Anda di halaman 1dari 10

Kejang Sebagai Manifestasi Klinis pada Gangguan Autoimun Somatik

Amanat M, Thijs RD, Salehi M, Sander JW

Abstrak

Risiko serangan epilepsi tampaknya meningkat di beberapa gangguan


autoimun termasuk lupus eritermatosus sistemik, diabetes tipe 1, myasthenia gravis,
penyakit celiac, rheumatoid arthritis, ensefalopati Hashimoto, psoriasis, sklerosis
multipel, neuromyelitis optica, dan pemfigoid bulosa. Disfungsi kekebalan tubuh
mungkin sebagian bertanggung jawab untuk hubungan ini. Meningkatnya level
sitokin pro-inflamasi, auto antibodi ini terlihat dalam gangguan autoimun dan antibodi
terhadap antigen neuronal yang dapat berkontribusi sebagai etiopatogenesis kejang
dan epilepsi terkait dengan kondisi kekebalan tubuh. Faktor-faktor lain yang tidak
diketahui, efek dari kondisi komorbid yang berbeda dari epilepsi serta faktor-faktor
risiko yang umum dengan faktor-faktor etiologi, pemicu lingkungan, atau predisposisi
genetik yang umum juga dapat menjelaskan kaitannya. Peneliti meninjau gangguan
autoimun yang berbeda yang dapat muncul dengan kejang sebagai komorbid dan
mendiskusikan mekanisme yang mendasari kemungkinan kejadian yang berfokus
pada peran potensial dari disfungsi sistem kekebalan tubuh.

1. Pendahuluan
Epilepsi adalah kondisi neurologi dengan komorbiditas psikiatrik dan
sistemik. Bukti terbaru menunjukkan bahwa gangguan autoimun sistemik sering
komorbid dengan epilepsi. Studi meta-analisis melaporkan peningkatan hampir 3
kali lipat risiko epilepsi (OR: 2.66, CI: 1.88-3.76) pada orang dengan gangguan
tersebut. Gejala akut dengan kejang tanpa pencetus telah dilaporkan pada orang
dengan gangguan autoimun. Kebanyakan kejang dilaporkan adalah kejang atau
fokal. Mekanisme yang mendasari hubungan yang mungkin antara gangguan
autoimun dan kejang masih belum jelas. Semua alasan diajukan untuk
menjelaskan hubungan ini termasuk mempertimbangkan mekanisme sebab-akibat
atau faktor risiko umum seperti etiologi, lingkungan sebagai pemicu, atau
predisposisi genetik yang memicu kondisi ini. Kejadian tidak terduga dapat
dikecualikan pada pasien dnegan epilepsi dan penyakit komorbid yang dapat
mengakibatkan bias. Hal ini dapat berefek pada studi kohort di rumah sakit namun

1
juga berhubungan pada populasi umum. Oleh karena itu asosiasi artefaktual tidak
mungkin menjelaskan gambaran lengkap.

1.1 Disfungsi Sistem Kekebalan Tubuh sebagai Mekanisme Kasualitas pada Epilepsi
Sitokin adalah kelompok protein kecil dengan peran utama dalam
menghantarkan sinyal sel dalam sistem kekebalan tubuh termasuk Sistem Saraf
Pusat (SSP) dimana mereka dapat memberi efek inflamasi atau anti-inflamasi.
Interferon (IFN) ∝, 𝛽, dan 𝛾, tumor necrosis factor (TNF) ∝, dan high mobility
group box (HMGB) 1 adalah contoh-contoh sitokin dengan efek pro-inflamasi,
sementara fibroblast growth factor (FGF), interleukin (IL)1ra dan IL10 adalah
mediator anti-inflamasi. Sitokin pro-inflamasi memodulasi aktivitas neuronal
dengan menginduksi keluarnya molekul neuroaktif seperti nitrit oksida dan
prostaglandin, neurotransmitter dan neurotrophin atau dengan mengaktivasi
reseptor mereka. Sebuah studi imunohistokimia pada jaringan otak yang direseksi
pada orang dengan epilepsi di lobus temporal menunjukkan peningkatan level
IL1 𝛽 dibandingkan dengan kelompok kontrol. ini juga menunjukkan bahwa
orang dengan berbagai sindrom epilepsi termasuk epilepsi pada lobus temporal,
displasia kortikal fokus, tuberous sklerosis, west syndrome, dan kejang demam
memiliki level sitokin pro-inflamasi yang lebih tinggi dibanding dengan kelompok
kontrol. Efekivitas dari agen anti-inflamasi dalam pengobatan sindrom anak
tertentu (kejang infantil dan status epileptikus listrik dalam tidur) juga
mneyediakan bukti untuk peran di inflamasi pada penyebab epilepsi. Hal ini
berhubungan klinis dengan pengamatan bahwa stres dapat bertindak sebagai
pemicu kejang. Tingginya kadar kortisol tampaknya berhubungan erat dengan
kejadian pelepasan epileptiform pada pasien dengan kejang stres-sensitif. Dan
berdampak negatif pada konektivitas fungsional.
Mekanisme penyebab lain diduga berpotensi menjelaskan kaitan peran
antibodi dengan kejadian ensefalitis. Epilepsi Autoimun (AE) memicu ensefalitis
disebabkan oleh auto antibodi terhadap proteins CNS dnegan kejang sebagai salah
satu gejala inti. Antigen neuronal dapat intraseluler atau ekstraseluler. Antibodi
tehadap protein intraseluler dapat dihasilkan oleh respon imun terhadap antigen
tumor, termasuk protein CNS. Antibodi untuk neuronal ekstraseluler (atau glial)
permukaan antigen seperti N-metil-daspartate (NMDAR) dan reseptor glutamat
lainnya, leucine-rich glutamate inactivated 1(LGI 1), contactin-associated protein

2
like (CASPR2), a-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA), dipeptidyl-
peptidase-like protein 6 (DPPX), dan reseptor gamma-amino butyric acid
(GABA), dianggap langsung sebagai patogen pada pasien AE. Orang dengan
antibodi ini sering membaik dengan imunoterapi. Hal ini kontras dengan respon
variabel untuk imunoterapi pada mereka dengan AE dan asam glutamat
dekarboksilase antibodi intraseluler (GAD). Singkatnya, dua hubungan yang
mungkin antara gangguan autoimun dengan pertimbangan epilepsi membutuhkan
(1): aktivasi kekebalan sistemik, termasuk sitokin pro-inflamasi, yang dapat
menurunkan ambang kejang dan memicu kejang pada beberapa faktor yang
bertepatan (2), antibodi penyebab ensefalitis.

1.2 Mekanisme lain


Kemungkinan kejang karena faktor etiologi umum lainnya juga perlu
dipertimbangkan. Contohnya termasuk penyakit kardiovaskular pada orang
dengan lupus eritematosus sistemik (SLE) dan penipisan kortikal pada individu
dengan multiple sclerosis (MS). Faktor risiko timbulnya juga kemungkinan.
Mutasi pada beberapa gen tampaknya berhubungan dengan terjadinya epilepsi dan
diabetes melitus tipe 1 atau SLE. Hal ini juga mungkin bahwa faktor lingkungan
atau pengobatan mungkin memainkan peran. Misalnya, merokok tembakau
meningkatkan risiko berbagai gangguan autoimun dan juga lebih umum pada
epilepsi. Tingginya prevalensi kejang pada orang dengan MS menggunakan
baclofen adalah contoh dari mekanisme yang dihasilkan. Peneliti meninjau di
gangguan autoimun yang mungkin hadir dengan komorbid kejang dan
mendiskusikan mekanisme yang mendasari kejadian yang berfokus pada peran
potensial disfungsi sistem kekebalan tubuh.

2. Metode
Sebuah pencarian penuh PubMed dan GOOGLE SCHOLAR hingga Mei 2018
identifikasi 
setiap laporan di mana prevalensi kejang pada gangguan autoimun
dan mekanisme yang mungkin
 diperiksa. Pencarian dan revisi secara
independen dilakukan oleh dua penulis
(MA dan MS). Hanya artikel dalam
bahasa Inggris ditinjau. Cari item yang termasuk “kejang”, “epilep*”, “gangguan
autoimun”,
“lupuseritematosussistemik”,“tipe1diabetesmellitus”,“myastheniagravis”,“Penyab

3
keitrbasispopulasiyangbesarmenggunakandatabaseadministrasimenyarankanbahw
arisikoceliac ”,“ radang sendi ”,“ Hashimoto ' s encephalopathy ”,“ psorias ”,“
multiple sclerosis ”,“ neuromyelitis optica ”, dan “ pemfigoid bulosa ”. Setelah
identifikasi setiap artikel yang relevan, daftar referensi yang ditinjau untuk
referensi lebih lanjut. Gray literature tidak dicari.

3. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)


SLE merupakan penyakit autoimun multisistem yang memberi efek terutama
pada jaringan ikat. Keterlibatan SSP atau sistem saraf perifer disebut sebagai
neuro-psikiatrik sistemik lupus eritermatosus (NPSLE). Studi meta-analisis
menunjukkan bahwa sakit kepala (28%); diikuti oleh gangguan suasana perasaan
(20%); disfungsi kognitif (20%) dan kejang (10%) adalah gejala neuro-psikiatri
yang paling umum pada SLE.
Berbagai laporan menunjukkan tingginya prevalensi kejang diantara orang
dengan SLE (prevalensi: 1,6%-16%); dan dari studi termasuk kontrol mereka
tampak lebih tinggi dari pada populasi umum. Sebuah studi cross-sectional
terbaru dengan lebih dari 5.000 orang dengan SLE dan lebih dari 25.000 kontrol
ditemukan epilepsi 4,7 kali lebih mungkin dalam kelompok SLE (95% CI: 3.9%-
5.8%). Studi kohort retrospektif juga melaporkan bahwa SLE dikaitkan dengan
5,6 kali lipat peningkatan risiko epilepsi.
Usia muda, riwayat stroke, keturunan Afrika, sejarah psikosis, sejarah ruam
malar, proteinuria, neuropati, dan rendahnya level complement 3 (C3) tampaknya
berhubungan dengan peningkatan risiko kejang. Kejang lebih mungkin terjadi
pada tahun setelah diagnosa SLE. Dan tidak dijelaskan oleh infeksi atau sindrom
antifosfolipid. Kejang menyebabkan prognosis jangka panjang dan peningkatan
risiko kematian dini. Kejang akut mungkin akibat dari kondisi seperti hipertensi
dan posterior ensefalopati reversibel atau efek langsung dari SSP pada SLE.
Pasien dengan SLE tampaknya lebih rentan menderita stroke isemik dibandingkan
pada kelompok kontrol (RR: 2.1). Vaskulopati (lupus cerebritis) memicu cedera
iskemik kortikal dan subkortikal atau emboli dari kondisi komorbiditas di SLE
termasuk penyakit katup jantung, koagulopati, atau sinyal mikroemboli, yang
mungkin menjelaskan peningkatan risiko cedera iskemik. Pada sebuah survei pada
17 orang dewasa dengan SLE dan epilepsi pasca-stroke muncul menjadi penyebab
paling umum (n=8) diikuti oleh sklerosis temporal mesial (n=7).

4
3.1 Autoantibodi pada SLE
Sejumlah antibodi telah diidentifikasi pada SLE dan beberapa telah
menyarankan penanda spesifik NPSLE. Sebuah meta-analisis identifikasi terbatu
mengidentifikasikan anti-NDMA NR2A (OR: 9.5). Risiko NPSLE bahkan lebih
tinggi jika antibodi ini ditemukan di cairan serebrospinal (OR: 2.1), lupus
antikoagulan (OR: 1.9). dan anti-kardiolipin antibodi (OR: 1.6). penelitian kohort
dengan ukuran kecil membahas hubungan antara antibodi dengan penyakit kejang
pada SLE dan menyarankan bahwa anti-kardiolipin (aCL), APL dan anti Sm
antibodi mungkin meningkatkan risiko kejang, sebaliknya adanya anti-La antibodi
mungkin menurunkannya. Studi berskala besar sudah menjamin hal ini dan
mengkonfirmasi patomekanisme pasti. Sebagai contoh, APL mungkin berperan
dalam vaskulopati oklusif di NPSLE tetapi mungkin juga mengerahkan langsung
efek modulatori ke otak.

4. Diabetes Melitus Tipe 1 (DM Tipe 1)


DM tipe 1 adalah kondisi autoimun yang ditandai dengan gangguan sel beta
pankreas. Tiga studi berbasis populasi menggunakan database administratif yang
menyarankan bahwa risiko pengembangan epilepsi umum genetik (Genetic
Generalised Epilepsy/GGE) dan dilaporkan empat kali lipat pengingkatan risiko
untuk dewasa muda dengan GGE. Diabetes melitus tipe 1 tampaknya meningkat
pada pasien dengan cacat intelektual. Pada sebuah studi kohort kecil kasus
refrakter ke pusat epilepsi tersier, hampir semua kasus (96%) mengalami epilepsi
fokal. Dalam kebanyakan kasus (80%) diabetes melitus tipe 1 mendahului onset
kejang. Studi berbasis klinis diperlukan untuk memperjelas fenotip klinis epilepsi
pada diabetes melitus tipe 1. Hipoglikemia yang diinduksi kejang tampak langka.
Namun demikian beberapa gangguan tidak dapat dihindari karena tidak diketahui
bagaimana diagnosis epilepsi ditegakkan pada penelitian dengan studi berbasis
data administrasi. Yang paling penting diketahui apakah ictal kadar glukosa
diperlukan untuk menyingkirkan kejang provokasi. Setelah diprovokasi atau akut
kejang simtomatik. Antibodi neuronal dapat dianggap dengan gambaran tingginya
prevalensi anti-GAD-antibodi pada orang dengan diabetes tipe 1. Anti-GAD-
antibodi telah dihubungkan dengan banyak presentasi klinis termasuk stiff person
syndrome, ensefalitis autoimun, cerebellar ataxia, dan epilepsi lobus temporal.

5
Peran GAD dalam DMT1 dan epilepsi belum speenuhnya dipahami karena belum
diketahui bagaimana antibodi GAD dapat menyebabkan disfungsi otak. Tempat
utama ekspresi GAD adalah di cairan serebrospinal (CSF). GAD adalah enzim
intraseluler. GAD-antibodi tidak dapat mengakses molekul target dari CSF atau
serum. Telah dilalilkan, bagaimanapun, bahwa pencegahan sintesis GABA di
saraf terminal, pengurangan GABA eksositosis dan mengikat reseptor GABA
adalah mekanisme yang memungkinkan melalui anti-GAD-antibodi dapat
meningkatkan kerentanan kejang. Antibodi GAD sangat umum pada DMT1 dan
tidak semua pasien dengan antibodi GAD berisiko menjadi epilepsi. Antibodi
GAD ditemukan sekitar 85% pada orang yang baru terdiagnosis DMT1 dan
sekitar sepertiga pada mereka dengan durasi lebih dari 5 tahun. Gambaran ini
melebihi tingkat prevalensi epilepsi pada DMT1. Kadar antibodi mungkin penting
jika kadar GAD dihubungkan dengan epilepsi. Seri kasus pada DMT1 juga
melaporkan hubungan antara pola GAD epitope dan terjadinya epilepsi. Sebuah
studi kasus kontrol terbaru mengindikasikan bahwa DMT1 lebih mungkin terjadi
pada orang dengan epilepsi yang anti-GAD positif dibandingkan dengan mereka
yang negatif.

5. Myastenia Gravis (MG)


MG ditandai dengan kelemahan otot yang disebabkan oleh antibodi terhadap
protein dari sambungan neuromuskuler. Hubungan antara MG dan terjadinya
kejang masih kontroversial. Sebuah studi kohort melaporkan bahwa sekitar 3%
dari orang dengan MG memiliki epilepsi. Satu studi berbasis populasi
menunjukan bahwa risiko epilepsi pada MG lebih besar 4,9 kali dari yang
diharapkan. MG dihubungkan dengan tingginya sitokin tapi kurangnya bukti
apakah perubahan ini menyebabkan rentan terhadap epilepsi. Atau hipoksia
karena kegagalan napas menyebabkan disfungsi atau lesi pada sistem saraf pusat
(CNS) berperan. Studi klinis diperlukan untuk mengkonfirmasi hubungan antara
MG dengan epilepsi.

6. Penyakit Celiac (PC)


Penyakit celiac adalah penyakit kekebalan-mediasi yang berdampak pada vili
intestinal karena kebanyakan subyek dengan PC membawa alel HLA-DQ2. Gejala
neurologis telah dilaporkan pada sekitar 10% dari orang dengan PC. Kebanyakan

6
rumah sakit berbasis studi populasi mengindikasikan bahwa PC dikaitkan dengan
peningkatan risiko epilepsi dengan OR mulai 1,4-4,5. Peningkatan risiko epilepsi
tidak dikonfirmasi dalam studi berbasis rumah sakit.
Neurotoksisitas yang disebabkan oleh gluten dan defisiensi faktor-faktor
neuroprotektif seperti asam folat dan vitamin B12 adalah dua kemungkinkan
etiologi untuk terjadinya kejang. Terjadinya penyakit celiac dan epilepsi dan
kalsifikasi terutama pada lobus oksipital adalah kondisi langka yang dikenal
sebagai sindrom CEC. Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah anak-anak di
wilayah Mediterania dengan epilepsi di lobus oksipital. Sedikit yang belum
diketahui tentang karakteristik epilepsi dari mereka menunjukkan PC dan epilepsi
tanpa kalsifikasi. Beberapa survei menyarankan bahwa hasil skrining untuk PC
subklinis tertinggi pada mereka dengan epilepsi lobus oksipital. Satu studi
menunjukkan bahwa antibodi anti-gliadin bisa menimbulkan reaksi silang dengan
neuronal fosfoprotein sistolik yang penting, sinapsin, yang mana berhubungan
dengan epilepsi. Dalam studi populasi terbaru mengidentifikasikan bahwa atrofi
vili-vili lebih parah pada PC yang berhubungan dengan risiko berkembangnya
penyakit menjadi epilepsi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan
mekanisme mengapa atrofi melindungi terhadap epilepsi.

7. Rheumatoid Atritis (RA)


RA adalah bentuk paling umum pada atritis autoimun yang bermanifestasi
sebagai penyakit inflamasi kronis dengan keterlibatan sendi dan membran
sinovial. Dua penelitian berbasis populasi melaporkan peningkatan risiko epilepsi
pada orang dengan RA dibandingkan pada kelompok kontrol. hubungan antara
RA dan epilepsi dapat dijelaskan dengan vaskulitis, infeksi SSP, dan penggunaan
methotrexat dan sulfasalazin. Tingkat sitokin meningkat dapat memberikan
penjelasan alternatif. Studi berbasis populasi terbaru melaporkan risiko lebih
tinggi epilepsi anak usia dini atau terlambat melalui paparan Ibu untuk RA tetapi
eksposur tidak paternal. Peningkatan risiko epilepsi pada anak dari Ibu dengan RA
klinis lebih tinggi dibandingkan pada mereka dengan RA praklinis Ibu (90% vs
30%). Temuan ini berhubungan dengan transmisi janin sitokin dari Ibu ke anak
namun belum secara resmi dinilai.

7
8. Ensefalopati Hashimoto
EH adalah ensefalitis autoimun langka terkait dengan tiroiditis dan entah
bagaimana kontroversial. Hal ini ditandai dengan akut-subakut timbulnya
manifestasi neuropsikiatri dengan peningkatan level anti-thyroid antibodies
(ATA) termasuk anti-TPO, anti-TG, dan kadang anti-TSG. Antibodi-antibodi
ini tidak spesifik dan umum terlihat pada orang tanpa gejala neuropsikiatrik.
Syarat “steroid ensefalopati responsif terkait dengan tiroiditis autoimun”
(Steroid Responsive Encephalopathy associated with Autoimmune Thyroiditis/
SREAT) telah diusulkan untuk menyertakan respon pengobatan sebagai
kriteria tambahan. Kejang adalah presentasi paling sering terjadi sampai dua
pertiga individu. Secara keseluruhan, patogenesis yang tepat dari HE tidak
jelas tetapi respon yang baik terhadap steroid mungkin mendukung peran dari
sistem kekebalan tubuh.

9. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit kekebalan tubuh yang berkarakteristik dengan
bercak kulit bersisik. Hubungan antara psoriasis dan epilepsi pertama disarankan
oleh pengobatan anti-kejang diantara orang dengan psoriasis. Sebuah studi
berbasis populasi terbaru melaporkan kemungkinan epilepsi 1,9 kali lipat lebih
tinggi diantara orang dengan psoriasis dibandingkan dengan kelompok kontrol.
karakteristik epilepsi belum dipastikan. Sitokin mungkin memainkan peran
penting dalam pengembangan psoriasis tetapi bukti kurang apakah perubahan ini
menyebabkan rentan terhadap epilepsi.

10. Multipel Sclerosis (MS)


MS melibatkan penghancuran myelin kronis dan kekebalan-dimediasi dengan
dengan degenerasi aksonal dan astrogliosis. Terjadinya kejang pada orang dengan
MS telah dilaporkan sejak awal definisi MS. Sampai dengan 2% kasus
berkembang menjadi epilepsi dalam 10 tahun setelah terdiagnosis MS. Hubungan
antara MS dengan epilepsi tampaknya masuk akal sebagai bukti terakumulasi
bahwa MS berafek pada grey matter bahkan dalam tahap awal penyakit ini. Bukti
juga menunjukkan ekspresi banyak sitokin di lesi MS yang mungkin memicu
kejang. Sekitar 2-3% dari orang dengan MS memiliki epilepsi. Prevalensi lebih

8
tinggi (hingga 7%) telah dilaporkan pada orang yang memakai baclofen intratekal.
Studi menyarankan peningkatan risiko epilepsi pada individu yang lebih muda
dan mereka dengan aktivitias penyakit yang lebih tinggi. Orang dengan epilepsi
aktif dan MS kambuh remisi (Relapsing Remitting MS/ RRMS). Studi
mengatakan terjadi peningkatan risiko epilepsi pada orang yang lebih muda dan
pada mereka dengan aktivitas penyakit yang lebih tinggi. Orang dengan epilepsi
aktif dan RRMS lebih mungkin untuk memiliki MS progresif sekunder
dibandingkan pada mereka dengan RRMS tanpa epilepsi. Terjadinya epilepsi pada
MS tampaknya dikaitkan dengan penipisan korteks terutama pada lobus temporal,
korteks insular, dan cingulate gyrus.

10.1 Neuromyelitis Optica (NMO)


NMO adalah penyakit autoimun SSP yang berbagi banyak gejala dengan MS.
Anti-aquaporin 4 (anti-AQP4) antobodi tampaknya berhubungan dengan kondisi
ini. Sebuah studi skala kecil mengindikasikan bahwa epilepsi mungkin lebih
umum pada NMO dibandingkan pada MS. Kehadiran epilepsi telah dikaitkan
dengan prognosis yang lebih buruk pada kedua penyakit ini. Seperti di MS, lesi
otak dan kemungkinan meningkatnya kadar sitokin menjelaskan peningkatan
risiko epilepsi. Penelitian pada hewan mengindikasikan bahwa disfungsi AQP-4
menurunkan ambang kejang. Autoantibodi anti saraf lainnya mungkin juga
berkontribusi seperti yang dilaporkan dari seorang individu dengan NMO dengan
status epileptikus dan anti-NMDA reseptor antibodi.

11. Pemfigoid Bullosa (BP)


BP merupakan penyakit imun pada kulit yang melepuh yang mungkin
disebabkan oleh autoantibodi terhadap protein hemidesmosomal BP antigen
(BPAG 1) (target: BP230) dan BPAG2 (target: BP180 atau jenis XVII kolagen).
Penyakit neurologi yang berbeda, termasuk demensia, stroke, penyakit parkinson
dan MS telah dilaporkan sebagai komorbid pada BP. Prevalensi tinggi pada
epilepsi juga dilaporkan di beberapa studi. BPAG 1 memiliki isoform di kulit dan
SSP. Imunologi reaksi silang dari isoform tersebut telah disarankan untuk
menjelaskan kondisi neurologis komorbiditas.

9
12. Implikasi bagi Manajemen Klinis
Rekomendasi spesifik pada manajemen epilepsi pada gangguan autoimun
sistemik masih kurang. Meskipun demikian wajar untuk hati-hati
mempertimbangkan komorbiditas ini ketika memilih obat anti-epilepsi (AED).
Misalnya pada orang dengan penyakit autoimun sistemik berisiko osteoporosis
karena penggunaan glukokortikoid. Yang dapat lebih ditingkatkan dengan AED
tertentu terutama enzim yang menginduksi AED. Pada orang dengan MS, studi
berukuran kecil menunjukkan bahwa penggunaan AED, terutama carbamazepine
dikaitkan dengan peningkatan risiko vertigo, kelelahan, perlambatan kognitif, dan
bahkan kambuh seperti efek samping AED seperti carbamazepine dan fenitoin
mungkin meningkatkan risiko subkutan lupus eritematosus. Beberapa AED
(misalnya asam valporat) cenderung meningkatkan risiko obesitas pada individu
dengan TIDM. Imunoterapi dengan kortikosteroid, imunoglobulin intravena
(IVIg), plasmapheresis, siklofosfamid, dan rituximab telah disarankan untuk
pengobatan AE dan beberapa sindrom epilepsi.

13. Studi yang Akan Datang


Komorbiditas pada epilepsi terus berada di bawah pengakuan dan sering
dibawah kelola. Skrining sistemik untuk gangguan autoimun dan autoantibodi
mungkin bermanfaat terutama jika tidak lain penyebab atau faktor risiko epilepsi
muncul. Sutdi pada penyakit autoimun dan hubungannya dengan tingginya
prevalensi kejang mungkin meingkatkan pemahaman epileptogenesis. Terutama
pada studi longitudinal yang dibutuhkan pemahaman apakah kejang atau penyakit
autoimun yang muncul pertama kali. Sitokin dan autoantibodi yang berbeda
mungkin berefek pada otak dan mencetuskan kejang tapi masih sedikit diketahui
dengan tepat kaskade inflamasi dan bagaimana jalur ini dapat dimodulasi dan
diantaranya. AED telah gagal pada pengobatan orang dengan epilepsi. Mencoba
untuk memahami kenapa epilepsi adalah komorbid dari penyakit autoimun
mungkin dapat membantu menemukan pengobatan terbaru epilepsi. Studi yang
akan datang dibutuhkan untuk mengidentifikasian subgrup yang mungkin
bermanfaat dari imunoterapi atau obat anti-inflamasi.

10

Anda mungkin juga menyukai