Anda di halaman 1dari 30

Sasaran Belajar

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Meninges, Sistem Ventrikularis, Cairan


Cerebrospinal
1.1. Makroskopik
1.2. Mikroskopik

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan LCS


2.1. Fisiologi
2.2. Aliran
2.3. Pemeriksaan Makro dan Mikro

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Lumbal Pungsi


3.1. Definis
3.2. Teknik
3.3. Indikasi
3.4. Kontraindikasi
3.5. Manfaat
3.6. Efek Samping
LI.4. Memahami dan Menjelaskan Meningitis Bacterial
4.1. Definisi
4.2. Etiologi
4.3. Epidemiologi
4.4. Klasifikasi/tingkatan
4.5. Patofisiologi
4.6. Manifestasi Klinis
4.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
4.8. Tatalaksana
4.9. Pencegahan
4.10. Prognosis
LI.5. Memahami dan Menjelaskan Kejang Demam
5.1. Definisi
5.2. Etiologi
5.3. Epidemiologi
5.4. Klasifikasi/tingkatan
5.5. Patofisiologi
5.6. Manifestasi Klinis
5.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
5.8. Tatalaksana
5.9. Pencegahan
5.10. Prognosis
LI.6. Memahami dan Menjelaskan Rukun Umrah
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Meninges, Sistem Ventrikularis, Cairan
Cerebrospinal
1.1. Makroskopik

1. Meninges

Meninges berfungsi untuk melindungi otak atau medulla spinalis dari benturan atau
pengaruh gravitasi. Fungsi ini diperkuat oleh LCS yang terdapat dalam spatium subarachnoidea.
Meninges terdiri dari:
1. Duramater
Merupakan pembungkus SSP plaing luar yang terdiri dari jaringan ikat padat.
Dalam otak membentuk 5 sekat:
a. Falx cerebri
1) Falx cerebri: Memisahkan kedua hemispaherum cerebri yang melekat mulai dari
sutura sagitalis  memasuki fissura longitudinalis  melekat pada crista galli
didepan  ke protuberantia occipitale interna  dilanjtkan sebagai tentorium
cerebelli. Sinus (venosus dura) yang dibentuk adalah:
1. Pada tepi atas sinus sagitalis superior
2. Pada tepi bawah sinus sagitalis inferior
3. Pada lanjutan ke tentorium cerebelli ikut membentuk sinus rectus
b. Tentorium cerebelli
Memisahkan cerebellum dengan bagian occipitale hemicerebri dan ke atas
menyambung menjadi falx cerebri. Pada tepi depan terdapat lobang yang ditembus
oleh mesencephalon. Sinus dura yang dibentuk adalah:
1. Kelateral dan belakang  sinus transvesus
2. Kedepan  sinus petrosus superior

c. Falx cerebelli
Berbentuk segitiga, memisahkan haemispaherum cerebeli kiri dan kanan.
d. Diphragma sellae
Membentang sepanjang processus clinoidea menutupi hypofisis yang terletak pada
cekungan sella turcica. Ditengahnya terdapat lobang tempat keluarnya infundibulum
hypofisis yang dikelilingi oleh sinus cavernosa atau sinus circularis
e. Kantung Meckelli
Membungkus ganglion semilunare N. Trigeminus
Ditempat tertentu, antara lapisan luar dan dalam dura terbentuk ruang yaitu sinus
(venosus) duraematris yang termasuk dalam sistem pembuluh darah bail.Berdasarkan
bagian SSP yang dibungkusnya, dibedakan atas:
a. Duramater Encephali
Lapisan luar (lapisan endosteal = lapisan periosteal). Melekat erat ke periosteum
tengkorak (terkuat pada sutura dan basis cranii). Terdapat jonjot jaringan ikat dan
vasa ke periosteum.Melekat erat pada foramen magnum dan tidak berhubungan
dengan lapisan luar medulla spinalis. Pada tempat tertentu, celah yang terbentuk
antara lapisan duramater dengan periosteum dinamakan cavum epidural. Isi cavum
epidural encephali tidak berhubungan dengan cavum epidural spinalis, isi cavum
epidural:
a. Jaringan ikat jarang
b. Sedikit lemak
c. Plexus venosus
d. Vena
e. Arteri
f. Vasa lymphatica
Lapisan dalam menghadap ke arachnoidea. Dilapisi mesotel (sama dengan mesotel
pleura, pericardium pars serosa dan peritoneum). Menghasilkan serosa yang
berfungsi untuk lubrikasi permukaan dalam duramater dengan permukaan luar
arachnoid sehingga gesekan keduanya dapat diredam dan mencegah kerusakan.
Lanjut menjadi lapis dalam duramater spinalis. Antara duramater dengan arachnoid
terdapat cavum subdura, mengandung: Cairan serosa  untuk meredam, Bridging
nein  menghubungkan antara vena cerebri superior ke sinus sagitalis superior.

b. Duramater spinalis
Lapisan luar melekat pada Foramen occipitale magnum, lanjut menjadi dura
encephali, Perioceum vertebra cervicalis 2-3. Lig. Longitudinale posterius. Cavum
epidural dan subdural. Setinggi os sacrale 2, dura spinalis membungkus fillim
terminale dan akhirnya melekat pada os. Coccygeus. Antara L2 dengan S2 cavum
epidural diisi oleh cauda equina yang merupakan untaian Nn. Spinalis sebelum
keluar melalui foramen intervertebralis yang sesuai. Perlu diketahui, ujung paling
bawah medulla spinalis adalah setinggi vertebra lumnal 2 sehingga banyak sekali
Nn. Spinalis yang terbentuk diatas dan harus turun untuk mencapai foremen
intervertebralis yang sesui. Ruang subarachnoid mempunyai pelebaran-pelebaran
yang disebut sisterna. Salah satu pelebaran terbesar adalah sisterna.
2. Arachnoidea
Arachnoidea yaitu selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak
meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulla spinalis. Arachnoidea berada
dalam balon yang berisi cairan. Ruang sub arachnoid pada bagian bawah serebelum
merupakan ruangan yang agak besar disebut sistermagna. Ruangan tersebut dapat
dimasukkan jarum kedalam melalui foramen magnum untuk mengambil cairan otak, atau
disebut fungsi sub oksipitalis.
A. Arachnoidea Encephali
a. Permukaan yang menghadap kearah piamater punya pita-pita fibrotik halus :
TRABEKULA ARACHNOIDEA
b. Pada beberapa tempat menonjol ke sinus daramater : VILLI ARACHNOIDEA
B. Arachnoidea Spinalis
a. Struktur sama dengan arachnoidea encephali
b. Ke kranial melalui foramen occipetale magnum lanjut mejdai arachnoidea encephali
c. Kaudal ikt membentuk filum terminale
C. Cavum subarachnoidea encephali

3. Piameter
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak. Piameter
berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat. Tepi flak serebri membentuk
sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flak
serebri tentorium memisahkan serebrum dengan serebelum.
a. Piamater Encephali
a. Membungkus seluruh permukaan otak dan cerebelum termasuk sulci dan gyri
b. Piameter spinalis

2. Ventriculus

Terdiri dari :
A. Ventrikulus lateralis
Berbentuk huruf C panjang dan menempati hemisphareum cerebri. Berhubungan
dengan ventrikulus tertius melalui foramen interventricular(Monroi) yang terletak di
bagian depan dinding medial ventrikulus. Dibedakan :
a. Corpus : dalam lobus parietalis
b. Cornu anterior (cornu frontalis)
c. Cornu posterior (cornu occipitalis)
d. Cornu inferior (cornu temporalis)
e. Atrium s. Trigonus : bagian yang terletak dekat splenulum
B. Ventrikulus tertius
Antara dua thalamus kanan dan kiri. Berhubungan dengan ventrikulus quartus melalui
aquaeductus cerebri (Sylvii)
C. Ventrikulus quartus
Antara pons, medula oblongata bagian atas dengan cerebellum. Kebawah melanjutkan
diri ke canalis centralis di dalam medula spinalis. Keatas ke cavum subarachnoidea
melalui 3 lubang diatas ventriculus quartus yaitu 1 foramen magendi dan 2 foramen
luscka
D. Ventrikulus terminalis
Ujung paling bawah caudalis sentralis yang sedikit melebar

ASPEK KLINIS
a. Jika terjadi sumbatan terjadi di hub venticuli cerebri bisa terjadi bendungan LCS dalam
sistem ventrivuli hidrocephalus
b. Lumbal punksi (Dx LCS spinalis) di linea mediana posterior antara Proc.spinosi VL
3 dan VL 4. Tusukan ini tidak akan mencederai medula spinalis karena medula spinalis
berakhir setinggi VL 1 atau VL 2
c. Sisterna punksi (Dx LCS otak) jarum ditusuk diantara atlas dan os.occipitalis
sehingga mencapai cisterna cerbeloomedularis cisterna magna

1.2. Mikroskipik

1. Meninges
Susunan saraf pusat dilindungi oleh tengkorak dan kolumna vertebralis.Ia juga dibungkus
membrane jaringan ikat yang disebut meninges.Dimulai dari lapisan paling luar, berturut-
turut terdapat dura mater, araknoid, dan piamater.Araknoid dan piamater saling melekat
dan seringkali dipandang sebagai satu membrane yang disebut pia-araknoid.

a. Dura mater
Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang berhubungan
langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang membungkus medulla spinalis
dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena
berdinding tipis,jaringan ikit longgar, dan jaringan lemak.
Dura mater selalu dipisahkan dari araknoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan
dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis
gepeng yang asalnya dari mesenkim.

b. Araknoid

Araknoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak dengan dura mater dan
sebuah system trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater.Rongga
diantara trabekel membentuk ruang Subaraknoid, yang terisi cairan serebrospinal dan
terpisah sempurna dari ruang subdural.Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang
melindungi susunan saraf pusat dari trauma.Ruang subaraknoid berhubungan dengan
ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah.Permukaannya
dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti yang melapisi dura mater.Karena dalam
medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan
dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk
julursn-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater.Juluran ini, yang
dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk
menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.

c. Pia mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh
darah.Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel
atau serat saraf.Di antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipus cabang-cabang
neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari
susunan saraf pusat yang memisahkan SSP dari cairan brospinal. Piamater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak
tertentu bersama pembuluh darah. pia mater di lapisioleh sel-sel gepeng yang berasal dari
mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalai torowongan yang
dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler.

2. Ventriculus

Sel ependim melapisi dinding rongga ventriculus di otak dan kanalis sentralis medula
spinalis. Plexus Choroidalis mrupakan lipatan-lipatan invaginasi piamater yg menembus
ventrikel. Terdiri dari jaringan penyambung Piamater, dilapisi oleh epitel selapis kuboid
atau torak rendah yg berasal dr neural tube.Menghasilkan cairan cerebrosipnalis (LCS)

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan LCS


2.1. Fisiologi
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan salah satu proteksi
untuk melindungi jaringan otak dan medula spinalis terhadap trauma atau gangguan dari
luar.
Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume otak sekitar 1400
ml,
volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml) dan darah sekitar 150 ml. 80%
dari
jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra sel maupun intra sel. Rata-rata cairan
serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau 500 ml/hari, sedangkan total volume
cairan serebrospinal berkisar 75-150 ml dalam sewaktu. Untuk mempertahankan jumlah
cairan serebrospinal tetap dalam sewaktu, maka cairan serebrospinal diganti 4-5 kali dalam
sehari. Perubahan dalam cairan serebrospinal dapat merupakan proses dasar patologi suatu
kelainan klinik. Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat membantu dalam mendiagnosa
penyakit-penyakit neurologi. Selain itu jugauntuk evaluasi pengobatan dan perjalanan
penyakit, serta menentukan prognosa penyakit. Pemeriksaan cairan serebrospinal adalah
suatu tindakan yang aman, tidak mahal dan cepat untuk menetapkan diagnosa,
mengidentifikasi organisme penyebab serta dapat untuk melakukan test sensitivitas
antibiotika.

Pembentukan, Sirkulasi dan Absorpsi Cairan Serebrospinal (CSS)


Cairan serebrospinal (CSS) dibentuk oleh pleksus khoroideus yang merupakan modifikasi
dari sel ependim, yang menonjol ke ventrikel. Pleksus khoroideus membentuk lobul-lobul
dan membentuk seperti daun pakis yang ditutupi oleh mikrovili dan silia.
Pembentukan CSS melalui 2 tahap, yang pertama terbentuknya ultrafiltrat plasma di luar
kapiler oleh karena tekanan hidrostatik dan kemudian ultrafiltrasi diubah menjadi sekresi
pada epitel khoroid melalui proses metabolik aktif. Mekanisme sekresi CSS oleh pleksus
khoroideus

Bikarbonat terbentuk oleh karbonik anhidrase dan ion hidrogen yang dihasilkan akan
mengembalikan pompa Na dengan ion penggantinya yaitu Kalium. Proses ini disebut Na-
K Pump yang terjadi dengan bantuan Na-K-ATP ase, yang berlangsung dalam
keseimbangan. Obat yang menghambat proses ini dapat menghambat produksi CSS.
Natrium memasuki CSS dengan dua cara, transport aktif dan difusi pasif. Kalium disekresi
ke CSS dengan mekanisme transport aktif, demikian juga keluarnya dari CSS ke jaringan
otak. Perpindahan Cairan, Mg dan Phosfor ke CSS dan jaringan otak juga terjadi terutama
dengan mekanisme transport aktif, dan konsentrasinya dalam CSS tidak tergantung pada
konsentrasinya dalam serum. Perbedaan difusi menentukan masuknya protein serum ke
dalam CSS dan juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke
CSS dan juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan
ruang interseluler, demikian juga sebaliknya. Hal ini dapat menjelaskan efek cepat
penyuntikan intervena cairan hipotonik dan hipertonik.
Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama dan terbanyak
terletak di dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit) terdapat di atap ventrikel
III dan IV. Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh ventrikel lateral sekitar 95%. Rata-rata
pembentukan CSS 20 ml/jam. CSS bukan hanya ultrafiltrat dari serum saja tapi
pembentukannya dikontrol oleh proses enzimatik.
CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk ke dalam
ventrikel III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dlam ventrikel IV. Tiga buah
lubang dalam ventrikel IV yang terdiri dari 2 foramen ventrikel lateral (foramen luschka)
yang berlokasi pada atap resesus lateral ventrikel IV dan foramen ventrikuler medial
(foramen magendi) yang berada dibagian tengah atap ventrikel III memungkinkan CSS
keluar dari sistem ventrikel masuk ke dalam rongga subarakhnoid. CSS mengisi rongga
subarachnoid sekeliling medula spinalis sampai batas sekitar S2, juga mengisi keliling
jaringan otak. Dari daerah medula spinalis dan dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju
sisterna basalis, sisterna ambiens, melalui apertura tentorial dan berakhir dipermukaan atas
dan samping serebri dimana sebagian besar CSS akan diabsorpsi melalui villi arakhnoid
(granula Pacchioni) pada dinding sinus sagitalis superior. Yang mempengaruhi alirannya
adalah: metabolisme otak, kekuatan hidrodinamik aliran darah dan perubahan dalam
tekanan osmotik darah.
CSS akan melewati villi masuk ke dalam aliran darah vena dalam sinus. Villi arakhnoid
berfungsi sebagai katup yang dapat dilalui CSS dari satu arah, dimana semua unsur pokok
dari cairan CSS akan tetap berada di dalam CSS, suatu proses yang dikenal sebagai bulk
flow. CSS juga diserap di rongga subrakhnoid yang mengelilingi batang otak dan medula
spinalis oleh pembuluh darah yang terdapat pada sarung/selaput saraf kranial dan spinal.
Vena-vena dan kapiler pada piameter mampu memindahkan CSS dengan cara difusi
melalui dindingnya. Perluasan rongga subarakhnoid ke dalam jaringan sistem saraf melalui
perluasaan sekeliling pembuluh darah membawa juga selaput piameter disamping selaput
arakhnoid. Sejumlah kecil cairan berdifusi secara bebas antara cairan ekstraselluler dan css
dalam rongga perivaskuler dan juga sepanjang permukaan ependim dari ventrikel sehingga
metabolit dapat berpindah dari jaringan otak ke dalam rongga subrakhnoid. Pada
kedalaman sistem saraf pusat, lapisan pia dan arakhnoid bergabung sehingga rongga
perivaskuler tidak melanjutkan diri pada tingkatan kapiler.

2.2. Aliran

Cairan bergerak dari ventrikel lateral à melalui foramen interventrikular (Munro) →


menuju ventrikel ke-3 otak (tempat cairan semakin banyak karena ditambah oleh plexus koroid)
→ melalui aquaductus cerebral (Sylvius) à menuju ventrikel ke-4 (tempat cairan ditambahkan
kembali dari pleksus koroid) → melalui tiga lubang pada langit-langit ventrikel ke-4 →
bersirkulasi melalui ruang subarakhnoid, di sekitar otak dan medulla spinalis → direabsorsi di vili
arakhnoid (granulasi) → ke dalam sinus vena pada duramater à kembali ke aliran darah tempat
asal produksi cairan tersebut.
2.3. Pemeriksaan
Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan
memperhatikan:

a. Warna
Normal cairan serebrospinal warnamya jernih dan patologis bila berwarna:
kuning,santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari
protein. Peningkatan protein yang penting danbermakna dalam perubahan warna adalah
bila lebih dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna pink berasal dari darah dengan jumlah
sel darah merah lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah merah yang utuh akan memberikan
warna merah segar. Eritrosit akan lisis dalam satu jam danakan memberikan warna cucian
daging di dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah
leukosit lebih dari 1000 sel/ml.

b. Tekanan
Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan
terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya naik, maka tekanan
naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya turun. Tekanan CSS tergantung
pada posisi, bila posisi berbaring maka tekanan normal cairan serebrospinal antara 8-20
cm H2O pada daerahh lumbal, siterna magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita
duduk tekanan cairan serebrospinal akan meningkat 10-30 cm H2O. Kalau tidak ada
sumbatan pada ruang subarakhnoid, maka perubahan tekanan hidrostastik akan
ditransmisikan melalui ruang serebrospinalis. Pada pengukuran dengan manometer,
normal tekanan akan sedikit naik padaperubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah
pada penekanan abdomen dan waktu batuk.

Bila terdapat penyumbatan pada subarakhnoid, dapat dilakukan pemeriksaan Queckenstedt


yaitu dengan penekanan pada kedua vena jugularis. Pada keadaan normal penekanan vena
jugularis akan meninggikan tekanan 10-20 cm H2O dan tekanan kembali ke asal dalam
waktu 10 detik. Bila ada penyumbatan, tak terlihat atau sedikit sekali peninggian tekanan.
Karena keadaan rongga kranium kaku, tekanan intrakranial juga dapat meningkat, yang
bisa disebabkan oleh karena peningkatan volume dalam ruang kranial, peningkatan cairan
serebrospinal atau penurunan absorbsi, adanya masa intrakranial dan oedema serebri.
Kegagalan sirkulasi normal CSS dapat menyebabkan pelebaran ven dan hidrocephalus.
Keadaan ini sering dibagi menjadi hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus obstruktif.
Pada hidrosefalus komunikans terjadi gangguan reabsorpsi CSS, dimana sirkulasi CSS dari
ventrikel ke ruang subarakhnoid tidak terganggu. Kelainan ini bisa disebabkan oleh adanya
infeksi, perdarahan subarakhnoid, trombosis sinus sagitalis superior, keadaan-keadaan
dimana viscositas CSS meningkat danproduksi CSS yang meningkat. Hidrosefalus
obstruktif terjadi akibat adanya ganguan aliran CSS dalam sistim ventrikel atau pada jalan
keluar ke ruang subarakhnoid. Kelainan ini dapat disebabkan stenosis aquaduktus serebri,
atau penekanan suatu msa terhadap foramen Luschka for Magendi ventrikel IV, aq. Sylvi
dan for. Monroe. Kelainan tersebut bis aberupa kelainan bawaan atau didapat.
c. Jumlah sel
Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel
polymorphonuklear saja, Sel leukosit junlahnya akan meningkat pada proses inflamasi.
Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit
setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis,
pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara
bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik.
Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang
lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada
meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada meningitis
aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan (5000-
10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri atau perimeningeal
perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk ke arah penyebab
peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L. monocytogenes.
Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi cacing dan penyakit
parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis tuberculosis, neurosiphilis,
lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing.

d. Glukosa
Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal sangat
bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat
pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbar. Rasio normal kadar
glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah >0,6.
Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi
transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan
hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara.
Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal,
glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derjat yang bervariasi, dan paling umum pada
proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh carcinoma.
Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada meningitis sarcoidosis,
infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat khemikal.
Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rhematoid mungkin
juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral, mump,
limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar glukosa ringan
sampai sedang.
e. Protein
Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. pada sisterna
10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 ,g%. Kadar gamma globulin normal 5-
15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan menyebabkan cairan
serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari
1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau
bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal
akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood barin barrier), reabsorbsi
yang lambat atau peningkatan sintesis immunoglobulin loka. Sawar darah otak hilang
biasanya terjadi pada keadaan peradangan,iskemia baktrial trauma atau neovaskularisasi
tumor, reabsorsi yang lambat dapat terjadi pada situasi yang berhubungan dengan
tingginya kadar protein cairan serebrospinal, misalnya pada meningitis atau perdarahan
subarakhnoid. Peningkatan kadar immunoglobulin cairan serebrospinal ditemukan pada
multiple sklerosis, acut inflamatory polyradikulopati, juga ditemukan pada tumor intra
kranial dan
penyakit infeksi susunan saraf pusat lainnya, termasuk ensefalitis, meningitis, neurosipilis,
arakhnoiditis dan SSPE (sub acut sclerosing panensefalitis). Perubahan kadar protein di
cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit, bila dinilai sendirian akan
memberikan sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan saraf pusat.

f. Elektrolit
Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130
mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak menunjukkan
perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdpat penurunan kadar Cl pada meningitis
tapi tidak spesifik.

g. Osmolaritas
Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L0. Bila terdapat
perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS.

h. PH
Keseimbangan asam bas harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis dan metabolik
alkalosis. PH cairan serebrospinal lebih rendah dari PH darah, sedangkan PCO2 lebih
tinggi pada cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah sama (23 mEg/L). PH CSS relatif
tidak berubah bila metabolik asidosis terjadi secara subakut atau kronik, dan akan berubah
bila metabolik asidosis atau alkalosis terjadi secara cepat.
Volume LCS yang diperlukan untuk pemeriksaan antara 15 sampai 20 ml dan dibagi dalam
3 buah tabung steril :
1. Tabung pertama untuk analisa kimia, serologi, dan pemeriksaan khusus misalnya
imunologi.
2. Tabung kedua untuk analisa bakteriologi.
3. Tabung ketiga untuk analisa mikroskopis sel.

Adakalanya sukar untuk menafsirkan adanya darah segar dalam specimen LCS karena
pungsi dapat melukai pembuluh darah dan menyebabkan ada darah biarpun LCS
sebetulnya jernih.. Untuk membedakannya perlu dinilai dalam hal :
1. Pada trauma pungsi menunjukkan adanya penjernihan darah yang berarti antara tabung-
tabung pertama dan ketiga. Jika darah tetap sama banyaknya dalam ketiga tabung, darah
itu sangat mungkin sudah ada sebelum dilakukan pungsi (perdarahan
intraserebral/subarakhnoid).
2. Setelah tabung-tabung disentrifugasi cairan atas tidak berwarna jika darah berasal dari
trauma pungsi, jika sudah ada darah sebelum pungsi cairan atas berwarna kuning pucat
sampai kuning tegas (xanthokromia) yang terjadi karena pelepasan hemoglobin dari
eritrosit yang lisis. Hal ini disebabkan kemungkinan tidak adanya protein dan lemak yang
diperlukan untuk menstabilkan membran eritrosit..

2.3.1. Makroskopik

Pemeriksaan makroskopis meliputi warna, kekeruhan, pH, konsistensi (bekuan), dan berat jenis :
1. Warna
a. Normal warna LCS tampak jernih, ujud dan viskositasnya sebanding air.
b. Merah muda → perdarahan trauma akibat pungsi.
c. Merah tua atau coklat → perdarahan subarakhnoid akibat hemolisis dan akan terlihat
jelas sesudah disentrifuge.
d. Hijau atau keabu-abuan → pus.
e. Coklat → terbentuknya methemalbumin pada hematoma subdural kronik.
f. Xanthokromia → mengacu pada warna kekuning-kuningan biasanya akibat pelepasan
hemoglobin dari eritrosit yang lisis (perdarahan intraserebral/subarachnoid); tetapi
mungkin juga disebabkan oleh kadar protein tinggi, khususnya jika melebihi 200 mg/dl.

2. Kekeruhan
a. Normal → tidak ada kekeruhan atau jernih. Walaupun demikian LCS yang jernih
terdapat juga pada meningitis luetika, tabes dorsalis, poliomyelitis, dan meningitis
tuberkulosa.
b. Keruh → ringan seperti kabut mulai tampak jika jumlah lekosit 200-500/ul3, eritrosit >
400/ml, mikroorganisme (bakteri, fungi, amoeba), aspirasi lemak epidural sewaktu
dilakukan pungsi, atau media kontras radiografi.

3. Konsistensi bekuan
Terjadinya bekuan menandakan bahwa banyak darah masuk ke dalam cairan pungsi pada
waktu pungsi; darah dalam LCS yang disebabkan perdarahan subarachnoid tidak membeku.
a. Normal → tidak terlihat bekuan
b. Bekuan → banyaknya fibrinogen yang berubah menjadi fibrin. Disebabkan oleh trauma
pungsi, meningitis supurativa, atau meningitis tuberkulosa. Jendalan sangat halus dapat
terlihat setelah LCS didiamkan di dalam almari es selama 12-24 jam.

ANALISA LABORATORIUM

1. Metode : perbandingan dengan aquadest secara visual


2. Prinsip : pada keadaan normal ujud LSC seperti air, dengan membandingkannya dapat dinilai
adanya perubahan ujud LCS.
3. Peralatan yang dipergunakan :
a. Tabung reaksi
b. Kertas putih
4. Tata cara pemeriksaan :
a. Tabung reaksi diisi aquadest secukupnya sebagai pembanding.
b. Contoh bahan diisikan pada tabung reaksi yang sama ukurannya dengan pembanding.
c. Kedua tabung diletakkan berdekatan dengan latar belakang kertas putih.
d. Bandingkan contoh bahan dengan aquadest.
5. Tata cara pembacaan hasil :
a. Warna
b. Kejernihan / kekeruhan
0 = jernih
+ 1 = berkabut
+ 2 = kekeruhan ringan
+ 3 = kekeruhan nyata
+ 4 = sangat keruh
d. Bekuan, tidak ada (negatif) atau ada bekuan (positif)

2.3.2. Mikroskopik
Eritrosit dan leukosit masuk ke dalam LCS jika ada kerusakan pada pembuluh darah atau sebagai
akibat reaksi terhadap iritasi. Bilirubin yang dalam keadaan normal tidak ada dalam LCS,
mungkin dapat ditemukan dalam LCS seorang yang tidak menderita ikterus setelah terjadi
perdarahan intrakranial. Bilirubin itu adalah bilirubin tidak dikonjugasi dan karena itu
menandakan adanya katabolisme hemoglobin setempat dalam SSP.

Perhitungan sel lekosit dan eritrosit harus segera dilakukan, hal ini dikarenakan 40% dari lekosit
dapat lisis setelah 2 jam, sedangkan eritrosit akan lisis setelah 1 jam pada suhu ruangan.
Perhitungan jumlah eritrosit LCS memiliki nilai diagnostik terbatas yaitu untuk differensial
diagnosis trama pungsi vs hemorhagi subarakhnoid dan koreksi jumlah lekosit LCS dan protein
untuk kontaminasi darah tepi yang ada kaitannya dengan trauma pungsi.

Nilai rujukan normal pada anak dan dewasa untuk jumlah lekosit (monosit dan limposit) adalah
0 – 5 sel/ul, sedangkan untuk neonatus 0 – 30 sel/ul. Walaupun belum ada kesepakatan batas
tertinggi normal netropil dalam LCS sebagai patokan dapat dipergunakan sampai angka 7%, hal
ini dapat disebabkan adanya kontaminasi minimal dari darah tepi. Sedangkan monosit (14%) lebih
rendah dibandingkan limposit (86%), tingginya perbedaan ini dapat disebabkan karena monosit
sering diklasifikasikan sebagai limposit.

Pada tahap dini meningitis bakteria akut, netrofil biasanya lebih dari 60%. Peningkatan monosit
biasanya diikuti peningkatan limposit, netropil, dan sel plasma merupakan cirri khas meningitis
tuberkulosa, meningitis fungi, dan meningitis bakteria kronis. Sedangkan
pada meningoensepalitis viruspada awalnya terjadi netrofilia kemudian berubah ke respons
limposit.

Spesimen yang Mengandung Darah


Adakalanya perlu untuk mengetahui jumlah leukosit atau kadar protein dalam LCS yang
mengandung darah oleh trauma pungsi. Satu cara kasar untuk meniadakan pengaruh dari darah
trauma ialah dengan menganggap bahwa darah itu berisi 1-2 lekosit per 1000 eritrosit; demikian
kalau dalam LCS hanya ada darah yang berasal dari trauma pungsi didapat 20.000 eritrosit/ul
maka jumlah lekosit tidak lebih dari 30-40 per ul. Kecuali jika dalam darah pasien itu ada
leukositosis tegas, maka menemukan lebih dari 45 leukosit/ul menunjukkan ada pleiositosis yang
sudah ada sebelum pungsi. Selain itu perdarahan oleh trauma pungsi menambah sekitar 1 mg
protein/dl untuk setiap 1000 eritrosit/ul.

ANALISA LABORATORIUM JUMLAH LEKOSIT


1. Metode : bilik hitung Improved Neubauer
2. Prinsip : LCS diencerkan dalam perbandingan tertentu dan lekosit dihitung dalam volume
tertentu.
3. Alat yang dipakai :
a. Pipet lekosit
b. Bilik hitung Improved Neubauer
c. Tabung reaksi kecil
d. Mikroskop
4. Reagen yang dipakai : larutan Turk
5. Tata cara pemeriksaan
a. Kocoklah dengan perlahan-lahan LCS yang akan diperiksa.
b. Isaplah larutan Turk dengan pipet lekosit sampai tanda 1 (satu).
c. Kemudian LCS dihisap sampai tanda 11 (sebelas) dan seterusnya dikocok.
d. Letakkan kaca penutup di atas bilik hitung.
e. Larutan LCS yang ada dalam pipet lekosit dibuang antara 2-3 tetes, kemudian diteteskan
pada bilik hitng hingga bidang-bidang pada bilik hitung terisi. Diamkan lebih kurang 5 menit
dalam posisi datar.
f. Kemudian diperiksa dalam mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa obyektif 10 kali.
g. Hitung semua lekosit yang terdapat pada 9 (sembilan) bidang besar.

2.3.3. Pemeriksaan Lain


PEMERIKSAAN KIMIA
Analisa kimia LCS dapat banyak membantu dalam diagnosis atau menilai prognosis terhadap
penderita. Pemeriksaan rutin yang sering dilakukan adalah penetapan protein secara kualitatif,
kadar protein, dan kadar glukosa.

ANALISA LABORATORIUM PROTEIN KUALITATIF


Dalam keadaan normal, cairan otak hanya mengandung sedikit sekali protein, karena sawar darah-
otak tidak dapat ditembus oleh protein-protein plasma yang besar molekulnya. Konsentrasi
normal kurang dari 1% dari kadar protein dalam serum yang nilainya 5-8 g/dl. Perbandingan
antara albumin dan globulin lebih besar dalam LCS daripada dalam plasma karena molekul
albumin lebih kecil sehingga lebih mudah melalui sawar endotel.
Ada bermacam-macam sebab konsentrasi protein meningkat. Satu di antaranya adalah
permeabilitas sawar darah-otak yang menigkat oleh radang. Pada meningitis yang berat, semua
jenis protein dapat menembus ke dalam LCS, termasuk juga fibrinogen yang molekulnya besar
sekali. Pada meningitis purulenta, protein dalam LCS lebih meningkat lagi oleh karena bakteri
dan sel-sel, baik yang utuh maupun yang rusak menambah protein ke dalam LCS.

TEST PANDY
1. Prinsip : reagen pandy memberikan reaksi terhadap protein (albumin dan globulin) dalam
bentuk kekeruhan. Pada keadaan normal tidak terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang ringan
seperti kabut.
2. Alat dan reagen yang dipakai
a. Tabung serologi (garis tengah 7 mm)
b. Kertas putih
c. Reagen Pandy (larutan phenol jenuh dalam air)
3. Tata cara pemeriksaan
a. Ke dalam tabung serologi dimasukkan 1 ml reagen Pandy
b. Tambahkan 1 tetes LCS
c. Kemudian dilihat segera ada tidaknya kekeruhan.
4. Tata cara pembacaan hasil
a. Negatif : tidak ada kekeruhan
b. Positif : terlihat kekeruhan yang jelas
+1 : opalescent (kekeruhan ringan seperti kabut)
+2 : keruh
+3 : sangat keruh
+4 : Kekeruhan seperti susu

TEST NONNE APELT


1. Prinsip : reagen Nonne memberikan reaksi terhadap protein globulin dalam bentuk kekeruhan
yang berupa cincin. Ketebalan cincin yang terbentuk berhubungan dengan kadar globulin,
makin tinggi kadarnya maka cincin yang terbentuk makin tebal. Pada keadaan normal, tidak
terjadi kekeruhan.
2. Alat dan reagen yang dipakai
a. Tabung serologi (garis tengah 7 mm)
b. Reagen Nonne (larutan ammonium sulfat jenuh dalam air)
3. Tata cara pemeriksaan
a. Ke dalam tabung serologi dimasukkan 1 ml reagen Nonne
b. Tambahkan 1 ml LCS dengan cara pelan-pelan sehingga terbentuk 2 lapisan, di mana lapisan
atas adalah LCS. Diamkan selama 3 menit.
c. Kemudian dilihat pada perbatasan kedua lapisan dengan latar belakang gelap.
4. Tata cara pembacaan hasil
a. Negatif : tidak terbentuk cincin antara kedua lapisan
b. +1 : cincin yang terbentuk menghilang setelah dikocok (tidak ada bekasnya).
c. +2 : setelah dikocok terjadi opalesensi
d. +3 : mengawan setelah dikocok
LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Lumbal Pungsi

3.1. Definisi
Lumbal pungsi adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan memasukan jarum
ke dalam ruang subarakhnoid. Lumbar pungsi dilakukan oleh dokter menggunkan jarung
dengan teknik aseptic. Jarum punksi lumbal dimasukan diantara vertebra lumbal ke-3 dan
ke-4 atau ke-4 dan ke-5 hingga mencapai ruang subarachnoid dibawah medulla spoinalis
di bagian causa equine. Manometer dipasang diujung jarum via dua jalan dan cairan
serebrospinal memungkinkan mengalir ke manometer untuk mengetahui tekanan
intraspinal.

3.2. Teknik
PreLumbal Pungsi
1. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP
2. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasien/keluarga terutama pada
LP dengan resiko tinggi

ALAT DAN BAHAN :

1. Sarung tangan steril


2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal

PROSEDUR :

1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik ke
arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke arah dahi), dan sumbu
kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan garis
potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina iskhiadika
anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau
antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi.
3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan
povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup dengan duk steril di mana daerah
pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung
tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.

5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum perlahan-
lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas sampai
menembus duramater. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoid berbeda pada tiap anak
tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5
cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.)
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang lebih
baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester

3.3. Indikasi
1. Kejang
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI
3. Pasien koma
4. Ubun – ubun besar menonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. Tuberkolosis milier

3.4. Kontraindikasi
1. Adanya peninggian tekanan intra kranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan
papil edema
2. Penyakit kardiopulmonal yang berat
3. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi

3.5. Manfaat
Lumbal pungsi sangat penting untuk alat diagnosa.Prosedur ini memungkinkan melihat
bagian dalam seputar medulla spinalis, yang mana memberikan pandangan pada fungsi
otak juga.
Prosedur ini relatif mudah untuk dilaksanakan dan tidak begitu mahal. Dokter yang
berpengalaman, Lumbal Pungsi akan menunrunkan angka komplikasi. Ia akan
melakukannya dengan cepat dan du\ilaksanakan di tempat tidur pasien.

3.6. Efek Samping


1. Sakit kepala,biasanya dirasakan segera sesudah lumbal punksi, ini timbul karena
pengurangan cairan serebrospinal
2. Backache, biasanya di lokasi bekas punksi disebabkan spasme otot
3. Infeksi
4. Herniasi
5. Untrakranial subdural hematom
6. Hematom dengan penekanan pada radiks
7. Tumor epidermoid intraspinal

5. Memahami dan Menjelaskan Kejang Demam


5.1. Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai dengan 5
tahun dan berhubungan dengan demam (suhu rectal diatas 380C) serta tidak didapatkan
adanya infeksi atau kelainan lain yang jelas di intrakranial. Kejang disertai demam pada
bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.
5.2. Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak , truma, bekuan darah
pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit dan gejala putus alcohol dan gangguan
metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan, sabagian kejang merupakan idiopatuk ( tidak
diketahui etiologinya )
1. Intrakranial
Asfiksia : Ensefalitis, hipoksia iskemik
Trauma (perdarahan) : Perdarahan sub araknoid, sub dural atau intra ventricular
Infeksi : Bakteri virus dan parasit
Kelainan bawaan : Disgenesis, korteks serebri
2. Ekstra cranial
Gangguan metabolic:Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesimia, gangguan elektrolit
(Na dan K)
Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat
3. Idiopatik
Kejang neonates, fanciliel benigna, kejang hari ke 5

5.3. Epidemiologi
Kejang demam merupakan tipe kejang terbanyak pada kelompok usia pediatric. Angka
kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa
Barat. Di Negara Asia dilaporkan angka kejadiannya lebih tinggi meningkat menjadi 10%
- 15%. Kebanyakan kasus pada usia 6 bulan hingga 3 tahun,dengan Peak Incidence 18 bulan.

5.4. Klasifikasi
Menurut Livingstone (1970), membagi kejang demam menjadi dua :
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai
berikut :
a. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan - 4 tahun
b. Berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
c. Bersifat umum
d. Timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali

2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut :
a. Kejang kompleks ditandai dengan kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
b. Fokal atau multiple ( lebih dari 1 kali dalam 24 jam)
c. Anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang
dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.

Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai
dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.
a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis
kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di
bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi
selaput otak atau kernikterus
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan
multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik,
terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi
besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat
anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro.
Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran
EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.

5.5. Patofisiologi
Peningkatan suhu sebesar 1 derajat Fahrenheit akan meningkatkan metabolisme basal
sekitar 7%. Rasio sirkulasi serebral terhadap sirkulasi tubuh seluruhnya jauh lebih tinggi pada
anak dibandingkan pada dewasa.
Pada orang dewasa sekitar 18% dari sirkulasi total tubuh didistribusikan ke otak. Pada anak
3 tahun, angka ini jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 65%. Pada anak yang lebih muda mungkin
lebih tinggi lagi. Bila suhu meningkat beberapa, aliran darah harus pula ditingkatkan untuk
menjaga agar pasokan oksigen dan glukosa ke otak cukup. Bila peningkatan aliran darah tidak
mencukupi, maka terdapat anoksia relatif yang mungkin memicu kejang.
Dalam keadaan normal, membran sel neuron lebih permeable terhadap ion Kalium (K+)
dibandingkan terhadap ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar
sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Oleh karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam
dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membrane sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan channel Na+ dan K+ di
permukaan sel.
Pada keadaan anoksia relatif, kejang dapat terjadi akibat adanya perubahan keseimbangan
dari membran sel neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Na+ dan K+ yang
menyebabkan depolarisasi sel neuron, lalu terbentuklah potensial aksi dalam bentuk arus listrik
yang diteruskan sampai ke otak sehingga akhirnya menimbulkan kejang.
Kejang pada umumnya akan berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak
memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik / menit kemudian anak akan
terbangun dan tersadar kembali tanpa defisit neurologis. KD simpleks umumnya tidak berbahaya
dan tidak menimbulkan gejala sisa. Sedangkan kejang yang berlangsung lama dapat
mengakibatkan kerusakan permanen pada otak.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel otak dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, sehingga terjadi lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik yang cukup besar dapat meluas ke seluruh sel / membran sel di
dekatnya dengan bantuan neurotransmiter, sehingga terjadi kejang. Kejang tersebut kebanyakan
terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan olehadanya
infeksi dari luar susunan saraf pusat. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung > 15 menit sangat
berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:


a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:


a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/immatur.
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan
permiabilitas membran sel.
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan
merusak neuron.
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen
dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.

5.6. Manifestasi Klinis


Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih
hal berikut ini :
1) Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tanda atau gejala
otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
2) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan
ajtuh dari udara, parestesia.
3) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
4) Kejang tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
b. Parsial kompleks
1) Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial
simpleks
2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap – ngecapkan
bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang pada tangan dan
gerakan tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku

2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )


a. Kejang absens
1) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
2) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
3) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
1) Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara
mendadak.
2) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan
keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
3) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
4) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
1) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot
ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
2) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
1) Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata
turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan

5.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


5.7.1. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran sebelum dan sesudah kejang , lama kejang
b. Suhu sebelum / saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval kejang, keadaan anak pasca
kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat ( gejala infeksi saluran napas
akut / ISPA, infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut (OMA) dll,
c. Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga,
d. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)
e. Singkirkan penyebab kejang yang lain ( misalkan diare, muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemik.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital terutama suhu
b. Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah
atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
c. Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas,
kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya
kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
d. Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan
adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan
sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari
luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena
kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
e. Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin
disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
f. Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan
rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina
terlihat pada sindom hiperviskositas.
g. Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau
kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
h. Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising
jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
i. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA,
GE)
j. Pemeriksaan refleks patologis
k. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium6
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaa laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Pungsi lumbal 6,8
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk
menyingkirkan menigitis terutama pada pasien kejang demam pertama. Sangat dianjurkan
pada anak berusia di bawah 12 bulan, dianjurkan pada anak usia 12 - 18 bulan, dan
dipertimbangkan pada anak di atas 18 bulan yang dicurigai menderita meningitis
1. Bayi < 12 bulan: diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan: dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda menigitis

c. CT Scan atau MRI 6,8


Jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya diindikasikan pada keadaan:
1. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.
2. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik).
3. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang,
fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak VI, edema papil)

d. EEG (Electro Encephalography)


EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidak normalan gelombang
dan dipertimbangkan pada kejang demam kompleks. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan
untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit
neurologis, EEG ini tidak dapat memprediksi berulangnya kejang tau memperkirakan
kemungkinan kejadian epilepsi pasien kejang demam.
5.7.2. Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan apakah
penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak
biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain. Oleh
sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.

Tabel 2. Diagnosa Banding

No Kriteri Banding Kejang Epilepsi Meningitis


Demam Ensefalitis
1. Demam Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu
demam dengan demam gejalanya demam
2. Kelainan Otak (-) (+) (+)
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)

5.8. Tatalaksana

Penanganan penderita meningitis meliputi:


A. Farmakologis:
a. Obat anti infeksi:
1. Meningitis tuberkulosa:
a. Isoniazid 10-20 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2 dosis (maksimal 500
mg/hari) selama 1½ tahun.
b. Rifampicin 10-15 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal selama 1 tahun.
c. Streptomycin sulphate 20-40 mg/KgBB/hari IM dosis tunggal atau dibagi dalam
2 dosis selama 3 bulan.
2. Meningitis bakterial, umur <2 bulan :
a. Cephalosporin Generasi ke 3.
b. Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV dibagi dalam 4-6
kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4
dosis.
3. Meningitis bakterial, umur >2 bulan:
a. Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV dibagi dalam 4-6
kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4
dosis.
b. Sefalosporin Generasi ke 3.
c. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan
0,5 mg/KgBB IV dibagi dalam 3 dosis, selama 3 hari. Diberikan 30 menit
sebelum pemberian antibiotika.

b. Pengobatan simptomatis:
4. Menghentikan kejang
a. Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis REKTAL
SUPPOSITORIA, kemudian dilanjutkan dengan,
b. Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau,
c. Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis.
5. Menurunkan panas
a. Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10
mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari.
b. Kompres air hangat/biasa.

c. Pengobatan suportif
a. Cairan intravena
b. Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.

B. Perawatan:
1. Pada waktu kejang:
a. Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
b. Hisap lendir
c. Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
d. Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
2. Bila penderita tidak sadar lama:
a. Beri makanan melalui sonde
b. Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita
sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
c. Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika
3. Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
4. Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
5. Pemantauan ketat:
a. Tekanan darah
b. Pernafasan
c. Nadi
d. Produksi air kemih
e. Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
C. Fisioterapi dan rehabilitasi

5.9. Pencegahan
a. Pencegahan berkala (intermiten)
untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan
antipiretika pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam
b. Pencegahan kontinu
untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15-40 mg/KgBB/hari PO dibagi
dalam 2-3 dosis

5.10. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, perjalanan penyakitnya baik dan
tidak menimbulkan kematian. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan
sering tidak menimbulkan gejala sisa, akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga
menimbulkan hipoksia pada jaringan SSP, dapat menyebabkan adanya gejala sisa dikemudian
hari. Dan apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
A. Kejang demam berulang (rekurensi). Faktor resiko kejang demam berulang:
a. Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam pada keluarga
c. Riwayat adanya demam yang sering
d. kejang pertama adalah CPS
e. kejang demam terjadi segera setelah mulai demam/saat suhu sudah relatif normal
B. Epilepsi
C. Kelainan motorik
D. Gangguan mental dan belajar.

LI.6. Memahami dan Menjelaskan Rukun Umrah


Haji dan umrah memang memiliki beberapa kesamaan yaitu sama sama mengunjungi Baitullah
untuk beribadah kepada Allah. Namun haji dan umroh memiliki perbedaan mendasar yang perlu
diketahui setiap umat sedari dini. Berikut ini adalah perbedaan-perbedaan antara haji dengan
umroh:

1. Perbedaan Ibadah Haji dan Umrah dari Segi Waktu Pelaksanaan


Haji dan umrah adalah ibadah yang, menurut kaca mata orang awam Indonesia, sama; “pergi
ke Mekkah”. Namun, sejatinya keduanya memiliki perbedaan penting. Haji, sering disebut
sebagai haji besar, hanya sah \ bila dilaksanakan setahun sekali pada musim haji/bulan haji
yakni 9-13 zulhijjah. Sedangkan umrah, kapanpun anda ingin pergi beribadah umrah maka
itu bisa dan sah dilaksanakan. Artinya, Ibadah umrah dapat ditunaikan setiap waktu
sepanjang tahun.
2. Perbedaan Ibadah Haji dan Umrah dari Segi Tata Cara Pelaksanaan (Manasik)
Dalam prakteknya, orang yang menjalankan urutan-urutan ibadah haji berarti ia sudah
melakukan praktek umrah. Karena umrah ‘hanya’ terdiri: niat, thawaf dan sa’i, memotong
rambut/tahallul . Sedangkan haji, meliputi semua tata cara umrah ditambah dengan (dan
inilah perbedaan mendasarnya) wuquf di ‘Arafah, menginap di Muzdalifah dan di Mina,
serta melempar jumroh.
2. Perbedaan Ibadah Haji dan Umrah dari Segi Hukum
Status “WAJIB” telah menjadi ketetapan hukum haji. Di kalangan ulama’ tidak ada
perbedaan dan perselisihan dalam hal wajibnya menuaikan ibadah haji bagi orang yang
mampu. Sedangkan mengenai wajibnya umrah (bagi yang mampu melaksanakannya), para
ulama berbeda pendapat; sebagian mengatakan wajib, dan sebagian yang lain mengatakan
tidak wajib.

Anda mungkin juga menyukai