Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecelakaan lalu lintas merupakan penyumbang terbesar terjadinya

fraktur (Murgatroyd et al., 2017). Fraktur yang paling banyak terjadi pada

kasus kecelakaan adalah pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah

khususnya bagian tibia, fibula dan hip fraktur (Murgatroyd et al., 2017).

Fraktur yang dapat menyebabkan tingginya angka kesakitan, kecacatan, dan

kematian di dunia (Court-Brown, Aitken, Forward, 2010)

Polri menyebutkan angka kecelakaan lalu lintas di seluruh Indonesia

pada tahun 2017 selama 21 hari terjadi 3.646 kecelakaan dan pada tahun 2018

sebanyak 2.310 kecelakaan. Jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan

pada tahun 2017 mencapai 703 jiwa dan pada tahun 2018 korban tewas

sebanyak 503 jiwa. Lalu jumlah korban luka berat dan ringan pada tahun 2017

tercatat ada 732 orang dengan luka berat dan 4.333 orang dengan luka ringan,

sementara pada tahun 2018 sebanyak 458 orang dengan luka berat dan 2.679

orang dengan luka ringan ( Liputan 6,2018 ).

Fraktur menimbulkan gejala nyeri, krepitasi, dan gangguan mobilisasi.

Pembedahan fraktur memberikan tantangan bagi dunia medis, karena memiliki

resiko tinggi terhadap komplikasi, infeksi, nyeri, kecemasan, depresi, dan

mobilisasi (Minhas & Catalano, 2018). Pasca operasi fraktur yang terlambat

dilakukan mobilisasi akan menyebabkan atrofi otot, osteopenia, kontraktur

sendi, dan malfungsi dari sendi itu sendiri (Bruder, Shields, Dodd, & Taylor,
2017). Efek yang terjadi jika nyeri dan ansietas tidak segera diatasi adalah

terjadi perubahan fisiologis seperti ketakutan dan ketidakyakinan yang

berdampak terhadap prognosis penyakit (Lee et al., 2018), dan kesembuhan

(Chuang et al., 2016).

Prevalensi fraktur dilaporkan tahun 2011-2012 WHO yaitu terdapat 5,6

juta jiwa di dunia yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, dan 1,3 juta

diantaranya meninggal dunia (Riswanda, Dwi, Abdul, & Sulis, 2017). Di

Inggris, sekitar 80% pasien melaporkan nyeri, 48% pasien mengalami rasa

sakit sedang atau berat pasca operasi(Evans & Mccahon, 2018). Prevalensi

cedera secara Nasional mengalami peningkatan sebesar 8,2 % dengan

penyebab paling banyak yaitu jatuh (40,9%), kecelakaan motor (40,6%).

Riskesdas tahun 2013 menyebutkan bahwa, Propinsi Jawa Timur menduduki

peringkat ke tujuh dengan laporan cedera di jalan raya sebesar 42,1 % (Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

Rumah Sakit Umum Bahtramas di Sulawesi Tenggara dengan akreditasi

paripurna, menyebutkan data fraktur tiga tahun terakhir sebagai berikut; Tahun

2016 jumlah fraktur sebanyak 891 kasus, yang menjalani operasi faktur cruris

sebanyak 143 kasus (16%). Tahun 2017 jumlah fraktur sebanyak 1006 kasus,

yang menjalani operasi faktur cruris dengan tindakan ORIF sebanyak 167

kasus (16,6%).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit

Umum Bahtramas di Sulawesi Tenggara, dari 4 pasien yang di wawancara,

semua pasien pra operasi fraktur masih mengalami nyeri dan belum
mengetahui terkait dengan menejemen nyeri. Hasil wawancara dengan perawat

di ruang rawat inap bedah Rumah Sakit Umum Bahtramas di Sulawesi

Tenggara, bahwa pasien yang akan menjalani operasi fraktur diberi pendidikan

kesehatan biasa menjelang operasi dan perawat mengatakan fenomena yang

terjadi pada banyak kasus di RS setelah pembedahan fraktur adalah masih

terdapat nyeri hebat, pasien menangis kesakitan dan belum optimal dalam

melakukan mobilisasi dini, mayoritas pasien masih takut untuk bergerak. (RSU

Bahtaramas, 2020).

Penatalaksanaan fraktur saat ini dapat dilakukan dengan pembedahan dan

tindakan non operative atau modalitas seperti traksi, bidai, fiksator eksternal,

dan lain sebagainya (Taki, Memarzadeh, Trompeter, & Hull, 2017). Nyeri

pasca operasi jika tidak dikelola dengan baik, maka dapat menyebabkan

insidensi thrombosis vena, emboli pulmonal, dan pneumonia karena mobilitas

yang menurun (Wahington, 2018). Pembedahan untuk memperbaiki tulang

yang patah. Keuntungan pembedahan adalah tercapai reposisi yang sempurna

dan kokoh, sehingga tidak perlu pemasangan gips, dan segera dapat mencapai

mobilisasi. Pada pasien yang akan dan sudah menjalani pembedahan,

cenderung merasakan nyeri. Hal ini disebabkan karena rasa takut akan

bergerak, pengalaman masa lalu mengenai pembedahan, dan kurang

pengetahuan mengenai penyakit (Intermountain Healthcare, 2012).

Nyeri merupakan respon individu dalam beradaptasi terhadap penyakit.

Sejumlah teori telah diterapkan dalam memahami perilaku kesehatan mengenai

motivasi diri dalam management nyeri pasca operasi, salah satunya adalah
HBM (Jensen, Nielson, & Kerns, 2003). Beberapa penelitian menyebutkan

bahwa rasa sakit yang persisten merupakan fenomena multi dimensi yang

membutuhkan model perawatan komprehensif dan terpadu (Conway &

Higgins, 2011). Manajemen adaptif nyeri sangat tergantung pada bagaimana

pasien memilih untuk mengatasi rasa sakit dan dampaknya. Akan tetapi, peran

perawat dalam membantu mempertahankan perilaku koping pasien dalam

proses penyembuhan seperti pendidikan kesehatan mengenai nyeri masih perlu

ditingkatkan.

Nyeri akut pasca pembedahan juga dapat mempengaruhi perilaku

mobilisasi. Mobilisasi dini pada pasien post ORIF mempunyai fungsi

penyembuhan untuk jangka panjang. Akibat tidak dilakukan mobilisasi dini

adalah atropi, kecacatan, dan kesulitan berjalan. Ladermann et al., (2017)

menyatakan bahwa masih terdapat 11 orang dari 42 orang yang mengalami

delay mobilisasi karena kurang terpapar informasi dan ketakutan paska operasi.

Hurley, Walsh, Bhavani, Britten, & Stevenson, (2010) juga menyatakan hal

yang serupa, bahwa pasien mempunyai pemahaman yang buruk dan negatif

mengenai manajemen rehabilitasi mobilisasi pada fraktur.

Keyakinan diri pasien untuk dapat melakukan mobilisasi dapat

membantu mengurangi nyeri yang dirasakan. Penelitian Hurley, Walsh,

Bhavani, Britten, &Stevenson (2010) menunjukan bahwa sebagian besar pasien

setuju dilakukan dukungan yang berkelanjutan oleh perawat terhadap

pengobatan pasca pembedahan dan melakukan latihan mobilasasi untuk efek

perbaikan. Buecking et al., (2015) menunjukan bahwa treatment melakukan


moblisasi dengan kemampuan berjalan 4 hari setelah post operasi bagi pasien

fraktur sangat berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan selanjutnya.

Terdapat sejumlah teori dan model dalam asuhan keperawatan yang

dapat digunakan untuk merancang intervensi seperti health education berbasis

Health Belief Model (HBM) (Khoramabadi et al., 2015). Tujuan dari HBM

adalah dapat merubah perilaku dan persepsi pasien mengenai suatu penyakit

sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan (Tarkang & Zotor, 2015).

Health education pra operasi berbasis HBM yang diberikan dengan panduan

modul yang disusun berdasarkan fakta dilapangan, literature review dan

didiskusikan bersama pakar diharapkan dapat menurunkan kecemasan,

intensitas nyeri, serta meningkatkan mobilisasi dini dalam upaya mempercepat

kesembuhan pasien.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti merasa perlu untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh health education pra operasi berbasis health

belief model terhadap nyeri pada pasien Fraktur di Rumah Sakit Bahteramas

Provinsi Sulawesi Tenggara”.

B. Rumusan Masalah

Apa Pengaruh Health Education Pra Operasi berbasis Health Belief

Model terhadap nyeri pada pasien Fraktur di Rumah Sakit Bahteramas Provinsi

Sulawesi Tenggara ?
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh

Health Education Pra Operasi berbasis Health Belief Model terhadap nyeri

pada pasien Fraktur di Rumah Sakit Bahteramas Provinsi Sulawesi

Tenggara

2. Tujuan Khusus

Tujuan Khusus dalam penelitian ini adalah:

a. Mengetahui Skala Nyeri Pada Pasien Fraktur di Rumah Sakit Bahteramas

Provinsi Sulawesi Tenggara

b. Mengetahui Pengaruh Health Education Pra Operasi berbasis Health

Belief Model terhadap nyeri pada pasien Fraktur di Rumah Sakit

Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan nanti dapat memberikan sumbangan

keilmuan dalam kesehatan khususnya dalam bidang keperawatan tentang

Pengaruh Health Education Pra Operasi berbasis Health Belief Model

terhadap nyeri pada pasien Fraktur di Rumah Sakit Bahteramas Provinsi

Sulawesi Tenggara
2. Manfaat Praktis

a. Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini berguna sebagai salah satu dasar bagi institusi

dan staf perawat untuk melakukan Health Education berbasis Health

Belief Model didalam pelayanan Keperawatan yang lebih tepat pada

pasien Fraktur sebelum melakukan operasi, dengan tujuan

meningkatkan Health Belief. Health Belief yang tinggi diharapkan

berdampak pada penurunan komplikasi yang menghasilkan peningkatan

pemulihan pasien.

b. Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

rujukan yang bermanfaat bagi Ilmu Keperawatan Medikal Bedah

tentang Peningkatan Health Belief melalui Health Education sehingga

implementasi lebih efektif.

c. Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu data untuk

penelitian selanjutnya, memperkaya riset keperawatan di Indonesia,

sehingga dapat mengembangkan ilmu keperawatan dengan berbagai

inovasi sesuai kebutuhan pasien.

Anda mungkin juga menyukai