Abstrak
1. Pendahuluan
Epilepsi adalah kondisi neurologi dengan komorbiditas psikiatrik dan
sistemik. Bukti terbaru menunjukkan bahwa gangguan autoimun sistemik sering
komorbid dengan epilepsi. Studi meta-analisis melaporkan peningkatan hampir 3
kali lipat risiko epilepsi (OR: 2.66, CI: 1.88-3.76) pada orang dengan gangguan
tersebut. Gejala akut dengan kejang tanpa pencetus telah dilaporkan pada orang
dengan gangguan autoimun. Kebanyakan kejang dilaporkan adalah kejang atau
fokal. Mekanisme yang mendasari hubungan yang mungkin antara gangguan
autoimun dan kejang masih belum jelas. Semua alasan diajukan untuk
menjelaskan hubungan ini termasuk mempertimbangkan mekanisme sebab-akibat
atau faktor risiko umum seperti etiologi, lingkungan sebagai pemicu, atau
predisposisi genetik yang memicu kondisi ini. Kejadian tidak terduga dapat
dikecualikan pada pasien dnegan epilepsi dan penyakit komorbid yang dapat
mengakibatkan bias. Hal ini dapat berefek pada studi kohort di rumah sakit namun
1
juga berhubungan pada populasi umum. Oleh karena itu asosiasi artefaktual tidak
mungkin menjelaskan gambaran lengkap.
1.1 Disfungsi Sistem Kekebalan Tubuh sebagai Mekanisme Kasualitas pada Epilepsi
Sitokin adalah kelompok protein kecil dengan peran utama dalam
menghantarkan sinyal sel dalam sistem kekebalan tubuh termasuk Sistem Saraf
Pusat (SSP) dimana mereka dapat memberi efek inflamasi atau anti-inflamasi.
Interferon (IFN) ∝, 𝛽, dan 𝛾, tumor necrosis factor (TNF) ∝, dan high mobility
group box (HMGB) 1 adalah contoh-contoh sitokin dengan efek pro-inflamasi,
sementara fibroblast growth factor (FGF), interleukin (IL)1ra dan IL10 adalah
mediator anti-inflamasi. Sitokin pro-inflamasi memodulasi aktivitas neuronal
dengan menginduksi keluarnya molekul neuroaktif seperti nitrit oksida dan
prostaglandin, neurotransmitter dan neurotrophin atau dengan mengaktivasi
reseptor mereka. Sebuah studi imunohistokimia pada jaringan otak yang direseksi
pada orang dengan epilepsi di lobus temporal menunjukkan peningkatan level
IL1 𝛽 dibandingkan dengan kelompok kontrol. ini juga menunjukkan bahwa
orang dengan berbagai sindrom epilepsi termasuk epilepsi pada lobus temporal,
displasia kortikal fokus, tuberous sklerosis, west syndrome, dan kejang demam
memiliki level sitokin pro-inflamasi yang lebih tinggi dibanding dengan kelompok
kontrol. Efekivitas dari agen anti-inflamasi dalam pengobatan sindrom anak
tertentu (kejang infantil dan status epileptikus listrik dalam tidur) juga
mneyediakan bukti untuk peran di inflamasi pada penyebab epilepsi. Hal ini
berhubungan klinis dengan pengamatan bahwa stres dapat bertindak sebagai
pemicu kejang. Tingginya kadar kortisol tampaknya berhubungan erat dengan
kejadian pelepasan epileptiform pada pasien dengan kejang stres-sensitif. Dan
berdampak negatif pada konektivitas fungsional.
Mekanisme penyebab lain diduga berpotensi menjelaskan kaitan peran
antibodi dengan kejadian ensefalitis. Epilepsi Autoimun (AE) memicu ensefalitis
disebabkan oleh auto antibodi terhadap proteins CNS dnegan kejang sebagai salah
satu gejala inti. Antigen neuronal dapat intraseluler atau ekstraseluler. Antibodi
tehadap protein intraseluler dapat dihasilkan oleh respon imun terhadap antigen
tumor, termasuk protein CNS. Antibodi untuk neuronal ekstraseluler (atau glial)
permukaan antigen seperti N-metil-daspartate (NMDAR) dan reseptor glutamat
lainnya, leucine-rich glutamate inactivated 1(LGI 1), contactin-associated protein
2
like (CASPR2), a-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA), dipeptidyl-
peptidase-like protein 6 (DPPX), dan reseptor gamma-amino butyric acid
(GABA), dianggap langsung sebagai patogen pada pasien AE. Orang dengan
antibodi ini sering membaik dengan imunoterapi. Hal ini kontras dengan respon
variabel untuk imunoterapi pada mereka dengan AE dan asam glutamat
dekarboksilase antibodi intraseluler (GAD). Singkatnya, dua hubungan yang
mungkin antara gangguan autoimun dengan pertimbangan epilepsi membutuhkan
(1): aktivasi kekebalan sistemik, termasuk sitokin pro-inflamasi, yang dapat
menurunkan ambang kejang dan memicu kejang pada beberapa faktor yang
bertepatan (2), antibodi penyebab ensefalitis.
2. Metode
Sebuah pencarian penuh PubMed dan GOOGLE SCHOLAR hingga Mei 2018
identifikasi
setiap laporan di mana prevalensi kejang pada gangguan autoimun
dan mekanisme yang mungkin
diperiksa. Pencarian dan revisi secara
independen dilakukan oleh dua penulis
(MA dan MS). Hanya artikel dalam
bahasa Inggris ditinjau. Cari item yang termasuk “kejang”, “epilep*”, “gangguan
autoimun”,
“lupuseritematosussistemik”,“tipe1diabetesmellitus”,“myastheniagravis”,“Penyab
3
keitrbasispopulasiyangbesarmenggunakandatabaseadministrasimenyarankanbahw
arisikoceliac ”,“ radang sendi ”,“ Hashimoto ' s encephalopathy ”,“ psorias ”,“
multiple sclerosis ”,“ neuromyelitis optica ”, dan “ pemfigoid bulosa ”. Setelah
identifikasi setiap artikel yang relevan, daftar referensi yang ditinjau untuk
referensi lebih lanjut. Gray literature tidak dicari.
4
3.1 Autoantibodi pada SLE
Sejumlah antibodi telah diidentifikasi pada SLE dan beberapa telah
menyarankan penanda spesifik NPSLE. Sebuah meta-analisis identifikasi terbatu
mengidentifikasikan anti-NDMA NR2A (OR: 9.5). Risiko NPSLE bahkan lebih
tinggi jika antibodi ini ditemukan di cairan serebrospinal (OR: 2.1), lupus
antikoagulan (OR: 1.9). dan anti-kardiolipin antibodi (OR: 1.6). penelitian kohort
dengan ukuran kecil membahas hubungan antara antibodi dengan penyakit kejang
pada SLE dan menyarankan bahwa anti-kardiolipin (aCL), APL dan anti Sm
antibodi mungkin meningkatkan risiko kejang, sebaliknya adanya anti-La antibodi
mungkin menurunkannya. Studi berskala besar sudah menjamin hal ini dan
mengkonfirmasi patomekanisme pasti. Sebagai contoh, APL mungkin berperan
dalam vaskulopati oklusif di NPSLE tetapi mungkin juga mengerahkan langsung
efek modulatori ke otak.
5
Peran GAD dalam DMT1 dan epilepsi belum speenuhnya dipahami karena belum
diketahui bagaimana antibodi GAD dapat menyebabkan disfungsi otak. Tempat
utama ekspresi GAD adalah di cairan serebrospinal (CSF). GAD adalah enzim
intraseluler. GAD-antibodi tidak dapat mengakses molekul target dari CSF atau
serum. Telah dilalilkan, bagaimanapun, bahwa pencegahan sintesis GABA di
saraf terminal, pengurangan GABA eksositosis dan mengikat reseptor GABA
adalah mekanisme yang memungkinkan melalui anti-GAD-antibodi dapat
meningkatkan kerentanan kejang. Antibodi GAD sangat umum pada DMT1 dan
tidak semua pasien dengan antibodi GAD berisiko menjadi epilepsi. Antibodi
GAD ditemukan sekitar 85% pada orang yang baru terdiagnosis DMT1 dan
sekitar sepertiga pada mereka dengan durasi lebih dari 5 tahun. Gambaran ini
melebihi tingkat prevalensi epilepsi pada DMT1. Kadar antibodi mungkin penting
jika kadar GAD dihubungkan dengan epilepsi. Seri kasus pada DMT1 juga
melaporkan hubungan antara pola GAD epitope dan terjadinya epilepsi. Sebuah
studi kasus kontrol terbaru mengindikasikan bahwa DMT1 lebih mungkin terjadi
pada orang dengan epilepsi yang anti-GAD positif dibandingkan dengan mereka
yang negatif.
6
rumah sakit berbasis studi populasi mengindikasikan bahwa PC dikaitkan dengan
peningkatan risiko epilepsi dengan OR mulai 1,4-4,5. Peningkatan risiko epilepsi
tidak dikonfirmasi dalam studi berbasis rumah sakit.
Neurotoksisitas yang disebabkan oleh gluten dan defisiensi faktor-faktor
neuroprotektif seperti asam folat dan vitamin B12 adalah dua kemungkinkan
etiologi untuk terjadinya kejang. Terjadinya penyakit celiac dan epilepsi dan
kalsifikasi terutama pada lobus oksipital adalah kondisi langka yang dikenal
sebagai sindrom CEC. Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah anak-anak di
wilayah Mediterania dengan epilepsi di lobus oksipital. Sedikit yang belum
diketahui tentang karakteristik epilepsi dari mereka menunjukkan PC dan epilepsi
tanpa kalsifikasi. Beberapa survei menyarankan bahwa hasil skrining untuk PC
subklinis tertinggi pada mereka dengan epilepsi lobus oksipital. Satu studi
menunjukkan bahwa antibodi anti-gliadin bisa menimbulkan reaksi silang dengan
neuronal fosfoprotein sistolik yang penting, sinapsin, yang mana berhubungan
dengan epilepsi. Dalam studi populasi terbaru mengidentifikasikan bahwa atrofi
vili-vili lebih parah pada PC yang berhubungan dengan risiko berkembangnya
penyakit menjadi epilepsi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan
mekanisme mengapa atrofi melindungi terhadap epilepsi.
7
8. Ensefalopati Hashimoto
EH adalah ensefalitis autoimun langka terkait dengan tiroiditis dan entah
bagaimana kontroversial. Hal ini ditandai dengan akut-subakut timbulnya
manifestasi neuropsikiatri dengan peningkatan level anti-thyroid antibodies
(ATA) termasuk anti-TPO, anti-TG, dan kadang anti-TSG. Antibodi-antibodi
ini tidak spesifik dan umum terlihat pada orang tanpa gejala neuropsikiatrik.
Syarat “steroid ensefalopati responsif terkait dengan tiroiditis autoimun”
(Steroid Responsive Encephalopathy associated with Autoimmune Thyroiditis/
SREAT) telah diusulkan untuk menyertakan respon pengobatan sebagai
kriteria tambahan. Kejang adalah presentasi paling sering terjadi sampai dua
pertiga individu. Secara keseluruhan, patogenesis yang tepat dari HE tidak
jelas tetapi respon yang baik terhadap steroid mungkin mendukung peran dari
sistem kekebalan tubuh.
9. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit kekebalan tubuh yang berkarakteristik dengan
bercak kulit bersisik. Hubungan antara psoriasis dan epilepsi pertama disarankan
oleh pengobatan anti-kejang diantara orang dengan psoriasis. Sebuah studi
berbasis populasi terbaru melaporkan kemungkinan epilepsi 1,9 kali lipat lebih
tinggi diantara orang dengan psoriasis dibandingkan dengan kelompok kontrol.
karakteristik epilepsi belum dipastikan. Sitokin mungkin memainkan peran
penting dalam pengembangan psoriasis tetapi bukti kurang apakah perubahan ini
menyebabkan rentan terhadap epilepsi.
8
tinggi (hingga 7%) telah dilaporkan pada orang yang memakai baclofen intratekal.
Studi menyarankan peningkatan risiko epilepsi pada individu yang lebih muda
dan mereka dengan aktivitias penyakit yang lebih tinggi. Orang dengan epilepsi
aktif dan MS kambuh remisi (Relapsing Remitting MS/ RRMS). Studi
mengatakan terjadi peningkatan risiko epilepsi pada orang yang lebih muda dan
pada mereka dengan aktivitas penyakit yang lebih tinggi. Orang dengan epilepsi
aktif dan RRMS lebih mungkin untuk memiliki MS progresif sekunder
dibandingkan pada mereka dengan RRMS tanpa epilepsi. Terjadinya epilepsi pada
MS tampaknya dikaitkan dengan penipisan korteks terutama pada lobus temporal,
korteks insular, dan cingulate gyrus.
9
12. Implikasi bagi Manajemen Klinis
Rekomendasi spesifik pada manajemen epilepsi pada gangguan autoimun
sistemik masih kurang. Meskipun demikian wajar untuk hati-hati
mempertimbangkan komorbiditas ini ketika memilih obat anti-epilepsi (AED).
Misalnya pada orang dengan penyakit autoimun sistemik berisiko osteoporosis
karena penggunaan glukokortikoid. Yang dapat lebih ditingkatkan dengan AED
tertentu terutama enzim yang menginduksi AED. Pada orang dengan MS, studi
berukuran kecil menunjukkan bahwa penggunaan AED, terutama carbamazepine
dikaitkan dengan peningkatan risiko vertigo, kelelahan, perlambatan kognitif, dan
bahkan kambuh seperti efek samping AED seperti carbamazepine dan fenitoin
mungkin meningkatkan risiko subkutan lupus eritematosus. Beberapa AED
(misalnya asam valporat) cenderung meningkatkan risiko obesitas pada individu
dengan TIDM. Imunoterapi dengan kortikosteroid, imunoglobulin intravena
(IVIg), plasmapheresis, siklofosfamid, dan rituximab telah disarankan untuk
pengobatan AE dan beberapa sindrom epilepsi.
10