Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

BLOK 4.1 CARDIOVASKULAR & RESPIRATORY DISORDER


PENGARUH OBAT TERHADAP SISTEM KARDIOVASKULER

Oleh :
Kelompok C1

KHOERUL ILHAM (G1A018023)


AMMAR BINDILAH (G1A018027)
NOVIA YULI LESTARI (G1A018058)
DIYA SALSABILA H. (G1A018059)
TYASTI FAJRI M. J. (G1A018060)
MAHENDRA DD L. (G1A018065)
FADHILA DEFANDRA (G1A018096)
DAMARIO B. A. (G1A018101)

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
BLOK CARDIOVASCULAR & RESPIRATORY DISORDER
PENGARUH OBAT TERHADAP SISTEM KARDIOVASKULER

Kelompok C1

KHOERUL ILHAM (G1A018023)


AMMAR BINDILAH (G1A018027)
NOVIA YULI LESTARI (G1A018058)
DIYA SALSABILA H. (G1A018059)
TYASTI FAJRI M. J. (G1A018060)
MAHENDRA DD L. (G1A018065)
FADHILA DEFANDRA (G1A018096)
DAMARIO B. A. (G1A018101)

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok


Cardiovascular & Respiratory Disorder
Jurusan Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran,
Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto

Diterima dan disahkan


Purwokerto, 29 Februari 2020
Asisten,

Zahra Muthmainnah Komara


G1A017053

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Judul .............................................................................................................. 1
B. Tujuan ............................................................................................................ 1
C. Waktu ............................................................................................................ 1
D. Manfaat .......................................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Obat Anti Hipertensi ..................................................................................... 2
B. Obat Gagal Jantung ....................................................................................... 7
C. Obat Antiaritmia .......................................................................................... 10
D. Obat Anti Angina ........................................................................................ 14
E. Obat Atropin ................................................................................................ 16

BAB III METODE PRAKTIKUM


A. Alat dan Bahan ............................................................................................ 17
B. Cara Kerja .................................................................................................... 18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil............................................................................................................. 19
B. Pembahasan ................................................................................................. 19
C. Aplikasi Klinis ............................................................................................. 20
BAB V KESIMPULAN .............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pengaruh Obat Terhadap Sistem Kardiovaskuler
B. Waktu Praktikum
Hari/Tanggal : Rabu, 26 Februari 2020
Waktu : Pukul 13.00-15.00 WIB
C. Tujuan Praktikum
Umum
1. Mahasiswa dapat menjelaskan perubahan jantung katak setelah pemberian
sulfas atropin.
2. Khusus
a. Mahasiswa akan dapat menjelaskan pengaruh kelistrikan jantung.
b. Mahasiswa akan dapat menjelaskan peran syaraf autonom dalam
mengatur jantung.
c. Mahasiswa akan dapat menjelaskan mekanisme sulfas atropin terhadap
perubahan fisiologis jantung.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Obat Antihipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua
kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu
lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung
(penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi
secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai (KEMENKES, 2014).
Penatalaksanaan hipertensi dilakukan sebagai upaya pengurangan resiko
naiknya tekanan darah dan pengobatannya. Dalam penatalaksanaan hipertensi
upaya yang dilakukan berupa upaya nonfarmakologis (memodifikasi gaya hidup
melalui pendidikan kesehatan) dan farmokologis (obat-obatan) (Nasution et al,
2019). Golongan obat antihipertensi yang umum dikenal yaitu, diuretik, ACE
Inhibitor, Angiotensin Reseptor Bloker, Canal Calcium Blocker, and Beta Blocker
(Fitrianto et al, 2015).
1. Diuretik Commented [ZM1]: Tambahkan carbonic anhidrase inhibitor
dan diuretik osmotik
Obat antihipertensi golongan diuretik merupakan salah satu golongan obat
yang paling sering dikombinasikan dengan obat antihipertensi lain. Banyaknya
penggunaan obat anti hipertensi ini karena obat ini dinilai paling aman dan efektif
dalam menurunkan tekanan darah. Mekanisme kerja obat diuretik ini
menurunkan tekanan darah dengan cara membantu fungsi ginjal untuk
menyaring dan membuang garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan
di seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah (Pratiwi, 2017).
Obat diuretik dibagi menjadi 5 golongan, tetapi terdapat 3 golongan yang
berperan dalam menurunkan tekanan darah (Katzung, 2014), penjelasan berbagai
golongan obat diuretik adalah sebagai berikut:
a. Golongan Tiazid

2
Obat golongan tiazid merupakan merupakan obat utama yang
digunakan pada pengobatan hipertensi. Obat golongan tiazid disebutkan
memiliki efektivitas yang tinggi untuk menurunkan resiko dari penyakit
kardiovaskular. Obat dengan golongan ini dapat diberikan kepada hampir
semua pasien dengan hipertensi ringan hingga sedang (Katzung et al,
2014).
b. Loop Diuretics
Diuretik kuat atau loop diuretic mampu menurunkan tekanan
darah dengan meknisme menghambat kotransport Na, K, dan Cl, dan
menghambat resorpsi air dan elektrolit. Obat ini bekerja di ansa henle
ascenden bagian epitel tebal. Pemberian obat diberikan pada pasien dengan
hipertensi berat, dan insufisiensi ginjal, azotemia, dan edema parah
(Katzung et al, 2014). Loop diuretics menyebabkan hiperkalsiuria,
hipokalemia, intoleransi glukosa, dan potensi timbulnya efek merugikan
terhadap konsentrasi lipid dalam plasma (Goodman & Gillman, 2014).
c. Diuretik Hemat Kalium
Obat dari golongan diuretik hemat kalium bermanfaat untuk
menghindari deplesi kalsium yang berlebihan dan untuk meningkatkan
efek natriuretik diuretik lain (Katzung et al, 2014). Obat ini bekerja dengan
meng-antagonis hormon aldosteron sehingga meningkatkan eksresi
natrium dan air, dengan efek diuretik yang lemah. Diindikasikan pada
pasien dengan hiperurisemia, hipokalemia, dan intoleransi glukosa, serta
dikontraindikasikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Amilorid,
triamteren dan spironolakton merupakan contoh dari obat golongan hemat
kalium. Pemakaian obat ini dapat memberikan efek samping seperti
ginekomastia, mastodinia, gangguan menstruasi, dan penurunan libido
pada prio (Goodman & Gillman, 2014).

2. Simpatolitik

3
a. Beta Bloker
Antagonis reseptor mampu menurunkan daya kontraktilitas miokardial
dan curah jantung dan menurunkan kadar angiotensin II, sehingga mampu
berperan dalam mengatasi masalah hipertensi. Pemberian beta blocker
efektif terhsdap setiap tingkatan hipertensi, dan seringkali dikombinasikan
diuretik. Obat ini dikontraindikasikan terhadap pasien dengan sakit asma,
atau pasien dengan disfungsi nodus sinoatrial atau atrioventrikular, gagal
jantung yag belum stabil. Obat dengan golongan beta blocker dapat
menyebabkan bronkospasme, gangguan sirkulasi perifer dan gangguan
sentral seperti depresi. Contoh obatnya adalah asebutuolol, atenolol,
metoprolol, alprenolol, dan lainnya (Goodman & Gillman, 2014).
b. Alfa blocker

Mekanisme dari obat ini adalah obat ini akan menempati reseptor
alpha-1 di pembuluh darah perifer sehingga memberikan efek berupa
relaksasi otot polos yang terdapat di pembuluh darah. Terjadinya relaksasi
akan mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga menurunkan
retensi perifer yang pada akhirnya akan menyababkan turunnya tekanan
darah (Goodman & Gillman, 2014).
Efek samping yang diberikan dari penggunaan obat ini adalah
hipotensi ortostatik, deplesi cairan, pusing hingga pingsan, edema perifer,
mual, dan lainnya Prozosin, terazosin, bunazosin, dan doksazosin
merupakan contoh obat dengan golongan alfa blocker (Gunawan et al,
2016).
3. ACE-Inhibitor
Obat golongan ACE-Inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme)-Inhibitor
merupakan salah satu golongan obat yang paling banyak digunakan bekerja
dengan cara mencegah konstriksin (pengkerutan) pembuluh darah akibat
formasi hormon angiotensin II dengan cara memblokade enzim ACE,

4
mencegah pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II (Pratiwi,
2017).
ACE-Inhibitor bekerja dengan menghambat ACE (Angiotensin Converting
Enzyme) yang bertugas mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
sehingga ketika ACE terhambat, tidak terjadi konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II. Efek yang didapat adalah penurunan vasokonstriksi dan
peningkatan bradikinin yang menyebabkan vasodilatasi. Contoh obat golongan
ini adalah captopril, enalapril, lisinopril, benazepril, dan ramipril. Captopril
merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak digunakan di klinik untuk
pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Obat ini dikontraindikasikan pada
wanita hamil trimester kedua dan ketiga, insufisiensi ginjal, syok kardiogenik,
hipotensi parah (Katzung et al, 2014).
4. Calcium Channel Blocker
Mekanisme kerja antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel
otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium
terutama menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi.
Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti efek takikardia dan
vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan obat dihidropirin
(Nifedipine), sedangkan Diltiazem dan Veparamil tidak menimbulkan
takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Contoh
antihipertensi dari golongan ini adalah Amlodipine, Diltiazem, Verapamil,
Nifedipine (Katzung et al, 2013).
Meskipun penggunaan obat golongan Calcium Channel Blocker secara
efektif dapat menurunkan tekanan darah, namun obat ini juga menimbulkan
beberapa efek samping seperti hipotensi, myocard ischemia, dan edema perifer.
Sementara efek sampingnya pada rongga mulut yaitu pembesaran gingiva,
xerostomia, ulser dan angioedema (Danniswara dan Restadiamawati, 2015).

5. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

5
Obat jenis ARB ini akan menghambat pengikatan angiotensin dengan
reseptornya. Efek dari pengikatan ini yaitu penurunan vasokonstriksi serta
penurunan sekresi aldosteron dan ADH. Obat jenis ini akan secara kompetitif
menempati resptor Angiotensin II. Pengaruhnya akan menghambat atau
mengurangi produksi dan metabolisme bradikinin. Contoh obat jenis ini adalah
irbesartan, olmesartan, candesartan, eprosartan, dan lain sebagainya (Syarif et
al, 2012).
ARB sangat efektif untuk menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskuler dan
hipertensi genetik. Pemberian obat ini menurunkan tekanan darah tampa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung. ARB bekerja dengan menghambat
angiostensin II berikatan dengan reseptornya. Efek samping dari obat ini yaitu
hypovolemia, sirosis hepatitis dan hipertensi renovaskuler. Obat ini memiliki
kontraindikasi terhadap kehamilan trimester 2 dan 3, selain itu obat ini tidak
dianjurkan bagi wanita menyusui karena eksresinya diberikan ke dalam air susu
ibu belum di ketahui (Gunawan,2016).
6. Vasodilator
Semua vasodilator yang digunakan untuk hipertensi merelaksasi otot polos
arteriol sehingga dapat menurunkan tahanan vaskular sistemik. Penurunan
tahanan arteri dan rata-rata penurunan tekanan darah arteri menimbulkan respon
kompensasi, dilakukan oleh baroreseptor dan sistem saraf simpatis, seperti
halnya renin angiotensin dan aldosteron. Respon-respon kompensasi tersebut
melawan efek anti hipertensi vasodilator. Vasodilator bekerja dengan baik
apabila dikombinasikan dengan obat antihipertensi lain yang melawan respon
kompensasi kardiovaskular. Contoh obat vasodilator adalah Hydralazine dan
minoxidil (Benowitz, 2010).

7. Renin Inhibitor

6
Peranan RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosterone system) dalam
homeostasis sistem kardiovaskuler, tekanan darah, serta keseimbangan
cairandan elektrolit sudah diketahui sejak lama. RAAS dimulai dari adanya
angiotensinogen.Angiotensinogen diproduksi di hati. Oleh renin,
angiotensinogen akan mengalami konversi menjadi angiotensin I. Selanjutnya,
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) akan mengonversi angiotensin I
menjadi angiotensin II. Produksi angiotensin II secara terus-menerus dapat
menyebabkan vasokonstriksi, peningkatanaldosteron, dan retensi cairan yang
akhirnya akan menimbulkan hipertensi. Obat golongan renin inhibitor adalah
aliskiren. Aliskiren bekerja dengan cara menghambat sekresi renin yang
digunakan untuk mengonversi angiotensinogen menjadii angiotensin I,
menyebabkan penurunan produksi angiotensin I maupun angiotensin II,
Selanjutnya akan bertujuan untuk mencegah vasokonstriksi, peningkatan
aldosteron, dan retensi cairan yang akhirnya akan mencegah terjadinya
hipertensi (Dewi et al, 2018).

B. Obat Gagal Jantung Commented [ZM2]: Tambahkan mengenai prinsip obat gagal
jantung secara umum
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhbitor (ACE-I)
Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor) adalah salah
satu kelompok obat anti-hipertensi dan gagal jantung kongestif yang bahkan
menjadi lini pertama pengobatan hipertensi untuk beberapa kasus (Lutfi, et al.,
2018). Secara umum ACE-inhibitor dapat dibedakan atas dua kelompok
yang pertama yaitu yang bekerja langsung contohnya kaptopril dan lisinopril.
Kelompok kedua prodrug contohnya benazepril, delapril, enalapril maleat,
fosinopril, perindopril, kuinapril, ramiprilat dan silazapril (Pratiwi, 2017).
ACE inhibitor menghambat perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin
II, dimana angiotensin adalah vasokontriktor poten yang juga merangsang
sekresi aldosteron. ACE I juga memblok degradasi bradikinin dan
merangsang sintesa zat-zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk
prostaglandin E2 dan prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek

7
penurunan tekanan darah dari ACE I, tetapi juga bertanggung jawab terhadap
efek batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACE I (Anggriani, et
al., 2017). ACE inhibitor memiliki efek kardioprotektif yang signifikan dan
berperan penting dalam menghambat proses penyakit kardiovaskular dan juga
sangat baik untuk hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung
koroner dan lain-lain (Lutfi, et al., 2018).
2. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
ARBs dapat menurunkan tekanan darah sistemik juga menurunkan
tekanan darah kapiler glomerulus serta filtrasi protein sehingga
memperlambat progesivitas kerusakan ginjal. Kerja ARBs sebagai
nephroprotective yang bekerja melawan aksi reseptor Angiotensin II
yangberikatan dengan reseptor AT1 sehingga dapat mengurangi abnormal
matriks basement membran glomerular yang tinggi (Fandinata, 2019).
ARB dapat menyebabkan hipotensi dan / atau gagal ginjal pada pasien yang
tekanan darah arteri atau fungsi ginjalnya sangat tergantung pada RAAS. Untuk
alasan ini, obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan stenosis arteri ginjal
bilateral atau pasien dengan gagal jantung yang memiliki hipotensi (Vaidya,
2019). Kontraindikasi dari kelas obat ini adalah kehamilan, bilateral
arterystenosis, hiperkalemia. ARB diindikasikan untuk pasien dengan
hipertensi, nepropati pada diabetes tipe II, gagal jantung, pasien yang tidak bisa
mentoleransi efek samping ACE inhibitor (Nurhayati dan Kusumadewi, et al.,
2016).
3. Diuretik
Obat yang termasuk kedalam golongan diuretik antara lain:
Hidrokorotiazid, Klortalidon, Xipamid, Furosemid, Bumetanid, Amilorid,
dan Spironolakton. Obat golongan diuretik ini sebaiknya di konsumsi pada
pagi hari sesudah makan. Hal ini dikarenakan tekanan darah menunjukkan
angka tertinggi pada pagi hari dan paling rendah adalah ketika malam
hari setelah tidur. Selain itu, karena obat ini menurunkan tekanan darah

8
melalui urin maka apabila dikonsumsi pada malam hari akan mengganggu
istirahat di malam hari (Pratiwi, 2017).
Mekanisme kerja diuretik adalah dengan mengurangi retensi air dan garam
sehingga mengurangi cairan di ekstrasel, aliran balik vena, dan preload. Dengan
demikian edema perifer dan kongesti paru akan berkurang, sedangkan curah
jantung tidak berkurang. Manfaat dari terapi diuretik yaitu dapat mengurangi
edema pulmo dan perifer dalam beberapa hari bahkan jam (Gunawan, 2016).
4. Beta Bloker
Obat beta blocker adalah obat gagal jantung yang memblok sistem saraf
simpatis dengan cara menghambat aksi katekolamin endogen pada reseptor
adrenergik. Obat beta blocker seringkali digunakan untuk penatalaksanaan
abnormalitas ritme jantung, mencegah serangan jantung berulang, hipertensi
dan saat ini juga digunakan untuk pengobatan gagal jantung (Destiani, et al.,
2018). Obat beta blocker berfungsi untuk mengurangi denyut jantung dan
keluaran total darah dari jantung. Termasuk dalam kelompok ini adalah
propranolol, HCI, nadolol, metoprolol asetat (Nurhayati, et al., 2016).
Penggunaan obat beta blocker tidak sepenuhnya benar sesuai dengan
indikasi. Lembaga The Euro Heart Failure Survey Programme mengatakan
bahwa beta blocker kurang dimanfaatkan dalam masyarakat, dosis yang
digunakan pun tidak mencapai dosis target ketika diresepkan hingga lebih dari
setengah pasien berhenti mengonsumsi setelah tiga tahun. Sebuah studi dari
Nepal juga mengatakan bahwa hanya sekitar 22-32% pasien gagal jantung yang
diresepkan obat beta blocker (Destiani, et al., 2018). Panduan pengobatan
hipertensi JNC-VIII yang diperbarui yang merekomendasikan β-blocker hanya
sebagai terapi alternatif. Namun, beta blocker juga mengurangi tingkat
kematian ketika digunakan untuk pencegahan primer dan sekunder infark
miokard dan insufisiensi jantung kronis (Herlina dan Muchtaridi, 2018).
5. Kardiiotonik
Obat kardiotonik seperti glikosida jantung merupakan obat yang dapat
meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan digunakan untuk mengobati

9
gagal jantung kongestif. Glikosida jantung dan katekolamin telah digunakan
sebagai agen terapi dalam pengobatan gagal jantung kongestif. Glikosida
jantung adalah senyawa yang mengikat dan menghambat Na+/K+ -ATPase dan
menyebabkan peningkatan konsentrasi natrium intraseluler yang mengarah
pada akumulasi kalsium intraseluler dan menciptakan efek inotropik positif
(Salsabilla, et al., 2019).
Obat kardiotonik seperti glikosida jantung, simpatomimetik, atau lainnya
memiliki efek penguatan pada jantung dengan meningkatkan kekuatan
kontraksi otot jantung, meningkatkan curah jantung, dan mempertahankan
sirkulasi yang efektif (Koshy, et al., 2016). Peningkatan kontraksi otot jantung
mengakibatkan peningkatan aliran darah ke semua jaringan tubuh. Obat
kardiotonik memiliki efek inotropik positif dengan meningkatkan kekuatan
kontraksi otot jantung. Ketika kekuatan kontraksi otot jantung meningkat,
volume darah yang meninggalkan ventrikel kiri pada setiap kontraksi
meningkat, maka curah jantung juga meningkat (Salsabilla, et al., 2019).

C. Obat Antiaritmia Commented [ZM3]: Tambahkan prinsip obat antiaritmia secara


umum
1. Golongan I
a. Golongan I A
Obat golongan 1A bekerja dengan memblok kanal Na+ (yang
terbuka) yang tergantung tegangan. Obat ini memperlambat fase 0 dan
memperpanjang periode refrakter efektif. Obat golongan 1A menghasilkan
blok yang tergantung frekuensi (penggunaan). Selama diastol ketika kanal
Na+ tertutup, obat golongan 1A mengalami disosiasi yang relatif lambat
(>5 detik) sehingga bila frekuensinya tinggi obat tetap terikat pada kanal
dan tidak dapat memberi kontribusi terhadap potensial aksi (Rendayu dan
Sukohar, 2018).
Disopiramid terutama digunakan secara oral untuk mencegah aritmia
ventikular berulang. Disopiramid mempunyai efek intropik negatif dan
bisa menyebabkan hipotensi (terutama bila diberikan secara intravena)

10
serta memperberat gagal jantung. Efek samping lainnya termasuk mual,
muntah serta antikolinergik yang jelas, yang bias membatasi penggunaanya
pada pria (retensi urin) (Rendayu dan Sukohar, 2018).
Kuinidin efektif pada terapi aritmia supraventrikular maupun aritmia
ventrikular, namun penggunaannya terbatas oleh karena efek samping pada
jantung yang berpotensi menjadi bahaya serta efek samping di luar jantung
yang sering terjadi. Efek sampingnya termasuk efek antikolinergik, mual,
muntah, diare, dan aritmia (Rendayu dan Sukohar, 2018).
b. Golongan I B
Obat golongan 1B memblok kanal Na+ (inaktif) yang tergantung
tegangan. Lidokain yang diberikan secara intravena digunakan pada terapi
aritmatik ventrikular, biasanya setelah infark miokard akut. Pada jaringan
jantung normal, lidokain mempunyai efek kecil karena cepat terisolasi
(<0,5 detik) dari kanal Na+ yang selanjutnya pulih kembali selama diastol.
Akan tetapi pada daerah iskemik, dimana anoksia menyebabkan
depolarisasi dan aktivitas aritmogenik, banyak kanal Na+ terinaktivasi
sehingga rentan terhadap lidokain (Rendayu dan Sukohar, 2018).
Efek samping dari obat golongan IB ini adalah pusing, kesemutan,
atau mengantuk (terutama bila injeksi terlalu cepat), efek SSP lainnya
(bingung, depresi pernapasan dan konvulsi), hipotensi dan bradikardia
(sampai terjadi henti jantung); hipersensitivitas (Rendayu dan Sukohar,
2018).
c. Gologan I C
Obat golongan 1C terdisosiasi sangat lambat dari kanal Na+ (10-20
detik) dan menekan kuat konduksi pada miokard. Flekainid terutama
digunakan sebagai profilaksis fibrilasi atrium paroksismal, tetapi
mempunyai efek inotropik negatif dan bisa menyebabkan aritmia
ventrikular yang serius. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sung Soon
Kim, MD dkk pada pasien mereka, flekainid ini berhasil mencegah
terulangnya takikardia supraventrikular nonreentrant dengan

11
mempertahankan konduksi jalur cepat yang terus berlanjut selama tindakan
lanjutan jangka panjang (Rendayu dan Sukohar, 2018).
2. Golongan II
Propanolol dan obat-obat serupa memiliki sifat antiaritmia karena efeknya
dalam dalam menghambat reseptor beta dan efek langsung pada membran.
Sebagian dari obat ini memiliki selektifitas untuk reseptor beta1 jantung,
sebagian memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik, sebagian memiliki efek
langsung pada membran yang nyata, dan sebagian memperpanjang potensial
aksi jantung. Kontribusi relatif penghambatan reseptor beta dan efek membran
langsung pada efek antiaritmia obat-obat ini belum diketahui. Meskipun
penghambat beta cukup dapat ditolerans, efikasi untuk menekan depolarisasi
ektopik ventrikel lebih rendah daripada penghambat saluran natrium. Namun,
terdapat cukup bukti bahwa obat-obat ini dapat mencegah infark rekuren dan
kematian mendadak pada pasien yang pulih dari infark miokardium akut
(Katzung, 2013).
Esmolol adalah penghambat beta kerja singkat yang terutama digunakan
sebagai obat antiaritmia untuk aritmia intraoperasi dan aritmia akut lainnya.
Sotalol adalah obat penghambat beta non-selektif yang memperlama potensial
aksi (Katzung, 2013).
3. Golongan III
Obat Golongan III bekerja dengan memperlambat repolarisasi dan
memperpanjang potensial aksi serta periode rerfrakter pada semua jaringan
jantung. Penggolongan obat antiaritmia dibagi menjadi empat kelas
berdasarkan mekanisme ionik dan reseptor obat pada proses potensial aksi di
sistem konduksi jantung (Rendayu dan Sukohar, 2018).
Amiodaron termasuk golongan III, yaitu obat aritimia yang terutama
bekerja di saluran K+ sehingga memperpanjang durasi potensial aksi dan
interval QT. Mekanisme kerja amiodaron juga meliputi aktivitas obat aritmia
kelas I, II, dan IV sehingga disebut sebagai obat aritmia dengan spektrum luas
dan cukup efektif digunakan pada berbagai macam aritmia. Amiodaron

12
direkomendasikan untuk beberapa keadaan, antara lain: terapi pada VT tanpa
nadi atau VF yang refrakter terhadap defibrilasi; terapi VT polimorfik atau
takikardia dengan QRS kompleks yang lebar yang tidak diketahui sebabnya;
kontrol VT dengan hemodinamik stabil apabila kardioversi tidak berhasil,
sangat berguna terutama bila fungsi ventrikel kiri menurun; sebagai obat
tambahan pada kardioversi supraventrikular takikardia atau paroksismal
supraventrikular takikardi; dapat digunakan untuk terminasi takikardia atrial
multifokal atau ektopik dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik; dapat
digunakan untuk kontrol denyut jantung pada atrial fibrilasi atau atrial flutter
bila terapi lain tidak efektif (Rendayu dan Sukohar, 2018).
4. Golongan IV
Obat aritmia kelas 4 contohnya verapamil dan diltiazem bekerja dengan
memblok kanal kalsium tipe L dan mempunyai efek khusus yang sangat kuat
pada AVN, di mana kondisi seluruhnya tergantung pada spike kalsium.2 Saat
ini varapamil tersedia dalam bentuk varapamil hidroklorida sebagai tablet untuk
penggunaan oral maupun dalam bentuk larutan untuk penggunaan injeksi intra
vena. Dalam penelitian Raditya Iswandana dkk melakukan rancangan sediaan
nanopartikel sebagai system penghantaran obat dengan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa kitosan-tripolifosfat dapat menghasilkan nanopartikel
verapamil hidroklorida dengan menggunakan metode gelasi ionik. Efek
samping : konstipasi, lelah, sakit kepala, mual, serta pergelangan kaki bengkak.
Penggunaan verapamil sebaiknya dihindari pada penderita hipotensi atau
tekanan darah rendah, gagal jantung, gangguan darah porfiria, dan gangguan
hati (Rendayu dan Sukohar, 2018).

D. Obat Anti Angina


Angina Pektoris merupakan ketidaknyamanan pada dada sebagai akibat dari
iskemik miokard tanpa disertai infark. Ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen miokard akan menimbulkan iskemik akut yang tidak menetap

13
sehingga dapat menyebabkan angina pectoris. Mekanisme terjadinya iskemik dapat
dievaluasi menggunakan klasifikasi klinis angina (Homenta, 2014). Commented [ZM4]: Dapusnya mana?

1. Nitrat Organik
Nitrat organik merupakan prodrug yang aktif setelah dimetabolisme dan
mengeluarkan nitrogen monoksida. NO dapat meningkatkan cGMP dengan
cara membentuk kompleks nitrosoheme dengan guanilat siklase. cGMP yang
meningkat menyebabkan defosforilasi myosin sehingga otot polos relaksasi
(Syamsudin, 2011). Relaksasi yang terjadi merupakan efek dari NO yang dapat
menyebakan vasodilatasi. Nitrat organik menyebabkan vasodilatasi semua
sistem vaskuler. Nitrat organik memengaruhi tonus otot vaskuler sehingga
kebutuhan dan suplai oksigen menurun. Pada dosis yang rendah, nitrat organik
dapat menurunkan preload. Pada dosis yang lebih tinggi, nitrat organik dapat
menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic (afterload) (Syarif, 2016).
Nitrat organik dapat diabsorbsi melalui kulit, mukosa sublingual, dan oral.
Nitrat organik melewati first pass metabolism di hepar menyebabkan
bioavailabilitas sebesar <20%. Nitrat organik dapat dikonsumsi tanpa melewati
first pass metabolism lewat sublingual sehingga dapat digunakan secara cepat
(Syamsudin, 2011). Nitrat organik memiliki beberapa efek samping, yaitu sakit
kepala dan flushing. Sakit kepala biasa terjadi di awal pemakaian dan akan
berangsur membaik. Pada pemakaian jangka panjang, nitrat organik dapat
menimbulkan gelaja rebound angina jika dilakukan penghentian konsumsi obat
secara mendadak (Syarif, 2016).
2. Beta Bloker
Beta blocker mengalami absorbsi oral sempurna, dimetabolisme di hati,
bioavailabilitasnya rendah, dan akan mengalami ekskresi di hepar (lipofilik)
atau di ginjal (hidrofilik). Beta blocker bekerja dengan cara memblokade
reseptor beta sehingga timbul efek kronotropik negatif, dromotropik negatif,
batmotrop negatif dan inotropik negatif. Contoh sediaan obat ini adalah
metaprolol, propanolol, oksprenolol, asebutolol (Schmitz et al., 2015).

14
Beta-blocker bekerja dengan memblok beta adrenoseptor. Beta
adrenoseptor diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta
1 terutama terdapat pada jantung dan juga terdapat di ginjal. Reseptor beta-2
banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.
Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak
dan perifer akan memacu pelepasan neurotransmitter sistem saraf simpatis.
Heart rate dan kekuatan kontraksi dapat meningkat dengan menstimulasi
reseptor beta-1 pada nodus sinoatrial dan miokardiak. Stimulasi reseptor beta
pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin sehingga terjadi peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron. Efek akhirnya adalah
peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan
sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Beta-blocker akan
mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah
(Dipiro et al, 2015).
3. Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium Channel Blocker bekerja dengan menghambat influks ion
kalsium transmembran, yaitu mengurangi masuknya ion kalsium melalui kanal
kalsium lambat ke dalam sel otot polos, otot jantung dan saraf. Kadar kalsium
bebas yang berkurang di dalam sel-sel menyebabkan berkurangnya kontraksi
otot polos pembuluh darah (vasodilatasi), kontraksi otot jantung (inotropik
negatif), serta pembentukan dan konduksi impuls dalam jantung (kronotropik
dan dromotropik negatif) (Goodman & Gilman, 2014). Terdapat 3 efek
hemodinamik utama yang berhubungan dengan pengurangan kebutuhan
oksigen otot jantung, yaitu vasodilatasi koroner dan perifer, penurunan
kontraktilitas jantung, serta penurunan automatisitas serta kecepatan konduksi
pada nodus SA dan AV (Syarif, 2016).
4. Obat Antiangina Baru
Terdapat dua macam obat antiangina baru, yaitu Ranolazine dan
Trimetazidin. Ranolazine digunakan sebagai obat gagal jantung sistolik dengan
mengembangkan homeostasis sodium yang terganggu. Ranolazine

15
menghambat aliran natrium ke dalam jantung persisten atau terlambat ke dalam
otot jantung melalui berbagai saluran voltage-gated sodium channels (Sokolov,
2016).

E. Obat Atropin
Atropin merupakan salah satu jenis dari antagonis muskarinik. Antagonis
muskarinik bekerja pada reseptor muskarinik dengan afinitas berbeda. Hambatan
pada atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan asetilkolin berlebih dan
antikolinesterase. Atropin memblokade asetikolin eksogen secara kuat, tetapi
sebenarnya dapat memblokade baik endogen ataupun eksogen. Atropin memiliki
efek yang sangat kuat di perifer, yaitu jantung, usus, dan otot bronkus. Atropin dapat
menghambat brakikardi yang disebabkan oleh obat kolinergik. Atropin tidak
memengaruhi pembuluh darah ataupun tekanan secara langsung, tetapi dapat
menghambat vasodilatasi akibat asetilkolin atau ester kolin. Atropin tidak
memberikan efek terhadap sirkulasi darah jika diberikan sendiri karena pembuluh
darah tidak dipersarafi parasimpatik. Dosis toksik atropin dapat menimbulkan
atropine flush akibat dilatasi kapiler pada wajah dan leher (Sokolov, 2016).

BAB III

METODE PRAKTIKUM

16
A. Alat dan Bahan
1. Alat
 Beaker Glass
 Spuit Tuberculin
 Pinset
 Gunting
 Perusak SSP Katak
 Isolasi
 Papan
 Penggantung Katak
2. Bahan
 Sulfas Atropin 0,5 cc
 Ringer Laktat
3. Binatang Percobaan
 Dua ekor katak

B. Cara Kerja

17
Rusak SSP masing-masing katak

Terlentangkan masing-masing katak di atas papan

Gunting kulit bagian ventral katak untuk membuka


abdomen sampai thorax dari katak

Buka selaput perikardium katak

Jaga jantung agar tetap basah dengan diteteskan ringer


laktat secukupnya

Katak pertama diberi 1 tetes larutan ringer laktat tiap 1


menit, sedangkan katak kedua berikan sulfas atropin 1
tetes

Catat denyut, ukuran, warna, irama atrium, dan


ventrikel selama 5 menit selama 15 menit

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

18
A. Hasil Commented [ZM5]: Tambahkan hasil dan pembahasan
kelompok lain mengenai atropin ya dek
Pemberian Sulfas Atropin Commented [ZM6]: Kelompok kita diberikan ringer laktat dek

Menit ke- Jumlah denyut Irama Warna Ukuran


5 51 Teratur Merah pekat Normal
10 45 Melambat Merah pekat Mengecil
15 42 Melambat Merah pekat Mengecil

B. Pembahasan
Jantung katak diamati setelah pemberian satu tetes Sulfas Atropin. Pada 5
menit pertama, terlihat jumlah denyut jantung 51 bpm dengan irama yang teratur.
Warna jantung katak berwarna merah pekat dan ukuran masih normal.
Pengamatan pada 5 menit kedua menunjukkan adanya perubahan pada
denyut jantung dan irama dari jantung katak. Denyut jantung katak dari yang
sebelumnya 51 bpm turun menjadi 45 bpm dengan irama yang melambat. Ukuran
jantung pun mulai mengecil. Walaupun begitu, tidak terdapat perubahan pada warna
jantung katak.
Pada 5 menit ketiga, terlihat bahwa denyut jantung katak semakin
menurun dan irama jantung semakin melambat. Jumlah denyut jantung dari 45 bpm
menurun menjadi 42 bpm. Ukuran jantung juga mengecil namun tidak signifikan.
Tetapi, tetap tidak ditemukan adanya perubahan warna pada jantung katak.
Sulfas Atropin merupakan suatu obat antikolinergik atau obat
parasympatholytic (anti parasimpatis) antagonis kompetitif yang bekerja dengan
cara mengikat reseptor muskarinik. Pengikatan reseptor muskarinik ini akan
menyebabkan efek antikolinergik. Atropine tidak memberi pengaruh langsung
terhadap tekanan darah maupun pembuluh darah. Pemberian pada jantung akan
menyebabkan peningkatan kerja dari nodus SA serta meningkatkan konduksi pada
nodus AV. Obat ini juga akan memblokade reseptor asetilkolin. Blokade dari
reseptor asetilkolin tersebut akan menyebabkan aktivitas nervus vagus – nervus
yang bekerja secara parasimpatis - pada jantung menjadi terhenti sehingga akan

19
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kecepatan konduksi. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan cardiac output. (Bork et al, 2017)
Namun, pemberian Sulfas Atropin dengan dosis kecil justru dapat
memberikan efek yang sebaliknya. Pemberian dosis kecil dari atropine akan
menyebabkan perlambatan denyut jantung, sesuai dengan apa yang terjadi pada
praktikum kali ini. Hal ini disebabkan oleh efek agonis perifer yang lemah yang
menyebabkan suatu respon yang paradoks. (Katzung, 2014)

C. Aplikasi Klinis
1. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah keadaan patologis ketika jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme. Gagal jantung
adalah komplikasi tersering dar segala jenis penyakit jantung kongenital
maupun didapat. Gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung,
tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan
mencegah berkembang menjadi kegagalan jantung sebagai suatu poma (Price
& Lorraine, 2012).
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal jantung, meningkatkan beban akhir,
atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Faktor yang mengganggu
pengisian ventrikel dapat menyebabkan gagal jantung, keadaan seperti
perikarditis konstriktif dan tamponade jantung juga dapat mengakibatkan gagal
jantung melalui kombinasi beberapa efek seperti gangguan pada pengisian dan
ejeksi ventrikel (Price & Lorraine, 2012). Gejala gagal jantung dapat
dihubungkan dengan penurunan cardiac output (mudah lelah, dan
kelemahan) atau retensi cairan (Rachma, 2015).

2. Angina Pektoris
Angina Pektoris Stabil (APS) merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai dengan rasa tidak nyaman di dada atau di area sekitarnya yang

20
disebabkan oleh iskemia miokard yang reversibel (Nasution, 2018). Gejala
yang dirasakan penderita adalah adanya rasa tidak nyaman di dada sering sekali
dideskripsikan sebagai rasa ditusuk atau disayat, tertimpa benda berat, rasa
menyesak, atau rasa seperti diremas (Pertiwi, 2014).
Angina Pektoris Stabil merupakan manifestasi yang paling sering dijumpai
pada penderita penyakit arteri koroner. Walaupun hal yang mendasari
manifestasi kinis tersebut adalah adalah ketidakseimbangan antara antara suplai
dan kebutuhan oksigen miokard pada penderita penyakit arteri koroner yang
bersifat reversibel, namun mayoritas kejadian angina disebabkan oleh plak
aterosklerosis yang menyumbat arteri koroner (Nasution, 2018).
Penyebab paling sering dari iskemik miokard adalah proses aterosklerosis,
sumbatan pada arteri koroner dapat juga disebabkan oleh faktor lain ynag bukan
aterosklerosis, contohnya kelainan bawaan pada pembuluh darah, jembatan
miokard (myocardial bridging), arteritis koroner yang terkait faskulitis
sistemik, dan penyakit koroner yang diakibatkan oleh radiasi (Nasution, 2018).
3. Congestive Heart Failure (CHF)
Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di
mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhi
kebutuhan jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian (McPhee &
Ganong, 2010). Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu gagal
jantung kiri, kanan, dan kombinasi atau kongestif. Pada gagal jantung kiri
terdapat bendungan paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Gagal jantung kanan ditandai
dengan adanya edema perifer, asites dan peningkatan tekanan vena jugularis.
Gagal jantung kongestif adalah gabungan dari kedua gambaran tersebut.Namun
demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun kanan sering terjadi secara
bersamaan (McPhee & Ganong, 2010).
CHF menimbulkan berbagai gejala klinis diantaranya; dipsnea, ortopnea,
pernapasan Cheyne-Stokes, Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), asites,

21
piting edema, berat badan meningkat, dan gejala yang paling sering dijumpai
adalah sesak nafas pada malam hari, yang mungkin muncul tiba-tiba dan
menyebabkan penderita terbangun (Udjianti, 2011). Munculnya berbagai gejala
klinis pada pasien gagal jantung tersebut akan menimbulkan masalah
keperawatan dan mengganggu kebutuhan dasar manusia salah satudiantaranya
adalah tidur seperti adanya nyeri dada pada aktivitas, dyspnea pada istirahat
atau aktivitas, letargi dan gangguan tidur (Fachrunnisa, Sofiana Nurchayati, dan
Arneliwati, 2015).

BAB V

KESIMPULAN Commented [ZM7]: Kesimpulan harus selaras dengan tujuan

22
1. Obat anti hipertensi meliputi golongan diuretik (tiazid, Loop Diuretic, diuretik
hemat kalium), simpatolitik (Alfa Blocker dan Beta Blocker), vasodilator, ACE-
Inhibitor, Calcium Channel Blocker, Angiotensin Reseptor Blocker, Renin
Inhibitor
2. Obat gagal jantung meliputi golongan diuretik, Beta Bloker, ACE-I, ARB,
Kardiotonik.
3. Obat antiaritmia meliputi golongan I (IA, IB, IC), golongan II, golongan III,
golongan IV.
4. Obat antiangina meliputi nitrat irganik (NO), Calcium Channel Blocker, Beta
Blocker, dan obat antiangina baru.
5. Obat Atropin merupakan salah satu jenis dari antagonis muskarinik.
6. Pemberian Sulfas Atropin pada jatung katak, pada 5 menit pertama mengalami
perubahan detak jantung yang semakin cepat, warna menjadi merah pekat,
ukurannya normal, dan iramanya teratur. Pada 5 menit kedua mengalami
perlambatan detak jantung, tidak terjadi perubahan warna, ukurannya mengecil,
dan iramanya melambat. Pada 5 menit ketiga mengalami perlambatan denyut
jantung, tidak terjadi perubahan warna, ukurannya mengecil, dan iramanya
melambat.
7. Sulfas Atropin merupakan suatu obat antikolinergik atau obat parasympatholytic
(anti parasimpatis) antagonis kompetitif yang bekerja dengan cara mengikat
reseptor muskarinik dan memblokade reseptor asetilkolin sehingga menyebabkan
peningkatan cardiac output. Namun, pemberian Sulfas Atropin dengan dosis kecil
akan menyebabkan perlambatan denyut jantung. Hal ini disebabkan oleh efek
agonis perifer yang lemah yang menyebabkan suatu respon yang paradoks.
8. Aplikasi klinis antaralain gagal jantung, angina pektoris, Congestive Heart Failure
(CHF).

DAFTAR PUSTAKA

Abrahams, H. 2011. Cuba, Raul Castro and New North Carolina: McFarland and
Company, Inc.

23
Anggriani, A., Herawati, I., Budiastuti, J. 2017. Evaluasi Penggunaan Obat Hipertensi
Golongan Angiotensin Reseptor Bloker pada Pasien yang Intoleransi Ace
Inhibitor. Jurnal Farmasi Galenika. Vol 4(1) : 20-25

Benowitz, N. L. 2010. Clinical Pharmacology and Experimental Therapeutics


Division.

Bork, N, Conti, M, El-Armouche, A, Dewenter, M, Fischer, T, Hasenhauẞ et al. 2017.


Atropine augments cardiac contractility by inhibiting cAMP-specific
phosphodiesterase type 4. Sci Rep 7: 15222.

Danniswara, F. G., dan Restadiamawati. 2015. Pengaruh Penggunaan Nifedipin pada


Penderita Hipertensi Terhadap Laju Aliran Saliva dan Pembesaran Gingiva.
Media Medika Muda. Vol. 4 (4): 713-722.

Destiani, M., Uddin, I., Ardhianto, P. 2018. Gambaran Peresepan Obat Beta Blocker
Pada Pasien Gagal Jantung Sistolik Yang Dirawat Jalan Di Rsup Dr. Kariadi
Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Vol 7(2) : 1531-1541

Dewi, N. P. U. S., Amandari, I. G. A. A. E., et al. 2018. Aliskiren: Direct Renin


Inhibitor Baru Pada Terapi Hipertensi. Hang Tuah Medical Journal. Vol. 16 (1)
: 18-27.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies,
Inggris.

Fachrunnisa, S. N., & Arneliwati. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kualitas Tidur Pada Pasien Congestive Heart Failure. Journal Online
Mahasiswa. Vol. 2(2): 1094-1105.

Fandinata, S.S. 2019. Perubahan Kadar Protein dalam Urin terhadap Penggunaan
ObatAntihipertensi (Valsartan) pada Pasien Nefropati. Journal of Pharmacy and
Science. Vol 4(1) : 1-6

Fitrianto, H., Azmi, S., Kadri, H. 2015. Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien
Hipertensi Esensial di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSUP DR. M. Djamil Tahun
2011. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 3 (1) : 45-48.

Goodman & Gilman. 2014. Dasar Farmakologi dan Terapi Ed. 10, Vol. 2. Jakarta :
EGC.

24
Gunawan, Sulistia G. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI.

Herlina, Muchtaridi. 2018. Review: Penggunaan Metode Defined Daily Dose dalam
Penelitian Pola Pemanfaatan Obat-Obat Antihipertensi. Suplemen. Vol 16(1) :
159-168

Katzung, B. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinik, McGraw Hill Education vol 1 (12)
p:130 – 132

Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik.
Jakarta: EGC.

Katzung, Bertram G., Masters, Susan B., Trevor, Anthony J. 2014. Farmakologi Dasar
dan Klinik. Jakarta: EGC.

KEMENKES RI. 2014. Infodatin Hipertensi. Jakarta : Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI.

Koshy, S., Bindu, V., Kumar, P. A., Sajeevan, A., Mubashira, N.K.K., Mohasina, S.,
Babu, S. 2018. A Research Work on Cardiotonic Activity of Cassia Tora on
Chicken Heart. International Journal of Science and Research Vol 7(8) : 1147-
1148

Luthfi, M., Aziz, S., Kusumastuti, E. 2018. Rasionalitas Penggunaan ACE Inhibitor
pada Penderita Hipertensi di bagian Penyakit Dalam RSUD Kayuagung dan
RSMH Palembang. Biomedical Journal of Indonesia: Jurnal Biomedik Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya. Vol 4(2) : 67-76

Nasution, M. K. S. 2018. Penambahan Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner pada


Nilai Diagnostik Duke Treadmill Score untuk Mendeteksi Kompleksitas Lesi
Arteri Koroner pada Penderita dengan Angina Pektoris Stabil.

Nasution, S. H., Rodiani, Islamy, N., Prabowo, A. Y. 2019. Peningkatan Derajat


Kesehatan Masyarakat Melalui Penyuluhan, Pemeriksaan, Pengobatan
Hipertensi dan Pemberian Tensimeter Bagi Warga di Desa Karang Endah
Lampung Tengah. Jurnal Pengabdian Masyarakat Ruwa Jurai. Vol. 4 (1) : 10-
12.

Nurhayati, Kusumadewi, S., Miladiyah, I. 2016. Sistem Pakar Pemilihan Obat


Antihipertensi dan Interaksi Obat atau Makanan. Infokes.Vol 6(1): 64-70

25
Pertiwi, V. G. 2014. Pengaruh Edukasi Terhadap Tekanan Darah pada Pasien
Hipertensi Di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Pratiwi, D. Gambaran Pengetahuan Pasien Hipertensi Terhadap Penyakit Hipertensi


dan Obat Antihipertensi Golongan Ace-Inhibitor dan Diuretik. Journal of
Pharmacy and Science. Vol 1 (1) : 40-48.

Price, A. Sylvia., L. M. Wilson. 2012. Patofisiologi Edisi 6 Vol 1 Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta : EGC.

Rachma, L.N. 2015. Patomekanisme penyakit gagal jantung kongestif. El-Hayah. Vol.
4(2): 81-89.

Schmizt, Constanze et al. 2015. “Class I antiarrhythmic drugs inhibit human cardiac
two-pore-domain K+ (K2P) channels”. European Journal of Pharmacology. Vol
(721): 237-248.

Sokolov, S.,Peters, C.H.,Rajamani,S.,Ruben, P.C. 2016. "Proton-Dependent Inhibition


of The Cardiac Sodium Channel Nav1.5 By Ranolazine". Frontiers In
Pharmacology. 4: 78.

Syamsudin, A., Pratama, A.S.P. 2011. Buku Ajar Farmakoterapi Kardiovaskular dan
Renal. Jakarta : Salemba Medika.

Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawati, A., et al. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi
5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawati, A., et al. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi
6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Udjianti, W. J. 2011. Keperawatan kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.

Yeung, W.Y., et all. 2013. Handbook of Internal Medicine. 6th edition. COC
(Medicine) Hospital Authority

26

Anda mungkin juga menyukai