Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

BIMBINGAN DAN KONSELING


Tentang
LANDASAN BIMBINGAN DAN KONSELING BAGIAN I

Oleh:

Kelas 6/A

Kelompok 2

1. Ayu Neng Atika (176510643)


2. Bela Wahyuni (176511101)
3. Eka Purnama S (176510699)
4. Emnita Septiani (176510090)
5. Maysen Mendano (176510217)
6. Rani Purwati (176510932)
7. Suci Aulia Astri (176511072)

Dosen Pengampu Mata Kuliah: Nurul Fauziah S.Pd., M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan
judul Landasan Bimbingan dan Konseling Bagian I. Makalah ini diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Bimbingan dan Konseling Program
Studi Pendidikan Biologi Universitas Islam Riau. Walaupun demikian, dalam
menyelesaikan makalah ini, penulis menghadapi kendala. Tetapi atas bantuan dari
berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan. Dalam proses
pendalaman materi Bimbingan dan Konseling tentunya penulis mendapatkan
bimbingan, arahan, dan bantuan yang telah diberikan secara khusus. Untuk itu
rasa terimakasih penulis sampaaikan kepada yang terhormat:

1. Ibu Nurul Fauziah, S.Pd., M.Pd sebagai dosen Mata Kuliah Bimbingan dan
Konseling
2. Teman - teman Progam Studi Pendidikan Biologi Kelas A tahun 2020
Penulis berharap kritik dan saran sebagai masukan untuk penulis dimasa yang
akan datang. Demikian makalah ini penulis buat, semoga bermanfaat.

Pekanbaru, 19 February 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1


B. Tujuan ................................................................................................ 2
C. Manfaat .............................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 4

A. Landasan Historis ............................................................................... 4


B. Landasan Filosofis ............................................................................. 6
C. Landasan Religius ............................................................................ 15
BAB III PENUTUP .................................................................................... 26

A. Kesimpulan ...................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan salah satu disiplin ilmu yang semakin
hari semakin diperlukan oleh masyarakat dan merupakan bagian yang terpenting
dan integral dari pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional,
kegiatan layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan secara
sembarangan, namun harus dibangun dan berpijak dari suatu landasan yang
kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam,
sehingga hasilnya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia,
khususnya bagi para penerima jasa layanan, tidak terkecuali para pelajar,
mahasiswa, praktisi, ekonom, masyarakat awam, akademisi dan birokrasi.
Dalam melaksanakan layanan konseling, para konselor atau guru Bimbingan
Konseling (BK) harus berpedoman kepada aturan, landasan dan kode etik
bimbingan konseling agar terhindar dari berbagai bentuk penyimpangan dan
kesalahan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak penerima jasa
layanan (klien). Salah satu yang harus dan mutlak diketahui oleh konselor maupun
guru BK secara mendalam adalah landasan atau tempat berpijaknya Bimbingan
Konseling di Indonesia, khususnya pada institusi pendidikan.
Sementara itu, terdapat pula persepsi dan kesalahpahaman sebahagian orang
dalam menafsirkan layanan bimbingan dan konseling, seperti adanya anggapan
bahwa guru BK sebagai polisi sekolah, jaksa sekolah, tukang pukul dan berbagai
persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan konseling tidak
terkecuali kurangnya pemahaman dan penguasaan konselor maupun guru BK
tentang profesinya, termasuk kurangnya perhatian dan penghargaan kepala
sekolah terhadap guru BK. Dengan demikian, penyelenggaraan bimbingan dan
konseling dilakukan secara asal-asalan, dan tidak dibangun atas landasan
sebagaimana yang seharusnya.

1
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan
bimbingan dan konseling, khususnya bagi para konselor maupun guru BK di
institusi pendidikan, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang beberapa
landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan
konseling di institusi pendidikan.
Selain itu, melalui penjelasan ini dimaksudkan agar semua guru BK maupun
konselor sekolah dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Karena tugas
maupun profesi yang ditekuninya dijamin oleh Undang-undang dan sesuai dengan
peraturan yang sah di Indonesia, sekaligus memberi penegasan kepada guru
pembimbing maupun konselor sekolah bahwa tugas dan tanggung jawabnya
sebagai seorang pembimbing tidak berbeda dengan guru bidang studi, guru
pamong, widyaswara dan sebagainya.
Untuk dapat berdiri tegak sebagai sebuah layanan profesional yang bisa
diandalkan dan memberikan manfaat bagi kehidupan, maka layanan bimbingan
dan konseling perlu dibangun di atas landasan yang kokoh. Landasan itu menurut
Sudrajat1 mencakup: landasan filosofis; landasan psikologis; landasan sosial-
budaya; dan landasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun sebenarnya
masih terdapat beberapa landasan yang perlu diketahui oleh konselor maupun
guru BK, seperti yang diungkapkan oleh Prayitno dan Amti perlu dimasukkan
landasan religius dan landasan pedagogis, dan menurut Yusuf dan Nurihsan perlu
juga diketahui landasan historis. Sementara itu menurut hemat penulis perlu juga
dilengkapi landasan hukum (yuridis formal) sebagai landasan tempat berpijaknya
bimbingan konseling secara formal di Indonesia. Produk kebudayaan lokal yang
memiliki latar belakang spiritual (nilai-nilai religi atau agama), filosofis (fakta
mental dan pikiran), historis (fakta sejarah), dan sosiologis (nilai-nilai sosial) yang
memiliki fungsi penting bagi pengembangan peradaban manusia yang pada
mulanya lengket tidak dapat terpisahkan. Namun dalam tulisan ini penulis hanya
menguraikan tiga landasan saja, yaitu landasan historis, landasan religius, dan
landasan filosofis.

2
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui landasan historis dalam melaksanakan bimbingan dan
konseling
2. Untuk mengetahui landasan religius dalam melaksanakan bimbingan dan
konseling
3. Untuk mengetahui landasan filosofis dalam melaksanakan bimbingan dan
konseling

C. Manfaat
Mahasiswa dapat mengetahui landasan historis, religius, dan filosofis yang
digunakan dalam bimbingan konseling.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Landasan Historis
Hamdani (2012: 59) menyatakan bahwa secara umum, konsep bimbingan dan
konseling telah dikenal sebagian orang melalui sejarah. Sejarah Yunani kuno
menyebutkan “Developing One’s Potential”, yang artinya pengembangan potensi
individu. Mereka menekankan upaya-upaya untuk mengembangkan dan
memperkuat individu melalui pendidikan, sehingga mampu mengisi peranannya
di masyarakat. Terkait dengan perhatian yang diberikan kepada masyarakat
Yunani, Plato dapat dipandang sebagai “konselor”Yunani kuno pada masa itu. Hal
tersebut karena Plato telah menaruh perhatian begitu besar terhadap pemahaman
psikologis individu, seperti aspek isu-isu moral pendidikan, hubungan dalam
masyarakat, dan teologis.

Pluto (dalam Hamdani, 2012: 59) juga memberikan perhatian terhadap


masalah-masalah, yaitu membangun pribadi manusia yang baik melalui asuhan
atau pendidikan formal, membuat anak dapat berpikir lebih efektif, dan teknik
yang telah berhasil memengaruhi manusia dalam kemampuannya mengambil
keputusan dan mengembangkan keyakinannya.

Masalah Developing One’s atau lebih dikenal dengan pengembangan potensi


individu yang dikemukakan Plato tersebut juga terjadi pada abad 18. Jeans
Jecques Rousseau (dalam Hamdani, 2012: 59) mengemukakan bahwa
perkembangan individu dapat berlangsung dengan baik apabila dia bebas untuk
mengembangkan belajar dan belajar melalui berbuat (bekerja).

Tonggak-tonggak sejarah perkembangan bimbingan dan konseling di


Amerika dan Indonesia.

1. Perkembangan Layanan Bimbingan yang terjadi di Amerika

4
Menurut Prayitno dan Erman Amti (dalam Hamdani, 2012: 60), pada saat itu
pekerjaan konselor masih ditangani oleh guru karena belum ada konselor di
sekolah. Mereka memberi layanan informasi, layanan bimbingan pribadi, social,
karier, dan akademik. Pada tahun 1898, Jesse B. Davis seorang konselor sekolah
di Detroit memulai memberikan layanan konseling pendidikan dan pekerjaan di
SMA. kemudian pada tahun 1907, dia diangkat menjadi kepala SMA di Grand
Rapids Michigan. Tujuan program bimbingan di sekolah tersebut di Amerika
adalah membantu siswa agar mampu mengembangkan beberapa hal berikut:
a. Mengembangkan karakternya yang baik memiliki nilai moral, ambisi, bekerja
keras, dan kejujuran sebagai aset yang sangat penting bagi setiap siswa.
b. Mencegah dirinya dari pelaku yang bermasalah.
c. Menghubungkan minat pekerjaan dengan kurikulum (mata pelajaran).
2. Perkembangan Layanan Bimbingan yang terjadi di Indonesia
Perkembangan layanan bimbingan di Indonesia berbeda dengan di Amerika.
Layanan bimbingan dan konseling di Indonesia baru dibicarakan sejak terbuka
sejak tahun 1962. Ini ditandai dengan adanya perubahan sistem pendidikan di
SMA, yaitu terjadinya perubahan nama menjadi SMA Gaya Baru, dan berubahnya
waktu penjurusan, yang awalnya di kelas 1 menjadi di kelas 2. Program
penjurusan merupakan respon terhadap kebutuhan untuk menyalurkan para siswa
ke jurusan yang tepat bagi dirinya secara perorangan. Dalam rencana pelajaran
yang ada di SMA Gaya Baru, ditegaskan sebagai berikut:
a. Di kelas 1, setiap pelajar diberi kesempatan untuk lebih mengenal bakat dan
minatnya dengan bimbingan penyuluhan yang diteliti dari para guru ataupun
orang tua.
b. Dengan mempergunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan-bahan catatan
dalam kartu pribadi setiap murid, para pelajar disalurkan ke kelas 2 pada
kelompok khusus.
c. Untuk kepentingan tersebut, pengisian kartu pribadi murid harus dilaksanakan
seteliti mungkin

5
Dengan diperkenalkannya gagasan sekolah pembangunan pada tahun 1970 –
1971, peranan bimbingan kembali mendapat perhatian. Perkembangan bimbingan
dan konseling semakin mantap dengan terjadinya perubahan nama organisasi
Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi BK Indonesia
(ABKIN) pada tahun 2001. Pemunculan nama ini dilandasi oleh pikiran bahwa
bimbingan dan konseling harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan
dan kepercayaan publik. Berdasarkan penelahaan yang cukup kritis terhadap
perjalanan historis gerakan BK di Indonesia. Prayitno mengemukakan bahwa
periodisasi perkembangan gerakan bimbingan dan penyuluhan di Indonesia
melalui lima periode, yaitu periode prawacana, pengenalan, pemasyarakatan,
konsolidasi, dan tinggal landas. Hal inilah yang menunjang pengembangan
layanan bimbingan di Indonesia.

B. Landasan Filosofis
Kata filosofi atau filsafat berasal dari bahasa Yunani : philos berarti Cinta,
dan shopos berarti bijaksana. Jadi, filosofis berarti kecintaan terhadap
kebijaksanaan. Lebih luas, kamus Webster New Universal memberikan
Pengertian bahwa filsafat merupakan ilmu yang mempelajari kekuatan yang
didasari proses berfikir dan bertingkah laku, teori tentang Prinsip-prinsip atau
hukum-hukum dasar yang mengatur alam semesta serta mendasari semua
pengetahuan dan kenyataan, termasuk ke dalamnya studi tentang estetika, etika,
logika, metafisika, dan lain sebagainya. Salah satu landasan yang tidak bisa
diabaikan dalam bimbingan konseling adalah landasan filosofis, karena landasan
filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman
khususnya bagi konselor atau guru BK dalam melaksanakan kegiatan bimbingan
dan konseling sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun
estetis. Dengan kata lain, filsafat merupakan pemikiran yang sedalam-dalamnya,
seluas-luasnya, setinggi-tingginya selengkap-lengkapnya, serta setuntas-tuntasnya
tentang sesuatu. Tidak ada lagi pemikiran yang lebih dalam, lebih luas, kebih
tinggi, lebih lengkap ataupun lebih tuntas daripada pemikiran filosofis.

6
Pemikiran yang paling dalam, paling luas paling tinggi, dan paling tuntas itu
mengarah kepada pemahaman tentang hakikat sesuatu. Sesuatu yang dipikirkan
itu dikupas, diteliti, dikaji, dan direnungkan segala segunya melalui proses
pemikiran yang selurus-lurusnya dan setajam-tajamnya sehingga diperoleh
pemahaman menyeluruh tentang hakikat keberadaan dan keadaan sesuatu. Hasil
pemikiran yang menyeluruh itu selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk bertindak
berkenaan dengan sesuatu yang dimaksudkan itu. Karena, tindakan yang
dilakukan itu didasarkan atas pemahaman yang sedalam-dalamnya, seluas-
luasnya, setinggi-tingginya, selengkap-lengkapnya, serta setuntas-tuntasnya itu
maka tindakan itu tidak gegabah atau bersifat acak yang tidak tentu ujung
pangkalnya, melainkan merupakan tindakan yang terarah, terpilih, terkendali,
teratur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tindakan seperti itu teguh dan penuh
dengan kehati-hatian. Lebih jauh, oleh karena pemahaman berdasarkan pemikiran
filosofis itu mencakup juga segi—segi estetika, etika dan logika, maka tindakan
yang berlandaskan pemahaman filosofis itu akan dapat dipertanggungjawabkan
secara logis dan etis, serta dapat memenuhi tuntutan estetika. Tindakan seperti itu
tidak lain adalah tindakan bijaksana. Dalam kaitan itu, tidaklah meleset apabila
dikatakan bahwa istilah filosofi atau filsafat itu mempunya makna cinta bijaksana,
karena orang-orang yang tindakannya didasarkan atas hasil pemikiran filsafat
adalah orang-orang yang bijaksana.
Pelayanan bimbingan dan konseling meliputi serangkaian kegiatan atau
tindakan yang semuanyab diharapkan merupakan tindakan yang bijaksana. Untuk
itu diperlukan pemikiran filosofis tentang berbagai hal yang bersangkut-paut
dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Pemikiran bimbingan konseling pada
umumnya, dan bagi konselor pada khususnya, yaitu membantu konselor dalam
memahami situasi konseling dan dalam membuat keputusan yang tepat di
samping itu pemikiran dan pemahaman filosois juga memungkinkan konselor
menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif
dalam penerapan upaya pemberian bantuanny. Disini akan diuraikan beberapa
pemikiran filosofis yang selalu terkait dalam pelayanan bimbingan dan konseling,
yaitu tetang hakikat manusia, tujuan dan tugas kehidupan.

7
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan
pemahaman khususnya bagi konselor atau guru BK dalam melaksanakan kegiatan
bimbingan dan konseling sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara logis, etis
maupun estetis.

1. Hakikat Manusia
Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan
dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang:
“apakah manusia itu?”. Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis
tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada,
mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-
modern. Para penulis barat telah banyak yang mencoba untuk memberikan
deskripsi tentang hakikat manusia (antara lain dalam Patterson, Alblaster &
Lukes, Thompson & Rudolph dalam Prayitno 2004). Beberapa di antara deskripsi
tersebut mengemukakan:
a. Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berpikir dan mempergunakan
ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
b. Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila
dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
c. Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan
dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
d. Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup
berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-
tidaknya mengontrol keburukan.
Viktor Frankl (dalam Prayitno 2004 : 140) menegaskan bahwa:
a. Selain memiliki dimensi fisik psikologis, manusia juga memiliki dimensi
spiritual yang harus dikaji secara mendalam. Melalui dimensi spiritualnya
itulah manusia mampu mencapai hal-hal yang berada di luar dirinya dan
mewujudkan ide-idenya.
b. Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia
terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.

8
c. Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya
sendiri.
d. Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk
membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri.
Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa
sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu sendiri.
Virginia Satir (dalam Prayitno 2004 : 140) memandang:
a. Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana
apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan
berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
b. Diyakini juga bahasa manusia pada dasarnya bersifat rasional dan memiliki
kebebasan serta kemampuan untuk membuat keputusan di dalam hidupnya.

Deskripsi di atas telah memberikan gambaran secara mendasar tentang


manusia. Gambaran itu akan lebih lengkap dengan ditambahkannya hal-hal
berikut:

a. Manusia adalah Makhluk. Dari tinjauan agama, pegertian makhluk ini


memberikan pemahaman bahwa ia terikat pada Khaliknya, penciptanya, yaitu
keterikatan sebagaimana menjadi dasar penciptaan manusia itu sendiri. Untuk
apa manusia diciptakan?, yaitu untuk mengabdi bagi terwujudnya firman-
firman Sang Pencipta itu demi kebahagian manusia itu sendiri, di dunia dan di
akhirat.
b. Manusia adalah makhluk yang tertinggi dan termulia derajatnya dan paling
indah di antara segenap makhluk ciptaan Sang Pencipta. Lagi-lagi dari
tinjauan agama, makhluk yang tertinggi dan termulia derajatnya itu bahkan
dijadikan Pemimpin bagi makhluk-makhluk lainnya di atas permukaan bumi.
Hal ini mengandung arti bahwa manusia diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk menjadikan diri sehebat-hebatnya, seindah-indahnya,
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya.
Segenap makhluk lain yang ada di muka bumi (bahkan seluruh alam semesta)
dapat dimanfaatkan untuk perwujudan diri manusia itu. Namun, di samping

9
kemungkinan dan kesempatan yang serba positif, manusia adalah tetap
sebagai makhluk yang secara inheren tidak sempurna, bahkan penuh dengan
kelemahan, terutama ketidaksempurnaan dan kelemahannya itu dan tidak
mengikuti firman-firman Sang Pencipta, akan terjadilah pembalikan dari
derajat yang tinggi, termulia, dan terindah itu menjadi derajat yang terendah
dan terburuk di antara makhluk-makhluk yang ada. Dalam kaitan itu semua,
manusia diberi kebebasan untuk memperkembangkan diri setinggi-tingginya
dengan berpegangan pada tali Sang Pencipta, dan apabila tali itu dilepaskan
manusia akan terjerumus ke dalam kehidupan yang justru bertentangan
dengan tujuan pembahagian kehidupan manusia itu sendiri.
c. Keberadaan manusia dilengkapi dengan empat dimensi kemanusiaan, yaitu
dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagaman. Keempat
dimensi tersebut diperkembangkan secara menyeluruh, terpadu, selaras,
serasi, dan seimbang demi terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang
seutuhnya.

Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan


dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu
sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu
melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan
berbagai dimensinya.

2. Tujuan dan Tugas Kehidupan


Adler dalam Prayitno dan Erman 2004: 142) mengemukakan bahwa tujuan
akhir dari kehidupan psikis adalah ”menjamin” terus berlangsungnya eksistensi
kehidupan kemanusiaan di atas bumi, dan memungkinkan terselesaikannya
dengan aman perkembangan manusia. Sedangan Jung dalam Prayitno dan Erman
(2004: 142) melihat bahwa kehidupan psikis manusia mencari keterpaduan, dan
dalamnya terdapat dorongan instinktual ke arah keutuhan dan hidup sehat. Lebih
jauh, sebagai kesimpulan dari studinya tentang ciri-ciri manusia yang hidupnya
sehat , Maslow (1992) menegaskan bahwa daya upaya yang keras untuk
terciptanya hidup yang sehat merupakan kecerendungan yang bersifat universal

10
dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan iu semua, Witney & Sweeney (1992)
mengajukan suatu model tentang kebahagiaan dan kesejahteraan hidup serta
upaya mengembangkan dan mempertahankannya sepanjang hayat. Kedua pemikir
tersebut mengemukakan ciri-ciri hidup sehat sepanjang hayat dalam lima kategori
tugas kehidupan, yaitu berkenan dengan spiritualitas, pengaturan diri, pekerjaan,
persahabatan, dan cinta.

Tugas Kehidupan 1 : Spiritualitas

Dalam kategori ini erdapat agama sebagai sumber inti bagi hidup sehat.
Agama sebagai sumber moral, etika dan aturan-aturan formal berfungsi untuk
melindungi dan melestarikan kebenaran dan kesucian hidup manusia. Karakter
dan gaya hidup perorangan dikembangkan dengan memperhatikan keharmonisan
dengan Sang Maha Kuasa. Agama-agama baik di dunia barat maupun di Timur,
cenderung mengakui adanya kesatuan pribadi individu dan adanya dorongan pada
diri individu untuk mencapai kedamaian dan terbebas dari konflik ataupun
keretakan batiniah. Pada dasarnya agama memang mencari kedamaian,
mengharapkan bimbingan diri, dan mengadakan kontak dengan kekuatan yang
menguasai alam semesta melalui sembahyang, meditasi, zikir, dan upacara
keagamaan lainnya.

Dimensi lain dari aspek spiritual adalah kemampuan manusia memberikan


arti kepada kehidupannya, optimisme terhadap kejadian-kejadian yang akan
datang dan diterapkannya nilai-nilai dalam hubungan antar orang serta dalam
pembuatan keputusan. Ketiga dimensi spiritualitas itu menjadi pendorong dan
sekaligus memberikan kekuatan bagi pencapaian hidup yang sehat, bahagia dan
sejahtera.

Tugas Kehidupan 2 : Pengaturan Diri


Seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada dirinya terdapat sejumlah
ciri, termasuk rasa diri berguna, pengendalian diri, pandangan realistik,
spontanitas dan kepekaan emosional, kemampuan rekayasa intelektual,
pemecahan maslah, dan kreativitas, kemampuan berhumor, kebugaran jasmani
dan kebiasaan hidup sehat. Dengan ciri-ciri tersebut seseorang akan mampu

11
mengkoordinasikan hdupnya dengan pola tingkah laku yang bertujuan, tidak
sekedar acak ataupun seadanya, melalui pengarahan, pengendalian dan
pengelolaan diri sendiri demi peningkatan dirinya sesuai dengan norma-norma
yang berlaku di masyarakat luas.

Tugas Kehidupan 3 : Bekerja

Dengan bekerja, seseorang akan memperoleh keuntungan ekonomis ,


psikologis dan keuntungan sosial yang kesemuanya itu akan menunjang
kehidupan yang sehat bagi diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya, seseorang yang
tidak mau dan atau tidak mampu bekerja biasanya adalah oranag yang kurang
berani menghadapi tantangan untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Ketidakmampuan menjalani tugas kehidpan ini oleh Dreikurs dianggap sebagai
suatu gejala penyakit yang cukup serius.

Tugas kehidupan 4 : Persahabatan

Persahabatan merupakan hubungan sosial baik antarindividu maupun dalam


masyarakat secara lebih luas, yang tidak melibatkan unsur-unsur perkawinan dan
keterikatan ekonomis. Hubungan sosial ini didasarkan pada apa yang disebut
Alder (1954) sebagai ”Sosial interest” atau ”sosial feeling” dari hasil risetnya.
Maslow (1970) menemukan bahwa seseorang dengan hidup yang sehat memiliki
perasaan yang mendalam, rasa simpati, dan rasa cinta kasih kepada sesama
manusia pada umumnya, dan kepada sahabat-sahabat secara perorangan pada
khususnya.

Persahabatan memberikan tiga keutamaan kepada hidup yang sehat, yaitu :

a. Dukungan emosional-kedekatan, perlindungan, rasa aman, kegembiraan


b. Dukungan keberadaan- penyediaan kebutuhan fisik sehari-hari, bantuan
keuangan
c. Dukungan informasi- pemberian data yang diperlukan, petunjuk, peringatan,
nasihat.
Semua keutamaan itu memberikan sumbangan yang amat besar bagi
kehidupan yang sehat. Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang tinggi

12
antara keadaan sakit, harapan hidup yang pendek, dan ketidak bahagiaan dengan
kegagalan mengembangkan persahabatan.

Tugas kehidupan 5 : Cinta

Dengan cinta hubungan seseorang dengan orang lain cenderung menjadi amat
intim, saling mempercayai, saling terbuka, saling bekerja sama, dan saling
memberikan komitmen yang kuat. Penelitian Flanagan (1978) mengungkapkan
bahwa pasangan hidup (suami istri), anak dan teman-teman merupakan tiga pilar
paling utama bagi keseluruhan penciptaan kebahagiaan manusia, baik laki0laki
maupun perempuan. Perkawinan dan persabatan secara signifikan menyumbang
pada kebahagiaan hidup.

Berbagai penelitian yang dikuti oleh Wittner & Sweeney (anatar lain
penelitian Falanagan,Campbell, Berkman & Syne, linch, vallant) memperliatkan
hubungan yamag amat tinggi anatara perkawinandan kebahagiaan hidup. Orang-
orang yang tidak menikah jumlahnya sampai lima kali lipat berumur lebih pendek
daripada merek yang menikah. Salah satu hasil penelitian itu menyebutka bahwa
kemampuan seseorang untuk menyayangi temen-temannya, mencintai anak dan
istri/suaminya, dan orang tuanya merupakan prediktor (peramal) bagi kesehatan
mental. Lebih jauh, juga terbukti bahwa saling mempercayai, ras apersahabatan
yang mendalam, dan suasana afektif lainnya seperti itu amat besar pengaruhnya
terhadap kesehatan dan umur panjang.

Perkembangan dan perwujudan hidup bahagia-sejahtera menurut model


Witner dan Sweeny itu dipengaruhi baik oleh kekuatan yang ada pada diri
individu maupun kekuatan luar yang ada berupa berbagai kranata sosial dengan
berbagai kondisi sosio-budaya, seperti keluarga, agama, adat, istiadat, pendidikan,
ilmu dan teknologi ,industri dan pemerintahan. Interaksi dinamis antara
individualitas sesorang dengan kekuatan-kekuatan yang ada dimasyarakat kan
mentukan perkembangan dan perwujudan tingkat kebahagiaan-kesejahteraan
hidup orang tersebut.

13
Tujuan hidup yang dicapai melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupan
menurut model Witner & Sweeny itu telah memperlihatkan dimensi pokok
kehidupan manusia yang memang perlu dikembangkan, terutama dimensi spiritual
dan psikologis, sosio-emosional. Lebih jauh, model tersebut dapat dikembangkan
dan perlu dilengkapai lagi dengan memperlihatkan status seseorang, yang
sekaligus adalah makhluk terhadap Khaliknya, sebagai insan yang maha karya
untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidunya serta mewujudkan
dirinya, serta sebagai individu dan anggota masyarakat dalam tatanan yang
teratur. Dalam statusnya yang demikian itu, seseorang perlu mengoptimalkan
kehidupan dalam beragama, bekerja, berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.
Kelima tugas kehidupan yang diuraikan dapat digambarkan seperti dibawah ini.

Keterangan :

1. Kehidupan beragama
2. Kehidupan berkeluarga
3. Kehidupan berkarya
4. Kehidupan bermasyarakat
5. Kehidupan bernegara.

Gambar 1. Lingkungan Tugas Kehidupan

Hakikat manusia dengan keempat dimensi kemanusiaannya, dengan dimensi


fisik, psikologis dan spiritualnya serta dengan segenap tujuan dan tugas
kehidupannya menjadi landasan bagi konsepsi dan penyelenggaraan bimbingan
dan konseling. Manusia adalah segala-galanya bagi pelayanan bimbingan dan
konseling. Oleh karena itu, pemahaman tentang seluk beluk manusia merupakan
sesuatu yang wajib bagi para konselor.

C. Landasan Religius
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa unsur-unsur
keberagamaan terkait erat dalam hakikat, keberadaan, dan perikehidupan
kemanusiaan. Dalam pembahasan lebih lanjut tentang landasan religius bagi
layanan bimbingan dan konseling perlu ditekankan tiga hal pokok, yaitu:

14
a. Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk Tuhan
b. Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan
kearah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama, dan
c. Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara
optimal suasana dan perangkat budaya(termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologi)serta kemasyarakatan yang sesuai dan meneguhkan kehidupan
beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah individu.

1. Manusia Sebagai Makhluk Tuhan


Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan menekankan pada
ketinggian derajat dan keindahan makhluk manusia itu serta peranannya sebagai
khalifah di muka bumi. Derajat dan keberadaan yang paling mulia di antara
makhluk-makhluk Tuhan itu perlu dimuliakan oleh manusia itu sendiri.
Tuhan mempercayakan kepada manusia untuk menjadi pemimpin di atas
dunia. Pemimpin terhadap siapa? Terutama terhadap dirinya sendiri. Hal ini
adalah mendasar, sebab apabila manusia tidak mampu memimpin dirinya sendiri,
maka akan hancur leburlah kehidupan manusia dan akan lenyaplah
kemanusiaanmanusia itu. Sebaliknya, kalau manusia berhasil menjamin pemimpin
yang baik, itu berarti ia berhasil memimpin dirinya sendiri, dan berarti pula
berhasil memimpin makhluk-makhluk lainnya. Keberhasilan kepemimpinan
manusia akan mewujudkan kemuliaan kemanusiaan dan kemuliaan kemanusiaan
manusia itu pada dasar nya adalah kemuliaan makhluk-makhluk lain juga.
Tuhan Yang Maha Pemurah memberikan segenap kemampuan potensial
kepada manusia, yaitu kemampuan yang mengarah pada hubungan manusia
dengan Tuhannya dan yang mengarah pada hubungan manusia dengan sesama
manusia dan dunianya. Penerapan segenap kemampuan potensial itu secara
langsung berkaitan dengan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wujud
ketakwaan manusia pada Tuhan hendaklah seimbang dan lengkap,mencakup
hubungan manusia dengan Tuhan maupun hubungan manusia dengan manusia
dunianya. Tetapi, karena kasih sayang, kemurahan dan keadilan-Nya, Tuhan tidak
mau mutlak-mutlakan. Wujud ketakwaan yang tidak seimbang dan tidak lengkap

15
pun akan diberi nya ganjaran yang setimpal. Biar sekecil apapun, suatu wujud
ketakwaan akan diberi ganjaran manis yang sepadan. Tuhan Yang Maha Agung
tentu saja Maha Adil dalam memperlakukan manusia, baik perorangan atau
perkelompok. Apabila ada manusia atau bangsa yang tidak menghormati nya,
tetapi manusia atau bangsa itu dengan tekun mempergunakan kemampuan
potensialnya untuk mengolah dunia nya, maka Tuhan akan memberi manusia atau
bangsa itu ganjaran yang setimpal. Manusia atau bangsa itu akan maju dalam hal
dunianya, tetapi miskin atau negatif dalam hal hubungan dengan Tuhan.
Sebaliknya, jika ada manusia atau bangsa yang amat besar dan mantap dalam hal
puja dan pujian kepada Tuhan tetapi kurang tekun mengolah kemampuan
potensialnya untuk keperluan dunianya, maka manusia atau bangsa itu akan
memperoleh bagiannya pula secara setimpal. Bagian dunianya akan miskin,
sebaliknya bagian hubungan dengan tuhan agaknya akan lebih positif. Manusia
atau bangsa yang tersebut terakhir itu boleh jadi diberi juga ganjaran berupa
sarana keduniaan, tetapi pada dasarnya tetap saja miskin.
Gambaran tersebut mencerminkan kemiskinan pada salah satu sisi kehidupan
manusia atau bangsa. Apabila dikehendaki terhindarnya kemiskinan pada sisi
yang mana pun dari kehidupan manusia atau bangsa, maka diperlukan ketakwaan
yang lengkap dan seimbang. Untuk ini manusia atau bangsa memerlukan
pedoman dan aturan dasar, guna menyalurkan segenap kemampuan potensial
manusia sehingga benar-benar sesuai dengan kemanusiaan manusia. Dengan
pedoman dan aturan dasar itu pula moral kehidupan yang diturunkan oleh tuhan
memperoleh jaminan dan dorongan untuk terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Apabila pedoman dan aturan dasar itu memang benar-benar berfungsi secara baik,
maka akan berkembanglah ketakwaan yang penuh dan seimbang dari manusia,
yaitu keterpaduan antar ketakwaan yang mengarah pada hubungan manusia
dengan Tuahn dan yang mengarah pada hubungan manusia dengan manusia lain
dan dunianya. Dengan keseimbangan seperti ini akan berkembang dan tercapailah
kemuliaan kemanusiaan manusia yang penuh. Kemudian dari dan ke bawah serta
kemuliaan dari dan ke atas.

16
Kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah kemampuan manusia untuk
mewujudkan ketakwaannya secara penuh seperti disinggung di atas. Kemanusiaan
manusia memungkinkan manusia menghubungkan dirinya dengan Tuhan Yang
Maha Kuasa dengan khidmat dan penuh makna serta sekaligus menerapkan
segenap kemampuan positifnya untuk berhubungan dengan manusia dan
mengolah dunianya. Kemampuan manusia ini memang khas manusiawi dan tidak
dimiliki padanannya pada makhluk-makhluk lain. Ironisnya bahwa kemanusiaan
manusia itu tidak dengan sendirinya terwujud pada setiap manusia. Bahkan pada
manusia-manusia tertentu dapat tumbuh sebagai ”kemampuan” yang justru tidak
bersesuaian atau bahkan bertentangan dengan pengertian kemanusiaan manusia
tersebut. Dikenal adanya manusia-manusia yang tidak takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, atau bahkan ingkar atau melawan terhadap Tuhan; manusia-manusia
yang tidak dapat berhubungan dengan secara layak, yaitu antara denagn bertindak
semena-mena terhadap manusia lain, memeras dam memperkosa hak dan
kemerdekaan manusia lain, dan sebagainya; manusia-manusia yang tidak mampu
mengembangkan kemampuan potensialnya yang ada pada dirinya untuk
membudidayakan lingkungan, yaitu antara lain bersikap masa bodoh terhadap diri
sendiri dan lingkungan, menyia-nyiakan sumber daya alam, menyerah terhadap
tantangan alam, tidak membaca tanda-tanda alam, dan sebagainya. Manusia-
manusia seperti ini jelas tidak mengembangkan pada diri mereka kemanusiaan
mereka sendiri.
Selain ironis, manusia-manusia yang tidak mengembangkan kemanusiaan
manusia itu juga berbahaya atau setidak-tidaknya merugikan bagi manusia
sesamanya.kemiskinan,kebodohan, dan keterbelakangan yang dialami oleh
sebagian manusia atau bamgsa-bangsa di dunia pada dasarnya adalah akibat dari
tidak atau kurang dikembangkannya kemanusiaan manusia. Jangan lupa,
kecemasan yang melanda seluruh dunia, perang yang berkecamuk di sebagian
wilayah bumi dan ancaman perang nuklir yang amat mengerikan tidak lain
merupakan wujud dari bekunya atau bahkan merosotnya kemanusiaan manusia.
Kemanusiaan yang pada dasarnya ada pada diri setiap manusia tidak boleh
dibiarkan begitu saja. Pembiaran atau ketidakpedulian terhadap kemanusiaan

17
manusia itu justru akan mengarahkan perkembangan manusia ke hal-hal yang
negatif. Apabila kenegatifan ini merajalela, maka sudah dapat dipastikan
kemanusiaan manusia itu kacau. Manusianya masih ada, tetapi isinya bykanlah
kemanusiaan, melainkan nafsu-nafsu keangkaramurkaan di satu segi dan sikap-
sikap kepasrahan itu di segi lain.
Kemanusiaan manusia perlu dikembangkan, dimuliakan. Pemuliaan ini
dilakukan dengan sengaja melalui berbagai upaya, seperti pendidikan dan
pengembangan kebudayaan yang seluas luasnya.

2. Sikap Keberagaman
Kehidupan beragama merupakan gejala yang universal. Pada bangsa-bangsa
dan kelompok-kelompok manusia dari zaman kezaman senantiasa djumpai
praktek-praktek kehidupan keagamaan. Makna “keagamaan” itu sangat beraneka
ragam (terentang dari paham-paham animism, politeisme sampai monoteisme)
dan dalam banyak seginya diwarnai oleh dan bahkan ada yang terpadu menjadi
satu dengan unsur-unsur kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia sendiri.
Kehidupan keagamaan yang semula dianggap sacral (suci) karena segala
sesuatunya didasarkan pada firman-firman tuhan dapat merosot menjadi sekedar
upacara rutin belaka. Didunia barat misalnya, sudah sejak puluhan tahun yang lalu
gereja hanya dianggap penting sebagai lembaga-lembaga yang diperlukan untuk
upacara ritual berkenaan dengan kematian, kelahiran, dan perkawinan Bernard &
Fullmer (dalam Prayitno dan Erman 2004: 149). Penyikapan seperti ini jelas
mendegradasikan peranan agama menjadi hanya sekedar alat untuk memenuhi
kepantasan belaka. Mereka yang lahir, kawin, dan matinya tidak dikaitkan dengan
lembaga agama tidak dianggap pantas. Dengan demikian, seolah-olah agama
hanya diperlukan tiga kali saja, yaitu ketika seseorang lahir, kawin, dan meninggal
dunia. Penyikapan yang merosotkan peranan agama itu sudah meninggalkan jauh-
jauh arti yang sebenarnya agama bagi manusia,yaitu sebagai petunjuk bagi
kehidupan yang diridhoi oleh tuhan sebagai pembeda bagi yang baik dan yang
buruk, yang boleh dan yang tidak boleh, yang bermanfaat dan yang membawa

18
laknat, sebagai pembimbing kearah kemuliaan akhlak dan perilaku pada setiap
saat, disetiap empat, dan untuk setiap urusan dan hajat.

Di dunia barat, agama tidak dipilah dan dipisahkan secara tegas dri filsafat. Padahal
inti ajaran agama adlah firman-firman Tuhan dan filsafat adalah hasil pikiran manusia.
Lebh jauh, agama dan filsafat yang dapat membentuk sikap seseorang itu dikontraskan
dengan dorongan individu, untuk lebih bebas dan lebih berotonomi. Individu yang lebih
bebas dan berotonomi itu menuntut untuk diperlakukan sebagai seseorang yang unik (
memilimi kedirian yang tersendiri, berbeda dari siapapun), mampu membuat keputusan
apapun sendiri serta harus dihormati dan diterima sebagai mana adanya. Dalam
kenyataanya, tuntutan akan kebebasan dan otonomi itu justru menyalahkan kaidah-kaidah
agama/filsafat. Dengan demikian sikap individu lebih cenderung ke arah dorongan akan
kebebasan dan otonominya itu daripada kea rah kaidah-kaidah agama/filsafat. Dalam
kehidupan kesehariannya dan juga untuk hal-hal yang lebih Prinsip, individu akan lebih
mudah mengabaikan kaidah agama atau filsafat dan akan lebih terdorong untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang diberi keabsahan oleh label kebebasan dan otonomi
itu.

Sikap pemerosatan dan pengabaian nilai-nilai agama akan mengakibatkan


kemerosotan kemuliaan kehidupan manusia dipandang dari tuntutan Tuhan berdasarkan
Firman-firman-Nya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan mampu
mengatasi pemerosotan tersebut, bahkan justru dapat memperparahnya. Ilmu pengetahuan
yang bertumpu pada rasionalitas manusia dan berfokus pada kenyataan hidup di dunia itu
dapat dengan mudah mengabaikan ajaran-ajaran Tuhan yang dianggap “tidak rasional”.
Oleh karena itu, mengaharapkan peningkatan kemuliaan manusia semata-mata pada
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah tepat dan bahkan berbahaya. Dengan
ilmu dan teknologinya manusia cenderung saling menguasai dan saling menghancurkan
dengan akibat kesengsaraan dan permusuhan diri sendiri serta alam secara keseluruhan.

Sikap keberagaman menjadi tumpuan bagi kesinambungan hidup dunia dan akhirat.
Agama Monoteistis, yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang Firman-firman
Ketuhanannya memadukan secara dinamis keterkaitan kehidupan dunia akhirat, yang
kaidah-kaidahnya mampu diterapkan oleh manusia dengan ciri-ciri keberdaanya itu,
agama seperti itulah yang hendaknya menjadi isi dari sikap keberagamaan. Penyikapan
yang dimaksudkan itu pertama difokuskan kepada agama itu sendiri, yaitu penyikapan

19
yang tidak merendahkan ataupun menabaikan agama. Agar sikap keberagamaan itu
berkembang, kaidah-kaidah agama harus diahayati, diresapi dan diamalkan sebagai
petunjuk, sebagai pembeda, dan sebagai pembimbing kemuliaan akhlak dan perilaku
sebagaimana disebutkan terdahulu.

Pebimbing kemuliaan akhlak dan perilaku sebagaimana disebutkan terdahulu.


Kedua, sebagai kelanjutan dari penyikapan yang pertama tadi, penyikapan yang
menyerapkan segenap upaya manusia, dalam hal ini upaya peningkatan ilmu dan
teknologi, ditundukkan pada tuntutan keserasian hidup di dunia dan akhirat.
Apabila kita meyakini bahwa Tuhan itu Maha Benar, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi itu adalah upaya dan menerapkan kebenaran, maka tidaklah perlu
adanya pertentangan antara agama dan iptek; antara rasionalitas yang menjadi
dasar pengembangan iptek dan irasionalitas yang menjadi sifat fiman-firman
Tuhan. Penyikapan yang seperti itu justru menjadikan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai wahana peningkatan kemuliaan manusia yang
berdimensi dunia dan akhirat itu. Pengembangan ilmu dan teknologi dihayati dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemuliaan manusia sesuai
dengan tuntutan dan tuntunan agama.

3. Peranan Agama
Studi tentang gejala keagamaan, khususnya sebagai gejala psikologi telah
menjadi pusat perhatian para ahli. Seperti Stanley Hall, sejak abad ke-19. Lebih
jauh studi tersebut diarahkan kepada peranan agama bagi pekerjaan para ahli
kesehatan jiwa (psikolog). Pada tahun 1965 Dr Jhon G. Fink mendirikan lembaga
pendidikan pasca sarjana psikologi yang kurikulumnya meliputi teori dan praktek
mengenai hubungan antara agama dan psikologi. Kajian tentang hubungan agama
dan psikologi ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki
kemampuan untuk mengalami peristiwa-peristiwa keagamaan pada dirinya,
namun kemampuan itu sering kali tidak termanfaatkan.

Berbeda dari meningkatnya intensitas studi dan upaya pelembagaan akademik


tersebut, perkembangan kehidupan di masyarakat barat, sebagai mana telah
disinnggung terdahulu, justru memperlihatkan gejala yang kurang

20
menggembirakan. Sikap merendahkan dan mengabaikan agama semakin subur.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Clarc, dan kawan-kawan (1973) mengemukakan
tiga sebab utama, pertama, kurangnya para pendakwah. Jumlah pendakwah yang
secara setia mengumandangkan firman-firman Tuhan di hadapan khalayak ramai
semakin surut. Lebih celaka lagi pendakwah yang masih ada pun kurang vocal
dan banyak diantaranya yang penampilan serta tingkah lakunya kurang terpuji.
Dengan demikian, syiar agama semakin pudar. Seiring dengan pudarnya syiar
agama itu, pengalaman keagamaan pada umunya dihayati sebagai permainan
emosional yang dangkal dan diikuti oleh dogma-dogma atau ancaman akan dosa
serta neraka. Dalam pada itu, mereka yang meneriakkan peringatan akan adanya
dosa dan neraka itu keadaannya bukan semakin baik atau terpuji, malahan
sebaliknya semakin membosankan, menggelikan dan tidak dapat terpercaya.
Kedua, berkembangnya keyakinan bahwa dengan ilmu pengetahuan dan pikiran
kehidupan manusia dapat dikontrol. Penekanan pada kekuatan rasio ini
memalingkan para ilmuwan dan anggota masyarakat dari pedoman moral
keagamaan. Ketiga, berkembangnya sikap yang terlalu mengagungkan hak-hak
pribadi. Sesuatu yang diberi label “milik pribadi” sama sekali tidak boleh
diganggu gugat , tidak boleh dicampur tangan oleh orang lain. Dalam kajian itu ,
ajaran agama dianggap mencampuri urusan pribadi individu, apalagu urusan
pribadi yang paling dalam, yaitu keyakinan, moral dan nuansa-nuansa
emosionalitas individu. Oleh karena itu individu mengambil jarak terhadap ajaran
agama. Jarak inin semakin lama semakin jauh, dan pada akhirnya penerus ajaran
agama itu tidak tersisa pada diri individu.

Di Negara-negara Barat, urusan agama pada umunya dianggap sebagai urusan


perseorangan, artinya bukan urusan Negara. Negara tidak bertanggung jawab dan
tidak pula mengatur perkembangan ataupun keadaan kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, maju mundurnya masyarakat sendiri terhadap keberagaman
mereka. Dalam masyarakat yang sikap dan perhatiannya terhadap kehidupan
beragama telah merosot sebagaimana yang diumngkapkan tersebut, sukar
dibayangkan kaidah-kaidah agama perangkat kehidupan beragama dan budaya

21
keberagaman semakin melemah, upaya-upaya untuk menegakkan peranan agama
dalam berbagai bidang kehidupan semakin kendur, kehilangan maknanya.

Di Indonesia keadaan kehidupan beragama sangat berbeda. Pemerintah dan


masyarakat sama sama bertanggung jawab dan sangat memperhatikan
perkembangan dan keberadaan kehidupan beragama. Sila Ketuhanaan Yang Maha
Esa benar-benar mengupayakan agar mendasari, memberikan arah dan menjiwai
segenap krida bangsa dan warga masyarakat dari upaya besar pembangunan
nasional sampai kegiatan perorangan masing masing anggota masyarakat, dari hal
hal yang bersifat fisik (seperti pembangunan gedung dan jalan raya) sampai hal
hal yang bersifat mental spiritual. Keberagaman tertuang dalam segenap aspek
kehidupan. Perangkat kehidupan beragama terus dikembangkan, semangat dan
suasana kehidupan beragama terus dipupuk dan pengembangan budaya (ilmu,
teknologi, dan seni) diteguhkan dengan memberinya warna dan kemanfaatan
keagamaan .

Rohani manusia memiliki unsur daya kemampuan pikir, merasakanatau


menghayati dan kehendak atau hawa nafsu, serta juga akal. Kemampuanini
merupakan sisi lain kemampuan fundamental potensial untuk: (1)mengetahui
(“mendengar”), (2) memperhatikan atau menganalisis (“melihat”;dengan bantuan
atau dukungan pikiran), dan (3) menghayati (“hati”;dengan dukungan kalbu dan
akal). Bimbingan dan konseling Islami diselenggarakan semata-mata karena
Allah. Konsekuensi dari azas ini berarti pembimbing melakukan tugasnya dengan
penuh keikhlasan, tanpa pamrih, sementara yang dibimbingpun menerima atau
meminta bimbingan dan atau konseling pundengan ikhlas dan rela pula, karena
semua pihak merasa bahwa semuayang dilakukan adalah karena dan untuk
pengabdian kepada Allah semata sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagai
makhluk Allah yang harus senantiasa mengabdi pada-Nya.

Dalam kehidupan keberagaman yang kental dan dinamis itu, peranan agama
dalam upaya pemuliaan kemanusiaan manusia mendapatkan tempat yang amat
penting dan strategis. Undang undang Dasar 1945 menempatkan agamdalam bab

22
tersendiri. Dalam system pendidikan nasional pentingnya peranan agama itu
dicerminkan antara lain dalam rumusan tujuan yang hendak dicapai oleh tujuan
pendidikan, yaitu tujuan yang menyangkut manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap tuhan yang maha esa (UU NO.2/1989 tentang system pendidikan
nasional). Berkaitan dengan itu semua, dalam bimbingan dan konseling (yang
merupakan salah satu upaya pemuliaan kemanusiaan manusia) juga diperankan
kaidah kaidah agama, yaitu berkenaan dengan hakikat sasaran layanan (klien),
serta konteks social budayanya. Peranan agama dalam bimbimngan dan konseling
akan memberikan warna, arah, dan suasana hubungan konseling yang tercipta
antara klien dan konselor.

Apabila si Amerika Serikat kepada konselor dipensankan benar agar tidak


memasukkan unsur unsur agama dalam konseling, pesan ini pernah ditekankan
kepada salah seorang penulis sewaktu belajar tentang bimbingan dan konseling di
sana, maka di Indonesia pesan itu harus dibuang jauh-jauh. Unsur unsur agama
tidak boleh diabaikan dalam konseling, dan justru harus dimanfaatkan untuk
sebesar besarnya mencapai kesuksesan upaya bimbingan dan konseling, seorang
konselor tidak harus menjadi ulama atau ahli agama terlenih dahulu, atau
mengubah suasana konseling yang netral menjadi konselingpastoral. Pemanfaatan
unsur unsur agama itu hendaknya dilakukan secara wajar, tidak dipaksakan, dan
tetap menempatkan klien sebagai seseorang yang bebas dan berhak mengambil
keputusan sendiri.

Memanfaatkan unsur unsur Agama dalam konseling memang dapat


membawa suasana konseling menjadi tidak efektif . hal ini memang menjadi
alasan utama yang melatarbelakangi pesan dari amerika tersebut tadi. Hal serupa
akan terjadi apabila justru ingin menonjolkan warna agama dan menjadikan
unsure agama tujuan yang hendak dicapai dalam konseling.

Apabila hal itu terjadi maka konseling sudah berubah arah dan konselor tidak
lagi melayani klien sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkannya
ataupun tujuan yang ingin dicapai. Untuk tetap memberikan peran positif agama

23
dalam konseling sambil menghindari hal-hal yang tidak diinginkan itu, pertama-
tama konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik
keimanan dan ketakwaannya sesuai dengan agamanya itu. Kedua, konselor
sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama klien. Apabila
konselor dan klien berbeda agama, maka pemasukan unsur-unsur agama itu
hendaknya seminimal mungkin, dan hanya unsur unsur yang tidak
mempertentangkan agama yang satu dengan agama yang lainnya. Apabila
konselor seagama dengan klien, maka pemanfaatan unsur unsur agama itu lebih
intensif sesuai dengan tahap perkembangan suasana konseling. Dalam hal
konselor dan klien yang seagama, pendalaman tentang keimanan dan ketakwaan
sesuai dengan agamanya itu dapat saja dilakukan sepanjang sesuai dengan
permasalahan dan hasrat klien menjalani proses konseling itu. Manfaatnya adanya
peningkatan keimanan dan ketakwaan klien akan membantu pemecahan masalah
masalahnya. Untuk kesemuanya itu, konselor harus benar-benar bijaksana dalam
memiih dan menerapkan unsur-unsur agama dalam konseling, serta arif bahwa hal
itu dapat merupakan suatu yang sensitive bagi klien.

Bagian akhir dari uraian di atas seolah-olah telah menjururs pada penerapan
unsur- unsur agama dalam konseling. Hal itu memang disengaja demikian untuk
menghindari salah paham tentang implementasi landasan relegius dalam
bimbingan dan konselingpada umumnya. Landasan relegius dalam bimbingan dan
konseling pada umumnya ingin menetapkan klien sebagai makhluk tuhan dengan
segenap kemuliaan kemanusiaannya menjadi focus netral upaya bimbingan dan
konseling. Klien dengan predikat seperti itu henddaknya diperlakukan dalam
suasana dan dengan cara yang penuh dengan kemuliaan kemanusiaan pula.
Kemuliaan manusia banyak diungkapkan melalui ajaran agama. Tetapi, karena
didalam masyarakat agama itu banyak macamnya, maka konselor harus dengan
sangat hati-hati dan bijaksana menerapkan landasan relegius itu terhadap klien
yang berlatar belakang agama yang berbeda.

24
25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan
faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh
konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan
konseling. Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus
dibangun di atas landasan yang kokoh. Karena landasan bimbingan dan konseling
yang kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan
konseling yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan. Landasan adalah dasar
dasar yang harus kita ketahui untuk mengetahui macam-macam kategori masalah yang
sedang dihadapi oleh klien. Dan bimbingan dan konseling memerlukan sejumlah landasan
yaitu; landasan historis, landasan religious, dan landasan filosofis.

26
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Agus. 2013. Jurnal Landasan Bimbingan Dan Konseling Dalam


Menghadapiberbagai Lintas Budaya. ISSN 1907-297X No. 15 hal 66.
https://media.neliti.com/media/publications/155394-ID-landasan-
bimbingan-dan-konseling-dalam-m.pdf Di akses pada tanggal 18 February
2020

Hamdani. 2012. Bimbingan dan Penyuluhan. Bandung : CV Pustaka Setia

Lahmuddin. 2012. Jurnal Analytica islamica. Landasan Bimbingan dan Konseling


Di Institusi Pendidikan Vol 1 no 1 hal 57-82. Di akses pada tanggal 14
February 2020

Prayitno dan Erman. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta :


Rineka Cipta.

Syafaruddin. 2019. Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling Telaah Konsep,


Teori Dan Praktik. Medan : Penerbit Perdana Mulya Sarana

27

Anda mungkin juga menyukai