Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

Disusun oleh :
dr. Anisa Tri Anti

Pendamping :
dr. Sri Umaryani

DOKTER INTERNSIP WAHANA RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH SELOGIRI


PERIODE 13 Mei 2018 – 13 MEI 2019
KABUPATEN WONOGIRI
LAPORAN PRESENTASI KASUS PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 1


BorangPresentasi Kasus

NamaPeserta: dr. Anisa Tri Anti


Nama Wahana: RS PKU Muhammadiyah Selogiri
Topik: Asma bronkial episodik jarang serangan sedang
Tanggal (Kasus): 24 November 2018 Tanggal Presentasi: Desember 2018
Tempat Presentasi: Aula/Komdik RS Muhammadiyah Selogiri Nama Pendamping: dr. Sri Umaryani
Nama Pasien: An. STA No. RM: 048xxx
Objektif Presentasi:Keilmuan Keterampilan Penyegaran TinjauanPustaka
Diagnostik Manajemen Masalah
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Ibu Hamil
Deskripsi : Seorang anak laki-laki dengan Asma bronkial episodik jarang serangan sedang
Tujuan: mendiagnosis asma bronkial, manajemen tatalaksanan pada pasien asma bronkial episodik jaran serangan sedang
BahanBahasan: TinjauanPustaka Riset Kasus Audit

Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos


Data Pasien :
Nama : An. STA
No. RM : 048xxx Tanggal MRS : 24 November 2018
Jenis kelamin : Laki-laki Tanggal Pemeriksaan : 24 November 2018
Umur : 7 tahun Keluar RS : 27 November 2018

B. ANAMNESA

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 2


RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
OS, seorang anak laki-laki usia 7 tahun, datang ke IGD dibawa keluarganya dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam sebelum masuk
rumah sakit. Sesak timbul perlahan, terjadi terus menerus, dan semakin lama semakin berat. Sesak disertai bunyi “ngik” dan pasien kesulitan
untuk menghirup udara hingga pasien kesulitan untuk tidur, sesak napas dikatakan lebih baik bila pasien duduk dan memburuk saat tidur.
keluhan timbul setelah pasien main bola disekolah.
Sebelumnya OS dibawa ke puskesmas terdekat untuk dilakukan pengobatan terhadap keluhan pasien, pasien diberikan di nebulizer 1
kali lalu keluhan pasien berkurang, pasien dibawakan obat untuk dimuninum dirumah, namun keluhan timbul kembali dan tidak membaik saat
pasien meminum obat. Orangtua pasien mengatakan Sesak timbul tanpa adanya paparan dari debu, perubahan cuaca, suhu, maupun bulu
binatang.
OS juga mengeluh batuk sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk dikatakan berdahak, berbunyi “grok-grok,” terus menerus,
namun dahak sulit keluar. Dahak keluar ± 5x, warna putih, tidak disertai adanya darah. OS juga mengalami demam 2 hari sebelum masuk
rumah sakit, namun saat ini pasien tidak terdapat keluhan demam. Os tidak mengeluh mual, muntah dan nyeri perut. Buang air besar dan
buang air kecil normal.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pasien sebelumnya sudah beberapa kali mengalami hal yang sama. Sesak pertama kali terjadi saat pasien berusia 5 tahun dan sempat
dirawat dirumah sakit. Setelah itu apabila pasien mengalami keluhan serupa pasien dibawa ke IGD dan mendapatkan nebulizer dan obat untuk
dibawa pulang. Namun dalam setahun ini keluhan sudah berkurang, dalam satu bulan terakhir pasien tidak pernah mengalami serangan asma.
Keluhan tersebut dapat diperberat dengan aktifitas dan bila os batuk. Sesak timbul tanpa adanya paparan dari debu, perubahan cuaca, suhu,
maupun bulu binatang.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 3


RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare 6 bulan Penyakit ginjal (-)
Kejang
DBD (-) (-) Radang paru (-)

Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)


Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (ISPA) (-)

Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita: pasien belum pernah menderita keluhan seperti sekarang.

RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN


Morbiditas kehamilan Tidak ada
KEHAMILAN
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke Puskesmas 1 bulan sekali
Tempat persalinan Puskesmas
Penolong persalinan Bidan
Spontan
Cara persalinan
Penyulit : -
Masa gestasi 38 minggu
Berat lahir : 2700 gr
KELAHIRAN Panjang lahir : 47 cm
Lingkar kepala : (lupa)
Langsung menangis (+)
Keadaan bayi
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
Kelainan bawaan : tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan/ kelahiran: Tidak ada masalah dalam kehamilan dan persalinan

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 4


D. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I : 5 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap : Umur 2 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : Umur 6 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Umur 9 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Umur 11 bulan (Normal: 13 bulan)
Bicara : Umur 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan: sesuai dengan usia, tidak ada keterlambatan.

RIWAYAT MAKANAN

Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI + PASI + - -
8 – 10 ASI + PASI + + -

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 5


10 -12 ASI + PASI + + +

Umur Diatas 1 Tahun


Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah
Nasi/Pengganti 2x/hari, 1 porsi
Sayur 1x/hari, 1 porsi
Daging -
Telur 1 butir, 3x/minggu
Ikan 2x/minggu
Tahu -
Tempe 2 potong, setiap hari
Susu (merk/takaran) Susu Dancow putih
Lain-lain -

Kesan: Riwayat makanan cukup baik


Kesulitan makan: pasien sulit makan, lebih suka jajan.
Kesimpulan riwayat makanan: ada kesulitan, asupan cukup baik

RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 1 bulan x x
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan x x
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 6


Kesimpulan riwayat imunisasi: imunisasi dasar lengkap. Imunisasi ulangan belum dilakukan. Imunisasi tambahan tidak dilakukan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah pasien mepunyai riwayat asma pada waktu kecil, namun saat ini asma tidak pernah kambuh lagi. Ibu pasien tidak memiliki asma.
Ibu dan ayah tidak menderita penyakit hipertensi, jantung, kencing manis, dan alergi.
Kesimpulan Riwayat Keluarga: pasien merupakan anak tunggal. Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan sama dengan
OS. Ayah OS mempunyai riwayat asma.

B. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : cukup
Keadaan lain : anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (+)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 20 kg
Tinggi Badan : 113 cm
Status Gizi
- BB / U = 20/ 23 x 100 % = 86 % (Berat normal)

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 7


- TB / U = 118 / 120 x 100 % = 98 % (Tinggi normal)
- BB / TB = 20 / 22 x 100 % = 90% (Gizi baik)
Tanda Vital
Nadi : 121x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Tekanan Darah : 100/60mmHg
Nafas : 48x / menit, tipe abdomino-torakal
Suhu : 37O C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)

KEPALA : Normosefali
RAMBUT : Rambut hitam ikal, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup tebal
WAJAH : wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
MATA :
Visus bedside : kesan baik Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+

TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 8


Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Sekret : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
BIBIR : Simetris saat diam, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT : Oral higiene baik, gigi karies (-), trismus (-), mukosa gusi dan pipi: merah muda, hiperemis (-), ulkus (-), halitosis (-), lidah:
normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-) massa (-)
TENGGOROKAN: tonsil T1-T1 tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus (-), arcus faring hiperemis (-), dinding posterior faring tidak
hiperemis, licin, tidak bergranul, ulkus (-) massa (-)
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak terraba
pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di tengah

THORAKS :
 Inspeksi: Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan yang tertinggal, pernafasan abdomino-torakal,
retraksi suprasternal (+), retraksi supraklavikular (+), retraksi interkostal (-), pembesaran KGB aksila -/- , ictus cordis terlihat
pada ICS V linea midclavicularis kiri, pulsasi abnormal (-)
 Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan dan benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri, teraba
ictus cordis pada ICS V linea midclavicularis kiri, denyut kuat.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 9


 Perkusi : sonor di kedua lapang paru, jantung dalam batas normal
 Auskultasi: suara napas vesikuler, reguler, ronkhi basah kasar (+/+), wheezing ekspiratoar +/+, bunyi jantung I-II reguler, murmur
(-), gallop (-)
ABDOMEN :
 Inspeksi: datar, tidak terdapat kelainan kulit, tidak dijumpai adanya benjolan.
 Palpasi: supel dan tidak teraba adanya massa maupun pembesaran organ, nyeri tekan (-), turgor kulit baik
 Perkusi: timpani pada seluruh lapang perut, nyeri ketok abdomen (-)
 Auskultasi :bising usus (+), frekuensi 4 x / menit
KGB : Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : akral hangat ++/++
KULIT: warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik, lembab, pengisian kapiler < 2 detik, tidak
terdapat kelainan kulit

C.PEMERIKSAAN PENUNJANG

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 10


Laboratorium
Tanggal 24 November 2018
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI LENGKAP
Leukosit 11 ribu/μL 4,5-10
Hemoglobin 11,8 g/dL 10,7-14,7
Hematokrit 36 % 33-45
Trombosit 379 ribu/ μL 184-488
Eritrosit 4.87
Limfosit 18% 17-48
Monosit 4.5% 4-10%
Granulosit 77.5% 43-75%

D. DIAGNOSIS BANDING
Asma bronkial episodik jarang serangan sedang
ISPA
Bronkopneumonia

E.DIAGNOSIS KERJA
Asma bronkial episodik jarang serangan sedang
ISPA

F.PEMERIKSAAN ANJURAN

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 11


- Analisis gas darah
- Pemeriksaan mikroskopis sputum
- Uji faal paru
- Uji bronkodilator

G.PENATALAKSANAAN
Terapi di IGD:
1. O2 2 lpm
2. Nebulizer ventolin 1 resp, diulang 2 kali dengan selang waktu 20 mnt
3. Inf RL 12 tpm
4. Inj MP 62.5 mg/12 jam
5. Salbutamol 3x1 cth
6. Nebu ventolin 1 resp/12 jam

Medikamentosa
1. O2 2 liter/menit
2. IVFD RL + aminomphilin 240 mg tetesan 14 tpm
3. Injeksi Ceftriaxone 330 mg/ 12 jam
4. Injeksi methil prednisolon 25 mg/ 8 jam
5. Ambroksol 3x1 cth
6. Salbutamol 3x 1 cth
7. Inhalasi ventolin 1 resp/ 8 jam

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 12


H. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungtionam : ad bonam

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 13


I. FOLLOW UP
Tgl S O A P
25/11/18 Sesak () KU : Tampak sakit sedang Asma episodik O2 2 liter per menit
Perawatan hari 2 Nyeri dada (-) Kes: compos mentis jarang serangan IVFD RL + aminophilin 240 mg tetesan 14
BB = 20kg Demam (-) TV: TD : 100/60 mmHg, N : sedang tpm
130x/m, R : 36 x/m, S = 37,40C Injeksi Ceftriaxone 330 mg/ 12 jam
Kepala: normosefali Injeksi Methil prednisolon 25 mg/ 8 jam
Mat : CA -/-, SI -/-, Hidung: Ambroksol 3x1 cth
NCH -/- Salbutamol 3x 1 cth
Mulut: sianosis (-) Inhalasi ventolin 1 resp/ 8 jam
Leher: KGB ttm
Tho: retraksi supra sternal(+),
SN vesikuler, rbh (+/+),
wheezing +/+ berkurang, BJ I-II
reguler, m (-), g (-)
Abd : Supel, BU (+) 3x/menit
Ext : akral hangat ++/++
26/11/2018 Batuk (+) KU: Tampak sakit sedang Asma episodik IVFD RL + aminophilin 240 mg tetesan 14
Perawatan hari 3 Sesak (+) Kes : CM jarang serangan tpm
BB = 20kg Nyeri dada (-) TV: TD : 100/80 mmHg N sedang Injeksi Ceftriaxone 330 mg/ 12 jam
Demam (-) =124x/m, R = 32x/m, S = 36,20C Injeksi methil prednisolon 25 mg/ 8 jam
Kepala: normosefali Ambroksol 3x1 cth
Mata: CA -/-, SI -/- Salbutamol 3x 1 cth

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 14


Hidung: NCH -/- Inhalasi ventolin 1 resp/ 8 jam
Mulut: sianosis (-)
Toraks: retraksi sela iga (-), SN
vesikuler, rbh +/+ berkurang,
wheezing ekspirasi +/+ minimal,
BJ I-II reguler, m (-), g (-)
Abd : Supel, BU (+) 5x/menit
Ext : akral hangat ++/++
27/11/2018 Batuk (+) KU : Tampak sakit sedang, Asma episodik IVFD RL 14 tpm
Perawatan hari 4 Sesak (-) KES : CM jarang serangan Injeksi Ceftriaxone 330 mg/ 12 jam
BB = 20kg Nyeri dada (-) TV : TD : 100/70 mmHg N sedang Injeksi deksametason 25 mg/ 8 jam
Demam (-) =100x/m, R = 24x/m, S = 36,80C Ambroksol 3x1 cth
Kepala : normosefali Salbutamol 3x 1 cth
Mata : CA -/-, SI -/- Inhalasi ventolin 1 resp/ 8 jam
Hidung: NCH -/-
Mulut: sianosis (-)
Toraks: retraksi sela iga (+), SN Pasien dipulangkan dengan obat
vesikuler, rh +/+ berkurang,
Ambroksol 3x1 cth
wheezing ekspirasi -/-, BJ I-II Salbutamol 3x1 cth
reguler, m (-), g (-)
Abd : Supel, BU (+) 4x/menit
Ext : akral hangat ++/++

J. Tinjauan Pustaka

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 15


1. Definisi

GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan,
dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.1

Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional
Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis,
dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.3

2. Epidemiologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma
meningkat 8-10 kali di negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada
anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics
(NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun
adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding
perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.4

Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan
peningkatan urbanisasi. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 16


kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia 0-
17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada anak akibat asma jarang.4

3. Faktor Resiko

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat
penyakit asma. Beberapa faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, allergen, infeksi, atopi, lingkungan. 5

1. Jenis kelamin

Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5
sampai 2 kali lipat anak perempuan. Menurut laporan MMH, prevalens asma pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini
berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun. 5

2. Usia

Umumnya, pada kebanyakan kasus asme persisten, gejala seperti asama pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa
tahun pertama kehidupan. Dari Australia, dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi pada usia <6
bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas dari gejala
asma pada usia 28-35 tahun, 60% menetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat serangan
meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak. 5

3. Riwayat atopi

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 17


Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan beratnya asma. Pada anak usia 16 tahun dengan riwayat
asma atau mnegi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah megalami hay fever, rhinitis alergi, eksema.
Anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6 bulan pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang
tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan. 5

4. Lingkungan

Adanya allergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit asama. Allergen yang sering mencetuskan penyakit asma
antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa. 5

5. Ras

Dilaporkan prevalens asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih. 5

6. Asap rokok

Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko asap rokok
sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak di lahirkan. 5

7. Outdoor air pollution

Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida, karbon monoksida, atau SO 2 diduga berperan pada penyakit
asma, meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang pasti. 5

8. Infeksi respiratorik

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa adanya hubungan terbalik antara atopi dengan infeksi respiratori. 5

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 18


4. Patogenesis

Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau
dengan pengobatan. Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah
untuk mengatasi bronkospasme.4,5

Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan
terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi
eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya
ringan atau tidak bergejala.4,5

Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-
dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.4,5

Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE
spesifik oleh sel plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen
serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti
histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme
otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang
timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan. 4,5

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 19


Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses
inflamasi. Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel,
penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis, gejala
asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan
berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.6

Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan
perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada
proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 20


berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel
yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan
hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten
dan memberikan gambaran klinis asma kronis.6

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi
kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan
obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga
atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan
bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah
gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.6

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 21


5. Patofisiologi

Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap
inflamasi pada mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat
terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1
(dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi
virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran
udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah
edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume
penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama
inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi
saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran
napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.6,8

6. Manifestasi klinis dan Diagnosis

Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat
berupa sesak napas, dada terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan inhalasi
alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator
dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat menunjang penegakan diagnosis.6

GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut
ditelusuri dengan algoritme kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang berulang (episodik),

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 22


nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda
yang patut diduga suatu asma.5

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat
bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih
lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl
hipertonis, sangat menunjang diagnosis. 6

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 23


BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 24
7. Klasifikasi

Dalam GINA asma di klasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran nafas.
Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena dapat kesulitan dalam penentuan etiologi
spesifik dari sekitar pasien. 5

Derajat penyakit asma ditemukan berdasarkan gabungan penelaian gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis-β2 untuk mengatasi
gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien. 5

Table 1. klasifikasi asma berdasarkan GINA

Gejala/hari Gejala/malam PEF atau FEV1

PEF variability

Derajat 1 < 1x/minggu, ≤ 2 kali sebulan ≥80%


asimtomatik dan nilai
Intermiten PEF normal diantara < 20 %
serangan

Derajat 2 >1 kali perminggu, < > 2 kali sebulan ≥ 80%


1 kali perhari,
Persisten ringan serangan 20%-30%
mengganggu
aktivitas

Derajat 3 Sehari sekali, >1 kali perminggu 60-80%


serangan
Persisten sedang mengganggu >30%

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 25


aktivitas

Derajat 4 Terus menerus Sering ≤ 60%


sepanjang hari,
Persisten berat aktivitas fisik >30%
terbatas

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma
persisten. Berikut ini tabel klasifikasi asma berdasarkan PNAA: 5

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 26


Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan PNAA

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 27


Table 3. Klasifikasi derajat serangan asma

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat


fungsi paru,
laboratorium Tanpa ancaman henti nafas Dengan ancaman henti nafas

Sesak Berjalan, bayi: Berbicara, Istirahat


menangis keras
Bayi: tangis pendek Bayi: tidak mau minum/ makan
dan lemah, kesulitan
menyusu atau makan

Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang lengan

Bicara kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Kesadaran Mungkin irritable Biasanya irritable Biasanya irritable Kebingungan

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

Mengi Sedang, sering hanya Nyaring, sepanjang Sangat nyaring, terdengan tanpa Sulit/tidak terdengar
pada akhir ekspirasi ekspirasi ± inspirasi stetoskop sepanjang ekspirasi dan
inspirasi

Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradox torako-abdominal


bantu respiratorik

Retraksi Dangkal, retraksi Sedang ditambah Dalam, ditambah nafas cuping hidung Dangkal/ hilang
interkostal retraksi suprasternal

Frekuensi nafas Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea

Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:

Usia frekuensi nafas normal

< 2 bulan <60 x/ menit

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 28


2-12 bulan <50 x/ menit

1-5 tahun <40 x/menit

6-8 tahun <30 x/menit

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak

Usia laju nadi normal

2-12 bulan <160 x/menit

1-2 tahun <120 x/menit

3-8 tahun <110 x/ menit

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada, tanda kelelahan otot nafas

<10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg

PEFR atau FEV1


(% nilai prediksi
terbaik)

Pra-bonkodilator >60% 40-60% <40%

Pasca-brokodilator >80 % 60-80% <60 %, respon < 2


jam

Sa O2 >95% 91-95% ≤ 90%

Pa O2 Normal (biasanya >60 mmHg <60 mmHg


tidak perlu
diperiksa)

Pa CO2 < 45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 29


8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan fungsi paru

Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan
fungsi paru mulai dari pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse,
oximetry,spirometry, sampai pengukuran kompleks yaitu muscle strength testing, volume para absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan
paru yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostic anak dengan batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan
lain yang berkaitan dengan system respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat apabila ada manifestasi gejala asma yang
tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi jalan napas, 3)
pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif seperti kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau
penyakit interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan nafas.5 Walau pemeriksaan analisis gas darah merupakan
baku emas untuk menilai parameter pertukaran gas, pulse oximetry masih merupakan pemeriksaan yang berguna dan efisien.

Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan maneuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama
berguna pada penyakit dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat
dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC) dengan alat spirometer serta
pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilitas
fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis asma, melalui derajar berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi
pedoman pengelolaan asma. 5

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 30


Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran fungi paru lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus
dibandingkan dengan nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam.
Bahkan jika perlu, diukur selama beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline melainkan oleh variabilitas,
terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang dianggap
merupakan cara mengukur nilai diural PEF terbaik adalah pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen
nilai terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari terendah dan nilai PEF malam hari tertinggi. Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang
penting dan perlu diupayakan. Meskipun pemeriksaan ini digunakan salah satu parameter untuk menentukan derejar penyakit asma, namun
masih sedikit yang menggunakannya. Pada pemeriksaan spirometry, adanya perbaikan FEV1 sebanyak minimal 12% setelah pemberian
bronkodilator inhalasi dengan atau tanpa glukokortikoid mendukung diagnosis asma. 5

Pada PNAA, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai batasan:

1. Variabilitas PEF atau FEV1 ≥ 15%,

2. Kenaikan PEF atau FEV1 ≥ 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator,

3. Penurunan PEF atau FEV1 ≥ 20% setelah provokasi bronkus.

Pengukuran variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama ≥ 2 minggu.

Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 31


Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, olahraga, udara kering dan dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang
diagnosis. Pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian respons saluran nafas terhadap
metakolin, histamine, atau olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma. Artinya hasil yang negative dapat membantu
menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasi positif tidak selalu berarti bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan
Karena hiperreaktivitas saluran nafas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi dan kondisi lain seperti fibrosis kistik, bronkieltasis, dan
penyakit paru obstruksi menahun. 5

Pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif

Penilaian terhadap inflamasi saluran nafas akibat asma dapat dilakukan dengan cara memeriksa eosinophil sputum, baik yang spontan
maupun yang diindukso dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukutan kadar NO ekshalasi juga merupakan cara menilai petanda inflamasi
yang noninvasive. Walaupun pada pasien asma (yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi) didapatkan eosinosilia pada sputum pasien dan
peningkatan kadar NO ekshalasi dibandingkan dengan orang yang tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum
terdapat penlitian yang menyatakan bahwa hal yang dapat membatu dalam diagnosis asma. 5

Penilaian status alergi

Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi
pemeriksaan ini dapat membantu menentukan faktor resiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5 tahun dapat digunakan:

1. Menentukan apakah anaknya atopi

2. Mengarahkan manupulasi lingkungan

3. Memprediksi prognosis anak dengan mengi.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 32


9. Diagnosis banding

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma. Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk
berulang pada asma meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan silent-disease pada anak, sedangkan pada
anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya nyeri tekan local pada daerah sinus yang terkena.
Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit komorbid yang sering pada asma, sehingga membuat terapi spesifik pada asma tidak
diberikan dengan tepat.5,7

Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas
jalan napas congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi,
malformasi paru dan kelainan jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh respiratory syncitial virus
merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain itu, batuk
berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.5,7

Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak

- Rinosinusitis

- Refluks gastroesofageal

- Infeksi respiratorik bawah viral berulang

- bronkiolitis

- Displasia bronkopulmoner

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 33


- Tuberkulosis

- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik

- Intratorakal

- Aspirasi benda asing

- Penyakit jantung bawaan

10. Penatalaksanaan

8
1. Komunikasi, Informasi dan Edukasi terhadap pasien dan keluarga

Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu komunikasi, informasi dan edukasi pada keluarga dalam mencegah, menilai, dan
mengobati asma merupakan kunci keberhasilan mengontrol asama:

A. Komunikasi antara pasien dan dokter untuk mengetahui keluhan pasien.

B. Pengertian terntang kenyataan yang mendasar, penyebab, dan pencetus asma.

C. Mengidentifikasi dan mengontrol faktor-faktor yang memperburuk gejala asma dan pencetus serangan.

D. Pengertian tentang pentingnya penggunaank obat yang tepat dan benar dari spacer dan inhaler untuk kontrol jangka panjang dan
ketaatan pemakaian.

Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan pada pasien dan keluarganya:7,8,9

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 34


1. Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh

2. Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan terhadap faktor pencetus

3. Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller

4. Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil
tindakan guna mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan
rencana pengelolaan asma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang dengan efek samping minimal.

Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:

a. Penggunaan obat-obatan dengan benar

b. Pemantauan gejala, aktivitas dan PEF

c. Mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana yang sudah diprogramkan;

d. Segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektifdengan dokter yang memeriksa;

e. Menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan alergen dan iritan;

Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh
keterampilan pengelolaan mandiri (self management) untuk berperan-serta aktif. Penelitian yang dilakukan Guevara menunjukkan bahwa
edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi sekolah,
mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada malam hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai
salah satu penatalaksanaan asma pada anak.9

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 35


2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma

Kriteria asma terkontrol

1. Tidak ada gejala asma atau minimal

2. Tidak ada gejala asma malam

3. Tidak ada keterbatasan aktivitas

4. Nilai APE/VEP1 normal

5. Penggunaan obat pelega napas minimal

6. Tidak ada kunjungan ke UGD

Klasifikasi

a. Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi

b. Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol

c. Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3 buah

3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 36


Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor
pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa,
dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik.8,9

A. Tatalaksana asma jangka panjang

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara l
=ebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.

2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kem bang anak.

A. Asma Episodik Jarang

Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti β2-agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk
meredakan serangan asma biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau
Dry Powder Inhaler) cukup sulit untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak yang sudah mulai besar (usia
<5 tahun) dan inipun memerlukan teknik penggunaan yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 37


ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral. Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam
tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat β-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat
digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan β-agonis oral tunggal dengan
dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta
dikombinasikan dengan teofilin.

Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat
pengendali untuk asma episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma
Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah,
atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian β2-agonis hirupan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik)
atau serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak
menunjukkan respon yang baik maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.8-9

B. Asma Episodik Sering

Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan
sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.Tahap pertama
obat pengendali pada asma episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan
pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari
budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason)
untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason
50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat
pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 38


6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid
hirupan dosis rendah tidak menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka
dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma
Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka
derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih
ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.4-6

Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang
mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis.dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki
asma yang terjadi secara bersamaan.4,5

C. Asma Persisten

Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan
memberikan budenoside 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari
budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan
menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release
(TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.).4,5,6

Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu
dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk
anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun atau tetap dosis
medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas hidupnya.5,6,7

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 39


Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral
(sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau
alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk
steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang
hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.5

Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan
kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi. 5Mengenai obat antihistamin
generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, hanya
untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan
karena tidak mempunyai manfaat yang berarti. 5 Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan
klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan. 5

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi.
Demikian juga kemauan anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (Metered Dose
Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan usia. 5

B. Pengobatan eksaserbasi akut

Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat
pajanan terhadap faktor pencetus, sedangkan serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan kegagalan pengobatan jangka panjang.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 40


Menurut buku Pedoman Nasional Asma Anak UKK Pulmonologi IDAI 2002, penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok berdasarkan
frekuensi serangan dan kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang, dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit asma di atas, asma juga dapat
dinilai berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek
kronik) dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten) dapat mengalami serangan ringan saja.
Sebaliknya seorang penderita asma ringan (episodik/jarang) dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan serangan ancaman henti nafas
yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan bergantung pada beratnya derajat serangan asma.5

Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan penyempitan jalan nafas secepat mungkin, mengurangi
hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, dan merenacanakan tatalaksana mencegah kekambuhan.

Tatalaksana Serangan

1. Tatalaksana di rumah

Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi
karena onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu
MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer.5

Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.

2. Tatalaksana di ruang emergency

Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis
secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 41


Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk
penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. Berikut ini
pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:5

1. Serangan Asma ringan

Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat menunjukkan respon yang baik. Pasien dengan derajat serangan
asma ringan diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan pasien dapat dipulangkan dan jika setelah observasi selama 2jam gejala timbul
kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma derajat sedang.6-9

Sebelum pulang pasien dibekali obat ß2-agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus serangannya
adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek selama 3-5 hari. Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan
dalam waktu 24-48 jam untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut
diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat jalan.5

2. Serangan Asma sedang

Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete
response) dan pasien perlu diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan
darurat, pasien yang akan diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di unit gawat darurat (UGD). 5 Pada
serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.

3. Serangan Asma berat (status asmatikus)

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 42


Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon yaitu gejala dan tanda serangan
masih ada. Pada keadaan ini pasien harus dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan ancaman henti napas pasien harus langsung
dirawat diruang intensif. Pasien diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat dilakukan nebulisasi, dipasang jalur parenteral dan
dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi terhadap asidosis dan pada
pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi kemungkinan pneumotoraks dan
pneumomediastinum. Pada ancaman henti napas hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan atau
PaCO2>45 mmHg). Pada ancaman henti napas diperlukan ventilasi mekanik.7-9

Nebulisasi dengan β- agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi
perbaikan klinis jarak pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam.Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per
bolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan sebagai berikut: Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya,
diberikan aminofilin dosis awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau gram fisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalam 20-
30 menit.9Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 8 jam), dosis yng diberikan adalah setengah dari dosis inisial. 9
Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10-20μ/ml. Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan
sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.9 Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam dan pemberian aminofilin dan
kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil pasien dapat dipulangkan dengan dibekali β2-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan
tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang
tatalaksana.9

Preparat terapi 5

1. Bronkodilator

a. Beta adrenergic kerja pendek (short acting)

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 43


Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan b2 agonis selektif.

Epinefrin/adrenalin

Digunakan jika tidak terdapat obat b2-agonis selektif. Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau angioudem. Obat ini
dapat diberikan secara subkutan atau dengan inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan epinefrin 1:1000
(1mg/ml) dengan dosis 0,01 ml/kgbb (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan 3 kali dengan selang waktu 20 menit.

Β2-agonis selektif

Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6
jam, dosis terbutalin oral adalah 0,05-0,1 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam. Pemberian secara peroral akan memberikan efek
bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dalam 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 5 jam.

Pemberian secara noninvasive(inhalasi) lebih disukai daripada pemebrian subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan
kegelisahan pasien. Untuk serangan ringan dapat diberikan metered dosed inhaler (MDI) 2-4 semprotan tiap 3-4 jam, serangan sedang
diberikan 6-10 semprotan tiap 1-2 jam sedangkan serangan berat diberikan 10 semprotan. Pemberian MDI lebih dari 6 semprotan harus
dibawah pengawasan dokter.

Salbutamol dapat diberikan dengan nebulizer dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgBB(dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit atau
nebulisasi secara kontiniu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan
dosis 2,5 mg atau 1 respules/nebulisasi.

Pemberian intravena dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespon dengan nebulisasi b2 agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin serta
ipratropium bromide. Salbutamol iv dapat diberikan dengan dosis mulai dari 0,2mcg/kgBB/menit dan dinaikkan 0,1mcg/kgBB setiap 15

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 44


menit dengan dosis maksimal 4mcg/kgBB/menit. Terbutalin IV dapat diberikan dengan dosis 10mcg/kgBB melalui infuse selama 10
menit, dilanjutkan dengan 0,1-4 µg/kgBB/jam dengan infuse kontiniu.

Methyl xanthine (teofilin kerja cepat): dosis dan sedian dapat dilihat pada penjelasan tatalaksana serangan asma berat diatas.

LABA (long acting β2-agonis)

Ada 2 preparat inhalasi yaitu salmeterol dan formoterol, dan 1 obat oral yaitu procaterol. Tersedia kombinasi steroid hirupan dengan
LABA, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol menjadi seretide, kombinasi budesonide dan formoterol menjadi Symbicort.
Seretide dalam MDI (Metered Dosed Inhaler) sedangkan Symbicort dalam DPI(Dry Powder Inhaler).

II. Antik olinergik 5

Ipratropium bromide

Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai
berikut: untuk anak usia>6 tahun: 8-20 tetes; usia < 6 tahun: 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan minimal atau rasa tidak enak
di mulut (dosis oral 0,6-8mg/kgBB pada orang dewasa) secara umum tidak ada efek samping yang berarti.

III. Kortikosteroid

Preparat oral yang dipakai adalah prednisone, prednisolon atau triamsinolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari
selama 3-5 hari. Kortikosteroid IV diberikan pada kasus asma yang dirawat di rumah sakit. Metilprednisolon merupakan pilihan yang
utama karena memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek antiinflamasi yang lebih besar, serta efek
mineralokortikoid minimal. Dosis yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus
intravena, dengan dosis ½-1 mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari , diberikan setiap 6-8 jam.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 45


IV. Antileukotrien (Leukotriene receptor antagonist, LTRA) 5

Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Obat ini dapat diberikan sejak usia 2 tahun. Dosis peroral hanya 1 kali sehari
sehingga memudahkan penggunaan dan meningkatkan ketaatan pemakaian obat.

H. ANALISA KASUS

Pada kasus ini didiagnosa sebagai asma sesuai dengan definisi menurut konsensus nasional asma pada anak adalah mengi berulang
dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman,
setelah aktifitas fisik serta adanya riwayat asma atau atopi lainnya pada pasien dan/atau keluarga. Sedangkan definisi asma menurut Unit
Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten
dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik
serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.

Pada kasus ini dari anamnesa dan pemeriksaan fisik diketahui bahwa pasien mengalami:

1. Sesak
2. Batuk berdahak
3. Dyspnoe
4. Takipnoe dan takikardi
5. Retraksi
6. Wheezing ekspirasi dan rhonki

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 46


Pasien mengalami gejala sesak setalah pasien melakukan aktivitas, pasien juga pernah memiliki riwayat keluhan yang sama
sebelumnya dan juga ayah pasien mempunyai riwayat asma. Sesuai dengan Respirologi IDAI pada tahun 2004 maka pasien tersebut dapat
didiagnosa dengan diagnosa asma bronkial. Kesimpulan dari gejala klinis pada kasus ini di diagnosa asma berdasarkan kriteria dari GINA
adalah sesuai dengan asma episodik jarang yaitu frekuensi serangan terjadi 3-4x /1 tahun, dengan durasi tiap kali serangan <1 minggu, tanpa
gejala lain diantara serangan, tidak mengganggu aktifitas dan tidur (<3x/minggu), tidak ditemukannya kelainan fisik diluar serangan, dan
tidak memerlukan obat pengendali. Selain itu berdasarkan kriteria tersebut juga terdapat uji faal paru di luar serangan dengan hasil
PEF/FEV1 > 80% dan variabilitas faal paru ≥ 20%. Namun kriteria tersebut tidak terdapat pada pasien karena belum dilakukan pemeriksaan
faal paru. Sedangkan klasifikasi berdasarkan derajat asma menurut PNAA, pasien mengalami serangan derajat sedang. Yaitu adanya gejala
dan tanda dimana pasien hanya dapat berbicara berupa penggalan kalimat, pasien merasa lebih dapat bernapas saat posisi duduk, terdengar
adanya wheezing sepanjang ekspirasi, tampak adanya retraksi sedang suprasternal, dan adanya takipnoe, serta takikardi.

Pada kasus ini, didapatkan hasil laboratorium yang dilakukan pada tanggal 24 November 2018 adalah seperti berikut:

 Leukositosis
 Granulosit meningkat

Berdasarkan hasil laboratorium menunjukkan adanya infeksi dan peningkatan granulosit granulosit terdiri dari eosinofil, basofil dan netrofil,
hal tersebut menunjukkan terdapat riwayat atopi yang berhubungan dengan timbulnya kejadian asma. Kesimpulan dari hasil laboratorium
pasien ini, menunjang diagnosa Asma. Rencana pemeriksaan penunjang pada kasus ini dapat digunakan, untuk memastikan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding:

o Uji faal paru


o Pemeriksaan sputum

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 47


o Uji bronkodilator

Penatalaksanaan

Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka panjang. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum
adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Obat asma dapat dibagi dalam 2
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma jika sedang timbul. Selain itu dapat dilakukan terapi suportif seperti pemberian cairan parenteral dan oksigenasi. Pada pasien dengan
serangan asma sedang dapat diberikan oksigen 1-2 liter/ menit. Obat pengendali digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu
inflamasi kronik saluran nafas

Terapi di IGD:
1. O2 2 lpm
2. Nebulizer ventolin 1 resp, diulang 2 kali dengan selang waktu 20 mnt
3. Inf RL 12 tpm
4. Inj MP 25 mg/12 jam
5. Salbutamol 3x1 cth
6. Nebu ventolin 1 resp/12 jam

Medikamentosa
a. IVFD RA + amonophilin 240 mg tetesan 14 tpm
b. O2 2 lpm
c. Injeksi Ceftriaxone 330 mg/ 12 jam

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 48


d. Injeksi MP 25 mg/ 8 jam
e. Ambroksol 3x1 cth
f. Salbutamol 3x 1 cth
g. Inhalasi ventolin 1 resp/ 8 jam

Terapi asma bronkia (IDAI,2014):

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 49


BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 50
Tatatlaksana tatalaksana pada pasiem ini saat di IGD dilakukan nebulizer 2 kalil dan diberikan O2 2 liter per menit, pemberian
nebulizer memberikan respons partial, sehingga selanjutkan sesuai dengan alur tatalaksana serangan asma pada anak, dilakukan observasi di
ruang rawat sehari/observasi, namun hal ini tidak dilakukan dikarenakan rumah sakit tidak memiliki fasilitas tersebut, sehingga pasien ini
dilakukan perawatan lanjutan di ruang rawat inap.
Terapi di ruang rawat inap untuk asma serangan sedang yaitu mengikuti terapi di ruang rawat inap untuk asma serangan berat, yaitu
diberikan oksigen, penberian steroid intravena, aminofilin intravena, nebulasi 6-8 jam dan pemantauan untuk dehidrasi maupun asidosis.
Dosis awal pemberian aminophilin sebesar 6-8 mg/kgbb dilarutkan dalam 20 ml dekstrosa 5% atau garam fisiologis diberikan dalam 20-30
menit. Selanjutnya, aminophilin diberikan dengan dosis rumatan yaitu 0,5-1 mg/kgBB/jam. Pada kasus ini pemberian aminophilin diberikan
sesuai dengan dosis rumatan namun tidak diberikan aminophilin dosis iniaial (awal).
Pada pasien diberikan terapi kortikosteroid intravena 25 mg/ 8 jam, pemberian kortikosterid dapat mencegah progresivitas asma,
mengurangi gejala, memperbaiki fungsi paru serta memperbaiki respons bronkodilatasi yang ditimbulkan oleh β- agonis. Dosis methil
prednisolon yang diberikan secara bolus intravena adalah 1 mg/kgbb di berikan setiap 4-6 jam
Obat β2 agonis yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin dan fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgbb/kali
diberikan setiap 6 jam. Pemberian oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 mnt, efek puncak dicapai 2-4 jam dan lama kerja 5
jam. Pada pasien ini pemberiaan salbutamol oral 2 mg diberikan setiap 6 jam, dosis yang tepat diberikan untuk pasien ini 2,2 mg- 3,3 mg
setiap 6 jam. Dosis salbutamol inhaler adalah 0,1-0,15 mg/kgbb dengan interval 20 mg. Pasien yang di kategorikan asma serangan sedang
pemberian dikombinasikan nebuliser β2 agonis dengan ipratorium bromida, namun pada pasien ini tidak diberikan ipratropium bromida
inhaler dikarenakan ketidak sediaan obat tersebut. Saat di IGD pasien diberikan nebulisasi dua kali ventolin 1 respules dengan interval 20
menit setelah diperiksa kembali pasien memberikan respons partial sehingga dilakukan terapi nebulisasi lanjutan pada ruang rawat inap.
Berdasarkan alur tatalaksana serangan asma pada anak, nebulisasi di ruang rawat inap dapat diberikan tiap 1-2 jam jika membaik interval
nebulisasi menjadi 4-6 jam. Pada pasien ini nebulisasi di ruang rawat inap adalah inhalasi ventolin 1 resp/8 jam.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 51


Pemberian ambroxol pada pasien ini berfungsi untuk mengencerkan dahak, ambroxol merupakan termasuk mukolitik, mukolitik
adalah suatu jenis obat yang digunakan untuk mengencerkan mukus (dahak kental sehingga mudah dikeluarkan). Obat ini berkerja dengan
cara melepas ikatan gugus sulfidril pada mucoprotein dan mukopolisakarida sehingga menurunkan viskositas mukus. Pemberian mukolitik
pada serangan asma ringan dan sedang dapat dilakukan, tetapi harus hati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal.
Lazimnya, pasien dengan asma tidak perlu diberikan antibiotik. Namun pemberian antibiotik pada pasien ini ditujukan untuk
menterapi ISPA yang kemungkinan disebabkan oleh infeksi bakteri. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan leukosit pada
pemeriksaan darah perifer lengkap.
Terapi pulang yang diberikan kepada pasien adalah salbutamol 3x1 ct dan ambroxol 3x1 cth . Menurut konsensus international III dan
pedoman Nasional Asma, obat jangka panjang asma pada anak dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu obat pereda (reliver) dan obat
pengendali (controler), pada kasus asma episodik jarang pemberian controler tidak dianjurkan, cukup diobati dengan obat pereda berupa
bronkodilator βagonis hirupan kerja pendek (SABA) hanya apanila perlu saja yaitu jika ada gejala/serangan.bila obat hirupan tidak ada
dapat digunakan β-agonis diberikan per oral.

Prognosis

Prognosis jangka panjang asma anak pada umumya baik. Sebagian besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya
umur. Kesimpulan prognosis pada pasien ini adalah baik. Hal ini dilihat dari umur ketika serangan pertama timbul yaitu baik apabila lebih
dari usia 5 tahun, faktor atopi pada diri anak dan keluarga hanya terdapat dari ayahnya dan sekarang sudah sembuh, dan usaha pengobatan
serta penanggulangan asma tesebut cepat dan tepat. Namun asma masih harus dikontrol karena masih ada kemungkinan rekurensi.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 52


DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention asthma in children. 2011

2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret
2005. FKUI

3. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.

4. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jakarta.

5. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrhman RE. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Singapore: Elsevier; 2011. 339-49.

6. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012. 71-
158.

7. Hendarto A, Trihono P, Oswari H, Gunardi H. State of art:common problems in hospitalized children. Jakarta: Ikatan dokter anak
Indonesia cabang DKI Jakarta; 2011.32-9.

8. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Dapertemen Kesehatan RI. 2009.

9. Matondang MA, Lubis HM, Daulay RMpe. Peran Komunikasi, Informasi, dan Edukasi pada Asma Anak. Majalah Kedokteran
Indonesia, Volume: 10, Nomor:5, 5 Februari. Sari Pediatri.

10. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta: FKUI, RSCM; 2008.

BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 53


BUKU LOG DAN KUMPULAN BORANG PROGRAM INTERNSIP INDONESIA | 54

Anda mungkin juga menyukai