Anda di halaman 1dari 16

BAB III

KONSEP KESEHATAN MENTAL PERSPEKTIF SIGMUND FREUD

A. Definisi Kesehatan Mental Perspektif Sigmund Freud


Sigmund Freud. Ia lahir di Cekoslovakia pada 6 Mei 1856. Ia merupakan
sosok manusia yang cerdas dan sering tidak puas dengan ajaran dan doktrin
yang diterimannya sebelum diselidikinya sendiri, sehingga membuatnya berada
hanya kurang lebih 4 tahun di Cekoslowakia untuk selanjutnya mengembara ke
Wina, Austria, guna mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. (Sigmund Freud,
1960: 13).
Di sana, ia gigih mempelajari kebudayaan dan hubungan trans budaya
manusia dengan penuh semangat serta mengadakan analisa dan penelitian
mendalam. Karena sifatnya yang sangat radikal menyebabkannya dibenci oleh
masyarakatnya. Kebencian itu bermula dari upaya kritisnya menjelaskan
kesalahan-kesalahan dan kekeliruan manusia serta bertambah beraninya
menunjukkan kejelekan-kejelekan manusia pada zamannya. (Sigmund Freud,
1960: 13).
Pada tahun 1873 dia tertarik masuk ke universitas kedokteran di Wina
karena termotivasi oleh teori evolusi Darwin yang ia dalaminya. Ia sangat
tertarik mendalami biologi sebagai jalan memahami hakekat organisme tubuh
manunsia. Atas semangatnya dalam studi biologi, ia bekerja di laboratorium
fisiologi di Wina antara 1876 – 1882 yang waktu itu dipimpin Ernest Bruche,
dan akhirnya, atas pengarahan yang tulus itu mewujudkan cita-citanya menjadi
seorang dokter dalam bidang urat syaraf. (Abu Ahmadi, 1982: 7).
Sejak pertengahan abad 19, obyek psikologi adalah kesadaran orang
normal, dewasa dan beradab. Anggapan Freud dalam Sumadi Suryabrata
(1982), kesadaran itu hanya sebagian kecil dari kehidupan psikis. Freud
mengumpamakan psyche/psikis sebagai gunung es yang yang berada di lautan.
Puncak gunung yang menjulang di atas air laut hanya sebagian kecil saja,
sedangkan yang berada di dalam lautan sangat besar/luas bila dibanding
dengan alam sadar. Dalam alam tidak sadar terdapat kekuatan-kekuatan dasar
46

yang mendorong pribadi. Freud mempunyai perhatian khusus terhadap


neurologi, mengadakan spesialisasi dalam perawatan orang yang menderita
gangguan syaraf. (Siti Sundari HS, 2005: 19).
Pada tahun 1885 ia dinobatkan menjadi guru besar bidang urat syaraf di
Wina. Karena merasa masih belum cukup ilmunya, ia pergi ke Paris untuk
mempelajari teori hypnose pada Prof. Charcot yang waktu itu ditemani oleh
Janet. Sekembalinya ke Wina, ia bekerjasama dengan Prof. Breuer, seorang
dokter spesialis bidang urat syaraf dan penyakit histeri, dan atas kesungguhan
serta ketelitiannya, ia berhasil menerbitkan bukunya Studien Uber Hysteri pada
tahun 1895. ( K. Bertern, 1983: 10-11).
Manusia, menurut Freud dipandang sebagai realitas alamiah materialistik
yang memiliki daya psiko-phisik bersumber dari dorongan libido seksualitas
yang berpusat dalam aparat jiwa tak sadar. Seluruh aktivitas kehidupannya
bersumber dari padanya. Dengan asumsi seperti itu, manusia yang sehat adalah
manusia yang mekanisme psikisnya berjalan secara harmonis, dan sebaliknya
manusia yang sakit adalah manusia yang dalam dirinya terdapat konflik-
konflik internal, misalnya gejala neurosis, phobia dan lain-lain. (Bambang
Mulyono, 1984: 16).
Freud menggambarkan dalam teori analisisnya, bahwa jiwa manusia
bagaikan gunung es di tengah-tengah samudera. Sesuatu yang nampak di
permukaan laut hanya mencapai sepuluh persen saja, sebagai kawasan sadar.
Sedangkan sembilan puluh persennya berada di bawah permukaan air, sebagai
kawasan tak sadar. (Sigmund Freud, 1960: 11).
Jadi, manusia menurut Freud banyak melakukan hal diluar kesadarannya,
dibanding dengan hal-hal yang disadari.
Dengan asumsi seperti itu Freud menunjukkan kesalahan lama, terutama
dalam konteks psikoterapi, yang memandang bahwa problem psikis semisal
neurosis dan lain-lain berakar pada gangguan sistem kesadaran. Dalam
teorinya itu Freud menjelaskan secara detail struktur kejiwaan manusia yang
terdiri dari; Id (das es), ego (das ich), dan superego (das uber ich). Id
merupakan sumber energi psikis yang berwujud instink-instink manusia, dan
47

dari aparat ini, yang paling dominan adalah instink seksual dan agresifitas.
Kedua instink itu berprinsip pada tuntutan pleasure yaitu rasa puas,
kenikmatan dan kesenangan. Oleh karena itu Id mewakili segi-segi primitif dan
irrasional manusia yang berwujud perbuatan yang tidak disadari yang
berkonstitusi pada sikap kekanak-kanakan. ( K. Bertern, 1983: 8).
Id merupakan aspek biologis sebagai sistim original dalam kepribadian.
Merupakan dunia batin atau subjektif manusia, tidak mempunyai hubungan
langsung dengan dunia objektif. Sebagai reservoir energi psikis yang
menggerakan ego dan superego. Energi psikis dalam id dapat meningkat
karena rangsangan dari dalam dan dari luar. Bila energi meningkat,
menimbulkan tegangan, selanjutnya mengalami ketiakenakan/tidak
menyenangkan. Id segera mereduksi rasa tidak enak (mengejar kenikmatan)
dengan dua cara:
1. Refleks dan reaksi otomatis, misalnya bersin, berkedip.
2. Proses primer, misalnya orang lapar membayangkan makanan.
Dengan membayangkan makanan tidak kenyang.

Maka menghubungkan pribadi dengan dunia objektif (sistim yang


dimiliki ego). Bila ego gagal, id yang berkuasa, terjadilah gangguan mental.
Pemindahan energi dari objek satu ke objek lain merupakan sifat yang sangat
penting pada kepribadian. (Siti Sundari HS, 2005: 20).

Id dapat hidup dan berkembang berdasarkan hasil dari metabolisme atau


pertukaran zat. Jadi akan tergantung pada makanan, matahari dan sebagainya
yang dibutuhkan untuk metabolisme. (Sutardjo A. Wiramihardja, 2015: 29).
Ego merupakan aspek psikologis dari kepribadian. Aspek ini timbul
karena adanya kebutuhan organisme untuk berhubungan dengan realita atau
dunia nyata. Bila lapar, id membayangkan makanan, sedangkan ego dapat
membedakan kahayalan dengan realita atau objektif. Maka ego bereaksi
dengan proses sekunder, mencari objek yang tepat, yang sesuai untuk
mereduksi tegangan yang timbul dalam organisme. Proses sekunder adalah
48

proses berpikir relalistik, merencanakan dan menguji akan berhasil atau tidak.
(Siti Sundari HS, 2005: 20).
Ego adalah sub sistem kepribadian yang menghubungkan subyek atau
person dengan lingkungan sosialnya diluar, karena berhubungan dengan
lingkungan sosial yang ada di luar diri, maka sifatnya realistik atau objektif dan
berproses sekunder melalui pengolahan. Ada 3 fungsi utama ego sebagai
berikut:
1. Identitas diri, yaitu mengenali siapa dirinya.
2. Uji realitas, yaitu memperkirakan apa yang baik untuk dilakukan,
ialah yang dapat diterima oleh orang lain ketika meredakan
ketegangannya dan apa yang tidak dilakukannya karena tidak
diharapkandan tidak disetujui lingkungan.
3. Mekanisme pertahanan diri, yaitu mekanisme yang secara tidak sadar
dan irasional berlangsung dalam dinamika kehidupan kejiwaan
manusia untuk menghindari kemungkinan terjadinyasituasi yang
tidak menyenangkan atau menyakitkan. (Sutardjo A. Wiramihardja,
2015: 30).
Sedangkan superego adalah suatu konsep tentang aparat psikis yang
merupakan hasil atau kesan internalisasi nilai-nilai dari orang tua pada diri
anak yang berupa sanksi dan ganjaran terhadap satu perilaku tertentu. Jadi,
superego merupakan penyeimbang atas dorongan bawah sadar (Das Bewuszte)
dan dorongan kesadaran ego (Das unbewuste). Antar aparat psikis harus
terjalin komunikasi yang balance dan harmonis. Masing-masing -dalam segala
aktivitasnya- harus berjalan sebagaimana fungsinya, sebab jika tidak maka
akan timbul kegoncangan, kecemasan, konflik batin yang mengarah pada
hilangnya keseimbangan kepribadian. (Sigmund Freud, 1960: 23).
Superego adalah sub sistem yang muatannya berupa pesan-pesan
komunitas atau sosial yang ditanamkan melalui introjeksi kepada anak kecil
melalui orang tua khususnya ayah. Di sana ada nilai, norma atau makna sosial
maupun spiritual. (Sutardjo A. Wiramihardja, 2015: 29).
49

Superego merupakan aspek sosiologis pada kepribadian, sebagai wakil


nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat yang diajarkan pada generasi
berupa larangan dan perintah. Sebagai aspek kesempurnaan atau moral dalam
kepribadian. Berfungsi menentukan benar-salah, susila-tidak susila, pantas-
tidak pantas. Superego berisi consensia dan ich ideal. Consensia menghukum
dengan memberi rasa berdosa, sedangkan ich ideal menghadiahi rasa bangga.
Fungsi utama superego dengan mengetahui hubungan ketiga aspek kepribadian
yaitu:
1. Merintangi impuls-impuls id, seksual dan agresif yang ditentang
masyarakat.
2. Mendorong ego mengejar hal-hal yang moralitas daripada yang
realistis.
3. Mengejar kesempurnaan.
Jadi, ada kecenderungan bertentangan dengan id dan ego. Dalam
kenyataan tugas aspek ini bekerjasama diatur oleh ego, karena kepribadian
merupakan kesatuan. Aspek-aspek tersebut sebenarnya hanya nama untuk
berbagai proses psikologis yang berlangsung dengan prinsip-prinsip yang
berbeda. (Siti Sundari HS, 2005: 20-21).
Psikoanalitik yang dipelopori oleh Sigmund Freud memandang bahwa
kesehatan mental itu akan diperoleh apabila ego mencapai kemenangan dalam
pertarungan yang terjadi antara ketiganya. Namun tampaknya hasil (kesehatan
mental) yang ia peroleh itu, bukanlah hasil yang sebenarnya, melainkan hasil
yang semu. Sebab dibalik keberhasilan itu pertarungan–pertarungan di antara
ketiganya akan terus berlangsung. Ego hampir selalu saja berseberangan
dengan Id. Kemudian datang superego yang mencoba melerai keduanya, yang
pada dasarnya semakin memperluas arena pertarungan. Dengan demikian,
maka manusia adalah makhluk yang penuh dengan sikap pesimis dan tidak
akan pernah memperoleh kesehatan mental yang sebenar-benarnya.
(Ramayulis, 2002: 142).
Freud berasumsi bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari
rentetan konflik internal yang terus menerus. Konflik (peperangan) antara id,
50

ego, superego adalah hal yang biasa (rutin). Karena id menginginkan kepuasan
dengan segera, sementara ego menundanya sampai ada kecocokan dengan
dunia luar dan superego seringkali menghalanginya. (Syamsu Yusuf LN dan
A. Juntika Nurihsan, 2011: 51).
Apabila individu dapat mengatasi setiap konflik yang terjadi di antara
ketiga komponen kepribadian tersebut, maka dia akan mengalami
perkembangan yang sehat. (Syamsu Yusuf LN dan A. Juntika Nurihsan, 2011:
57).
Jadi, manusia dipengaruhi oleh tiga komponen kepribadian yaitu id, ego
dan superego, ketiganya merupakan komponen yang menjadi kesatuan yang
harus bekerja sama namun tidak selamanya satu, terkadang menjadi sebuah
konflik yang berdampak pada seseorang.
Pada orang yang sehat atau normal, terhadap pertentangan antara id dan
superego ini (yang masing-masing bersifat tidak realistik dan mutlak) ego
meredakan atau menjalankannya, karena ego memiliki referensi yang lebih luas
dan realistis, caranya adalah dengan mengambil situasi dan nerima serta nilai
yang ada dalam realitas sebagai referensi bagi perilakunya. Jadi, kalau dalam id
dan superego yang berfungsi adalah fungsi primer, maka ego melaksanakan
fungsi sekunder. Primer berarti langsung dipenuhi, sedangkan sekunder
sebaliknya. Misalnya, seorang anak yang ditinggal ibunya ke pasar merasa
dibohongi, karena tidak ada yang menangani. Maka perasaan dibohongi itu
berkembang menjadi benci pada ibu dan akhirnya berkembang benci kepada
kaum ibu. Bahkan kepada semua perempuan. Itulah proses abnormalitas dalam
psikoanalisis. (Sutardjo A. Wiramihardja, 2015: 30-31).
Menurut Freud, perbatasan antara kondisi neurosis, kondisi normal, dan
kondisi abnormal adalah sangat kabur dan bahwa kita semua sedikit mengalami
neurosis. Gejala-gejala yang muncul secara jarang atau muncul dengan kadar
yang ringan dan baru kemudian menjadi makin sering, makin berat atau
dilanjutkan dengan manifestasi-manifestasi morbid secara sementara, atau bisa
jadi bahwa kondisi yang menjadi transisi antara sehat dan sakit mental tidak
mungkin bisa ditemukan. Jenis gangguan yang merupakan transisi, yang
51

manifestasinya muncul dalam bentuk kesalahan tak sengaja dan tindakan


simptomatis, memiliki ciri bahwa gejala-gejala itu terjadi pada kegiatan-
kegiatan psikis yang kurang penting, sementara bagian-bagian yang memiliki
nilai psikis yang lebih tinggi tetap tidak mengalami gangguan. Sementara
kasus-kasus gejala-gejala itu terbalik yaitu ketika gangguan terjadi pada
kegiatan-kegiatan individual dan sosial sehingga mengganggu fungsi makanan,
seksual, serta mengganggu kehidupan profesional dan sosial cenderung untuk
terjadi pada neurosis tingkat lanjut dan relatif jarang terjadi pada bentuk-bentuk
manifestasi lainnya. Yang jelas, baik kasus yang ringan maupun yang parah
sama-sama memiliki satu kesamaan yang ada dalam tindakan-tindakan dan
kesalahan-kesalahan yang tak disengaja, yaitu semuanya menunjukkan adanya
fenomena di mana materi psikis yang tak menyenangkan dan direpresi meski
telah disingkirkan dari pikiran sadar masih tetap memiliki kemampuan untuk
memunculkan dirinya. (Sigmund Freud, 2015: 316-317).
Jadi penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa kesehatan mental
menurut Sigmund Freud dapat diperoleh apabila ego mencapai kemenangan
dalam pertarungan yang terjadi antara id, ego, dan superego. Freud berasumsi
bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari rentetan konflik internal
yang terus menerus. Konflik (peperangan) antara id, ego, superego adalah hal
yang biasa (rutin). Karena id menginginkan kepuasan dengan segera,
sementara ego menundanya sampai ada kecocokan dengan dunia luar dan
superego seringkali menghalanginya.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental Perspektif


Sigmund Freud
Freud menjadikan teori psikoanalisanya itu menjadi sebuah metode
pengobatan jiwa atau metode psikoterapi. Pada intinya, gangguan jiwa
disebabkan adanya dorongan Id, yang didominasi libido seksual, yang tidak
dapat terarahkan dengan wajar atau obyektif kemudian direpresi dalam struktur
tak sadar. Selain itu gangguan jiwa dapat disebabkan lemahnya fungsi Ego
karena tidak adanya pengarahan eksternal atau juga karena lemahnya potensi
52

internal karena faktor hereditas. Oleh sebab itu, cara menanganinya adalah
dengan membongkar alam tak sadar dengan analisis perilaku ataupun impian –
impian yang dialami. Setelah itu membongkar faktor penyebabnya bersamaan
dengan menyadarkan ego pasien. Dengan proses itu, sebagaimana dipraktekkan
Freud, gangguan jiwa akan hilang secara otomatis. Menurut Freud, manusia
dipandangnya sebagai makhluk nafsu-nafsu yang menuntut kepuasan-
kepuasan. Bagi Freud, agama tidak lain hanyalah sebuah ungkapan rasa
bersalah dan dosa yang menuntut pertobatan dan pembersihan diri agar tercapai
kepuasan dan ketenteraman psikis. Jadi keberagamaan merupakan sebuah
bentuk mekanisme pertahanan individu sebagai sarana penyesuaian ego dengan
dunia real agar mencapai keutuhan dan ketenteraman pribadi. (Ramayulis,
2002: 42).
Teori psikoanalitik tentang kepribadian menyatakan bahwa setiap
individu terdapat kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan (id, ego, dan
superego) yang menyebabkan konflik internal tidak terhindarkan. Freud
percaya bahwa gangguan psikologi disebabkan oleh konflik tersebut, yang
bisasnya berawal pada masa anak-anak dini, di mana individu tidak
menyadarinya; impuls dari emosi yang terlibat telah direpresi ke bawah sadar.
Asumsi penting dari psikoanalisis adalah bahwa masalah yang dialami
seseorang pada saat ini tidak dapat dipecahkan dengan baik tanpa memahami
sepenuhnya dasar bawah sadarnya dalam hubungan awal dengan orangtua dan
saudara kandungnya. Tujuan psikoanalisis adalah mengangkat konflik (emosi
dan motif yang direpresi) ke kesadaran sehingga dapat ditangani dengan cara
yang lebih rasional dan realistik. (Hawari, Dadang, 1995: 98).
Jadi penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan mental perspektif Sigmund Freud adalah disebabkan
adanya dorongan Id, yang didominasi libido seksual, yang tidak dapat
terarahkan dengan wajar atau obyektif kemudian direpresi dalam struktur tak
sadar. Selain itu gangguan jiwa dapat disebabkan lemahnya fungsi Ego karena
tidak adanya pengarahan eksternal atau juga karena lemahnya potensi internal
karena faktor hereditas. Oleh sebab itu, cara menanganinya adalah dengan
53

membongkar alam tak sadar dengan analisis perilaku ataupun impian – impian
yang dialami. Setelah itu membongkar faktor penyebabnya bersamaan dengan
menyadarkan ego pasien. Dengan proses itu, sebagaimana dipraktekkan Freud,
gangguan jiwa akan hilang secara otomatis.

C. Indikator Kesehatan Mental Perspektif Sigmund Freud


Menurut psikoanalisis, seseorang dinyatakan sehat mentalnya apabila ia
tidak mempunyai keluhan-keluhan tertentu seperti cemas, rendah diri, tegang
dan sebagainya, di mana semua keluhan itu menimbulkan perasaan sakit.
(Ramayulis, 2002: 147).
Jadi, kepribadian yang sehat menurut Freud jika individu bergerak
menurut pola perkembangan yang ilmiah, mampu mengatasi tekanan dan
kecemasan, dengan belajar, seimbangnya fungsi dari superego terhadap id dan
ego, tidak mengalami gangguan dan penyimpangan pada mentalnya, serta
dapat menyesuaikan keadaan dengan berbagai dorongan dan keinginan.

Menurut Freud, superego memberikan model personalitas (kepribadian)


yang kokoh dan kuat. Superego lebih merupakan kesempurnaan dari
kesenangan. Karena itu, superego dianggap sebagai aspek moral kepribadian
yang mendasar. Bagi Freud, superego adalah aspek moral kepribadian internal
yang memiliki nilai dan standar sosial. Superego mengarahkan ke tujuan
kebajikan-kebajkan moral yang dapat diterima oleh masyarakatnya. Dalam
kehidupan pribadi, menyimpan nilai luhur yang tumbuh dari proses sosial
masyarakat sehingga menjadikan pribadi itu tenang dan damai. (Khairunnas
Rajab, 2013: 168-169).

Jadi, orang yang sehat adalah orang yang mampu memuaskan kebutuhan
akan kenikmatannya tanpa harus bertolak belakang dengan norma-norma sosial
yang berlaku di masyarakat.

E.B. Hurlock (1986) mengemukakan bahwa karakteristik penyesuaian


yang sehat atau kepribadian yang sehat (healthy personality) ditandai dengan:
54

1. Mampu menilai diri secara realistik. Individu yang kepribadiannya


sehat mampu menilai diri apa adanya, baik kelebihan maupun
kelemahannya, menyangkut fisik (postur tubuh, wajah, keutuhan,
dan kesehatan) dan kemampuan (kecerdasan dan keterampilan).
2. Mampu menilai situasi secara realistik. Individu dapat menghadapi
situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan
mau menerimanya secara wajar. Dia tidak mengharapkan kondisi
kehidupan itu sebagai suatu yang harus sempurna.
3. Mampu menilai prestasi yang dipeoleh secara realistik. Individu
dapat menilai pestasinya (keberhasilan yang diperolehnya) secara
realistik dan mereaksinya secara rasional. Dia tidak menjadi
sombong, angkuh atau mengalami “superiority complex”, apabila
memperoleh prestasi yang tinggi, atau kesuksesan dalam hidupnya.
Apabila mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan
frsutasi, tetapi dengan sikap optimistik (penuh harapan).
4. Menerima tanggung jawab. Individu yang sehat adalah individu
yang bertanggung jawab. Dia mempunyai keyakinan terhadap
kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang
dihadapinya.
5. Kemandirian (autonomy). Individu memiliki sifat mandiri dalam
cara berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan,
mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri
dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
6. Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan
emosinya. Dia dapat menghadapi situasi frustasi, depresi atau stres
secara positif atau konstruktif, tidak destruktif (merusak).
7. Berorientasi tujuan. Setiap orang mempunyai tujuan yang ingin
dicapainya,. Namun, dala merumuskan tujuan itu ada yang realistik
dan ada yang tidak realistik. Individu yang sehat kepribadiannya
dapat merumuskan tujuannya berdasarkan pertimbangan secara
matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar. Dia berupaya
55

untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara mengembangkan


kepribadian (wawasan) dan keterampilan.
8. Berorientasi keluar. Individu yang sehat memiliki orientasi keluar
(ekstrovert). Dia bersifat respek (hormat), empati terhadap orang
lain, mempunyai kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah
lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berpikir. Barret
Leonard mengemukakan sifat individu yang berorientasi keluar,
yaitu:
a. Menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya sendiri,
b. Merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain,
c. Tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban
orang lain dan tidak mengorbankan orang lain karena
kekecewaan dirinya.
9. Penerimaan sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau
berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap
bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.
10. Memiliki filsafat hidup.
11. Berbahagia. Individu yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai
kebahagiaan. Kebahagiaan ini didukung oleh faktor-faktor
achievement (pencapaian prestasi), acceptance (penerimaan dari
orang lain), dan affection (perasaan dicintai atau disayangi orang
lain). (Syamsu Yusuf LN dan A. Juntika Nurihsan, 2011: 12-14).
Adapun kepribadian yang tidak sehat ditandai dengan karakteristik
seperti berikut:
1. Mudah marah (tersinggung).
2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan.
3. Sering merasa tertekan (stres atau depresi).
4. Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya
lebih muda atau terhadap binatang (hewan).
5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang
meskipun sudah diperingati atau dihukum.
56

6. Mempunyai kebiasaan berbohong.


7. Hiperaktif.
8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas.
9. Senang mengkritik atau mencemooh orang lain.
10. Sulit tidur.
11. Kurang memiliki rasa tanggung jawab.
12. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan
bersifat organis).
13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama.
14. Bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan.
15. Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan.
(Syamsu Yusuf LN dan A. Juntika Nurihsan, 2011: 14).

Kelainan tingkah laku di atas berkembang, apabila anak hidup dalam


lingkungan yang tidak kondusif dalam perkembangannya. Seperti lingkungan
keluarga yang kurang berfungsi (dysfunctional family) yang ditandai oleh
hubungan antara anggota keluarga kurang harmonis, kurang memperhatikan
nilai-nilai agama dan orang tuanya bersikap keras atau kurang memberikan
curahan kasih sayang kepada anak. Karena kelainan kepribadian itu
berkembang pada umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang
baik, maka sebagai usaha pencegahan (preventif), seyogyanya pihak keluarga
(orang tua), sekolah (guru dan staf sekolah lainnya) dan pemerintah perlu
senantiasa bekerja sama untuk menciptakan iklim lingkungan yang
memfasilitasi atau memberikan kemudahan kepada anak untuk
mengembangkan potensi atau tugas-tugas perkembangnnya secara optimal,
baik menyangkut fisik, psikis, sosial, dan moral-spiritual. (Syamsu Yusuf LN
dan A. Juntika Nurihsan, 2011: 15).
Memahami kepribadian manusia tidak mudah karena kepribadian
merupakan masalah kompleks. Kepribadian tidak hanya melekat pada diri
seseorang, tetapi lebih merupakan hasil suatu pertumbuhan yang lama dalam
suatu lingkungan budaya. Para ahli menyebutkan bahwa kepribadian adalah
57

kesan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat lahiriah seseorang, seperti cara


berpakaian, sifat jasmaniah, daya pikat, dan sebagainya. Disebutkan juga
bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai makhluk
yang bersifat psikofisik yang menentukan penyesuaian dirinya secara unik
terhadap lingkungan. Ahli lain mengklasifikasikan seluruh ranah kepribadian
dalam enam tipe yang sangat menonjol, yaitu tipe realistik, tipe penyelidik atau
investigatif, tipe artistik, tipe sosial, tipe perintis atau atau enterpristing dan
tipe konvensional. Kepribadian seseorang akan tumbuh dan berkembang sesuai
dengan pengalaman pribadi masing-masing. (Endin Nasrudin, 2010: 35-36).
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, antara
lain: perasaan bersalah, benci, cemas, kepercayaan yang diemban, harapan
yang dicamkan, dan kasih sayang yang diterima dari lingkungan. (Endin
Nasrudin, 2010: 36).
Menurut Marie Jahoda pengertian kesehatan mental tidak hanya terbatas
kepada absennya seseorang dari ganguan dan penyakit jiwa, tetapi orang yang
sehat mentalnya, juga memiliki sifat atau karakteristik utama sebagai berikut:
1. Memiliki sikap kepribadian terhadap diri sendiri dalam arti ia
mengenal dirinya dengan sebaik-baiknya.
2. Memiliki pertumbuhan, perkembangan dan perwujudan diri.

3. Memiliki integrasi diri yang meliputi keseimbangan jiwa kesatuan


pandangan dan tahap terhadap tekanan-tekanan kejiwaan yang
terjadi.
4. Memiliki otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur
kelakuan dari dalam ataupun kelakuan-kelakuan bebas.
5. Memiliki persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan
kebutuhan, dan penciptaan empati serta kepekaan sosial.
6. Memiliki kemampuan untuk menguasai lingkungan dan
berintegrasi dengannya. (Ramayulis, 2002: 130).
58

Jadi penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa indikator kesehatan


mental perspektif Sigmund Freud bahwa orang yang sehat mentalnya apabila ia
tidak mempunyai keluhan-keluhan tertentu seperti cemas, rendah diri, tegang
dan sebagainya, di mana semua keluhan itu menimbulkan perasaan sakit.

D. Upaya Meningkatkan Kesehatan Mental Perspektif Sigmund Freud


1. Metode asosiasi bebas.
Asosiasi bebas klien diminta untuk mengemukakan segala hal yang
sedang terlintas di dalam pikirannya (alam sadarnya) dengan tidak
memandang apakah hal-hal tersebut nampaknya sepele, tidak logis,
tidak relevan, atau tidak layak. (E. Koswara, 1991: 64).
2. Metode analisis mimpi (dream analysis)
Teknik ini sangat terkait dengan asosiasi bebas. Ketika pasien tidur,
ego menjadi lemah untuk mengontrol dorongan –dorongan id atau hal-
hal yang tidak disadari. Akhirnya, dorongan-dorongan tersebut dapat
mendesak ego untuk memuaskannya. Proses pemuasan itu
dilambangkan dalam bentuk mimpi. Untuk menelusuri akar masalah
yang dialami pasien, maka para analis dapat mengungkapkannya
dengan cara menganalisis mimpi pasien tersebut. dalam hal ini, pasien
diminta untuk menceritakan isi mimpinya. Apabila individu dapat
mengatasi setiap konflik yang terjadi di antara ketiga komponen
kepribadian tersebut, maka dia akan mengalami perkembangan yang
sehat. (Syamsu Yusuf LN dan A. Juntika Nurihsan, 2011: 67).

Freud memandang mimpi sebagai jalan utama menuju ke alam tak


sadar, karena dia melihat isi mimpi ditentukan oleh keinginan-keinginan
yang direpres. Karenanya mimpi juga bisa ditafsirkan sebagai pemuasan
simbolis dari keinginan-keinginan, dan isinya sebagian merefleksikan
pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak awal. Dengan teknik
penafsiran mimpi yang menyertakan analisis atas makna-makna yang
59

samar dari simbol-simbol mimpi, seorang psikoanalisa yakin bahwa dia


bisa memperbesar pemahaman pasien atas penyebab-penyebab dari
gejala-gejala atau konflik-konflik motivasional yang dialaminya. (E.
Koswara, 1991: 65-66).
3. Metode analisis transferensi
Displacement dikenali sebagai mekanisme pertahanan ego dimana
impuls tak sadar dialihkan sasarannya dari objek yang satu ke objek
yang lainnya. Apabila mekanisme pertahanan semacam ini muncul dari
diri pasien pada pertemuan terapi, maka fenomenanya disebut
transferensi. Tepatnya, transferensi muncul apabila pasien mengalihkan
sasaran perasaan cinta atau bencinya atas orang tertentu (biasanya orang
tua) kepada terapeut yang menanganinya. Freud yakin bahwa
transferensi ini mencerminkan kebutuhan pasien akan objek cinta
dengan maksud agar perasaan cinta atau benci yang direpresnya bisa
diungkapkan, dan terapeut sering dijadikan objek pengganti.
Transferensi ini bisa dilihat dari komunikasi verbal atau sikap pasien
terhadap terapeutnya.
Sejauh fenomena transferensi itu berlangsung secara tak sadar,
pasien sepenuhnya tidak menyadari akan pentingnya fungsi transferensi
tersebut. dengan tidak menafsirkan transferensi dengan segera, terapeut
akan mendorong perkembangan transferensi samapi pasien mengalami
apa yang oleh Freud disebut neurosis transferensi (tranference neurosis).
Pada hakikatnya neurosis transferensi ini membantu terapeut untuk
memperoleh pemahaman atas cara-cara pasien dalam mengamati,
merasakan dan bereaksi terhadap figur orang-orang yang berarti pada
awal kehidupannya. Menurut Freud, segera setelah pasien mengetahui
arti sesungguhnya dari hubungan transferensi dengan terapeutnya, si
pasien akan memperoleh pamahaman atas pengalaman-pengalaman dan
perasaan-perasaan masa lalunya, dan menghubungkan pengalaman dan
perasaan-perasaan tersebut dengan kesulitan-kesulitan yang memandang
dialaminya sekarang. Para psikoanalisa yang ortodoks analisis atas
60

transferensi sebagai satu hal yang vital dalam proses terapi. Sukses
tidaknya terapi tergantung kepada analisis transferensi ini. (E. Koswara,
1991: 66-67).
4. Reedukasi
Reedukais bukanlah suatu teknik terapi psikoanalisa, melainkan
suatu upaya mendorong pasien agar memperoleh pemahaman baru atas
kehidupan yang dijalaninya, yang dilakukan oleh terapeut pada tahap
akhir dari terapi. Reeduksi dilaksanakan dengan maksud membantu
pasien agar menemukan cara-cara yang kongkret dalam menyusun
kembali perasaan dan tingkah lakunya. (E. Koswara, 1991: 67-68).
Jadi penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa upaya
meningkatkan kesehatan mental perspektif Sigmund Freud yaitu dengan
Metode asosiasi bebas, metode analisis mimpi (dream analysis), metode
analisis transferensi serta reedukasi.

Anda mungkin juga menyukai