Oleh:
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga Laporan Kasus Kelompok III mengenai Asuhan Keperawatan pada Tn MH P
dengan Trauma Brain Injury GCS 13 di Instalasi Gawat Darurat Bedah Rumah Sakit
Wahidin Sudirohusodo sebagai salah satu tugas pada stase keperawatan gawat darurat dapat
terselesaikan dengan baik. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing kepada kami sebagai mahasiswa
Program Studi Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari cara penulisan maupun isi
dari laporan ini, karenanya kami siap menerima baik kritik maupun saran dari pembimbing dan
pembaca demi tercapainya kesempurnaan dalam pembuatan berikutnya.
Kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini,
kami sampaikan penghargaan dan terima kasih. Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa
melimpahkan berkat dan bimbingannya kepada kita semua.
Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN (KONSEP MEDIS)
TRAUMA BRAIN INJURY
A. Definisi
Traumatic Brain Injury atau trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma
pada otak yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial, ataupun
vokasional (pekerjaan). Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) :
1. Minor
a. GCS 13-15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
d. cerebral, hematoma.
2. Sedang
a. GCS 9-12
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
a. GCS 3-8
b. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Klasifikasi tipe trauma kepala menurut (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2013) terdiri dari :
1. Komosio serebri/gegar otak (cedera kepala tertutup)
a. Pukulan pada kepala yang cukup keras untuk membuat otak
menghantam tulang tengkorak, meskipun tidak cukup keras untuk
menimbulkan kontusio serebri/memar otak;kejadian ini menyebabkan
disfungsi saraf yang temporer
b. Kesembuhan biasanya bersifat total dalam waktu 24 hingga 48 jam.
c. Cedera berulang dapat menimbulkan kerusakan kumulatif pada otak
2. Kontusio serebri (memar jaringan otak;lebih serius daripada komosio serebri)
a. Kebanyakan disebabkan oleh perdarahan arteri
b. Darah umumnya mengumpul di antara tulang tengkorak dan duramater.
Cedera pada arteri meningea media di daerah temporoparietalis paling
sering ditemukan dan sering disertai fraktur linier tulang tengkorak di
daerah temporalis pada arteri meningea media
c. Biasanya kurang berkembang dari sinus venosa dural
3. Hematoma epidural
a. Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter.
4. Hematoma subdural
a. Perdarahan meninges, yang terjadi karena penumpukan darah dalam
rongga subdural (di antara duramater dan araknoid); keadaan ini paling
sering ditemukan.
b. Bisa bersifat akut, subakut dan kronis; terjadi secara unilateral (pada
satu sisi) atau bilateral (pada kedua sisi).
c. Biasanya menyertai ruptura pembuluh vena penghubung dalam korteks
serebri; perdarahan ini jarang terjadi dari pembuluh arteri
d. Hematoma atau perdarahan akut merupakan keadaan emergensi bedah.
5. Hematoma intraserebral
a. Hematoma sub-akut memiliki prognosis yang lebih baik karena
perdarahan vena cenderung berjalan lebih lambat
b. Disrupsi traumatic atau spontan pembuluh darah serebral dalam
parenkim otak menyebabkan deficit neurologi yang intensitasnya
bergantung pada lokasi dan jumlah perdarahan
c. Gaya robekan akibat gerakan otak sering menimbulkan laserasi
pembuluh darah dan perdarahan kedalam parenkim otak.
d. Lobus frontalis dan temporalis merupakan lokasi hematoma
intraserebral yang sering ditemukan.
6. Fraktur tengkorak
a. Ada empat tipe fraktur tulang tengkorak, termasuk fraktur linier,
komunitiva (fraktur dengan lebih dari satu pecahan tulang), kompresi,
dan basiler (atau fraktur basis kranii)
b. Fraktur pada fosa anterior dan media menyertai trauma kepala yang
hebat dan lebih sering ditemukan dibandingkan fraktur pada fosa
posterior
c. Benturan pada kepala dapat menyebabkan satu tipe fraktur atau lebih.
Keadaan ini mungkin tidak bermasalah kecuali bila otak terpajan atau
jika terdapat pecahan tulang yang menghujam kedalam jaringan otak.
B. Etiologi
Penyebab trauma kepala dapat meliputi :
1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi
2. Kecelakaan terjatuh
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga
4. Kejahatan atau tindak kekerasan
C. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari Gambaran klinis secara umum :
1. Pada komusio segera terjadi kehilangan kesadaran.
2. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.
3. Respon pupil mungkin lenyap.
4. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan tekanan
intracranial.
5. Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK.
6. Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat
timbul segera atau secara lambat.
Manifestasi berdasarkan klasifikasi menurut (Kowalak et al., 2013) :
1. Komosio serebri/gegar otak (cedera kepala tertutup)
a. Kehilangan kesadaran dalam waktu singkat, yang terjadi sekunder
karena gangguan pada sistem aktivasi retikuler (reticular activating
system, RAS); keadaan ini kemungkinan disebabkan oleh perubahan
tekanan mendadak di daerah yang mengatur kesadaran, perubahan pada
polaritas neuron, iskemia, atau distorsi structural pada neuron.
b. Muntah akibat cedera dan kompresi setempat.
c. Amnesia anterograd dan retrograd (klien tidak ingat kejadian sesudah
peristiwa kecelakaan atau cedera atau kejadian yang menimbulkan
kecelakaan atau cedera tersebut) yang memiliki korelasi dengan
intensitas cedera; semua ini berkaitan dengan gangguan pada sistem
aktivasi retikuler.
d. Iritabilitas atau letargi akibat cedera dan kompresi setempat
e. Perilaku berubah akibat cedera setempat
f. Keluhan pusing, mual, atau sakit kepala hebat akibat cedera dan
kompresi setempat
2. Kontusio serebri
a. Luka yang berat pada kulit kepala akibat cedera langsung
b. Pernapasan tampak berat dan kehilangan kesadaran yang terjadi
sekunder karena kenaikan tekanan intracranial akibat memar jaringan
otak
c. Gejala mengantuk, bingung (konfusi), disorientasi, klien
berontak/menyerang (agitasi) atau mengamuk, yang semua hal tersebut
terjadi karena kenaikan tekanan intracranial akibat trauma kepala
d. Hemiparesis yang berkaitan dengan gangguan aliran darah ke tempat
cedera
e. Postur tubuh dekortikasi atau deserebrasi akibat kerusakan korteks
serebri atau disfungsi hemisfer
f. Reaksi pupil yang tidak sama (anisokor) akibat lesi pada batang otak.
3. Hematoma epidural
a. Periode tidak sadarkan diri yang singkat setelah terjadi cedera yang
mencerminkan efek konkusi pada trauma kepala;
b. Sakit kepala hebat
c. Kehilangan kesadaran dan kemunduran tanda-tanda neurologi yang
progresif akibat peluasan lesi dan ekstrusi bagian medial lobus
temporalis melalui lubang tentorium.
d. Kompresi batang otak oleh lobus temporalis yang menimbulkan
manifestasi klinis hipertensi intracranial
e. Penurunan tingkat kesadaran yang terjadi karena kompresi formasio
retikularis pada batang otak ketika lobus temporalis mengalami herniasi
pada bagian atasnya.
f. Respirasi yang pada awalnya tampak dalam dan berat kemudian menjadi
dangkal dan tidak teratur ketika batang otak terjepit
g. Defisit motorik kontralateral yang mencerminkan kompresi traktur
kortikospinalis yang berjalan melalui batang otak
h. Pelebaran pupil ipsilateral (pada sisi yang sama) akibat kompresi nervus
kranialis ketiga.
i. Serangan kejang yang mungkin terjadi karena tekanan intracranial yang
tinggi.
j. Perdarahan kontinu yang menyebabkan degenerasi neurologi yang
progresif; keadaan ini dibuktikan dengan adanya pelebaran pupil
bilateral, respons deserebrasi bilateral, kenaikan tekanan darah sistemik,
penurunan frekuensi nadi, dan koma yang dalam disertai pola
pernapasan yang tidak teratur.
4. Hematoma subdural
a. Serupa dengan hematoma epidural meskipun perjalanannya memiliki
awitan yang secara signifikan lebih lambat karena perdarahannya
berasal dari pembuluh vena.
5. Hematoma intraserebral
a. Keadaan tidak bereaksi yang segera terjadi atau interval lusidum
sebelum klien tidak sarakan diri (koma) sebagai akibat kenaikan tekanan
intracranial dan efek massa yang ditimbulkan oleh perdarahan.
b. Kemungkinan deficit motorik dan respons dekortikasi atau deserebrasi
akibat kompresi pada traktus kortikospinalis serta batang otak.
D. Komplikasi
1. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang
terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena
itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi
yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis. Gejala-gejala yang
terjadi :
Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala, Muntah, Hemiparesis, Dilatasi
pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler,
Penurunan nadi, Peningkatan suhu
2. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode
akut terjadi dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam
2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik
diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya
pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda dan gejalanya :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra
lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan
permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat. Tanda dan
gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan
kaku kuduk (Tanto, 2009)
4. Akut Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling
sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan
pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis
haematoma", disertai gejala kliniknya.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran. (Tanto, 2009)
F. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic klien dengan trauma kepala menurut Kapay
(2009) adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika klien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian keperawatan
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu aspek penting perawatan klien cedera
kepala . Adapun pengkajian yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Perubahan tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran merupakan hal penting yang perlu diwaspadai ketat. Kromosio
cerebral setelah cedera adalah hilangnya fungsi neurologis sementara tanpa
kerusakan struktur . kromosio umumnya meliputi sebuah periode tidak
sadarkan diri waktu yang terakhir sampai beberapa menit. Jika silabus otak
mengalami gangguan maka keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan
amnesia atau disorientasi
Tekanan herniasi unkus pada sirkuasi arteri ke formosio retikularis medulla
oblongata dapat menyebabkan hilangnya kesadaran,
2. Status pernapasan
Cedera kepala mengakibatkan adanya kerusakan dibagian parenkim otak sehingga
aliran darah ke otak menurun maka akan terjadi hipoksi jaringan yang
menyebabkan gangguan pada pernapasan seperti sesak.
3. Kekuatan motorik
Tekanan pada saraf kortikospinalis asenden pada daerah kepala dapat
menyebabkan kelemahan pada rerpon motorik kontralteral.
4. penglihatan
neklei saraf kranial III ( okolomotorius) mendapat tekakan dari akibat trauma
menyebabkan dilatasi pupil dan ptosis pada mata .
5. Gangguan keseimbangan
Vertigo pasca cedera kepala dapat terjadi akibat kerusakan telinga bagian dalam,
nervus VIII, vestibular sentral atau adanya kesalahan pilih input sensoris yang
dibutuhkan untuk keseimbangan sempurna.
6. Infeksi
tulang tengkorak yang patah atau luka tembus pada kepala dapat merobek lapisan
pelindung otak (meningen). Hal ini membuat bakteri dapat masuk ke dalam otak
dan menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi pada selaput otak (meningitis) dapat
menyebar ke seluruh sistem saraf
7. Nutrisi
Pada kasus trauma kepala muntah sering terjadi diakibatkan oleh rangsangan
muntah oleh medulla oblingata, muntah sering dikaitkan dengan peningkatan
intracranial dan pergersaran batang otak.
8. Sakit kepala
Nyeri atau sakit kepala sering dialami pada kasus trauma kepala disebabkan oleh
pergeseran struktur peka nyeri dalam rongga intracranial seperti arteri, vena, sinus
–sinus vena dan saraf otak.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
2. Ketidakefektifan pola napas
3. Hambatan mobilitas fisik
4. Resiko infeksi
5. Ketidak seimbangan nutrisi
C. Rencana/Intervensi Keperawatan
Diagnosa Rencana keperawatan
keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Faktor resiko: - Mempertahankan normotermia , terbebas dari - Berikan perawatan yang cermat, bersih atgau aseptic dengan
tanda –tanda infeksi mempertahankan teknik mencuci tangan yang baik
- Penekann
- Mencapai pemulihan luka yang tepat. - Pantau area kerusakan integritas kulit( luka, garis jahitan, tempat insersi
respon
pembedahan)
inflamsi-
- Pantau suhu secara rutin pantau menggigil, diaofaresis, perubahan mental
penggunaan
- Dorong pernapasan dalam dan pengeluaran pulmunal yang agresif
steroid
- Periksa dan batasi pengunjung .
- Trauma
jaringan ,
kulit robek,
kebocoranca
iran
serebrospina
l
5.Ketidakseimbangan Status nutrisi Terapi nutrisi
nutrisi kurang dari - Mendemontasikan pemeliharaan
- Kaji kemampuan mengunyah, menelan, batuk dan menangani sekresi
kebutihan tubuh berat badan yang diinginkan atau - Auskultasi suara bising usus atau bising hiperaktif
berhubungan dengan: pertambahan berat badan secara - Timbang berat badan sesuai
progresif kenilai yang dituju - Beri pengamanan saat pemberian makan seperti meninggikan kepala tempat
- Faktor biologis –
- Tidak mengalami gejala tidur
status
malnutrisi, nilai laboratorium - Bagi makanan dalam jumlah sedikit dengan pemberian sering
hipermetabolik
normal - Tingkatkan lingkungan yang menyenangkan , rileks saat makan
- Ketidakmampuan - Konsultasi dengan ahli gizi
mengkonsumsi zat - Pantau studi laboratorium : prealbumin, albumun, zat besi, BUN serta
gizi- tingkat eletrolit
kesadaran
PATHWAY
Hematoma subdural
Perubahan perfusi
serebral
Sistem saraf Resiko infeksi
Isi cranium membentur
dinding tulang
Sakit kepala
Herniasi otak
Nyeri
Tik
Perdarahan intraserebraL
paraslisis
Saraf vagus Gag. Sistem saraf
Sist. muskulskeltal
Gag. Medulla oblongata
Mual, muntah,
disfagisa
Dispnue, apnue
Perubahan nutrisi Lemah, perubahan
kurang dari rentang gerak
kebutuhan tubuh Abrasi ,kontuisiio, laserasi, avulsi
Hambatan mobiltas
fisik
Pola napas tidak efektif
BAB III
LAPORAN ANALISA KASUS
Tn. MHP berusia 31 tahun dirujuk dari RS Syekh Yusuf Gowa ke IGD RS Wahidin akibat
penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu lintas pukul 03.00 dini hari. Klien tiba
di IGD RS Wahidin pukul 12.30 siang. Saat tiba di IGD wahidin klien telah terpasang infus RL
di kaki, menggunakan oksigen nasal kanul 5L, Nampak luka telah terjahit pada regio frontalis
sinistra 7 jahitan, regio labium inferior 3 jahitan. Hasil pengkajian menunjukan airway klien
bebas/paten, suara nafas normal, frekuensi nafas 32x/menit, bunyi nafas vesikuler, irama nafas
ireguler, pengembnagan dada/paru simetris, jenis pernafasan dada. Akral hangat, tidak ada pucat
dan cyanosis, pengisian kapiler <3detik, frekuensi nadi 92 x/menit, irama regular, tekanan darah
140/90 mmHg, ada riwayat muntah 4 kali selama di rawat di RS syekh yusuf, tidak Nampak
perdarahan, turgor kulit normal dan nampak edema pada bibir dan dahi klien. tingkat kesadaran
klien apatis (A4M5V4), pupil normal, respon cahaya +/+ ukuran pupil isokor, 2,5 mm, sesnsori
dan motoric pada ekstremitas baik, kekuatan otot 5 pada semua ekstremitas. tampak hematom
pada regio orbitalis sinistra, tampak luka sobek pada regio frontalis sinistra yang dijahit 7 jahitan,
regio labium inferior di jahit 3 jahit, ukuran luka sebelum dihecting : luka terbuka pada dahi
tengah sampai alis kiri 7 x 4 x 2 cm, luka terbuka pada bibir bawah 3 x 2 x 1 cm. Pengkajian nyeri
diperoleh skala nyeri 5 BPS. Klien juga mengalami demam dengan suhu 38.9 oC. klien memiliki
riwayat hipertensi, riwayat alergi tidak ada. Hasil pemeriksaan laboraturim tanggal 22/01/2020
diperoleh WBC : 30.9 103/ul, GDS: 117 mg/dl, SGOT: 39 U/L, SGPT: 44 U/L. Hasil
pemeriksaan radiologi (22/01/2020): tidak tampak lesi hipodensi/hiperdens patologik
intracranial, multihematosinus, fraktur os frontal sisi sinistra, dinding anterior os maxilla dextra ,
dinding anterior et medial os maxilla sinistra, deviasi septum nasi.
ANALISA DATA MASALAH KEPERAWATAN
Nama Klien/ No. RM: Tn.MHP/ 908575
Ruang Rawat : IGD BEDAH
Tanggal : 22/01/2020
Masalah
No. Data
Keperawatan
1. DS:
- Keluarga klien mengatakan klien tidak memperoleh
bantuan oksigen yang memadai di RS sebelumnya
karena klien selalu gelisah dan melepas selang
oksigennya
Ketidakefektifan pola
DO:
napas
- Klien tampak sesak (dispnea)
- Perubahan pola napas: irama pernapasan irregular,
takipnea (RR=32 kali/menit)
- Kesan hasil CT Scan Kepala (tanpa kontras): tampak ada
deviasi septum nasal
2. DS:
- Keluarga klien mengatakan klien dirujuk karena
kesadaran menurun dan selalu gelisah
- Keluarga klien mengatakan klien muntah sebanyak 4
kali ketika dirawat di RS sebelumnya
DO:
- Tingkat kesadaran klien menurun: GCS 13 (E4M5V4)
- Peningkatan tekanan darah (BP= 140/90 mmHg) dan
klien memiliki riwayat hipertensi tidak teratur minum Risiko ketidak
obat efektifan perfusi
- Pola napas klien irregular (RR=32 kali/menit) jaringan cerebral
- Klien tampak gelisah
- Mengalami cedera kepala dengan kesan hasil CT Scan
Kepala (tanpa kontras): tampak ada multihematosinus;
fraktur pada os frontal sisi sinistra, dinding anterior os
maxilla dextra, dan dinding anterior et medial os maxilla
sinistra
- Tampak hematom pada region orbitalis sinistra
3. DS:
- Klien sesekali memberontak dan bangun sambil
mengatakan kesakitan
DO: Nyeri akut
- Klien tampak gelisah dan menjerit kesakitan
- Wajah klien meringis kesakitan
- Skala nyeri 8 BPS
- Tampak klien memberontak dan berusaha melepas
kateter dan ikatan pada ekstremitasnya
- Peningkatan frekuensi nadi (HR=120 kali/menit)
- Peningkatan tekanan darah (BP= 140/90 mmHg)
- Perubahan pola napas: irama pernapasan irregular,
takipnea (RR=32 kali/menit)
4. DS :
- Keluarga mengatakan klien tidak sadar dan gelisah
DO :
- Klien tampak gelisah
- GCS klien 13 Intoleran aktivitas
- TTV: BP= 140/90 mmHg, HR= 92 x/menit, RR= 32
x/menit, T=:38,9 oC
- Hasil CT Scan Kepala tampak ada multihematosinus,
dan tampak ada hematom pada regio orbitalis sinistra
5. Faktor risiko:
- Gangguan integritas kulit: tampak ada luka robek pada
regio frontalis sinistra yang telah terhecting (7), luka
robek pada regio labium inferior yang terhecting (3),
tampak hematom pada regio orbitalis sinistra
- Prosedur invasif: tampak adanya insersi IV line
pemasangan infus pada kaki kanan Risiko infeksi
- Leukositopenia: peningkatan Neutrofil=89%; penurunan
Limfosit=5.5%, Eosinofil=0.0%
- Gangguan fungsi hati: peningkatan SGOT=39 U/L dan
SGPT=44 U/L
- Kesan hasil CT Scan Kepala (tanpa kontras): tampak ada
multihematosinus
PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN
Nama Klien/ No. RM : Tn.MHP/ 908575
Ruang Rawat : IGD BEDAH
Tanggal : 22/01/2020
Tanggal Tanggal
Prioritas Diagnosa keperawatan
Ditemukan Teratasi
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan
dengan gangguan neurologis (cedera kepala) 22 Januari 2020
-
4. Intoleran aktivitas yang Setelah dilakukan intervensi keperawatan - Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan
dibuktikan dengan selama 1x24 jam klien dapat bertoleransi aktivitas
penurunan kesadaran terhadap aktivitas dengan kriteria hasil: - Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelemahan
(GCS 13: E4M5V4), - Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
- Tingkat kesadarn composmentis - Monitor pasien akan adanya kelemahan fisik dan
peningkatan tekanan darah,
- Tanda-tanda vital dalam batas normal emosi secara berlebihan
pola napas klien irregular
dan takipnea, klien tampak - Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
(takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat,
gelisah, klien mengalami
cedera kepala dengan
kesan hasil CT Scan
Kepala tampak ada
multihematosinus, dan
tampak ada hematom pada
regio orbitalis sinistra
5. Risiko infeksi dibuktikan Setelah dilakukan intervensi keperawatan Kontrol infeksi:
dengan adanya gangguan selama 1x24 jam maka infeksi tidak terjadi - Monitor tanda-tanda infeksi
integritas kulit, prosedur dengan kriteria hasil: - Bersihkan lingkungan sekitar klien
invasif, leukositopenia,
- Tidak ada kemerahan/kebiruan pada kulit - Anjurkan keluarga untuk mencuci tangan pada saat
gangguan fungsi hati sebelum dan sesudah menyentuh klien
sekitar luka
- Hematom menurun - Pertahankan Teknik aseptic
o
- Suhu 36.5-37.5 C - Batasi pengunjung bila perlu
- Kadar sel darah putih membaik atau dalam - Monitor adanya luka
batasan normal - Ajarkan keluarga mengenal tanda dan gejala infeksi
- Keluarga klien mampu melakukan kontrol
dan kapan harus melaporkan pada penyedia perawatan
risiko infeksi
kesehatan
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama Klien/ No. RM : Tn.MHP/ 908575
Ruang Rawat : IGD BEDAH
Tanggal : 22/01/2020
No. Jam Implementasi Jam - Evaluasi
Dx
1 12.30 - Melakukan pengkajian terhadap frekuensi dan irama 14:00 S: -
(Pagi) pernapasan O:
Hasil: klien nampak sesak, RR: 32 x /menit, irama ireguler - frekuensi napas 32x/menit
- Irama tidak teratur
- Memberikan O2 NRM 10 Liter/menit - terdapat penggunaan otot-otot tambahan pernapasan
Hasil: RR: 32 x/menit irregular A. Ketidakefektifan pola napas belum teratasi
P:Pertahankan intervensi
- Mengobservasi penggunaan otot pernapasan - Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya
Hasil: Nampak penggunaan otot bantu pernapasan napas
- Monitor pola napas (mis. bradipnea, takipnea,
- Mengatur posisi Head up 30 ° kussmaul, dan lain-lain)
Hasil: Nampak pasien lebih nyaman bernafas - Perhatikan pengembangan dinding dada
- Monitor bunyi napas tambahan
- Monitor saturasi oksigen
2 12.35 - Mengatur posisi Head up 30 ° 14:00 S:-
(Pagi) Hasil: pasien mengalami penurunan kesadaran tidak ada O:
muntah proyektil dan bradikardi - Kesadaran apatis, GCS E4M5V4
- klien tampak gelisah
- Memasang infus dengan cairan NaCl 0,9% 22 tpm - TTV: BP= 140/90 mmHg, HR= 92 x/menit, RR= 32
Hasil: infus telah terpasang tidak ada tanda-tanda alergi x/menit, T=:38,9 oC
dan flebitis, perfusi jaringan adekuat dengan CRT <3 - Tidak ada muntah yang proyektil
detik A: Penurunan kapasitas adaptif intracranial belum
teratasi
- Mengobservasi perubahan tingkat kesadaran dengan P: pertahankan intervensi
GCS - Observasi perubahan tingkat kesadaran klien
Hasil: Tingkat kesadaran menurun (apatis), GCS 13 - Monitor adanya tanda dan gejala peningkatan TIK
E4M5V4 (mis. tekanan darah meningkat, tekanan nadi
melebar, bradikardi, pola napas ireguler, kesadaran
- Mengukur Tanda-tanda Vital menurun)
Hasil: - Monitor status pernapasan klien
BP=140/90 - Observasi kecukupan intake cairan klien
HR=92 kali/menit - Lakukan pengukuran dan monitor tanda-tanda vital
RR=32 kali/menit
T=:38.9 oC
1 21.15 - Memonitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas, 07.00 Kamis, 23/01/2020
(malam) serta pola napas, termasuk pengembangan dinding dada S: Klien mengatakan sesaknya berkurang
klien O:
Hasil: - Dispnea berkurang
Tampak sesak klien berkurang, pengembangan dada klien - Frekuensi napas 22 kali/menit (sedang menggunakan
simetris, irama pernapasan reguler, eupnea (RR=22 binasal kanul 5 liter/menit)
kali/menit), dan tidak ada penggunaan otot bantu - Irama pernapasan regular
pernapasan. Tampak klien sedang menggunakan terapi - Kesadaran komposmentis (GCS E4M6V5)
oksigen NRM 10 liter/menit A: Ketidakefektifan pola napas belum teratasi
- Memonitor adanya bunyi napas tambahan P: Lanjutkan intervensi
Hasil: - Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya
Bunyi napas klien vesikuler dan tidak ada bunyi napas napas
tambahan - Monitor pola napas dan perhatikan pengembangan
- Mempertahankan kepatenan pemberian terapi oksigen dinding dada
tambahan pada klien - Monitor bunyi napas tambahan
Melakukan pemberian terapi oksigen binasal kanul 5 - Monitor saturasi oksigen
22.50 liter/menit dan dipertahankan paten. - Berikan posisi semi-fowler atau fowler, jika tidak ada
Hasil: kontraindikasi
RR=22 kali/menit - Pertahankan kepatenan pemberian oksigen, jika perlu
2 21.20 - Mengobservasi perubahan tingkat kesadaran klien 07.00 Kamis, 23/01/2020
Hasil: S: -
O:
- Kesadaran komposmentis (GCS E4M6V5)
Tingkat kesadaran meningkat (komposmentis), GCS - Tekanan darah menurun (BP=140/90 mmHg)
E4M6V5 (Klien spontan membuka mata, dapat menunjuk - Pola napas membaik (irama pernapasan regular dan
lokasi nyeri ketika diminta, dan orientasi baik) eupnea (22 kali/menit)
- Memonitor tanda-tanda vital klien - Klien tampak tenang
Hasil: - Tidak terjadi muntah
BP=150/90 mmHg; HR=92 kali/menit, RR=22 kali/menit, A: Penurunan kapasitas adaptif intrakranial teratasi
S=37.4 oC P: Pertahankan intervensi
- Memonitor adanya tanda dan gejala peningkatan TIK - Observasi perubahan tingkat kesadaran klien
Hasil: - Monitor tanda-tanda vital klien
Tidak ada tanda peningkatan TIK: tekanan darah sedikit - Monitor adanya tanda dan gejala peningkatan TIK
meningkat, frekuensi nadi normal, tidak ada peningkatan - Monitor status pernapasan klien
tekanan nadi, pola napas reguler, dan kesadaran - Observasi kecukupan intake cairan klien
komposmentis. Tidak ada keluhan sakit kepala dan - Tinggikan kepala klien 15o-30o, jika telah
muntah, serta klien tampak sedikit gelisah memungkinkan dan tidak ada kontraindikasi
- Memonitor status pernapasan klien
Hasil:
Jalan napas paten, eupnea, irama regular, bunyi napas
vesikuler
- Mempertahankan kepatenan pemberian oksigen tambahan
klien menggunakan binasal kanul 5 liter/menit
3 21.20 - Mengkaji karakteristik nyeri klien 07.00 Kamis, 23/01/2020
Hasil: S: Klien mengatakan nyerinya sedikit berkurang
Klien mengeluh nyeri dan menunjuk area kepala. Skala O:
nyeri 4 BPS - Skala nyeri 4 BPS
- Mengidentifikasi respons nyeri non verbal - Klien tampak tenang
Hasil: - Frekuensi nadi normal (HR=88 kali/menit)
Tampak klien sedikit gelisah - Tekanan darah menurun (BP=140/90 mmHg)
- Menganjurkan klien untuk tidak banyak bergerak agar rasa - Pola napas membaik (irama pernapasan regular dan
nyerinya tidak bertambah eupnea (22 kali/menit)
23.35 - Penatalaksanaan pemberian obat analgesic Ketorolac 30 A: Nyeri akut belum teratasi
mg/IV P: Lanjutkan intervensi
Hasil: - Kaji karakteristik nyeri
Tampak klien tenang dan sedang istrahat (tidur). Keluarga - Identifikasi respons nyeri non verbal
klien mengatakan gelisah klien berkurang - Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
- Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi, jika
perlu
- Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesic
4 21.30 - Memonitor kerentanan terhadap infeksi 07.00 Kamis, 23/01/2020
Hasil : S:-
Tampak ada luka robek pada regio frontalis sinistra yang O:
telah terhecting (7) dan diverban, luka robek pada regio - Luka pada pada regio labium inferior tampak kering
labium inferior yang terhecting (3), tampak hematom - Tidak ada kemerahan/kebiruan pada kulit sekitar
pada regio orbitalis sinistra. Tampak adanya insersi IV luka regio frontalis sinistra
line pemasangan infus. Terjadi penurunan - Tampak hematom pada regio orbitalis sinistra
Limfosit=5.5%, Eosinofil=0.0% - Suhu 37.0 oC
- Memantau suhu tubuh dan memonitor karakteristik luka A: Risiko infeksi
serta adanya tanda-tanda infeksi P: Lanjutkan intervensi
Hasil: - Monitor kerentanan terhadap infeksi
Suhu=37,4 oC. Verban pada luka regio frontalis sinistra - Pantau suhu tubuh dan monitor adanya tandaa-tanda
tampak basah, tampak ada rembesan cairan serta kulit infeksi
sekitar luka tampak sedikit edema. Plester pada insersi - Monitor karakteristik luka (mis.drainase, warna,
vena tampak bersih. ukuran, bau)
- Penatalaksanaan perawatan luka disertai penggantian - Lakukan perawatan luka sesuai kondisi luka
23.00 verban pada luka regio frontalis sinistra - Pertahankan prinsip aseptif ketika memberikan
Hasil: perawatan
Luka tampak bersih - Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
- Penatalaksanaan pemberian obat antibiotic Cefotaxime 1 keperawatan
23.30 gram/IV - Edukasi klien dan keluarga tentang tanda dan gejala
Hasil: Tidak ada tanda-tanda infeksi lokal maupun infeksi, pentingya kebersihan tangan, dan faktor
sistemik yang meningkatkan risiko infeksi
- Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
- Kolaborasi pemberian antibiotik
BAB IV
PEMBAHASAN
Cidera kepala adalah gangguan traumatik pada otak yang menimbulkan perubahan
fungsi atau struktur pada jaringan otak akibat mendapatkan kekuatan mekanik eksternal
berupa trauma tumpul ataupun penetrasi yang menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik
maupun psikososial baik sementara ataupun permanen (Dawodu., dikutip dalam Putra, D.
S. E., et,al, 2017). Angka kejadian cidera kepala satiap tahunnya semakin meningkat.
Kejadian cidera kepala yang tejadi di seluruh dunia sebagian besar disebabkan oleh
kecelakaan lalu litas (KLL). Angka kejadian KLL di indonesia dalam rentang 2010–2014
meningkat rata-rata 9,59% per tahun dengan diikuti kenaikan persentase korban meninggal
9,24% per tahun (Sumarno, S., et.al, 2019).
Cidera kepala memiliki tingkat mortalitas tinggi, semakin berat derajat cidera kepala
berhubungan dengan tingkat kecacatan dan kematian, oleh karena itu mengetahui
prognosis cidera kepala dengan penilaian awal yang akurat menjadi sangat penting karena
dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai perjalanan penyakit dan outcome
penyakit. Dengan penilaian awal yang akurat ini, diharapkan dapat diprediksi keluaran
dan tatalaksana yang sesuai dengan kondisi klien (Putra, D. S. E., et,al, 2017).
Pada kasus cidera kepala yang didapatkan dilapangan, kondisi Tn.MH mengalami
penurunan kesadaran dengan GCS 13 (E4M5V4) dengan riwayat muntah sebanyak 4 kali
ketika di rawat dirumah sakit sebelumnya, klien nampak gelisah, terjadi peningkatan
tekanan darah 140/90 mmHg dengan riwayat hipertensi minum obat tidak teratur
sebelumnya. Kesan hasil CT Scan kepala tanpa kontras yaitu tampak ada
multihematosinus; fraktur pada osfrontal sinistra, dinding anterior os maxila dextra, dan
dinidng anterior et medial os maxilla sinistra. Hasil inspeksi kepala tampak ada luka robek
pada regio frontalis sinistra yang telah dihecting, luka sobek pada regio labium inferior
yang telah dihecting, dan nampak hematom pada regio orbitalis sinistra. Penanganan yang
diberikan dengan mengatur posisi klien head up 30º. Selain itu klien nampak sesak, pola
napas irreguler, takipnea (RR=32 kali/menit), kesan hasil CT Scan kepala tanpa kontras
yaitu tampak adana deviasi septum nasal. Penanganan yang diberikan dengan
penatalaksanaan pemberian oksigen melalui NRM 10 liter per menit.
Sumarno, S., et.al (2019) dalam penelitiannya didapatkan bahwa saturasi oksigen di
bawah 90% atau kondisi hipoksia merupakan prediktor kematian, dalam penelitiannya juga
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara hipoksia dengan kematian klien cedera
kepala. SaO2 merupakan bagian penting dari indikator baik buruknya transportasi oksigen
(oksigen delivery), saturasi O2 yang rendah akan mengakibatkan pengiriman oksigen yang
tidak memadai. Kondisi ini akan menimbulkan suplai darah ke otak tidak adekuat dan
menimbulkan iskemia jaringan otak yang dapat berakibat pada kematian klien. Hipoksia
pada klien cedera kepala berat juga berhubungan dengan memanjangnya proses inflamasi,
memperbesar ekstravasasi biomarker inflamasi dan buruknya outcome klien. Klien cedera
kepala dengan hipoksia dapat mendorong terjadinya edema otak yang luas, perubahan
iskemik, dan outcome yang jelek. Efek hipoksia tidak terbatas hanya pada gangguan suplai
bahan tetapi dapat juga mempengaruhi perubahan tekanan intrakranial. Selama masa
hipoksia, aliran darah otak meningkat karena vasodilatasi untuk meningkatkan cerebral
metabolism rate of oxygen. Kondisi ini menyebabkan kenaikan cerebral blood volume dan
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Pada kasus yang didapatkan dengan
peningkatan tekanan intrakranial di berikan penanganan dengan mengatur posisi head up
30º. Penelitian Pertami, Sulastyawati, & Anami, (2017) yang menganalisis pengaruh posisi
head up 30º terhadap perubahan tekanan intracranial pada klien cedera kepala. Pada
penelitian ini, peneliti mencoba membandingkan efek meninggikan kepala 15º dan 30º
pada klien yang mengalami cedera kepala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
meninggikan kepala head up 30º memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kesadaran dan tekanan arteri rata-rata pada klien dengan cedera kepala. Oleh karena itu,
penelitian ini sangat merekomendasikan untuk memberikan tindakan meninggikan kepala
30º pada klien dengan cedera untuk menghidari terjadinya vasospasme.
Pada kasus nilai RR klien adalah 32 kali/menit dan tidak didapatkan penilaian
saturasi oksigen, namun klien telah di berikan bantuan oksigen NRM 10 lpm. Ristanto, R.
(2017) dalam penelitiannya mengatakan penggunaan komponen RR juga tidak dapat
dijadikan dasar dalam pemberian berapa liter O2 yang harus diberikan kepada klien.
Berbeda dengan SpO2, yang dapat memberikan gambaran langsung dari jumlah total
oksigen yang dialirkan darah ke jaringan setiap menit atau disebut dengan oxygen delivery
(McMulan et al., di kutip dalam Ristanto, R.., 2017). Sehingga penggunaan dari hasil
pengukuran SpO2 dapat dijadikan acuan dalam penentuan jumlah oksigen yang perlu
diberikan kepada klien. Oxygen saturation memiliki positif korelasi dengan jumlah oksigen
yang diberikan, dengan artian bahwa semakin tinggi kadar oksigen yang diberikan, maka
kadar oxygen saturation juga akan mengalami peningkatan. Nilai normal dari oxygen
saturation adalah antara 95 – 100%.
Hasil penelitian Ristanto, R. (2017) juga didapatkan fakta bahwa adanya kesamaan
berupa penurunan GCS klien yang diikuti oleh penurunan dari SpO2 klien. Kondisi
hipoksia yang terjadi pada klien merupakan dampak dari beratnya kerusakan otak pasca
cedera kepala yang tergambar pada skor GCS klien. Dari seluruh klien yang meninggal
didapatkan data bahwa 100% mengalami hipoksia, dengan kondisi terbanyak mengalami
hipoksia sedang. Skor GCS klien yang meninggal sebagian besar menunjukkan hasil GCS
≤8 sejumlah 19 klien atau 79%. Sebagaimana kasus yang didapatkan dilapangan dengan
cidera kepala dengan penurunan kesadaran GCS 13 (E4M5V4).
Penelitian yang sama dilakukan Sumarno, S., et.al (2019) yang menilai sebuah
model prediksi kematian pada klien dengan cedera kepala, menunjukkan bahwa terdapat
korelasi kuat yang bermakna antara GCS dan komponennya GCS–E, GCS–M, GCS–V ,
GCS–V serta nilaia saturasi oksigen (SaO2) dengan kematian klien. Komponen GCS dapat
digunakan pada kondisi skor total GCS tidak dapat ditentukan. Hal ini sangat membantu
untuk memprediksi probabilitas kematian klien cedera kepala tersebut. Semua komponen
GCS dapat digunakan untuk memprediksi probabilitas kematian klien cedera kepala
bersama dengan SaO2 dengan kualitas persamaan yang baik. Nilai 1 dari GCS–V tanpa
adanya hipoksia, atau nilai GCS–V 2 disertai hipoksia akan memiliki probabilitas kematian
besar. Hal ini terkait dengan permasalahan di respon verbal berkaitan dengan fungsi
beberapa atau hampir keseluruhan fungsi dari otak sehingga kondisi respon verbal yang
buruk (skor GCS–V 1) berkaitan dengan integrasi fungsi otak yang buruk yang berisiko
besar terhadap kematian klien cedera kepala, skor 2 dari GCS–E menunjukkan fungsi otak
pada tingkat yang rendah, terutama dengan fungsi bagian korteks otak. Nilai 3 pada GCS–
M atau lebih rendah tanpa hipoksia dan nilai 5 atau lebih kecil pada GCS–M dengan hipoksia
memiliki probabilitas kematian yang besar (Sumarno, S., et.al, 2019).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Trauma kepala suatu trauma yang menimpa bagian kepala sehingga dapat
menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Trauma
kepala memiliki tingkat mortalitas tinggi, semakin berat derajat cidera kepala
berhubungan dengan tingkat kecacatan dan kematian. Derajat keperahan cidera kepala
dapat diliahat dalam menilai Glasgow Coma Scale (GCS) dan saturasi oksigen
Berdasarkan GCS cedera kepala dapat terbagi menjadi yaitu Cedera kepala ringan,bila
GCS 13-15, Cedera kepala sedang,bila GCS 9-12 dan Cedera kepala berat bila GCS
kurang atau sama dengan 8.
B. Saran
Dalam penanganan klien dengan Trauma Brain Injury sudah sesuai yang dilakukan
oleh perawat. Namun, dalam pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan bisa saja
terjadi kesenjangan antara teori dan praktik. Oleh karena itu, kami sebagai mahasiswa
harus lebih kritis dalam menghadapi perkembangan ilmu yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Kowalak, J. K., Welsh, W., & Mayer, B. (2013). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of
Surgeon, 1997 : 195-227.
Bajamal, AH, 1999, Penatalaksanaan cidera otak karena trauma, In, Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf.
Bedong, Mohammad Ali, 2007, Cidera jaringan otak: pengenalan dan kemungkinan
penatalaksanaannya, PP IDKI (Ikatan Dokter Kesehatan Indonesia)
Doenges, 2000, Rencana asuhan keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
klien, Jakarta, EGC.
Kapay, Glee, 2009, Asuhan Keperawatan Pada Klien Cedera Kepala, < http://maidun-
gleekapay.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-pada-klien-cedera.html> diakses pada
tanggal 07 desember 2009.
Putra, D. S. E., Indra, M. R., Sargowo, D., & Fathoni, M. (2017). Nilai Skor Glasgow Coma
Scale, Age, Systolic Blood Pressure (Gap Score) Dan Saturasi Oksigen Sebagai
Prediktor Mortalitas Klien Cidera Kepala Di Rumah Sakit Saiful Anwar
Malang. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, 4(2), 13-28.
Pertami, S. B., Sulastyawati, A. P., & Anami, P. (2017). Effect of 30 Head-Up Position on
Intracranial Pressure Change in Patients with Head Injury in Surgical Ward of General
Hospital of Dr. R. Soedarsono Pasuruan. Public Health of Indonesia, 3(3), 89-95.
Ristanto, R. (2017). Hubungan Respiratory Rate (RR) dan Oxygen Saturation (SpO2) Pada
Klien Cedera Kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, 5(2), 85-90.
Sumarno, S., Hidajat, M., & Rini, I. S. (2019). Komponen Glasgow Coma Scale (Gcs) Dan
Saturasi Oksigen Sebagai Prediktor Kematian Pada Klien Cedera Kepala Di Rsup Dr.
Kariadi Semarang. Medica Hospitalia: Journal Of Clinical Medicine, 6(1), 1-6.
Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.