Ada sepotong kalimat yang menarik setiap membaca bagian akhir dari tugas pokok
dan fungsi jabatan fungsional yang beredar di setiap ruangan di Puskesmas tempat saya
bekerja, sepotong kalimat yang berisikan : melaksanakan tugas tambahan yang diberikan
oleh Kepala Puskesmas sesuai dengan wewenangnya. Hal ini menjadi sesuatu yang
mendapat perhatian khusus setelah saya menjalani sebuah tugas tambahan yang diberikan
kepada saya sejak Januari lalu.
Saat itu saya sedang dalam perjalanan antara Meulaboh-Banda Aceh ketika
Pimpinan saya menelpon dengan kabar berita : “Din, sepulang cuti nanti kamu diberi tugas
tambahan sebagai bendahara pengeluaran ya..”. Dan saya pun otomatis langsung
menanggapinya, “Maaf Bu, tapi saya belum pernah bekerja sebagai bendahara, saya tidak
yakin saya bisa Bu..”ucap saya kala itu. “Pokoknya kamu harus coba dulu.” Begitu
kemudian advis Pimpinan saya yang akhirnya membuat saya berpikir-pikir membayangkan
pekerjaan yang akan saya lakukan sepulang cuti nanti.
Akhirnya setelah melaksanakan serah terima dengan bendahara yang lama, saya
mulai mempelajari seluruh kegiatan yang berkaitan dengan hal keuangan berikut tetek
bengeknya dengan bermodal sebuah flashdisk yang berisi seluruh kelengkapan administrasi
keuangan yang diberikan kepada saya. Awalnya sungguh sangat menyulitkan saya,
mengingat saya tidak punya keahlian maupun ilmu tentang administrasi keuangan selain
sedikit sekali ilmu -katakanlah- akutansi sederhana yang dipelajari jaman masih SMP sekian
belas tahun lalu. Ilmu yang saya pelajari hanya tentang kebidanan dan sekitarnya, sama
sekali tidak ada kaitannya dengan kegiatan kebendaharaan.
Dan ini seringkali membuat saya merasa frustasi ketika harus membuat SPJ (saya
juga tidak begitu jelas dengan singkatan kata yang ini) dimana dengan berlembar-lembar
kertas yang kadangkala harus dibuat berulang kali walaupun saya telah membuat sebuah
checklist kelengkapan SPJ yang harus saya penuhi. Saya merasa sangat repot saat harus
belanja barang-barang di beberapa toko untuk keperluan Puskesmas kemudian harus
kembali lagi ke beberapa toko yang sama untuk sekedar minta stempel di kwitansi karena
kwitansi dinas tidak boleh ditulis tangan. Kemudian saya juga harus ke SPBU untuk
meminta stempel kwitansi pembelian BBM mobil ambulan. Dan yang membuat saya hampir
menangis adalah saat si penjaga toko atau kantor SPBU memandang saya dengan tatapan
curiga seolah-olah saya telah membuat kwitansi palsu untuk korupsi uang negara milyaran
rupiah, padahal yang tertera di kwitansi itu hanya uang tiga puluh ribu rupiah untuk recovery
data dari kamera milik Puskesmas. Saat seperti ini saya sering berpikir, kenapa justru saya
yang harus mengerjakan hal yang seperti ini, kenapa administrasi keuangan juga harus
berbelit-belit.
dst........................
2. KOK BISA HAMIL, YA..!
dst.....................