pada
kelompok sosial terutama etnis minoritas di Eropa Barat seperti komunitas Afro-
Caribbean di Inggris dan imigran dari Suriname di Belanda.7

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi


skizofrenia di Indonesia sebesar 6,7 per 1000 rumah tangga. Dari populasi umum dengan
prevalensi paling tinggi di Bali mencapai 11,1 per 1000 rumah tangga dan untuk
Sumatera Selatan prevalensinya mencapai 8 per 1000 rumah tangga. 8

2
3

Ditinjau dari diagnosa atau jenis skizofrenia, prevalensi jenis skizofrenia


terbanyak terdapat pada skizofrenia paranoid sebanyak 40,8%, dan diikuti
skizofrenia katatonik sebanyak 3,5%.9

Skizofrenia tidak terdistribusi rata secara geografis di seluruh dunia.


Secara historis, prevalensi skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat
adalah lebih tinggi dari daerah lainnya.10

a. Mortalitas dan morbiditas:

Bunuh diri (10%), penyakit-penyakit lain akibat pola hidup yang buruk,
efek samping obat, dan penurunan perawatan kesehatan.

b. ♂ = ♀:

Onset lebih awal dan gejala lebih buruk pada ♂, disebabkan karena
respon pengobatan antipsychotic yang lebih baik pada ♀ disebabkan
pengaruh estrogen.

c. Rasio schizophrenia kembar pada ♀>♂.

d. Usia:

o Puncak onset: ♂ (18-25 tahun), ♀ (26-45 tahun)

o Onset sebelum pubertas dan >45 tahun jarang.

o Gejala-gejala dapat membaik perlahan pada usia pertengahan


dan lebih tua.

o Sembuh spontan jarang terjadi pada beberapa tahun penyakit


kronis.

2.3 Etiologi
4

Skizofrenia didiskusikan sebagai suatu penyakit tunggal namun


dikategorikan diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan
kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak serupa.
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etiologi) yang pasti mengapa
seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak. Ternyata dari
penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal.3

Penyebab skizofrenia pada umumnya sampai sekarang ini belum diketahui


secara pasti. Namun teori telah berkembang seperti model diastesis-stress dan
hipotesis dopamin. Model diastesis-stress merupakan satu model yang
mengintegrasikan faktor biologis, psikososial, dan lingkungan. Model ini
mendalilkan bawa seseorang yang mungkin memiliki kerentanan spesifik
(diastesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan
stress, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Komponen lingkungan
dapat biologis atau psikologis.3

Hipotesis dopamin menyatakan skizofrenia disebabkan oleh banyaknya


aktivitas dopaminergik. Yang mana ada empat jalur dopamin menurut teori
dopamin yaitu:
1. Mesolimbik dopamin pathways: hipotesis terjadinya gejala positif penderita
skizofrenia
2. Mesokortikal dopamin pathways: mediasi dari gejala negatif dan kognitif
pada penderita skizofrenia
3. Nigostrial dopamin pathways: penurunan dopamin dijalur ini dapat
menyebabkan gangguan pergerakan yaitu rigiditas, bradikinesia dan tremor,
namun jika terjadi peningkatan dapat terjadi gangguan pergerakan
hiperkinetik seperti diskinesia atau tics
4. Tuberoinfundibular dopamin pathways: saat ada gangguan di jalur ini akibat
lesi atau penggunaan obat antipsikotik, maka akan terjadi peningkatan
prolaktin yang dilepas dan menimbulkan galaktorea, amenorea atau
disfungsi seksual.3

a. Faktor Biologis
5

Neurotransmiter. Banyak uji coba kinis yang telah dilakukan terhadap


berbagai obat mendukung hipotesis bahwa suatu disregulasi serotonin adalah
terlibat di dalam pembentukan gejala obsesi dan kompulsi dari gangguan. Data
menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih efektif dibandingkan obat yang
mempengaruhi sistem neurotransmiter lain. Tetapi apakah serotonin terlibat di
dalam penyebab gangguan obsesif-kompulsif adalah tidak jelas pada saat ini. 11
Penelitian pencitraan otak. Berbagai penelitian pencitraan otak fungsional,
sebagai contoh PET ( positron emission tomography), telah menemukan
peningkatan aktifitas (sebagai contoh, metabolisme dan aliran darah) di lobus
frontalis, ganglia basalis (khususnya kaudata), dan singulum pada pasien dengan
gangguan obsesif kompulsif. Baik tomografi komputer (CT scan) dan pencitraan
resonansi magnetik (MRI) telah menemukan adanya penurunan ukuran kaudata
secara biateral pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Baik penelitian
pencitraan otak fungsional maupun struktural konsisten dengan pengamatan
bahwa prosedur neurologis yang melibatkan singulum kadang-kadang efektif
dalam pengobatan pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Suatu penelitian
MRI baru-baru ini melaporkan peningkatan waktu relaksasi T 1 di korteks
frontalis. 11
Genetika. Penelitian kesesuaiaan pada anak kembar untuk gangguan
obsesif-kompulsif telah secara konsisten menemukan adanya angka kesesuaian
yang lebih tinggi secara bermakna pada kembar monozigotik dibandingkan
kembar dizigotik. Penelitian keluarga pada pasien gangguan obsesif kompulsif
telah menemukan bahwa 35 persen sanak saudara derajat pertama pasien
gangguan obsesif-kompulsif juga menderita gangguan. 11
Data biologis lainnya. Penelitian elektrofisiologis, penelitian
elektroensefalogram (EEG) tidur, dan penelitian neuroendokrin telah
menyumbang data yang menyatakan adanya kesamaan antara gangguan depresif
dan gangguan obsesif-kompulsif. Suatu insidensi kelainan EEG nonspesifik yang
lebih tinggi dari biasanya telah ditemukan pada pasien gangguan obsesif-
kompulsif. Penelitian EEG tidur telah menemukan kelainan yang mirip dengan
yang terlihat pada gangguan depresif, seperti penurunan latensi REM (rapid eye
movement). Penelitian neuroendokrin juga telah menemukan beberapa kemiripan
6

dengan gangguan depresif, seperti nonsupresi pada dexamethasone-supprssion test


pada kira-kira sepertiga pasien dan penurunan sekresi hormon pertumbuhan pada
infus clonidine (catapres). 11,12

b. Faktor Perilaku
Menurut ahli teori belajar, obsesi adalah stimuli yang dibiasakan. Stimulus
yang relatif netral menjadi disertai dengan ketakutan atau kecemasan melalui
proses pembiasaan responden dengan memasangkannya dengan peristiwa yang
secara alami adalah berbahaya atau menghasilkan kecemasan. Jadi, objek dan
pikiran yang sebelumnya netral menjadi stimuli yang terbiasakan yang mampu
menimbulkan kecemasan atau gangguan. 11,12
Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda. Seseorang menemukan bahwa
tindakan tertentu menurunkan kecemasan yang berkaitan dengan pikiran
obsesional. Jadi, strategi menghindar yang aktif dalam bentuk perilaku kompulsif
atau ritualistik dikembangkan untuk mengendalikan kecemasan. Secara bertahap,
karena manfaat perilaku tersebut dalam menurunkan dorongan sekunder yang
menyakitkan (kecemasan), strategi menghindar menjadi terfiksasi sebagai pola
perilaku kompulsif yang dipelajari. 11,12

c. Faktor Psikososial
Faktor kepribadian. Gangguan obsesif-kompulsif adalah berbeda dari
gangguan kepribadian obsesif-kompulsif. Sebagian besar pasien gangguan
obsesif-kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif pramorbid. Dengan demikian,
sifat kepribadian tersebut tidak diperlukan atau tidak cukup untuk perkembangan
gangguan obsesif-kompulsif. Hanya kira-kira 15 sampai 35 persen pasien
gangguan obsesif-kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid.11
Faktor psikodinamika. Sigmund Freud menjelaskan tiga mekanisme
pertahanan psikologis utama yang menentukanbentuk dan kualitas gejala dan sifat
karakter obsesif-kompulsif; isolasi, meruntuhkan (undoing), dan pembentukan
reaksi. 11,12
Isolasi. Isolasi adalah mekanisme pertahanan yang melindungi seseorang
dari afek dan impuls yang mencetuskan kecemasan. Jika terjadi isolasi, afek dan
7

impuls yang didapatkan darinya adalah dipisahkan dari komponen idesional dan
dikeluarkan dari kesadaran. Jika isolasi berhasil sepenuhnya, impuls dan afek
yang terkait seluruhnya terepresi, dan pasien secara sadar hanya menyadari
gagasan yang tidak memiliki afek yang berhubungan dengannya. 11
Undoing. Karena adanya ancaman terus-menerus bahwa impuls mungkin
dapat lolos dari mekanisme primer isolasi dan menjadi bebas, operasi pertahanan
sekunder diperlukan untuk melawan impuls dan menenangkan kecemasan yang
mengancam keluar ke kesadaran. Tindakan kompulsif menyumbangkan
manifestasi permukaan operasi defensif yang ditujukan untuk menurunkan
kecemasan dan mengendalikan impuls dasar yang belum diatasi secara memadai
oleh isolasi. Operasi pertahanan sekunder yang cukup penting adal;ah mekanisme
meruntuhkan (undoing). Seperti yang disebutkan sebelumnya, meruntuhkan
adalah suatu tindakan kompulsif yang dilakukan dalam usaha untuk mencegah
atau meruntuhkan akibat yang secara irasional akan dialami pasien akibat pikiran
atau impuls obsesional yang menakutkan. 11
Pembentukan reaksi. Pembentukan reaksi melibatkan pola perilaku yang
bermanifestasi dan sikap yang secara sadar dialami yang jelas berlawanan dengan
impuls dasar. Seringkali, pola yang terlihat oleh pengamat adalah sangat dilebih-
lebihkan dan tidak sesuai. 11
Faktor psikodinamik lainnya. Pada teori psikoanalitik klasik, gangguan
obsesif-kompulsif dinamakan neurosis obsesif-kompulsif dan merupakan suatu
regresi dari fase perkembangan oedipal ke fase psikoseksual anal. Jika pasien
dengan gangguan obsesif-kompulsif merasa terancam oleh kecemasan tentang
pembalasan dendam atau kehilangan objek cinta yang penting, mereka mundur
dari fase oedipal dan beregresi ke stadium emosional yang sangat ambivalen yang
berhubungan dengan fase anal. Adanya benci dan cinta secara bersama-sama
kepada orang yang sama menyebabkan pasien dilumpuhkan oleh keragu-raguan
dan kebimbangan. Suatu ciri yang melekat pada pasien dengan gangguan obsesif-
kompulsif adalah derajat dimana mereka terpaku dengan agresi atau kebersihan,
baik secara jelas dalam isi gejala mereka atau dalam hubungan yang terletak di
belakangnya. Dengan demikian, psikogenesis gangguan obsesif-kompulsif,
8

mungkin terletak pada gangguan dan perkembangan pertumbuhan normal yang


berhubungan dengan fase perkembangan anal-sadistik. 11
Ambivalensi. Ambivalensi adalah akibat langsung dari perubahan dalam
karakteristik kehidupan impuls. Hal ini adalah ciri yang penting pada anak normal
selama fase perkembangan anal-sadistik; yaitu anak merasakan cinta dan
kebencian kepada suatu objek. Konflik emosi yang berlawanan tersebut mungkin
ditemukan pada pola perilaku melakukan-tidak melakukan pada seorang pasien
dan keragu-raguan yang melumpuhkan dalam berhadapan dengan pilihan. 12
Pikiran magis. Pikiran magis adalah regresi yang mengungkapkan cara
pikiran awal, ketimbang impuls; yaitu fungsi ego, dan juga fungsi id, dipengaruhi
oleh regresi. Yang melekat pada pikiran magis adalah pikiran kemahakuasaan.
Orang merasa bahwa mereka dapat menyebabkan peristiwa di dunia luar terjadi
tanpa tindakan fisik yang menyebabkannya, semata-mata hanya dengan berpikir
tentang peristiwa tersebut. Perasaan tersebut menyebabkan memiliki suatu pikiran
agresif akan menakutkan bagi pasien gangguan obsesif-kompulsif. 11

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi skizofrenia dihubungkan dengan genetik dan lingkungan.
Faktor genetik dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya
skizofrenia. Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah DA,
5HT, Glutamat, peptide, norepinefrin.14 Pada pasien skizofrenia terjadi
hiperreaktivitas sistem dopaminergik (hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik
→ berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergia pada sistem mesokortis
dan nigrostriatal → bertanggung jawab terhadap gejala negatif dan gejala
ekstrapiramidal) Reseptor dopamin yang terlibat adalah reseptor dopamin-2 (D2)
yang akan dijumpai peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien
skizofrenia. Peningkatan aktivitas sistem dopaminergik pada sistem mesolimbik
yang bertanggung jawab terhadap gejala positif. Sedangkan peningkatan aktivitas
serotonergik akan menurunkan aktivitas dopaminergik pada sistem mesokortis
yang bertanggung jawab terhadap gejala negatif.13
9

Gambar 1. Mekanisme terjadinya gejala positif dan gejala negatif pada gangguan
psikotik

Gambar 2. Jalur-jalur dopaminergik

Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Pada otak


terjadi proses penyampaian pesan secara kimiawi (neurotransmitter) yang akan
meneruskan pesan sekitar otak. Pada penderita skizofrenia, produksi
neurotransmitter-dopamin- berlebihan, sedangkan kadar dopamin tersebut
berperan penting pada perasaan senang dan pengalaman mood yang berbeda. Bila
kadar dopamin tidak seimban;berlebihan atau kurang; penderita dapat mengalami
10

gejala positif dan negatif seperti yang disebutkan di atas. Penyebab


ketidakseimbangan dopamin ini masih belum diketahui atau dimengerti
sepenuhnya. Pada kenyataannya, awal terjadinya skizofrenia kemungkinan
disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor yang mungkin
dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia, antara lain: sejarah keluarga, tumbuh
kembang ditengah-tengah kota, penyalahgunaan obat seperti amphetamine, stres
yang berlebihan, dan komplikasi kehamilan.

Seringkali pasien yang jelas skizophrenia tidak dapat dimasukkan dengan


mudah ke dalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut ke
dalam tipe tak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu :

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia


 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.6

Gambar 1. Patofisiologi skizofrenia


11

Dopamin adalah modulator neurotransmiter yang lama dipahami


memainkan peran penting dalam skizofrenia. Empat jalur dopamin utama telah
terlibat dalam neurobiologi skizofrenia dan efek samping obat antipsikotik: (1)
mesolimbik, (2) mesokorteks, (3) nigrostriatal, dan (4) tuberoinfundibular.15
1. Jalur mesolimbik
Jalur mesolimbik, yang memanjang dari daerah tegmental ventral (VTA)
ke daerah limbik, dapat berperan dalam gejala positif skizofrenia dengan
adanya kelebihan dopamine. Jalur mesolimbik memproyeksikan neuron
penghasil dopamin di batang otak ke daerah limbik otak, terutama pada
nucleus accumbens yang memiliki peran sentral. Hiperaktif jalur dopamin
meslimbik dapat mendasari beberapa gejala positif skizofrenia, dan
konsekuensi patofisiologi ini bisa menjadi arti penting dari kejadian
skizofrenia.15
2. Jalur mesokorteks
Jalur mesokorteks memanjang dari VTA ke korteks. Gejala negatif dan
defisit kognitif pada skizofrenia diperkirakan disebabkan oleh kadar dopamin
mesokortikal yang rendah. Jalur mesokorteks juga muncul dari batang otak
namun diproyeksikan ke daerah korteks/ prefrontal korteks. Gejala negatif
dan kognitif skizofrenia mungkin terkait dengan penurunan aktivitas di jalur
mesokorteks, yang dapat menyebabkan penurunan neurotransmisi dopamin di
daerah korteks seperti korteks prefrontal.15
3. Jalur nigrostriatal
Jalur nigrostriatal berasal dari nigra substantia dan berakhir di inti
kaudatus. Tingkat dopamin rendah dalam jalur ini diperkirakan
mempengaruhi sistem ekstrapiramidal, yang menyebabkan gejala motoric.
Jalur nigrostriatal diproyeksikan dari substantia nigra ke ganglia basal,
dengan efek samping yang dapat mencakup kekakuan dan tardive
dyskinesia.15
4. Jalur tuberoinfundibular
Jalur tuberoinfundibular memproyeksikan hipotalamus ke kelenjar
pituitari. Penurunan atau blokade dopamin tuberoinfundibular menghasilkan
12

tingkat prolaktin yang meningkat dan, akibatnya, galaktorea, ammenore, dan


libido berkurang.15
Reseptor 5HT2A kortikal menurunkan pelepasan dopamin. Mekanisme
pelepasan serotonin di korteks dapat menyebabkan pelepasan dopamin menurun
pada striatum. (1) Serotonin dilepaskan di korteks dan mengikat reseptor 5HT2A
pada neuron piramidal glutamatergik, yang menyebabkan aktivasi neuron
tersebut. (2) Aktivasi neuron pyramidal glutamatergaik menyebabkan pelepasan
glutamat di batang otak, yang pada gilirannya merangsang pelepasan GABA.
GABA mengikat neuron dopaminergik yang diproyeksikan dari substantia nigra
ke striatum sehingga menghambat pelepasan dopamin (ditunjukkan oleh garis
besar titik dari neuron dopaminergic).16
Teori lain untuk gejala skizofrenia melibatkan aktivitas glutamat,
neurotransmiter eksitasi utama di otak. Teori ini muncul sebagai tanggapan
terhadap temuan bahwa feniloksinidamin dan ketamin, dua antagonis NMDA /
glutamat yang tidak kompetitif, menyebabkan gejala seperti skizofrenia. Hal ini,
pada gilirannya, menunjukkan bahwa reseptor NMDA tidak aktif dalam regulasi
normal neuron dopamin mesokorteks, dan menunjuk pada penjelasan mengapa
pasien skizofrenia menunjukkan gejala negatif, afektif, dan kognitif.16
2.5 Gambaran Klinis

Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan


mereka berada dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama
(bertahun-tahun) dalam fase residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran
penyakit yang “ringan”. Selama periode residual, pasien lebih menarik diri atau
mengisolasi diri, dan “aneh”. Gejala-gejala penyakit biasanya terlihat lebih jelas
oleh orang lain. Pasien dapat kehilangan pekerjaan dan teman karena ia tidak
berminat dan tidak mampu berbuat sesuatu atau karena sikapnya yang aneh.4,5

Pemikiran dan pembicaraan mereka samar-samar sehingga kadang-kadang


tidak dapat dimengerti. Mereka mungkin mempunyai keyakinan yang salah yang
tidak dapat dikoreksi. Penampilan dan kebiasaan-kebiasaan mereka mengalami
kemunduran serta afek mereka terlihat tumpul. Meskipun mereka dapat
mempertahankan inteligensia yang mendekati normal, sebagian besar performa uji
13

kognitifnya buruk. Pasien dapat menderita anhedonia yaitu ketidakmampuan


merasakan rasa senang. Pasien juga mengalami deteorisasi yaitu perburukan yang
terjadi secara berangsur-angsur. 4,5

Gejala Positif dan Negatif

Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi


afek mendatar atau menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking,
kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara
sosial.4,5

Gangguan Pikiran

- Gangguan proses pikir


Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering
tidak dapat dimengerti oleh orang lain dan terlihat tidak logis. Tanda-
tandanya adalah:4,5
1. Asosiasi longgar: ide pasien sering tidak menyambung. Ide tersebut seolah
dapat melompat dari satu topik ke topik lain yang tak berhubungan
sehingga membingungkan pendengar. Gangguan ini sering terjadi
misalnya di pertengahan kalimat sehingga pembicaraan sering tidak
koheren.
2. Pemasukan berlebihan: arus pikiran pasien secara terus-menerus
mengalami gangguan karena pikirannya sering dimasuki informasi yang
tidak relevan.
3. Neologisme: pasien menciptakan kata-kata baru (yang bagi mereka
mungkin mengandung arti simbolik)
4. Terhambat: pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan
kalimat) dan disambung kembali beberapa saat kemudian, biasanya
dengan topik lain. Ini dapat menunjukkan bahwa ada interupsi.
5. Klang asosiasi: pasien memilih kata-kata berikut mereka berdasarkan
bunyi kata-kata yang baru saja diucapkan dan bukan isi pikirannya.
6. Ekolalia: pasien mengulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang baru saja
diucapkan oleh seseorang.
14

7. Konkritisasi: pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat


buruk kemampuan berpikir abstraknya.
8. Alogia: pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja (miskin
pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi sangat
sedikit ide yang disampaikan (miskin isi pembicaraan).
- Gangguan isi pikir 4,5
1. Waham: suatu kepercayaan palsu yang menetap yang tak sesuai dengan
fakta dan kepercayaan tersebut mungkin “aneh” atau bisa pula “tidak
aneh” tetapi sangat tidak mungkin dan tetap dipertahankan meskipun telah
diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk mengkoreksinya. Waham sering
ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang
spesifik sering ditemukan pada skizofrenia. Semakin akut skizofrenia
semakin sering ditemui waham disorganisasi atau waham tidak sistematis:
a. Waham kejar
b. Waham kebesaran
c. Waham rujukan
d. Waham penyiaran pikiran
e. Waham penyisipan pikiran

Gangguan Persepsi

- Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran
tetapi bisa juga berbentuk penglihatan, penciuman, dan perabaan.
Halusinasi pendengaran dapat pula berupa komentar tentang pasien
atau peristiwa-peristiwa sekitar pasien. Komentar-komentar tersebut
dapat berbentuk ancaman atau perintah-perintah langsung ditujukan
kepada pasien (halusinasi komando). Suara-suara sering diterima
pasien sebagai sesuatu yang berasal dari luar kepala pasien dan
kadang-kadang pasien dapat mendengar pikiran-pikiran mereka sendiri
berbicara keras. Suara-suara cukup nyata menurut pasien kecuali pada
fase awal skizofrenia.4,5
- Ilusi dan depersonalisasi
15

Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu


adanya misinterpretasi panca indera terhadap objek. Depersonalisasi
yaitu adanya perasaan asing terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu
adanya perasaan asing terhadap lingkungan sekitarnya misalnya dunia
terlihat tidak nyata.4,5

2.6 Penegakan Diagnosis

Skizofrenia ditandai adanya distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar


dan khas, dan adanya afek yang tidak wajar atau tumpul. Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III) membagi
simptom skizofrenia dalam kelompok-kelompok penting, dan yang sering terdapat
secara bersama-sama untuk diagnosis. Cara diagnosis pasien skizofrenia menurut
PPGDJ III antara lain; 6
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):6
a. Thought echo: isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda; atau
Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
dari luar dirinya (withdrawal)
Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya.
b. Waham dikendalikan (delusion of control). waham dipengaruhi (delusion of
influence), atau "passivity", yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau
pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations)
khusus; persepsi delusional;
c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku
pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri atau jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian rubuh;
16

d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak


wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas
keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan "manusia super"
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk
asing dari dunia lain);

Atau paling sedikit gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas
dalam kurun waktu satu bulan atau lebih;6

a. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas. Apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over valued
ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan terus-menerus;

b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme dan stupor;
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodo (apatis), pembicaraan
yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
e. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan
gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati atau
tidak) harus didiagnosis pertama kali sebagai gangguan psikosis fungsional.6
17

Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut yang harus ada


secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Adapun kriteria diagnosis
skizofrenia menurut DSM IV adalah :

a. Berlangsung minimal dalam enam bulan

b. Penurunan fungsi yang cukup bermakna di bidang pekerjaan, hubungan


interpersonal, dan fungsi dalam mendukung diri sendiri

c. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama


berlangsungnya sebagian dari periode tersebut

d. Tidak ditemui dengan gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif,


gangguan mood mayor, autisme, atau gangguan organik.17

2.7 Jenis-Jenis Skizofrenia


a. Skizofrenia Paranoid 5,6
PPDGJ III DSM-IV
Pedoman Diagnostik : Tipe skizofrenia yang memenuhi
kriteria berikut:
1. Memenuhi kriteria umum
1. Preokupasi terhadap satu atau
diagnostik skizofrenia
lebih waham atau halusinasi
2. Gejala tambahan :
auditorik yang sering
 Halusinasi dan atau waham harus 2. Tidak ada hal berikut ini yang
menonjol : prominen: bicara kacau,
a) Suara-suara halusinasi yang perilaku kacau atau katatonik,
mengancam pasien atau atau afek datar atau tidak
memberi perintah, atau sesuai
halusinasi auditorik tanpa
bentuk verbal berupa bunyi
pluit, mendengung, atau bunyi
tawa.
b) Halusinasi pembauan atau
18

pengecapan rasa, atau bersifat


seksual, atau lain-lain perasaan
tubuh, halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
c) Waham dapat berupa hampir
setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of
control), dipengaruhi (delusion
of influence), atau “Passivity”
(delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang
paling khas.
d) Gangguan afektif, dorongan
kehendak dan pembicaraan,
serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata / menonjol.

b. Skizofrenia Hebefrenik 5,6


PPDGJ III DSM-IV
1. Memenuhi kriteria umum Tipe skizofrenia yang memenuhi
diagnosis skizofrenia. kriteria berikut:
2. Diagnosis hebefrenia untuk 1. Semua hal dibawah ini
pertama kalinya hanya ditegakkan prominen:
pada usia remaja atau dewasa a. Bicara kacau
muda (onset biasanya mulai 15 – b. Perilaku kacau
25 tahun) c. Afek datar atau tidak sesuai
3. Kepribadian premorbid 2. Tidak memenuhi kriteria tipe
menunjukkan ciri khas: pemalu katatonik
19

dan senang menyendiri (solitary),


namun tidak harus demikian
untuk menentukan diagnosis.
4. Untuk diagnosis hebefrenia yang
meyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2
atau 3 bulan lamanya, untuk
memastikan bahwa gambaran
yang khas berikut ini memang
benar bertahan :
a) Perilaku yang tidak bertanggung
jawab dan tidak dapat
diramalkan, serta mannerisme;
ada kecenderungan untuk selalu
menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa
tujuan atau hampa perasaan;
b) Afek pasien dangkal (shallow)
dan tidak wajar (inappropiate),
sering disertai oleh cekikikan
(giggling) atau perasaan puas diri
(self satisfied), senyum sendiri
(self absorbed smilling) atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai ( grimaces),
mannerisme, mengibuli secara
bersenda gurau (pranks),
keluahan hipokondriakal, dan
ungkapan kata yang diulang –
ulang (reiterated phrase).
c) Proses pikir mengalami
disorganisasi dan pembicaraan
20

tak menentu (rambling) serta


inkoheren.
5. Gangguan afektif dan dorongan
kehendak, serta gangguan proses
pikir umumnya menonjol
halusinasi atau waham mungkin
ada tetapi biasanya tidak
menonjol (fleeting and
fragmentary delusions and
hallucinations). Dorongan
kehendak (drive) dan yang
bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita
memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless)
dan tanpa maksud ( empty of
puspose) adanya suatu preokupasi
yang dangkal dan bersifat dibuat
– buat terhadap agama, filsafat
dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami
jalan pikiran pasien.

c. Skizofrenia Katatonik 5,6


PPDGJ III DSM-IV
1. Memenuhi kriteria umum Tipe skizofrenia yang gambaran
diagnosis skizofenia klinisnya didominasi setidaknya
2. Satu atau lebih perilaku berikut dua hal berikut:
ini harus mendominasi 1. Imobilitas motorik sebagaimana
21

gambaran klinisnya : dibuktikan dengan katalepsi


a) Stupor (amat berkurangnya (termasuk fleksibilitas cerea) atau
dalam reaktifitas terhadap stupor
lingkungan dan dalam gerakan 2. Aktivitas motorik yang
serta aktifitas spontan) atau berlebihan (yaitu yang
mutisme (tidak berbicara); tampaknya tidak bertujuan dan
b) Gaduh gelisah ( tampak jelas tidak dipengaruhi stimulus
aktifitas motorik yang tak eksternal)
bertujuan, yang tidak 2. Negativisme ekstrim (resistensi
dipengaruhi oleh stimuli yang tampaknya tak bermotif
eksternal); terhadap semua instruksi atau
c) Menampilkan posisi tubuh dipertahankannya suatu postur
tertentu (secara sukarela rigid dari usaha menggerakkan)
mengambil dan atau keanehan gerakan volunter
mempertahankan anggota gerak sebagaimana diperlihatkan oleh
dan tubuh dalam posisi tubuh pembentukan postur (secara
tertentu yang tidak wajar atau volunter menempatkan diri dalam
aneh); postur yang tidak sesuai atau
d) Negativisme (tampak jelas bizar), gerakan stereotipi,
perlawanan yang tidak bermotif manerisme prominen, atau
terhadap semua perintah atau menyeringai secara prominen
upaya untuk menggerakkan, 3. Ekolalia atau ekopraksia
atau pergerakan kearah yang 4. Mutisme
berlawanan);
e) Rigiditas (mempertahankan
posisi tubuhyang kaku untuk
melawan upaya menggerakan
dirinya);
f) Fleksibilitas cerea/”waxy
flexibility (mempertahankan
anggota gerak dan tubuh dalam
posisi yang dapat dibentuk dari
22

luar); dan
g) Gejala – gejala lain seperti
“command automatism”
(kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan
pengulangan kata - kata serta
kalimat – kalimat.
3. Pada pasien yang tidak
komunikatif dengan manifestasi
perilaku dan gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia
mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai
tentang adanya gejala – gejala
lain. Penting untuk diperhatikan
bahwa gejala –gejala katatonik
bukan petunjuk untuk diagnosis
skizofrenia. Gejala katatonik
dapat dicetuskan oleh penyakit
otak, gangguan metabolik, atau
alkohol dan obat – obatan, serta
dapat juga terjadi pada
gangguan afektif.

e. Skizofrenia Residual 5,6


PPDGJ III DSM-IV
1. Untuk suatu diagnosis yang Tipe skizofrenia yang memenuhi
meyakinkan, persyaratan berikut kriteria berikut :
ini harus dipenuhi semua : 1. Tidak ada waham, halusinasi,
a) Gejala “negatif” dari skizofrenia bicara kacau yang prominen,
23

yan menonjol, misalnya serta perilaku sangat kacau


perlambatan psikomotorik, atau katatonik
aktifitas yang menurun, afek 2. Terdapat bukti kontinyu
yang menumpul, sikap pasif dan adanya gangguan,
ketiadaan inisiatif, kemiskinan sebagaimana diindikasi oleh
dalam kuantitas atau isi adanya gejala negatif atau dua
pembicaraan, komunikasi non atau lebih gejala yang
verbal yang buruk seperti dalam tercantum pada Kriteria A
ekspresi muka, kontak mata, untuk skizofrenia, yang
modulasi suara dan posisi tubuh, tampak dalam bentuk yang
perawatan diri dan kinerja sosial lebih lemah .
yang buruk;
b) Sedikitnya ada riwayat satu
episode psikotik yang jelas
dimasa lampau yang memenuhi
kriteria untuk diagnosis
skizofrenia;
c) Sedikitnya sudah melewati
kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala
yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah
timbul sindrom “negatif” dari
skizofrenia;
d) Tidak terdapat dementia atau
penyakit/gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau
institusionalisasi yang dapat
menjelaskan disabilitas negatif
tersebut.
24

f. Skizofrenia Simpleks 5,6


PPDGJ III DSM-IV
1. Diagnosis skizofrenia simpleks 1. Timbulnya secara
sulit dibuat secara meyakinkan progresif dalam periode
karena tergantung pada sekurang-kurangnya satu tahun
pemantapan perkembangan semua hal dibawah ini:
yang berjalan perlahan dan 2. Penurunan nyata
progresif dari : fungsi okupasi onal atau
a) Gejala “negatif” yang khas dari akademik
skizofrenia residual tanpa 3. Kemunculan
didahului riwayat halusinasi, berkala serta pendalaman gejala
waham, atau manifestasi lain negatif seperti afek mendatar,
dari episode psikotik; dan agolia dan avolition
b) Disertai dengan perubahan – 4. Hubungan (rapport)
perubahan perilaku pribadi yang interpersonal yang buruk,
bermakna, bermanifestasi isolasi sosial, atau penarikan
sebagai kehilangan minat yang diri secara sosial
mencolok, tidak berbuat 5. Tidak pernah
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan terpenuhinya Kriteria A
penarikan diri secara sosial. skizofrenia
2. Gangguan ini kurang jelas 6. Gejala tidak lebih
gejala psikotiknya dibandingkan mungkin disebabkan gangguan
subtipe skizofrenia lainnya. kepribadian skizotipal atau
skizoid , gangguan mood,
gangguan ansietas, demensia,
atau retardasi mental dan bukan
disebabkan efek fisiologi
langsung suatu zat atau kondisi
medis umum.
25

2.7.1 Skizofrenia Lainnya


a. Bouffe Delirante (acute delusional psychosis)
Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3 bulan,
kriteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR. 40% dari pasien yang
didiagnosa dengan bouffe delirante akan progresif dan akhirnya
diklasifikasikan sebagai pasien skizofren
b. Oneiroid
Pasien dengan keadaan terperangkap dalam dunia mimpi, biasanya
mengalami disorientasi waktu dan tempat.Istilah oneiroid digunakan pada
pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan
mengesampingkan keterlibatan dunia nyata.
c. Early onset schizophrenia
Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia anak-anak. Perlu dibedakan
dengan retardasi mental dan autisme
d. Late onset schizophrenia
Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun). Lebih sering terjadi
pada wanita dan pasien-pasien dengan gejala paranoid.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Selain wawancara psikiatri yang adekuat, diagnosis skizofrenia juga dapat
dilakukan beberapa pengujian, seperti: 3
1. Uji Neuropsikologis
26

Pasien skizofrenia biasnaya menunjukkan kinerja buruk pada serangkaian


luas uji neuropsikologis. Pengukuran uji neuropsikolofis, seperti rangkaian
Halsteas-Reitan dan rangkaian Luria-Nebraska, sering menunjukkan temuan
abnormal, seperti disfungsi lobus temporal dan frontal bilateral, serta
asimetri otak.
2. Uji Intelegensi
Pasien skizofrenia cenderung menghasilkan skor uji intelegensi yang lebih
rendah dibandingan pasien nonpsikotik lainnya. Intelegensi rendah sering
terdapat awitan dan intelegensi dapat terus memburuk seiring perjalanan
gangguan.
3. Uji Proyektif dan Kepribadian
Uji proyektif seperti Uji Rorschach dan Uji Apersepsi Tematik dapat
mengindikasi adanya ide bizzare. Untuk uji kepribadian seperti Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMPI) menunjukkan hasil abnormal
pada skizofrenia.

2.9 Diagnosis Banding


1. Gangguan psikotik sekunder
Serangkaian besar kondisi medis nonpsiaktrik kita berbagai zat
dapat menginduksi gejala psikosis dan catatonia. Diagnosis yang paling
tepat untuk psikosis atau katanya semacam itu adalah gangguan psikotik
akibat kondisi medis umum, gangguan katatonik akibat kondisi medis
umum atau gangguan psikotik terinduksi zat. Manifestasi pskiatrik
berbagai kondisi medis nonpskiatrik empat muncul pada awal perjalanan
penyakit, seringkali sebelum berkembang nya gejala ini. Oleh sebab itu,
klinis harus mempertimbangkan serangkaian luas kondisi medis non
pskiatrik diagnosis banding psikosis, bahkan pada keadaan tidak adanya
gejala fisik yang nyata. Pasien dengan gangguan neurologis umumnya
lebih memiliki tilikan terhadap penyakit nya dan lebih menderita akibat
gejala pskiatrikdari pada pasien skizofrenia. Ini dapat membantu klinis
membedakan kedua kelompok pasien tersebut.8
27

Saat mengevaluasi pasien yang gejala psikotik, klinis seyogianya


mengikuti pedoman umum untuk mengkaji kondisi non pskiatrik. , Klinis
sebaiknya secara agresif mencari suatu kondisi medis nonpskiatrik yang
belum terdiagnosis ketika pasien menjukkan adanya gejala yang tak
lazim atau jarang maupun setiap variasi tingkat kesadaran. Kedua, klinisi
sebaiknya mencoba memperoleh riwayat keluarga yang lengkap,
termasuk riwayat gangguan medis, neuorlogis, dan pskiatrik. Ketiga,
klinisi sebaiknya mempertimbangkan kemungkinan kondisi medis
nonpskiatrik, bahkan pada pasien yang sebelumnya didiagnosis
skizofrenia. Pasien schizophrenia memiliki kemungkinan yang sama
seperti pasien non schizophrenic untuk mengalami tumorr otak yang
menimbulkan gejala psikotik.8
2. Berpura-pura (Malingering) dan gangguan buatan
Pada pasien yang meniru gejala schizophrenia namun sebenarnya
tidak mengidap gangguan tersebut, berpura-pura atau gangguan buatan
mungkin merupakan diagnosis yang sesuai. Orang dapat memasukkan
gejala skizofrenik dan dimasukkan serta dirawat di rumah sakit pskiatrik.
Kondisi pasien yang sepenuhnya dapat mengendalikan produksi gejala
mereka mungkin memenuhi syarat untuk didiagnosis berpura-pura;
pasien semacam ini biasanya mempunyai suatu alasan hukum atau
finansial yang jelas untuk dapat dianggap menderita sakit jiwa. Kondisi
pasien yang tidak terlalu dapat mengendalikan pemalsuan mereka akan
gejala psikotiknya mungkin sesuai untuk didiagnosis gangguan buatan.
Meski demikian, sejumlah pasien schizophrenia dapat memasukkan
keluhan eksaserbasi gejala psikotik untuk memperoleh peningkatan
keuntungan pendampingan atau untuk dapat kembali dirawat inap. 8
3. Gangguan psikotik lain

Gejala psikotik pada skizofrenia dapat identik dengan gangguan


skizofreniform gangguan psikotik singkat, gangguan schizoafektif, dan
gangguan waham. Gangguan skizofreniform berbeda dari schizophrenia
berupa gejala yang berdurasi setidaknya 1 bulan tapi kurang dari 6 bulan.
Gangguan psikotik singkat merupakan diagnosis yang sesuai bila gejala
28

berlangsung setidaknya 1 hari tapi kurang dari 1 bulan dan bila pasien
tidak kembali keadaan fungsi pramorbidnya dalam waktu tersebut. Suatu
sindrom manik atau depresif terjadi bersamaan dengan gejala utama
schizophrenia gangguan schizoafektif adalah diagnosis yang tepat.
Paham non bizzare yang timbul selama sekurangnya 1 bulan tanpa gejala
Vania lain atau gangguan mood patut didiagnosis sebagai gangguan
waham. 8

4. Gangguan Mood

Diagnosis banding antara skizofrenia dan gangguan mood mungkin


sudah dilakukan namun harus dibuat karena tersedianya pengobatan
spesifik dan efektif untuk mania dan depresi. Dibandingkan durasi gejala
primer, gejala efektif atau mood pada schizophrenia semestinya singkat.
Sebelum membuat diagnosis skizofrenia yang terlalu dini, dan tanpa
informasi tambahan selain yang diperoleh dari satu pemeriksaan status
mental saja, tulisi Seyogianya menunda dia menulis akhir atau sebaiknya
mengasumsikan adanya gangguan mood. Setelah remisi dari suatu
episode skizofrenik, beberapa pasien mengalami depresi sekunder atau
pascapsikotik. Pengobatan dengan inhibitor selektif ambilan kembali
serotonin (selective serotonin reuptake inhibitor, SSRI) atau
Antidepresan trisiklik diindikasikan pada situasi tersebut. 8

5. Gangguan kepribadian

Berbagai gangguan kepribadian mungkin memiliki sebagian


gambaran sama dengan skizofrenia. Dengan kepribadian skizotipal,
skizoid, dan ambang adalah gangguan kepribadian dengan gejala yang
paling mirip. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif yang parah dapat
menyamarkan suatu proses skizoprenik yang mendasari.

Tak seperti skizofrenia, gangguan kepribadian memiliki gejala


ringan dan riwayat terjadi sumur hidup pasien; gangguan ini juga tidak
memiliki tanggal awitan yang dapat diidentifikasi. 8
29

2.10 Penatalaksanaan

Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini
diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka waktu yang relatif
cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan, psikoterapi,
dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu,
terapi kelompok, terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan keterampilan sosial
dan manajemen kasus. WHO merekomendasikan sistem 4 level untuk penanganan
masalah gangguan jiwa, baik berbasis masyarakat maupun pada tatanan kebijakan
seperti puskesmas dan rumah sakit. 10

1) Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga


2) Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan jiwa di
masyarakat
3) Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui puskesmas
4) Level pertama adalah pelayanan kesehatan jiwa komunitas

1. Terapi Farmakologi
a. Antipsikotik Generasi I (APG-1)
Biasa disebut dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik ini
merupakan antipsikotik yang bekerja memblok reseptor dopamin
D2. Antipsikotik ini memblokir sekitar 65% hingga 80% reseptor D2
di striatum dan saluran dopamin lain di otak. 18 Antipsikotik generasi
pertama efektif dalam menangani gejala positif dan mengurangi
kejadian relaps. Namun antipsikotik ini memiliki efek yang rendah
terhadap gejala negatif. 19
30

Jenis-jenis obat APG-1 dan rentang dosisnya: 20

Antipsikotik generasi pertama menimbulkan berbagai efek


samping, termasuk ekstrapiramidal akut, hiperprolaktinemia, serta
tardive dyskinesia. Efek samping tersebut disebabkan oleh blokade
pada jalur nigrostrial dopamine dalam jangka waktu lama. 15
Antipsikotik ini memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor
muskarinik M1 Ach, histaminergik H1 dan norepinefrin a1 yang
memicu timbulnya efek samping berupa penurunan fungsi kognitif
dan sedasi secara bersamaan. 21

b. Antipsikotik Generasi II (APG-2)


Biasa disebut dengan antipsikotik atipikal. Antipsikotik generasi
II ini bermanfaat untuk mengontrol gejala positif dan negatif, karena
memiliki afinitas terhadap reseptor serotonin dan reseptor dopamin. 18
Sebagian besar efek samping antipsikotik generasi kedua ini berupa
kenaikan berat badan dan metabolisme lemak .18
Jenis-jenis obat APG-2 dan rentang dosisnya: 20
31

c. LAI (Long-acting Injectable)


Selain antipsikotik oral, LAI merupakan treatment utama dalam
terapi skizofrenia. LAI disarankan untuk pasien yang memiliki
tingkat kepatuhan rendah dan menawarkan efek terapeutik jangka
panjang dengan memaksimalkan penghantaran obat, kontak obat dan
jadwal pengobatan.17 LAI menyebabkan kejadian relaps yang lebih
lambat dibandingkan dengan kombinasi antipsikotik dan kejadian
relaps yang lebih cepat jika dibandingkan dengan psikotik oral. 22

2. Terapi Psikososial
a. Pelatihan keterampilan sosial
Pelatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai
terapi keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat
mendukung dan berguna untuk pasien bersama dengan terapi
farmakologis. Selain gejala yang biasa tampak pada pasien
skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas terlihat melibatkan
hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk kontak mata
yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah
yang aneh, kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi
yang tidak akurat atau kurangnya persepsi emosi pada orang lain.
Pelatihan keterampilan perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui
penggunaan video tape berisi orang lain dan si pasien, bermain
drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk keterampilan
khusus yang dipraktekkan.

b. Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya
berfokus pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan
nyata. Kelompok dapat berorientasi perilaku, psikodinamis atau
berorientasi tilikan, atau suportif.

c. Terapi perilaku kognitif


32

Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia


untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas,
serta mengoreksi kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya
waham dan halusinasi yang membaik pada sejumlah pasien yang
menggunakan metode ini. Pasien yang mungkin memperoleh
manfaat dari terapi ini umumnya aalah yang memiliki tilikan
terhadap penyakitnya.

d. Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk
membangun hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman.
Reliabilitas terapis, jarak emosional antaraterapis dengan pasien,
serta ketulusan terapis sebagaimana yang diartikan oleh pasien,
semuanya mempengaruhi pengalaman terapeutik. Psikoterapi untuk
pasien skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan
dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa sesi, bulan,
atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti menekankan
bahwa kemampuan pasien skizofrenia utnuk membentuk aliansi
terapeutik dengan terapis dapat meramalkan hasil akhir. Pasien
skizofrenia yang mampu membentuk aliansi terapeutik yang baik
cenderung bertahan dalam psikoterapi, terapi patuh pada pengobatan,
serta memiliki hasil akhir yang baik pada evaluasi tindak lanjut 2
tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal
merupakan bentuk penanganan individual untuk pasien skizofrenia
yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya adalah meningkatkan
penyesuaian personal dan sosial serta mencegah terjadinya relaps.
Terapi ini merupakan metode pilihan menggunakan keterampilan
sosial dan latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran
diri, serta eksplorasi kerentanan individu terhadap stress. 3

2.11 Komplikasi
33

Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan


mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami
penderita yang tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi
sosial, dimana penderita dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga
menjadi korban kekerasan dan melukai diri sendiri.
Pada komplikasi depresi, penderita dapat melakukan tindakan bunuh diri.
Disamping bunuh diri karena depresi dan halusinasi, penderita skizofrenia yang
tadinya tidak merokok, banyak menjadi perokok berat ini diperkirakan karena
faktor obat, yang memblok satu reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin
yang menimbulkan rasa senang, pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu.
Akibatnya penderita skizofrenia mencari kompensasi dengan mengambil nikotin
dari luar, dari rokok. Dan resiko dari perokok memperpendek usia, karena adanya
penyakit saluran pernapasan, kanker, jantung, dan penyakit fisik lainnya.
Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap hormon
estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi tulang sehingga
dapat terjadi osteoporosis.2

2.12 Prognosis
Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun
setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-
20% persen yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari
50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat
inap berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan
bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang
memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka
pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan taksiran yang masuk akal
adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala sedang, dan 40-60% pasien
tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama hidup
mereka.3

Ciri untuk mempertimbangkan prognosis baik hingga buruk pada skizofrenia5


Prognosis Baik Prognosis Buruk
34

• Awitan lambat • Awitan muda


• Ada faktor presipitasi yang • Tidak ada faktor presipitasi
jelas • Awitan insidius
• Awitan akut • Riwayat sosial, seksual dan
• Riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid buruk
pekerjaan pramorbit baik • Perilaku autistik, menarik diri
• Gangguan mood • Lajang, cerai, atau
• Menikah menjanda/duda
• Riwayat keluarga dengan • Riwayat keluarga dengan
gangguan mood skizofrenia
• Sistem pendukung baik • Sistem pendukung buruk
• Gejala positif • Gejala negatif
• Tanda dan gejala neurologis
• Riwayat trauma perinatal
• Tanpa remisidalam 3 tahun
• Berulang kali relaps
• Riwayat melakukan tindakan
penyerangan

2.13 Kompetensi Dokter Umum


3B : Dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Dokter dapat memutuskan
dan memberikan terapi awal, serta merujuk ke spesialis yang relevan
(kasus gawat darurat)
BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan


mental dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai
realitas. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia,
antara lain genetik, neurokimia. Pada Skizofrenia terdapat gejala positif dan gejala
negatif. Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi
afek mendatar atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking,
kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk
mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik
mencakup dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis reseptor
serotonin-dopamin. Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi
skizofrenia tidak bisa dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan
pengendalian dini penting, terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan
pengobatan dini, bila telah didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali,
serta mencegah terjadinya gejala skizofrenia berkelanjutan.

35
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N. Skizofrenia. Semijurnal farmasi & kedokteran Feb 2006;24:31-


40.
2. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi ke-2. Surabaya:
Airlangga University Press; 2009.h.195-277.
3. Kaplan, B.J., Sadock, V.A. Kaplan & Sadock’s Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi II. Jakarta: EGC; 2016.h.147-168.
4. Amir N. Skizofrenia. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku
ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010.h.170-94.
5. Muttaqin H, Sihombing RNE, penyunting. Skizofrenia. Dalam: Sadock
BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock’s concise textbook of clinical
psychiatry. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2010.h.147-75.
6. Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ
III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
7. World Health Organization. Schizophrenia and Public Health. Geneva:
Division of Mental Health and Prevention of Subtance Abuse World
Health Organization; 2003.
8. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2018. Tersedia di
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-
riskesdas-2018.pdf
9. Jarut YM, Fatimawali, Wiyono WI. Tinjauan Penggunaan Antipsikotik
pada Pengobatan Skizofrenia di Rumah Sakit Prof.dr.V.I.Ratumbuysang
Manado Periode Januari 2013-Maret 2013. J Ilmiah Farm 2(3); 2013. p.
54-7.
10. Hawari, Dadang. (2009). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa
Skizofrenia. FKUI: Jakarta.
11. Kaplan and Saddock.Comprehensive Textbook Of Psychiatry.7th
Ed.Lippincott Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.
37

12. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th ed. DSM-IV
Washington DC: American Psychiatry Association, 1994.
13. Ikawati, Zullies. 2009. Zullies Ikawati’s Lecture Notes : Skizophrenia.
Yogyakarta: UGM
14. Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
15. Silva, J.A. Costa.Schizophrenia and Public Health. WHO. 1998. 6-13.
Available from:www.who.int/mental _ health/media/en/55.pdf [Diakses
pada 5 Maret 2014]
16. Stahl, S. M,. Stahl's Essential Psycopharmacology. 4th ed. New York:
Cambrige University Press. 2013
17. Tomb, David A. Buku Saku Psikiatri. Ed 6. Alih Bahasa : dr Martina
Wiwie N, Jakarta : EGC. 2003
18. Chisholms-Burns, M.A. et al. Pharmacotherapy Principles&Practice.
Fourth Edition. New York:McGraw-Hill Education; 2016
19. Fleischhacker WW. New Drugs for The Treatment of Shizophrenic
Patients. Acta Psychiatr Scans (Suppl);1995. p. 24-30
20. Wells, et al. Pharmacotherapy Handbook. 9th Edition. New
York:McGraw-Hill; 2015
21. Hill SK, Bishop JR, Palumbo D, et al. Effect of Second-Generation
Antipsychotics on Cognition: Current Issues and Future Challenges.
Expert Rev Neurother; 2010. p. 43-57
22. Foster et al. Combination Antypsychotic Therapies an Analysis From a
Longitudinal Pragmatic Trial. Journal of Clinical Psychopharmacology
37(5);2017. p. 595-599
38

Anda mungkin juga menyukai