Skenario 1
Skenario 1
1. Meninges
Meninges berfungsi untuk melindungi otak atau medulla spinalis dari benturan atau
pengaruh gravitasi. Fungsi ini diperkuat oleh LCS yang terdapat dalam spatium subarachnoidea.
Meninges terdiri dari:
1. Duramater
Merupakan pembungkus SSP plaing luar yang terdiri dari jaringan ikat padat.
Dalam otak membentuk 5 sekat:
a. Falx cerebri
1) Falx cerebri: Memisahkan kedua hemispaherum cerebri yang melekat mulai dari
sutura sagitalis memasuki fissura longitudinalis melekat pada crista galli
didepan ke protuberantia occipitale interna dilanjtkan sebagai tentorium
cerebelli. Sinus (venosus dura) yang dibentuk adalah:
1. Pada tepi atas sinus sagitalis superior
2. Pada tepi bawah sinus sagitalis inferior
3. Pada lanjutan ke tentorium cerebelli ikut membentuk sinus rectus
b. Tentorium cerebelli
Memisahkan cerebellum dengan bagian occipitale hemicerebri dan ke atas
menyambung menjadi falx cerebri. Pada tepi depan terdapat lobang yang ditembus
oleh mesencephalon. Sinus dura yang dibentuk adalah:
1. Kelateral dan belakang sinus transvesus
2. Kedepan sinus petrosus superior
c. Falx cerebelli
Berbentuk segitiga, memisahkan haemispaherum cerebeli kiri dan kanan.
d. Diphragma sellae
Membentang sepanjang processus clinoidea menutupi hypofisis yang terletak pada
cekungan sella turcica. Ditengahnya terdapat lobang tempat keluarnya infundibulum
hypofisis yang dikelilingi oleh sinus cavernosa atau sinus circularis
e. Kantung Meckelli
Membungkus ganglion semilunare N. Trigeminus
Ditempat tertentu, antara lapisan luar dan dalam dura terbentuk ruang yaitu sinus
(venosus) duraematris yang termasuk dalam sistem pembuluh darah bail.Berdasarkan
bagian SSP yang dibungkusnya, dibedakan atas:
a. Duramater Encephali
Lapisan luar (lapisan endosteal = lapisan periosteal). Melekat erat ke periosteum
tengkorak (terkuat pada sutura dan basis cranii). Terdapat jonjot jaringan ikat dan
vasa ke periosteum.Melekat erat pada foramen magnum dan tidak berhubungan
dengan lapisan luar medulla spinalis. Pada tempat tertentu, celah yang terbentuk
antara lapisan duramater dengan periosteum dinamakan cavum epidural. Isi cavum
epidural encephali tidak berhubungan dengan cavum epidural spinalis, isi cavum
epidural:
a. Jaringan ikat jarang
b. Sedikit lemak
c. Plexus venosus
d. Vena
e. Arteri
f. Vasa lymphatica
Lapisan dalam menghadap ke arachnoidea. Dilapisi mesotel (sama dengan mesotel
pleura, pericardium pars serosa dan peritoneum). Menghasilkan serosa yang
berfungsi untuk lubrikasi permukaan dalam duramater dengan permukaan luar
arachnoid sehingga gesekan keduanya dapat diredam dan mencegah kerusakan.
Lanjut menjadi lapis dalam duramater spinalis. Antara duramater dengan arachnoid
terdapat cavum subdura, mengandung: Cairan serosa untuk meredam, Bridging
nein menghubungkan antara vena cerebri superior ke sinus sagitalis superior.
b. Duramater spinalis
Lapisan luar melekat pada Foramen occipitale magnum, lanjut menjadi dura
encephali, Perioceum vertebra cervicalis 2-3. Lig. Longitudinale posterius. Cavum
epidural dan subdural. Setinggi os sacrale 2, dura spinalis membungkus fillim
terminale dan akhirnya melekat pada os. Coccygeus. Antara L2 dengan S2 cavum
epidural diisi oleh cauda equina yang merupakan untaian Nn. Spinalis sebelum
keluar melalui foramen intervertebralis yang sesuai. Perlu diketahui, ujung paling
bawah medulla spinalis adalah setinggi vertebra lumnal 2 sehingga banyak sekali
Nn. Spinalis yang terbentuk diatas dan harus turun untuk mencapai foremen
intervertebralis yang sesui. Ruang subarachnoid mempunyai pelebaran-pelebaran
yang disebut sisterna. Salah satu pelebaran terbesar adalah sisterna.
2. Arachnoidea
Arachnoidea yaitu selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak
meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulla spinalis. Arachnoidea berada
dalam balon yang berisi cairan. Ruang sub arachnoid pada bagian bawah serebelum
merupakan ruangan yang agak besar disebut sistermagna. Ruangan tersebut dapat
dimasukkan jarum kedalam melalui foramen magnum untuk mengambil cairan otak, atau
disebut fungsi sub oksipitalis.
A. Arachnoidea Encephali
a. Permukaan yang menghadap kearah piamater punya pita-pita fibrotik halus :
TRABEKULA ARACHNOIDEA
b. Pada beberapa tempat menonjol ke sinus daramater : VILLI ARACHNOIDEA
B. Arachnoidea Spinalis
a. Struktur sama dengan arachnoidea encephali
b. Ke kranial melalui foramen occipetale magnum lanjut mejdai arachnoidea encephali
c. Kaudal ikt membentuk filum terminale
C. Cavum subarachnoidea encephali
3. Piameter
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak. Piameter
berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat. Tepi flak serebri membentuk
sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flak
serebri tentorium memisahkan serebrum dengan serebelum.
a. Piamater Encephali
a. Membungkus seluruh permukaan otak dan cerebelum termasuk sulci dan gyri
b. Piameter spinalis
2. Ventriculus
Terdiri dari :
A. Ventrikulus lateralis
Berbentuk huruf C panjang dan menempati hemisphareum cerebri. Berhubungan
dengan ventrikulus tertius melalui foramen interventricular(Monroi) yang terletak di
bagian depan dinding medial ventrikulus. Dibedakan :
a. Corpus : dalam lobus parietalis
b. Cornu anterior (cornu frontalis)
c. Cornu posterior (cornu occipitalis)
d. Cornu inferior (cornu temporalis)
e. Atrium s. Trigonus : bagian yang terletak dekat splenulum
B. Ventrikulus tertius
Antara dua thalamus kanan dan kiri. Berhubungan dengan ventrikulus quartus melalui
aquaeductus cerebri (Sylvii)
C. Ventrikulus quartus
Antara pons, medula oblongata bagian atas dengan cerebellum. Kebawah melanjutkan
diri ke canalis centralis di dalam medula spinalis. Keatas ke cavum subarachnoidea
melalui 3 lubang diatas ventriculus quartus yaitu 1 foramen magendi dan 2 foramen
luscka
D. Ventrikulus terminalis
Ujung paling bawah caudalis sentralis yang sedikit melebar
ASPEK KLINIS
a. Jika terjadi sumbatan terjadi di hub venticuli cerebri bisa terjadi bendungan LCS dalam
sistem ventrivuli hidrocephalus
b. Lumbal punksi (Dx LCS spinalis) di linea mediana posterior antara Proc.spinosi VL
3 dan VL 4. Tusukan ini tidak akan mencederai medula spinalis karena medula spinalis
berakhir setinggi VL 1 atau VL 2
c. Sisterna punksi (Dx LCS otak) jarum ditusuk diantara atlas dan os.occipitalis
sehingga mencapai cisterna cerbeloomedularis cisterna magna
1.2. Mikroskipik
1. Meninges
Susunan saraf pusat dilindungi oleh tengkorak dan kolumna vertebralis.Ia juga dibungkus
membrane jaringan ikat yang disebut meninges.Dimulai dari lapisan paling luar, berturut-
turut terdapat dura mater, araknoid, dan piamater.Araknoid dan piamater saling melekat
dan seringkali dipandang sebagai satu membrane yang disebut pia-araknoid.
a. Dura mater
Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang berhubungan
langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang membungkus medulla spinalis
dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena
berdinding tipis,jaringan ikit longgar, dan jaringan lemak.
Dura mater selalu dipisahkan dari araknoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan
dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis
gepeng yang asalnya dari mesenkim.
b. Araknoid
Araknoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak dengan dura mater dan
sebuah system trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater.Rongga
diantara trabekel membentuk ruang Subaraknoid, yang terisi cairan serebrospinal dan
terpisah sempurna dari ruang subdural.Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang
melindungi susunan saraf pusat dari trauma.Ruang subaraknoid berhubungan dengan
ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah.Permukaannya
dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti yang melapisi dura mater.Karena dalam
medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan
dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk
julursn-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater.Juluran ini, yang
dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk
menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.
c. Pia mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh
darah.Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel
atau serat saraf.Di antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipus cabang-cabang
neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari
susunan saraf pusat yang memisahkan SSP dari cairan brospinal. Piamater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak
tertentu bersama pembuluh darah. pia mater di lapisioleh sel-sel gepeng yang berasal dari
mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalai torowongan yang
dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler.
2. Ventriculus
Sel ependim melapisi dinding rongga ventriculus di otak dan kanalis sentralis medula
spinalis. Plexus Choroidalis mrupakan lipatan-lipatan invaginasi piamater yg menembus
ventrikel. Terdiri dari jaringan penyambung Piamater, dilapisi oleh epitel selapis kuboid
atau torak rendah yg berasal dr neural tube.Menghasilkan cairan cerebrosipnalis (LCS)
Bikarbonat terbentuk oleh karbonik anhidrase dan ion hidrogen yang dihasilkan akan
mengembalikan pompa Na dengan ion penggantinya yaitu Kalium. Proses ini disebut Na-
K Pump yang terjadi dengan bantuan Na-K-ATP ase, yang berlangsung dalam
keseimbangan. Obat yang menghambat proses ini dapat menghambat produksi CSS.
Natrium memasuki CSS dengan dua cara, transport aktif dan difusi pasif. Kalium disekresi
ke CSS dengan mekanisme transport aktif, demikian juga keluarnya dari CSS ke jaringan
otak. Perpindahan Cairan, Mg dan Phosfor ke CSS dan jaringan otak juga terjadi terutama
dengan mekanisme transport aktif, dan konsentrasinya dalam CSS tidak tergantung pada
konsentrasinya dalam serum. Perbedaan difusi menentukan masuknya protein serum ke
dalam CSS dan juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke
CSS dan juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan
ruang interseluler, demikian juga sebaliknya. Hal ini dapat menjelaskan efek cepat
penyuntikan intervena cairan hipotonik dan hipertonik.
Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama dan terbanyak
terletak di dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit) terdapat di atap ventrikel
III dan IV. Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh ventrikel lateral sekitar 95%. Rata-rata
pembentukan CSS 20 ml/jam. CSS bukan hanya ultrafiltrat dari serum saja tapi
pembentukannya dikontrol oleh proses enzimatik.
CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk ke dalam
ventrikel III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dlam ventrikel IV. Tiga buah
lubang dalam ventrikel IV yang terdiri dari 2 foramen ventrikel lateral (foramen luschka)
yang berlokasi pada atap resesus lateral ventrikel IV dan foramen ventrikuler medial
(foramen magendi) yang berada dibagian tengah atap ventrikel III memungkinkan CSS
keluar dari sistem ventrikel masuk ke dalam rongga subarakhnoid. CSS mengisi rongga
subarachnoid sekeliling medula spinalis sampai batas sekitar S2, juga mengisi keliling
jaringan otak. Dari daerah medula spinalis dan dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju
sisterna basalis, sisterna ambiens, melalui apertura tentorial dan berakhir dipermukaan atas
dan samping serebri dimana sebagian besar CSS akan diabsorpsi melalui villi arakhnoid
(granula Pacchioni) pada dinding sinus sagitalis superior. Yang mempengaruhi alirannya
adalah: metabolisme otak, kekuatan hidrodinamik aliran darah dan perubahan dalam
tekanan osmotik darah.
CSS akan melewati villi masuk ke dalam aliran darah vena dalam sinus. Villi arakhnoid
berfungsi sebagai katup yang dapat dilalui CSS dari satu arah, dimana semua unsur pokok
dari cairan CSS akan tetap berada di dalam CSS, suatu proses yang dikenal sebagai bulk
flow. CSS juga diserap di rongga subrakhnoid yang mengelilingi batang otak dan medula
spinalis oleh pembuluh darah yang terdapat pada sarung/selaput saraf kranial dan spinal.
Vena-vena dan kapiler pada piameter mampu memindahkan CSS dengan cara difusi
melalui dindingnya. Perluasan rongga subarakhnoid ke dalam jaringan sistem saraf melalui
perluasaan sekeliling pembuluh darah membawa juga selaput piameter disamping selaput
arakhnoid. Sejumlah kecil cairan berdifusi secara bebas antara cairan ekstraselluler dan css
dalam rongga perivaskuler dan juga sepanjang permukaan ependim dari ventrikel sehingga
metabolit dapat berpindah dari jaringan otak ke dalam rongga subrakhnoid. Pada
kedalaman sistem saraf pusat, lapisan pia dan arakhnoid bergabung sehingga rongga
perivaskuler tidak melanjutkan diri pada tingkatan kapiler.
2.2. Aliran
a. Warna
Normal cairan serebrospinal warnamya jernih dan patologis bila berwarna:
kuning,santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari
protein. Peningkatan protein yang penting danbermakna dalam perubahan warna adalah
bila lebih dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna pink berasal dari darah dengan jumlah
sel darah merah lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah merah yang utuh akan memberikan
warna merah segar. Eritrosit akan lisis dalam satu jam danakan memberikan warna cucian
daging di dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah
leukosit lebih dari 1000 sel/ml.
b. Tekanan
Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan
terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya naik, maka tekanan
naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya turun. Tekanan CSS tergantung
pada posisi, bila posisi berbaring maka tekanan normal cairan serebrospinal antara 8-20
cm H2O pada daerahh lumbal, siterna magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita
duduk tekanan cairan serebrospinal akan meningkat 10-30 cm H2O. Kalau tidak ada
sumbatan pada ruang subarakhnoid, maka perubahan tekanan hidrostastik akan
ditransmisikan melalui ruang serebrospinalis. Pada pengukuran dengan manometer,
normal tekanan akan sedikit naik padaperubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah
pada penekanan abdomen dan waktu batuk.
d. Glukosa
Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal sangat
bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat
pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbar. Rasio normal kadar
glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah >0,6.
Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi
transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan
hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara.
Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal,
glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derjat yang bervariasi, dan paling umum pada
proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh carcinoma.
Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada meningitis sarcoidosis,
infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat khemikal.
Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rhematoid mungkin
juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral, mump,
limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar glukosa ringan
sampai sedang.
e. Protein
Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. pada sisterna
10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 ,g%. Kadar gamma globulin normal 5-
15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan menyebabkan cairan
serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari
1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau
bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal
akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood barin barrier), reabsorbsi
yang lambat atau peningkatan sintesis immunoglobulin loka. Sawar darah otak hilang
biasanya terjadi pada keadaan peradangan,iskemia baktrial trauma atau neovaskularisasi
tumor, reabsorsi yang lambat dapat terjadi pada situasi yang berhubungan dengan
tingginya kadar protein cairan serebrospinal, misalnya pada meningitis atau perdarahan
subarakhnoid. Peningkatan kadar immunoglobulin cairan serebrospinal ditemukan pada
multiple sklerosis, acut inflamatory polyradikulopati, juga ditemukan pada tumor intra
kranial dan
penyakit infeksi susunan saraf pusat lainnya, termasuk ensefalitis, meningitis, neurosipilis,
arakhnoiditis dan SSPE (sub acut sclerosing panensefalitis). Perubahan kadar protein di
cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit, bila dinilai sendirian akan
memberikan sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan saraf pusat.
f. Elektrolit
Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130
mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak menunjukkan
perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdpat penurunan kadar Cl pada meningitis
tapi tidak spesifik.
g. Osmolaritas
Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L0. Bila terdapat
perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS.
h. PH
Keseimbangan asam bas harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis dan metabolik
alkalosis. PH cairan serebrospinal lebih rendah dari PH darah, sedangkan PCO2 lebih
tinggi pada cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah sama (23 mEg/L). PH CSS relatif
tidak berubah bila metabolik asidosis terjadi secara subakut atau kronik, dan akan berubah
bila metabolik asidosis atau alkalosis terjadi secara cepat.
Volume LCS yang diperlukan untuk pemeriksaan antara 15 sampai 20 ml dan dibagi dalam
3 buah tabung steril :
1. Tabung pertama untuk analisa kimia, serologi, dan pemeriksaan khusus misalnya
imunologi.
2. Tabung kedua untuk analisa bakteriologi.
3. Tabung ketiga untuk analisa mikroskopis sel.
Adakalanya sukar untuk menafsirkan adanya darah segar dalam specimen LCS karena
pungsi dapat melukai pembuluh darah dan menyebabkan ada darah biarpun LCS
sebetulnya jernih.. Untuk membedakannya perlu dinilai dalam hal :
1. Pada trauma pungsi menunjukkan adanya penjernihan darah yang berarti antara tabung-
tabung pertama dan ketiga. Jika darah tetap sama banyaknya dalam ketiga tabung, darah
itu sangat mungkin sudah ada sebelum dilakukan pungsi (perdarahan
intraserebral/subarakhnoid).
2. Setelah tabung-tabung disentrifugasi cairan atas tidak berwarna jika darah berasal dari
trauma pungsi, jika sudah ada darah sebelum pungsi cairan atas berwarna kuning pucat
sampai kuning tegas (xanthokromia) yang terjadi karena pelepasan hemoglobin dari
eritrosit yang lisis. Hal ini disebabkan kemungkinan tidak adanya protein dan lemak yang
diperlukan untuk menstabilkan membran eritrosit..
2.3.1. Makroskopik
Pemeriksaan makroskopis meliputi warna, kekeruhan, pH, konsistensi (bekuan), dan berat jenis :
1. Warna
a. Normal warna LCS tampak jernih, ujud dan viskositasnya sebanding air.
b. Merah muda → perdarahan trauma akibat pungsi.
c. Merah tua atau coklat → perdarahan subarakhnoid akibat hemolisis dan akan terlihat
jelas sesudah disentrifuge.
d. Hijau atau keabu-abuan → pus.
e. Coklat → terbentuknya methemalbumin pada hematoma subdural kronik.
f. Xanthokromia → mengacu pada warna kekuning-kuningan biasanya akibat pelepasan
hemoglobin dari eritrosit yang lisis (perdarahan intraserebral/subarachnoid); tetapi
mungkin juga disebabkan oleh kadar protein tinggi, khususnya jika melebihi 200 mg/dl.
2. Kekeruhan
a. Normal → tidak ada kekeruhan atau jernih. Walaupun demikian LCS yang jernih
terdapat juga pada meningitis luetika, tabes dorsalis, poliomyelitis, dan meningitis
tuberkulosa.
b. Keruh → ringan seperti kabut mulai tampak jika jumlah lekosit 200-500/ul3, eritrosit >
400/ml, mikroorganisme (bakteri, fungi, amoeba), aspirasi lemak epidural sewaktu
dilakukan pungsi, atau media kontras radiografi.
3. Konsistensi bekuan
Terjadinya bekuan menandakan bahwa banyak darah masuk ke dalam cairan pungsi pada
waktu pungsi; darah dalam LCS yang disebabkan perdarahan subarachnoid tidak membeku.
a. Normal → tidak terlihat bekuan
b. Bekuan → banyaknya fibrinogen yang berubah menjadi fibrin. Disebabkan oleh trauma
pungsi, meningitis supurativa, atau meningitis tuberkulosa. Jendalan sangat halus dapat
terlihat setelah LCS didiamkan di dalam almari es selama 12-24 jam.
ANALISA LABORATORIUM
2.3.2. Mikroskopik
Eritrosit dan leukosit masuk ke dalam LCS jika ada kerusakan pada pembuluh darah atau sebagai
akibat reaksi terhadap iritasi. Bilirubin yang dalam keadaan normal tidak ada dalam LCS,
mungkin dapat ditemukan dalam LCS seorang yang tidak menderita ikterus setelah terjadi
perdarahan intrakranial. Bilirubin itu adalah bilirubin tidak dikonjugasi dan karena itu
menandakan adanya katabolisme hemoglobin setempat dalam SSP.
Perhitungan sel lekosit dan eritrosit harus segera dilakukan, hal ini dikarenakan 40% dari lekosit
dapat lisis setelah 2 jam, sedangkan eritrosit akan lisis setelah 1 jam pada suhu ruangan.
Perhitungan jumlah eritrosit LCS memiliki nilai diagnostik terbatas yaitu untuk differensial
diagnosis trama pungsi vs hemorhagi subarakhnoid dan koreksi jumlah lekosit LCS dan protein
untuk kontaminasi darah tepi yang ada kaitannya dengan trauma pungsi.
Nilai rujukan normal pada anak dan dewasa untuk jumlah lekosit (monosit dan limposit) adalah
0 – 5 sel/ul, sedangkan untuk neonatus 0 – 30 sel/ul. Walaupun belum ada kesepakatan batas
tertinggi normal netropil dalam LCS sebagai patokan dapat dipergunakan sampai angka 7%, hal
ini dapat disebabkan adanya kontaminasi minimal dari darah tepi. Sedangkan monosit (14%) lebih
rendah dibandingkan limposit (86%), tingginya perbedaan ini dapat disebabkan karena monosit
sering diklasifikasikan sebagai limposit.
Pada tahap dini meningitis bakteria akut, netrofil biasanya lebih dari 60%. Peningkatan monosit
biasanya diikuti peningkatan limposit, netropil, dan sel plasma merupakan cirri khas meningitis
tuberkulosa, meningitis fungi, dan meningitis bakteria kronis. Sedangkan
pada meningoensepalitis viruspada awalnya terjadi netrofilia kemudian berubah ke respons
limposit.
TEST PANDY
1. Prinsip : reagen pandy memberikan reaksi terhadap protein (albumin dan globulin) dalam
bentuk kekeruhan. Pada keadaan normal tidak terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang ringan
seperti kabut.
2. Alat dan reagen yang dipakai
a. Tabung serologi (garis tengah 7 mm)
b. Kertas putih
c. Reagen Pandy (larutan phenol jenuh dalam air)
3. Tata cara pemeriksaan
a. Ke dalam tabung serologi dimasukkan 1 ml reagen Pandy
b. Tambahkan 1 tetes LCS
c. Kemudian dilihat segera ada tidaknya kekeruhan.
4. Tata cara pembacaan hasil
a. Negatif : tidak ada kekeruhan
b. Positif : terlihat kekeruhan yang jelas
+1 : opalescent (kekeruhan ringan seperti kabut)
+2 : keruh
+3 : sangat keruh
+4 : Kekeruhan seperti susu
3.1. Definisi
Lumbal pungsi adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan memasukan jarum
ke dalam ruang subarakhnoid. Lumbar pungsi dilakukan oleh dokter menggunkan jarung
dengan teknik aseptic. Jarum punksi lumbal dimasukan diantara vertebra lumbal ke-3 dan
ke-4 atau ke-4 dan ke-5 hingga mencapai ruang subarachnoid dibawah medulla spoinalis
di bagian causa equine. Manometer dipasang diujung jarum via dua jalan dan cairan
serebrospinal memungkinkan mengalir ke manometer untuk mengetahui tekanan
intraspinal.
3.2. Teknik
PreLumbal Pungsi
1. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP
2. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasien/keluarga terutama pada
LP dengan resiko tinggi
PROSEDUR :
1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik ke
arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke arah dahi), dan sumbu
kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan garis
potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina iskhiadika
anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau
antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi.
3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan
povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup dengan duk steril di mana daerah
pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung
tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.
5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum perlahan-
lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas sampai
menembus duramater. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoid berbeda pada tiap anak
tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5
cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.)
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang lebih
baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester
3.3. Indikasi
1. Kejang
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI
3. Pasien koma
4. Ubun – ubun besar menonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. Tuberkolosis milier
3.4. Kontraindikasi
1. Adanya peninggian tekanan intra kranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan
papil edema
2. Penyakit kardiopulmonal yang berat
3. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi
3.5. Manfaat
Lumbal pungsi sangat penting untuk alat diagnosa.Prosedur ini memungkinkan melihat
bagian dalam seputar medulla spinalis, yang mana memberikan pandangan pada fungsi
otak juga.
Prosedur ini relatif mudah untuk dilaksanakan dan tidak begitu mahal. Dokter yang
berpengalaman, Lumbal Pungsi akan menunrunkan angka komplikasi. Ia akan
melakukannya dengan cepat dan du\ilaksanakan di tempat tidur pasien.
5.3. Epidemiologi
Kejang demam merupakan tipe kejang terbanyak pada kelompok usia pediatric. Angka
kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa
Barat. Di Negara Asia dilaporkan angka kejadiannya lebih tinggi meningkat menjadi 10%
- 15%. Kebanyakan kasus pada usia 6 bulan hingga 3 tahun,dengan Peak Incidence 18 bulan.
5.4. Klasifikasi
Menurut Livingstone (1970), membagi kejang demam menjadi dua :
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai
berikut :
a. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan - 4 tahun
b. Berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
c. Bersifat umum
d. Timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
a. Kejang kompleks ditandai dengan kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
b. Fokal atau multiple ( lebih dari 1 kali dalam 24 jam)
c. Anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang
dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai
dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.
a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis
kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di
bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi
selaput otak atau kernikterus
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan
multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik,
terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi
besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro.
Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran
EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.
5.5. Patofisiologi
Peningkatan suhu sebesar 1 derajat Fahrenheit akan meningkatkan metabolisme basal
sekitar 7%. Rasio sirkulasi serebral terhadap sirkulasi tubuh seluruhnya jauh lebih tinggi pada
anak dibandingkan pada dewasa.
Pada orang dewasa sekitar 18% dari sirkulasi total tubuh didistribusikan ke otak. Pada anak
3 tahun, angka ini jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 65%. Pada anak yang lebih muda mungkin
lebih tinggi lagi. Bila suhu meningkat beberapa, aliran darah harus pula ditingkatkan untuk
menjaga agar pasokan oksigen dan glukosa ke otak cukup. Bila peningkatan aliran darah tidak
mencukupi, maka terdapat anoksia relatif yang mungkin memicu kejang.
Dalam keadaan normal, membran sel neuron lebih permeable terhadap ion Kalium (K+)
dibandingkan terhadap ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar
sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Oleh karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam
dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membrane sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan channel Na+ dan K+ di
permukaan sel.
Pada keadaan anoksia relatif, kejang dapat terjadi akibat adanya perubahan keseimbangan
dari membran sel neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Na+ dan K+ yang
menyebabkan depolarisasi sel neuron, lalu terbentuklah potensial aksi dalam bentuk arus listrik
yang diteruskan sampai ke otak sehingga akhirnya menimbulkan kejang.
Kejang pada umumnya akan berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak
memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik / menit kemudian anak akan
terbangun dan tersadar kembali tanpa defisit neurologis. KD simpleks umumnya tidak berbahaya
dan tidak menimbulkan gejala sisa. Sedangkan kejang yang berlangsung lama dapat
mengakibatkan kerusakan permanen pada otak.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel otak dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, sehingga terjadi lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik yang cukup besar dapat meluas ke seluruh sel / membran sel di
dekatnya dengan bantuan neurotransmiter, sehingga terjadi kejang. Kejang tersebut kebanyakan
terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan olehadanya
infeksi dari luar susunan saraf pusat. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung > 15 menit sangat
berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium6
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaa laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Pungsi lumbal 6,8
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk
menyingkirkan menigitis terutama pada pasien kejang demam pertama. Sangat dianjurkan
pada anak berusia di bawah 12 bulan, dianjurkan pada anak usia 12 - 18 bulan, dan
dipertimbangkan pada anak di atas 18 bulan yang dicurigai menderita meningitis
1. Bayi < 12 bulan: diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan: dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda menigitis
5.8. Tatalaksana
b. Pengobatan simptomatis:
4. Menghentikan kejang
a. Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis REKTAL
SUPPOSITORIA, kemudian dilanjutkan dengan,
b. Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau,
c. Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis.
5. Menurunkan panas
a. Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10
mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari.
b. Kompres air hangat/biasa.
c. Pengobatan suportif
a. Cairan intravena
b. Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.
B. Perawatan:
1. Pada waktu kejang:
a. Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
b. Hisap lendir
c. Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
d. Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
2. Bila penderita tidak sadar lama:
a. Beri makanan melalui sonde
b. Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita
sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
c. Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika
3. Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
4. Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
5. Pemantauan ketat:
a. Tekanan darah
b. Pernafasan
c. Nadi
d. Produksi air kemih
e. Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
C. Fisioterapi dan rehabilitasi
5.9. Pencegahan
a. Pencegahan berkala (intermiten)
untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan
antipiretika pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam
b. Pencegahan kontinu
untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15-40 mg/KgBB/hari PO dibagi
dalam 2-3 dosis
5.10. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, perjalanan penyakitnya baik dan
tidak menimbulkan kematian. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan
sering tidak menimbulkan gejala sisa, akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga
menimbulkan hipoksia pada jaringan SSP, dapat menyebabkan adanya gejala sisa dikemudian
hari. Dan apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
A. Kejang demam berulang (rekurensi). Faktor resiko kejang demam berulang:
a. Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam pada keluarga
c. Riwayat adanya demam yang sering
d. kejang pertama adalah CPS
e. kejang demam terjadi segera setelah mulai demam/saat suhu sudah relatif normal
B. Epilepsi
C. Kelainan motorik
D. Gangguan mental dan belajar.