Disusun oleh :
dr. Anisa Tri Anti
Pendamping :
dr. Sri Umaryani
B. ANAMNESA
Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita: pasien belum pernah menderita keluhan seperti sekarang.
Kesimpulan riwayat kehamilan/ kelahiran: Tidak ada masalah dalam kehamilan dan persalinan
RIWAYAT MAKANAN
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI + PASI + - -
8 – 10 ASI + PASI + + -
RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 1 bulan x x
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan x x
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan
B. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : cukup
Keadaan lain : anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (+)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 20 kg
Tinggi Badan : 113 cm
Status Gizi
- BB / U = 20/ 23 x 100 % = 86 % (Berat normal)
KEPALA : Normosefali
RAMBUT : Rambut hitam ikal, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup tebal
WAJAH : wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
MATA :
Visus bedside : kesan baik Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
THORAKS :
Inspeksi: Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan yang tertinggal, pernafasan abdomino-torakal,
retraksi suprasternal (+), retraksi supraklavikular (+), retraksi interkostal (-), pembesaran KGB aksila -/- , ictus cordis terlihat
pada ICS V linea midclavicularis kiri, pulsasi abnormal (-)
Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan dan benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri, teraba
ictus cordis pada ICS V linea midclavicularis kiri, denyut kuat.
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : akral hangat ++/++
KULIT: warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik, lembab, pengisian kapiler < 2 detik, tidak
terdapat kelainan kulit
C.PEMERIKSAAN PENUNJANG
D. DIAGNOSIS BANDING
Asma bronkial episodik jarang serangan sedang
ISPA
Bronkopneumonia
E.DIAGNOSIS KERJA
Asma bronkial episodik jarang serangan sedang
ISPA
F.PEMERIKSAAN ANJURAN
G.PENATALAKSANAAN
Terapi di IGD:
1. O2 2 lpm
2. Nebulizer ventolin 1 resp, diulang 2 kali dengan selang waktu 20 mnt
3. Inf RL 12 tpm
4. Inj MP 62.5 mg/12 jam
5. Salbutamol 3x1 cth
6. Nebu ventolin 1 resp/12 jam
Medikamentosa
1. O2 2 liter/menit
2. IVFD RL + aminomphilin 240 mg tetesan 14 tpm
3. Injeksi Ceftriaxone 330 mg/ 12 jam
4. Injeksi methil prednisolon 25 mg/ 8 jam
5. Ambroksol 3x1 cth
6. Salbutamol 3x 1 cth
7. Inhalasi ventolin 1 resp/ 8 jam
J. Tinjauan Pustaka
GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan,
dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.1
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional
Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis,
dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.3
2. Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma
meningkat 8-10 kali di negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada
anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics
(NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun
adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding
perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.4
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan
peningkatan urbanisasi. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487
3. Faktor Resiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat
penyakit asma. Beberapa faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, allergen, infeksi, atopi, lingkungan. 5
1. Jenis kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5
sampai 2 kali lipat anak perempuan. Menurut laporan MMH, prevalens asma pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini
berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun. 5
2. Usia
Umumnya, pada kebanyakan kasus asme persisten, gejala seperti asama pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa
tahun pertama kehidupan. Dari Australia, dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi pada usia <6
bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas dari gejala
asma pada usia 28-35 tahun, 60% menetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat serangan
meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak. 5
3. Riwayat atopi
4. Lingkungan
Adanya allergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit asama. Allergen yang sering mencetuskan penyakit asma
antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa. 5
5. Ras
Dilaporkan prevalens asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih. 5
6. Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko asap rokok
sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak di lahirkan. 5
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida, karbon monoksida, atau SO 2 diduga berperan pada penyakit
asma, meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang pasti. 5
8. Infeksi respiratorik
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa adanya hubungan terbalik antara atopi dengan infeksi respiratori. 5
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau
dengan pengobatan. Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah
untuk mengatasi bronkospasme.4,5
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan
terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi
eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya
ringan atau tidak bergejala.4,5
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-
dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.4,5
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE
spesifik oleh sel plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen
serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti
histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme
otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang
timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan. 4,5
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan
perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada
proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi
kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan
obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga
atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan
bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah
gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.6
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap
inflamasi pada mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat
terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1
(dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi
virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran
udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah
edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume
penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama
inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi
saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran
napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.6,8
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat
berupa sesak napas, dada terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan inhalasi
alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator
dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat menunjang penegakan diagnosis.6
GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut
ditelusuri dengan algoritme kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang berulang (episodik),
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat
bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih
lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl
hipertonis, sangat menunjang diagnosis. 6
Dalam GINA asma di klasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran nafas.
Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena dapat kesulitan dalam penentuan etiologi
spesifik dari sekitar pasien. 5
Derajat penyakit asma ditemukan berdasarkan gabungan penelaian gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis-β2 untuk mengatasi
gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien. 5
PEF variability
Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma
persisten. Berikut ini tabel klasifikasi asma berdasarkan PNAA: 5
Mengi Sedang, sering hanya Nyaring, sepanjang Sangat nyaring, terdengan tanpa Sulit/tidak terdengar
pada akhir ekspirasi ekspirasi ± inspirasi stetoskop sepanjang ekspirasi dan
inspirasi
Retraksi Dangkal, retraksi Sedang ditambah Dalam, ditambah nafas cuping hidung Dangkal/ hilang
interkostal retraksi suprasternal
Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada, tanda kelelahan otot nafas
Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan
fungsi paru mulai dari pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse,
oximetry,spirometry, sampai pengukuran kompleks yaitu muscle strength testing, volume para absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan
paru yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostic anak dengan batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan
lain yang berkaitan dengan system respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat apabila ada manifestasi gejala asma yang
tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi jalan napas, 3)
pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif seperti kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau
penyakit interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan nafas.5 Walau pemeriksaan analisis gas darah merupakan
baku emas untuk menilai parameter pertukaran gas, pulse oximetry masih merupakan pemeriksaan yang berguna dan efisien.
Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan maneuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama
berguna pada penyakit dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat
dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC) dengan alat spirometer serta
pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilitas
fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis asma, melalui derajar berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi
pedoman pengelolaan asma. 5
Penilaian terhadap inflamasi saluran nafas akibat asma dapat dilakukan dengan cara memeriksa eosinophil sputum, baik yang spontan
maupun yang diindukso dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukutan kadar NO ekshalasi juga merupakan cara menilai petanda inflamasi
yang noninvasive. Walaupun pada pasien asma (yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi) didapatkan eosinosilia pada sputum pasien dan
peningkatan kadar NO ekshalasi dibandingkan dengan orang yang tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum
terdapat penlitian yang menyatakan bahwa hal yang dapat membatu dalam diagnosis asma. 5
Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi
pemeriksaan ini dapat membantu menentukan faktor resiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5 tahun dapat digunakan:
Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma. Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk
berulang pada asma meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan silent-disease pada anak, sedangkan pada
anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya nyeri tekan local pada daerah sinus yang terkena.
Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit komorbid yang sering pada asma, sehingga membuat terapi spesifik pada asma tidak
diberikan dengan tepat.5,7
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas
jalan napas congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi,
malformasi paru dan kelainan jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh respiratory syncitial virus
merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain itu, batuk
berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.5,7
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak
- Rinosinusitis
- Refluks gastroesofageal
- bronkiolitis
- Displasia bronkopulmoner
- Intratorakal
10. Penatalaksanaan
8
1. Komunikasi, Informasi dan Edukasi terhadap pasien dan keluarga
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu komunikasi, informasi dan edukasi pada keluarga dalam mencegah, menilai, dan
mengobati asma merupakan kunci keberhasilan mengontrol asama:
C. Mengidentifikasi dan mengontrol faktor-faktor yang memperburuk gejala asma dan pencetus serangan.
D. Pengertian tentang pentingnya penggunaank obat yang tepat dan benar dari spacer dan inhaler untuk kontrol jangka panjang dan
ketaatan pemakaian.
Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan pada pasien dan keluarganya:7,8,9
2. Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan terhadap faktor pencetus
4. Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil
tindakan guna mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan
rencana pengelolaan asma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang dengan efek samping minimal.
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:
c. Mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana yang sudah diprogramkan;
d. Segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektifdengan dokter yang memeriksa;
e. Menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan alergen dan iritan;
Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh
keterampilan pengelolaan mandiri (self management) untuk berperan-serta aktif. Penelitian yang dilakukan Guevara menunjukkan bahwa
edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi sekolah,
mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada malam hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai
salah satu penatalaksanaan asma pada anak.9
Klasifikasi
c. Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3 buah
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara l
=ebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah :
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kem bang anak.
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti β2-agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk
meredakan serangan asma biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau
Dry Powder Inhaler) cukup sulit untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak yang sudah mulai besar (usia
<5 tahun) dan inipun memerlukan teknik penggunaan yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat
pengendali untuk asma episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma
Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah,
atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian β2-agonis hirupan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik)
atau serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak
menunjukkan respon yang baik maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.8-9
Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan
sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.Tahap pertama
obat pengendali pada asma episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan
pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari
budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason)
untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason
50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat
pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang
mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis.dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki
asma yang terjadi secara bersamaan.4,5
C. Asma Persisten
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan
memberikan budenoside 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari
budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan
menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release
(TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.).4,5,6
Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu
dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk
anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun atau tetap dosis
medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas hidupnya.5,6,7
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan
kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi. 5Mengenai obat antihistamin
generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, hanya
untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan
karena tidak mempunyai manfaat yang berarti. 5 Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan
klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan. 5
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi.
Demikian juga kemauan anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (Metered Dose
Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan usia. 5
Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat
pajanan terhadap faktor pencetus, sedangkan serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan kegagalan pengobatan jangka panjang.
Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan penyempitan jalan nafas secepat mungkin, mengurangi
hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, dan merenacanakan tatalaksana mencegah kekambuhan.
Tatalaksana Serangan
1. Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi
karena onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu
MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer.5
Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis
secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit.
Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat menunjukkan respon yang baik. Pasien dengan derajat serangan
asma ringan diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan pasien dapat dipulangkan dan jika setelah observasi selama 2jam gejala timbul
kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma derajat sedang.6-9
Sebelum pulang pasien dibekali obat ß2-agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus serangannya
adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek selama 3-5 hari. Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan
dalam waktu 24-48 jam untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut
diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat jalan.5
Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete
response) dan pasien perlu diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan
darurat, pasien yang akan diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di unit gawat darurat (UGD). 5 Pada
serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
Nebulisasi dengan β- agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi
perbaikan klinis jarak pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam.Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per
bolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan sebagai berikut: Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya,
diberikan aminofilin dosis awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau gram fisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalam 20-
30 menit.9Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 8 jam), dosis yng diberikan adalah setengah dari dosis inisial. 9
Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10-20μ/ml. Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan
sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.9 Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam dan pemberian aminofilin dan
kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil pasien dapat dipulangkan dengan dibekali β2-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan
tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang
tatalaksana.9
Preparat terapi 5
1. Bronkodilator
Epinefrin/adrenalin
Digunakan jika tidak terdapat obat b2-agonis selektif. Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau angioudem. Obat ini
dapat diberikan secara subkutan atau dengan inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan epinefrin 1:1000
(1mg/ml) dengan dosis 0,01 ml/kgbb (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan 3 kali dengan selang waktu 20 menit.
Β2-agonis selektif
Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6
jam, dosis terbutalin oral adalah 0,05-0,1 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam. Pemberian secara peroral akan memberikan efek
bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dalam 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 5 jam.
Pemberian secara noninvasive(inhalasi) lebih disukai daripada pemebrian subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan
kegelisahan pasien. Untuk serangan ringan dapat diberikan metered dosed inhaler (MDI) 2-4 semprotan tiap 3-4 jam, serangan sedang
diberikan 6-10 semprotan tiap 1-2 jam sedangkan serangan berat diberikan 10 semprotan. Pemberian MDI lebih dari 6 semprotan harus
dibawah pengawasan dokter.
Salbutamol dapat diberikan dengan nebulizer dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgBB(dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit atau
nebulisasi secara kontiniu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan
dosis 2,5 mg atau 1 respules/nebulisasi.
Pemberian intravena dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespon dengan nebulisasi b2 agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin serta
ipratropium bromide. Salbutamol iv dapat diberikan dengan dosis mulai dari 0,2mcg/kgBB/menit dan dinaikkan 0,1mcg/kgBB setiap 15
Methyl xanthine (teofilin kerja cepat): dosis dan sedian dapat dilihat pada penjelasan tatalaksana serangan asma berat diatas.
Ada 2 preparat inhalasi yaitu salmeterol dan formoterol, dan 1 obat oral yaitu procaterol. Tersedia kombinasi steroid hirupan dengan
LABA, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol menjadi seretide, kombinasi budesonide dan formoterol menjadi Symbicort.
Seretide dalam MDI (Metered Dosed Inhaler) sedangkan Symbicort dalam DPI(Dry Powder Inhaler).
Ipratropium bromide
Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai
berikut: untuk anak usia>6 tahun: 8-20 tetes; usia < 6 tahun: 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan minimal atau rasa tidak enak
di mulut (dosis oral 0,6-8mg/kgBB pada orang dewasa) secara umum tidak ada efek samping yang berarti.
III. Kortikosteroid
Preparat oral yang dipakai adalah prednisone, prednisolon atau triamsinolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari
selama 3-5 hari. Kortikosteroid IV diberikan pada kasus asma yang dirawat di rumah sakit. Metilprednisolon merupakan pilihan yang
utama karena memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek antiinflamasi yang lebih besar, serta efek
mineralokortikoid minimal. Dosis yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus
intravena, dengan dosis ½-1 mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari , diberikan setiap 6-8 jam.
Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Obat ini dapat diberikan sejak usia 2 tahun. Dosis peroral hanya 1 kali sehari
sehingga memudahkan penggunaan dan meningkatkan ketaatan pemakaian obat.
H. ANALISA KASUS
Pada kasus ini didiagnosa sebagai asma sesuai dengan definisi menurut konsensus nasional asma pada anak adalah mengi berulang
dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman,
setelah aktifitas fisik serta adanya riwayat asma atau atopi lainnya pada pasien dan/atau keluarga. Sedangkan definisi asma menurut Unit
Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten
dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik
serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.
Pada kasus ini dari anamnesa dan pemeriksaan fisik diketahui bahwa pasien mengalami:
1. Sesak
2. Batuk berdahak
3. Dyspnoe
4. Takipnoe dan takikardi
5. Retraksi
6. Wheezing ekspirasi dan rhonki
Pada kasus ini, didapatkan hasil laboratorium yang dilakukan pada tanggal 24 November 2018 adalah seperti berikut:
Leukositosis
Granulosit meningkat
Berdasarkan hasil laboratorium menunjukkan adanya infeksi dan peningkatan granulosit granulosit terdiri dari eosinofil, basofil dan netrofil,
hal tersebut menunjukkan terdapat riwayat atopi yang berhubungan dengan timbulnya kejadian asma. Kesimpulan dari hasil laboratorium
pasien ini, menunjang diagnosa Asma. Rencana pemeriksaan penunjang pada kasus ini dapat digunakan, untuk memastikan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding:
Penatalaksanaan
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka panjang. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum
adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Obat asma dapat dibagi dalam 2
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma jika sedang timbul. Selain itu dapat dilakukan terapi suportif seperti pemberian cairan parenteral dan oksigenasi. Pada pasien dengan
serangan asma sedang dapat diberikan oksigen 1-2 liter/ menit. Obat pengendali digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu
inflamasi kronik saluran nafas
Terapi di IGD:
1. O2 2 lpm
2. Nebulizer ventolin 1 resp, diulang 2 kali dengan selang waktu 20 mnt
3. Inf RL 12 tpm
4. Inj MP 25 mg/12 jam
5. Salbutamol 3x1 cth
6. Nebu ventolin 1 resp/12 jam
Medikamentosa
a. IVFD RA + amonophilin 240 mg tetesan 14 tpm
b. O2 2 lpm
c. Injeksi Ceftriaxone 330 mg/ 12 jam
Prognosis
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumya baik. Sebagian besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya
umur. Kesimpulan prognosis pada pasien ini adalah baik. Hal ini dilihat dari umur ketika serangan pertama timbul yaitu baik apabila lebih
dari usia 5 tahun, faktor atopi pada diri anak dan keluarga hanya terdapat dari ayahnya dan sekarang sudah sembuh, dan usaha pengobatan
serta penanggulangan asma tesebut cepat dan tepat. Namun asma masih harus dikontrol karena masih ada kemungkinan rekurensi.
1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention asthma in children. 2011
2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret
2005. FKUI
3. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
4. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jakarta.
5. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrhman RE. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Singapore: Elsevier; 2011. 339-49.
6. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012. 71-
158.
7. Hendarto A, Trihono P, Oswari H, Gunardi H. State of art:common problems in hospitalized children. Jakarta: Ikatan dokter anak
Indonesia cabang DKI Jakarta; 2011.32-9.
9. Matondang MA, Lubis HM, Daulay RMpe. Peran Komunikasi, Informasi, dan Edukasi pada Asma Anak. Majalah Kedokteran
Indonesia, Volume: 10, Nomor:5, 5 Februari. Sari Pediatri.
10. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta: FKUI, RSCM; 2008.