Anda di halaman 1dari 46

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

PERIODE 15 JULI 2019 – 17 AGUSTUS 2019

RS PENDIDIKAN : RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


DR. KARDINAH, KOTA TEGAL

JOURNAL READING

TOPIK : RETINOPATI DIABETIKUM

Penulis :
Hana Putantri
030.14.077

Pembimbing :
dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PERSETUJUAN

Journal reading dengan topik :

“RETINOPATI DIABETIKUM”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat

untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata


di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal
periode 15 Juli 2019 – 17 Agustus 2019

Pada hari …………... tanggal ………………………………..

Tegal, ....... Juni 2019

Pembimbing,

(dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa
karena atas karunia-Nya journal reading dengan topik “RETINOPATI
DIABETIKUM” dapat selesai dengan semestinya. Journal reading ini disusun
untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik departemen Ilmu Kesehatan Mata periode 15 Juli 2019 – 17 Agustus 2019.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian journal reading
ini, terutama kepada dr. Imamatul Ibaroh, SpM selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya sehingga journal reading ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan journal reading ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan journal reading ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga journal reading dapat
bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya untuk bidang kesehatan mata.

Tegal, Agustus 2019


Penulis,

Hana Putantri

030.14.077
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................iii

DAFTAR ISI........................................................................................................... iv

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA: RETINOPATI DIABETIKUM................. 5

1.1 Anatomi retina .............................................................................. 5

1.2 Histologi retina ............................................................................. 6

1.3 Fisiologi retina .............................................................................. 7

1.4 Definisi retinopati diabetikum ...................................................... 8

1.5 Epidemiologi retinopati diabetikum ............................................. 8

1.6 Faktor risiko retinopati diabetikum............................................... 9

1.7 Patogenesis retinopati diabetikum .............................................. 11

1.8 Patofisiologi retinopati diabetikum ............................................. 13

1.9 Klasifikasi retinopati diabetikum ................................................ 13

1.10 Penegakan diagnosis retinopati diabetikum ................................ 18

1.11 Tatalaksana retinopati diabetikum .............................................. 19

1.12 Diagnosis banding retinopati diabetikum ................................... 21

1.13 Komplikasi retinopati diabetikum .............................................. 21

BAB 2 JOURNAL READING ........................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................40


BAB I

TINJAUAN PUSTAKA: RETINOPATI DIABETIKUM

1.1 Anatomi Retina


Retina adalah bagian mata yang sensitif terhadap cahaya yang terletak di
segmen posterior mata. Retina merupakan struktur yang terorganisasi
memberikan informasi visual ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks
visual. Retina berkembang dari cawan optikus eksterna yang mengalami
invaginasi mulai dari akhir empat minggu usia janin.
Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm
(diameter dari depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5
mm kemudian mencapai pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7-8
tahun. Dari ukuran tersebut, retina menempati dua pertiga sampai tiga perempat
bagian posterior dalam bola mata. Total area retina 1.100 mm2 . Retina melapisi
bagian posterior mata, dengan pengecualian bagian nervus optikus, dan
memanjang secara sirkumferensial anterior 360 derajat pada ora serrate. Tebal
retina rata-rata 250 µm, paling tebal pada area makula dengan ketebalan 400
µm, menipis pada fovea dengan ukuran 150 µm, dan lebih tipis lagi pada ora
serrata dengan ketebalan 80 µm.
Retina mendapatkan vaskularisasi dari arteri oftalmika (cabang pertama
dari arteri karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama
nervus optikus). Arteri siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar dan
tengah, termasuk lapisan pleksiform luar, lapisan fotoreseptor, lapisan inti luar,
dan lapisan epitel pigmen.

Gambar 1. Anatomi retina

5
1.2 Histologi retina
Permukaan luar retina berhubungan dengan koroid, sedangkan permukaan
dalamnya berhubungan dengan badan vitreous. Retina memiliki 10 lapisan, yang
terdiri dari (dari luar ke dalam):
1. epitel pigmen
2. batang dan kerucut
3. membran limitans eksterna
4. lapisan inti luar
5. lapisan pleksiform luar
6. lapisan inti dalam
7. lapisan pleksiform dalam
8. lapisan sel ganglion
9. lapisan serat saraf
10. membran limitans interna.

Gambar 2. Histologi retina

1.3 Fisiologi retina


Retina adalah bagian mata yang paling kompleks dan paling sensitif
terhadap cahaya. Retina memiliki lapisan fotoreseptor berisi sel batang dan
kerucut yang memiliki peran dalam menangkap stimulus cahaya lalu
mentransmisikan impuls melalui nervus optikus ke korteks visual bagian
6
oksipital.
Fotoreseptor tersusun rapi pada bagian terluar avaskuler retina dan banyak
terjadi perubahan biokimia untuk proses melihat. Komposisi sel kerucut lebih
banyak pada bagian makula (fovea) dan sedikit pada bagian perifer, sedangkan
sel batang densitasnya tinggi pada bagian perifer dan sedikit pada bagian makula
(fovea). Sel kerucut berfungsi untuk melihat warna dan saat siang hari sehingga
fovea bertanggung jawab pada penglihatan warna dan cahaya banyak. Sel
batang, mengandung pigmen fotosensitif rhodopsin, berfungsi untuk melihat
warna hitam putih dan saat malam hari sehingga bagian perifer bertanggung
jawab untuk penglihatan gelap pada malam hari.
Retina juga memiliki lapisan neural yang terdiri dari sel bipolar, sel
ganglion, sel horizontal, dan sel amakrin. Sel bipolar tersebar di retina dan
bertugas menghubungkan sel fotoreseptor (postsinaps sel batang dan kerucut)
dan sel ganglion. Sel ganglion memberikan akson yang akan bergabung dengan
serabut nervus optikus ke otak. Sel horizontal t terletak pada lapisan pleksiform
luar dan berfungsi sebagai interkoneksi sel bipolar dengan sel bipolar lainnya.
Sel amakrin terletak pada lapisan pleksiform dalam dan berfungsi sebagai
penghubung sel bipolar dengan sel ganglion.
Selain itu, retina juga memiliki sel glia atau sel pendukung yang terdiri dari
sel Muller, astrosit, dan sel mikroglia. Sel Muller terletak pada lapisan inti
dalam dan memberikan ketebalan ireguler yang memanjang sampai ke lapisan
pleksiform luar. Sel astrosit tertutup rapat pada lapisan serabut saraf retina. Sel
mikroglia berasal dari lapisan mesodermal dan bukan merupakan sel neuroglia.

Gambar 3. Fisiologi retina


7
1.4 Definisi
Retinopati diabetika adalah kelainan mata pada pasien diabetes yang
disebabkan kerusakan kapiler retina dalam berbagai tingkatan sehingga
menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari yang ringan sampai berat bahkan
sampai menjadi kebutaan permanen

1.5 Epidemiologi
Retinopati diabetika adalah salah satu penyebab utama kebutaan di negara-
negara Barat, terutama diantara usia produktif. Berdarkan penelitian yang
dilakukan Amerika oleh Wiconsin Epidemiologic study of Diabetic Retinopathy
(WSDR), membagi prevalensi penderita retinopati menjadi dua kelompok yaitu
onset muda dan onset tua. Onset muda adalah pasien yang didiagnosis diabetes
sebelum 30 tahun dengan terapi insulin dan onset tua adalah pasien yang
didiagnosis diabetes setelah 30 tahun. Pada onset muda, 71% terdiagnosis
dengan retinopati, 23% terkena retinopati diabetika proliferatif dan 6%
terdiagnosis clinicially significant macular edema (CMSE). Pada onset tua,
pasien retinopati dengan pengobatan insulin sebesar 70% dan tanpa pengobatan
39%. Pada pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 3% proliferatif dan 14%
CMSE, sedangkan dengan yang pengobatan insulin 14% mencapai proliferatif
dan 11% CMSE. Di Eropa, berdasarkan penelitian survey populasi di Melton
Mowray, England prevalensi retinopati pada pasien dengan pengobatan insulin
sebesar 41% dan pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 52%. Data dari
western Scotland prevalensi retinopati diabetika sebesar 26,7% dan retinopati
serius (RDNP, RDP, Makula) sekitar 10%. Bedasarkan penelitian 3 populasi
besar di Australia, prevalensi retinopati sebesar 29,1% pada pasien DM pada 40
tahun atau lebih pada penelitian The Melbourne Visual Impairment Project, 32,4
% pada pasien di atas 49 tahun oleh The Blue Mountains Eye Study dengan
tanda proliferatif sebesar 1,6% dan makula sebesar 5,5% Di negara-negara Asia,
prevalensi diabetes mengalami peningkatan selama beberapa dekade, tetapi
informasi retinopati di Asia masih sangat terbatas.14 The Aravind Eye Disease
Survey di India Selatan , prevalensi retinopati pada pasien DM diatas 50 tahun
adalah 27%.

8
1.6 Faktor risiko
1) Jenis Kelamin
Berdasarkan WSDR, pada penderita dibawah 30 tahun kejadian
proliferatif lebih sering terjadi pada pria dibandingakan dengan wanita,
walaupun tidak ada perbedaan yang bermakna untuk progesivitas dari
retinopatinya. Sedangkan pada penderita diatas 30 tahun tidak ada
perbedaan yang bermakna untuk kejadian maupun progesivitas antara
pria maupun wanita.
2) Ras
Perbedaan prevalensi retinopati diabetika pada ras dapat terjadi akibat
kombinasi beberapa hal antara lain akses ke fasilitas kesehatan, faktor
genetik dan faktor resiko retinopati lainnya.
3) Umur
Pada diabetes tipe 1, prevalensi dan keparahan berhubungan dengan
umur. Retinopati jarang terjadi pada pasien dibawah 13 tahun, kemudian
meningkat sampai umur 15-19 tahun, lalu mengalami penurunan
setelahnya. Pada pasien diabetes tipe 2, kejadian retinopati meningkat
dengan bertambahnya umur.
4) Durasi Diabetes
Lamanya mengalami diabetes merupakan faktor terkuat kejadian
retinopati. Pervalensi retinopati pada pasien diabetes tipe 1 setelah 10-15
tahun sejak diagnosis ditegakkan antara 20-50%, setelah 15 tahun
menjadi 75-95% dan mencapai 100% setelah 30 tahun.3 pada diabetes
tipe 2 prevalensi retinopati sekita 20% sejak diagnosis ditegakkan dan
meningkat menjadi 60-85% setelah 15 tahun
5) Hiperglikemi
Berdasarkan penelitian WSDR ditemukan bahwa pada pasien diabetes
dengan retinopati memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak terdiagnosis retinopati.14 Sehingga
kadar gula darah yang tinggi berpengaruh terhadap kejadian retinopati
diabetika.

9
6) Hipertensi
Hipertensi merupakan komorbid tersering pasien retinopati dengan
diabetes, 17% pasien retinopati diabetika tipe 1 memiliki hipertensi dan
25% pasien menjadi memiliki hipertensi setelah 10 tahun terdiagnosis
retinopati diabetika. Hipertensi berperan dalam kegagalan autoregulasi
vaskularisasi retina yang akan memperparah patofisiologi terjadinya
retinopati diabetika
7) Hiperlipidemia
Dislipedemia mempunyai peranan penting pada retinopati proliferatif
dan makula.14 Dislipidemia berhubungan dengan tebentuknya hard
exudate pada penderita retinopati. Berdasarkan penelitian WESDR, hard
exudate lebih banyak terdapat pada pasien diabetes tanpa pengobatan
oral hypolipidemic
8) Insulin endogen
Kadar plasma C-Peptide merupakan penanda rendahnya kadar insulin
endogen. Pada penelitiam WESDR pasien dengan retinopati memiliki
kadar C-peptide plasma yang rendah, tetapi kadar C-peptide sendiri tidak
berpengaruh terhadap progesivitas retinopati.
9) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh berhubungan dengan diagnosis dan keparahan
retinopati pada penderita diatas 30 tahun tanpa pengobatan insulin.
Mereka yang underweight (BMI memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk
terkena retinopati dibandingkan dengan BMI normal.
10) Kehamilan
Retinopati diabetika mengalami progesivitas yang cepat pada saat
kehamilan. Progresivitas retinopati lebih meningkat lagi pada kehamilan
dengan preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak.
11) Inflamasi
Keadaan inflamasi menyebab disfungsi vaskular yang menjadi faktor
patogenesis pada diabetes tipe 2

10
1.7 Patogenesis
Hiperglikemia kronik merupakan faktor utama terjadinya retinopati
diabetika. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diabetes Control and
Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pasien yang mendapat terapi
insulin dengan kadar HbA1c dibawah 7% lebih jarang terjadi retinopati yang
progresif dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi insulin. Beberapa
proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia dan menimbulkan terjadinya
retinopati diabetika antara lain
1) Aktivasi jalur poliol
Pada hiperglikemik terjadi peningkatan enzim aldose reduktase yang
meningkatan produksi sorbitol. Sorbitol adalah senyawa gula dan
alkohol yang tidak dapat melewati membran basalis sehingga tertimbun
di sel dan menumpuk di jaringan lensa, pembuluh darah dan optik.
Penumpukan ini menyebabkan peningkatan tekanan osmotik yang
menimbulkan gangguan morfologi dan fungsional sel. Konsumsi
NADPH selama peningkatan produksi sorbitol menyebabkan penigkatan
stress oksidatif yang akan mengubah aktivitas Na/K-ATPase, gangguan
metabolisme phopathydilinositol, peningkatan produksi prostaglandin
dan perubahan aktivitas protein kinase C isoform.
2) Glikasi Nonenzimatik
Kadar glukosa yang berlebihan dalam darah akan berikatan dengan asam
amino bebas, serum atau protein menghasilkan Advanced gycosilation
end product (AGE). Interaksi antara AGE dan reseptornya menimbulkan
inflamasi vaskular dan reactive oxygen species (ROS) yang berhubungan
dengan kejadian retinopati diabetika proliferatif
3) Dialsilgliserol dan aktivasi protein C
Protein kinase C diaktifkan oleh diasilglierol dan mengaktifkan VEGF
yang berfungsi dalam proliferasi pembuluh darah baru. Pada
hiperglikemik terjadi peningkatan sintesis diasilgliserol yang merupakan
regulator protein kinase C dari glukosa

11
Gambar 4. Patogensis retinopati diabetik (1)

Gambar 5. Patogensis retinopati diabetik (2)

12
1.8 Patofisiologi
Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetika terletak pada
kapiler retina. Dinding kapiler terdiri dari 3 lapisan dari luar ke dalam yaitu sel
perisit, membrana basalis dan sel endotel, perbandingan jumlah sel perisit dan
sel endotel kapiler retina adalah 1 : 1. Sel perisit berfungsi untuk
mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktibilitas, mempertahankan
fungsi barier, transportasi kapiler dan proliferasi sel endotel; membrana basalis
berfungsi untuk mempertahankan permeabilitas; sel endotel bersama dengan
matriks ekstra sel dari membrana basalis membentuk pertahanan yang bersifat
elektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul termasuk fluoroscein yang
digunakan untuk diagnosis kapiler retina.
Perubahan histopatologi pada retinopati diabetika dimulai dari penebalan
membrana basalis, dilanjutkan dengan hilangnya sel perisit dan meningkatnya
proliferasi sel endotel, sehimgga perbandingan sel endotel dan sel perisit
menjadi 10 : 1,7.
Patofisiologi retinopati diabetika melibatkan 5 proses yang terjadi di
tingkat kapiler yaitu:
1) Pembentukan mikroaneurisma
2) Peningkatan permeabilitas
3) Penyumbatan
4) Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular) dan pembentukan
jaringan fibrosis
5) Kotraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus

1.9 Klasifikasi

Retinopati diabetika secara umum dapat dibagi menjadi dua berdasarkan


ada tidaknya pembuluh darah baru pada retina yaitu nonproliferatif dan
proliferatif. Menurut Early Treatment Retinopati Research Study Group
(ETDRS) retinopati dibagi atas dua stadium yaitu :

1. Retinopati Diabetika Nonproliferatif (RDNP)

RDNP adalah bentuk retinopati yang paling ringan dan sering tidak
memperlihatkan gejala. Cara pemeriksaannya dengan menggunakan foto

13
warna fundus atau fundal fluoroscein angiography (FFA).
Mikroaneurisma merupakan tanda awal terjadinya RDNP, yang terlihat
dalam foto warna fundus berupa bintik merah yang sering di bagian
posterior. Kelainan morfologi lain antara lain penebalan membran
basalis, perdarahan ringan, hard exudate yang tampak sebagai bercak
warna kuning dan soft exudate yang tampak sebagai bercak halus
(Cotton Wool Spot). Eksudat terjadi akibat deposisi dan kebocoran
lipoprotein plasma. Edema terjadi akibat kebocoran plasma. Cotton wool
spot terjadi akibat kapiler yang mengalami sumbatan.

Gambar 6. Retina normal

Gambar 7. Retinopati diabetik

14
RDNP selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga stadium:

a. Retinopati nonproliferatif minimal

Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena,


mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat
keras.

b. Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang

Terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena derajat ringan,
perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA.

c. Retinopati nonproliferatif berat

Terdapat satu atau lebih tanda berupa perdarahan dan


mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2
kuadran, IRMA ekstensif minimal pada 1 kuadran

d. Retinopati nonproliferatif sangat berat

Ditemukan dua atau lebih tanda pada retinopati nonproliferatif


berat

Gambar 7. RDNP

15
2. Retinopati Diabetika Proliferatif (RDP)

Retinopati diabetika proliferatif ditandai dengan terbentuknya pembuluh


darah baru (Neovaskularisasi). Dinding pembuluh darah baru tersebut
hanya terdiri dari satu lapis sel endotel tanpa sel perisit dan membrana
basalis sehingga sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan.
Pembentukan pembuluh darah baru tersebut sangat berbahaya karena
dapat tumbuh menyebar keluar retina sampai ke vitreus sehingga
menyebabkan perdarahan di vitreus yang mengakibatkan kebutaan.
Apabila perdarahan terus berulang akan terbentuk jaringan sikatrik dan
fibrosis di retina yang akan menarik retina sampai lepas sehingga terjadi
ablasio retina. RPD dapat dibagi lagi menjadi:

a. Retinopati proliferatif tanpa resiko tinggi

Bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD)


yang mencakup lebih dari satu per empat daerah diskus tanpa
disertai perdarahan preretina atau vitreus; atau neovaskular di
mana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina
atau vitreus

b. Retinopati proliferatif resiko tinggi

Apabila ditemukan 3 atau 4 faktor risiko berikut:

• Ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina

• Ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus


optikus

• Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat


yang mencakup lebih dari satu per empat daerah diskus

• Perdarahan vitreus

• Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus


optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang
disertai perdarahan, merupakan dua gambaran yang
paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif

16
dengan resiko tinggi.

Gambar 9. NDPR, PDR

Gambar 10. NDPR, PRD (2)

17
Gambar 11. NPDR, PRD (3)

1.10 Penegakan diagnosis


 Anamnesis
Dari anamnesis, pasien retinopati diabetik akan mengeluhkan
penglihatan kabur progresif, melihat floaters, atau penglihatan seperti
terowongan. Pasien dengan retinopati hipertensi juga dapat mengeluhkan
hal yang sama seperti penglihatan kabur, penglihatan ganda, sakit
kepala, dan penyempitan lapang pandang. Gejala-gejala ini umumnya
dikeluhkan pasien pada tahap lanjut retinopati.

18
 Pemeriksaan oftalmologi

Pemeriksaan oftalmologi retinopati diabetik menunjukkan perubahan


pada retina berupa mikroaneurisma, perdarahan, eksudat deposit lemak,
perubahan kaliber vena, dan neovaskularisasi. Tanda-tanda tersebut
bervariasi mulai dari fase nonproliferatif sampai berprogresi menjadi
retinopati diabetik proliferatif.

1.11 Tatalaksana
Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan.
Hal ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi
perkembangan retinopati diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.
1. Skrining Retinopati Diabetik
Untuk mencegah gangguan penglihatan akibat retinopati diabetik,
skrining dan follow up merupakan langkah intervensi yang penting.
Rekomendasi untuk dilakukannya pemeriksaan funduskopi yang
periodik adalah :
o Setiap tahun.
o Setiap 6 bulan pada moderate NPDR
o Setiap 3 bulan, pada severe NPDR
o Setiap 2 bulan, pada PDR risiko rendah
2. Kontrol Faktor Risiko Sistemik
Hal ini akan mempengaruh prognosis dan efek dari terapi laser.
o Kontrol Gula Darah
o Kontrol Tekanan Darah
o Kontrol Hiperlipidemia
3. Fotokoagulasi
Pembedahan fotokoagulasi laser merupakan teknik standar pada
penatalaksanaan retinopati diabetik. Umumnya, hal ini dianjurkan pada
pasien dengan diabetik retinopati high-risk, CSME, atau neovaskularisasi
pada sudut ruang anterior. Pasien dengan CSME seharusnya dilakukan
fotokoagulasi laser fokal, khususnya jika pusat dari makula terpengaruh
atau jika retina menipis / hard exudate yang sangat berdekatan dengan
makula.

19
Teknik fotokoagulasi laser dapat diklasifikasikan, yakni panretinal, fokal,
atau grid. Fotokoagulasi panretina, disebut juga fotokoagulasi scatter,
digunakan pada penanganan RPD dan secara tidak langsung pada
penanganan neovaskularisasi pada nervus optik, permukaan retina, atau
sudut ruang anterior dengan cara laser untuk menghanguskan daerah perifer
fundus. Hal tersebut dapat dilakukan lebih dari satu kali. Fotokoagulasi
fokal dan grid digunakan pada penatalaksanaan diabetic macular edema.
Fotokoagulasi fokal menggunakan cahaya, membakar ukuran kecil pada
kebocoran mikroaneurisma di makula (menyerupai fotokoagulasi panretina
tapi efek terbakar yang lebih kecil) ke daerah timbulnya edema makula dari
kebocoran kapiler difusi atau tampak nonperfusi pada angiografi
fluoresensi. Jenis-jenis fotokoagulasi :
1) Teknik Scatter
Indikasi:
o Retinopati diabetic proliferative dengan high risk
o Neovaskularisasi pada iris
o Pasien yang jarang mengontrol retinopatinya
o Sebelum operasi katark/capsulotomi
o Gangguan ginjal
o Ibu hamil
2) Teknik fokal
Indikasi:
o Edema macula
Ditunjukan pada mikroaneurisma atau lesi mikrovaskular di
tengah cincin hard exudates yang terletak 500 – 3000 mikrometer
dari tengah fovea
3) Teknik Grid
Indikasi:
o Edema macula
Penggunaan sinar laser dimana pembakaran dengan bentuk kisi-
kisi diarahkan pada daerah edema yang difus

20
Dengan merangsang regresi pembuluh-pembuluh baru, fotokoagulasi laser pan-
retina (PRP) menurunkan insidens gangguan penglihatan berat akibatretinopati
diabetik proliferatif hingga 50 %. Obat-obatan anti VEGF tampak menjanjikan
sebagai terapi tambahan untuk mengurangi insidens perdarahan retina
kambuhan pasca operasi.

1.12 Diagnosis banding

A. Ocular ischemic syndrome


Dapat terjadi unilaeral. Arteri retina mengecil, perdarahan retina iskemik khas pada
pertengahan retina perifer (mid-peripheral).
B. Hypertensive retinopathy
Perdarahan retina superfisial dan flame-shaped, khususnya pada polus posterior.
Hal ini tergantung pada beratnya hipertensi, soft exudate dan papil edema dapat
terlihat.

1.13 Komplikasi
A. Rubeosis Iridis
Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap
adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata
maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik. Komplikasi ini
sering terjadi pada pasien PDR, dan jika memberat dapat menyebabkan glaukoma
neovaskular. Rubeosis iridis umumnya terjadi apabila terdapat iskemi retina yang
berat atau ablasio retina setelah vitrektomi pars plana yang tidak berhasil.
B. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang terjadi
akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan
anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat
meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular ini
adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan
glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular pada iris
(rubeosis iridis). Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai
percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler
pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati

21
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan akuos dengan akibat tekanan intra okular meningkat dan keadaan
sudut masih terbuka.

22
BAB II JOURNAL READING

Retinopati Diabetikum : Pemahaman, mekanisme, dan strategi pengobatan masa kini


Elia J. Duh1, Jennifer K. Sun2, Alan W. Stitt3
Institut Oftalmologi Wilmer, Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins, Baltimore, Maryland,
Amerika. Pusat Diabetes Joslon, Sekolah Kedokteran Harvard, Boston

Tantangan klinis Retinopati Diabetikum


Prevalensi global diabetes mellitus diperkirakan akan meningkat secara dramatis dalam beberapa dekade
mendatang, dari perkiraan 382 juta pada 2013 menjadi 592 juta pada 2035 (1, 2). Diabetes tipe 2 (DT2)
khususnya telah mencapai tingkat epidemi, sedangkan insiden diabetes tipe 1 (DT1) meningkat (3). Pasien
dengan diabetes menderita banyak komplikasi yang membatasi hidup dan mengancam jiwa, termasuk
stroke terkait penyakit makrovaskular, penyakit jantung iskemik, dan penyakit arteri perifer dan / atau
retinopati terkait penyakit mikrovaskular, neuropati, dan nefropati. Retinopati Diabetikum (RD) adalah
komplikasi mikrovaskular diabetes yang paling umum (4). Meskipun beberapa laporan menunjukkan
bahwa kejadian gangguan penglihatan akibat RD telah menurun dalam beberapa tahun terakhir di sebagian
besar Amerika Serikat karena perbaikan dalam kontrol sistemik (5), RD merupakan masalah yang
berkembang secara global. RD saat ini mempengaruhi hampir 100 juta orang di seluruh dunia dan akan
menjadi beban kesehatan yang terus meningkat, dengan perkiraan antara 1990 dan 2010 menunjukkan
bahwa gangguan penglihatan dan kebutaan terkait RD meningkat masing-masing sebesar 64% dan 27% (6).

Klasifikasi RD dan faktor risiko.


Berdasarkan manifestasinya yang jelas selama perkembangan RD, lesi mikrovaskular telah digunakan
sebagai kriteria utama untuk mengevaluasi dan mengklasifikasikan retina pada RD. Namun, perubahan
yang diinduksi oleh diabetes juga terjadi pada tipe sel nonvaskular yang memainkan peran penting dalam
pengembangan dan perkembangan RD, meskipun bersamaan dengan pembuluh darah. RD jatuh ke dalam 2
kategori besar: tahap awal retinopati diabetikum nonproliferatif (RDNP) dan tahap lanjut dari retinopati
diabetikum proliferatif (RDP). Klasifikasi RDNP didasarkan pada temuan klinis yang terlihat terlihat,
termasuk mikroaneurisma, perdarahan retina, kelainan mikrovaskuler intraretinal (IRMA), dan perubahan
kaliber vena (Gambar 1), sedangkan RDP ditandai dengan ciri khas neovaskularisasi patologis preretinal
(3). Sementara tanda-tanda RD yang terlihat dapat memberikan langkah-langkah yang berguna untuk
mendeteksi dan mendiagnosis, teknologi yang semakin berkembang telah memungkinkan untuk mendeteksi
kelainan patologi yang rumit seperti defisit fungsi retina dan kelainan lapisan saraf pada pasien (7, 8).
Sebuah kategorisasi tambahan penting dalam RD adalah diabetes makula edema (DME), yang merupakan
manifestasi penting dari RD yang terjadi di semua tingkat keparahan RD baik RDNP dan RDP dan
merupakan penyebab paling umum dari hilangnya penglihatan pada pasien dengan RD. DME muncul dari
rusaknya sawar darah retina akibat diabetes, dengan konsekuensi berupa kebocoran cairan pada pembuluh
darah dan sirkulasi protein ke dalam saraf retina (3, 9, 10). Ekstravasasi cairan ke dalam saraf retina
menyebabkan penebalan retina yang abnormal dan juga edema sistoid makula.
Banyak fitur sistemik dari diabetes yang dapat mempengaruhi RD. Misalnya, hiperglikemia yang terkait
erat dengan RD seperti yang telah dibuktikan oleh uji klinis skala besar. Uji Kontrol dan Komplikasi
Diabetes / The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) untuk Diabetes tipe 1 (11) dan Uji Coba
Diabetes Prospektif Inggris (UKPDS) untuk diabetes tipe 2 (12) melakukan kontrol glikemik secara intensif
yang dinilai dari hemoglobin A1c (HbA1c) untuk menunda inisiasi dan perkembangan dari komplikasinya,
meskipun untuk menghindari terjadinya hipoglikemi dapat membuat kontrol intensif menjadi sebuah
tantangan bagi banyak pasien. Pentingnya manajemen glikemia sedini mungkin selama berjalannya
penyakit diabetes ditekankan oleh bukti klinis dan praklinis yang kuat yang menunjukkan dampak jangka
panjang dari kontrol glikemik secara intensif. Studi yang dilakukan oleh Epidemiologi Intervensi dan
Komplikasi Diabetes (EIKD) merupakan follow up versi observasional dari studi kohort oleh DCCT pada
individu yang awalnya menerima kontrol glikemik secara intensif maupun terapi konvensional. Meskipun
kedua kelompok kemudian menjalani kontrol glikemik intensif pada tahun-tahun berikutnya yang dicakup
oleh studi EDIC, kelompok yang menerima kontrol intensif oleh DCCT terus menunjukkan menurunnya
insiden perkembangan lebih lanjut dari stadium keparahan retinopati diabetikum. Dampak dari kontrol
intensif awal ini disebut sebagai memori metabolik (terkadang disebut glikemik) (13), dan pada pasien
DCCT / EDIC, terdapat bukti asosiatif dari menumpuknya produk akhir glikasi lanjutan / advanced
glycation endproduct (AGE), berikatan dengan protein yang hidup dalam jangka panjang, dengan risiko
retinopati (14). Apakah hiperglikemia bertanggung jawab atas efek persisten dari diabetes yang tidak
terkontrol tetap menjadi pertanyaan penting. Namun, konsep memori metabolik tetap menjadi area
penyelidikan intensif. Fenomena memori memiliki dukungan dari penelitian yang menggunakan model
hewan dengan retinopati diabetikum yang dikembalikan ke normoglikemia (dicapai dengan menggunakan
terapi insulin). Sebagai contoh, kerusakan oksidatif yang dimediasi oleh hiperglikemia (15) mengganggu
fungsi dari faktor transkripsi kunci, (16) dan perubahan pada enzim yang mengendalikan rantai transpor
elektron dipertahankan dalam retina hewan bahkan setelah beberapa bulan normoglikemia. Banyak dari
jalur ini dapat menjadi tidak teratur mengikuti metilasi DNA dan histon. Sekarang, terdapat bukti praklinis
yang meyakinkan bahwa modifikasi epigenetik itu berhubungan dengan fenomena memori metabolik yang
tidak hanya untuk retinopati, tetapi juga komplikasi lainnya (17). Menariknya, sebuah studi transkriptomik
pada retina tikus diabetes yang menerima transplantasi sel islet yang memproduksi insulin, menyarankan
bahwa perubahan gen yang berkaitan dengan memori metabolik mungkin berhubungan dengan unit
neurovaskular (18).
Dislipidemia dan hipertensi juga dapat mempengaruhi RD (19), meskipun dalam konteks pasien individu,
hubungan antara lipid plasma, lipoprotein, dan RD tidak cukup kuat untuk menetapkan risiko retinopati.
Demikian juga, hipertensi telah dikaitkan dengan meningkatnya risiko RD (20), dan beberapa data
menunjukkan bahwa pasien dapat mengambil manfaat dari penggunaan agen antihipertensi (21). Namun,
penelitian terbaru menunjukkan bahwa kontrol tekanan darah yang lebih intensif tidak memberikan manfaat
tambahan pada perkembangan retinopati bila dibandingkan dengan kontrol standar (22). Secara
keseluruhan, optimalisasi faktor risiko sistemik jelas sangat penting. Namun, bahkan hiperglikemia (yang
diukur dengan HbA1c) hanya dapat menyebabkan sekitar 10% risiko RD (23), dan gabungan terjadinya
hipertensi dan dislipidemia berisiko <10% dalam beberapa uji kohort (24). Data tersebut sangat
menyarankan bahwa faktor-faktor tambahan yang tidak teridentifikasi juga memainkan peran penting
dalam inisiasi dan perkembangan RD.

Lesi vaskular retina dan gejala sisa patogen diabetes


Ciri-ciri mikrovaskular dari RDNP (Gambar 1) termasuk perdarahan intraretinal, mikroaneurisma, kelainan
kaliber vena, pembentukan IRMA, eksudat lipid dari pembuluh darah yang rusak, non-perfusi kapiler
disertai infark neuron yang ditandai dengan cotton-wool spot, dan neovaskularisasi retina. Lesi vaskuler
retina, yang telah ditandai dengan baik secara histologis pada mata manusia postmortem dan pada beberapa
model praklinis jangka panjang, didahului dan / atau disertai dengan penebalan membran basal vaskular,
hilangnya pericytes, dan akhirnya kematian sel endotel yang mendasari patologi vasodegeneratif yang
merupakan gambaran awal dari RD (ref. 25–28; ditinjau oleh ref. 29, 30). Beberapa proses patologis
pembuluh darah retina pada RD memiliki dampak langsung pada penglihatan. Pada RDNP, nonperfusi
bertahap dari vaskular retina, ditandai dengan hilangnya integritas pembuluh darah, pada akhirnya
menyebabkan oklusi atau degenerasi kapiler (3). Kapiler yang tidak dapat perfusi secara lokal dapat
menyebabkan iskemia dan gangguan oksigenasi dari neuron retina yang diperlukan untuk proses
metabolisme. Kapiler yang tidak mendapatkan perfusi secara terus menerus dapat menjadi iskemia dan
akhirnya berkembang menjadi Retinopati diabetikum proliferatif, yang disebabkan oleh hipoksia dan
ekspresi faktor pertumbuhan proangiogenik yang dapat merangsang pembentukan pembuluh darah baru
yang menyimpang di retina dan menjorok ke ruang preretinal.
Gambar 1. Lesi patologis retinopati diabetik. (A) Skema bergambar retina normal bila dibandingkan dengan
retinopati diabetik nonproliferatif (RDNP) dengan edema makula diabetik (EMD). Retina sehat yang normal meliputi
pembuluh darah retina yang sehat, elemen glial termasuk sel Muller, elemen saraf termasuk fotoreseptor, dan
mikroglia dalam posisi istirahat. Sawar darah retina dalam dan luar masih utuh. Sebaliknya, retina pada diabetes
retinopati diabetikum menunjukkan beberapa kelainan, termasuk perubahan vaskular (mikroaneurisma, manik-manik
vena, degenerasi kapiler, dan neovaskularisasi)
lesi yang terkait dengan kerusakan vaskular (bintik-bintik kapas dan eksudat), disfungsi glial termasuk
pembengkakan sel Muller, kerusakan neuronal, mikroglia yang telah teraktivasi, kerusakan pada epitel pigmen retina,
dan penipisan koriokapilaris. terdapat disfungsi sawar darah retina bagian dalam dan luar, yang menyebabkan
terakumulasinya cairan pada retina, dapat terlihat dengan adanya penebalanpada lapisan retina, kista, dan cairan
subretinal. (B) Terlihat gambaran fotografi fundus berwarna dan OCT dari retina sehat yang normal dan retina
dengan RDNP parah dengan EMD. Diilustrasikan oleh Rachel Davidowitz.
Neurovaskularisasi retina dapat menyebabkan hilangnya penglihatan yang parah apabila terjadi perdarahan
vitreous atau ablasi retina traksi (3). Proses patologis utama lainnya adalah EMD, yang ditandai dengan
pemecahan sawar darah retina yang menyebabkan edema makula dan pembengkakan neuropile, yang
sering menyebabkan hilangnya penglihatan.
Sebuah misteri lama dalam RD dan retinopati iskemik lainnya adalah kurangnya revaskularisasi retina
iskemik, meskipun terdapat stimulus hipoksia yang kuat dan peningkatan produksi faktor pertumbuhan
proangiogenik. Memang kondisi retina pada pengidap diabetes tampaknya tidak memungkinkan untuk
untuk dilakukan reparasi angiogenesis, mungkin karena adanya faktor patogen seperti AGE (3). Baru-baru
ini, telah ada bukti yang menunjukan peran semaforin, suatu kelas protein yang awalnya terlibat dalam
kerucut pertumbuhan aksonal. Beberapa molekul semaphorin mengatur angiogenesis, dan beberapa
semaphorin - termasuk semaphorin 3A (31), semaphorin 3F (32), dan semaphorin 6A (33) - secara khusus
terlibat dalam menekan respon revaskularisasi pada retina yang iskemik dan mengarahkan pembuluh darah
masuk ke vitreous. Karena faktor proangiogenik dalam RD menyebabkan neovaskularisasi preretinal yang
patologis daripada yang bermanfaat, upaya ekstensif telah dilakukan selama beberapa dekade untuk
mengidentifikasi faktor pertumbuhan proangiogenik utama dalam RDP, seperti VEGF (34). Sebagai
hasilnya, perawatan anti-VEGF telah muncul sebagai pendekatan yang efektif untuk pengobatan pada
kondisi ini (35, 36), walaupun banyak jalur proangiogenik tambahan kemungkinan juga akan berfungsi
sebagai target terapi, termasuk faktor pertumbuhan plasenta (37), faktor-1 yang berasal dari stroma (38),
dan eritropoietin (39). Peningkatan dalam memahami dasar molekuler dari kedua neovaskularisasi
patologis dan revaskularisasi yang kurang, dapat menghasilkan target terapi baru yang dapat menekan
angiogenesis menyimpang yang mendukung revaskularisasi.

Mengevaluasi Retina diabetik


Meskipun fotografi fundus berwarna dengan standar 7 bidang berdasarkan protokol Early Treatment
Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) (40) telah menjadi standar tervalidasi untuk evaluasi RD selama
beberapa dekade, kemajuan substansial dalam pencitraan okuler selama 2 dekade terakhir telah
memberikan wawasan baru ke dalam patologi diabetes vaskular dan neuroretinal. Foto-foto fundus
berwarna dengan bidang ultrawide dan angiogram fluorescein kini dapat menangkap 200º (atau lebih dari
80%) retina dalam satu gambar, yang memberikan pemahaman lebih baik mengenai perubahan perifer pada
retina diabetes. Memang keparahan lesi pada RD perifer merupakan prediksi akan terjadinya perburukan
pada RD di masa depan (41). Foto retina yang menggunakan teknologi optik adaptif untuk
mengkompensasi penyimpangan gelombang di mata masing-masing memungkinkan pencitraan dengan
batas resolusi teoritis hingga 2 μm dan telah memperluas kemampuannya untuk memvisualisasikan retina
pada tingkat seluler. Studi optik adaptif menunjukkan adanya perubahan pada mosaik fotoreseptor sel
kerucut pada mata diabetik (42) dan memungkinkan adanya perubahan awal pada vaskular yang tidak dapat
diidentifikasi pada foto standar (43).
Optical coherence tomography (OCT) adalah pilihan yang banyak digunakan untuk pencitraan saraf retina
diabetes yang menggunakan interferometri cahaya untuk membuat gambar cross-sectional retina di mana
lapisan retina pada individu dapat dibedakan. OCT memungkinkan pengukuran kuantitatif pada ketebalan
retina, serta evaluasi perubahan morfologis mata dengan RD dan EMD. Biomarker neuroretinal dari
ketajaman visual pada mata dengan EMD berdasarkan pencitraan OCT diperlukan, termasuk penipisan
lapisan sel ganglion, disorganisasi lapisan dalam retina, dan gangguan fotoreseptor, meskipun masih
diperlukan validasi lebih lanjut (44-47). Baru-baru ini, teknik angiografi OCT juga telah digunakan untuk
membuat peta perfusi resolusi tinggi dari pembuluh darah retina sentral (48).
Baik full-field dan multifocal electroretinography (ERG) menunjukkan adanya kelainan sinyal listrik retina
pada mata diabetes. Perubahan lokal dalam ERG multifokal tampaknya dapat mendahului perkembangan
lesi RD seperti mikroaneurisma (49).
Penilaian fungsi visual menunjukkan abnormalitas dalam sensitivitas kontras, pengujian warna, perimetri
dobel frekuensi, dan mikroperimetri pada mata diabetes dengan berbagai tingkat keparahan RD; Namun, tes
fungsional ini bersifat tidak sensitif atau tidak cukup spesifik untuk digunakan sebagai pengganti atau
penanda prediktif RD atau DME yang dapat diandalkan. Upaya di masa depan dalam pencitraan RD dapat
diarahkan ke evaluasi multimodal retina. Penggunaan metode pencitraan simultan atau hampir simultan
yang berfokus pada komponen spesifik dari retina saraf atau vaskular dapat meningkatkan pemahaman
mengenai patologi mana yang berkembang terhadulu pada mata diabetes dan dapat memberikan biomarker
prediktif terhadap hasil fungsi visual masa depan di RD.
Opsi dan batasan perawatan saat ini
Modalitas pengobatan intraokular untuk penyakit mata diabetes bisa berupa fotokoagulasi laser, suntikan
anti-VEGF dan steroid intravitreous, dan operasi vitreoretinal. Paradigma terapeutik saat ini fokus pada
pengobatan penyakit lebih lanjut, setelah RDP atau EMD berkembang.
Panretinal photocoagulation (PRP) untuk RDP pertama kali diusulkan pada 1960-an. Meskipun awalnya
skeptis bahwa penciptaan luka bakar termal di seluruh pinggiran retina dapat menyebabkan regresi
neovaskularisasi retina, kemanjuran PRP dalam mengurangi tingkat kehilangan penglihatan yang parah di
mata dengan RPD dengan cepat dan tidak terbantahkan . Hal ini ditunjukkan ole, Studi Retinopati Diabetic
Diabetic Multicenter (50). ETDRS kemudian mengungkapkan bahwa perawatan laser fokus / grid yang
lebih ringan diterapkan pada retina bagian sentral dapat mengurangi hilangnya penglihatan tingkat sedang
pada mata dengan EMD sebesar 50% selama 3 tahun (51).
Di era modern, beberapa uji klinis fase 3 telah menunjukkan keunggulan injeksi intravitreous anti-VEGF
untuk laser monoterapi dalam mengurangi hilangnya penglihatan dan meningkatkan tingkat kembalinya
penglihatan di mata dengan EMD (52-54). Sebuah studi kemanjuran komparatif terbaru dari 3 agen anti-
VEGF yang paling sering digunakan menunjukkan bahwa ketiga agen - aflibercept, bevacizumab, dan
ranibizumab - efektif dalam meningkatkan penglihatan selama 1 dan 2 tahun pengobatan untuk EMD (55,
56). Namun, rata-rata, pengobatan dengan afiliberept mengembalikan penglihatan yang lebih baik pada 1
tahun dibandingkan dengan bevacizumab dan ranibizumab. Aflibercept tetap lebih unggul daripada
bevacizumab, tetapi tidak lebih baik dari ranibizumab, berdasarkan hasil ketajaman visual rata-rata setelah
2 tahun terapi. Meskipun terapi lini pertama untuk sebagian besar mata dengan EMD yang terlibat di pusat
terdiri dari anti-VEGF, suntikan steroid intravitreous juga efektif untuk pengobatan EMD (57, 58). Namun,
penggunaan steroid intravitreous dibatasi oleh karena efek samping okular yang sering terjadi, seperti
katarak dan glaukoma.
Terapi anti-VEGF sangat efektif dalam meregenerasi neovaskularisasi retina di mata dengan RPD (59).
Data terbaru menunjukkan bahwa anti-VEGF adalah alternatif pengobatan yang layak untuk PRP di mata
dengan RPD, terutama untuk individu dengan EMD yang ada bersamaan dengan yang sudah memerlukan
terapi anti-VEGF. Mata yang diobati selama 2 tahun dengan anti-VEGF untuk RPD memiliki hasil
ketajaman visual yang setara pada dengan mereka yang diobati dengan PRP. Selain itu, mata yang diobati
dengan anti-VEGF menunjukkan rata-rata ketajaman visual yang lebih baik selama seluruh masa studi 2
tahun (36). Keuntungan tambahan anti-VEGF bila dibandingkan dengan PRP terdiri dari lebih sedikit
hilangnya penglihatan perifer, penurunan tingkat onset EMD, dan lebih sedikitnya tidakan vitrektomi yang
dilakukan selama 2 tahun. Terlepas dari manfaat ini, terapi anti-VEGF mungkin tidak optimal bila
diberikan pada pasien yang tidak dapat mematuhi rejimen dan suntikan yang diberikan hampir setiap bulan
dimana diperlukan demi perawatan yang memadai dan untuk mencegah terjadinya kekambuhan RPD.
Bedah vitreoretinal digunakan untuk kasus-kasus perdarahan vitreous yang tidak jelas pada penderita RPD
atau pada kasus-kasus RPD dengan ablasi retina traksi untuk meregangkan ikatan fibrosa yang dapat
mendistorsi retina dan menyebabkan hilangnya penglihatan atau metamorfopsia (60). Vitrektomi dengan
atau tanpa pengelupasan membran pembatas internal juga dapat dilakukan untuk mengobati EMD, terutama
ketika terdapat membran epiretinal atau elemen traksi vitrotein yang mengarah ke penebalan retina.
Meskipun penebalan retina dapat membaik setelah dilakukan vitrektomi pada EMD, hasil penglihatan tidak
pasti. Kira-kira terdapat sepertiga pasien mengalami perbaikan visual yang substansial, namun antara 20% -
30% mengalami kehilangan penglihatan yang substansial setelah operasi.
Meskipun terapi saat ini efektif untuk mencegah kehilangan penglihatan dan sering menghasilkan
keuntungan visual pada pasien dengan RPD dan EMD, masih terdapat kebutuhan perawatan yang belum
terpenuhi. Sebagian besar (40% -50%) mata dengan EMD tidak berespon penuh terhadap pengobatan anti-
VEGF, yang mengharuskan pengembangan terapi terbaru untuk kondisi ini. Pada RPD dan EMD, pilihan
perawatan non-invasif, tidak merusak, dan durasi yang lebih lama juga diperlukan.
Unit neurovaskular: kerangka kerja untuk memahami RD. Kemajuan dalam memahami perubahan awal
seluler dalam retina diabetik yang dikombinasikan dengan membaiknya pencitraan retina telah
menyebabkan konseptualisasi bahwa RD dapat dipandang sebagai penyakit unit neurovaskular retina
(Gambar 2), yang mengacu pada proses coupling secara fungsional dan ketergantungan antar neuron, glia,
dan pembuluh darah (4) yang berintegrasi untuk mengatur fungsi normal retina (61). Aspek penting dari
integrasi ini adalah koordinasi dari perubahan aliran darah lokal dengan naik turunnya kebutuhan
metabolisme. Kapiler pada retina terdiri dari sel endotel dan pericytes, tetapi juga memiliki hubungan
dengan glial endfeet, proses saraf, dan sel imun yang handal seperti mikroglia. Arteriol pada retina
memiliki sel-sel otot polos dan mungkin juga memiliki jumlah pericyte yang signifikan. Sel-sel kontraktil
ini dapat merespon secara dinamis terhadap sinyal sirkulasi dan saraf yang kompleks untuk mengontrol
aliran darah (62). Interaksi seluler ini paling diketahui dalam proses penggabungan neurovaskular, di mana
interaksi sel saraf, glial, dan pembuluh darah di pembuluh darah besar dan kecil mengatur aliran darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme neuropile retina. Respons ini bersifat tidak teratur
Gambar 2. Unit neurovaskular dan gangguannya akibat diabetes. Pada retina yang normal dan sehat (ditunjukkan di
tengah), terdapat coupling fungsional dan ketergantungan antar neuron, elemen glial termasuk sel Muller, dan sel
vaskular, dengan sel imun yang terkait seperti mikroglia. Pada lampiran menunjukkan adanya perubahan patologis
yang terkait dengan retinopati diabetikum pada beberapa komponen unit neurovaskular dan interaksi sel imun,
termasuk interaksi sel mural endotel, kerusakan membran basal vaskular, gliosis sel Müller, dan aktivasi sel imun.
Bersama-sama, perubahan-perubahan ini mengakibatkan gangguan kopling neurovaskular, dengan konsekuensi
kerusakan sawar darah retina dan tidak teraturnya aliran darah retina. Diilustrasikan oleh Rachel Davidowitz.

meskipun dapat mengatur perubahan aliran darah yang terjadi pada model hewan dengan RD (63) dan pada
pasien diabetes (64), respon ini bersifat tidak teratur pada retina diabetik sebelum munculnya lesi vaskular
yang dapat diamati, . Respons pembuluh darah retina terhadap pencahayaan difus yang berkedip
menunjukkan adanya gangguan kopling neurovaskular dan asosiasi endotelial-glia yang abnormal (65),
memberikan hasil akhir berupa respons arteriolar yang dilemahkan dan dilatasi vena (66) yang mungkin
memiliki nilai prediktif awal (67) pada tahap awal RD.
Konsep RD sebagai penyakit neurovaskular meningkatkan rasa apresiasi kami terhadap tipe-tipe sel yang
berkontribusi pada pengembangan dan perkembangan penyakit RD. Selain komponen sel vaskular (sel
endotel dan pericytes), beragam jenis sel retina neuron, elemen makroglial (sel Muller dan astrosit), dan
mikroglia, konsep neurovaskular juga menganjurkan pentingnya jenis sel tambahan, seperti sel imun dan
epitel pigmen retina / choroid, yang berdampak pada sel-sel penyusun saraf retina
Pemahaman yang lebih baik mengenai interaksi berbagai elemen seluler ini dan kontribusi patogennya
dapat sangat memperluas kemungkinan terbentuknya strategi terapi baru.

Patologi di saraf retina selama RD. Disfungsi vaskular dan hilangnya kapiler merupakan fitur penting dari
RD, sebagaimana yang telah dibuktikan bahwa dampak pada fungsi visual yang berasal dari perawatan
termasuk anti-VEGF bertujuan untuk memperbaiki perubahan vaskular retina. Namun, semakin banyak
bukti menunjukkan bahwa neuropati juga terdapat pada retina diabetik, bahkan mungkin sebelum hilangnya
perfusi pada neuropile. Perspektif yang diperluas ini telah meningkatkan pemahaman mengenai disfungsi
neuron dan neurodegenerasi dan fitur klinis yang sesuai, seperti hilangnya penglihatan warna (68) dan
sensitivitas kontras (69) dan berkurangnya respons listrik pada uji elektroretinografi (70, 71) yang dapat
terjadi sebelum adanya perubahan mikrovaskuler. Kematian apoptosis sel ganglion retina dan sel amakrin
terjadi pada model hewan dengan diabetes (72) dan juga telah diamati secara klinis pada mata diabetik
postmortem (73, 74).
Bukti lebih lanjut mengenai perubahan struktural termasuk studi pencitraan OCT yang menunjukkan
berkurangnya ketebalan lapisan retina dalam pada penderita diabetes tipe 1 dengan retinopati diabetikum
minimal (75, 76). Perubahan yang diinduksi oleh diabetes pada retina neurosensorik dapat memiliki
konsekuensi besar karena disfungsi neuron dapat berkontribusi pada perkembangan patologi RD vaskular.
Neuron retina, termasuk fotoreseptor, dapat menjadi sumber penting dari stres oksidatif yang membantu
menciptakan lingkungan proinflamasi pada RD (77).
Selain itu, elemen neuron retina dapat mensekresi molekul, seperti semaphorin 3A, yang dapat
menyebabkan disfungsi sawar darah retina dan edema makula (78). Gagasan bahwa disfungsi neuron dan
kerusakan dapat meningkatkan terjadinya retinopati diabetikum secara klinis, termasuk mikroangiopati,
didukung oleh penelitian observasional yang menunjukkan bahwa disfungsi neuron regional yang
dipastikan dengan ERG multifokal yang memprediksi lokasi retina yang sesuai yang akan menjadi
retinopati dalam waktu 1-3 tahun (79, 80). Peran patogen untuk neuron ini telah meningkatkan minat pada
mekanisme yang mungkin untuk disfungsi dan degenerasi neuron - termasuk glutamat eksototoksisitas,
stres oksidatif, dan pengurangan dukungan trofik(81) - dan mendorong strategi terapeutik untuk RD
berdasarkan perlindungan saraf (82, 83).
Pemahaman yang lebih baik mengenai interaksi berbagai elemen seluler ini dan kontribusi patogennya
dapat sangat memperluas kemungkinan terbentuknya strategi terapi baru.
Patologi di saraf retina selama RD. Disfungsi vaskular dan hilangnya kapiler merupakan fitur penting dari
RD, sebagaimana yang telah dibuktikan bahwa dampak pada fungsi visual yang berasal dari perawatan
termasuk anti-VEGF bertujuan untuk memperbaiki perubahan vaskular retina. Namun, semakin banyak
bukti menunjukkan bahwa neuropati juga terdapat pada retina diabetik, bahkan mungkin sebelum hilangnya
perfusi pada neuropile. Perspektif yang diperluas ini telah meningkatkan pemahaman mengenai disfungsi
neuron dan neurodegenerasi dan fitur klinis yang sesuai, seperti hilangnya penglihatan warna (68) dan
sensitivitas kontras (69) dan berkurangnya respons listrik pada uji elektroretinografi (70, 71) yang dapat
terjadi sebelum adanya perubahan mikrovaskuler. Kematian apoptosis sel ganglion retina dan sel amakrin
terjadi pada model hewan dengan diabetes (72) dan juga telah diamati secara klinis pada mata diabetik
postmortem (73, 74).
Bukti lebih lanjut mengenai perubahan struktural termasuk studi pencitraan OCT yang menunjukkan
berkurangnya ketebalan lapisan retina dalam pada penderita diabetes tipe 1 dengan retinopati diabetikum
minimal (75, 76). Perubahan yang diinduksi oleh diabetes pada retina neurosensorik dapat memiliki
konsekuensi besar karena disfungsi neuron dapat berkontribusi pada perkembangan patologi RD vaskular.
Neuron retina, termasuk fotoreseptor, dapat menjadi sumber penting dari stres oksidatif yang membantu
menciptakan lingkungan proinflamasi pada RD (77).
Selain itu, elemen neuron retina dapat mensekresi molekul, seperti semaphorin 3A, yang dapat
menyebabkan disfungsi sawar darah retina dan edema makula (78). Gagasan bahwa disfungsi neuron dan
kerusakan dapat meningkatkan terjadinya retinopati diabetikum secara klinis, termasuk mikroangiopati,
didukung oleh penelitian observasional yang menunjukkan bahwa disfungsi neuron regional yang
dipastikan dengan ERG multifokal yang memprediksi lokasi retina yang sesuai yang akan menjadi
retinopati dalam waktu 1-3 tahun (79, 80). Peran patogen untuk neuron ini telah meningkatkan minat pada
mekanisme yang mungkin untuk disfungsi dan degenerasi neuron - termasuk glutamat eksototoksisitas,
stres oksidatif, dan pengurangan dukungan trofik(81) - dan mendorong strategi terapeutik untuk RD
berdasarkan perlindungan saraf (82, 83).
Disfungsi glial pada RD. Komponen astrosit dan sel Muller dari unit neurovaskular dipengaruhi oleh
diabetes, yang mengubah fungsi homeostatis kritis glia ini, terutama yang berkaitan dengan regulasi aliran
darah retina, keseimbangan air dalam parenkim saraf, dan pemeliharaan fungsi sawar (84). Secara spesifik,
sel Muller dapat menjalani gliosis reaktif yang dapat dilihat dengan regulasi protein fibrilar asam glial
(GFAP) (85) dan peningkatan ekspresi jalur terkait kekebalan tubuh bawaan yang tercermin oleh sekresi
sitokin proinflamasi (86). Studi mengenai sel Muller pada model tikus dengan diabetes menunjukan peran
penting sel-sel ini dalam kelainan pembuluh darah retina di RD. Tikus KO kondisional dengan VEGF
terganggu dalam sel Muller menunjukkan penurunan biomarker peradangan retina, termasuk TNF-α dan
ICAM-1, serta pengurangan kelainan vaskular retina berupa kebocoran (87). Temuan ini menunjukkan
bahwa sel Müller yang disfungsional dapat bertindak secara parakrin untuk memperburuk disfungsi sawar
darah retina pada DR. DR juga dikaitkan dengan kematian sel Muller (88), yang selanjutnya berdampak
pada integritas unit neurovacular.
Fungsi sel kekebalan dan peradangan pada RD. Regulasi sel imun dan kontrol peradangan sangat penting
untuk kesejahteraan dan fungsi normal retina. Sel-sel mikroglial pada retina bagian dalam memiliki peran
penting dalam parainflamasi: respons adaptif terhadap stres jaringan (termasuk hiperglikemia dan stres
oksidatif) dan malfungsi. Sementara respon ini mempromosikan homeostasis dan perbaikan jaringan
normal, dalam jangka pendek, parainflammasi kronis berkontribusi pada inisiasi dan perkembangan
berbagai proses penyakit (89). Dalam konteks ini, peran peradangan dalam mendorong perkembangan RD
semakin dihargai (90, 91). Ketika diabetes berkembang, retina menunjukkan beberapa elemen peradangan
kronis, subklinis, termasuk aktivasi sel imun dan produksi molekul inflamasi. Beberapa tipe sel imun
diaktifkan pada tahap awal RD, termasuk peningkatan interaksi leukosit-endotelial dalam pembuluh darah
retina (3, 90). Fenomena leukostasis ini ditandai dengan kepatuhan sel myeloid yang bersirkulasi, termasuk
neutropil dan monosit, dengan endotelium vaskular yang teraktivasi. Interaksi leukosit-endotel dapat
memicu kerusakan pada endotel pembuluh darah retina dan jaringan sekitarnya baik dengan penyumbatan
fisik kapiler dan pelepasan sitokin inflamasi dan superoksida.
Selain kontribusi tipe sel imun intravaskular, teraktivasinya mikroglia sebagai sel imun residen dan juga
monosit yang berinfiltrasi cenderung membentuk generasi yang diinduksi oleh diabetes dari lingkungan
inflamasi (3). Selain mengaktifkan sel imun profesional, diabetes dapat menaikkan efek fenotip
proinflamasi pada sel retina lain, seperti pada pembuluh darah di mana terdapat peningkatan regulasi
molekul adhesi termasuk E-selectin dan ICAM-1 (92, 93) yang meningkatkan keterlibatan endotel dengan
sel imun yang beredar. Selain itu, diabetes menyebabkan meningkatnya produksi sitokin proinflamasi oleh
Müller glia, termasuk VEGF dan TNF-α (87). Peristiwa semacam itu beroperasi bersama untuk
menciptakan lingkungan inflamatori yang berkontribusi terhadap perkembangan RD.
Karakteristik utama dari RD adalah peningkatan ekspresi sitokin inflamasi dan faktor pertumbuhan dari
berbagai sumber sel. Sebagai contoh, peptida proinflamasi VEGF diakui dengan baik sebagai pemeran
utama dalam RD, termasuk perannya dalam meningkatkan permeabilitas pembuluh darah retina dan EMD
(35). Yang lebih jelas lagi, pasien EMD yang diobati dengan agen anti-VEGF menunjukkan perkembangan
yang lebih lambat menjadi drop-out kapiler, menunjukkan bahwa VEGF dapat berperan dalam
perkembangan DR terlepas dari efeknya yang didokumentasikan dengan jelas pada permeabilitas pembuluh
darah (94). Selain VEGF, diabetes meningkatkan kadar sitokin inflamasi retina termasuk TNF-α dan IL-1β,
keduanya terlibat dalam berkontribusi pada titik akhir patologis utama pada RD, termasuk drop-out kapiler
dan permeabilitas pembuluh darah (95-97) .
Disfungsi epitel pigmen retina (EPR) dan koroidopati sebagai komponen RD. Meskipun telah menerima
perhatian yang relatif kurang, diabetes juga mempengaruhi fungsi EPR dan menyebabkan perubahan pada
retina bagian luar yang berdampak pada fotoreseptor dan integritas koroid. Model berbasis kultur EPR dan
penelitian in vivo telah menunjukkan bahwa paparan glukosa yang tinggi atau diabetes menyebabkan stres
nitrosatif (98) dan perubahan metabolik yang berkaitan dengan metabolisme poliol (99). Dalam konteks
EMD, perspektif baru mempertimbangkan kontribusi perubahan pada sawar darah retina luar yang dibentuk
oleh EPR. Gangguan fungsi sawar darah retina normal (83, 100) terjadi selama diabetes, dan hilangnya sifat
penghalang EPR menyebabkan kebocoran cairan dari koriokapiler. EPR juga menunjukkan gangguan
pembersihan cairan dari neuropile retina, yang apabila dikombinasikan dengan hilangnya integritas sawar
darah retina, dapat menyebabkan EMD (101). Peran disfungsi EPR, bila dibandingkan dengan kebocoran
pembuluh darah retina, dalam berkontribusi terhadap edema makula diabetes masih dalam penelitian aktif.
Koriokapiler itu sendiri menimbulkan kerusakan progresif selama diabetes (sebagaimana ditinjau oleh
Lutty; ref. 102). Koroidopati diabetes terjadi pada pasien (103) dan model hewan (104) dan
dimanifestasikan dengan penipisan lapisan kapiler dengan lesi seperti drop-out pembuluh darah, aneurisma,
iskemia, dan dalam beberapa kasus neovaskularisasi intrakoroid (103, 105). Infiltrasi sel radang juga dapat
berpartisipasi dalam oklusi kapiler dan atrofi (106). Secara klinis, koroid diabetes mulai menerima lebih
banyak perhatian seiring dengan meningkatnya modalitas pencitraan. terlebih dari studi angiografi
indocyanine green (ICG) (105), pendekatan seperti enhanced depth imaging (EDI) secara umum
menunjukkan adanya pengurangan ketebalan koroid pada mata diabetes (107), meskipun pada beberapa
kelompok pasien, peningkatan ketebalan dapat terjadi (108) yang mungkin berkaitan dengan respons
fibrotik pasca iskemik dan neovaskularisasi intrakoroid. Dalam kedua kasus tersebut, koroidopati pada
mata diabetes dapat memiliki dampak mendalam berikutnya pada EPR dan lapisan retina bagian luar, yang
dioksigenasi oleh koriokapiler. Sebagai contoh, terjadinya endapan laminar basalis pada mata diabetes
berhubungan dengan area degenerasi koriokapiler (103). Sifat yang tepat dari choroidopathy diabetikum
memerlukan studi klinis dan eksperimental lebih lanjut, terutama karena vaskular ini sangat penting untuk
fungsi retina normal.

Arah masa depan


Konsep mekanisme perlindungan. Sementara upaya penelitian yang cukup besar telah diarahkan untuk
mengidentifikasi jalur patogen yang berkontribusi terhadap inisiasi dan perkembangan RD, paradigma yang
berkembang adalah pentingnya mekanisme endogen yang melindungi dari terjadinya RD (109, 110).
Konsep ini sangat didukung oleh Josal 50-Year Medalist Study, yang telah mendaftarkan lebih dari 1.000
orang diabetes tipe 1 dengan durasi 50 tahun atau lebih. Sekitar 50% dari pasien ini memiliki RPD, seperti
yang mungkin diharapkan mengingat durasi diabetes mereka yang lama. Namun, sebagian besar (hampir
40%) dari pasien, yang semuanya didiagnosis dengan diabetes dalam waktu beberapa dekade sebelum
kontrol glikemik yang ketat adalah praktik standar, secara mengejutkan masih tidak memiliki atau
menderita RD ringan saja (111). Berbeda dengan penelitian besar lainnya dalam kelompok dengan diabetes
berdurasi lebih pendek, keparahan RD belum dikaitkan dengan nilai HbA1c saat ini atau longitudinal di uji
kohort ini, yang menunjukkan adanya faktor pelindung endogen pada individu yang belum berkembang
menjadi komplikasi diabetes lanjut, termasuk retinopati. Identifikasi mekanisme perlindungan semacam itu
dapat memungkinkan terapi baru di masa depan untuk mencegah timbulnya perburukan dini dan penyakit
mata diabetes. Dengan perspektif bahwa ketidakseimbangan antara faktor penyebab dan faktor
perlindungan yang mengatur perkembangan RD, strategi terapi terbaru dapat berpusat dalam menstimulasi
aksi mekanisme proteksi endogen. pada lapisan ini, beberapa faktor pelindung telah diusulkan dalam RD,
termasuk superoksida dismutase 2 (MnSOD) (112), faktor turunan epitel pigmen (PEDF) (113),
somatostatin (114), dan faktor terkait 2 NF-E2 ( Nrf2) (115). Molekul-molekul ini menggambarkan manfaat
potensial dari peningkatan perlindungan dalam memodulasi proses kunci pada retinopati diabetes. MnSOD
dan Nrf2 dapat berfungsi untuk melemahkan stres oksidatif yang diinduksi diabetes. PEDF dan Nrf2
menangkal lingkungan proinflamasi pada retinopati diabetik. Somatostatin memberikan efek perlindungan
saraf yang dapat mengurangi degenerasi saraf. Faktor perlindungan kandidat yang menarik terutama untuk
retinopati diabetik adalah PPARα, yang telah terbukti meningkatkan banyak titik akhir yang
menguntungkan dalam model eksperimental RD, termasuk peradangan dan kebocoran (116), (117). Yang
lebih jelas lagi, 2 uji klinis besar dari fenofibrate agonis PPARα yang menunjukkan efek obat ini dalam
memperlambat perkembangan retinopati diabetik. Meskipun tidak jelas apakah efek perlindungan
fenofibrate ini disebabkan oleh agonis PPARα yang bertentangan dengan tindakan potensial lainnya, perlu
dicatat bahwa efek perlindungan tidak terkait dengan aktivitas penurun lipid obat ini (118). Oleh karena itu,
penargetan farmakologis ini dan mekanisme perlindungan lainnya dapat menjadi jalan terapi baru dalam
pengobatan RD.
Sudut terapi baru dalam retinopati diabetik. Meskipun dekade terakhir telah memperlihatkan peningkatan
yang signifikan dalam pilihan pengobatan untuk RD, terapi tambahan sangat dibutuhkan. Terapi saat ini
diarahkan secara eksklusif menuju tahap lanjut RD, seringkali setelah kerusakan permanen terjadi; dengan
demikian, perawatan yang dapat mencegah atau mengatasi patologi dini sangat diinginkan. Pengobatan
anti-VEGF hanya sebagian saja yang efektif terhadap edema makula diabetik (119), dan identifikasi
tambahan, molekul patogen independen VEGF dalam kondisi ini dapat mengarah pada perawatan baru
yang lebih baik menjaga penglihatan. Target molekuler tambahan telah diidentifikasi untuk melakukan
penghambatan farmakologis, termasuk TNF-α (120), jalur kallikrein plasma (121), dan fosfolipase A2-
terikat-lipoprotein terkait (Lp-PLA2) (122). Memperluas tujuan terapi lebih dari hanya penekanan langsung
dari perubahan vaskular patologis mungkin terlihat baik. Khususnya, konseptualisasi RD yang diperluas
sebagai penyakit pada unit neurovaskular dapat memberikan target seluler tambahan untuk terapi. Dengan
kesadaran bahwa disfungsi neuron dan degenerasi saraf adalah kejadian awal pada DR, strategi terapi
berdasarkan perlindungan saraf, termasuk agen seperti somatostatin, faktor pertumbuhan saraf (NGF), dan
faktor neurotropik turunan otak (BDNF) (114) yang patut dipertimbangkan, dan ada uji klinis yang sedang
berlangsung untuk RD awal difokuskan pada perlindungan saraf retina (82). Selain dari neuron, peran
penting sel Muller dan mikroglia dapat mengarahkan upaya menuju terapi penargetan elemen seluler
penting ini. Akhirnya, memperluas ruang lingkup proses patogenik yang ditargetkan secara terapi di luar
kebocoran pembuluh darah dan neovaskularisasi untuk memasukkan perlindungan saraf dan revaskularisasi
intraretinal akan menjadi titik akhir yang sangat diinginkan di RD. Konsep modifikasi epigenetik yang
terkait dengan fenomena memori metabolik adalah proses patogen tambahan yang layak mendapat
perhatian terapeutik (123). Identifikasi dan penargetan mekanisme epigenetik utama dapat membantu
memperlambat perkembangan RD pada pasien, terutama yang memiliki riwayat kontrol glikemik yang
buruk sebelumnya. pada akhirnya, pertimbangan strategi berbasis sel termasuk sel progenitor endotel
bermanfaat dalam meningkatkan perbaikan vaskular dan mengurangi iskemia retina (124).
Selain target molekuler dan seluler aktual yang akan membutuhkan wawasan mekanistik tambahan,
kemajuan sehubungan dengan metode untuk administrasi terapi akan memungkinkan peningkatan dalam
mengelola pasien dengan RD. Suntikan intravitreal memungkinkan pemberian obat langsung ke dalam
retina dengan pengurangan efek samping sistemik, namun karena harus sering diberikan, suntikan ulang
menjadikan pendekatan ini hanya sesuai untuk penyakit yang lebih lanjut dan penyakit akut. Metode untuk
pemberian topikal atau sistemik, serta metode pemberian berkelanjutan ini termasuk nanopartikel (3), akan
sangat membantu pengobatan pada kondisi kronis seperti diabetes makula edema. Selain itu, strategi ini
juga akan meningkatkan kelayakan pengobatan pada tahap awal retinopati diabetikum karena yang terakhir
akan membutuhkan pengobatan selama jangka waktu yang lama. Formulasi obat topikal yang dapat
mencapai retina akan mengurangi efek samping sistemik dan memungkinkan pemberian sendiri oleh pasien
dalam jangka waktu yang lama.
Obat presisi. Pasien dengan diabetes menunjukkan variasi yang besar dalam perjalanan berkembangnya
retinopati mereka, termasuk kecepatan perkembangan dan manifestasi klinis yang spesifik. Sebagai contoh,
beberapa individu mungkin memiliki kecenderungan yang lebih kuat untuk menjadi EMD, sedangkan yang
lain cenderung ke arah RPD. Selain itu, pasien menunjukkan respons yang bervariasi terhadap perawatan;
misalnya, sementara sebagian besar pasien berespon baik terhadap terapi anti-VEGF, beberapa hanya
memiliki respons yang sedang atau bahkan buruk (125). Peningkatan dalam memahami patogenesis
berbagai aspek RD dan peningkatan teknik diagnostik, termasuk pencitraan, membuka kemungkinan
pengobatan yang tepat yang diarahkan pada strategi yang memperhitungkan perbedaan penting antara
pasien. Mencapai pemahaman yang lebih besar tentang variasi pasien dan dampaknya pada fenotip klinis
akan meningkatkan upaya menuju manajemen RD yang lebih tepat. Wawasan seperti itu mungkin akan
muncul dari data mekanistik dan biologis lebih lanjut, termasuk genomik, proteomik, dan biomarker
penyakit. Bersama dengan kemajuan dalam diagnosis RD sebelumnya, tujuan dari pengobatan presisi
sangat ideal dalam mengoptimalisasi perawatan RD melalui peningkatan fenotip, pemahaman mekanisme,
dan perluasan opsi perawatan.

Kesimpulan
Meskipun kejadian RD terus meningkat, dalam beberapa dekade terakhir telah menunjukan munculnya
pilihan pengobatan baru, terutama obat yang menargetkan VEGF, yang telah sangat meningkatkan
pengelolaan titik akhir EMD dan RPD. Namun demikian, kebutuhan mendesak tetap ada demi
mendapatkan pengobatan terbaru yang manjur untuk semua tahap RD, dan ini mendukung upaya
berkelanjutan untuk sepenuhnya memahami cara-cara kompleks di mana diabetes berdampak pada retina.
Kemajuan konseptual yang penting adalah pengakuan bahwa RD adalah penyakit pada unit neurovaskular,
dengan beberapa tipe sel yang saling tergantung berkontribusi terhadap disfungsi retina. Pendekatan terapi
terbaru harus mengadopsi pandangan yang lebih holistik tentang bagaimana diabetes mempengaruhi retina
dan menyesuaikan perawatan yang tepat untuk fenotipe penyakit yang lebih tepat dengan prospek menarik
untuk mencapai hasil klinis yang baik untuk semua pasien.

Ucapan Terima Kasih


Para penulis ingin mengucapkan terima kasih atas dukungan finansial dari NIH NEI (EY022383 dan
EY022683), Fight for Sight (UK), Sir Jules Thorn Trust, DEL / SFI, Yayasan Wolfson, The Royal Society,
NIH NEI R01 (EY024702), JDRF 3-SRA-2014-264-MR, dan Massachusetts Lions Eye Research Fund.
Para penulis berterima kasih kepada Zhenhua Xu untuk bantuan dengan persiapan angka-angka.

Address correspondence to: Elia Duh, Department of Ophthalmology, Wilmer Ophthalmologic Insti- tute,
Johns Hopkins University School of Medicine, 400 N. Broadway, Room 3011, Baltimore, Maryland
21287, USA. Phone:1.410.614.3388; Email: eduh@jhmi.edu. Or to: Alan Stitt, Centre for Experimen- tal
Medicine, Queen’s University Belfast, Belfast, BT9 7BL, Northern Ireland, United Kingdom. Phone:
44.28.9097.5375; Email: a.stitt@qub.ac.uk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guariguata L, Whiting DR, Hambleton I, Beagley J, Linnenkamp U, Shaw JE. Global estimates of diabetes prevalence for
2013 and projections for 2035. Diabetes Res Clin Pract. 2014;103(2):137–149.
2. Nanditha A, et al. Diabetes in Asia and the Pacific: Implications for the Global Epidemic. Diabetes Care. 2016;39(3):472–485.
3. Stitt AW, et al. The progress in understanding and treatment of diabetic retinopathy. Prog Retin Eye Res. 2016;51:156–186.
4. Antonetti DA, Klein R, Gardner TW. Diabetic retinopathy. N Engl J Med. 2012;366(13):1227–1239.
5. Klein R, Klein BE. Are individuals with diabetes seeing better?: a long-term epidemiological perspective. Diabetes.

2010;59(8):1853–1860.
6. Leasher JL, et al. Global Estimates on the Number of People Blind or Visually Impaired by Diabetic Retinopathy: A Meta-

anal- ysis From 1990 to 2010. Diabetes Care. 2016;39(9):1643–1649.


7. Cole ED, Novais EA, Louzada RN, Waheed NK. Contemporary retinal imaging techniques in diabetic retinopathy: a review.
Clin Experiment Ophthalmol. 2016;44(4):289–299.
8.Jackson GR, Barber AJ. Visual dysfunction associated with diabetic retinopathy. Curr Diab Rep. 2010;10(5):380–384.
9. Frey T, Antonetti DA. Alterations to the blood-retinal barrier in diabetes: cytokines and reactive oxygen species. Antioxid

Redox Signal. 2011;15(5):1271–1284.


10. Zhang X, Zeng H, Bao S, Wang N, Gillies MC. Diabetic macular edema: new concepts in patho-physiology and treatment.

Cell Biosci. 2014;4:27.


11. Diabetes Control Complications Trial Research Group, et al. The effect of intensive treatment of diabetes on the development

and progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes mellitus. N Engl J Med. 1993;329(14):977–986.
12. [No authors listed]. Effect of intensive blood-glucose control with metformin on complications in overweight patients with type

2 diabetes (UKPDS 34). UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Lancet. 1998;352(9131):854–865.
13. Aiello LP, DCCT/EDIC Research Group. Diabetic retinopathy and other ocular findings in the diabetes control and complica-

tions trial/epidemiology of diabetes interventions and complications study. Diabetes Care. 2014;37(1):17–23.
14. Genuth S, et al. Skin advanced glycation end products glucosepane and methylglyoxal hydroimidazolone are independently

associated with long-term microvascular complication progression of type 1 diabetes. Diabetes. 2015;64(1):266–278.
15. Zhong Q, Kowluru RA. Epigenetic changes in mitochondrial superoxide dismutase in the retina and the development of diabet-

ic retinopathy. Diabetes. 2011;60(4):1304–1313.


16. Mishra M, Zhong Q, Kowluru RA. Epigenetic modifications of Keap1 regulate its interaction with the protective factor Nrf2

in the development of diabetic retinopathy. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2014;55(11):7256–7265.


17. Reddy MA, Zhang E, Natarajan R. Epigenetic mechanisms in diabetic complications and metabolic memory. Diabetologia.

2015;58(3):443–455.
18. Friedrichs P, et al. Hyperglycaemic memory affects the neurovascular unit of the retina in a diabetic mouse model.

Diabetologia. 2017;60(7):1354–1358.
19. van Leiden HA, et al. Blood pressure, lipids, and obesity are associated with retinopathy: the hoorn study. Diabetes Care.

2002;25(8):1320–1325.
20. Yau JW, et al. Global prevalence and major risk factors of diabetic retinopathy. Diabetes Care. 2012;35(3):556–564.
21. Mohamed Q, Gillies MC, Wong TY. Management of diabetic retinopathy: a systematic review. JAMA. 2007;298(8):902–916.
22. ACCORD Study Group, et al. Effects of medical therapies on retinopathy progression in type 2 diabetes. N Engl J Med.

2010;363(3):233–244.
23. Hirsch IB, Brownlee M. Beyond hemoglobin A1c--need for additional markers of risk for diabetic microvascular
complications.
JAMA. 2010;303(22):2291–2292.
24. Klein R, Knudtson MD, Lee KE, Gangnon R, Klein BE. The Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy:

XXII the twenty-five-year progression of retinopathy in persons with type 1 diabetes. Ophthalmology. 2008;115(11):1859–
1868.
25. Ljubimov AV, et al. Basement membrane abnormalities in human eyes with diabetic retinopathy. J Histochem Cytochem.

1996;44(12):1469–1479.
26. COGAN DG, TOUSSAINT D, KUWABARA T. Retinal vascular patterns. IV. Diabetic retinopathy. Arch
Ophthalmol. 1961;66:366–378.
27. Yanoff M. Ocular pathology of diabetes mellitus. Am J Ophthalmol. 1969;67(1):21–38.
28.Mizutani M, Kern TS, Lorenzi M. Accelerated death of retinal microvascular cells in human and experimental diabetic retinop-

athy. J Clin Invest. 1996;97(12):2883–2890.


29. Gardiner TA, Archer DB, Curtis TM, Stitt AW. Arteriolar involvement in the microvascular lesions of diabetic retinopathy:

implications for pathogenesis. Microcirculation. 2007;14(1):25–38.


30. Curtis TM, Gardiner TA, Stitt AW. Microvascular lesions of diabetic retinopathy: clues towards understanding pathogenesis?
Eye (Lond). 2009;23(7):1496–1508.
31. Joyal JS, et al. Ischemic neurons prevent vascular regeneration of neural tissue by secreting semaphorin 3A. Blood.

2011;117(22):6024–6035.
32. Fukushima Y, et al. Sema3E-PlexinD1 signaling selectively suppresses disoriented angiogenesis in ischemic retinopathy in
mice.
J Clin Invest. 2011;121(5):1974–1985.
33. Wei Y, et al. Nrf2 in ischemic neurons promotes retinal vascular regeneration through regulation of semaphorin 6A. Proc Natl

Acad Sci U S A. 2015;112(50):E6927–E6936.


34. Aiello LP, et al. Vascular endothelial growth factor in ocular fluid of patients with diabetic retinopathy and other retinal disor-

ders. N Engl J Med. 1994;331(22):1480–1487.


35. El Rami H, Barham R, Sun JK, Silva PS. Evidence-Based Treatment of Diabetic Retinopathy. Semin Ophthalmol.
2017;32(1):67–74.
36. Writing Committee for the Diabetic Retinopathy Clinical Research Network, et al. Panretinal Photocoagulation vs Intravitreous

Ranibizumab for Proliferative Diabetic Retinopathy: A Randomized Clinical Trial. JAMA. 2015;314(20):2137–2146.
37. Khaliq A, et al. Increased expression of placenta growth factor in proliferative diabetic retinopathy. Lab Invest. 1998;78(1):109–
116.
38. Butler JM, et al. SDF-1 is both necessary and sufficient to promote proliferative retinopathy. J Clin Invest. 2005;115(1):86–
93.
39. Watanabe D, et al. Erythropoietin as a retinal angiogenic factor in proliferative diabetic retinopathy. N Engl J Med.

2005;353(8):782–792.
40. [No authors listed]. Grading diabetic retinopathy from stereoscopic color fundus photographs--an extension of the modified

Airlie House classification. ETDRS report number 10. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group.
Ophthal- mology. 1991;98(5 Suppl):786–806.
41. Silva PS, et al. Peripheral Lesions Identified on Ultrawide Field Imaging Predict Increased Risk of Diabetic Retinopathy Pro-

gression over 4 Years. Ophthalmology. 2015;122(5):949–956.


42. Lammer J, et al. Cone Photoreceptor Irregularity on Adaptive Optics Scanning Laser Ophthalmoscopy Correlates With Severity

of Diabetic Retinopathy and Macular Edema. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2016;57(15):6624–6632.
43. Burns SA, et al. In vivo adaptive optics microvascular imaging in diabetic patients without clinically severe diabetic
retinopathy.
Biomed Opt Express. 2014;5(3):961–974.
44. Shin HJ, Lee SH, Chung H, Kim HC. Association between photoreceptor integrity and visual outcome in diabetic macular

edema. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2012;250(1):61–70.


45. Sun JK, et al. Disorganization of the retinal inner layers as a predictor of visual acuity in eyes with center-involved diabetic

macular edema. JAMA Ophthalmol. 2014;132(11):1309–1316.


46. Sun JK, et al. Neural Retinal Disorganization as a Robust Marker of Visual Acuity in Current and Resolved Diabetic Macular

Edema. Diabetes. 2015;64(7):2560–2570.


47. Bonnin S, Tadayoni R, Erginay A, Massin P, Dupas B. Correlation between ganglion cell layer thinning and poor visual

func- tion after resolution of diabetic macular edema. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2015;56(2):978–982.
48.Agemy SA, et al. RETINAL VASCULAR PERFUSION DENSITY MAPPING USING OPTICAL COHERENCE

TOMOG- RAPHY ANGIOGRAPHY IN NORMALS AND DIABETIC RETINOPATHY PATIENTS. Retina


(Philadelphia, Pa). 2015;35(11):2353–2363.
49. Harrison WW, et al. Prediction, by retinal location, of the onset of diabetic edema in patients with nonproliferative diabetic reti-
nopathy. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2011;52(9):6825–6831.
50. [No authors listed]. Preliminary report on effects of photocoagulation therapy. The Diabetic Retinopathy Study Research

Group. Am J Ophthalmol. 1976;81(4):383–396.


51. [No authors listed]. Photocoagulation for diabetic macular edema. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study report number
1. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study research group. Arch Ophthalmol. 1985;103(12):1796–1806.
52. Diabetic Retinopathy Clinical Research Network, et al. Randomized trial evaluating ranibizumab plus prompt or deferred laser

or triamcinolone plus prompt laser for diabetic macular edema. Ophthalmology. 2010;117(6):1064–1077.e35.
53. Brown DM, et al. Long-term outcomes of ranibizumab therapy for diabetic macular edema: the 36-month results from two

phase III trials: RISE and RIDE. Ophthalmology. 2013;120(10):2013–2022.


54. Heier JS, et al. Intravitreal Aflibercept for Diabetic Macular Edema: 148-Week Results from the VISTA and VIVID Studies.
Ophthalmology. 2016;123(11):2376–2385.
55.Diabetic Retinopathy Clinical Research Network, et al. Aflibercept, bevacizumab, or ranibizumab for diabetic macular edema.
N Engl J Med. 2015;372(13):1193–1203.
56. Wells JA, et al. Aflibercept, Bevacizumab, or Ranibizumab for Diabetic Macular Edema: Two-Year Results from a

Comparative Effectiveness Randomized Clinical Trial. Ophthalmology. 2016;123(6):1351–1359.


57. Campochiaro PA, et al. Sustained delivery fluocinolone acetonide vitreous inserts provide benefit for at least 3 years in patients

with diabetic macular edema. Ophthalmology. 2012;119(10):2125–2132.


58. Boyer DS, et al. Three-year, randomized, sham-controlled trial of dexamethasone intravitreal implant in patients with diabetic

macular edema. Ophthalmology. 2014;121(10):1904–1914.


59. Avery RL, et al. Intravitreal bevacizumab (Avastin) in the treatment of proliferative diabetic retinopathy. Ophthalmology.

2006;113(10):1695.e1–1695.15.
60. Berrocal MH, Acaba LA, Acaba A. Surgery for Diabetic Eye Complications. Curr Diab Rep. 2016;16(10):99.
61. Gardner TW, Davila JR. The neurovascular unit and the pathophysiologic basis of diabetic retinopathy. Graefes Arch Clin Exp
Ophthalmol. 2017;255(1):1–6.
62. Kur J, Newman EA, Chan-Ling T. Cellular and physiological mechanisms underlying blood flow regulation in the retina and
choroid in health and disease. Prog Retin Eye Res. 2012;31(5):377–406.
63. Mishra A, Newman EA. Inhibition of inducible nitric oxide synthase reverses the loss of functional hyperemia in diabetic reti-

nopathy. Glia. 2010;58(16):1996–2004.


64. Nguyen TT, et al. Correlation of light-flicker-induced retinal vasodilation and retinal vascular caliber measurements in diabetes.
Invest Ophthalmol Vis Sci. 2009;50(12):5609–5613.
65. Garhofer G, et al. Use of the retinal vessel analyzer in ocular blood flow research. Acta Ophthalmol. 2010;88(7):717–722.
66. Lim LS, et al. Dynamic responses in retinal vessel caliber with flicker light stimulation in eyes with diabetic retinopathy.

Invest Ophthalmol Vis Sci. 2014;55(8):5207–5213.


67. Nguyen TT, et al. Flicker light-induced retinal vasodilation in diabetes and diabetic retinopathy. Diabetes Care. 2009;32(11):2075–
2080.
68. Roy MS, Gunkel RD, Podgor MJ. Color vision defects in early diabetic retinopathy. Arch Ophthalmol. 1986;104(2):225–228.
69. Sokol S, Moskowitz A, Skarf B, Evans R, Molitch M, Senior B. Contrast sensitivity in diabetics with and without

background retinopathy. Arch Ophthalmol. 1985;103(1):51–54.


70. Gardner TW, Abcouwer SF, Barber AJ, Jackson GR. An integrated approach to diabetic retinopathy research. Arch

Ophthalmol. 2011;129(2):230–235.
71. Abcouwer SF, Gardner TW. Diabetic retinopathy: loss of neuroretinal adaptation to the diabetic metabolic environment. Ann N

Y Acad Sci. 2014;1311:174–190.


72. Barber AJ, Lieth E, Khin SA, Antonetti DA, Buchanan AG, Gardner TW. Neural apoptosis in the retina during experimental

and human diabetes. Early onset and effect of insulin. J Clin Invest. 1998;102(4):783–791.
73. Carrasco E, Hernández C, Miralles A, Huguet P, Farrés J, Simó R. Lower somatostatin expression is an early event in diabetic

retinopathy and is associated with retinal neurodegeneration. Diabetes Care. 2007;30(11):2902–2908.


74. Barber AJ, Lieth E, Khin SA, Antonetti DA, Buchanan AG, Gardner TW. Neural apoptosis in the retina during experimental

and human diabetes. Early onset and effect of insulin. J Clin Invest. 1998;102(4):783–791.
75.van Dijk HW, et al. Selective loss of inner retinal layer thickness in type 1 diabetic patients with minimal diabetic retinopathy.
Invest Ophthalmol Vis Sci. 2009;50(7):3404–3409.
76. van Dijk HW, et al. Decreased retinal ganglion cell layer thickness in patients with type 1 diabetes. Invest Ophthalmol Vis

Sci. 2010;51(7):3660–3665.
77. Du Y, Veenstra A, Palczewski K, Kern TS. Photoreceptor cells are major contributors to diabetes-induced oxidative stress

and local inflammation in the retina. Proc Natl Acad Sci U S A. 2013;110(41):16586–16591.
78. Cerani A, et al. Neuron-derived semaphorin 3A is an early inducer of vascular permeability in diabetic retinopathy via neuropil-

in-1. Cell Metab. 2013;18(4):505–518.


79. Han Y, Adams AJ, Bearse MA, Schneck ME. Multifocal electroretinogram and short-wavelength automated perimetry mea-

sures in diabetic eyes with little or no retinopathy. Arch Ophthalmol. 2004;122(12):1809–1815.


80. Harrison WW, et al. Multifocal electroretinograms predict onset of diabetic retinopathy in adult patients with diabetes.

Invest Ophthalmol Vis Sci. 2011;52(2):772–777.


81. Barber AJ, Gardner TW, Abcouwer SF. The significance of vascular and neural apoptosis to the pathology of diabetic

retinopa- thy. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2011;52(2):1156–1163.


82.Hernández C, Simó-Servat O, Simó R. Somatostatin and diabetic retinopathy: current concepts and new therapeutic perspec-

tives. Endocrine. 2014;46(2):209–214.


83. Omri S, et al. PKCζ mediates breakdown of outer blood-retinal barriers in diabetic retinopathy. PLoS One.
2013;8(11):e81600.
84. Bringmann A, Wiedemann P. Müller glial cells in retinal disease. Ophthalmologica. 2012;227(1):1–19.
85. Hammes HP, Federoff HJ, Brownlee M. Nerve growth factor prevents both neuroretinal programmed cell death and capillary

pathology in experimental diabetes. Mol Med. 1995;1(5):527–534.


86.Zong H, et al. Hyperglycaemia-induced pro-inflammatory responses by retinal Müller glia are regulated by the receptor for

advanced glycation end-products (RAGE). Diabetologia. 2010;53(12):2656–2666.


87. Wang J, Xu X, Elliott MH, Zhu M, Le YZ. Müller cell-derived VEGF is essential for diabetes-induced retinal inflammation
and vascular leakage. Diabetes. 2010;59(9):2297–2305.
88. Feenstra DJ, Yego EC, Mohr S. Modes of Retinal Cell Death in Diabetic Retinopathy. J Clin Exp Ophthalmol.
2013;4(5):298.
89. Xu H, Chen M, Forrester JV. Para-inflammation in the aging retina. Prog Retin Eye Res. 2009;28(5):348–368.
90. Tang J, Kern TS. Inflammation in diabetic retinopathy. Prog Retin Eye Res. 2011;30(5):343–358.
91. Zhang W, Liu H, Rojas M, Caldwell RW, Caldwell RB. Anti-inflammatory therapy for diabetic retinopathy.

Immunotherapy. 2011;3(5):609–628.
92. McLeod DS, Lefer DJ, Merges C, Lutty GA. Enhanced expression of intracellular adhesion molecule-1 and P-selectin in

the diabetic human retina and choroid. Am J Pathol. 1995;147(3):642–653.


93. Hartsock MJ, Cho H, Wu L, Chen WJ, Gong J, Duh EJ. A Mouse Model of Retinal Ischemia-Reperfusion Injury Through

Ele- vation of Intraocular Pressure. J Vis Exp. 2016;(113):e54065.


94. Miller WP, et al. The Translational Repressor 4E-BP1 Contributes to Diabetes-Induced Visual Dysfunction. Invest

Ophthalmol Vis Sci. 2016;57(3):1327–1337.


95. Vincent JA, Mohr S. Inhibition of caspase-1/interleukin-1beta signaling prevents degeneration of retinal capillaries in diabetes

and galactosemia. Diabetes. 2007;56(1):224–230.


96. Kowluru RA, Odenbach S. Role of interleukin-1beta in the development of retinopathy in rats: effect of antioxidants. Invest

Ophthalmol Vis Sci. 2004;45(11):4161–4166.


97. Joussen AM, et al. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs prevent early diabetic retinopathy via TNF-alpha suppression. FASEB

J. 2002;16(3):438–440.
98.Rosales MA, Silva KC, Duarte DA, Rossato FA, Lopes de Faria JB, Lopes de Faria JM. Endocytosis of tight junctions

caveolin nitrosylation dependent is improved by cocoa via opioid receptor on RPE cells in diabetic conditions. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2014;55(9):6090–6100.
99. Samuels IS, Lee CA, Petrash JM, Peachey NS, Kern TS. Exclusion of aldose reductase as a
mediator of ERG deficits in a mouse model of diabetic eye disease. Vis Neurosci. 2012;29(6):267–
274.
100. Beasley S, et al. Caspase-14 expression impairs retinal pigment epithelium barrier function: potential

role in diabetic macular edema. Biomed Res Int. 2014;2014:417986.


101. Simó R, Villarroel M, Corraliza L, Hernández C, Garcia-Ramírez M. The retinal pigment

epithelium: something more than a constituent of the blood-retinal barrier--implications for the
pathogenesis of diabetic retinopathy. J Biomed Biotechnol. 2010;2010:190724.
102. Lutty GA. Effects of diabetes on the eye. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2013;54(14):ORSF81–ORSF87.
103. Cao J, McLeod S, Merges CA, Lutty GA. Choriocapillaris degeneration and related pathologic changes
in human diabetic eyes.
Arch Ophthalmol. 1998;116(5):589–597.
104. Muir ER, Rentería RC, Duong TQ. Reduced ocular blood flow as an early indicator of diabetic

retinopathy in a mouse model of diabetes. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2012;53(10):6488–6494.


105. Hua R, Liu L, Wang X, Chen L. Imaging evidence of diabetic choroidopathy in vivo: angiographic

pathoanatomy and choroi- dal-enhanced depth imaging. PLoS One. 2013;8(12):e83494.


106. Lutty GA, Cao J, McLeod DS. Relationship of polymorphonuclear leukocytes to capillary dropout in

the human diabetic cho- roid. Am J Pathol. 1997;151(3):707–714.


107. Querques G, et al. Enhanced depth imaging optical coherence tomography in type 2 diabetes.

Invest Ophthalmol Vis Sci. 2012;53(10):6017–6024.


108. Kim JT, Lee DH, Joe SG, Kim JG, Yoon YH. Changes in choroidal thickness in relation to the

severity of retinopathy and macular edema in type 2 diabetic patients. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2013;54(5):3378–3384.
109. Rask-Madsen C, King GL. Kidney complications: factors that protect the diabetic vasculature. Nat Med.
2010;16(1):40–41.
110. Rask-Madsen C, King GL. Vascular complications of diabetes: mechanisms of injury and

protective factors. Cell Metab. 2013;17(1):20–33.


111. Sun JK, et al. Protection from retinopathy and other complications in patients with type 1 diabetes of

extreme duration: the joslin 50-year medalist study. Diabetes Care. 2011;34(4):968–974.
112. Kowluru RA, Atasi L, Ho YS. Role of mitochondrial superoxide dismutase in the development of

diabetic retinopathy. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2006;47(4):1594–1599.


113. Zhang SX, Wang JJ, Gao G, Shao C, Mott R, Ma JX. Pigment epithelium-derived factor (PEDF) is an

endogenous antiinflam- matory factor. FASEB J. 2006;20(2):323–325.


114. Simó R, Hernández C, European Consortium for the Early Treatment of Diabetic Retinopathy

(EUROCONDOR). Neurode- generation in the diabetic eye: new insights and therapeutic perspectives.
Trends Endocrinol Metab. 2014;25(1):23–33.
115. Xu Z, et al. NRF2 plays a protective role in diabetic retinopathy in mice. Diabetologia. 2014;57(1):204–
213.
116. Chen Y, et al. Therapeutic effects of PPARα agonists on diabetic retinopathy in type 1

diabetes models. Diabetes. 2013;62(1):261–272.


117. Hu Y, et al. Pathogenic role of diabetes-induced PPAR-α down-regulation in microvascular dysfunction.

Proc Natl Acad Sci U S A. 2013;110(38):15401–15406.


118.Noonan JE, Jenkins AJ, Ma JX, Keech AC, Wang JJ, Lamoureux EL. An update on the molecular

actions of fenofi- brate and its clinical effects on diabetic retinopathy and other microvascular end
points in patients with diabetes. Diabetes. 2013;62(12):3968–3975.
119. Ford JA, Lois N, Royle P, Clar C, Shyangdan D, Waugh N. Current treatments in diabetic macular

oedema: systematic review and meta-analysis. BMJ Open. 2013;3(3):e002269.


120. Sfikakis PP, et al. Infliximab for diabetic macular edema refractory to laser photocoagulation: a

randomized, double-blind, pla- cebo-controlled, crossover, 32-week study. Diabetes Care.


2010;33(7):1523–1528.

45
121. Liu J, Feener EP. Plasma kallikrein-kinin system and diabetic retinopathy. Biol Chem. 2013;394(3):319–
328.
122. Canning P, et al. Lipoprotein-associated phospholipase A2 (Lp-PLA2) as a therapeutic target to prevent

retinal vasopermeability during diabetes. Proc Natl Acad Sci U S A. 2016;113(26):7213–7218.


123. Kowluru RA, Kowluru A, Mishra M, Kumar B. Oxidative stress and epigenetic modifications in the

pathogenesis of diabetic retinopathy. Prog Retin Eye Res. 2015;48:40–61.


124. Shaw LC, Neu MB, Grant MB. Cell-based therapies for diabetic retinopathy. Curr Diab Rep.
2011;11(4):265–274.
125. Ashraf M, Souka A, Adelman R. Predicting outcomes to anti-vascular endothelial growth factor

(VEGF) therapy in diabetic macular oedema: a review of the literature. Br J Ophthalmol.


2016;100(12):1596–1604.

46

Anda mungkin juga menyukai