6 DSD
6 DSD
102011072
Pendahuluan
Kelahiran anak dengan jenis kelamin yang tidak jelas merupakan suatu kasus kedaruratan
pediatric dan keadaan social emergency, bukan saja karena alasan medis namun karena implikasi
social akibat kerancuan kelamin pada anak tersebut. Kelainan ini dulu dikenal dengan istilah sex
ambiguous yang merupakan istilah lama yang dipakai untuk penderita dengan alat kelamin tidak
jelas. 1
Saat ini digunakan terminology baru yaitu Disorders of sex development (DSD) yang
didefinisikan sebagai suatu keadaan perkembangan organ kelamin laki-laki atau perempuan yang
berbeda dari normalnya. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan dalam proses perkembangan
kromosom seks gonad atau anatomi organ kelamin. Gangguan dalam proses pembentukan organ
kelamin ini menyebabkan ketidaksempurnaan bentuk maupun fungsi organ kelamin.1
Pembahasan
Konseling Genetik
Konsultasi genetic merupakan layanan komunikasi antara ahli genetika medic dengan
penyandang cacat herediter atau keluarganya. Konsultasi menyangkut nasihat mengenai berbagai
kondisi kelainan yang diwariskan, untuk membantu agar yang berkepentingan dapat mengambil
keputusan. Konsultasi medic merupakan salah satu pendekatan, dalam upaya pencegahan agar
alel-alel mutan penyebab penyakit di dalam keluarga tidak tetap berada di dalam populasi.
Perkembangan metode konsultasi medic ini menumbuhkan profesi khusus dalam ilmu kedokteran.
Seorang ahli genetika medic- selain dituntut dapat menilai secara tepat tentang risiko dalam
1
keluarga juga harus dapat mendiskusikan berbagai masalah yang berkaitan dengan reproduksi.
Kini telah dicapai kemajuan penting menyangkut pemecahan masalah gangguan genetic,
khususnya mengenai diagnosis prenatal sehingga dapat secara tepat memberikan saran apakah
suatu kehamilan dengan malformasi perlu dipertahankan ataukah diakhiri. Diagnosis prenatal
merupakan diagnosis mengenai masalah-masalah janin dalam kandungan sebelum dilahirkan.
Diagnosis prenatal menawarkan suatu kepastian bagi pasangan suami istri yang sebelumnya
menghadapi risiko tinggi mempunyai keturunan dengan gangguan genetic yang sangat parah.
Setelah mendapatkan penjelasan, nasihat, dan saran, para pasangan dapat berharap mendapatkan
keturunan yang sehat.2
1. Anak sebelumnya dilahirkan dengan kelainan congenital multiple, kemunduran mental, atau
kerusakan organ (seperti kerusakan tuba neuralis, bibir sumbing dan celah langit-langit);
2. riwayat keluarga dengan kondisi herediter, seperti misalnya cyst fibrosis, sindrom kromosom
fragil, atau diabetes;
3. wanita umur lanjut yang membutuhkan diagnosis prenatal atau indikasi lain;
5. orang yang dihadapkan pada risiko pajanan terhadap teratogen, seperti bahan kimia di tempat
kerja, obat-oabatan, dan alcohol;
7. seorang wanita yang telah di diagnosis menyandang abnormalitas atau kondisi genetic yang
berisiko;
8. pasangan yang sebelum menjalani uji genetic dan sesudah menerima hasilnya, khususnya
mengenai kemungkinan tertundanya manifestasi gangguan, seperti kanker dan penyakit
neurologic.
2
B. Langkah-langkah Konsultasi Genetik
menyusun riwayat dan silsilah keluarga, pemeriksaan medis, diagnosis, diskusi, nasihat, dan saran,
dan ditindak lanjuti.
Langkah pertama yang harus dilakukan seorang konsultan genetic, yaitu melakukan
wawancara, baik dengan penyandang gangguan genetic secara langsung maupun anggota keluarga
lain guna mengetahui awal timbulnya penyakit herediter dalam keluarga, serta untuk mengetahui
perjalanan penyakit. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak jauh berbeda dengan cara
penggalian informasi yang diperlukan terhadap keluhan penyakit umum lain. Riwayat penyakit
yang perlu digali selain berasal dari penyandang, juga riwayat penyakit dalam keluarga. Setelah
mendapatkan gambaran jelas tentang penyakit yang dikeluhkan, barulah disusun silsilah penyakit
dalam keluarga, baik melalui wawancara langsung ataupun melalui pengamatan sendiri jika hal ini
dimungkinkan. Pada ilmu genetika medic dikenal tatacara dan symbol-simbol khusus yang
diperlukan dalam menyusun pohon silsilah penyakit keluarga. Untuk setiap individu dalam pohon
silsilah, selain diberikan nomor, juga dilengkapi dengan nama, umur, dan asal-usul etnis. Riwayat
keguguran, kematian pada saat lahir, anak-anak cacat atau malformasi tidak perlu dicantumkan
kecuali diperlukan.2
Anamnesis
Pada penderita DSD penting ditanyakan riwayat keluarga tentang adanya kematian
perinatal atau neonatal, infertilitas, kosanguitas atau riwayat kesulitan penentuan jenis kelamin
saat lahir. Perlu juga ditanyakan adanya anggota keluarga dengan anomaly genital , hernia inginalis
dengan gonad prolaps. Pola herediter berbagai kelainan interseks perlu dipikirkan dalam diagnosis
banding. Riwayat kehamilan terutama trimester pertama perlu ditanyakan tumor yang
menghasilkan androgen dapat pada ibu dapat menimbulkan fetus wanita yang mengalami
virilisasi. Tanyakan juga adakah gangguan endokrin pada ibu selama kehamilan, derajat maturitas
atau prematuritas umur kehamilan dan penggunaan progesterone, androgen, dan alcohol pada ibu
hamil.3
3
2. Pemeriksaan medis
Pemeriksaan medis secara lengkap yang berbeda dengan pemeriksaan rutin yang biasa
dilakukan para dokter, sangat diharapkan. Pemeriksaan yang dikakukan secara cermat dan
mendalam ini diperlukan untuk menjelaskan mengenai kelainan yang dijumpai kepada yang
membutuhkan konsultasi. Jika diperlukan, pemeriksaan tersebut harus dilengkapi dengan berbagai
pengukuran, seperti tinggi badan, panjang lengan, keliling lingkar kepala, jarak antara kedua mata,
dan sebagainya. Dengan mengacu pada nilai rata-rata ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, dari
pengukuran ini, dapat ditetapkan apakah ada gangguan ataukah semuanya masih tergolong
normal.3
Sering kali orang lupa memeriksa pola garis-garis telapak tangan (dermatoglyphy). Sering
kali, gambaran garis telapak tangan dapat membantu menegakkan diagnosis daripada hanya
memerhatikan sebuah tanda yang ditemukan saja. Apabila ditemukan tanda dan gejala lain,
diagnosis dapat mengarah ke suatu sindrom (kumpulan gejala). Segala bentuk kelainan tubuh
dikaji dalam ilmu dysmorphology.3
Pemeriksaan Fisik
Kecurigaan mengarah ke DSD juka ditemukan gambaran klinis dan ditemukan keadaan-
keadaan dibawah ini pada pemeriksaan fisik pada periode neonatal.4
2. indeterminate
Hipertrofi klitoris
Foreshortened vulva dengan satu lubang* hernia inguinal berisi gonad
4
4. riwayat keluarga dengan DSD seperti CAIS
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lab yang penting pada penderita DSD adalah analisis kromosom, profil
hormonal dan serum elektrolit. Pemeriksaan pencitraan membantu menetukan keadaan organ
pelvis dan ukuran adrenal dengan pemeriksaan ultrasonografi, genitogram, dan MRI. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan analisa kromosom dengan cara yang
konvensional atau menggunakan teknik fluorescence in-situ hybridization (FISH) dengan tujuan
untuk melakukan analisis keberadaan kromosom X dan Y. pemeriksaan lain seperti ultrasonografi
abdomen dan pelvis, pengukuran hormone 17-OH-progesteron, testosterone, gonadotropin, AMH,
elektrolit dan urinalisis juga sering dibutuhkan untuk dapat menentukan jenis DSD. Selain itu
terdapat juga suatu uji dinamik yang bertujuan untuk menguji fungsi testis untuk memproduksi
hormone androgen. Pemeriksaan tersebut disebut sebagai uji hCG. Namun protocol pemeriksaan
dosis, frekuensi dan kapan saat yang tepat dimulai pemeriksaan masih diperdebatkan. Protocol
yang sering digunakan yaitu, dengan menggunakan hCG 1500 unit selama 3 hari dan sampel pasca
injeksi diambil setelah 24 jam dari suntikan terakhir, serta saat yang tepat dilakukan adalah setelah
melewati masa neonates (usia lebih dari 4 minggu karena terkait dengan peningkatan aktifitas sel
leydig). Bentuk uji dinamik lainnya adalah dengan melakukan uji stimulasi adrenocorticotropic
hormone (ACTH) untuk mengetahui ada tidaknya defek dikelenjar gonad. Selain itu untuk
memastikan adanya kelainan pada kelenjar adrenal pemeriksaan analisis steroid pada urin juga
dapat dilakukan.4
3. Diagnosis
Suatu diagnosis yang tepat sangat mutlak dalam praktik kedokyteran, apalagi dalam bidang
genetika medic. Diagnosis yang tepat sangat penting untuk menetapkan tindakan-tindakan
selanjutnya, karena tanpa diagnosis yang tepat, konsultasi genetic dapat memberikan solusi yang
menyesatkan. Data riwayat penyakit bersama hasil pemeriksaan fisik mungkin sudah cukup untuk
memberikan keyakinan diagnosis. Namun, apabila belum cukup, data tersebut dapat memberikan
indikasi untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Untuk menunjang kepastian diagnosis, kadang-
kadang masih dipandang perlu dilakukan berbagai jenis pemeriksaan lain. Kebutuhan pemeriksaan
5
tambahan sebagai penunjang tersebut bergantung pada jenis gangguan yang dihadapi. Karena itu,
perlu ditetapkan dulu apakah gangguannya terjadi pada tingkat kromosom ataukah ada jenis
gangguan lain, seperti gangguan gen tunggal, gangguan mitokondria, ataukah gangguannya
terbatas pada sel-sel somatic.2
Diagnosis Banding
Disgenesis gonadal adalah kelainan pada differensiasi gonad yang terjadi akibat defek
kromosom dan adanya mutasi gen spesifik. Bentuk disgenesis gonad dibagi 2, yaitu murni dan
campuran. Disgenesis campuran merupakan bentuk ambiguous genitalia tersering, dengan
karyotip 45X0/46XY/mosaic. Manifestasi kliniknya perawakan pendek, ambiguous genitalia.
Fenotip bervariasi sangat luas, dari sindroma turner hingga laki-laki normal. Potensial transformasi
ganas (“streak gonad” dan testis ). Bila diputuskan perempuan dilakukan gonadektomi. Bila
diputuskan laki-laki maka testis dikembalikan ke kantung skrotum.5
Turner Syndrom
Sindrom turner adalah suatu kelainan genetic yang ditemukan pada wanita. Hal ini
disebabkan tidak adanya sebagian atau seluruh kromosom X (Xo). Sindrom turner bukan
merupakan penyakit keturunan. Gadis yang menderita gangguan ini tidak mengembangkan
karakter seksual sekunder pada masa pubertas dan terbelakang ovarium.5
Sindrom turner dijumpai pada abortusis dan penyebab 20% kematian trimester pertama
akibat kelainan kromosom. Prevalensi pada bayi lahir hidup adalah sekitar 1 dari 5000. Antara 30
dan 50% mengalami cacat jantung mayor yang mungkin berupa koarktasio aorta dan katup aorta
bicuspid. Mekanisme hilangnya kromosom belum diketahui. Mungkin bahwa gen yang terkait
terlibat pada fenotip turner adalah gen terkait-X yang lolos inaktivasi.5
Perawakan yang sangat pendek yaitu tinggi badan kurang dari 140 cm yang disertai dengan
dua atau lebih anomaly yang karakteristik (toraks, bentuk perisai, leher berselaput, kelainan wajah,
tumbuh rambut letak rendah, limfedema). Untuk mendeteksi adanya kelainan pada janin selama
kehamilan berlangsung, dapat dilakukan dengan USG. Analisis kromosom juga dapat dilakukan
ketika bayi masih di dalam kandungan ataupun saat telah dilahirkan. Penatalaksanaan sindrom
6
turner meliputi 3 masalah psikologik, masalah pertumbuhan, dan induksi pubertas dengan etinil
estradiol. Prognosis dari sindrom turner pertumbuhan badan tidak akan normal, tanda kedewasaan
jasmani bisa tercapai, dan kehiduoan seksualnya bisa normal, namun tetap mandul.5
Klinefelter Syndrom
Sindrom klinefelter merupakan gangguan genetic pada pria dimana terdapat tambahan
pada kromosom sex (XXY). Kelebihan kromosom ini menyebabkan terbentuk sedikit testoteron
(fisik pria menjadi sama seperti wanita). Gejala klinis klinefelter sindrom yaitu gejala fisiknya kaki
panjang, pinggul lebar, ginekomastia, testis kecil (mikro testis), kelemahan pada tulang, muscular
(-). Gejala pada bahasa yaitu lambat dalam perkembangan bahasa, susah mengekspresikan pikiran
dan keinginan, gangguan pada proses membaca serta mendengar. Gejala lainnya adalah kehidupan
sex normal tetapi sulit mempunyai keturunan karena sedikitnya produksi testosterone. Pemberian
testosterone pada masa pubertas dapat membuat perkembangan tubuh normal seperti lelaki pada
umumnya. Dokter spesialis infertilitas dapat membantu penderita klinefelter untuk mempunyai
keturunan.5
Manifestasi klinik DSD dapat terlihat pada masa neonates atau tidak terlihat sampai
menginjak usia pubertas. Pada masa neonates, umumnya petugas medis mendapatkan masalah
untuk menentukan jenis kelamin pada bayi yang baru saja dilahirkan akibat klitoromegali,
pembengkakan daerah inguinal pada neonates “perempuan”, tidak terabanya testis pada neonates
“laki-laki”, ataupun hipospadia. Sedangkan pada masa pubertas, umumnya manifestasi dapat
berupa terhambatnya pertumbuhan seks sekunder, amenore primer, adanya virilisasi pada
perempuan, gynecomastia, dan infertilitas.6
Diagnosis yang tepat sangat penting artinya untuk memberikan informasi dan saran bagi
penderita atau keluarga penderita penyakit gangguan genetic. Pada langkah ini, ahli genetika
medic yang memberikan pelayanan konsultasi dituntut mempunyai kemampuan komunikasi yang
efektif ketika menghadapi pasien dan keluarganya. Dalam memberikan pelayanan informasi ini,
konsultan selain dituntut mempunyai kemampuan komunikasi yang efektif, juga dituntut memiliki
7
pengetahuan umum tentang risiko seseorang untuk memperoleh penyakit keturunan. Jika pasien
anak menderita gangguan genetic, terutama orangtua si anak perlu mendapatkan penjelasan dan
saran, diperlukan perlibatan semua aspek kondisi, dan dengan cara yang mudah dimengerti, sesuai
dengan pendidikan orang yang menerima pelayanan tersebut. Aspek yang dibahas dapat mengenai
aspek hubungan keluarga, aspek hubungan masyarakat, aspek hukum dan peraturan, aspek estetis,
aspek psikologis, aspek budaya, aspek keyakinan dan kepercayaan, dan lain-lainnya.2
Risiko munculnya penyakit yang sama pada anggota keluarga lainnya dapat
diperhitungkan dengan menggunakan teori probabilitas sederhana. Di dalam sebuah keluarga yang
menunjukkan penyakit dengan pola pewarisan Mendel, dapat diperhitungkan besarnya risiko;
misalnya, pada kasus autosom resesif, kondisi untuk bermanifestasi menjadi penyakit adalah jika
terdapat homozigot pada alel penyakit. Artinya, jika dalam keluarga terdapat anggota yang
menderita penyakit tesebut, sudah pasti ia mempunyai genotip homozigot. Pada kondisi demikian,
sangat mungkin kedua orangtuanya sehat dan merupakan carrier alel mutan. Karena itu, bagi
anggota keluarga tersebut, peluang risiko untuk mendapatkan penyakit adalah sebesar seperempat
(25%). Sementara itu, jika salah satu dari pasangan menyandang alel mutan yang bersifat dominan
pada autosom, ia menyandang penyakit yang bermanifestasi sehingga separuh keturunannya akan
menderita penyakit itu juga.2
5. Tindak lanjut
Banyak kasus yang cukup hanya perlu mendapatkan penjelasan dan saran dari para ahli
pada kesempatan pelayanan konsultasi genetic. Namun, beberapa kasus lain masih memerlukan
pertemuan-pertemuan lanjutan sebagai upaya memberikan pelayanan yang lebih mendalam. Pada
umumnya, para ahli berpendirian bahwa konsultasi genetic tidak berhenti pada pertemuan pertama
saja, melainkan masih dimungkinkan petemuan-pertemuan berikutnya, jika diperlukan.2
8
Risiko bila Gagal Diagnosis
Risiko yang terjadi bila gagal diagnosis, akan mengakibatkan gangguan psikologis
terhadap penderita DSD serta orangtuanya. Gangguan psikologis dapat menyebabkan gangguan
fisik juga.6
Konsultasi Medikolegal
Pasal 27
(1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat
terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat
pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Identitas diri tentu tidak
dapat dipisahkan dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan salah satu unsur utama identitas
personal yang dimiliki sejak lahir, bahkan sejak pembuahan. Nama, sebagai unsur utama identitas
9
personal yang lain, pada umumnya diberikan oleh orang tua juga berdasarkan jenis kelaminnya.
Permasalahan sosial dan hukum pada kasus kelainan ambiguous genetalia muncul karena
kesalahan “menebak” jenis kelamin bayi. Hal ini dapat terjadi antara lain karena kurangnya
pengetahuan dan kesadaran dari penolong persalinan, (dokter, bidan, perawat) serta masyarakat
itu sendiri. Meskipun diliputi keraguan dan tanpa diagnosis yang pasti, bayi bisa segera pulang
bersama ibunya. Hanya berdasarkan perkiraan atau kompromi antara penolong dengan orang tua
bayi maka jenis kelamin ditetapkan dan dicantumkan dalam surat keterangan kelahiran. Orang tua
mudah menerima keputusan ini karena pihak rumah sakit/penolong persalinan tidak memberikan
informasi mengenai diagnosis yang jelas dan tindakan medis yang seharusnya segera diambil.
Mungkin juga orang tua yang memaksa untuk tetap ditentukan jenis kelamin anak. Hal ini
merupakan bentuk keegoisan orang tua karena hanya untuk kepentingan dirinya dalam
menghadapi masyarakat kalau ditanya apa jenis kelamin puteranya tanpa mempertimbangkan
akibat dimasa akan datang. Selain itu, sarana penunjang diagnosis yang masih minim dan mahal
juga dapat menjadi penyebab. Masyarakat yang kurang mampu akhirnya pasrah dengan kondisi
anaknya dan menerima jenis kelamin yang ditentukan dari hasil perkiraan itu. Dampak hukum dan
sosial dari penetapan jenis kelamin adalah pencatatan/ administrasi kependudukan dan diterimanya
anak oleh masyarakat sekitarnya (family, tetangga, sekolah, dan lain-lain) dengan identitas dan
jenis kelamin tersebut. Untuk setiap bayi yang lahir dan telah dilaporkan secara resmi akan
diterbitkan sertifikat/akta kelahiran, sebagaimana amanat pasal 5 dan pasal 27 undang-undang no
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan pasal 27 undang-undang no 23 tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan. Dan berdasarkan pasal 77 UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan maka data yang telah tercatat secara resmi, tentang identitas dan jenis
kelamin untuk bayi tersebut, yang tertuang dalam akta kelahiran (dokumen kependudukan) telah
berkekuatan hukum tetap (pasal 1(8) UU No 23/2006) dan tidak boleh dirubah dengan seenaknya.7
Pasal 77
Setiap orang dilarang mengubah, menambah atau mengurangi tanpa hak, isi elemen data pada
Dokumen Kependudukan. ” Ketika suatu saat jenis kelamin dapat dipastikan dan berbeda dengan
jenis kelamin sebelumnya, maka ingin dilakukan pembetulan yang biasanya disertai perubahan
nama, sehingga mau tidak mau data dan dokumen kependudukan harus diganti. Tetapi, dalam
undang-undang administrasi kependudukan, maupun undang-undang yang lain, tidak didapatkan
10
pasal yang mengatur perubahan kelamin. Dalam undang-undang administrasi kependudukan,
hanya ada pasal tentang pencatatan perubahan nama dan pencatatan peristiwa penting lainnya.
Pasal 52
(1) Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat
pemohon.
Pasal 56
(1) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan
Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang lelah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Yang dimaksud dengan peristiwa penting sebagaimana tercantum dalam
pasal 1(17) tersebut tidak tercantum adanya pergantian jenis kelamin.
pasal 1
(17)Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian,
lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak,
perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan Hakim Ronald Lumbun yang
menyidangkan kasus permohonan ganti kelamin anak ATP di Pengadilan Negeri Kelas 1 B
Cibinong, Kabupaten Bogor, juga menyatakan bahwa belum ada undang-undang yang mengatur
tentang pergantian kelamin ini.17 "Bahwa harus diterima kenyataan bahwa sampai dengan saat ini
belum terdapat substansi hukum yang mengatur secara khusus mengenai operasi pergantian jenis
kelamin (sex reassignment surgery) di dalam pranata sistem hukum Indonesia.” Karena belum ada
undang-undang yang mengatur maka timbul kekosongan hukum. Keadaan ini tentu sangat
menyulitkan penderita ambiguous genetalia untuk mengurus statusnya. Hakim pun juga tidak
mudah untuk menjawab kasus yang belum ada dasar hukumnya. Namun, berdasarkan Pasal 10
ayat (1) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya. " maka pengadilan berkewajiban mencari cara untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
yang ada, kepatutan dan kesusilaan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan
keadilan (Gerechtigkeit). Karena itu maka kasus penggantian jenis kelamin tetap harus ditangani.
Dari penyelesaian kasus yang pernah ada persidangan kasus perubahan jenis kelamin merujuk
11
pasal 52 dan pasal 56 (mengenai pencatatan perubahan nama dan peristiwa penting lainnya) dari
undang-undang administrasi kependudukan. Permohonan perubahan tersebut bukan diajukan ke
PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) tetapi melalui peradilan negeri setempat. Setelah
permohonan terdaftar, pengadilan akan memeriksa kelengkapan berkas permohonan, bila sudah
memenuhi syarat kemudian ditetapkan jadwal persidangan yang akan menghadirkan banyak pihak
dan ahli antara lain para saksi, para dokter yang tergabung dalam tim penanganan penderita
ambiguous genetalia tersebut, ahli lain termasuk ahli agama, dari pihak dinas kependudukan dan
catatan sipil. Semua keterangan yang didapat akan digunakan oleh hakim sebagai dasar untuk
penetapan. Bila permohonan dikabulkan maka pemerintah dalam hal ini dinas kependudukan dan
catatan sipil tinggal melaksanakan putusan dan mengganti dokumen kependudukan dengan yang
baru sesuai undang-undang administrasi kependudukan pasal 52 dan 56 tersebut di atas. Yang
paling banyak dinilai dari persidangan tersebut diatas adalah keabsahan
dari tindakan penyesuaian jenis kelamin terutama pembedahan. Berbagai kalangan masyarakat
menyatakan ketidak setujuannya atas tindakan pembedahan karena telah menyalahi kodrat.
(Koeswinanrno, 2004) Sebagian kelompok lainnya melihat Pasal 4 undang-undang no 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak yang berbunyi sebagai berikut :7
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi Yang dimaksud dengan kata hak “tumbuh, berkembang” dan “wajar” dalam pasal
tersebut tentunya juga mencakup perlakuan, perawatan dan pendidikan yang sesuai dengan jenis
kelamin anak. Hal ini tentu tidak dapat diperoleh bila terjadi kesalahan penetapan jenis kelamin,
dan sudah semestinya dilakukan koreksi untuk pembetulan atau penyempurnaan. Pandangan
teologis dari para ahli agama berbagai ragam. Meskipun pada peristiwa ATP masih banyak
perdebatan pendapat namun Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, dan beberapa ahli
lain sudah menyatakan bahwa operasi penggantian jenis kelamin pada transgender (kelainan
psikologis) (takhannuts) diharamkan untuk dilakukan, sedangkan pada kasus kelamin ganda
(intersex) (khuntsa), dapat dibenarkan tetapi terlebih dahulu harus dikaji secara mendalam.
Demikian pula ahli agama Islam dalam persidangan kasus ATP menyatakan bahwa untuk alasan
medis boleh dilakukan operasi. Wasis Priyanto, SH., seorang hakim di Batang Hari, dalam
catatannya mengutip tulisan Yudha Bhakti Adhiwisastra (Penafsiran dan kontruksi hukum,
12
Alumni Bandung, 2000, hal 13-17), bahwa tanggapan Dewan Gereja Indonesia (DGI) terhadap
perubahan kelamin tidak keberatan sepanjang perubahan kelamin tersebut merupakan satu-satunya
jalan untuk menolong penderitaan si pemohon, sehingga ia dapat berkembang sebagai manusia
yang wajar. Sementara itu wali gereja Katolik Indonesia berpendapat bahwa operasi ganti kelamin
pada transgender melanggar prinsip penciptaan dan cinta kasih tetapi tindakan operasi pada
intersex untuk tujuan pengobatan dapat dibenarkan. Hakim Ronald Lumbun selain menyatakan
bahwa belum ada undang-undang yang mengatur tentang operasi penggantian kelamin juga
menyatakan bahwa: “Secara hukum tidak di temukan adanya pelanggaran bagi dokter untuk
melaksanakan tindakan operatif untuk mengganti atau menyempurnakan bentuk alat kelamin
seseorang.” Dari pernyataan ini dapat diartikan secara hukum dokter dapat melakukan tindakan
penyempurnaan kelamin terhadap penderita ambiguous genetalia. Dari kalangan medis sendiri
juga tidak ada pertentangan walau aturan boleh dan tidaknya berganti kelamin tidak disebutkan
secara spesifik dalam aturan tertulis etik kedokteran. Yang banyak menimbulkan perdebatan
adalah tindakan operasi penggantian jenis kelamin pada transgender. Namun Ketua MKEK IDI
(Majelis Kode Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia) dr. Agus Purwadianto pernah
menyatakan bahwa teori etika kedokteran tidak hanya didasarkan pada perbuatan saja, tapi juga
melihat akibat yang baik bagi orang yang bersangkutan. Artinya, operasi ganti kelamin
diperkenankan jika akibatnya baik bagi yang bersangkutan.7
Penatalaksanaan DSD
Penatalaksanaan yang optimal untuk DSD membutuhkan peran dari tim multidisiplin yang
berpengalam yang meliputi lingkup psikososial, medis, dan pembedahan serta disiplin ilmu
subspesialis lainnya seperti ahli neunatologi, pediatric endokrinologi, pediatric urologi,
endokrinologi ginekologi, ahli genetic, konselor, psikiater atau ahli psikologi, perawat dan pekerja
social.4,5
13
mampu dilakukan pada masa neonates. Semakin lama menunda penetuan jenis kelamin oleh ahli
yang berpengalaman, dapat menimbulkan risiko terjadinya penolakan terhadap eksistensi anak
penderita DSD oleh kedua orangtua yang diperkirakan dapat mengganggu aspek tumbuh kembang
anak terutama pada perkembangan organ reproduksi selanjutnya. Semakin lama penentuan jenis
kelamin akan berpengaruh pula pada prognosis dan pemilihan terapi yang akan menetukan kapan
dimulainya pemberian terapi hormonal, jenis terapi hormonal yang dipilih serta lama
pemberiannya, pemilihan waktu yang tepat untuk pembedahan, hingga potensi seksualitas dan
fertilitas pada DSD di usia dewasa yang mempengaruhi kualitas hidupnya. Jika penetuan jenis
kelamin masih sulit ditentukan, sebaiknya para ahli yang menangani rutin memberikan penjelasan
dan konseling terhadap pihak orang tua sehingga dapat memulai adaptasi terhadap kondisi yang
dihadapi.4
Metode lain dalam lingkup psikososial yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk
support groups. Terbukti dalam beberapa waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan
teknologi informasi, perkembangan support groups DSD sangat membantu dalam penatalaksanaan
DSD. Adanya support groups membantu menimbulkan rasa kepercayaan diri, saling membantu
14
antar sesama dan meningkatkan kualitas hidup, serta mampu menimbulkan rasa dukungan dari
pihak keluarga.4
Hingga saat ini oenentuan usia yang tepat untuk menentukan kapan sebaiknya operasi
dilakukan masih diperdebatkan. Berdasarkan aspek psikososial, tindakan operasi yang dilakukan
pada masa infan lebih disukai, karena lebih mudah dilakukan dan riwayat trauma operasi dapat
15
dihilangkan jika dibandingkan dengan melakukan pembedahan pada anak saat memasuki usia
dewasa. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa tindakan operasi DSD sebaiknya menunggu
sampai usia yang cukup untuk menerima informasi dan selanjutnya dilakukan informed consent
langsung kepada penyandang DSD, mengingat yang dilakukan berhubungan dengan fungsi
seksualitas. Sebelum tindakan pembedahan penting diketahui bagi pihak orangtua dan penyandang
DSD mengenai untung dan ruginya tindakan pembedahan serta hasil akhir yang akan di dapat.5
Kesimpulan
Disorders of sex development merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat perkembangan
anatomis organ kelamin yang tidak sempurna pada saat embrio. Kelainan tersebut menyebabkan
tidak bisa dipastikannya jenis kelamin bayi yang baru lahir, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
kromosom dan juga pemeriksaan hormone. Kemudian perlu juga untuk melakukan konsultasi
genetic sebelum pemeriksaan dan sesudah hasil pemeriksaan keluar sehingga orangtua penderita
dapat mengerti. Perlu juga untuk konsultasi medikolegal yaitu yang berhubungan dengan genetic,
endokrin anak, serta hukum mengenai penatalaksanaan pasien karena harus memilih apakah pasien
tersebut mau dijadikan laki-laki atau perempuan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Daftar Pustaka
1. Hughes IA. Disorders of sex development: a new definition and classification. Best
Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism.2008;22(1).p.119-34.
16
2. Kresnowidjojo S. Pengantar genetika medic. Jakarta: EGC;2012.p.205-10.
3. Siregar, Charles Darwin. Pendekatan Diagnostik Interseksualitas pada Anak. Dalam
Cermin Dunia Kedokteran No. 126. Jakarta; 2000.p.32-6.
4. Meyer-Bahlburg HFL. Treatment guidelines for children with disorders of sex
development. Neuropsychiatric de I’enfance et de I’adolescense.2008;56.p.345-49.
5. Diamond DA, Burns JP, Mitchell C, et al. Sex assignment for newborns with ambiguous
genitalia and exposure to fetal testosterone: attitudes and practices of pediatric urologist. J
Pediatr.2006;148.p.445-9.
6. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi corwin. Jakarta: EGC; 2001.p.63-4.
7. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Vol. 15 No. 1, Januari – Maret 2013.
17