Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN SEMENTARA

PRAKTIKUM KLIMATOLOGI DASAR


ACARA V
PENENTUAN POLA TANAM BERDASARKAN KEADAAN IKLIM

Disusun oleh :
1. Amelia Nabila A. (424301)
2. Muhammad Syafiq (424314)
3. Anila Indrianti A. (424342)
4. Muhammad Sailendra (424380)
5. Atina Pramesti (424426)
6. Lintang Candra Nur M. (424433)

Gol/Kel : A4 / 1
Asisten : Yohanna Tania

LABORATORIUM AGROKLIMATOLOGI
DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
ACARA V
PENENTUAN POLA TANAM BERDASARKAN KEADAAN IKLIM
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iklim adalah rata-rata cuaca di suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu
yang lama. Cuaca adalah keadaan atmosfer sesaat di suatu lokasi atau wilayah. Jika
ada suatu tempat yang memiliki iklim yang sama dengan wilayah sekitarnya belum
tentu memiliki cuaca yang sama pula. Hal ini dikarenakan dalam suatu wilayah
terkadang memiliki anasir cuaca yang berbeda. Cuaca dalam suatu tempat
dipengaruhi oleh daerah sekitarnya. Pengaruh iklim terhadap tanaman karena
adanya pengaruh langsung terhadap fotosintesis, respirasi, transpirasi dan proses-
proses metabolisme di dalam sel organ tanaman. Dewasa ini iklim dan cuaca sulit
di tebak sehingga menyulitkan pertimbangan dalam kegitan pertanian. Namun
dengan menghitung dan mengalisis keadaan cuaca dan iklim pada waktu
sebelumnya, dapat diperkirakan kapan suatu usaha pertanian dapat dimulai.
Perkiraan awal musim tanam pada suatu tempat dapat dilakukan dengan menyusun
pola tanam.
Pola tanam merupakan ururtan periode tanam dari satu atau beberapa jenis
tanaman semusim dalam suatu periode waktu tertentu. Pola tanam ini umumnya
dibuat untuk periode 2 tahun berurutan. Penentuan pola tanam yang tepat akan
mempengaruhi keberhasilan panen, terlebih lagi pada usaha pertanian tanpa irigasi,
atau setidaknya akan meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi. Pada
prinsipnya, penentuan pola tanam didasarkan atas ketersediaan lengas tanah untuk
mendukung pertumbuhan tanaman selama periode tumbuhnya. Sebelumnya untuk
menentukan jenis tanam yang akan ditanam, terlebih dahulu harus dilihat
kesesuaian untuk daerah yang bersangkutan, yaitu meliputi kesesuaian iklim dan
tanahnya
Terdapat beberapa pola tanam yang efisien dalam penggunaan lahan, untuk
menata ulang kalender penanaman. Pola tanam sendiri ada tiga macam, yaitu:
monokultur, tumpangsari, dan rotasi tanaman. Ketiga pola tanam tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pola tanam memiliki arti penting dalam
sistem produksi tanaman. Dengan pola tanam ini berarti memanfaatkan dan
memadukan berbagai komponen yang tersedia .Pola tanam di daerah tropis seperti
di Indonesia, biasanya disusun selama 1 tahun dengan memperhatikan curah hujan
(terutama pada daerah/lahan yang sepenuhnya tergantung dari hujan. Oleh karena
itu, pemilihan jenis/varietas yang ditanam pun perlu disesuaikan dengan keadaan
air yang tersedia ataupun curah hujan.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum Acara V yang berjudul “Penentuan Pola
Tanam Berdasarkan Keadaan Iklim” adalah mengetahui manfaat data iklim dalam
menentukan pola tanam di suatu daerah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Sektor pertanian rentan terhadap perubahan iklim karena berpengaruh
terhadap pola tanam, waktu tanam, indeks pertanaman, produksi dan kualitas hasil.
Data menunjukkan bahwa perubahan iklim berupa pemanasan global dapat
menurunkan produksi pertanian antara 5 - 20%. Adanya resiko dampak perubahan
iklim perlu diantisipasi dengan berupaya memanfaatkan iklim sebagai peluang
diversifikasi, peningkatan kualitas produk dan minimalisasi resiko (Rogi, 2017).
Dengan diketahuinya keadaan iklim suatu daerah maka jangka waktu pengguanaan
tanaman dalam setahun pergiliran dapat diatur dengan tepat sehingga dapat
meminimalisir kerugian terhadap hasil panen (Harwitz et. al., 2012).
Pola tanam merupakan usaha penanaman pada sebidang lahan dengan cara
mengatur susunan tata letak serta urutan tanaman semusim selama periode waktu
tertentu termasuk masa pengolahan tanah dan masa tidak ditanami selama periode
tertentu (Hermawati, 2016). Pola tanam pada umumnya dibuat untuk dua tahun
secara berurutan. Sebelum menentukan pola tanam, terlebih dahulu dipilih tanaman
yang cocok untuk ditanam di suatu daerah sesuai iklim dan tanahnya. Berdasarkan
iklim global, wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar tergolong dalam zona
iklim tropika basah dan sisanya masuk zona iklim pegunungan atau tropika masoon
(Lakitan, 1994).
Ada beberapa jenis pola tanam, diantaranya adalah monokultur, tumpang sari,
dan tumpang gilir. Monokultur merupakan pola tanam dengan membudidayakan
hanya satu jenis tanaman dalam satu lahan pertanian selama satu tahun (Hermawati,
2016). Pola tanam tumpangsari merupakan pola tanam jenis polikultur yang sering
digunakan dalam pembudidayaan tanaman. Tumpangsari dapat dilakukan antara
tanaman semusim dengan tanaman semusim yang saling menguntungkan, seperti
antara jagung dan kacang-kacangan (Mancini, 2013). Pola tanam ini digunakan
oleh petani untuk memenfaatkan lingkungan (baik itu unsur hara, air dan sinar
matahari) dengan sebaik-baiknya agar diperoleh produksi maksimal. Hal ini
dikarenakan pada sistem pola tanam tumpang sari, dalam suatu lahan dapat
ditanami lebih dari satu macam tanaman. Oleh karena itu, tumpangsari bertujuan
untuk mendapatkan hasil panen lebih dari satu kali dari satu jenis atau beberapa
jenis tanaman dalam setahun pada lahan yang sama (Saparinto, 2013).
Tumpang gilir merupakan pola tanam yang dilakukan secara beruntun
sepanjang tahun dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain untuk mendapatkan
keuntungan. Pola tanam tumpang gilir dilakukan dengan cara pengaturan waktu
tanam dan waktu panen pada dua tanaman yang berbeda dalam satu lahan.
Pengaturan tersebut berupa tanaman kedua akan ditanam menjelang panen tanaman
di musim pertama (Sudarto et al, 2016). Pola tanam biasanya dirancang pada awal
musim penghujan, yaitu sekitar bulan Oktober-April, alternatif kedua yaitu
November-Mei, alternatif ketiga yaitu Desember-Juni, dan alternatif keempat yaitu
Januari-Juli. Penentuan pola tanam ini harus dilakukan dengan pertimbangan faktor
iklim yang didasarkan pada imbangan antara jumlah presipitasi (curah hujan
dengan peluang 75%) dengan besarnya evapotranspirasi yang terjadi (Radjulaini,
2002).
Analisis frekuensi hujan dapat dilakukan dengan metode analisis berupa
analisis frekuensi interval dan analisis frekuensi berdasarkan curah hujan. Dari
kedua analisis tersebut, analisis yang tidak menggunakan statistik yang rumit untuk
mengukur curah hujan adalah metode penyusunan rangking (Oldeman et al., 1982
cit. Wisnubroto, 1999). Dalam metode ini, penentuan kebutuhan air tanaman (Etc)
dapat diketahui melalui nilai evapotranspirasi acuan (Eto). Nilai Etc didapat dari
perhitungan nilai Eto yang didapat dari Lysimeter rumput dikalikan dengan
koefisien tanaman menurut standar FAO (Etc = Kc. Eto) (Yuliawati et al., 2014).
Evapotranspirasi (ET) adalah komponen penting dari siklus hidrologis dan
dapat mencapai lebih dari 95% dari semua input curah hujan dalam ekosistem
terbatas air. Evapotranspirasi mewakili keterkaitan sentral antara fluks air dan
energi di berbagai ekosistem. Evapotranspirasi terdiri dari dua komponen:
evaporasi (E) dan transpirasi (T). Memisahkan komponen ET dan menilai faktor-
faktor yang mengendalikan partisi tidak hanya meningkatkan pengetahuan kita
tentang anggaran air tetapi juga meningkatkan pemahaman kita tentang mekanisme
dan efisiensi penggunaan air tanaman, yang akan mengurangi ketidakpastian dalam
interpretasi penggandaan siklus air dan karbon / nutrisi (Wang et al., 2014).
Laju evapotranspirasi dari suatu daerah ditentukan oleh dua pengendali atau
kontrol utama. Kontrol yang pertama adalah ketersediaan air pada permukaan
daerah tersebut sedangkan kontrol yang kedua ialah kemampuan atmosfer
mengevapotranspirasikan akan berlangsung dengan laju maksimal untuk
lingkungan tersebut. Namun, pada umumnya banyaknya air pada permukaan
tidaklah selalu tersedia, apalagi tidak terbatas, sehingga evapotranspirasinya
berlangsung dengan laju yang lebih kecil daripada laju jika banyaknya air yang
tersedia tidak terbatas (Tanasijevica et al., 2014).
III. METODOLOGI
Praktikum Klimatologi Dasar Acara V yang berjudul Penentuan Pola Tanam
Berdasarkan Keadaan Iklim dilaksanakan pada hari Kamis, 19 September 2019 di
Laboratorium Agroklimatologi, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bahan yang dibutuhkan dalam praktikum
ini ialah data curah hujan selama 10 tahun, grafik prediksi Eto menurut Blanney-
Criddle, data latitude utara-selatan tiap bulan, data estimasi kelas tiap bulan, data
koefisien tanaman dan fase tumbuh tanaman (tanaman yang diamati : wortel,
seledri, terong, arthicokes, bombay, kacang polong, rumput, selada, rami, dan
kacang tanah). Alat-alat yang diperlukan dalam praktikum ini antara lain: alat tulis,
penggaris, kalkulator scientific, millimeter block, dan kertas mika bening.
Penentuan waktu pola tanam yang tepat dan menentukan jenis tanaman yang sesuai
atau cocok dapat dilakukan dengan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut :
1. Menghitung curah hujan berdasarkan criteria Mohr pada setiap 10 hari atau
1 dasarian. Penghitungan dilakukan dengan cara menjumlah curah hujan
setiap 10 hari pada masing-masing bulan.
2. Membuat urutan atau rangkingisasi data curah hujan dari yang terbesar
hingga terkecil untuk setiap bulan dan setiap dasarian. Hal ini dilakukan
untuk mempermudah pencarian nomor ranking selanjutnya.
3. Menghitung nomor rangking (m) peluang curah hujan 75% (PCH 75%)
dengan menggunakan rumus :
F = 100 m / (n+1)
F = peluang curah hujan yang dikehendaki yakni 75%
m = nomor ranking
n = jumlah tahun
4. Menghitung X CH 75% atau besarnya curah hujan pada peluang 75%
dengan menggunakan interpolasi. Kemudian hasilnya dibuat dalam bentuk
tabel berdasarkan masing-masing dasarian di setiap bulan. Dari data X CH
75% tersebut dibuat histogram selama 2 tahun berurutan pada kertas
millimeter block.
5. Menghitung nilai P dilakukan dengan menggunakan interpolasi dari tabel
latitude atau Mean Daily Percentage (P) of Annual Day Time Hours for
Different Latitudes. Kemudian dibuat dalam bentuk tabel berdasarkan tiap
bulan.
6. Menghitung nilai F dengan menggunakan rumus :
F = P (0,46 T + 8)
T = rerata suhu
= (T max + T min) / 2
7. Menentukan nilai Eto BC dengan cara prediksi atau perkiraan. Acuannya
ialah berdasarkan nilai F dan grafik Prediction of Eto from Blanney-
Criddle.
8. Menghitung nilai Eto BC bulanan dan Eto BC dasarian
Eto BC bulanan = Eto BC harian * jumlah hari bulan yang bersangkutan
Eto BC dasarian = Eto BC bulanan / 3
9. Menghitung nilai Eto P (Penmann) dengan rumus sebagai berikut :
Eto P = -1,133 + 1,525 Eto BC harian
10. Menghitung nilai Eto P bulanan dan dasarian dengan rumus :
Eto P bulanan = Eto P harian * jumlah hari dalam bulan yang bersangkutan
Eto P dasarian = Eto P bulanan / 3
11. Menghitung nilai Eto umum dengan menggunakan rumus :
Eto umum = Jumlah Eto P bulanan / 36
12. Data T max, T min, P, F, Eto BC (harian, bulanan, dasarian), dan Eto P
(harian, bulanan, dasarian) dibuat tabel untuk mempermudah pembacaan
data yang telah dihitung.
13. Membuat grafik fase tumbuh masing-masing tanaman dengan acuan data
fase tumbuh tanaman. Kemudian menghitung Kc tiap tanaman per dasarian
tumbuh dengan cara menghitung luas daerah dibawah grafik.
14. Menghitung nilai Etc umum tiap tanaman setiap dasarian fase tumbuhnya
dengan rumus sebagai berikut :
Etc umum = Kc * Eto umum
15. Nilai Etc umum masing-masing tanaman dibuat tabel berdasarkan dasarian
fase tumbuhnya. Setelah itu nilai Kc tiap tanaman yang didapat dibuat
histogram di atas kertas mika bening. Dimana sumbu Y adalah Etc umum,
dan sumbu X adalah dasariannya.
V. PEMBAHASAN
Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun
waktu tertentu. Tanaman dalam satu areal dapat diatur menurut jenisnya. Ada pola
tanam monokultur, yakni menaman tanaman sejenis pada satu areal tanam. Ada
pola tanam campuran, yakni beragam tanaman ditanam pada satu areal. Ada pula
pola tanam bergilir, yaitu menanam tanaman secara bergilir beberapa jenis tanaman
pada waktu berbeda di areal yang sama. Pola tanam dapat digunakan sebagai dasar
untuk meningkatkan produktivitas lahan. Hanya saja dalam pengelolaannya
diperlukan pemahaman terkait kaidah teoritis dan keterampilan yang baik tentang
semua faktor yang menentukan produktivitas lahan tersebut. Biasanya, pengelolaan
lahan sempit untuk mendapatkan hasil atau pendapatan yang optimal maka
diperlukan pendekatan pertanian terpadu, ramah lingkungan, dan semua hasil
tanaman merupakan produk utama merupakan upaya yang strategis.
Pola tanam adalah gambaran rencana tanam berbagai jenis tanaman yang
akan dibudidayakan dalam suatu lahan beririgasi dalam satu tahun. Faktor yang
mempengaruhi pola tanam:
1. Ketersediaan air dalam satu tahun.
2. Prasarana yang tersedia dalam lahan tersebut.
3. Jenis tanah pada area setempat.
4. Kondisi umum daerah tersebut, misalnya genangan.
5. Kebiasaan dan kemampuan petani setempat.
Penetapan pola tata tanam diperlukan untuk usaha peningkatan produksi
pangan. Pola tata tanam adalah macam tanaman yang diusahakan dalam satu satuan
luas pada satu musim tanam. Sedang pola tanam adalah susunan tanaman yang
diusahakan dalam satu satuan luas pada satu tahun. Pola tata tanam yang berlaku
pada setiap daerah akan berbeda dengan daerah lain, karena karakteristik setiap
daerah juga berbeda. Keuntungan dalam melaksanakan pola tanam menurut
Soetriono dan Suwandari (2016) ialah:
1. Dalam jangka waktu tertentu dapat memberikan keuntungan baik
dalam pengelolaan lahan maupun segi ekonomis budidaya.
2. Penggunaan tenaga kerja lebih efisien, terutama dalam pemeliharaan
tanaman termasuk pemupukan, penyiangan, dan pembumbunan.
3. Hasil dari pola tanam yang telah ditentukan dapat memberikan
produktivitas yang tinggi per kesatuan luas yang sama.
Macam tanaman yang diusahakan dan pengaturan jenis tanaman yang
ditanam pada suatu lahan dalam kurun waktu tertentu adalah sangat penting dalam
menetukan metode irigasi dan untuk mendapatkan kriteria pemerataan lahan.
Penetapan pola tata tanam diperlukan untuk usaha peningkatan produksi pangan.
Pola tata tanam adalah macam tanaman yang diusahakan dalam satu satuan luas
pada satu musim tanam. Sedang pola tanam adalah susunan tanaman yang
diusahakan dalam satu satuan luas pada satu tahun. Pola tata tanam yang berlaku
pada setiap daerah akan berbeda dengan daerah lain, karena karakteristik setiap
daerah juga berbeda. Tujuan pola tata tanam adalah untuk memanfaatkan
persediaan air irigasi seefektif mungkin, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan
baik. Sedangkan tujuan dari penerapan pola tata tanam adalah sebagai berikut:
1. Menghindari ketidakseragaman tanaman.
2. Menetapkan jadwal waktu tanam agar memudahkan dalam usaha
pengelolaan air irigasi.
3. Peningkatan efisiensi irigasi.
4. Peningkatan hasil produksi pertanian.
Pada pengamatan praktikum ini, untuk menentukan jumlah air yang
dibutuhkan guna memenuhi keperluan air irigasi dapat dilakukan dengan langkah-
langkah, yaitu menghitung evapotranspirasi potensial dan analisis kebutuhan air
tanaman. Data-data klimatologi yang diperlukan guna perhitungan evapotranspirasi
potensial adalah suhu rata-rata, kelembaban udara relatif, kecepatan angin dan lama
penyinaran matahari dalam satu hari (Tjasyono, 2004). Berdasarkan data
klimatologi tersebut, maka nilai evapotranspirasi potensial (ETo) dihitung dengan
menggunakan metode Pennman yang dimodifikasi untuk wilayah di Indonesia.
Nilai evapotranspirasi potensial (ETo) dari hasil perhitungan relatif tidak jauh
berbeda antara bulan yang satu dengan bulan yang lain yang berkisar antar 4,2- 6.03
mm/hari. Kebutuhan air konsumtif untuk setiap tanaman berbeda karena nilai
koefisien tanaman (Kc) dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas dan tingkat
pertumbuhan tanaman. Biasanya keutuhan air tanaman akan tinggi pada saat fase
pertama dan keduanya hal ini terjadi karena pada saat tersebut tanaman sedang
dalam masa pertumbuhan vegetatif dimana pada saat tersebut banyak
membutuhkan air. Pada pengamatan pola tanam ini digunakan 10 jenis tanaman,
yakni wortel, seledri, terong, arthicoke, bombay, kacang polong, rumput-rumputan,
selada, rami, dan kacang tanah.
Selanjutnya akan dibahas kapan 10 jenis tanaman tersebut ditanam serta
kebutuhan airnya (irigasinya). Untuk lebih jelasnya 10 tanaman tersebut sebagai
berikut :
1. Wortel
Wortel merupakan salah satu jenis sayuran umbi yang memiliki peranan
penting dalam penyediaan bahan pangan, khususnya penyediaan sumber vitamin
dan mineral. Pengembangan budi daya wortel memerlukan sarana informasi yang
lengkap dan tidak hanya terbatas pada masalah teknis budi daya seperti contohnya
cara bercocok tanam, penggunaan benih unggul bebas penyakit, pemupukan
berimbang, pengairan yang baik, penyiangan dan pembumbunan, dan pengendalian
hama penyakit. Pertumbuhan tanaman wortel tidak lepas dari keadaan iklim
disekitar lingkungan tumbuhnya. Keadaan iklim yang sangat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan produksi umbi wortel adalah suhu, curah hujan,
kelembapan udara, cahaya matahari, dan angin.
Pada umumnya, tanaman wortel ditanam di daerah dataran tinggi yang tidak
memiliki irigasi teknis, sehingga pemenuhan kebutuhan air tanaman hanya
mengandalkan air hujan. Tanaman wortel memerlukan air dalam jumlah yang
cukup sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman, agar dihasilkan pertumbuhan yang
baik dan produksi yang tinggi. Kebutuhan air tanaman adalah sebannyak air yang
hilang karena penguapan air tanah dan air tanaman (evapotranspirasi). Kebutuhan
air diengaruhi oleh kondisi iklim dan karakteristik tanaman, yang merupakan faktor
– faktro yang sangat mempengaruhi laju transpirasi.
Pada fase awal pertumbuhan, tanaman wortel memerlukan air yang
memadai atau cukuo banyak. Pada musim kearau, Kebutuhan air ini dapat dipenuhi
dengan melakukan penyiraman atau pemberian air irigasi secara kontinu 1 – 2 kali
sehari. Apabila tanaman telah besar, pemberian air dapat dikurangi dengan indikasi
tidak membuat tanah kekeringan. Pengairan pada tanaman wortel dilakukan sejak
penanaman hingga tanaman menghasilkan umbi. Penyiraman tanaman dengan
teknik dilakukan dengan cara menggenangi lahan selama beberapa saat hingga
seluruh areal pertanaman menjadi basah. Penyitaman secara curah dilakukan
dengan cara memercikan air seperti hujan buatan, disebut juga dengan pengairan
siste overhead irrigation. Kekurangan air akan menyebabkan pertumbuhan tanaman
terhambat dan umbi wortel yang dihasilkan berbentuk tidak dorman dan berukuran
kecil. Sebaliknya, kelebihan air juga berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan
tanaman wortel dan pembentukan umbi. Kelebihan air menyebabkan akar tanaman
membusuk dan bahkan dapat menyebabkan kematian tanaman serta menurunkan
kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara dan menghambat sirkulasi udara
di dalam tanah (aerasi), sehingga menimbukan kondisi kekurangan oksigen
(Cahyano, 2002).
Pada daerah yang tidak memeiliki rigasi teknis, saat tanam yang tepat untuk
tanaman wortel adalah pada awal musim hujan, yaitu pada bulan
Oktober/November. Pada saat tersebut Ketersediaan air tanah dapat mencukupi
kebutuhan tanaman selama masa pertumbuhannya. Daerah yang tidak memiliki
irigasi teknis, penanaman yang dilakukan pada musim kemarau tidak
menguntungkan, kecuali jika terdapat sumur untuk menjamin ketersediaan air. Hal
ini berkebalikan pada daerah yang memiiki irigasi teknis yang baik, penanaman
benih wortel dapat dilakukan kapan saja, karena kebutuhan air bagi pertumbuhan
dan perkembangan benih dapat selalu terpenuhi (Cahyano, 2002)
2. Seledri
Seledri (Apium graveolens L. Dulce) termasuk dalam famili Umbelliferae
dan merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak digunakan dalam
konsumsi. Budidaya seledri sangat baik di dataran tinggi 1000-1200 m dpl, juga
bisa di dataran rendah dengan memberi naungan berupa atap alangalang atau
jerami, atap berfungsi sebagai penahan sinar matahari dan menjaga kelembaban.
Seledri kurang tahan hujan oleh karena itu curah hujan optimum berkisar 60-100
mm/bulan (Edi dan Julistia, 2010).
Penanaman pada fase persemaian pada tanaman seledri dibutuhkan air
dengan jumlah cukup untuk membuat permukaan tanah lembab. Untuk itu
persemainan dapat ditutup dengan alang- alang atau jerami untuk menjaga
kelembapan (Edi dan Julistia, 2010). Pengairan dilakukan secara kontinu 1 – 2 kali
sehari, terutama pada stadium awal pertumbuhan bibit seledri. Pengairan berikutnya
setelah tumbuh pada fase selanjutnya adalah menjadi 1 – 2 kali seminggu
bergantung pada cuaca dan keadaan tanah. Pada dasarnya hal peting yag
diperhatikan pada waktu pengairan adalah tanah tidak kekeringan ataupun terlalu
becek. Cara pengairan dapat dilakukan dengan merendam atanah selama beberapa
saat ataupun disiram dari atas (Rukmana, 1995). Dalam hal ini kebutuhan air
seledri merupakan tanaman yang sensitif akan kondisi jenuh air dan kurang air,
dimaa tanaman seledri tidak dapat tumbuh dengan optimal dengan pemberian air
yang berlebih. Jumlah air yang kurang dari kapasitas lapang dapat menyebabkan
cekaman yang didefinisikan sebagai kondisi dimana air tanah tidak cuku untuk
endukung pertumbuhan maksimum suatu tanaman (Moctava, 2013).
3. Terong
Terong (Solanum melongena) merupakan tanaman semusim sampai setahun
atau tahunan, termasuk dalam famili Solanaceae. Tanaman terong berbentuk semak
atau perdu, dengan tunas yang tumbuh terus di ketiak daun sehingga tanaman
terlihat tegak menyebar merunduk. Pada dasarnya terung dapat ditanam di dataran
rendah sampai dataran tinggi. Tanah yang cocok untuk tanaman terong adalah tanah
yang subur, tidak tergenang air, dengan pH 5-6, dan drainase baik. Tanah lempung
dan berpasir sangat baik untuk tanaman terong (Edi dan Julistia, 2010). Disamping
itu terong merupakan tanaman hortikultura yang mana penanganan yang hampir
sama, dari awal tanam hingga pasca panen. Pemilihan tanaman ini diharapkan dapat
memberikan keuntungan yang lebih dalam memecahakan masalah perubahan iklim
yang tidak menentu.
Sebelum penanaman dilakukan, penyiraman pada bedengan dilakukan
dengan ketinggian air 30 cm. Pada fase awal tumbuh tanaman terong air yang
dibutuhkan lebih banyak dari fase lainnya. Penyiraman dapat dilakukan sesaat
setelah masa tanam setiap 3 hari sampai dengan masa berbunga. Apabila tanaman
muncul bunga pemberian air dapat ditambah dengan penyiraman 2 kali sehari
(Susila, 2006). Kebutuhan air tanaman terong dapat berbeda beda tergantung fase
tumbuhnya pada fase pertumbuhan kebutuhan air tanaman terong sebesar 147,894
mm/hari, pada fase pembungaan kebutuhan air tanaman terong sebesar 225,747
mm/hari, pada fase pembuahan kebutuhan air tanaman terong sebesar 162,497
mm/hari dan pada fase pematangan kebutuhan air tanaman terong sebesar 157,635
mm/hari (Fajar, 2013).
4. Artichoke
Artichoke (Cynara cardunculus var. Scolymus) termasuk dalam keluarga
Asteraceae. Artichoke adalah tanaman abadi herba, secara luas dibudidayakan di
daerah Mediterania. Artichoke merupakan tanaman sub tropic, yang kemungkinan
juga bisa ditanam di daerah tropis. Cocok tumbuh dengan intensitas sinar matahari
yang cukup dan juga tempat tumbuh yang kering, atau tanah dengan sistem drainase
yang baik. Dan terdapat unsur organik di dalamnya. Sangat dianjurkan untuk
menanam tumbuhan ini di akhir musim penghujan (di wilayah tropis). Artichoke
sangat membutuhkan unsur Nitrogen dalam jumlah yg cukup, saat penanaman dan
pemeliharaan usahakan selalu terkena sinar matahari agar pertumbuhan kuncup dan
tunas bisa tumbuh maksimal. Tumbuhan ini sangat sensitif terhadap perubahan
suhu yang drastic. Artichokes memiliki 45 dasarian dan penanaman dapat dilakukan
pada bulan November dasarian III hingga bulan April dasarian I.
5. Bawang Bombay
Bawang bombay adalah salah satu jenis bawang yang memiliki ukuran yang
lebih besar dari bawang putih dan merah. Dalam bawang bombay mengandung
banyak zat yang dapat melawan kanker, mengontrol kadar gula darah, mencegah
terjadinya penggumpalan darah, memperlancar pencernaan, mengurangi hipertensi,
menjaga kesehatan otak, dan memperkuat tulang dan jaringan pembuluh. Tanaman
bawang pada umumnya tidak tahan terhadap kekeringan karena sistem
perakarannya yang pendek, sementara itu kebutuhan air selama pertumbuhan dan
pembentukan umbi cukup banyak. Hal ini menyebabkan tanaman bawang sesuai
dengan daerah yang memiliki iklim kering dengan suhu yang agak padas dan cuaca
yang cerah (Wibowo, 2007).adapun total kebutuhan air yang diaplikasikan untuk
mengairi tanaman bawang dengan teknik irigasi impact sprinkler riil di lapangan
berdasarkan angka penunjukan water meter selama pertumbuhan tanaman sebesar
103,5 mm setara dengan 1035 m3 ha-1 musim-1 dengan interval irigasi
masingmasing dua harian dengan rata-rata pemberian 2,2-3,7 mm atau 22-37 m3
ha-1 musim-1 (Rejekiningrum dan Budi, 2017).
6. Kacang Polong
Kacang polong merupakan tumbuhan yang memiliki bunga, sejenis perdu
yang berbuah polong atau legum yang berasal dari bagian barat benua Asia.
Tanaman polong tumbuh di tempat yang cuacanya sejuk dan banyak sinar matahari,
dan dapat ditanam di tempat dengan iklim yang berbeda-beda. Kebutuhan air untuk
pertumbuhan kacang di lahan kering sangat bergantung pada curah hujan yang
turun selama pertumbuhan. Untuk menjaga agar pasokan air tetap terjaga dan tidak
kering, sebab kacang termasuk tanaman yang berakar dangkal selalu menghendaki
tanah yang lembab. Tetapi kandungan air dalam tanah yang terlalu jenuh pun tidak
dikendaki karena akan menyebabkan akar busuk, sehingga apabila kadar air terlalu
banyak tanaman menjadi layu dan akhirnya mati. Untuk mengatasi hal ini perlu
dibuat bedengan, yang berfungsi untuk melancarkan jalannya air, sehingga tanaman
kacang bisa terhindar dari genangan air.
Tanaman kacang membutuhkan air lebih banyak sejak tanaman berumur 3
minggu. Air diperlukan untuk pembentukkan polong, pembentukkan bunga dan
petumbuhan gynophora. Jika diperlukan pada musim kemarau kegiatan pengairan
dapat dilakukan lebih sering antara 6 – 8 kali. Frekuensi pengairan ini sebaiknya
disesuaikan dengan banyaknya curah hujan. Karena meskipun sudah menginjak
musim kemarau, kemungkinan terjadi hujan juga tidak dapat dipungkiri. Oleh
karena itu keadaan drainase perlu diperhatikan. Dalam pemberian pengairan , waktu
pengairan perlu juga untuk diperhatikan. Perlakuan pengairan pada tengah hari
dapat dihindari karena pengairan tersebut berpengaruh tidak baik pada tanaman.
Pengairan terhadap bedengan baiknya dilakukan pada pagi hari (sekitar jam 06.00
– 08.00) atau pada sore hari (setelah jam 15.00).
7. Kacang tanah
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) termasuk dalam famili Leguminoceae.
Kacang tanah berasal dari Benua Amerika dan masuk ke Indonesia diperkirakan
setelah tahun 1597. Jenis kacang tanah yang ada di Indonesia ada dua yaitu kacang
tanah tipe tegak dan tipe menjalar. Kacang tanah tipe tegak tumbuh lurus atau
sedikit miring ke atas dengan batang pendek dan buah yang berada di ruas-ruas
rumpun. Sedangkan kacang tanah tipe menjalar tumbuh ke samping dengan batang
panjang dan buah berada di ruas yang berdekatan dengan tanah (Purwono dan Heni,
2007).
Kacang tanah bisa hidup di wilayah subtropis hingga tropis. Tanaman ini
memerlukan tanah yang gembur supaya akar tanaman dapat membentuk perakaran
yang cukup dalam. Tanah yang gembur memudahkan ginofor menembus tanah dan
membentuk polong. Dalam pembentukan polong, kacang tanah membutuhkan
unsur Ca yang cukup banyak. Maka dari itu, diperlukan tanah yang memiliki
kandungan Ca yang cukup tinggi (Purwono dan Heni, 2007).
Kacang tanah dewasa dapat mencapai ketinggian 60 cm. Biasanya, polong
kacang tanah masak pada rentang waktu 100 - 150 hari. Tetapi, ada varietas kacang
tanah tertentu yang dapat menghasilkan biji siap panen setelah 80 – 90 hari. Biji
kacang tanah bisa dikonsumsi saat mentah maupun setelah diolah. Kacang tanah
biasanya diolah dengan cara direbus, digoreng, atau di sangrai. Saat ini banyak
industri yang membuat produk dari bahan dasar kacang tanah mulai dari olahan
yang masih berbentuk kacang, selai, maupun minyak. Dari data FAO, produksi
minyak kacang tanah pada tahun 2003 mencapai sekitar 10% pasaran minyak nabati
dunia (Prihandana dan Roy, 2008).
8. Selada
Selada merupakan sayuran daun yang berasal dari wilayah beriklim sedang.
Menurut sejarahnya, budidaya selada daun telah dilakukan sejak 500 tahun sebelum
masehi. Selada diduga berasal dari Asia Barat, namun banyak sumber yang
mengatakan bahwa asal genetik selada berasal dari kawasan Amerika. Hal ini
dibuktikan salah satunya oleh Christopher Columbus pada tahun 1493 mengaku
menemukan tanaman selada tumbuh di daerah Hemisphere Barat dan Bahamas.
Selanjutnya selada meluas ke daerah yang beriklim sedang maupun panas di seluruh
dunia. Di Indonesia, selada banyak di kembangkan di pusat-pusat produsen
sayuraan seperti Cipanas dan Lembang (Rukmana, 2008).
Selada biasa dikonsumsi mentah sebagai lalapan. Selada memiliki
kandungan vitamin dan gizi yang bermanfaat untuk kesehatan. Manfaat selada
antara lain yaitu untuk mendinginkan badan atau meredakan panas dalam,
mendetoks dan mencegah berbagai penyakit akiat radikal bebas. Sebagai sayuran
yang berserat, selada juga dapat memperbaiki dan memperlancar pencernaan
(Ramayulis, 2015).
Selada (Lactuca sativa) masuk ke dalam famili Asteraceae. Secara umum,
selada yang dibudidayakan ada 4 jenis, yaitu selada krop atau selada telur, selada
daun, selada batang, dan selada rapuh. Selada krop memiliki krop bulat dengan
daun silang merapat yang berlepasan. Daun selada krop berwarna hijau terang
hingga sedikit gelap dengan batang pendek yang hampir tidak terlihat. Selada daun
memiliki daun yang berlepasan dan tepiannya berombak, selada jenis ini tidak
membentuk krop. Selada daun ada yang berwarna hijau, ada juga yang berwarna
merah. Selada daun inilah yang biasa ditemui sebagai lalapan. Selada batang
memiliki daun yang besar, panjang, tangkai lebar, dan berwarna hiaju terang.
Selada batang tidak membentuk krop karena daunnya yang berlepasan. Sedangkan
selada rapuh memiliki krop yang lonjong dan tinggi mirip petsai. Daun selada rapuh
berbentuk tegak, besar, dan berwarna hijau tua (Haryanto, 2007).
Selada cocok di tanam ketika musim hujan. Saat bukan musim hujan,
tanaman ini membutuhkan penyiraman yang baik untuk memenuhi kebutuhan
airnya. Selada bisa ditanam di ketinggian 50 – 2200 m di atas permukaan laut dan
dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki hawa sejuk dan bertanah subur dengan
pH berkisar 6,5 – 7. Tanah yang terlalu asam dapat membuat selada tumbuh kerdil
karena kekurangan unsur magnesium dan besi. Selada sangat cocok ditanam di
tanah yang gembur dan mengandung banyak humus. Selain itu, selada dapat
dibudidayakan secara hidroponik dan masih dapat ditanami di tanah yang memiliki
tipe lempung berdebu maupun lempung berpasir dengan perawatan yang baik
(Haryanto, 2007).
9. Rami
Rami (Boehmeria nivea) adalah salah satu tanaman penghasil serat yang
biasa ditemukan di wilayah tropis. Daun rami mengandung bahan organik, protein
kasar, bahan kering, dan lemak kasar yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak
(Santoso dan Sastrosupadi, 2008). Selain menjadi bahan baku pakan ternak, rami
sering digunakan sebagai bahan baku industri tekstil, kertas, pupuk, bahkan produk
kesehatan. Rami memiliki kualitas serat yang cukup baik dan halus seperti kapas.
Dengan sifatnya yang elastis dan sejuk, rami dapat dapat dijadikan campuran bahan
baku tekstil lain seperti linen, katun, dan polyester. Serat tanaman ini memiliki sifat
yang lebih kuat dibandingkan dengan kapas sehingga banyak dimanfaatkan untuk
bahan pakaian lapangan dan perlengkapan militer (Musaddad, 2007).
Dalam budidayanya, tanaman rami memutuhkan tanah yang subur dan
gembur dengan tektur lempung, lempung berpasir, dan lempung berdebu. Rami
dapat tumbuh baik pada tanah yang memiliki pH 5,4 – 5,6. Curah hujan yang sesuai
untuk pertumbuhan rami berkisar antara 1500 – 2500 mm per tahun dengan hari
hujan merata (Purwati, 2014). Rami memiliki batang yang dapat tumbuh mencapai
2 meter. Rami memiliki sistem perakaran yang baik dan dapat mencegah erosi
sehingga cocok di tanam di kawasan yang miring. Tanaman rami juga cocok
ditanam di kawasan perkebunan industri dan di pinggiran sungai. Selain itu,
tanaman ini tidak memerlukan jarak tanam yang terlalu lebar sehingga dapat
ditanam dalam jumlah banyak dan sangat membantu program reboisasi
(Basharudin, 2019).
Rami dapat dipanen 90 hari setelah penanaman. Rami dipanen dengan cara
dipotong batangnya hingga agak rata dengan permukaan tanah. Pada panen
pertama, batang rami masih terlalu muda dan belum bisa diambil seratnya. Pada
panen kedua dan ketiga, yaitu setiap 60 hari setelahnya, rami baru diambil seratnya.
Ciri-ciri tanaman rami yang siap dipanen adalah adanya bunga dan kulit batang
bawah yang hitam berubah menjadi kecoklatan (Purwati, 2014).
10. Rumput
Rumput (Gramineae) merupakan salah satu makanan utama dari
kebanyakan hewan ternak. Rumput memiliki banyak jenis. Ada rumput yang dapat
tumbuh dengan liar di atas tanah, dan ada yang sengaja budidayakan. Tujuan
pembudidayaan rumput bermacam-macam, mulai dari pemanfaatannya sebagai
tanaman hias, pelengkap taman, pakan ternak yang berkualitas, hingga obat.
Rumput memiliki bermacam-macam ciri fisik sesuai jenisnya, adanya yang tumbuh
meninggi, ada juga yang tumbuh melebar di tanah.
Salah satu jenis rumput yang saat ini banyak dikembangkan adalah rumput
gajah. Rumput gajah bisa ditanam secara monokultur maupun tumpangsari.
Rumput ini bisa ditanam di ladang, guludan, maupun pematang dengan keadaan
tanah yang memadai. Rumput gajah yang tumbuh dalam kondisi baik, dapat tumbuh
mencapai ketinggian 2 meter. Selain dimanfaatkan sebagai pakan ternak, rumput
gajah bisa dimanfaatkan sebagai sarana konservasi tanah, dan bahan baku
bioethanol (Sari, 2013)
Pada pembudidayaannya, rumput gajah dapat tumbuh di ketinggian 0 – 3000
m di atas permukaan laut dengan tanah lembab, subur dan tidak telalu liat, pH 6,5,
dan curah hujan sekitar 1000 mm per tahun (Vanis, 2007). Rumput gajah juga
memerlukan pupuk yang banyak mengandung fosfor. Pemberian pupuk dapat
diaplikasikan 6 bulan sekali sejak pengolahan tanah. Rumput gajah siap panen
setelah 2 bulan sejak penanaman, kemudian dapat dilakukan panen secara berkala.
Setelah 3 sampai 4 tahun, rumput gajah perlu dilakukan peremajaan supaya
kualitasnya tetap terjaga (Yulianto dan Cahyo, 2010).
Tumpang sari adalah penanaman dua tanaman atau lebih secara bersamaan
atau dengan satu interval waktu yang singat, pada sebidang tanah yang sama.
Tumpang sari merupakan sistem penanaman tanaman secara barisan di antara
tanaman semusim dengan tanaman tahunan. Tumpang sari ditunjukan untuk
memanfaatkan lingkungan sebaik-baiknya agar diperoleh produksi yang
maksimum. Beberapa keuntungan dari sistem tumpangsari antara lain pemanfaatan
lahan kosong disela-sela tanaman pokok, peningkatan produksi total persatuan luas
karena lebih efektif dalam penggunaan cahaya, air serta unsur hara, dapat
mengurangi resiko kegagalan panen dan menekan pertumbuhan gulma (Wahyudi,
2014).
Berdasarkan perhitungan Etc yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa
Etc antara semua tanaman yaitu wortel, rumput-rumputan, terong, selada, seledri,
kacang polong, kacang tanah, artichokes, rami dan bawang bombay bisa di tumpang
sarikan karena memiliki nilai yang apabila di tumpang sari kan persediaan air nya
masih tercukupi untuk 2 dasarian berturut turut sehingga tanaman tersebut biasanya
cenderung ditanam pada bulan yang sama. Waktu tersebut adalah pada November
dasarian I.
Tumpangsari sari sendiri dapat diartikan sistem bertanam dimana lebih dari
satu macam tanaman ditanam secara simultan di lahan sama dan waktu relatif sama
yang diatur dalam baris atau kumpulan baris secara berselang-seling. Pertanaman
secara tumpangsari dapat dilakukan di lahan kering, sawah maupun pekarangan.
Kacang tanah yang merupakan golongan tanaman Leguminosa sering dipakai
sebagai tanaman kombinasi dalam pola tanam tumpangsari, karena berpengaruh
positif terhadap tanaman lainnya. Pada sistem pertanaman tumpangsari timbul
persaingan untuk mendapatkan faktor-faktor tumbuh, namun keadaan ini tidak
mengakibatkan kerugian pada kedua tanaman tersebut. Tanaman kacang hijau dan
tanaman kacang polong termasuk dalam kacang kacangan, sehingga antara kedua
tanaman dapat saling mengisi dan memberi keuntungan dan ancaman serangan
hama juga relative rendah. Selain itu penyisipan kacang hijau diantara tanaman lain
dapat memacu, pertumbuhan tanaman itu sendiri. Hal ini disebabkan tanaman
kacang hijau dapat mengikat nitrogen dari udara sehingga kebutuhan nitrogen untuk
tanaman yang di sandingkan dengan kacang hijau dapat tersedia (Polnaya dan Patty,
2018).
Sistem tumpangsari sebenarnya merupakan sebuah kearifan lokal asal
Indonesia yang dapat meningkatkan efektivitas pemanfaatan lahan. Keuntungan
dari sistem tumpang sari yaitu: meningkatkan penggunaan lahan, memperkecil
resiko kegagalan hasil dan dapat menambah pendapatan petani. Demikian juga,
tumpangsari merupakan salah satu bentuk program intensifikasi pertanian alternatif
yang tepat untuk melipat gandakan hasil pertanian pada daerah-daerah yang kurang
produktif. Keuntungannyaselain diperoleh panen lebih dari sekali setahun, juga
menjaga kesuburan tanah dengan mengembalikan bahan organik yang banyak dan
penutup tanah oleh tajuk tanaman (Catharina, 2013).
Tumpang sari yang dapat diterapkan yaitu pada tanaman wortel dan
artichokes. Kedua tanaman mempunyai panjang fase pertumbuhan yang relatif
sama dan kebutuhan air yang juga relatif sama. Dengan menanamkan kedua
tanaman tersebut pada awal bulan November atau pada dasarian I dan akan dipanen
pada sekitar Maret dasarian II. Pada bulan November hingga Maret memiliki curah
hujan yang relatif tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh kedua tanaman dan
terhindar dari kekurangan air.
Menurut hasil Etc yang telah di dapatkan metode tumpang sari juga dapat di
terapkan pada tanaman terong dan rumput rumputan. Hal ini di karena kan panjang
fase pertumbuhan yang relatif sama dan kebutuhan air yang juga relatif sama.
Penanaman kedua jenis tanaman ini juga dilakukan pada bulan November dimulai
dari dasarian I. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Elvanita et al. (2014)
yang menerapkan sistem tumpangsari pada tanaman terong dan tanaman pakan
rumput gajah. Tanaman terong juga dapat di tumpang sarikan dengan tanaman
wortel. Hal ini dikarenakan menurut hasil histogram Etc tanaman terong dengan
wortel dapat di tanam secara bersamaan pada bulan November dasarian I dan
kandungan air yang adadalam tanah masih muncukupi pada waktu 2 dasarian
berturut-turut. Hal ini sesuai dengan penelitian Pujiastuti et al. (2018) yang
menerapkan sistem tumpangsari antara tanaman terong dan wortel. Metode
tumpang sari yang diterapkan pada tanaman terong dan wortel membuat hama
tanaman yang menyerang juga relative sedikit sehingga produksi kedua tanaman
tersebut tidak rentan terhadap serangan hama.
Tumpang gilir (Relay Cropping) merupakan bentuk pola tanam dengan cara
menyisipkan satu atau beberapa jenis tanaman, selain tanaman pokok pada sebidang
lahan, baik dalam waktu tanam yang bersamaan maupun dalam waktu yang berbeda
(Nasrullah et al., 2017). Pada umumnya sistem ini dikembangkan untuk
mengintensifkan lahan dengan memanfaatkan sisa kesuburan dan kelembaban dari
tanaman pertama. Ini dimaksudkan agar penggunaan pupuk bisa lebih sedikit,
menghindari kekurangan air bagi tanaman kedua serta mampu menghemat biaya
dan tenaga kerja pengolahan tanah sehingga total biaya produksi dapat berkurang.
Dari pengamatan yang dilakukan. Pada sistem ini, tanaman kedua ditanam
menjelang panen tanaman musim pertama. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan sistem ini dapat dilakukan pada beberapa jenis tanaman, yakni sebagai
berikut:
1. Terong dan Kacang Tanah
Tanaman terong dapat dilakukan tumpang gilir dengan tanaman daun
bawang. Dimulai dengan penanaman terong pada bulan November dasarian I
dilanjutkan dengan penanaman kacang tanah pada bulan maret dasarian II. Pada
bulan Mei dasarian I sampai Juli dasarian I perlu dilakukan irigasi untuk memenuhi
kebutuhan air tanaman.
2. Rami dan Rumput-rumputan.
Tanaman rami dapat dilakukan tumpang gilir dengan rumput-rumputan.
Pola tanam diawali dengan penanaman tanaman rami pada bulan November
dasarian I dan dilanjutkan dengan penanaman rumput-rumputan pada bulan Maret
dasarian I. Pada bulan Mei dasarian I sampai Juni dasarian I perlu dilakukan irigasi
untuk memenuhi kebutuhan air tanaman.
3. Wortel dan kacang tanah
Tanaman wortel dapat dilakukan tumpang gilir dengan tanaman kacang
tanah. Pola tanam diawali dengan penanaman tanaman wortel pada bulan
November dasarian I dan dilanjutkan dengan penanaman kacang tanah pada bulan
Februari dasarian III. Pada bulan April dasarian III sampai Juni dasarian II perlu
dilakukan irigasi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman.
4. Kacang polong dan selada
Kacang polong dapat dilakukan tumpang gilir dengan tanaman selada. Pola
tanam diawali dengan penanaman kacang polong pada bulan November dasarian I
dan dilanjutkan dengan penanaman selada pada bulan Februari dasarian I.
Kebutuhan air kedua tanaman ketika dilakukan tumpang gilir dapat terpenuhi tanpa
menggunakan tambahan irigasi. Oleh karena itu tanaman kacang polong dengan
selada cocok dilakukan pola tanam tumpang gilir.
5. Rumput-rumputan dan Selada.
Rumput-rumputan dapat dilakukan tumpang gilir dengan tanaman selada.
Pola tanam diawali dengan penanaman rumput-rumputan pada bulan November
dasarian I dan dilanjutkan dengan penanaman selada pada bulan Februari dasarian
I. Kebutuhan air kedua tanaman ketika dilakukan tumpang gilir dapat terpenuhi
tanpa menggunakan tambahan irigasi. Oleh karena itu tanaman rumput-rumputan
dan selada cocok dilakukan pola tanam tumpang gilir.
VI. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum Penentuan Pola Tanam Berdasarkan Keadaan Iklim,
dapat disimpulkan bahwa data iklim berupa data curah hujan memiliki manfaat
untuk menentukan pola tanam pada budidaya tanaman sehingga dapat diketahui
saat kebutuhan air tanaman terpenuhi oleh curah hujan yang tersedia
DAFTAR PUSTAKA
Basharudin, Alif. 2019. Analisa Patahan Komposit Polyester Berpenguat Serat
Karbon, Agave, Rami Dengan Metode Sem Dan Xrd. Skripsi thesis, Institut
Teknologi Nasional Malang.

Cahyono, B. 2002. Wortel, Tennik Budidaya dan Analisi Usaha Tani. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.

Catharina, T.S. 2013. Respon tanaman jagung pada sistem monokultur dengan
tumpangsari kacang-kacangan terhadap ketersediaan unsur hara N dan nilai
kesetaraan lahan di lahan kering. Fakultas Pertanian Universitas Maraswati,
Mataram. Ganec Swara Edisi Khusus 3(3) : 17-21.

Edi, S dan Julistia B. 2010. Budidaya Tanaman Sayuran. Balai Pengkajian


Teknologi Pertanian. Jambi.

Evanita, E., E. Widaryanto dan Y.B. S. Heddy. 2014 Pengaruh pupuk kandang sapi
pada pertumbuhan dan hasil tanaman terong (Solanum melongena L) pada
pola tanam tumpangsari dengan rumput gajah (Penisetum purpureum).
Jurnal Produksi Tanaman 2(7) : 533-541.

Fajar, F. 2013. Studi Pola Pemberian Air Berdasarkan Efisiensi Pemakaian Air
Pada Tanaman Terong Dengan Metode Irigasi Tetes. Jurusan teknik
pengairan. Falkultas Teknik Universitas Brawijaya.

Harwitz, Benhard, and James M. Austin. 2012. Climatology. Mc Graw-Hill Book


Company Inc, New York

Haryanto, E. 2007. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta

Hermawati, D.T. 2016. Kajian ekonomi antara pola tanam monokultur dan
tumpangsari tanaman jagung, kubis, dan bayam. Jurnal Inovasi. 18 (1): 1-5.

Lakitan, B. 1994. Dasar-dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo. Jakarta.

Mancini, L. 2013. Conventional, organic and polycultural farming practices:


material intensity of Italian crops and foodstuffs. Resources. 2 (1): 628-650.

Moctava, M.A. 2013. Respon tiga varietas sawi (Brasicca rapa L.) terhadap
cekaman air. Jurnal Produksi Tanaman. 1(2): 90-98.

Musaddad, M. A. 2007. Agribisnis Tanaman Rami. Penebar Swadaya Jakarta.

Nasrullah, H.M., A.R. Zahid, M. Akhtar, A. Majid, B. Ali, Haseeb-ur-Rehamn,


J.Alam, M.I. Akram, and H. Nawaz. 2017. Enhancement of wheat
productivity as a relay crop in cotton-wheat cropping system. Journal of
Environmental and Agricultural Sciences 13(1): 25-30.
Polnaya, F. and Patty, J.E., 2018. Kajian pertumbuhan dan produksi varietas jagung
lokal dan kacang hijau dalam sistem tumpangsari. Agrologia 1(1):1-17.

Prihandana, R. dan Roy H. 2008. Energi Hijau: Pilihan Bijak Menuju Negeri
Mandiri Energi. Penebar Swadata. Jakarta.

Pujiastuti, Y., R.S.A. Siregar, D. Anggarini, R.P. Munandar, V. A. Wandhari1.


2018. Keberadaan spesies serangga pada berbagai pertanaman sayuran
tumpang sari: studi kasus di Desa Talang Pasai Kecamatan Pagar Alam
Utara Kota Pagar Alam Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional
Lahan Suboptimal.

Purwati, R D. 2014. Strategi pengembangan rami (boehmeria nivea gaud.)


Indonesian tobacco and fibre crops research institute. Perspektif 9(2): 106
– 118.

Purwono, dan Heni P. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Ramayulis, R. 2015. Green Smoothie ala Rita Ramayulis. Penerbit Gramedia.


Jakarta.

Radjulaini. 2002. Pokok-pokok Klimatologi. Rineka Cipta. Jakarta.

Rejekiningrum, P dan Budi K. 2017. Pengembangan sistem irigasi pompa tenaga


surya hemat air dan energi untuk antisipasi perubahan iklim di Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Tanah dan Iklim 41(2) : 159 –
171.

Rogi, J. E. X. 2017. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sistem Pertanian.


http://distan.jabarprov.go.id/distan/blog/detail/2809-dampak-perubahan-
iklim-terhadap-sistem-pertanian. Diakses 25 September 2019.

Rukmana, R. 2008. Selada, Budidaya dan Pengelolaan Pasca Panen. Penerbit


Kanisius. Yogyakarta.

Santoso, B., dan A. Sastrosupadi. 2008. Budidaya tanaman rami (Boehmeria nivea
Gaud.) untuk produksi serat tekstil. Bayumedia Publisher. Malang.

Saparinto, C. 2013. Panduan Praktis Menanam 14 Sayuran Konsumsi Populer di


Pekarangan. Penebar Swadaya, Yogyakarta.

Sari, N. K. 2013. Produksi bioethanol dari rumput gajah secara kimia. Jurnal
Teknik Kimia 4(1): 265-273.

Soetriono dan A. Suwandari. 2016. Pengantar Ilmu Pertanian. Intimedia, Malang.


Sudarto, Y.G. Bulu, dan F. Zulhaedar. 2016. Kelayakan usahatani tumpang gilir
jagung dengan aneka kacang di lahan kering di Kabupaten Sumbata, Nusa
Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 6: 636
– 644.

Susila, D.A. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Departemen Agronomi


dan Hotikultra Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian IPB.

Tanasijevica, L., Mladen, T.,Luis, S. P., Claudia, P., and Piero, L. 2014. Impacts
of climate change on olive crop evapotranspiration and irrigation
requirements in the Mediterranean region. Agricultural Water Management,
144 (3): 54–68.

Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. Edisi II . Penerbit ITB, Bandung.

Wahyudi. 2014. Teknik Konservasi tanah serta implementasinya pada lahan


terdegradasi dalam kawasan hutan. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan
6(2) : 71-85.

Wang, L., S. P. Good, and K. K. Caylor. 2014. Global synthesis of vegetation


control on evapotranspiration partitioning. Geophysical Research Letters
41: 6753–6757.

Wibowo, S. 2007. Budidaya Bawang. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wisnubroto, S. 1999. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya,


Yogyakarta.

Yulianto, P. dan Cahyo S. 2010. Pembesaran Sapi Potong secara Intensif. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Yuliawati, T., T. K. Manik, R.A. B. Rosadi. 2014. Pendugaan kebutuhan air


tanaman dan nilai koefisien tanaman (Kc) kedelai (Glycine max (L) Merril)
varietas tanggamus dengan metode lysimeter. Jurnal Teknik Pertanian
Lampung 3 (3) : 233 – 238.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai