JOURNAL READING
Penulis :
Hana Putantri
030.14.077
Pembimbing :
dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M
“RETINOPATI DIABETIKUM”
Pembimbing,
Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa
karena atas karunia-Nya journal reading dengan topik “RETINOPATI
DIABETIKUM” dapat selesai dengan semestinya. Journal reading ini disusun
untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik departemen Ilmu Kesehatan Mata periode 15 Juli 2019 – 17 Agustus 2019.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian journal reading
ini, terutama kepada dr. Imamatul Ibaroh, SpM selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya sehingga journal reading ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan journal reading ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan journal reading ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga journal reading dapat
bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang kesehatan mata.
Hana Putantri
030.14.077
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................... iv
5
1.2 Histologi retina
Permukaan luar retina berhubungan dengan koroid, sedangkan permukaan
dalamnya berhubungan dengan badan vitreous. Retina memiliki 10 lapisan, yang
terdiri dari (dari luar ke dalam):
1. epitel pigmen
2. batang dan kerucut
3. membran limitans eksterna
4. lapisan inti luar
5. lapisan pleksiform luar
6. lapisan inti dalam
7. lapisan pleksiform dalam
8. lapisan sel ganglion
9. lapisan serat saraf
10. membran limitans interna.
1.5 Epidemiologi
Retinopati diabetika adalah salah satu penyebab utama kebutaan di negara-
negara Barat, terutama diantara usia produktif. Berdarkan penelitian yang
dilakukan Amerika oleh Wiconsin Epidemiologic study of Diabetic Retinopathy
(WSDR), membagi prevalensi penderita retinopati menjadi dua kelompok yaitu
onset muda dan onset tua. Onset muda adalah pasien yang didiagnosis diabetes
sebelum 30 tahun dengan terapi insulin dan onset tua adalah pasien yang
didiagnosis diabetes setelah 30 tahun. Pada onset muda, 71% terdiagnosis
dengan retinopati, 23% terkena retinopati diabetika proliferatif dan 6%
terdiagnosis clinicially significant macular edema (CMSE). Pada onset tua,
pasien retinopati dengan pengobatan insulin sebesar 70% dan tanpa pengobatan
39%. Pada pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 3% proliferatif dan 14%
CMSE, sedangkan dengan yang pengobatan insulin 14% mencapai proliferatif
dan 11% CMSE. Di Eropa, berdasarkan penelitian survey populasi di Melton
Mowray, England prevalensi retinopati pada pasien dengan pengobatan insulin
sebesar 41% dan pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 52%. Data dari
western Scotland prevalensi retinopati diabetika sebesar 26,7% dan retinopati
serius (RDNP, RDP, Makula) sekitar 10%. Bedasarkan penelitian 3 populasi
besar di Australia, prevalensi retinopati sebesar 29,1% pada pasien DM pada 40
tahun atau lebih pada penelitian The Melbourne Visual Impairment Project, 32,4
% pada pasien di atas 49 tahun oleh The Blue Mountains Eye Study dengan
tanda proliferatif sebesar 1,6% dan makula sebesar 5,5% Di negara-negara Asia,
prevalensi diabetes mengalami peningkatan selama beberapa dekade, tetapi
informasi retinopati di Asia masih sangat terbatas.14 The Aravind Eye Disease
Survey di India Selatan , prevalensi retinopati pada pasien DM diatas 50 tahun
adalah 27%.
8
1.6 Faktor risiko
1) Jenis Kelamin
Berdasarkan WSDR, pada penderita dibawah 30 tahun kejadian
proliferatif lebih sering terjadi pada pria dibandingakan dengan wanita,
walaupun tidak ada perbedaan yang bermakna untuk progesivitas dari
retinopatinya. Sedangkan pada penderita diatas 30 tahun tidak ada
perbedaan yang bermakna untuk kejadian maupun progesivitas antara
pria maupun wanita.
2) Ras
Perbedaan prevalensi retinopati diabetika pada ras dapat terjadi akibat
kombinasi beberapa hal antara lain akses ke fasilitas kesehatan, faktor
genetik dan faktor resiko retinopati lainnya.
3) Umur
Pada diabetes tipe 1, prevalensi dan keparahan berhubungan dengan
umur. Retinopati jarang terjadi pada pasien dibawah 13 tahun, kemudian
meningkat sampai umur 15-19 tahun, lalu mengalami penurunan
setelahnya. Pada pasien diabetes tipe 2, kejadian retinopati meningkat
dengan bertambahnya umur.
4) Durasi Diabetes
Lamanya mengalami diabetes merupakan faktor terkuat kejadian
retinopati. Pervalensi retinopati pada pasien diabetes tipe 1 setelah 10-15
tahun sejak diagnosis ditegakkan antara 20-50%, setelah 15 tahun
menjadi 75-95% dan mencapai 100% setelah 30 tahun.3 pada diabetes
tipe 2 prevalensi retinopati sekita 20% sejak diagnosis ditegakkan dan
meningkat menjadi 60-85% setelah 15 tahun
5) Hiperglikemi
Berdasarkan penelitian WSDR ditemukan bahwa pada pasien diabetes
dengan retinopati memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak terdiagnosis retinopati.14 Sehingga
kadar gula darah yang tinggi berpengaruh terhadap kejadian retinopati
diabetika.
9
6) Hipertensi
Hipertensi merupakan komorbid tersering pasien retinopati dengan
diabetes, 17% pasien retinopati diabetika tipe 1 memiliki hipertensi dan
25% pasien menjadi memiliki hipertensi setelah 10 tahun terdiagnosis
retinopati diabetika. Hipertensi berperan dalam kegagalan autoregulasi
vaskularisasi retina yang akan memperparah patofisiologi terjadinya
retinopati diabetika
7) Hiperlipidemia
Dislipedemia mempunyai peranan penting pada retinopati proliferatif
dan makula.14 Dislipidemia berhubungan dengan tebentuknya hard
exudate pada penderita retinopati. Berdasarkan penelitian WESDR, hard
exudate lebih banyak terdapat pada pasien diabetes tanpa pengobatan
oral hypolipidemic
8) Insulin endogen
Kadar plasma C-Peptide merupakan penanda rendahnya kadar insulin
endogen. Pada penelitiam WESDR pasien dengan retinopati memiliki
kadar C-peptide plasma yang rendah, tetapi kadar C-peptide sendiri tidak
berpengaruh terhadap progesivitas retinopati.
9) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh berhubungan dengan diagnosis dan keparahan
retinopati pada penderita diatas 30 tahun tanpa pengobatan insulin.
Mereka yang underweight (BMI memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk
terkena retinopati dibandingkan dengan BMI normal.
10) Kehamilan
Retinopati diabetika mengalami progesivitas yang cepat pada saat
kehamilan. Progresivitas retinopati lebih meningkat lagi pada kehamilan
dengan preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak.
11) Inflamasi
Keadaan inflamasi menyebab disfungsi vaskular yang menjadi faktor
patogenesis pada diabetes tipe 2
10
1.7 Patogenesis
Hiperglikemia kronik merupakan faktor utama terjadinya retinopati
diabetika. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diabetes Control and
Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pasien yang mendapat terapi
insulin dengan kadar HbA1c dibawah 7% lebih jarang terjadi retinopati yang
progresif dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi insulin. Beberapa
proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia dan menimbulkan terjadinya
retinopati diabetika antara lain
1) Aktivasi jalur poliol
Pada hiperglikemik terjadi peningkatan enzim aldose reduktase yang
meningkatan produksi sorbitol. Sorbitol adalah senyawa gula dan
alkohol yang tidak dapat melewati membran basalis sehingga tertimbun
di sel dan menumpuk di jaringan lensa, pembuluh darah dan optik.
Penumpukan ini menyebabkan peningkatan tekanan osmotik yang
menimbulkan gangguan morfologi dan fungsional sel. Konsumsi
NADPH selama peningkatan produksi sorbitol menyebabkan penigkatan
stress oksidatif yang akan mengubah aktivitas Na/K-ATPase, gangguan
metabolisme phopathydilinositol, peningkatan produksi prostaglandin
dan perubahan aktivitas protein kinase C isoform.
2) Glikasi Nonenzimatik
Kadar glukosa yang berlebihan dalam darah akan berikatan dengan asam
amino bebas, serum atau protein menghasilkan Advanced gycosilation
end product (AGE). Interaksi antara AGE dan reseptornya menimbulkan
inflamasi vaskular dan reactive oxygen species (ROS) yang berhubungan
dengan kejadian retinopati diabetika proliferatif
3) Dialsilgliserol dan aktivasi protein C
Protein kinase C diaktifkan oleh diasilglierol dan mengaktifkan VEGF
yang berfungsi dalam proliferasi pembuluh darah baru. Pada
hiperglikemik terjadi peningkatan sintesis diasilgliserol yang merupakan
regulator protein kinase C dari glukosa
11
Gambar 4. Patogensis retinopati diabetik (1)
12
1.8 Patofisiologi
Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetika terletak pada
kapiler retina. Dinding kapiler terdiri dari 3 lapisan dari luar ke dalam yaitu sel
perisit, membrana basalis dan sel endotel, perbandingan jumlah sel perisit dan
sel endotel kapiler retina adalah 1 : 1. Sel perisit berfungsi untuk
mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktibilitas, mempertahankan
fungsi barier, transportasi kapiler dan proliferasi sel endotel; membrana basalis
berfungsi untuk mempertahankan permeabilitas; sel endotel bersama dengan
matriks ekstra sel dari membrana basalis membentuk pertahanan yang bersifat
elektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul termasuk fluoroscein yang
digunakan untuk diagnosis kapiler retina.
Perubahan histopatologi pada retinopati diabetika dimulai dari penebalan
membrana basalis, dilanjutkan dengan hilangnya sel perisit dan meningkatnya
proliferasi sel endotel, sehimgga perbandingan sel endotel dan sel perisit
menjadi 10 : 1,7.
Patofisiologi retinopati diabetika melibatkan 5 proses yang terjadi di
tingkat kapiler yaitu:
1) Pembentukan mikroaneurisma
2) Peningkatan permeabilitas
3) Penyumbatan
4) Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular) dan pembentukan
jaringan fibrosis
5) Kotraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus
1.9 Klasifikasi
RDNP adalah bentuk retinopati yang paling ringan dan sering tidak
memperlihatkan gejala. Cara pemeriksaannya dengan menggunakan foto
13
warna fundus atau fundal fluoroscein angiography (FFA).
Mikroaneurisma merupakan tanda awal terjadinya RDNP, yang terlihat
dalam foto warna fundus berupa bintik merah yang sering di bagian
posterior. Kelainan morfologi lain antara lain penebalan membran
basalis, perdarahan ringan, hard exudate yang tampak sebagai bercak
warna kuning dan soft exudate yang tampak sebagai bercak halus
(Cotton Wool Spot). Eksudat terjadi akibat deposisi dan kebocoran
lipoprotein plasma. Edema terjadi akibat kebocoran plasma. Cotton wool
spot terjadi akibat kapiler yang mengalami sumbatan.
14
RDNP selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga stadium:
Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena derajat ringan,
perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA.
Gambar 7. RDNP
15
2. Retinopati Diabetika Proliferatif (RDP)
• Perdarahan vitreus
16
dengan resiko tinggi.
17
Gambar 11. NPDR, PRD (3)
18
Pemeriksaan oftalmologi
1.11 Tatalaksana
Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan.
Hal ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi
perkembangan retinopati diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.
1. Skrining Retinopati Diabetik
Untuk mencegah gangguan penglihatan akibat retinopati diabetik,
skrining dan follow up merupakan langkah intervensi yang penting.
Rekomendasi untuk dilakukannya pemeriksaan funduskopi yang
periodik adalah :
o Setiap tahun.
o Setiap 6 bulan pada moderate NPDR
o Setiap 3 bulan, pada severe NPDR
o Setiap 2 bulan, pada PDR risiko rendah
2. Kontrol Faktor Risiko Sistemik
Hal ini akan mempengaruh prognosis dan efek dari terapi laser.
o Kontrol Gula Darah
o Kontrol Tekanan Darah
o Kontrol Hiperlipidemia
3. Fotokoagulasi
Pembedahan fotokoagulasi laser merupakan teknik standar pada
penatalaksanaan retinopati diabetik. Umumnya, hal ini dianjurkan pada
pasien dengan diabetik retinopati high-risk, CSME, atau neovaskularisasi
pada sudut ruang anterior. Pasien dengan CSME seharusnya dilakukan
fotokoagulasi laser fokal, khususnya jika pusat dari makula terpengaruh
atau jika retina menipis / hard exudate yang sangat berdekatan dengan
makula.
19
Teknik fotokoagulasi laser dapat diklasifikasikan, yakni panretinal, fokal,
atau grid. Fotokoagulasi panretina, disebut juga fotokoagulasi scatter,
digunakan pada penanganan RPD dan secara tidak langsung pada
penanganan neovaskularisasi pada nervus optik, permukaan retina, atau
sudut ruang anterior dengan cara laser untuk menghanguskan daerah perifer
fundus. Hal tersebut dapat dilakukan lebih dari satu kali. Fotokoagulasi
fokal dan grid digunakan pada penatalaksanaan diabetic macular edema.
Fotokoagulasi fokal menggunakan cahaya, membakar ukuran kecil pada
kebocoran mikroaneurisma di makula (menyerupai fotokoagulasi panretina
tapi efek terbakar yang lebih kecil) ke daerah timbulnya edema makula dari
kebocoran kapiler difusi atau tampak nonperfusi pada angiografi
fluoresensi. Jenis-jenis fotokoagulasi :
1) Teknik Scatter
Indikasi:
o Retinopati diabetic proliferative dengan high risk
o Neovaskularisasi pada iris
o Pasien yang jarang mengontrol retinopatinya
o Sebelum operasi katark/capsulotomi
o Gangguan ginjal
o Ibu hamil
2) Teknik fokal
Indikasi:
o Edema macula
Ditunjukan pada mikroaneurisma atau lesi mikrovaskular di
tengah cincin hard exudates yang terletak 500 – 3000 mikrometer
dari tengah fovea
3) Teknik Grid
Indikasi:
o Edema macula
Penggunaan sinar laser dimana pembakaran dengan bentuk kisi-
kisi diarahkan pada daerah edema yang difus
20
Dengan merangsang regresi pembuluh-pembuluh baru, fotokoagulasi laser pan-
retina (PRP) menurunkan insidens gangguan penglihatan berat akibatretinopati
diabetik proliferatif hingga 50 %. Obat-obatan anti VEGF tampak menjanjikan
sebagai terapi tambahan untuk mengurangi insidens perdarahan retina
kambuhan pasca operasi.
1.13 Komplikasi
A. Rubeosis Iridis
Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap
adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata
maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik. Komplikasi ini
sering terjadi pada pasien PDR, dan jika memberat dapat menyebabkan glaukoma
neovaskular. Rubeosis iridis umumnya terjadi apabila terdapat iskemi retina yang
berat atau ablasio retina setelah vitrektomi pars plana yang tidak berhasil.
B. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang terjadi
akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan
anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat
meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular ini
adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan
glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular pada iris
(rubeosis iridis). Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai
percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler
pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati
21
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan akuos dengan akibat tekanan intra okular meningkat dan keadaan
sudut masih terbuka.
22
BAB II JOURNAL READING
meskipun dapat mengatur perubahan aliran darah yang terjadi pada model hewan dengan RD (63) dan pada
pasien diabetes (64), respon ini bersifat tidak teratur pada retina diabetik sebelum munculnya lesi vaskular
yang dapat diamati, . Respons pembuluh darah retina terhadap pencahayaan difus yang berkedip
menunjukkan adanya gangguan kopling neurovaskular dan asosiasi endotelial-glia yang abnormal (65),
memberikan hasil akhir berupa respons arteriolar yang dilemahkan dan dilatasi vena (66) yang mungkin
memiliki nilai prediktif awal (67) pada tahap awal RD.
Konsep RD sebagai penyakit neurovaskular meningkatkan rasa apresiasi kami terhadap tipe-tipe sel yang
berkontribusi pada pengembangan dan perkembangan penyakit RD. Selain komponen sel vaskular (sel
endotel dan pericytes), beragam jenis sel retina neuron, elemen makroglial (sel Muller dan astrosit), dan
mikroglia, konsep neurovaskular juga menganjurkan pentingnya jenis sel tambahan, seperti sel imun dan
epitel pigmen retina / choroid, yang berdampak pada sel-sel penyusun saraf retina
Pemahaman yang lebih baik mengenai interaksi berbagai elemen seluler ini dan kontribusi patogennya
dapat sangat memperluas kemungkinan terbentuknya strategi terapi baru.
Patologi di saraf retina selama RD. Disfungsi vaskular dan hilangnya kapiler merupakan fitur penting dari
RD, sebagaimana yang telah dibuktikan bahwa dampak pada fungsi visual yang berasal dari perawatan
termasuk anti-VEGF bertujuan untuk memperbaiki perubahan vaskular retina. Namun, semakin banyak
bukti menunjukkan bahwa neuropati juga terdapat pada retina diabetik, bahkan mungkin sebelum hilangnya
perfusi pada neuropile. Perspektif yang diperluas ini telah meningkatkan pemahaman mengenai disfungsi
neuron dan neurodegenerasi dan fitur klinis yang sesuai, seperti hilangnya penglihatan warna (68) dan
sensitivitas kontras (69) dan berkurangnya respons listrik pada uji elektroretinografi (70, 71) yang dapat
terjadi sebelum adanya perubahan mikrovaskuler. Kematian apoptosis sel ganglion retina dan sel amakrin
terjadi pada model hewan dengan diabetes (72) dan juga telah diamati secara klinis pada mata diabetik
postmortem (73, 74).
Bukti lebih lanjut mengenai perubahan struktural termasuk studi pencitraan OCT yang menunjukkan
berkurangnya ketebalan lapisan retina dalam pada penderita diabetes tipe 1 dengan retinopati diabetikum
minimal (75, 76). Perubahan yang diinduksi oleh diabetes pada retina neurosensorik dapat memiliki
konsekuensi besar karena disfungsi neuron dapat berkontribusi pada perkembangan patologi RD vaskular.
Neuron retina, termasuk fotoreseptor, dapat menjadi sumber penting dari stres oksidatif yang membantu
menciptakan lingkungan proinflamasi pada RD (77).
Selain itu, elemen neuron retina dapat mensekresi molekul, seperti semaphorin 3A, yang dapat
menyebabkan disfungsi sawar darah retina dan edema makula (78). Gagasan bahwa disfungsi neuron dan
kerusakan dapat meningkatkan terjadinya retinopati diabetikum secara klinis, termasuk mikroangiopati,
didukung oleh penelitian observasional yang menunjukkan bahwa disfungsi neuron regional yang
dipastikan dengan ERG multifokal yang memprediksi lokasi retina yang sesuai yang akan menjadi
retinopati dalam waktu 1-3 tahun (79, 80). Peran patogen untuk neuron ini telah meningkatkan minat pada
mekanisme yang mungkin untuk disfungsi dan degenerasi neuron - termasuk glutamat eksototoksisitas,
stres oksidatif, dan pengurangan dukungan trofik(81) - dan mendorong strategi terapeutik untuk RD
berdasarkan perlindungan saraf (82, 83).
Pemahaman yang lebih baik mengenai interaksi berbagai elemen seluler ini dan kontribusi patogennya
dapat sangat memperluas kemungkinan terbentuknya strategi terapi baru.
Patologi di saraf retina selama RD. Disfungsi vaskular dan hilangnya kapiler merupakan fitur penting dari
RD, sebagaimana yang telah dibuktikan bahwa dampak pada fungsi visual yang berasal dari perawatan
termasuk anti-VEGF bertujuan untuk memperbaiki perubahan vaskular retina. Namun, semakin banyak
bukti menunjukkan bahwa neuropati juga terdapat pada retina diabetik, bahkan mungkin sebelum hilangnya
perfusi pada neuropile. Perspektif yang diperluas ini telah meningkatkan pemahaman mengenai disfungsi
neuron dan neurodegenerasi dan fitur klinis yang sesuai, seperti hilangnya penglihatan warna (68) dan
sensitivitas kontras (69) dan berkurangnya respons listrik pada uji elektroretinografi (70, 71) yang dapat
terjadi sebelum adanya perubahan mikrovaskuler. Kematian apoptosis sel ganglion retina dan sel amakrin
terjadi pada model hewan dengan diabetes (72) dan juga telah diamati secara klinis pada mata diabetik
postmortem (73, 74).
Bukti lebih lanjut mengenai perubahan struktural termasuk studi pencitraan OCT yang menunjukkan
berkurangnya ketebalan lapisan retina dalam pada penderita diabetes tipe 1 dengan retinopati diabetikum
minimal (75, 76). Perubahan yang diinduksi oleh diabetes pada retina neurosensorik dapat memiliki
konsekuensi besar karena disfungsi neuron dapat berkontribusi pada perkembangan patologi RD vaskular.
Neuron retina, termasuk fotoreseptor, dapat menjadi sumber penting dari stres oksidatif yang membantu
menciptakan lingkungan proinflamasi pada RD (77).
Selain itu, elemen neuron retina dapat mensekresi molekul, seperti semaphorin 3A, yang dapat
menyebabkan disfungsi sawar darah retina dan edema makula (78). Gagasan bahwa disfungsi neuron dan
kerusakan dapat meningkatkan terjadinya retinopati diabetikum secara klinis, termasuk mikroangiopati,
didukung oleh penelitian observasional yang menunjukkan bahwa disfungsi neuron regional yang
dipastikan dengan ERG multifokal yang memprediksi lokasi retina yang sesuai yang akan menjadi
retinopati dalam waktu 1-3 tahun (79, 80). Peran patogen untuk neuron ini telah meningkatkan minat pada
mekanisme yang mungkin untuk disfungsi dan degenerasi neuron - termasuk glutamat eksototoksisitas,
stres oksidatif, dan pengurangan dukungan trofik(81) - dan mendorong strategi terapeutik untuk RD
berdasarkan perlindungan saraf (82, 83).
Disfungsi glial pada RD. Komponen astrosit dan sel Muller dari unit neurovaskular dipengaruhi oleh
diabetes, yang mengubah fungsi homeostatis kritis glia ini, terutama yang berkaitan dengan regulasi aliran
darah retina, keseimbangan air dalam parenkim saraf, dan pemeliharaan fungsi sawar (84). Secara spesifik,
sel Muller dapat menjalani gliosis reaktif yang dapat dilihat dengan regulasi protein fibrilar asam glial
(GFAP) (85) dan peningkatan ekspresi jalur terkait kekebalan tubuh bawaan yang tercermin oleh sekresi
sitokin proinflamasi (86). Studi mengenai sel Muller pada model tikus dengan diabetes menunjukan peran
penting sel-sel ini dalam kelainan pembuluh darah retina di RD. Tikus KO kondisional dengan VEGF
terganggu dalam sel Muller menunjukkan penurunan biomarker peradangan retina, termasuk TNF-α dan
ICAM-1, serta pengurangan kelainan vaskular retina berupa kebocoran (87). Temuan ini menunjukkan
bahwa sel Müller yang disfungsional dapat bertindak secara parakrin untuk memperburuk disfungsi sawar
darah retina pada DR. DR juga dikaitkan dengan kematian sel Muller (88), yang selanjutnya berdampak
pada integritas unit neurovacular.
Fungsi sel kekebalan dan peradangan pada RD. Regulasi sel imun dan kontrol peradangan sangat penting
untuk kesejahteraan dan fungsi normal retina. Sel-sel mikroglial pada retina bagian dalam memiliki peran
penting dalam parainflamasi: respons adaptif terhadap stres jaringan (termasuk hiperglikemia dan stres
oksidatif) dan malfungsi. Sementara respon ini mempromosikan homeostasis dan perbaikan jaringan
normal, dalam jangka pendek, parainflammasi kronis berkontribusi pada inisiasi dan perkembangan
berbagai proses penyakit (89). Dalam konteks ini, peran peradangan dalam mendorong perkembangan RD
semakin dihargai (90, 91). Ketika diabetes berkembang, retina menunjukkan beberapa elemen peradangan
kronis, subklinis, termasuk aktivasi sel imun dan produksi molekul inflamasi. Beberapa tipe sel imun
diaktifkan pada tahap awal RD, termasuk peningkatan interaksi leukosit-endotelial dalam pembuluh darah
retina (3, 90). Fenomena leukostasis ini ditandai dengan kepatuhan sel myeloid yang bersirkulasi, termasuk
neutropil dan monosit, dengan endotelium vaskular yang teraktivasi. Interaksi leukosit-endotel dapat
memicu kerusakan pada endotel pembuluh darah retina dan jaringan sekitarnya baik dengan penyumbatan
fisik kapiler dan pelepasan sitokin inflamasi dan superoksida.
Selain kontribusi tipe sel imun intravaskular, teraktivasinya mikroglia sebagai sel imun residen dan juga
monosit yang berinfiltrasi cenderung membentuk generasi yang diinduksi oleh diabetes dari lingkungan
inflamasi (3). Selain mengaktifkan sel imun profesional, diabetes dapat menaikkan efek fenotip
proinflamasi pada sel retina lain, seperti pada pembuluh darah di mana terdapat peningkatan regulasi
molekul adhesi termasuk E-selectin dan ICAM-1 (92, 93) yang meningkatkan keterlibatan endotel dengan
sel imun yang beredar. Selain itu, diabetes menyebabkan meningkatnya produksi sitokin proinflamasi oleh
Müller glia, termasuk VEGF dan TNF-α (87). Peristiwa semacam itu beroperasi bersama untuk
menciptakan lingkungan inflamatori yang berkontribusi terhadap perkembangan RD.
Karakteristik utama dari RD adalah peningkatan ekspresi sitokin inflamasi dan faktor pertumbuhan dari
berbagai sumber sel. Sebagai contoh, peptida proinflamasi VEGF diakui dengan baik sebagai pemeran
utama dalam RD, termasuk perannya dalam meningkatkan permeabilitas pembuluh darah retina dan EMD
(35). Yang lebih jelas lagi, pasien EMD yang diobati dengan agen anti-VEGF menunjukkan perkembangan
yang lebih lambat menjadi drop-out kapiler, menunjukkan bahwa VEGF dapat berperan dalam
perkembangan DR terlepas dari efeknya yang didokumentasikan dengan jelas pada permeabilitas pembuluh
darah (94). Selain VEGF, diabetes meningkatkan kadar sitokin inflamasi retina termasuk TNF-α dan IL-1β,
keduanya terlibat dalam berkontribusi pada titik akhir patologis utama pada RD, termasuk drop-out kapiler
dan permeabilitas pembuluh darah (95-97) .
Disfungsi epitel pigmen retina (EPR) dan koroidopati sebagai komponen RD. Meskipun telah menerima
perhatian yang relatif kurang, diabetes juga mempengaruhi fungsi EPR dan menyebabkan perubahan pada
retina bagian luar yang berdampak pada fotoreseptor dan integritas koroid. Model berbasis kultur EPR dan
penelitian in vivo telah menunjukkan bahwa paparan glukosa yang tinggi atau diabetes menyebabkan stres
nitrosatif (98) dan perubahan metabolik yang berkaitan dengan metabolisme poliol (99). Dalam konteks
EMD, perspektif baru mempertimbangkan kontribusi perubahan pada sawar darah retina luar yang dibentuk
oleh EPR. Gangguan fungsi sawar darah retina normal (83, 100) terjadi selama diabetes, dan hilangnya sifat
penghalang EPR menyebabkan kebocoran cairan dari koriokapiler. EPR juga menunjukkan gangguan
pembersihan cairan dari neuropile retina, yang apabila dikombinasikan dengan hilangnya integritas sawar
darah retina, dapat menyebabkan EMD (101). Peran disfungsi EPR, bila dibandingkan dengan kebocoran
pembuluh darah retina, dalam berkontribusi terhadap edema makula diabetes masih dalam penelitian aktif.
Koriokapiler itu sendiri menimbulkan kerusakan progresif selama diabetes (sebagaimana ditinjau oleh
Lutty; ref. 102). Koroidopati diabetes terjadi pada pasien (103) dan model hewan (104) dan
dimanifestasikan dengan penipisan lapisan kapiler dengan lesi seperti drop-out pembuluh darah, aneurisma,
iskemia, dan dalam beberapa kasus neovaskularisasi intrakoroid (103, 105). Infiltrasi sel radang juga dapat
berpartisipasi dalam oklusi kapiler dan atrofi (106). Secara klinis, koroid diabetes mulai menerima lebih
banyak perhatian seiring dengan meningkatnya modalitas pencitraan. terlebih dari studi angiografi
indocyanine green (ICG) (105), pendekatan seperti enhanced depth imaging (EDI) secara umum
menunjukkan adanya pengurangan ketebalan koroid pada mata diabetes (107), meskipun pada beberapa
kelompok pasien, peningkatan ketebalan dapat terjadi (108) yang mungkin berkaitan dengan respons
fibrotik pasca iskemik dan neovaskularisasi intrakoroid. Dalam kedua kasus tersebut, koroidopati pada
mata diabetes dapat memiliki dampak mendalam berikutnya pada EPR dan lapisan retina bagian luar, yang
dioksigenasi oleh koriokapiler. Sebagai contoh, terjadinya endapan laminar basalis pada mata diabetes
berhubungan dengan area degenerasi koriokapiler (103). Sifat yang tepat dari choroidopathy diabetikum
memerlukan studi klinis dan eksperimental lebih lanjut, terutama karena vaskular ini sangat penting untuk
fungsi retina normal.
Kesimpulan
Meskipun kejadian RD terus meningkat, dalam beberapa dekade terakhir telah menunjukan munculnya
pilihan pengobatan baru, terutama obat yang menargetkan VEGF, yang telah sangat meningkatkan
pengelolaan titik akhir EMD dan RPD. Namun demikian, kebutuhan mendesak tetap ada demi
mendapatkan pengobatan terbaru yang manjur untuk semua tahap RD, dan ini mendukung upaya
berkelanjutan untuk sepenuhnya memahami cara-cara kompleks di mana diabetes berdampak pada retina.
Kemajuan konseptual yang penting adalah pengakuan bahwa RD adalah penyakit pada unit neurovaskular,
dengan beberapa tipe sel yang saling tergantung berkontribusi terhadap disfungsi retina. Pendekatan terapi
terbaru harus mengadopsi pandangan yang lebih holistik tentang bagaimana diabetes mempengaruhi retina
dan menyesuaikan perawatan yang tepat untuk fenotipe penyakit yang lebih tepat dengan prospek menarik
untuk mencapai hasil klinis yang baik untuk semua pasien.
Address correspondence to: Elia Duh, Department of Ophthalmology, Wilmer Ophthalmologic Insti- tute,
Johns Hopkins University School of Medicine, 400 N. Broadway, Room 3011, Baltimore, Maryland
21287, USA. Phone:1.410.614.3388; Email: eduh@jhmi.edu. Or to: Alan Stitt, Centre for Experimen- tal
Medicine, Queen’s University Belfast, Belfast, BT9 7BL, Northern Ireland, United Kingdom. Phone:
44.28.9097.5375; Email: a.stitt@qub.ac.uk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guariguata L, Whiting DR, Hambleton I, Beagley J, Linnenkamp U, Shaw JE. Global estimates of diabetes prevalence for
2013 and projections for 2035. Diabetes Res Clin Pract. 2014;103(2):137–149.
2. Nanditha A, et al. Diabetes in Asia and the Pacific: Implications for the Global Epidemic. Diabetes Care. 2016;39(3):472–485.
3. Stitt AW, et al. The progress in understanding and treatment of diabetic retinopathy. Prog Retin Eye Res. 2016;51:156–186.
4. Antonetti DA, Klein R, Gardner TW. Diabetic retinopathy. N Engl J Med. 2012;366(13):1227–1239.
5. Klein R, Klein BE. Are individuals with diabetes seeing better?: a long-term epidemiological perspective. Diabetes.
2010;59(8):1853–1860.
6. Leasher JL, et al. Global Estimates on the Number of People Blind or Visually Impaired by Diabetic Retinopathy: A Meta-
and progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes mellitus. N Engl J Med. 1993;329(14):977–986.
12. [No authors listed]. Effect of intensive blood-glucose control with metformin on complications in overweight patients with type
2 diabetes (UKPDS 34). UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Lancet. 1998;352(9131):854–865.
13. Aiello LP, DCCT/EDIC Research Group. Diabetic retinopathy and other ocular findings in the diabetes control and complica-
tions trial/epidemiology of diabetes interventions and complications study. Diabetes Care. 2014;37(1):17–23.
14. Genuth S, et al. Skin advanced glycation end products glucosepane and methylglyoxal hydroimidazolone are independently
associated with long-term microvascular complication progression of type 1 diabetes. Diabetes. 2015;64(1):266–278.
15. Zhong Q, Kowluru RA. Epigenetic changes in mitochondrial superoxide dismutase in the retina and the development of diabet-
2015;58(3):443–455.
18. Friedrichs P, et al. Hyperglycaemic memory affects the neurovascular unit of the retina in a diabetic mouse model.
Diabetologia. 2017;60(7):1354–1358.
19. van Leiden HA, et al. Blood pressure, lipids, and obesity are associated with retinopathy: the hoorn study. Diabetes Care.
2002;25(8):1320–1325.
20. Yau JW, et al. Global prevalence and major risk factors of diabetic retinopathy. Diabetes Care. 2012;35(3):556–564.
21. Mohamed Q, Gillies MC, Wong TY. Management of diabetic retinopathy: a systematic review. JAMA. 2007;298(8):902–916.
22. ACCORD Study Group, et al. Effects of medical therapies on retinopathy progression in type 2 diabetes. N Engl J Med.
2010;363(3):233–244.
23. Hirsch IB, Brownlee M. Beyond hemoglobin A1c--need for additional markers of risk for diabetic microvascular
complications.
JAMA. 2010;303(22):2291–2292.
24. Klein R, Knudtson MD, Lee KE, Gangnon R, Klein BE. The Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy:
XXII the twenty-five-year progression of retinopathy in persons with type 1 diabetes. Ophthalmology. 2008;115(11):1859–
1868.
25. Ljubimov AV, et al. Basement membrane abnormalities in human eyes with diabetic retinopathy. J Histochem Cytochem.
1996;44(12):1469–1479.
26. COGAN DG, TOUSSAINT D, KUWABARA T. Retinal vascular patterns. IV. Diabetic retinopathy. Arch
Ophthalmol. 1961;66:366–378.
27. Yanoff M. Ocular pathology of diabetes mellitus. Am J Ophthalmol. 1969;67(1):21–38.
28.Mizutani M, Kern TS, Lorenzi M. Accelerated death of retinal microvascular cells in human and experimental diabetic retinop-
2011;117(22):6024–6035.
32. Fukushima Y, et al. Sema3E-PlexinD1 signaling selectively suppresses disoriented angiogenesis in ischemic retinopathy in
mice.
J Clin Invest. 2011;121(5):1974–1985.
33. Wei Y, et al. Nrf2 in ischemic neurons promotes retinal vascular regeneration through regulation of semaphorin 6A. Proc Natl
Ranibizumab for Proliferative Diabetic Retinopathy: A Randomized Clinical Trial. JAMA. 2015;314(20):2137–2146.
37. Khaliq A, et al. Increased expression of placenta growth factor in proliferative diabetic retinopathy. Lab Invest. 1998;78(1):109–
116.
38. Butler JM, et al. SDF-1 is both necessary and sufficient to promote proliferative retinopathy. J Clin Invest. 2005;115(1):86–
93.
39. Watanabe D, et al. Erythropoietin as a retinal angiogenic factor in proliferative diabetic retinopathy. N Engl J Med.
2005;353(8):782–792.
40. [No authors listed]. Grading diabetic retinopathy from stereoscopic color fundus photographs--an extension of the modified
Airlie House classification. ETDRS report number 10. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group.
Ophthal- mology. 1991;98(5 Suppl):786–806.
41. Silva PS, et al. Peripheral Lesions Identified on Ultrawide Field Imaging Predict Increased Risk of Diabetic Retinopathy Pro-
of Diabetic Retinopathy and Macular Edema. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2016;57(15):6624–6632.
43. Burns SA, et al. In vivo adaptive optics microvascular imaging in diabetic patients without clinically severe diabetic
retinopathy.
Biomed Opt Express. 2014;5(3):961–974.
44. Shin HJ, Lee SH, Chung H, Kim HC. Association between photoreceptor integrity and visual outcome in diabetic macular
func- tion after resolution of diabetic macular edema. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2015;56(2):978–982.
48.Agemy SA, et al. RETINAL VASCULAR PERFUSION DENSITY MAPPING USING OPTICAL COHERENCE
or triamcinolone plus prompt laser for diabetic macular edema. Ophthalmology. 2010;117(6):1064–1077.e35.
53. Brown DM, et al. Long-term outcomes of ranibizumab therapy for diabetic macular edema: the 36-month results from two
2006;113(10):1695.e1–1695.15.
60. Berrocal MH, Acaba LA, Acaba A. Surgery for Diabetic Eye Complications. Curr Diab Rep. 2016;16(10):99.
61. Gardner TW, Davila JR. The neurovascular unit and the pathophysiologic basis of diabetic retinopathy. Graefes Arch Clin Exp
Ophthalmol. 2017;255(1):1–6.
62. Kur J, Newman EA, Chan-Ling T. Cellular and physiological mechanisms underlying blood flow regulation in the retina and
choroid in health and disease. Prog Retin Eye Res. 2012;31(5):377–406.
63. Mishra A, Newman EA. Inhibition of inducible nitric oxide synthase reverses the loss of functional hyperemia in diabetic reti-
Ophthalmol. 2011;129(2):230–235.
71. Abcouwer SF, Gardner TW. Diabetic retinopathy: loss of neuroretinal adaptation to the diabetic metabolic environment. Ann N
and human diabetes. Early onset and effect of insulin. J Clin Invest. 1998;102(4):783–791.
73. Carrasco E, Hernández C, Miralles A, Huguet P, Farrés J, Simó R. Lower somatostatin expression is an early event in diabetic
and human diabetes. Early onset and effect of insulin. J Clin Invest. 1998;102(4):783–791.
75.van Dijk HW, et al. Selective loss of inner retinal layer thickness in type 1 diabetic patients with minimal diabetic retinopathy.
Invest Ophthalmol Vis Sci. 2009;50(7):3404–3409.
76. van Dijk HW, et al. Decreased retinal ganglion cell layer thickness in patients with type 1 diabetes. Invest Ophthalmol Vis
Sci. 2010;51(7):3660–3665.
77. Du Y, Veenstra A, Palczewski K, Kern TS. Photoreceptor cells are major contributors to diabetes-induced oxidative stress
and local inflammation in the retina. Proc Natl Acad Sci U S A. 2013;110(41):16586–16591.
78. Cerani A, et al. Neuron-derived semaphorin 3A is an early inducer of vascular permeability in diabetic retinopathy via neuropil-
Immunotherapy. 2011;3(5):609–628.
92. McLeod DS, Lefer DJ, Merges C, Lutty GA. Enhanced expression of intracellular adhesion molecule-1 and P-selectin in
J. 2002;16(3):438–440.
98.Rosales MA, Silva KC, Duarte DA, Rossato FA, Lopes de Faria JB, Lopes de Faria JM. Endocytosis of tight junctions
caveolin nitrosylation dependent is improved by cocoa via opioid receptor on RPE cells in diabetic conditions. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2014;55(9):6090–6100.
99. Samuels IS, Lee CA, Petrash JM, Peachey NS, Kern TS. Exclusion of aldose reductase as a
mediator of ERG deficits in a mouse model of diabetic eye disease. Vis Neurosci. 2012;29(6):267–
274.
100. Beasley S, et al. Caspase-14 expression impairs retinal pigment epithelium barrier function: potential
epithelium: something more than a constituent of the blood-retinal barrier--implications for the
pathogenesis of diabetic retinopathy. J Biomed Biotechnol. 2010;2010:190724.
102. Lutty GA. Effects of diabetes on the eye. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2013;54(14):ORSF81–ORSF87.
103. Cao J, McLeod S, Merges CA, Lutty GA. Choriocapillaris degeneration and related pathologic changes
in human diabetic eyes.
Arch Ophthalmol. 1998;116(5):589–597.
104. Muir ER, Rentería RC, Duong TQ. Reduced ocular blood flow as an early indicator of diabetic
severity of retinopathy and macular edema in type 2 diabetic patients. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2013;54(5):3378–3384.
109. Rask-Madsen C, King GL. Kidney complications: factors that protect the diabetic vasculature. Nat Med.
2010;16(1):40–41.
110. Rask-Madsen C, King GL. Vascular complications of diabetes: mechanisms of injury and
extreme duration: the joslin 50-year medalist study. Diabetes Care. 2011;34(4):968–974.
112. Kowluru RA, Atasi L, Ho YS. Role of mitochondrial superoxide dismutase in the development of
(EUROCONDOR). Neurode- generation in the diabetic eye: new insights and therapeutic perspectives.
Trends Endocrinol Metab. 2014;25(1):23–33.
115. Xu Z, et al. NRF2 plays a protective role in diabetic retinopathy in mice. Diabetologia. 2014;57(1):204–
213.
116. Chen Y, et al. Therapeutic effects of PPARα agonists on diabetic retinopathy in type 1
actions of fenofi- brate and its clinical effects on diabetic retinopathy and other microvascular end
points in patients with diabetes. Diabetes. 2013;62(12):3968–3975.
119. Ford JA, Lois N, Royle P, Clar C, Shyangdan D, Waugh N. Current treatments in diabetic macular
45
121. Liu J, Feener EP. Plasma kallikrein-kinin system and diabetic retinopathy. Biol Chem. 2013;394(3):319–
328.
122. Canning P, et al. Lipoprotein-associated phospholipase A2 (Lp-PLA2) as a therapeutic target to prevent
46