Anda di halaman 1dari 54

Kebijakan Kesehatan Nasional

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Manajemen Pelayanan Kesehatan”
Dosen: Dr. Untung Sujianto, S.Kp., M.Kes.

Oleh:
Kelompok I :
Maria Yulita Meo (22020114410003)
Diah Fitri Purwaningsih (22020114410005)
Herry Setiawan (22020114410007)
Renny Triwijayanti (22020114410014)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN

MATA KULIAH : Manajemen Pelayanan Kesehatan


DOSEN : Dr. Untung Sujianto, S.Kp., M.Kes.
KELOMPOK :
Maria Yulita Meo (22020114410003)
Diah Fitri Purwaningsih (22020114410005)
Herry Setiawan (22020114410007)
Renny Triwijayanti (22020114410014)

PERTANYAAN:
Bagaimana Kebijakan Kesehatan Nasional di Indonesia ?

Semarang, 10 Maret 2015


Dosen PJMK
Manajemen Pelayanan Kesehatan

Dr. Untung Sujianto, S.Kp., M.Kes.


NIP.19710919 199403 1 001

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………. i


HALAMAN PENGESAHAN...…………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………………... 1
A. Perumusan Masalah ……………………………………………………... 4
B. Tujuan…………………………………………..………………………... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan …................. 5
1. Dasar Pembangunan Kesehatan ……………………………………… 5
2. Visi Pembangunan Kesehatan………………………………………… 6
3. Misi Pembangunan Kesehatan ……………………………………….. 7
4. Arah Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan ……………. 10
5. Kebutuhan Sumber Daya ……………………………….................... 15
A. Sistem Kesehatan Nasional …………….…………………………….....15
1. Pengertian Sistem Kesehatan Nasional …………………………….. 15
2. Landasan Sistem Kesehatan Nasional ……………………………… 16
3. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional ………………………………… 17
4. Upaya terkait Sistem Kesehatan Nasional ………………………….. 17
5. Aplikasi Sistem Kesehatan Nasional ……………………………….. 18
B. Sistem Pelayanan Kesehatan …………………………………………… 18
1. Konsep Dasar Sistem Pelayanan Kesehatan ………………………… 18
2. Jenis Pelayanan Kesehatan ………………………………………….. 20
3. Syarat Pokok Pelayanan …………………………………………….. 20
4. Fenomena dalam Pelayanan Kesehatan …………………………….. 20
5. Lingkup Sistem Pelayanan Kesehatan ……………………………… 21
6. Landasan Hukum …………………………………………………… 21
C. Kebijakan Kesehatan Nasional ………………………………………… 22
1. Pengertian Kebijakan ……………………………………………… 22
2. Contoh Kebijakan ………………………………………………….. 22
3. Kebijakan Kesehatan ………………………………………………. 23
4. Dasar - Dasar Membuat Kebijakan Kesehatan ……………………. 23
5. Kebijakan Kesehatan di Indonesia
iii ………………………………… 24
6. Perumusan Kebijakan ……………………………………………… 25
7. Merencanakan Kebijakan Kesehatan ………………………………. 26
8. Implementasi Kebijakan …………………………………………… 27
9. Kendala dalam Implementasi Kebijakan ……………………………
31
D. Kebijakan Pelayanan Kesehatan ……………………………………….. 32
E. Landasan Hukum Mendasari Kebijakan ……………………………….. 33
F. Kebijakan Kesehatan Terkait Politik …………………………………… 34
BAB III PEMBAHASAN
A. Aspek Peraturan Perundangan dalam Peta Perjalanan BPJS ………….. 37
A. Turunan Peraturan UU SJSN…………………………............................ 39
B. Turunan Peraturan UU Nomor 40 Tahun 2011 Mengenai BPJS ………. 42
C. Implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2011 Mengenai BPJS. 45
D. Masalah Yang Timbul Saat Implementasi Kebijakan BPJS …………… 46
E. Rekomendasi Implementasi BPJS 2014 ………………………….......... 48
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………….............. 49
A. Saran ……………………………………………………........................ 49
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
iv
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem layanan kesehatan dalam artian luas merupakan totalitas layanan
yang diberikan oleh semua disiplin kesehatan. Sistem layanan kesehatan
bertujuan memberikan perawatan bagi mereka yang sakit dan cedera (Kozier.
2010). Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan di Indonesia masih
menghadapi berbagai masalah yang belum sepenuhnya dapat diatasi sehingga
diperlukan pemantapan dan percepatan melalui Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) sebagai pengelola kesehatan (Perpres 72, 2012). Pengelolaan
kesehatan diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara
terpadu dan saling mendukung sehingga tercapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya (Kozier. 2010).
Untuk mencapai derajad kesehatan masyarakat, konstitusi UUD 1945
berhak untuk mengatur dan mengurusi masyarakat dalam hal kepentingan
umum. Sehingga dalam konteks birokrasi harus mampu mewujudkan tujuan
Nasional, yaitu: tercapainya masyarakat maju, mandiri, dan sejahtera.
Termasuk Fungsi Pelayanan Kesehatan yang merupakan tugas birokrasi
sebagai alat pemerintahan. Masyarakat tentunya berhak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan secara optimal tanpa memandang status sosial.
Pemerintah mempunyai kewajiban dalam mengendalikan dan
menyempurnakan layanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat
dalam bentuk regulasi dan kebijakan yang strategis (Muninjaya, 2004). Selain
itu dalam UUD 1945 bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang
sehat. Keterkaitan keingin tersebut perlu adanya kegiatan untuk mencapai
bangsa yang sehat, keadaan dimana harus terbentuk masyarakat peduli
kesehatan. Apabila kepedulian sudah merupakan kebiasaan dan membudaya
dalam masyarakat serta pelayanan yang memadai, maka jelas kesehatan tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dan merupakan kebutuhan pokok
yang harus dipenuhi (Muninjaya, 2004; Buchbinder, 2014).
Menurut World Health Organization (1984), sistem pelayanan
kesehatan merupakan kumpulan dari berbagai faktor yang komplek dan saling
berhubungan yang terdapat dalam suatu negara, yang diperlukan untuk
1
memenuhi kebutuhan dan tuntutan kesehatan perorangan, kelompok,
masyarakat pada setiap saat yang dibutuhkan. Sistem kesehatan nasional
perlu dilaksanakan dalam konteks pembangunan kesehatan secara
keseluruhan dengan mempertimbangkan determinan sosial, seperti kondisi
kehidupan sehari-hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi
kewenangan, keamanan, sumberdaya, kesadaran masyarakat, serta
kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.
Menurut Depkes RI (2009), kebijakan kesehatan merupakan pedoman
yang menjadi acuan bagi semua pelaku pembangunan kesehatan, baik
pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan dengan memperhatikan kerangka desentralisasi dan otonomi
daerah. Pengertian Kebijakan Kesehatan yaitu konsep dan garis besar rencana
suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pelaksanaan pembangunan
kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang optimal pada
seluruh rakyatnya (AKK USU, 2010).
Sejak berdirinya bangsa Indonesia, kesehatan merupakan poin penting
sesuai pembukaan UUD 1945 alenia 4 yaitu berbunyi “Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum”. Kesejahteraan Umum merupakan pokok
landasan bahwa penyelenggaran kesejahteraan di bidang kesehatan
merupakan hal yang sangat penting dalam memajukan kesejahteraan bangsa,
Indonesia saat ini sedang menghadapi era baru, dimana era baru tersebut
berfokus pada kesehatan nasional, beberapa aspek yang akan di capai adalah
mengurangi kematian bayi dan ibu melahirkan, HIV AIDS, DBD, penyakit
malaria dan penyakit berbahaya lainnya.
Berangkat dari tujuan awal yaitu membentuk Negara yang
mensejahterakan rakyatnya maka Negara bertanggungjawab menjamin
kesehatan bangsa seiring usaha mencapai kesehatan Nasional secara merata
sesuai amanah UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 yaitu “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Di
tahun 2015 inilah bangsa Indonesia menyaksikan pelaksanaan sistem
kesehatan nasional dan salah satunya jaminan kesehatan nasional yang sering
kita dengar BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan).
Salah satu tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan
tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata
menjangkau seluruh rakyat. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan
sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H
ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan Keputusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik yang tertuang dalam TAP Nomor
X/MPR/2001, yang menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang
menyeluruh dan terpadu.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
SJSN maka bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki system jaminan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 5 Undang-Undang tersebut
mengamanatkan pembentukan badan yang disebut Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) yang harus dibentuk dengan Undang-Undang. Pada
tanggal 25 November 2011, ditetapkan Undang-Undang No 40 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang mulai dilaksanakan pada
tanggal 1 Januari 2014.
BPJS merupakan badan hukum dengan tujuan yaitu mewujudkan
terselenggaranya pemberian jaminan untuk terpenuhinya kebutuhan dasar
hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Dalam
penyelenggaraannya BPJS ini terbagi menjadi dua yaitu BPJS kesehatan dan
BPJS ketenagakerjaan (Tabrany, 2009). Dengan ditetapkannya BPJS dua
anomaly penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip universal penyelenggaraan jaminan sosial di dunia
akan diakhiri. Pertama, Negara tidak lagi mengumpulkan labadari iuran wajib
Negara yang dipungut oleh badan usaha miliknya, melainkan ke depan
Negara bertangungjawab atas pemenuhan hak konstitusional rakyat atas
jaminan sosial. Kedua, jaminan sosial Indonesia resmi keluar dari
penyelenggaraan oleh badan privat menjaadi pengelolaan oleh badan publik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah, antara lain:
1. Bagaimana Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan?
2. Bagaimana Sistem Kesehatan Nasional.
3. Bagaimana Sistem Pelayanan Kesehatan.
4. Bagaimana Kebijakan Kesehatan Nasional
5. Bagaimana Kebijakan Pelayanan Kesehatan
6. Bagaimana Landasan Hukum Mendasari Kebijakan
7. Seperti apa gambarab Implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2011 Mengenai BPJS.

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan di atas, tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang
Kesehatan.
2. Untuk menjelaskan Sistem Kesehatan Nasional.
3. Untuk menjelaskan Sistem Pelayanan Kesehatan.
4. Untuk menjelaskan Kebijakan Kesehatan Nasional
5. Untuk menjelaskan Kebijakan Pelayanan Kesehatan
6. Untuk menjelaskan Landasan Hukum Mendasari Kebijakan
7. Untuk menggambarkan Implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2011 Mengenai BPJS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK)


2005 – 2025
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) merupakan
penjabaran dari dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu untuk: 1)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2)
memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4)
ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial (Depkes RI. 2009).
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJP-K)
adalah rencana pembangunan nasional di bidang kesehatan, yang merupakan
penjabaran dari RPJPN Tahun 2005-2025, dalam bentuk dasar, visi, misi, arah
dan kebutuhan sumber daya pembangunan nasional di bidang kesehatan
untuk masa 20 tahun ke depan, yang mencakup kurun waktu sejak tahun 2005
sampai dengan tahun 2025 (Depkes RI. 2009).
1. Dasar Pembangunan Kesehatan
Landasan idiil pembangunan nasional adalah Pancasila, dan landasan
konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar 1945. Dasar
pembangunan kesehatan meliputi:
a. Perikemanusian
Pembangunan kesehatan harus berlandaskan pada prinsip
perikemanusiaan yang dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tenaga
kesehatan perlu berbudi luhur, memegang teguh etika profesi, dan
selalu menerapkan prinsip peri kemanusiaan dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan (Depkes RI. 2009).
b. Pemberdayaan dan Kemandirian
Setiap orang dan masyarakat bersama dengan pemerintah
berperan, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan
5
lingkungannya. Pembangunan kesehatan harus mampu membangkitkan
dan mendorong peran aktif masyarakat. Pembangunan kesehatan
dilaksanakan dengan berlandaskan pada kepercayaan atas kemampuan
dan kekuatan sendiri serta kepribadian bangsa dan semangat solidaritas
sosial serta gotong-royong (Depkes RI. 2009).
c. Adil dan Merata
Pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama
dalam memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa
memandang suku, golongan, agama, dan status sosial ekonominya.
Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan (Depkes RI.
2009).
d. Pengutamaan dan Manfaat
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan mengutamakan
kepentingan umum dari pada kepentinganperorangan atau golongan.
Upaya kesehatan yang bermutu diselenggarakan dengan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta harus lebih
mengutamakan pendekatan peningkatan kesehatan dan pencegahan
penyakit. Pembangunan kesehatan diselenggarakan berlandaskan pada
dasar kemitraan atau sinergisme yang dinamis dan tata penyelenggaraan
yang baik. Sehingga secara berhasil guna dan bertahap dapat memberi
manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan
masyarakat, beserta lingkungannya. Pembangunan kesehatan diarahkan
agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat dengan perhatian khusus pada penduduk
rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut dan keluarga
miskin (Depkes RI. 2009).
2. Visi Pembangunan Kesehatan
Keadaan masyarakat Indonesia di masa depan atau visi yang ingin
dicapai melalui pembangunan kesehatan dirumuskan sebagai: “Indonesia
Sehat 2025”. Dalam Indonesia Sehat 2025, lingkungan strategis
pembangunan kesehatan yang diharapkan adalah lingkungan yang
kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat jasmani, rohani maupun sosial,
yaitu lingkungan yang bebas dari kerawanan sosial budaya dan polusi,
tersedianya air minum dan sarana sanitasi lingkungan yang memadai,
perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang
berwawasan kesehatan, serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang
memiliki solidaritas sosial dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa
(Depkes RI. 2009).
Perilaku masyarakat yang diharapkan dalam Indonesia Sehat 2025
adalah perilaku yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan; mencegah risiko terjadinya penyakit; melindungi diri dari
ancaman penyakit dan masalah kesehatan lainnya; sadar hukum; serta
berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat, termasuk
menyelenggarakan masyarakat sehat dan aman (safe community) (Depkes
RI. 2009).
Dalam Indonesia Sehat 2025 diharapkan masyarakat memiliki
kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu dan juga
memperoleh jaminan kesehatan, yaitu masyarakat mendapatkan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya. Pelayanan
kesehatan bermutu yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan termasuk
pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat dan bencana, pelayanan
kesehatan yang memenuhi kebutuhan masyarakat serta diselenggarakan
sesuai dengan standar dan etika profesi (Depkes RI. 2009).
Diharapkan dengan terwujudnya lingkungan dan perilaku hidup
sehat, serta meningkatnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang bermutu, maka akan dapat dicapai derajat
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat yang setinggi-tingginya
(Depkes RI. 2009).
3. Misi Pembangunan Kesehatan
Berlandaskan pada dasar Pembangunan Kesehatan, dan untuk
mewujudkan Visi Indonesia Sehat 2025, ditetapkan 4 (empat) misi
Pembangunan Kesehatan, yaitu:

a. Menggerakkan Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan


Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak semata-mata
ditentukan oleh hasil kerja keras sektor kesehatan, tetapi sangat
dipengaruhi pula oleh hasil kerja serta kontribusi positif berbagai sektor
pembangunan lainnya. Untuk optimalisasi hasil kerja serta kontribusi
positif tersebut, harus dapat diupayakan masuknya wawasan kesehatan
sebagai asas pokok program pembangunan nasional. Kesehatan sebagai
salah satu unsur dari kesejahteraan rakyat juga mengandung arti
terlindunginya dan terlepasnya masyarakat dari segala macam
gangguan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Untuk
dapat terlaksananya pembangunan nasional yang berkontribusi positif
terhadap kesehatan seperti dimaksud di atas, maka seluruh unsur atau
subsistem dari Sistem Kesehatan Nasional berperan sebagai penggerak
utama pembangunan nasional berwawasan kesehatan (Depkes RI.
2009).
b. Mendorong Kemandirian Masyarakat untuk Hidup Sehat
Kesadaran, kemauan dan kemampuan setiap individu, keluarga
dan masyarakat untuk menjaga kesehatan, memilih, dan mendapatkan
pelayanan kesehatan yang bermutu, sangat menentukan keberhasilan
pembangunan kesehatan. Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat
meliputi: a) penggerakan masyarakat; masyarakat paling bawah
mempunyai peluang yang sebesar-besarnya untuk terlibat aktif dalam
proses pembangunan kesehatan, b) organisasi kemasyarakatan;
diupayakan agar peran organisasi masyarakat lokal makin berfungsi
dalam pembangunan kesehatan, c) advokasi; masyarakat
memperjuangkan kepentingannya di bidang kesehatan, d) kemitraan;
dalam pemberdayaan masyarakat penting untuk meningkatkan
kemitraan dan partisipasi lintas sektor, swasta, dunia usaha dan
pemangku kepentingan, e) sumberdaya; diperlukan sumberdaya
memadai seperti SDM, sistem informasi dan dana (Depkes RI. 2009).

c. Memelihara dan Meningkatkan Upaya Kesehatan yang Bermutu,


Merata, dan Terjangkau
Pembangunan kesehatan diselenggarakan guna menjamin
tersedianya upaya kesehatan, baik upaya kesehatan masyarakat maupun
upaya kesehatan perorangan yang bermutu, merata, dan terjangkau oleh
masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pengutamaan
pada upaya pencegahan (preventif), dan peningkatan kesehatan
(promotif) bagi segenap warga negara Indonesia, tanpa mengabaikan
upaya penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif). Agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan,
diperlukan pula upaya peningkatan lingkungan yang sehat. Upaya
kesehatan tersebut diselenggarakan dengan kemitraan antara
pemerintah, dan masyarakat termasuk swasta. Untuk masa mendatang,
apabila sistem jaminan kesehatan sosial telah berkembang,
penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan primer akan diserahkan
kepada masyarakat dan swasta dengan menerapkan konsep dokter
keluarga. Di daerah yang sangat terpencil, masih diperlukan upaya
kesehatan perorangan oleh Puskesmas (Depkes RI. 2009).
d. Meningkatkan dan Mendayagunakan Sumber Daya Kesehatan
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sumber daya
kesehatan perlu ditingkatkan dan didayagunakan, yang meliputi sumber
daya manusia kesehatan, pembiayaan kesehatan, serta sediaan farmasi
dan alat kesehatan. Sumber daya kesehatan meliputi pula penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan/kedokteran, serta data dan
informasi yang makin penting peranannya. Tenaga kesehatan yang
bermutu harus tersedia secara mencukupi, terdistribusi secara adil, serta
termanfaat-kan secara berhasil-guna dan berdaya-guna (Depkes RI.
2009).
Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari masyarakat, swasta,
dan pemerintah harus tersedia dalam jumlah yang mencukupi,
teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil-guna serta
berdaya-guna. Jaminan kesehatan yang diselenggarakan secara nasional
dengan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, bertujuan untuk
menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan (Depkes
RI. 2009).
Sediaan farmasi, alat kesehatan yang aman, bermutu, dan
bermanfaat harus tersedia secara merata serta terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat, makanan dan minuman yang aman, bermutu serta
dengan pengawasan yang baik. Upaya dalam meningkatkan
ketersediaan tersebut, dilakukan dengan upaya peningkatan manajemen,
pengembangan serta penggunaan teknologi di bidang sediaan farmasi,
alat kesehatan dan makanan minuman. bebas dari kerawanan sosial
budaya dan polusi, tersedianya air minum dan sarana sanitasi
lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat,
perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan, serta terwujudnya
kehidupan masyarakat yang memiliki solidaritas sosial dengan
memelihara nilai-nilai budaya bangsa (Depkes RI. 2009).
4. Arah Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025
a. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025
adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat,
bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang
hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu,
secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI. 2009).
Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun
2025 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, yang
ditunjukkan oleh indikator dampak yaitu:
1) Meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH) dari 69 tahun pada
tahun 2005 menjadi 73,7 tahun pada tahun 2025.
2) Menurunnya Angka Kematian Bayi dari 32,3 per 1.000 kelahiran
hidup pada tahun 2005 menjadi 15,5 per 1.000 kelahiran hidup pada
tahun 2025.
3) Menurunnya Angka Kematian Ibu dari 262 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2005 menjadi 74 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2025.
4) Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 26% pada tahun
2005 menjadi 9,5% pada tahun 2025 (Depkes RI. 2009).
b. Strategi Pembangunan Kesehatan
Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan,
maka strategi pembangunan kesehatan yang akan ditempuh sampai
tahun 2025 adalah:
1) Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan, terselenggaranya
pembangunan nasional berwawasan kesehatan, perlu dilaksanakan
kegiatan advokasi, sosialisasi, orientasi, kampanye dan pelatihan,
sehingga semua pelaku pembangunan nasional (stakeholders)
memahami dan mampu melaksanakan pembangunan nasional
berwawasan kesehatan. Selain itu perlu pula dilakukan penjabaran
lebih lanjut dari pembangunan nasional berwawasan kesehatan,
sehingga benar-benar dapat dilaksanakan dan diukur tingkat
pencapaian dan dampak yang dihasilkan (Depkes RI. 2009).
2) Pemberdayaan Masyarakat dan Daerah, peran masyarakat dalam
pembangunan kesehatan semakin penting. Masalah kesehatan perlu
diatasi oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Selain itu, banyak
permasalahan kesehatan yang wewenang dan tanggung jawabnya
berada di luar sektor kesehatan. Untuk itu perlu adanya kemitraan
antar berbagai pelaku pembangunan kesehatan. Pemberdayaan
masyarakat pada hakekatnya adalah melibatkan masyarakat untuk
aktif dalam pengabdian masyarakat (to serve), aktif dalam
pelaksanaan advokasi kesehatan (to advocate), dan aktif dalam
mengkritisi pelaksanaan upaya kesehatan (to watch) (Depkes RI.
2009).
3) Pengembangan Upaya dan Pembiayaan Kesehatan, pengembangan
pelayanan atau upaya kesehatan, yang mencakup upaya kesehatan
masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat (client oriented), dan
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, merata,
terjangkau, berjenjang, profesional, dan bermutu. Pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin perlu mendapatkan pengutamaan.
Penyelenggaraan upaya kesehatan diutamakan pada upaya
pencegahan dan peningkatan kesehatan, tanpa mengabaikan upaya
pengobatan dan pemulihan kesehatan. Penyelenggaraan upaya
kesehatan dilakukan dengan prinsip kemitraan antara pemerintah,
masyarakat, dan swasta (Depkes RI. 2009).
4) Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan, pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan ter-
jangkau oleh seluruh lapisan masyarakat tidak akan terwujud apabila
tidak didukung oleh sumber daya manusia kesehatan yang
mencukupi jumlahnya, dan profesional, yaitu sumber daya manusia
kesehatan yang mengikuti perkembangan IPTEK, menerapkan nilai-
nilai moral dan etika profesi yang tinggi. Semua tenaga kesehatan
dituntut untuk selalu menjunjung tinggi sumpah dan kode etik
profesi. Dalam pelaksanaan strategi ini dilakukan perencanaan
kebutuhan dan penentuan standar kompetensi tenaga kesehatan,
pengadaan tenaga kesehatan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan
serta pembinaan dan pengawasan sumber daya manusia kesehatan.
Upaya pengadaan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan pembangunan kesehatan di Indonesia dalam era
desentralisasi dan globalisasi. Upaya pengadaan ini dilakukan
melalui pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan SDM Kesehatan.
Pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain meliputi: distribusi
tenaga kesehatan secara merata dan peningkatan karier dari tenaga
kesehatan tersebut. Pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan
dilakukan melalui peningkatan komitmen dan legislasi yang meliputi
antara lain sertifikasi, uji kompetensi, registrasi, dan perijinan
(licensing) tenaga kesehatan. Disamping itu, penting dilakukan
upaya untuk pemenuhan hak-hak tenaga kesehatan (Depkes RI.
2009).
5) Penanggulangan Keadaan Darurat Kesehatan, dapat terjadi karena
bencana, baik bencana alam maupun bencana karena ulah manusia,
termasuk konflik sosial. Keadaan darurat kesehatan akan
mengakibatkan dampak yang luas, tidak saja pada kehidupan
masyarakat di daerah bencana, namun juga pada kehidupan bangsa
dan negara. Oleh karenanya penanggulangan keadaan darurat
kesehatan yang mencakup upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perorangan, dilakukan secara komprehensif, mitigasi serta
didukung kerjasama lintas sektor dan peran aktif masyarakat
(Depkes RI. 2009).
c. Upaya Pokok Pembangunan Kesehatan
1) RPJM-K ke-1 (2005-2009), Pembangunan kesehatan diarahkan
untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan.
2) RPJM-K ke-2 (2010-2014), Akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas telah lebih berkembang dan meningkat.
3) RPJM-K ke-3 (2015-2019), Akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas telah mulai mantap.
4) RPJM-K ke-4 (2020-2025), Akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas telah mantap (Depkes RI. 2009).
Dengan memperhatikan pentahapan upaya pokok pembangunan
kesehatan tersebut di atas, maka dalam penyusunan RPJM-K setiap
tahapannya perlu pula ditetapkan pentahapan sumber daya pendukung
dan hasil kegiatan sebagai berikut :
1) Semua desa telah menjadi Desa Siaga aktif, yang mempunyai
minimal sebuah Pos Kesehatan Desa.
2) Semua kecamatan telah memiliki minimal sebuah Puskesmas yang
melayani maksimal 30.000 penduduk dan dilengkapi dengan
fasilitas sanitasi dasar yang memadai.
3) Semua kabupaten/kota telah memiliki minimal Rumah sakit setara
Rumah Sakit Umum kelas C.
4) Semua desa telah memiliki tenaga bidan yang berkualitas
(competence).
5) Semua Puskesmas telah memiliki minimal seorang tenaga dokter
dan tenaga kesehatan lainnya sesuai standar.
6) Semua rumah sakit kabupaten/kota telah memiliki minimal empat
tenaga dokter spesialis dasar (dokter spesialis kebidanan dan
penyakit kandungan, dokter spesialis anak, dokter spesialis bedah,
dan dokter spesialis penyakit dalam), dan empat tenaga dokter
spesialis penunjang (dokter spesialis anestesi, radiologi, rehabilitasi
medik dan patologi klinik). Rumah sakit tersebut telah terakreditasi
minimal lima pelayanan spesialistik.
7) Semua Pos Kesehatan Desa, Puskesmas, dan Rumah Sakit
Kabupaten/Kota didukung dengan biaya operasional yang
memadai.
8) Pembiayaan kesehatan dapat diupayakan minimal 5% dari PDB.
9) Semua Rukun Warga/lingkungan telah memiliki minimal satu
Posyandu aktif yang melaksanakan kegiatan minimum sebulan
sekali.
10) Semua desa mampu mengenali dan mengatasi masalah kesehatan
setempat secara dini sesuai kompetensinya.
11) Semua kejadian luar biasa (KLB)/wabah penyakit dan masalah
kesehatan akibat bencana dapat ditangani kurang dari 24 jam.
12) Penanganan penyakit wabah pada fasilitas pelayanan kesehatan
dapat menekan angka kematiannya dibawah 1%.
13) Tingkat kesembuhan penyakit Tuberculosis dapat dipertahankan
sebesar 90%.
14) Semua Puskesmas perawatan telah mampu melaksanakan
pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar (PONED).
15) Semua Rumah Sakit Kabupaten/Kota telah mampu melaksanakan
pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif (PONEK).
16) Semua keluarga telah menggunakan air bersih dan fasilitas sanitasi
dasar.
17) Semua keluarga telah menghuni rumah yang memenuhi syarat
kesehatan.
18) Semua desa telah mencapai universal coverage immunization
(UCI).
19) Semua persalinan telah ditolong oleh bidan atau tenaga kesehatan
yang memiliki kompetensi kebidanan.
20) Semua penduduk Indonesia telah dicakup oleh Sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (Depkes RI. 2009).
5. Kebutuhan Sumber Daya
Untuk dapat melaksanakan upaya pokok pembangunan kesehatan
diperlukan sumberdaya kesehatan yang memadai, terutama meliputi:
a. Sumber Daya Manusia Kesehatan
b. Pembiayaan Kesehatan
c. Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
d. Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi Kesehatan (IPTEK) (Depkes RI.
2009).

B. Sistem Kesehatan Nasional


1. Pengertian Sistem Kesehatan Nasional
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupn social yang memungkinkan setiap orang untuk hidup prosuktif
secara social dan ekonomis (Perpres 72, 2012). Sistem kesehatan nasional
adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen
bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin
tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tinginya (Kozier.
2010).
Sistem pelayanan kesehatan adalah kumpulan dari berbagai faktor
yang komplek dan saling berhubungan yang terdapat dalam
suatu negara, yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan
kesehatan perorangan, kelompok, masyarakat pada setiap saat yang
dibutuhkan (WHO 1984). Sistem kesehatan nasional perlu dilaksanakan
dalam konteks pembangunan kesehatan secara keseluruhan dengan
mempertimbangkan determinan sosial, seperti kondisi kehidupan sehari-
hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga,distribusi kewenangan,
keamanan, sumberdaya, kesadaran masyarakat, serta kemampuan tenaga
kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.
Sistem kesehatan nasional disusun dengan memperhatikan
pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar meliputi :
 Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata.
 Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat.
 Kebijakan pembangunan kesehatan.
 Kepemimpinan. SKN juga disusun dengan memperhatikan inovasi atau
terobosan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara luas,
termasuk penguatan system rujukan.
6. Landasan Sistem Kesehatan Nasional
Dalam perpres No 72 tahun 2012 mempunyai landasan sistem
kesehatan nasional meliputi :
a. Landasan idil, yaitu pancasila
b. Landasan konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28A ”Setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”,
Pasal 28B ayat (2) ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.”, Pasal 28C ayat (1) ”Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia”, Pasal 28H ayat (1) ”Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”, Pasal 28H ayat (3) ”Setiap orang
berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”, Pasal 34 ayat (2)
”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan”, dan Pasal 34 ayat (3) ”Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak”.
c. Landasan operasional, meliputi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan ketentuan peraturan perundangundangan lainnya
yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKN dan pembangunan
kesehatan.
7. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional
Tujuan sistem kesehatan nasional adalah terselenggaraanya
pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa baik masyarakat,
swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya
guna,sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
8. Upaya terkait Sistem Kesehatan Nasional
Sistem kesehatan nasional meliputi :
a. Upaya kesehatan.
Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan
menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia. Upaya kesehatan
diselenggarakan dengan upaya pendekatan,pencegahan, pengobatan dan
pemulihan.
b. Pembiayaan kesehatan.
Pembiayaan kesehatan yang kuat terintergrasi, stabil dan
berkesinambungan memegang peran yang amat vital untk
penyelengaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai
tujuan pembangunan kesehatan.
c. Sumber daya manusia kesehatan .
Sebagai pelaksanaan upaya kesehatan, diperlukan sumberdaya manusia
kesehatan yang mencukupi dengan jumlah, jenis dan kualitasnya, serta
terdistribusi secara adil dan merata, sesuai tuntutan kebutuhan
pembangunan kesehatan.
d. Kesediaan farmasi,alat kesehatan dan makanan.
Meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin aspek keamanan,
pemanfaatan dan mutu ksediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan
yang beredar.
e. Manajemen dan informasi kesehatan.
Meliputi kebijakan kesehatan, admnistrasi kesehatan , hokum
kesehatan, dan informasi kesehatan.
f. Pemberdayaan masyarakat.
System kesehatan nasional akan berfungsi maksimal apabila ditunjang
oleh pemberdayaan masyarakatagar masyarakat dapat dan mampu
berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan.
9. Aplikasi Sistem Kesehatan Nasional
Sistem lingkungan masyarakat yang memberikan dampak negative
bagi kesehatan merupakan tantangan diluar system kesehatan masyarakat.
Sebagai contoh : wabah penyakit baru, seperti flu burung dan HIV/AIDS.
Dimana Indonesia berada sangat dipengaruhi lalu lintas dunia baik arus
manusia atau barang termasuk kandungan makanan dan minuman,
disamping itu masalah mendasar dengan jumlah penduduk yang besar
dengan ciri kepulauan masih perlunya pengawasan terhadap masalah gizi,
agar tidak terjadi masalah gizi buruk yang kronis.

C. Sistem Pelayanan Kesehatan


1. Konsep Dasar Sistem Pelayanan Kesehatan
Sistem pelayanan kesehatan adalah kumpulan dari berbagai faktor
yang komplek dan saling berhubungan yang terdapat dalam suatu negara,
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan kesehatan
perorangan, kelompok, masyarakat pada setiap saat yang dibutuhkan
(WHO 1984). Sistem kesehatan nasional perlu dilaksanakan dalam
konteks pembangunan kesehatan secara keseluruhan dengan
mempertimbangkan determinan sosial, seperti kondisi kehidupan sehari-
hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi kewenangan,
keamanan, sumberdaya, kesadaran masyarakat, serta kemampuan tenaga
kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.
Setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama
dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan
kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat (levey dan
loomba 1973). System pelayanan medic contohnya seperti rumah sakit.
Sementara puskesmas mencangkup system pelayanan kesehatan
masyarakat dan system pelayanan medic. Teori tentang sistem:
a. Input, merupakan subsistem yang akan memberikan segala masukan
untuk berfungsinya sebuah sistem.seperti sistem pelayanan kesehatan.
b. Proses, suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah sebuah
masukan untuk menjadikan sebuah hasil yang di harapkan dari sebuah
sistem tersebut,maka yang dimaksud proses adalah berbagai kegiatan
dalam pelayanan kesehatan
c. Output, hasil yang diperoleh dari sebuah proses,dalam sistem
pelayanan kesehatanhasilnya dengan berupa pelayanan kesehatan yang
berkualitas,efektif dan efisien sehingga dapat dijangkau oleh setiap
lapisan masyarakatsehingga pasien sembuh dan sehat optimal.
d. Dampak, merupakan akibat yang dihasilkan sebuah hasil dari sebuah
sistem,yang terjadi relatif lama waktunya.
e. Umpan balik, merupakan sebuah hasil yang sekaligus menjadi
masukan dan ini terjadi dari sebuah sistem yang saling berhubungan
dan saling mempengaruhi umpan balik dalam sistem pelayanan
kesehatan dapat berupa kualitas tenaga kesehatan yang juga dapat
menjadikan input yang selalu meningkat.
f. Lingkungan, semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi
pelayanan kesehatan sebagaimana dalam sistem pelayanan
kesehatan,berupa lingkungan geografis,atau situasi kondisi sosial yang
ada di masyarakat seperti institusi di luar pelayanan kesehatan.

2. Jenis Pelayanan Kesehatan


Menurut pendapat Hodgetts dan Cascio (1983) ada 2 jenis
pelayanan kesehatan :
a. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat ditandai dengan cara
pengorganisasian yang ummnya secara bersama-sama dalam suatu
organisasi, tujuan utamanya adalah untuk memelihara da meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit serta sasaran nya terutama untuk
kelompok dan masyarakat.
b. Pelayanan kedokteran
Pelayanan kedokteran ditandai dengan cara pengorganisasian
yang dapat bersifat sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu
organisasi, tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan
dan keluarga.
3. Syarat Pokok Pelayanan
Syarat pokok pelayanan kesehatan:
a. Tersedia dan berkesinambungan, artinya tidak sulit ditemukan serta
keberadaannya dalam masyarakat adlah pada setiap saat yang
dibutuhkan.
b. Dapat diterima dan bersifat wajar, artinya tidak bertentangan dengan
keyakinan masyarakat.
c. Mudah dicapai
d. Mudah dijangkau
e. Bermutu
4. Fenomena dalam Pelayanan Kesehatan
Fenomena dalam pelayanan kesehatan:
a. System pelayanan kesehatan yang tidak merata dimana tingkat
kesakitan dan kematian warga miskin cendrung lebih tinggi dari
keluarga kaya.
b. Pola penyakit semakin komleks. Meningkatnya penyakit tidak menular
yang menyebabkan adanya kebutuhan layanan rawat inap.
c. Kinerja pelayanan kesehatan sekto public cendrung menurun
disebabkan adanya dominasi pelayanan swasta
d. Munculnya penyakit-penyakit baru sperti HIV,flu burung,flu babi
e. Pendanaan kesehatan cendrung rendah dan tidak merata. Sebagian besar
dana tidak dari pemerintah melainkan dari dana pribadi.
5. Lingkup Sistem Pelayanan Kesehatan
Terdapat 3 bentuk pelayanan kesehatan :
a. Primary health care (pelayanan kesehatan tingkat pertama),
Dilaksanakan pada masyarakat yang memiliki masalah kesehatan yang
ringan.Sifat pelayanan kesehatan : pelayanan kesehatan dasar. Contoh :
puskesmas, balai kesehatan.
b. Secondary health care(pelayanan tingkat ke dua), untuk klien yang
membutuhkan perawatan rawat inap tapi tidak dilaksanakan di
pelayanan kesehatan pertama,rumah sakit yang tersedia tenaga
specialis.
c. Tertiary health care (pelayanan kesehatan tingkat ke tiga), tingkat
pelayanan tertinggi,membutuhkan tenaga ahli atau subspecialis.
6. Landasan Hukum
Landasan hukum yang melatar belakangi Sistem Jaminan Sosial
Nasional:
a. UUD 1945 Pasal 28 H ayat (3) dan pasal 34
b. Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
c. Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial
d. Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
e. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
f. Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
g. Undang-Undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
h. Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
i. Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
j. Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Pemerintah Daerah
k. Undang-Undang No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
l. Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 tentang Pembagian
Kewenanagan Pusat dan Daerah

c. Kebijakan Kesehatan Nasional


1. Pengertian Kebijakan
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal
organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan
untuk menciptakan tatanilai baru dalam masyarakat, Kebijakan akan
menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat
dalam berperilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan
proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation),
kebijakan lebih bersifat adaptif dan intepratatif, meskipun kebijakan juga
mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga
diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal
yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diintepretasikan sesuai
kondisi spesifik yang ada (Dunn, 1999).
2. Contoh Kebijakan
Contoh kebijakan adalah:
1. Undang-Undang,
2. Peraturan Pemerintah,
3. Keppres,
4. Kepmen,
5. Perda,
6. Keputusan Bupati,
7. Keputusan Direktur
Setiap kebijakan yang dicontohkan di sini adalah bersifat mengikat
dan wajib dilaksanakan oleh obyek kebijakan. Contoh di atas juga
memberi pengetahuan pada kita semua bahwa ruang lingkup kebijakan
dapat bersifat makro, meso, dan mikro.
3. Kebijakan Kesehatan
Pengertian Kebijakan Kesehatan yaitu konsep dan garis besar
rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pelaksanaan
pembangunan kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang
optimal pada seluruh rakyatnya (AKK USU, 2010). Kebijakan kesehatan
merupakan pedoman yang menjadi acuan bagi semua pelaku
pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan memperhatikan
kerangka desentralisasi dan otonomi daerah (Depkes RI, 2009).
Kebijakan kesehatan sebagai tanggung jawab pemerintah menurut
UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Menurut UU Kesehatan No.36tahun 2009 pasal 5 disebutkan
bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan. Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 14 disebutkan
bahwa pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Kebijakan
kesehatan nasional diatur dalam KMK no 374 tahun 2009 dan perpres no
72 tahun 2012.
4. Dasar - Dasar Membuat Kebijakan Kesehatan
Memahami dasar-dasar pembangunan kesehatan pada hakekatnya
merupakan upaya mewujudkan nilai kebenaran dan aturan pokok sebagai
landasan untuk berpikir dan bertindak dalam pembangunan kesehatan.
Nilai tersebut merupakan landasan dalam menghayati isu strategis,
melaksanakan visi, dan misi sebagai petunjuk pokok pelaksanaan
pembangunan kesehatan secara nasional sebagaimana tercantum dalam
Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat, yang meliputi:
perikemanusiaan, adil dan merata, pemberdayaan dan kemandirian,
pengutamaan dan manfaat.

a. Isu Strategis Pembangunan Kesehatan


Banyak masalah kesehatan dapat dideteksi dan diatasi secara dini
di tingkat paling bawah. Jumlah dan mutu tenaga kesehatan belum
memenuhi kebutuhan. Pemanfaatan pembiayaan kesehatan belum
terfokus dan sinkron. Hasil sarana kesehatan bisa dijadikan pendapatan
daerah. Masyarakat miskin belum sepenuhnya terjangkau dalam
pelayanan kesehatan. Beban ganda penyakit dapat menimbulkan
masalah lainnya secara fisik, mental dan sosial.
b. Visi Strategis Pembangunan Kesehatan
Dengan memperhatikan isu strategis pembangunan kesehatan
tersebut dan juga dengan mempertimbangkan perkembangan, masalah,
serta berbagai kecenderungan pembangunan kesehatan ke depan maka
ditetapkan visi pembangunan kesehatan oleh Departemen Kesehatan
yaitu Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat.
Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat adalah suatu kondisi
di mana masyarakat Indonesia menyadari, mau, dan mampu untuk
mengenali, mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan yang
dihadapi, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang
disebabkan karena penyakit termasuk gangguan kesehatan akibat
bencana, maupun lingkungan dan perilaku yang tidak mendukung untuk
hidup sehat.
c. Misi Strategis Pembangunan Kesehatan
Visi pembangunan kesehatan tersebut kemudian diejawantahkan
melalui misi pembangunan kesehatan, yakni Membuat Rakyat Sehat.
Misi kesehatan ini kemudian dijalankan dengan mengembangkan nilai-
nilai dasar dalam pelayanan kesehatan yaitu berpihak pada rakyat,
bertindak cepat dan tepat, kerjasama tim, integritas yang tinggi,
transparansi dan akuntabilitas.
5. Kebijakan Kesehatan di Indonesia
a. Isu strategis
1) Pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu
belum optimal
2) Sistem perencanaan dan penganggaran departemen kesehatan belum
optimal
3) Standar dan pedoman pelaksanaan pembangunan kesehatan masih
kurang memadai
4) Dukungan departemen kesehatan untuk melaksanakan pembangunan
kesehatan masih terbatas.
b. Strategi kesehatan di Indonesia
1) Mewujudkan komitmen pembangunan kesehatan
2) Meningkatkan pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan
3) Membina sistem kesehatan dan sistem hukum di bidang kesehatan
4) Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
5) Melaksanakan jejaring pembangunan kesehatan.
6. Perumusan Kebijakan
Masalah kebijakan, adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang
belum terpenuhi, tetapi dapat diindentifikasikan dan dicapai melalui
tindakan publik. Tingkat kepelikan masalah tergantung pada nilai dan
kebutuhan apa yang dipandang paling panting. Staf puskesmas yang kuat
orientasi materialnya (gaji tidak memenuhi kebutuhan), cenderung
memandang aspek imbalan dari puskesmas sebagai masalah mandasar dari
pada orang yang punya komitmen pada kualitas pelayanan kesehatan.
Menurut Dunn (1988) beberapa karakteristik masalah pokok dari
masalah kebijakan, adalah:
a. Interdepensi (saling tergantung), yaitu kebijakan suatu bidang (energi)
seringkali mempengaruhi masalah kebijakan lainnya (pelayanan
kesehatan). Kondisi ini menunjukkan adanya sistem masalah. Sistem
masalah ini membutuhkan pendekatan Holistik, satu masalah dengan
yang lain tidak dapat di piahkan dan diukur sendirian.
b. Subjektif, yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah
diindentifikasi, diklasifikasi dan dievaluasi secara selektif. Contoh:
Populasi udara secara objektif dapat diukur (data). Data ini
menimbulkan penafsiran yang beragam (l. gangguan kesehatan,
lingkungan, iklim, dan lain-lain). Muncul situasi problematis, bukan
problem itu sendiri.
c. Artifisial, yaitu pada saat diperlukan perubahan situasi problematis,
sehingga dapat menimbulkan masalah kebijakan.
d. Dinamis, yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana
perubahan yang terus menerus. Pemecahan masalah justru dapat
memunculkan masalah baru, yang membutuhkan pemecahan masalah
lanjutan.
e. Tidak terduga, yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan kebijakan
dan sistem masalah kebijakan.
7. Merencanakan Kebijakan Kesehatan
Perencanaan yang baik, mempunyai beberapa ciri-ciri yang harus
diperhatikan. Menurut Azwar (1996) ciri-ciri tersebut secara sederhana
dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Bagian dari sistem administrasi
Suatu perencanaan yang baik adalah yang berhasil menempatkan
pekerjaan perencanaan sebagai bagian dari sistem administrasi secara
keseluruhan. Sesungguhnya, perencanaan pada dasarnya merupakan
salah satu dari fungsi administrasi yang amat penting. Pekerjaan
administrasi yang tidak didukung oleh perencanaan, bukan merupakan
pekerjaan administrasi yang baik.
b. Dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang dilakukan secara terus-
menerus dan berkesinambungan. Perencanaan yang dilakukan hanya
sekali bukanlah perencanaan yang dianjurkan. Ada hubungan yang
berkelanjutan antara perencanaan dengan berbagai fungsi administrasi
lain yang dikenal. Disebutkan perencanaan penting untuk pelaksanaan,
yang apabila hasilnya telah dinilai, dilanjutkan lagi dengan
perencanaan. Demikian seterusnya sehingga terbentuk suatu spiral yang
tidak mengenal titik akhir.

c. Berorientasi pada masa depan


Suatu perencanaan yang baik adalah yang berorientasi pada masa
depan. Artinya, hasil dari pekerjaan perencanaan tersebut, apabila dapat
dilaksanakan, akan mendatangkan berbagai kebaikan tidak hanya pada
saat ini, tetapi juga pada masa yang akan datang.
d. Mampu menyelesaikan masalah
Suatu perencanaan yang baik adalah yamg mampu menyelesaikan
berbagai masalah dan ataupun tantangan yang dihadapi. Penyelesaian
masalah dan ataupun tantangan yang dimaksudkan disini tentu harus
disesuaikan dengan kemampuan. Dalam arti penyelesaian masalah dan
ataupun tantangan tersebut dilakukan secara bertahap, yang harus
tercermin pada pentahapan perencanaan yang akan dilakukan.
e. Mempunyai tujuan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang mempunyai tujuan
yang dicantumkan secara jelas. Tujuan yang dimaksudkandi sini
biasanya dibedakan atas dua macam, yakni tujuan umum yang berisikan
uraian secara garis besar, serta tujuan khusus yang berisikan uraian
lebih spesifik.
f. Bersifat mampu kelola
Suatu perencanaan yang baik adalah yang bersifat mampu kelola,
dalam arti bersifat wajar, logis, obyektif, jelas, runtun, fleksibel serta
telah disesuaikan dengan sumber daya. Perencanaan yang disusun tidak
logis serta tidak runtun, apalagi yang tidak sesuai dengan sumber daya
bukanlah perencanaan yang baik.
8. Implementasi Kebijakan
Implementasi adalah proses untuk melaksanakan kebijakan supaya
mencapai hasil. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh
policy makersbukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil
dalam implementasinya (Subarsono, 2005).Secara garis besar fungsi
implementasi adalah untuk membentuk suatu hubungan yang
memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik
diwujudkan sebagai outcome (hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah (Wahab, 2008).
Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan
menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil
kegiatan pemerintahdimana tugas implementasi adalah membangun
jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan
melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang
berkepentingan (policy stakeholders) (Subarsono, 2005).
Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan dengan
tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan
proses yang memiliki logika bottom-up, dalam arti proses kebijakan
diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan dari
masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya
memiliki logika top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang
abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro(Parsons, 2008).
Langkah implementasi kebijakan dapat disamakan dengan fungsi
actuating dalam rangkaian fungsi manajemen. Aksi disini merupakan
fungsi tengah yang terkait erat dengan berbagai fungsi awal, seperti
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pembelahan
personil (stuffing) dan pengawasan (controlling).Sebagai langkah awal
pada pelaksananan adalah identifikasi masalah dan tujuan serta formulasi
kebijakan.Untuk langkah akhir dari rangkaian kebijakan berada pada
monitoring dan evaluasi (Abidin, 2002). Implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh beberapa variabel dan masing-masing variabel tersebut
saling berhubungan satu sama lain.
Dalam pandangan Edward III (1980), implementasi kebijakan
mempunyai 4 variabel yaitu :
a. Komunikasi, implementasi kebijakan mensyaratkan implementor
mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan
sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran
sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan
sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama
sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi
resistensi dari kelompok sasaran (Subarsono, 2005). Semakin tinggi
pengetahuan kelompok sasaran atas programmaka akan mengurangi
tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan kebijakan
(Indiahono, 2009).
b. SumberDaya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara
jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya
untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif.
Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia maupun
sumberdaya finansial (Subarsono, 2005).Sumberdaya manusia adalah
kecukupan baik kualitas dan kuantitas implementor yang dapat
melingkupi seluruh kelompok sasaran.Sumberdaya finansial adalah
kecukupan modal dalam melaksanakan kebijakan.Keduanya harus
diperhatikan dalam implementasi kebijakan. Tanpa sumberdaya,
kebijakan hanya tinggal dikertas menjadi dokumen saja (Indiahono,
2009).
c. Disposisi adalah watak dan karateristik yang dimiliki oleh implementor
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor
memiliki disposisi yang baik maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat
kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang
berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif (Subarsono, 2005). Kejujuran
mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arahprogram yang
telah digariskan dalam program. Komitmen dan kejujurannya
membawanya semakin antusias dalam melaksanakan tahap-tahap
program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan meningkatkan
kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok
sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan
menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap
implementor dan kebijakan (Indiahono, 2009).
d. Struktur Birokrasi, struktur organisasi yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang
penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang
standar (SOP atau standard operating procedures). SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi
yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan
menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan
kompleks. Ini menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel
(Subarsono, 2005). Keempat variabel diatas dalam model yang
dibangun oleh Edward memiliki keterkaitan satu dengan yang lain
dalam mencapai tujuan dari kebijakan. Semuanya saling bersinergi
dalam mencapai tujuan dan satu variabel akan mempengaruhi variabel
yang lain. Misalnya bila implementor tidak jujur akan mudah sekali
melakukan mark up dan korupsi atas dana kebijakan sehingga program
tidak optimal dalam mencapai tujuannya. Begitu pula bila watak dari
implementor kurang demokratis akan sangat mempengaruhi proses
komunikasi dengan kelompok sasaran. Model implementasi dari
Edward ini dapat digunakan sebagai alat menggambarkan implementasi
program diberbagai tempat dan waktu. Tidak semua kebijakan berhasil
dilaksanakan secara sempurna karena pelaksanaan kebijakan pada
umumnya memang lebih sukar dari sekedar merumuskannya. Proses
perumusan memerlukan pemahaman tentang berbagai aspek dan
disiplin ilmu terkait serta pertimbangan mengenai berbagai pihak
namun pelaksanaan kebijakan tetap dianggap lebih sukar. Dalam
kenyataannya sering terjadi implementation gap yaitu kesenjangan atau
perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan.
Kesenjangan tersebut bisa disebabkan karena tidak dilaksanakan
dengan sebagaimana mestinya (non implementation) dan karena tidak
berhasil atau gagal dalam pelaksanaannya (unsuccessful
implementation) (Abidin 2002).

9. Kendala dalam Implementasi Kebijakan


Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa faktor eksternal
yang biasanya mempersulit pelaksanaan suatu kebijakan, antara lain :
a. Kondisi Fisik, terjadinya perubahan musim atau bencana alam.Dalam
banyak hal kegagalan pelaksanaan kebijakan sebagai akibat dari faktor-
faktor alam ini sering dianggap bukan sebagai kegagalan dan akhirnya
diabaikan, sekalipun dalam hal-hal tertentu sebenarnya bisa diantisipasi
untuk mencegah dan mengurangi resiko yang terjadi.
b. Faktor Politik, terjadinya perubahan politik yang mengakibatkan
pertukaran pemerintahan dapat mengubah orientasi atau pendekatan
dalam pelaksanaan bahkan dapat menimbulkan perubahan pada seluruh
kebijakan yang telah dibuat. Perubahan pemerintahan dari kepala
pemerintahan kepada kepala pemerintahan lain dapat menimbulkan
perbedaan orientasi sentralisasi ke desentralisasi sistem pemerintahan,
perubahan dari orientasi yang memprioritaskan strategi industrialisasi
ke orientasi agri-bisnis, perubahan dari orientasi yang memprioritaskan
pasar terbuka ke strategi dependensi dan sebagainya.
c. Attitude, sekelompok orang yang cenderung tidak sabar menunggu
berlangsungnya proses kebijakan dengan sewajarnya dan memaksa
melakukan perubahan. Akibatnya, terjadi perubahan kebijakan sebelum
kebijakan itu dilaksanakan. Perubahan atas sesuatu peraturan
perundang-undangan boleh saja terjadi, namun kesadaran untuk melihat
berbagai kelemahan pada waktu baru mulai diberlakukan tidak boleh
dipandang sebagai attitude positif dalam budaya bernegara.
d. Terjadi penundaan karena kelambatan atau kekurangan faktor
inputs.Keadaan ini terjadi karena faktor-faktor pendukung yang
diharapkan tidak tersedia pada waktu yang dibutuhkan, atau mungkin
karena salah satu faktor dalam kombinasi faktor-faktor yang diharapkan
tidak cukup.
e. Kelemahan salah satu langkah dalam rangkaian beberapa langkah
pelaksanaan. Jika pelaksanaan memerlukan beberapa langkah yang
berikut: A > B > C > D, kesalahan dapat terjadi diantara A denganB atau
diantara B dengan C danatau antara C dengan D.
f. Kelemahan pada kebijakan itu sendiri. Kelemahan ini dapat terjadi
karena teori yang melatarbelakangi kebijakan atau asumsi yang dipakai
dalam perumusan kebijakan tidak tepat (Abidin, 2002). Kebijakan yang
baik mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan, asumsi yang
realistis dan informasi yang relevan dan lengkap. Tetapi tanpa
pelaksanaan yang baik, sebuah rumusan kebijakan yang baik sekalipun
hanya akan merupakan sekedar suatu dokumen yang tidak mempunyai
banyak arti dalam kehidupan bermasyarakat (Abidin, 2002).

d. Kebijakan Pelayanan Kesehatan


Kebijakan kesehatan merupakan tindakan yang mempunyai efek
terhadap institusi,organisasi pelayanan dan pendanaan dari system pelayanan
kesehatan. Kebijakan palayanan kesehatan meliputi:
1. Public goods
Berupa barang atau jasa yang pedanaanya berasal dari pemerintah,
yang bersumber dari pajak dan kelompok masyarakat. Layanan public
goods digunakan untuk kepentingan bersama dan dimiliki bersama.
Keberadaanya memiliki pengaruh terhadap masyarakat.
2. Privat goods
Berupa barang atau jasa swasta yang pedanaanya berasal dari
perseorangan. Digunakan untuk kepentingan sendiri dan dimiliki
perseorangan, tidak bisa dimiliki sembarangan orang, terdapat persaingan
dan eksternalitas rendah.
3. Merit goods
Karakteristik memerlukan biaya tambahan tidak dapat digunakan
sembarangan orang ada persaingan dan eksternalitas tinggi contohnya cuci
darah, pelayanan kehamilan, pelayanan kespro dan pengobatan PMS.
Indonesia termasuk negara berkembang sangat rentan terhadap
berbagai macam penyakit. Hal ini tersebab karena kondisi riil masyarakat
Indonesia yang miskin dan memiliki standart hidup (gizi) rendah.
Kemiskinan (gizi buruk) menjadi kandungan yang siap setiap saat
melahirkan penyakit. Karena itu tidak mengejutkan kalau penyakit –
penyakit menyerang masyarakat meningkat jumlahnya setiap tahun seiring
meningkatkan jumlah angka kemiskinan.

e. Landasan Hukum Mendasari Kebijakan


1. UU Nomor 40/2004 Pasal 22 berisi manfaat komprehensif : Promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative.
2. UU Nomor 40/2004 Pasal 24 mengenai BPJS berkewajiban
mengembangkan system pelayanan kesehatan, system mutu dan system
pembayaran yang efisien dan efektif.
3. Perpres 12/2013 Pasal 20 ayat 1 : menetapkan produk : pelayanan
kesehatan perorangan (pro,otf, preventif, kuratif dan rehabilitative), obat
dan bahan medis habis pakai.
4. Perpres 12/2013 Pasal 36
Ayat 1 : Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas
kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS.
Ayat 2: Fasilitas kesehatan pemerintah dan pemerintah daerah yang
memenuhi persyaratan wajib bekerjasama dengan BPJS.
Ayat 3 : Fasilitas kesehatan swasta yang memenuhi persyaratan dapat
bekerjasama dengan BPJS.
Ayat 4 : BPJS kesehatan dengan fasilitas membuat perjanjian tertulis
sebagai landasan kerjasama
Ayat 5 : Persyaratan sebagai fasilitas kesehatan mengacu pada peraturan
Menteri Kesehatan yang berlaku.
5. Perpres 12/2013 Pasal 42
Ayat 1 : Pelayanan kepada peserta jaminan kesehtan harus memperhatikan
mutu pelayanan, berorientasi kepada aspek keamanan peserta,
efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan peserta serta
efisiensi biaya.
Ayat 2 : Penerapan system kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan
dilakukan secara menyeluruh, meliputi standar pemenuhan
fasilitas kesehtan, memastikan proses pelayanan kesehatan
berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan, serta
pemantauan terhadap iuran kesehatan peserta
Ayat 3 : Ketentuan mengenai penerapan system kendali mutu diatur oleh
ketetapan BPJS
6. Perpres 12/2013 Pasal 43
Ayat 1 : Dalam rangka menjamin kendali mutu dan biaya menteri
bertanggung jawab untuk HTA, pertimbangan klinis dan
manfaat jaminan kesehatan, perhitungan standar tariff, monev
jaminan kesehatan
Ayat 2 : Dalam melaksanakan Monev, menteri berkoordinasi dengan
Dewan Jaminan Sosial Nasional
7. Perpres 12/2013 Pasal 44 : ketentuan tentang pasal 43 diatur dengan
Peraturan Menteri

f. Kebijakan Kesehatan Terkait Politik


Keputusan politik dibidang kesehatan yang tersurat dalam kepres no 7
tahun 2005 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional sampai
tahun 2009, menunjukkan adanya kebijakan politik dibidang kesehatan yang
bersifat strategis yaitu keinginan untuk merubah paradigma sakit yang masih
dianut oleh masyarakat Indonesia ke paradigma sehat dan meningkatkan
derajad kesehatan masyarakat dengan target indicator dampak :
1. Meningkatkan UHH menjadi 70,6
2. Menurunnya AKB menjadi 26 per seribu kelahiran hidup
3. Menurunnya AKI melahirkan menjadi 226/100.000 kelahiran hidup
4. Menurunnya prevalensi gizi kuramg pada anak balita menjadi 20%
Hasil telaahan terhadap kebijakan kesehatan menunjukkan kebijakan
kesehatan nasional dan target indicator dampak yang harus dicapai pada
tahun 2010, relevan dengan kondisi derajat kesehatan saat ini. Hasil telaahan
pun menunjukkan adanya disparitas status kesehatan masyarakat disetiap
propinsi, kabupaten, dan kota yang potensial menghambat upaya pencapaian
target indicator dampak secara nasional.
Tercantumnya pelayanan kesehatan sebagai hak masyarakat dalam
konstitusi UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3 menempatkan
status sehat dan pelayanan kesehatan merupakan hak masyrakat. Fenomena
demikian merupakan keberhasilan pemerintah selama ini dalam kebijakan
politik dibidang kesehatan, yang menuntut pemerintah maupun masyarakat
untuk melakukan upaya kesehatan secara tersusun, menyeluruh dan merata.
Secara empiris, upaya tersebut merupakan upaya pembangunan melalui
sektor yang terkait langsung dengan bidang kesehatan, seperti upaya promosi
kesehatan, upaya pelayanan kesehatan dan upaya pembiayaan kesehatan.
Begitupun dalam pembangunan sector lainnya, seperti pembangunan infra
struktur, ekonomi, pendidikan, harus berorientasi dan berwawasan kesehatan.
Lebih dari 30 tahun upaya pembangunan kesehatan dilaksanakan
dengan system administrasi pemerintah yang bersifat sentralistik,
disentralistik dan medebewind. Hasil upaya pembangunan tersebut terlihat
pesat selama kurun waktu sampai tahun 1998, baik secara fisik, ekonomis,
maupun secara social. Secara demografis, kemajuan ini terlihat dari hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 1997 (SDKI 1997)
Pada saat reformasi dimulai pada tahun 2000, terjadi perubahan
paradigma sentralistik menjadi paradigma otonomi daerah. Perubahan
paradigma politik, ternyata tidak merubah kebijakan politik kesehatan karena
sudah tersurat dalam konstitusi hasil amandemen. Sebaliknya, administrasi
pembangunan berubah kearah paradigma disentralisasi dengan harapan bisa
lebih efketif untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan bisa
mempersempit disparitas status kesehtatan antar daerah, maupun antar
kelompok masyarakat.
Pada kenyataannya, administarsi pembangunan dengan paradigma
disentralisasi selama kurun waktu 4 tahun ternyata masih memperlihatkan
data disparitas status kesehatan secara signifikan, seperti disparitas :
1. Antar tingkat social ekonomi
2. Antar kawasan
3. Dan arntar perkotaan-pedesaan yang tinggi.
Dengan demikian maka pembangunan kesehatan yang dilaksanakan
dengan administrasi paradigm deswntralisasi kesehatan belum berhasil
mempersempit disparitas status kesehatan antar daerah. Dapat disimpulkan
bahwa administrasi pembangunan ksehatan paradigm lama dan paradigm
desentralisasi dalam upaya mempertinggi derajad kesehatan masyarakat,
bukan merupakan determinant factor tidak tercapainya target indicator
dampak pembangunan kesehatan yang ditetaokan pemerintah selama ini.
Secara teoritis, strategi kebijakan kesehatan merupakn kebijakan public
untuk menghimpun semua potensi guna memelihara dan meningkatkan status
kesehatan masyarakat( Roger Detels et al, 2002). Bahkan menurut Dawnie
perlu melibatkan semua kekuatan masyarakat. Denagn demikian, tingginya
taat azas dan loyalitas terhadap kebijakan kesehatan nasional merupakan
efektifnya administrasi pemerintah untuk mengkondisikan pemerintahan
daerah guna menghimpun semua potensi guan memelihara dan meningkatkan
status kesehatan masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Aspek Peraturan Perundangan dalam Peta Perjalanan BPJS


37
Penyelenggaraan jaminan sosial, termasuk di dalamnya jaminan
kesehatan, harus didasarkan suatu Undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya. Dasar peraturan perundang-undangan tersebut diperlukan
sebagai dasar hukum dipenuhinya hak dan kewajiban publik, baik dalam
kaitan dengan pengumpulan dan pengelolaan iuran dari publik maupun dalam
pemberiaan manfaat (benefit) kepada publik yang menjadi peserta.
Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia secara konstitusional
diatur dalam Pasal 28 H dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian implementasinya didasarkan pada
dua undang-undang yaitu (a) UndangUndang No 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), dan; (b) Undang-Undang No 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-
Undang No 40/2004 mengatur programnya, yang secara berkala dapat
direvisi untuk memperbaiki atau menambah program, seperti halnya
Pemerintah memiliki UU Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Panjang.
Sedangkan UU 24/2011 mengatur badan penyelenggaranya yang bertugas
melaksanakan program-program yang telah diatur dalam UU SJSN,
sebagaimana pengaturan Pemerintahan yang harus menjalankan
programprogram yang telah dirumuskan dalam UU RPJP.
Agar jaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan, dapat
diselenggarakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam dua
Undang-Undang tersebut, maka perlu disusun peraturan pelaksanaannya.
Peraturan pelaksanaan (Peraturan Pemerintah dan Praturan Presiden) menjadi
acuan bagi semua pemangku kepentingan (pekerja, pemberi kerja,
Pemerintah, BPJS, fasilitas kesehatan, dan lain-lain) guna mengetahui hak
dan kewajibannya. Peraturan pelaksanaan juga merupakan acuan di dalam
melakukan evaluasi pencapaian dan kualitas pencapaian jaminan sosial dalam
hal ini jaminan kesehatan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu diuraikan
peraturan yang perlu segera disusun agar jaminan kesehatan dapat
diselenggarakan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Turunan Peraturan UU SJSN


Beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang harus
disusun sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
khususnya terkait dengan jaminan kesehatan adalah:
1. Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran (PP PBI)
PP ini sebagai pelaksanaan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (6)
UU SJSN. Pasal 14 UU SJSN menyatakan “(1) Pemerintah secara
bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; (2) Penerima bantuan iuran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak
mampu; (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Pasal 17 ayat (4)- (6)
UU SJSN menyatakan “(4) Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin
dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah. (5) Pada tahap
pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh
Pemerintah untuk program jaminan kesehatan, (6) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah”.
RPP PBI sudah disusun sejak 2007 dan sudah berkali-kali dibahas
oleh wakil berbagai kementerian. Banyak pemangku kepentingan yang
sudah dilibatkan dalam pembahasan RPP tersebut. Namun sampai saat ini
RPP PBI tersebut belum ditandatangani oleh Presiden. Agar BPJS
Kesehatan dapat beroperasi dengan baik sesuai dengan ketentuan Pasal 60
ayat (1) UU BPJS, yaitu pada 1 Januari 2014 maka PP PBI tersebut
seharusnya sudah ditanda-tangani oleh Presiden paling lambat pada
pertengahan Tahun 2013. Mengingat waktu yang sangat terbatas maka
RPP PBI yang sudah ada perlu segera diharmonisasikan oleh Kementerian
Hukum dan HAM dan kemudian diajukan ke Presiden.
2. Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan
Peraturan Presiden ini mengatur mengenai program jaminan
kesehatan yang materinya meliputi substansi Pasal 21 – Pasal 28 UU SJSN
jo. Pasal 19 UU BPJS. Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan
mengatur tentang:
a. Pelayanan kesehatan yang dijamin mencakup pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis habis
pakai serta urun biaya untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan
penyalahgunaan pelayanan (Pasal 22 UU No. 40 Th 2004)
b. Pemberian kompensasi oleh BPJS Kesehatan jika di suatu daerah belum
tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi
kebutuhan medis sejumlah peserta dan kelas standar perawatan di rumah
sakit (Pasal 23 UU No. 40 Th 2004).
c. Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin BPJS (Pasal 26 UU No. 40 Th
2004)
d. Besar iuran Jaminan Kesehatan untuk peserta penerima upah dengan batas
upah yang ditinjau secara berkala, untuk peserta yang tidak menerima
upah, dan untuk penerima bantuan iuran (Pasal 27 UU No. 40 Th 2004)
e. Kewajiban membayar tambahan iuran bagi pekerja yang memiliki anggota
keluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin mengikut sertakan anggota
keluarga lainnya seperti orang tua (Pasal 28 UU No. 40 Th 2004)
f. Tata cara pembayaran iuran program jaminan kesehatan (Pasal 15 ayat (5)
huruf (a) UU No. 24 Th 2011)
g. Pentahapan kepesertaan Jaminan Kesehatan yang merupakan perumusan
lebih lanjut dari Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 13 UU SJSN menyatakan (1)
Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan
pekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti; (2) Pentahapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Presiden.
Sedangkan pasal 15 UU BPJS menyatakan (1) Pemberi Kerja secara
bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta
kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti; (2)
Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota
keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS; (3) Penahapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Sebagaimana RPP PBI, Rancangan Peraturan Presiden juga sudah disusun
sejak tahun 2009 dan sudah berkali-kali dibahas oleh tim dari berbagai
kementerian terkait. Banyak pemangku kepentingan yang sudah dilibatkan
dalam pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tersebut. Agar BPJS
Kesehatan dapat beroperasi dengan baik pada Tanggal 1 Januari 2014
maka Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus sudah
diundangkan pada akhir tahun 2012, selambat-lambatnya pada
pertengahan tahun 2013 sehingga semester kedua tahun 2013 dapat
digunakan untuk sosialisasi ke berbagai pihak. Mengingat waktu yang
sangat terbatas maka sebaiknya DJSN berkomunikasi intensif dengan
pihak Kemenkes dan KemenHukHam khususnya agar Rancangan
Peraturan Presiden segera harmonisasi dan kemudian diajukan ke Presiden
untuk ditetapkan.

C. Turunan Peraturan UU Nomor 40 Tahun 2011 Mengenai BPJS


Disamping peraturan pelaksanaan UU SJSN, ada peraturan pelaksanaan
yang perlu disusun berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Beberapa pengaturan pelaksanaan
yang perlu disusun dapat disatukan dengan pengaturan pelaksanaan
berdasarkan amanat UU SJSN. Beberapa pengaturan harus dilakukan secara
terpisah karena substansinya yang khusus, yaitu:
8. Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU No. 24 Th 2011
tentang BPJS
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang:
a. Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi pemberi kerja yang
terlambat atau tidak membayar iuran (Pasal 17). Pengaturan ini harus
sinkron dengan pengaturan iuran jaminan kesehatan yang diatur dalam
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan.
b. Besaran dan tatacara pembayaran iuran untuk empat program selain
program jaminan kesehatan (Pasal 19 ayat (5) huruf (b)
c. Sumber dan pengunaan asset BPJS (Pasal 41)
d. Sumber dan penggunaan asset Dana Jaminan Sosial (Pasal 43)
e. Persentase dana operasional (Pasal 45) untuk jaminan kesehatan yang
harus ditetapkan oleh DJSN. Memperhatikan rasio biaya operasional
terhadap total iuran diterima di berbagai negara, maka BPJS dapat
menggunakan dana operasional maksimum 4 persen dari iuran di tahun-
tahun pertama, dan dapat lebih kecil dari 3 persen di masa stabil.
f. Tata cara hubungan antar lembaga (Pasal 51)
g. Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Dewan Pengawas dan
Direksi BPJS (Pasal 53)
9. Peraturan Pemerintah tentang Modal Awal BPJS
Peraturan Pemerintah tentang Modal Awal BPJS perlu disusun dalam
rangka mengimplementasikan Pasal 42 UU BPJS yang menyatakan
“Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf (a)
untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-
masing paling banyak Rp 2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Berdasarkan
ketentuan Pasal 41 ayat (4) Undang-Undang tentang Perbendaharaan
Negara jo. Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang BUMN, yang mengatur
penyertaan modal Negara yang jumlahnya seratus milyar keatas, maka
harus pengaturan modal awal harus mendapat persetujuan DPR dan
pelaksanaanya harus diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sehubungan
dengan hal tersebut, yang berwenang memprakarsai penyusunan RPP
tentang modal awal ini adalah Menteri Keuangan. Dengan demikian,
sebelum penyusunan RPP tentang modal awal sebesar paling banyak Rp. 2
Triliun untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2013
harus sudah mendapat persetujuan dari DPR RI dan dianggarkan dalam
APBN 2014 sebagai kekayaan negara yang dipisahkan.
Terkait PP tentang Modal Awal BPJS, maka hal yang sangat penting
untuk dilakukan adalah penganggarannya dalam UU APBN tahun 2013.
Oleh sebab itu dalam penyusunan RAPBN tahun 2013 sudah harus
memasukkan besaran modal awal tersebut yang penyusunannya sudah
harus dilakukan pada tahun 2012.
10. Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan
Dewan Pengawas dan Direksi BPJS
Peraturan Presiden (Perpres) ini merupakan pelaksanaan dari
beberapa pasal UU BPJS yaitu Pasal 31, Pasal 36, dan Pasal 44. Pasal 31
UU BPJS menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemilihan dan penetapan Dewan Pengawas dan Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan
Presiden”. Pasal 36 ayat (5) menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pemilihan dan penetapan calon anggota pengganti antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Presiden”. Sedangkan Pasal 44 ayat (8) menyatakan
”Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta
insentif bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi diatur dengan
Peraturan Presiden”.
Disamping itu, Perpres ini sebaiknya juga mengatur tentang bentuk
dan isi laporan pengelolaan program dan laporan tahunan sebagaimana
yang dinyatakan pasal 37 UU No. 24 Th 2011 tentang BPJS sebagai
bentuk pertanggung-jawaban BPJS. Pasal 37 ayat (1) UU BPJS yang
mengatur pertanggungjawaban BPJS menyatakan “BPJS wajib
menyampaikan pertanggung-jawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam
bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang
telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden dengan tembusan
kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya”. Sedangkan
Pasal 37 ayat (7) menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai bentuk dan isi
laporan pengelolaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Presiden”.
Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden ini diinisiasi oleh salah
satu Kementerian Kesehatan atau Kementerian Ketenagakerjaan, namun
dalam prosesnya dilakukan bersama mengingat pengaturan operasional
dan pertanggung-jawaban BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
haruslah sama. Dengan demikian, Peraturan Presiden tentang Tata Kelola,
termasuk standar gaji dan manfaat lain, cukup satu untuk BPJS Kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan.
11. Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Dewan Komisaris dan
Direksi PT. Askes (Persero) menjadi Dewan pengawas dan Direksi
BPJS Kesehatan
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS
menyatakan bahwa untuk pertama kali Dewan Komisaris dan Direksi PT.
Askes (Persero) diangkat menjadi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS
Kesehatan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
BPJS Kesehatan beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. Pengangkatan
Dewan Komisaris dan Direksi PT. Askes (Persero) menjadi Dewan
Pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan dalam Pasal 59 ini secara normatif
harus dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden.
Oleh karena itu perlu disiapkan Rancangan Keputusan Presiden
tentang pengangkatan Dewan Komisaris dan Direksi PT. Askes (Persero)
menjadi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan yang untuk
pertama kali harus dikeluarkan sebelum tanggal 31 Desember 2013.
Penyiapan Rancangan Keputusan Presiden ini sebaiknya dilakukan oleh
DJSN dan Kementerian Negara BUMN.

D. Implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2011 Mengenai BPJS


Pada tanggal 1 januari 2014 mulai diberlakukan BPJS kesehatan di
seluruh pelayanan kesehatan di Indonesia. Ujicoba BPJS sudah mulai
dilaksanakan sejak tahun 2012 dengan rencana aksi dilakukan pengembangan
fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan dan perbaikan pada system rujukan
dan infrastruktur. Evaluasi jalannya Jaminan Kesehatan nasional ini
direncanakan setiap tahun dengan periode per enam bulan dengan kajian
berkala tahunan elitibilitas fasilitas kesehatan, kredensialing, kualitas
pelayanan dan penyesuaian besaran pembayaran harga keekonomian.
Diharapkan pada tahun 2019 jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan
mencukupi, distribusi merata, system rujukan berfungsi optimal, pembayaran
dengan cara prospektif dan harga keekonomian untuk semua penduduk.
Pelaksanaan UU BPJS melibatkan PT ASKES, PT ASABRI, PT
JAMSOSTEK dan PT TASPEN. Dimana PT ASKES dan PT JAMSOSTEK
beralih dari Perseroan menjadi Badan Publik mulai 1 januari 2014.
Sedangkan PT ASABRI dan PT TASPEN pada tahun 2029 beralih menjadi
badan public dengan bergabung ke dalam BPJS ketenagakerjaan.

E. Masalah Yang Timbul Saat Implementasi Kebijakan BPJS


Pelayanan kesehatan BPJS mempunyai sasaran didalam pelaksanaan
akan adanya sustainibilitas operasional dengan memberi manfaat kepada
semua yang terlibat dalam BPJS, pemenuhan kebutuhan medik peserta, dan
kehati-hatian serta transparansi dalam pengelolaan keuangan BPJS. Perlu
perhatian lebih mendalam dalam pelaksanaan terhadap system pelayanan
kesehatan (Health Care Delivery System), system pembayaran (Health Care
Payment System) dan system mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality
System). Mengingat pelaksanaan BPJS dikeluarkan melalui Undang-Undang
dimana bersifat mengatur sedangkan proses penetapan pelaksanaan diperkuat
melalui surat keputusan atau ketetapan dari pejabat Negara yang berwenang
seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden setidaknya minimal 10
regulasi turunan harus dibuat untuk memperkuat pelaksanaan BPJS.
Saat ini masalah banyak yang muncul dari implementasi BPJS
(Gunawan, 2014) yaitu :
1. Sistem pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System)
a. Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas pelayanan kesehatan hal ini
dikarenakan PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 tentang
Jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin
sebagai PBI padahal menurut BPS (2011) orang miskin ada 96,7 juta.
Pelaksanaan BPJS tahun 2014 didukung pendanaan dari pemerintah
sebesar Rp. 26 trliun yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran
tersebut dipergunakan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp.
16.07 trliun bagi 86,4 juta masyarakat miskin sedangkan sisanya bagi
PNS, TNI dan Polri. Pemerintah harus secepatnya menganggarkan
biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk gelandangan, anak jalanan,
penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas (jumlahnya
sekitar 1,7 juta orang). Dan tentunya jumlah orang miskin yang
discover BPJS kesehatan harus dinaikkan menjadi 96,7 juta dengan
konsekuensi menambah anggaran dari APBN.
b. Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
oleh PPK I (Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit) sampai
saat ini masih bermasalah. Pasien harus mencari-cari kamar dari satu
RS ke RS lainnya karena dibilang penuh oleh RS, bukanlah hal yang
baru dan baru sekali terjadi.
2. Sistem pembayaran (Health Care Payment System)
a. Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real cost,
terkait dengan pembiayaan dengan skema INA CBGs dan Kapitasi yang
dikebiri oleh Permenkes No. 69/2013. Dikeluarkannya SE No. 31 dan
32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan untuk memperkuat Permenkes
No.69 ternyata belum bisa mengurangi masalah di lapangan.
b. Kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal maupun
eksternal. Pengawasan internal seperti melalui peningkatan jumlah
peserta dari 20 juta (dulu dikelola PT Askes) hingga lebih dari 111 juta
peserta, perlu diantisipasi dengan perubahan system dan pola
pengawasan agar tidak terjadi korupsi. Pengawasan eksternal, melalui
pengawasan Otoritas jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) masih belum
jelas area pengawasannya.
3. Sistem mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System)
a. Keharusan perusahaan BUMN dan swasta nasional, menengah dan
kecil masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan belum terealisasi
mengingat manfaat tambahan yang diterima pekerja BUMN atau swasta
lainnya melalui regulasi turunan belum selesai dibuat. Hal ini belum
sesuai dengan amanat Perpres No. 111/2013 (pasal 24 dan 27)
mengenai keharusan pekerja BUMN dan swasta menjadi peserta BPJS
Kesehatan paling lambat 1 Januari 2015. Dan regulasi tambahan ini
harus dikomunikasikan secara transparan dengan asuransi kesehatan
swasta, serikat pekerja dan Apindo sehingga soal Manfaat tambahan
tidak lagi menjadi masalah.
b. Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas kesehatan
sehingga peserta BPJS tidak tertangani dengan cepat.
F. Rekomendasi Implementasi BPJS 2014
Evaluasi implementasi BPJS Kesehatan yang dimulai pada tanggal 1
Januari 2014 saat ini masih banyak ditemui kendala disebabkan masih
minimnya penetapan melalui pemerintah dalam pelaksanaan BPJS, sedikitnya
10 regulasi turunan yang harus ditambahkan untuk menunjang BPJS
tersebut.. Dengan Penyelenggaraan BPJS Kesehatan yang belum berjalan
sesuai dengan prinsip dan tujuan, oleh karena itu diperlukan :
1. Dalam pembentukan surat keputusan atau peraturan hendaknya
menggunakan cara pandang konstitusional, berdasarkan Pasal 28 H ayat
(3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 serta merujuk pada Pasal 4 UU SJSN
dan Pasal 40 tahun 2011 dan Pasal 24 tahun 2011.
2. Harus dilakukan kajian lebih lanjut untuk merevisi regulasi turunan BPJS
seperti dalam penetapan cost BPJS dan pengaturan penyaluran dana ke
fasilitas kesehatan penyelenggara, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia
(dokter, perawat, administrasi rumah sakit dan lain-lain) sehingga
memudahkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta fasilitas
kesehatan yang dimiliki dapat menunjang pelaksanaan secara efisien dan
efektif.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem Kesehatan Nasional di pergunakan sebagai dasar dan acuan
dalam penyusunan berbagai kebijakan, pedoman dan arahan penyelenggaraan
pembangunan kesehatan serta pembangunan berwawasan kesehatan. Sistem
Kesehatan Nasional merupakan sistem terbuka yang berinteraksi dengan
berbagai sistem nasional lainnya dalam suatu suprasistem, bersifat dinamis
dan selalu mengikuti perkembangan. Sistem Kebijakan Nasional (SKN)
merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan
terselenggaraanya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa baik
masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan
berdaya guna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Kebijakan kesehatan nasional merupakan keputusan formal
organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan
untuk menciptakan tatanilai baru dalam masyarakat, Kebijakan akan menjadi
rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam
berperilaku. Demi tercapainya SKN maka diperlukan implementasi dari
kebijakan-kebijakan nasional, yang mana implementasi mengacu pada hasil
akhir dari kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan proses
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pembelahan personil
(stuffing) dan pengawasan (controlling).

B. Saran
Diharapkan implementasi dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah dapat menghasilkan outcome yang sesuai dengan tujuan dan
perumusan awal dari kebijakan, sehingga derajad kesehatan masyarakat yang
maksimal dapat dicapai.

DAFTAR PUSTAKA
49

Buchbinder, Sharon B. 2014. Manajemen Pelayanan Kesehatan. EGC: Jakarta


Depkes RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005
– 2025. Jakarta: Depkes RI. http://www.depkes.go.id.
Downie. 2000. “Health Promotion”. New York : oxford University
Dunn, William N. 1999. Analisis Kebijakan. Diterjemahkan Drs. Samodra
Wibawa, MA dkk. Edisi ke 2. Jakarta
Kozier. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, proses dan praktik.
Alih bahasa Pamilih. EGC. Jakarta.
Muninjaya, Gede. 2004. Manajemen Kesehatan. EGC : Jakarta
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
kesehatan Nasional.
Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 tentang Pembagian Kewenanagan Pusat
dan Daerah
Pickett et al. 1999. “ Public Health Administration and Practice. Missouri” :
Mosby Company
Roger Detels et al. 2002. “ The Scope of Public Health”. New York : Oxford
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (3) dan pasal 34
Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan
Sosial
Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Undang-Undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat
dan Pemerintah Daerah
Undang-Undang No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Anda mungkin juga menyukai