Anda di halaman 1dari 6

Ruang Terbuka Vs Ruang Tertutup di DKI Jakarta dalam Konteks

Bangunan Komersil

Fitria Kusuma Wardani / 1906431733

Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia

Fitria.kusuma91@ui.ac.id

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (UU No.26, 2007 Tentang Penataan Ruang).
Ruang terbuka merupakan ruang yang direncanakan atas kebutuhan akan tempat untuk
pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Dengan adanya pertemuan bersama dan relasi
antara orang banyak, kemungkinan akan timbul berbagai macam kegiatan di ruang umum terbuka
tersebut. Sebetulnya ruang terbuka merupakan salah satu jenis saja dari ruang umum (Eko
Budiharjo & Djoko Sujarto, Kota Berkelanjutan, 2005:89).

“Ruang terbuka hijau pada umumnya bertujuan untuk penghijauan sebagai salah satu unsur kota
yang ditentukan oleh faktor kenyamanan dan keindahan bagi suatu ruang kota. Konteks
kenyamanan disini berupa pelindung cahaya matahari (peneduh), peredam kebisingan, dan
menetralisir udara. Sedangkan konteks keindahan berupa penataan tanaman yang dibantu dengan
konstruksi-konstruksi yang bertujuan untuk menahan erosi, baik berupa konstruksi beton, batu
alam dan lain-lain. Pengaturan ruang terbuka hijau selain menerapkan keindahan dan kenyamanan
juga harus menerapkan prinsi-prinsip komposisi desain yang baik”. (Hamid Shirvani, The Urban
Design Process, 1983:16).

Jenis ruang terbuka hijau terdiri dari jenis ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat
(UU No.26, 2007 Tentang Penataan Ruang). Ruang terbuka hijau privat merupakan ruang terbuka
hijau yang dimiliki perorangan/pribadi. Ruang terbuka hijau antara lain berupa kebun atau
halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. RTH publik
merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah yang bertujuan
untuk digunakan sebagai kepentingan masyarakat secara umum. Ruang terbuka hijau publik
antara lain adalah taman kota, jalur hijau sepanjang sungai,TPU , pantai, dan jalan. Ruang
terbangun adalah kawasan terbangun yang di antaranya meliputi pemukiman, industri,
perkantoran/pertokoan, dan bangunan lainnya. (Bappeda 2011)

Berdasarkan Pedoman Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum Tahun
2007, menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagi berikut:
1. Fungsi Bio ekologis (fisik), yaitu dengan adanya RTH maka akan terciptanya sirkulasi udara yang
baik (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, sebagai peneduh, penyerap air hujan, penyedia
habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan udara, air dan tanah serta penahan angin.
2. Fungsi sosial ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi dan ciri
dari budaya lokal pada daerah yang terdapat RTH tersebut. RTH bisa menjadi sebuah media
tempat berkomunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan dan penelitian.
3. Ekositem perkotaan produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah serta
bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan dan lain sebagainya.
4. Fungsi estetis yaitu memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah,
lingkungan permukiman, maupun makro: lanskap kota secara keseluruhan serta berfungsi
untuk meningkatkan kenyamanan. Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga
kota serta, sebagai tempat berekreasi secara aktif maupun pasif seperti bermain, berolahraga,
atau berkegiatan sosialisasi lain sehingga, mampu terciptanya suasana serasi dan seimbang
antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan atau jalur hijau yang
tersedia.

Kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) di DKI Jakarta berdasarkan Amanat UU No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan PP No. 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang
harus mencapai 30% dari luas Jakarta. Dari 30% RTH yang ada dimana 20% dikelola oleh publik,
dan 10% dikelola oleh privat/perorangan. Saat ini, dari 30% RTH yang harus disediakan, Jakarta
baru memiliki 9,9% RTH dari total seluruh luas wilayah (Jakarta Smart City). Luas RTH di Jakarta
saat ini terus menurun sejak banyak hadirnya bangunan-bangunan pencakar langit dan pusat
perbelanjaan baru yang terus bermunculan. Berdasarkan data yang dihimpun CNNIndonesia.com,
pada 1985 jumlah RTH di Jakarta masih pada angka 25,85%. Pada 25 tahun kemudian, jumlah RTH
semakin turun drastis menjadi 9%. Suzi Marsitawati selaku kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta
mengatakan bahwa saat ini pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) baru mencapai 9,9 % dan
saat ini Dinas Kehutanan memiliki target untuk membuat 23 hektare RTH setiap tahun.

Gambar 1 Peta Zona RDTR 2030 DKI Jakarta


Sumber: (Nur Febrianti, Sayidah Sulma, Junita Monika Pasaribu: Analisis Ruang Terbuka Hijau di
DKI Jakarta Menggunakan Data SPOT 6, 2015)
Sebaran zona hijau RDTR yang diperlihat pada gambar diatas terlihat tidak menyebar secara
merata. Zona hijau RDTR lebih di pusatkan di Kecamatan Penjaringan (Jakarta Utara), Kalideres
(Jakarta Barat), Pasar Minggu (Jakarta Selatan), Gambir dan Tanah abang (Jakarta Pusat), serta
Kecamatan Makasar dan Cipayung (Jakarta Timur).

Zona peruntukan hijau RDTR 2030 adalah 3.093,88 Ha atau 39.07% dari luas zona peruntukan
hijau, selebihnya adalah non vegetasi yang mencapai 60,93% dari luas zona peruntukan hijau. area
terbangun di dalam zona peruntukan hijau adalah sebesar 2.868,10 Ha atau 36,22%. Hal ini
menunjukkan banyak area terbangun yang nantinya harus dikonversi atau dikembalikan
peruntukannya untuk dapat mencapai luas RTH yang diinginkan. RTH yang dikelola oleh Pemda
DKI Jakarta masih jauh dari PP No.15 tahun 2010 yang harus mencapai 30% (Nur Febrianti, Sayidah
Sulma, Junita Monika Pasaribu: Analisis Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta Menggunakan Data
SPOT 6, 2015)

Studi kasus pertama, Mall Taman Anggrek, Jakarta Barat. Sejarawan JJ Rizal menyinggung soal
keberadaan Mall Taman Anggrek yang seharusnya diperuntukan untuk ruang terbuka hijau Kota
Tomang. Dia mengatakan itu lewat akun Facebooknya, beberapa hari lalu. "Tentu saja bakal seru
jika direspon dengan membuka arsip rencana induk Jakarta 1965-1985, lalu master plan Jakarta
1985-2005 yang dengan mudah akan memperlihatkan bahwa mall di simpang Tomang itu
menempati lahan RTH Hutan Kota Tomang," kata dia. Menurut Nirwono, sebenarnya kawasan Mal
Taman Anggrek dahulu merupakan kawasan hutan kota, bahkan pada 1985 wilayah tersebut
terkenal sebagai tempat kebun Anggrek. "Secara teknis tentunya kawasan tersebut diperuntukkan
sebagai ruang terbuka hijau. Persoalannya mengapa dari hutan kota kok bisa disulap menjadi
mal?" kata Nirwono kepada IDN Times, Kamis (16/1). (IDN Times: Mal Taman Anggrek dan 'Luka
Lama' Jakarta Pasca-Banjir, 15 Januari 2020)

Studi kasus kedua, AEON Mall Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Dalam Peta Zonasi Kecamatan
Jagakarsa, Jakarta Selatan, lahan proyek untuk pembangunan AEON Mall berisi zona taman kota
dan lingkungan, sub zona perkantoran, perdagangan dan jasa, serta sub zona rumah vertikal
dengan koefisien dasar bangunan rendah. Banyak warga yang menolak dan menggugat Pemprov
DKI Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara dikarena telah memberi izin membangun mall di atas
lahan fasos fasum. Dalam surat perjanjian antara Pemprov DKI dengan PT Duta Semesta Mas
Nomor 7 Tahun 2016 tentang pemenuhan kewajiban pemegang penyempurnaan surat izin
penunjukkan penggunaan tanah (SIPPT) Nomor 1372/-1.711.534 yang ditandatangani Sekretaris
Daerah Saefullah, pembangunan tersebut mensyaratkan adanya penyediaan ruang terbuka hijau,
marga jalan, dan sejumlah fasos fasum. Edi (Warga) mengatakan warga menolak pembangunan
karena khawatir perumahan Tanjung Mas Raya yang dihuni 441 KK itu akan rawan bencana.
Pembangunan besar-besaran dikhawatirkan akan berujung seperti Kemang. Belum lagi krisis air
karena warga masih menyedot air tanah. Edi mengatakan kajian analisis dampak lingkungan
(Amdal) telah dilengkapi, namun hal itu tersebut belum mendapat persetujuannya dan diduga
dipaksakan. (Nibras Nada Nailufar: "Warga Perumahan Tolak Pembangunan Tanjung Barat City
Walk", 20/10/2016)
Daftar Pustaka:

Nur Febrianti, Sayidah Sulma, Junita Monika Pasaribu: “Analisis Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta
Menggunakan Data SPOT 6”, 2015

https://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/20/09264421/warga.perumahan.tolak.pemban
gunan.tanjung.barat.city.walk?page=all

https://www.idntimes.com/news/indonesia/lia-hutasoit-1/mal-taman-anggrek-dan-luka-lama-
jakarta-pasca-banjir/full

Jakarta Smart City

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191017195256-20-440515/target-masih-jauh-dki-
ingin-swasta-sumbang-10-persen-rth

http://repository.unpas.ac.id/30663/3/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai